Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Empat Puskesmas Kota Medan

(1)

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA

PASIEN HIPERTENSI DI EMPAT PUSKESMAS

KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

ABDULLAH SYAHRIL SITEPU

NIM 101501054

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA

PASIEN HIPERTENSI DI EMPAT PUSKESMAS

KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ABDULLAH SYAHRIL SITEPU

NIM 101501054

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA

PASIEN HIPERTENSI DI EMPAT PUSKESMAS

KOTA MEDAN

OLEH:

ABDULLAH SYAHRIL SITEPU NIM 101501054

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 04 Agustus 2015 Pembimbing I, Panitia Penguji,

Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 197803142005011002 NIP 195103261978022001

Pembimbing II, Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt. NIP 197803142005011002

Khairunnisa, M.Pharm., Ph.D., Apt. Dr. Poppy Anjelisa Hasibuan, M.Si., Apt. NIP 197802152008122001 NIP 197506102005012003

Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt. NIP 197806032005012004

Medan, Agustus 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara a.n Dekan,

Wakil Dekan 1

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi di Empat Puskesmas Kota Medan. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, M.Sc., Apt., dan Khairunnisa, M.Pharm., Ph.D., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab, memberikan petunjuk dan saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Ibu Dr. Poppy Anjelisa Hasibuan, M.Si., Apt., dan Ibu Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran dan arahan untuk menyempurnakan skripsi ini, dan Ibu Yuandani, S.Farm., M.Si., Apt., selaku dosen penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, Ayahanda Drs. Irwansyah Sitepu dan Ibunda Siti Rosmiana Girsang serta


(5)

v

Adik Mia Amelia Irna Sari Sitepu, yang telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta Syilvi Haryanti, Denny Aminunsyah, Dianita Harahap, Rohandi, Arif, Bambang Trisanjaya, Rizki Aulia Bahri, Nugraha Siregar, Sakses Marbun dan Mahasiswa/i angkatan 2010 fakultas farmasi USU yang selalu mendoakan dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Agustus 2015 Penulis,

Abdullah Syahril Sitepu NIM 101501054


(6)

vi

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI EMPAT PUSKESMAS KOTA MEDAN

ABSTRAK

Hipertensi adalah penyakit yang paling sering terjadi di dunia dan termasuk masalah kesehatan penting karena angka prevalensi yang tinggi. Penggunaan obat antihipertensi adalah salah satu cara untuk mengobati dan mengatasi penyakit tersebut. Pemilihan antihipertensi ditentukan oleh keadaan klinis pasien, derajat hipertensi dan sifat obat antihipertensi tersebut. Merupakan faktor yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi dari segi klinis penggunaan obat yang rasional. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketidaktepatan peresepan terjadi di banyak negara terutama negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Masalah tersebut telah menjadi perhatian serius sebagai indikator dari kualitas suatu proses pengobatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi, kesesuaian penggunaan obat antihipertensi, dan pengaruh kesesuaian terhadap hasil terapi.

Penelitian ini menggunakan instrumen MAI (Medication Appropriateness Index) untuk mengidentifikasi kesesuaian obat antihipertensi dan melihat apakah ada hubungan antara kesesuaian pengobatan dengan hasil terapi pada pasien hipertensi. Penelitian ini bersifat prospektif dan dilakukan pada bulan September-November 2014 di empat Puskesmas Kota Medan dengan jumlah subjek penelitian yang diteliti sebanyak 63 pasien. Sumber data penelitian adalah informasi yang tertulis dalam rekam medis pasien hipertensi dan pengecekan langsung data klinis pasien hipertensi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan jenis hipertensi terbanyak yang di derita masyarakat adalah hipertensi stage II 32 (51%) pasien dan rata-rata pasien berhasil dalam pengobatan sebanyak 33 (52,38%) pasien.

Berdasarkan hasil profil penggunaan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah amlodipin sebanyak 40 (48%) obat dan hasil analisis 63 pasien dari keseluruhan kategori, yang tergolong MAI rendah 45 (71,5%) pasien dan MAI sedang 18 (28,5%) pasien. Dari penelitian ini didapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian peresepan dengan hasil terapi antihipertensi di Empat Puskesmas Kota Medan.


(7)

vii

EVALUATION OF DRUG USE IN PATIENTS WITH HYPERTENSION ANTIHYPERTENSIVE IN FOUR PUSKESMAS MEDAN CITY

ABSTRACT

Hypertension is the most common disease in the world and includes important health problem due to the high prevalence rate. The use of antihypertensive drugs is one way to treat and cope with the disease. Antihypertensive selection is determined by the clinical state of the patient, the degree of hypertension and anti-hypertensive properties of the drug. Factors to be considered in the administration of antihypertensive drugs in terms of rational clinical use of drugs. The results showed that the prescription inaccuracy occurs in many countries, especially developing countries such as Indonesia. It has become a serious concern as an indicator of the quality of the treatment process.

The purpose of this study was to determine the profile of antihypertensive medication use, the appropriateness of the use of antihypertensive drugs, and influence of the appropriate of the therapy results.

This research using instruments MAI (Medication appropriateness index) to identify the appropriate of antihypertensive drugs and see if there is a relationship between the appropriate of treatment with the results of therapy in hypertensive patients. This study is a prospective and carried out in September- November 2014 in four Puskesmas Medan the number of study subjects were 63 patients studied. Source of research data is information that is recorded in the medical records of patients with hypertension and direct inspection clinical data of patients with hypertension.

Based on the results of the study showed that most hypertension in people suffer hypertension stage II, 32 (51%) patients, and the average patient successfully in the treatment of as many as 33 (52.38%) patients.

Based on the results of the use of antihypertensive medication profiles of the most widely used is amlodipine 40 (48%) of drugs and the results of analysis of 63 patients from the entire category, which is classified as a low MAI 45 (71.5%) patients and MAI were 18 (28.5%) patients. From this research obtained significant relationship between the appropriate of the therapy with antihypertensive therapy results in four Puskesmas Medan.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 3

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Hipertensi ... 6

2.1.1 Definisi hipertensi ... 6

2.1.2 Hipertensi primer ... 7

2.1.3 Hipertensi sekunder ... 7

2.2 Patofisiologi Hipertensi ... 8


(9)

ix

2.4 Obat Antihipertensi ... 11

2.4.1 Diuretik ... 11

2.4.2 Agen-Agen penghambat adrenoseptor-β... 12

2.4.3 Penghambat ACE... 13

2.4.4 Antagonis reseptor-angiotensim II (ARB)... 14

2.4.5 Penghambat kanal kalsium ... 14

2.5 Rasionalitas Penggunaan Obat ... 15

2.6 Medication Appropriateness Index ... 16

2.6.1 Definisi Medication Appropriateness Index ... 16

2.6.2 Klasifikasi Medication Appropriateness Index ... 17

2.7 Rekam Medis... 19

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Jenis Penelitian... 20

3.2 Populasi Sampel... 20

3.2.1 Populasi ... 20

3.2.2 Sampel ... 20

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 21

3.5 Prosedur Kerja ... 22

3.6 Tahap-Tahap Penelitian ... 22

3.7 Analisis Data ... 23

3.8 Defenisi Operasional ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24


(10)

x

4.1.1 Data obat yang digunakan ... 25

4.2 Data Klinis ... 26

4.2.1 Karateristik klinis pasien hipertensi ... 26

4.2.2 Kelompok perubahan tekanan darah ... 27

4.2.3 Hubungan demografi pasien dengan tekanan darah sistol akhir ... 27

4.3 Pengukuran Kerasionalan Pengobatan ... 29

4.3.1 Pengelompokan MAI ... 29

4.3.2 Gambaran MAI pasien ... 30

4.3.2.1 Kesesuaian indikasi obat ... 31

4.3.2.2 Kesesuaian efektivitas obat ... 31

4.3.2.3 Kesesuaian dosis ... 31

4.3.2.4 Petunjuk yang benar ... 32

4.3.2.5 Penggunaan yang benar ... 32

4.3.2.6 Interaksi obat-obat ... 32

4.3.2.7 Interaksi obat-penyakit... 34

4.3.2.8 Duplikasi ... 34

4.3.2.9 Durasi ... 35

4.3.2.10 Biaya ... 35

4.4 Hubungan Perubahan Tekanan Darah Sistol Pasien Hipetensi dengan MAI ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan ... 37


(11)

xi

DAFTAR PUSTAKA ... 38 LAMPIRAN ... 41


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII... 6

2.2 Bobot yang diberikan pada masing-masing kriteria MAI... 18

3.1 Defenisi operasional... 23

4.1 Demografi subjek penelitian... 24

4.2 Data obat antihipertensi yang digunakan... 26

4.3 Karateristik klinis pasien hipertensi berdasarkan tekanan darah sistolik... 27

4.4 Distribusi kelompok pasien hipertensi berdasarkan perubahan tekanan darah sistol... 27

4.5 Hasil analisis hubungan demografi pasien hipertensi dengan perubahan tekanan darah... 28

4.6 Kelompok pasien hipertensi berdasarkan MAI... 29

4.7 Total kasus pengobatan yang tidak sesuai berdasarkan MAI... 30

4.8 Jenis obat dan interaksi obat-obat... 32

4.9 Hasil analisis hubungan perubahan tekanan darah dengan MAI... 35


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5 2.1 Patogenesis hipertensi ... 8 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan

hipertensi ... 9 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan

komplikasi penyaki ... 10 2.4 Berbagai faktor yang menentukan keputusan


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lembar penjelasan menjadi responden penelitian... 42

2. Kuesioner penelitian... 44

3. Uji normalitas... 47

4. Uji signifikansi... 49

5. Uji statistik hubungan rasionalitas terhadap hasil terapi ... 52

6. Data demografi pasien... 53

7. Data pengobatan pasien... 54

8. Lembar ethical clearance... 56


(15)

vi

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN HIPERTENSI DI EMPAT PUSKESMAS KOTA MEDAN

ABSTRAK

Hipertensi adalah penyakit yang paling sering terjadi di dunia dan termasuk masalah kesehatan penting karena angka prevalensi yang tinggi. Penggunaan obat antihipertensi adalah salah satu cara untuk mengobati dan mengatasi penyakit tersebut. Pemilihan antihipertensi ditentukan oleh keadaan klinis pasien, derajat hipertensi dan sifat obat antihipertensi tersebut. Merupakan faktor yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi dari segi klinis penggunaan obat yang rasional. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ketidaktepatan peresepan terjadi di banyak negara terutama negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Masalah tersebut telah menjadi perhatian serius sebagai indikator dari kualitas suatu proses pengobatan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi, kesesuaian penggunaan obat antihipertensi, dan pengaruh kesesuaian terhadap hasil terapi.

Penelitian ini menggunakan instrumen MAI (Medication Appropriateness Index) untuk mengidentifikasi kesesuaian obat antihipertensi dan melihat apakah ada hubungan antara kesesuaian pengobatan dengan hasil terapi pada pasien hipertensi. Penelitian ini bersifat prospektif dan dilakukan pada bulan September-November 2014 di empat Puskesmas Kota Medan dengan jumlah subjek penelitian yang diteliti sebanyak 63 pasien. Sumber data penelitian adalah informasi yang tertulis dalam rekam medis pasien hipertensi dan pengecekan langsung data klinis pasien hipertensi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan jenis hipertensi terbanyak yang di derita masyarakat adalah hipertensi stage II 32 (51%) pasien dan rata-rata pasien berhasil dalam pengobatan sebanyak 33 (52,38%) pasien.

Berdasarkan hasil profil penggunaan obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah amlodipin sebanyak 40 (48%) obat dan hasil analisis 63 pasien dari keseluruhan kategori, yang tergolong MAI rendah 45 (71,5%) pasien dan MAI sedang 18 (28,5%) pasien. Dari penelitian ini didapat hubungan yang signifikan antara kesesuaian peresepan dengan hasil terapi antihipertensi di Empat Puskesmas Kota Medan.


(16)

vii

EVALUATION OF DRUG USE IN PATIENTS WITH HYPERTENSION ANTIHYPERTENSIVE IN FOUR PUSKESMAS MEDAN CITY

ABSTRACT

Hypertension is the most common disease in the world and includes important health problem due to the high prevalence rate. The use of antihypertensive drugs is one way to treat and cope with the disease. Antihypertensive selection is determined by the clinical state of the patient, the degree of hypertension and anti-hypertensive properties of the drug. Factors to be considered in the administration of antihypertensive drugs in terms of rational clinical use of drugs. The results showed that the prescription inaccuracy occurs in many countries, especially developing countries such as Indonesia. It has become a serious concern as an indicator of the quality of the treatment process.

The purpose of this study was to determine the profile of antihypertensive medication use, the appropriateness of the use of antihypertensive drugs, and influence of the appropriate of the therapy results.

This research using instruments MAI (Medication appropriateness index) to identify the appropriate of antihypertensive drugs and see if there is a relationship between the appropriate of treatment with the results of therapy in hypertensive patients. This study is a prospective and carried out in September- November 2014 in four Puskesmas Medan the number of study subjects were 63 patients studied. Source of research data is information that is recorded in the medical records of patients with hypertension and direct inspection clinical data of patients with hypertension.

Based on the results of the study showed that most hypertension in people suffer hypertension stage II, 32 (51%) patients, and the average patient successfully in the treatment of as many as 33 (52.38%) patients.

Based on the results of the use of antihypertensive medication profiles of the most widely used is amlodipine 40 (48%) of drugs and the results of analysis of 63 patients from the entire category, which is classified as a low MAI 45 (71.5%) patients and MAI were 18 (28.5%) patients. From this research obtained significant relationship between the appropriate of the therapy with antihypertensive therapy results in four Puskesmas Medan.


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah di atas normal. Meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang adalah faktor risiko meningkatkan berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang menghentikan terapi antihipertensi kemungkinan lima kali lebih besar terkena stroke. Penyakit ini seringkali disebut Silent killer karena tidak adanya gejala dan tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital. Penyakit ini menyebabkan tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang (Depkes RI, 2006).

Menurut WHO, sekitar 17 juta jiwa meninggal akibat penyakit kardiovaskuler, yaitu hampir sekitar sepertiga dari penduduk dunia (WHO, 2013). Hipertensi telah menggeser penyakit menular sebagai penyebab terbesar mortalitas dan morbiditas. Hal ini dibuktikan berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan hipertensi merupakan penyebab kematian di Indonesia sebanyak 25,8% dan sebagian besar 63,2% kasus hipertensi di masyarakat tidak terdiagnosis. Berdasarkan wawancara pada penderita hipertensi (apakah pernah didiagnosis hipertensi dan minum obat hipertensi) dari 7,6 % pasien tahun 2007 menjadi 9,5 % pasien tahun 2013 terjadi peningkatan prevalensi hipertensi. Prevalensi penderita hipertensi di Indonesia tertinggi di Bangka Belitung (30,9%),


(18)

2

diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan Timur (29,6%) dan Jawa Barat (29,4%). Sementara Sumatera Utara memiliki prevalensi cukup tinggi sebesar 24,7 % (Kemenkes RI, 2013).

Penggunaan obat antihipertensi adalah salah satu cara untuk mengobati dan mengatasi penyakit tersebut. Pemilihan antihipertensi ditentukan oleh keadaan klinis pasien, derajat hipertensi dan sifat obat antihipertensi tersebut. Faktor yang perlu diperhatikan pada pemberian obat antihipertensi dari segi klinis pasien adalah keparahan penyakit, usia pasien, derajat hipertensi, gagal ginjal, gangguan fungsi hati, penyakit penyerta, dan penggunaan obat yang rasional (Depkes RI, 2006).

Rasionalitas pengobatan merupakan masalah yang terus terjadi di masyarakat Indonesia yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas. penilaian dari kelayakan suatu pengobatan sulit untuk dievaluasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidaktepatan peresepan terjadi di banyak negara terutama negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Ini telah menjadi perhatian serius sebagai indikator dari kualitas suatu proses pengobatan (Cote, dkk., 2003).

Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa peran apoteker penting untuk mencegah kesalahan pengobatan dengan mengevaluasi pemberian resep yang tidak benar (Sugiarto, dkk., 2012). Suatu penelitian menunjukkan bahwa 59% pasien hipertenssi mengalami ketidakrasionalan pada pengobatannya (Garcao, 2002). Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu dilakukan evaluasi mengenai penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Kota Medan berdasarkan banyaknya kejadia dan kesalahan pengobatan yang berkaitan dengan penggunaan obat-obat antihipertensi.


(19)

3 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana profil penggunaan obat antihipertensi di 4 Puskesmas Kota Medan?

b. Bagaimana kesesuaian penggunaan obat antihipertensi di 4 Puskesmas Kota Medan ?

c. Apakah kesesuaian penggunaan obat antihipertensi pasien mempengaruhi hasil terapi hipertensi di Puskesmas Kota Medan ?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Profil penggunaan obat antihipertensi pada peresepan pasien hipertensi berdasarkan kelas terapi obat.

b. Penggunaan obat antihipertensi tergolong baik pada peresepan pasien hipertensi.

c. Kesesuaian penggunaan obat antihipertensi mempengaruhi hasil terapi hipertensi.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan dalam penetian ini adalah sebagai berikut:


(20)

4

a. Untuk mengetahui profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi.

b. Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi.

c. Untuk mengetahui pengaruh kesesuaian penggunaan obat antihipertensi terhadap hasil terapi hipertensi.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam menentukan strategi terapi hipertensi.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi solusi buat tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan pelayanan kesehatan.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini mengevaluasi kesesuaian penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Kota Medan.Dalam hal ini demografi pasien dan kesesuaian pengobatan adalah variabel bebas. Variabel terikatnya adalah keberhasilan terapi hipertensi yaitu perubahan tekanan darah dan ada tidaknya hasil yang tidak diinginkan. Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.


(21)

5

Parameter - TD naik atau

tetap =

kelompok TD tidak berhasil - TD turun =

kelompok TD berhasil Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Demografi Pasien

• Umur

• Jenis Kelamin

• Tingkat pendidikan

• Jenis Pekerjaan Kesesuaian Pengobatan

Keberhasilan terapi antihipertensi

berdasarkan instrumen MAI


(22)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Kebanyakan pasien hipertensi etiologi patofisiologinya tidak diketahui atau yang dikenal sebagai hipertensi primer (Depkes RI, 2006). Hipertensi merupakan penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal (120/80 mmHg) (Scanlon, 2007). Klasifikasi tekanan darah menurut JNC (Joint National Commitee) VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII (NIH, 2003).

Klasifikasi

Tekanan Sistolik (mmHg)

Tekanan Diastolik (mmHg)

Normal <120 <80

Pre Hipertensi 120-139 80-89

Stage I 140-159 90-99

Stage II ≥160 ≥100

Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013 masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine (EBM), komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi penyakit penderita (James, dkk., 2014).

Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer (essensial) yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol


(23)

7

dan kelompok penderita hipertensi lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus yang dikenal sebagai hipertensi sekunder (non essensial). Banyak faktor penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab penderita hipertensi sekunder dapat diidentifikasi maka kemungkinan dapat disembuhkan secara potensial (Depkes RI, 2006).

2.1.2 Hipertensi primer

Hipertensi primer juga disebut hipertensi essensial atau hipertensi idiopatik (Bowman dan Rand, 1980). Lebih dari 90% kasus merupakan hiprtensi primer. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokonstriktor, resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok, stres emosi, obesitas dan lain-lain (Gunawan, 2007).

2.1.3 Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder meliputi 5-10% kasus hipertensi. Termasuk dalam kelompok ini antara lain hipertensi akibat penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat, obat-obatan dan lain-lain (Gunawan, 2007). Penyakit ginjal merupakan penyebab penyakit hipertensi sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi penyakit lain yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006).


(24)

8 2.2 Patofisiologi Hipertensi

Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab

hipertensi seperti meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik, mungkin

berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial, produksi

berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor, asupan natrium

(garam) berlebihan, tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium, meningkatnya

sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan

aldosteron dan defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan

peptide natriuretik (Depkes RI, 2006).

Gambar 2.1 Patogenesis hipertensi (Dipiro, dkk., 2008)

Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon mineral

kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron

akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol


(25)

9

vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi

peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan

perifer total (Dipiro, dkk., 2008).

2.3 Farmakoterapi Hipertensi

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan adalah <140/90 mmHg untuk pasien dengan tanpa komplikasi, <130/80 mmHg untuk pasien dengan penyakit komplikasi (NIH, 2003). Menurut JNC VIII (2013), target penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi Gambar 2.2 Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi


(26)

10

Pasien hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai tekanan darah target terapi. Penambahan regimen obat dari kelas yang berbeda dimulai apabila penggunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mmHg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia (Depkes RI,2006).

Komplikasi penyakit hipertensi dengan penyakit lain seperti penyakit jantung koroner, stroke, gagal jantung dan infark miokard memiliki alogaritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit (Dipiro, dkk., 2008).


(27)

11 2.4 Obat Antihipertensi

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama dalam pengobatan awal hipertensi, yaitu: Diuretik, penghambat reseptor beta adrenergik (ß-blocker), penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor), Penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium (CaCB) (Gunawan, 2007).

2.4.1 Diuretik

Diuretik dapat digunakan sebagai terapi obat lini pertama untuk hipertensi, kecuali jika terdapat alasan yang memaksa pemilihan agen lain. Diuretik adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan meningkatkan pengeluaran urin (diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Diuretik dibagi menjadi lima golongan obat yaitu:

a. Diuretik tiazid, yaitu obat lini pertama untuk mengobati hipertensi tanpa komplikasi. Semua obat diuretik oral efektif dalam mengobati hipertensi, tetapi tiazid ternyata paling luas digunakan. Diuretik ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+ dan Cl- di tubulus distal. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi lebih lama dibanding diuretik kuat. Obat-obat dari golongan ini adalah klorotiazid, klortalidon, hidroklortiazid, indapamin dan metolazon. b. Diuretik lengkungan (loop diuretic) bekerja segera, bahkan pada pasien

dengan fungsi ginjal yang buruk atau tidak berespon terhadap tiazid atau diuretik lainnya. Diuretik lengkungan dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskuler ginjal dan peningkatan aliran darah. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi ion Na+, K+ dan Cl- di ansa henle dan tubulus distal, mempengaruhi sistem co-transport ion Cl- yang menyebabkan meningkatnya ekskresi air. Obat-obat dari golongan ini adalah bumetanid, asam etakrinik, firosemid dan torsemid.


(28)

12

c. Diuretik hemat kalium, diuretik ini dibagi dua berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu diuretik penghambat aldosteron dan penghambat saluran ion natrium. Aldosteron menstimulasi reabsorpsi natrium dan eksresi kalium. Proses ini dihambat oleh diuretik penghambat aldosteron, yaitu: spironolakton dan eplerenon. Ketika direabsorpsi, natrium akan masuk melalui kanal natrium tetapi hal ini dihambat oleh penghambat saluran natrium, yaitu: triamteren dan amilorid. Obat-obat dari golongan ini adalah amilorid, eplerenon, spironolakton dan triamteren.

d. Diuretik osmotik, yaitu obat yang bekerja pada tiga tempat di nefron ginjal, yakni tubuli proksimal, ansa henle dan duktus koligentes. Golongan obat ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya osmotiknya. Obat-obat dari golongan ini adalah manitol dan urea

e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase, golongan obat ini bekerja pada tubuli proksimal dengan menghambat reabsopsi bikarbonat melalui penghambatan enzim karbonik anhidrase. Enzim ini berfungsi meningkatkan ion hidrogen pada tubulus proksimal yang akan bertukar dengan ion natrium di lumen. Penghambatan enzim ini akan meningkatkan ekskresi natrium, kalium, bikarbonat dan air. Obat dari golongan ini adalah asetazolamid (Harvey, 2009)

2.4.2 Agen-agen penghambat adrenoseptor-β

Penghambat β, saat ini, direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk hipertensi ketika penyakit penyerta timbul misalnya, pada gagal jantung. Mekanisme penghambat β adalah menghambat reseptor β1 pada otot jantung sehingga secara langsung akan menurunkan denyut jantung. Penghambat β


(29)

13

dibedakan menjadi penghambat β selektif dan non selektif. Penghambat beta selektif hanya memblok reseptor β1 dan tidak memblok reseptor β2. Penghambat beta non selektif memblok kedua reseptor baik β1 maupun β2. Adrenoreseptor β1 dan β2 terdistribusi di seluruh tubuh, tetapi terkonsentrasi pada organ-organ dan jaringan tertentu. Reseptor β1 lebih banyak pada jantung dan ginjal, dan reseptor β2 lebih banyak ditemukan pada paru-paru, liver, pankreas, dan otot halus arteri. Perangsangan reseptor β1 menaikkan denyut jantung, kontraktilitas, dan pelepasan renin. Perangsangan reseptor β2 menghasilkan bronkodilatasi dan vasodilatasi. Atenolol dan metoprolol adalah penyekat β yang kardioselektif; jadi lebih aman daripada penyekat β yang nonselektif seperti propanolol pada pasien asma, PPOK, penyakit arteri perifer, dan diabetes (Hervey, 2009).

Penggunaan β blocker non selektif dapat menyebabkan bronkospasme pada penderita asma karena pada saluran pernafasan terdapat reseptor β2 yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada penderita diabetes, β blocker akan meningkatkan kadar glukosa darah melalui penghambatan reseptor β2 di hati. Penghambatan reseptor ini akan menstimulasi proses glukoneogenesis (Fauci, dkk., 2008).

2.4.3 Penghambat ACE

Penghambat enzim pengonversi-angiotensin (angiotensin-converting enzyme/ACE), seperti enalapril atau lisinopril, direkomendasikan ketika agen lini pertama yang dipilih (diuretik atau penghambat- β) dikontraindikasikan atau tidak efektif. Mekanisme penghambat ACE adalah menurunkan produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis melalui penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh arteri akibat berkurangnya


(30)

14

jumlah angiotensin II di dalam darah. Golongan obat ini efektif digunakan sebagai terapi tunggal maupun terapi kombinasi dengan golongan diuretik, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium. Efek samping dari golongan obat ini adalah gangguan fungsi ginjal, batuk kering, dan dapat menyebabkan hiperkalemia pada pasien dengan gangguan ginjal kronis (Harvey, 2009).

2.4.4 Antagonis reseptor-angiotensin II (ARB)

Penghambat reseptor-angiotensin II (angiotensin II-receptor

blockers/ARB) merupakan alternatif penghambat ACE. Obat-obat ini menghambat

ikatan antara angiotensin II dengan reseptornya (Harvey, 2009). Golongan obat ini menghambat secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang terdapat di jaringan. AT1 memediasi efek angiotensin II yaitu vasokontriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan kontriksi arteriol eferen glomerulus. Penghambat reseptor angiotensin tidak menghambat reseptor angiotensin II tipe 2 (AT2). Jadi, efek yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh selama penggunaan obat ini. ARB mempunyai efek samping paling rendah dibandingkan dengan ACEi karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan batuk kering seperti ACEi. Sama halnya dengan ACEi, ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi ortostatik (Depkes RI, 2006).

2.4.5 Penghambat kanal kalsium

Antagonis kalsium bekerja menurunkan tahanan vaskular dan menurunkan kalsium intraseluler. Ion kalsium di jantung mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Kelebihan ion ini akan menyebabkan kontraksi otot jantung meningkat


(31)

15

sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Antagonis kalsium bekerja menghambat ion kalsium di ekstrasel sehingga kontraktilitas jantung kembali normal. Obat-obat yang termasuk dalam golongan ini adalah verapamil, diltiazem, nifedipin dan amlodipin. Penggunaan tunggal maupun kombinasi, obat ini efektif menurunkan tekanan darah. Untuk terapi hipertensi golongan obat ini sering dikombinasikan dengan ACEi, penyekat beta, dan penyekat alfa (Fauci, dkk., 2008).

2.5 Rasionalitas Penggunaan Obat

Penggunaan obat yang rasional adalah penggunaan obat yang sesuai dengan kebutuhan klinis pasien dalam jumlah dan untuk masa yang memadai dengan biaya yang terendah. Bila pasien menerima obat atau menggunakan obat tidak sebagaimana dinyatakan dalam definisi di atas, itulah pengobatan yang tidak rasional. Dari sisi obatnya, dikenal istilah misuse yang artinya adalah penggunaan obat yang tidak bijak. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat kita lihat dalam bentuk peresepan obat oleh dokter. Berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan dokter dalam meresepkan obat dapat dilihat dalam gambar 2.4.

Gambar 2.4 Berbagai faktor yang menentukan keputusan dokter dalam meresepkan obat (WHO, 2006).


(32)

16

Ketidakrasionalan penggunaan obat juga dapat menyebabkan medication

error. Medication error adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan yang

masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah (Cohean, dkk., 1991). Kejadian medication error terdapat empat fase, salah satunya adalah fase prescribing (penulisan resep) (Ariani, 2005). Hal ini berkaitan dengan faktor yang menentukan keputusan dokter dalam meresepkan obat. Penggunaan obat yang tidak rasional dapat kita lihat dalam bentuk pemberian dosis yang berlebihan (overprescribing) atau tidak memadai (underprescribing), penggunaan banyak jenis obat yang sebenarnya tidak diperlukan (polifarmasi), menggunakan obat yang lebih toksik padahal ada yang lebih aman, penggunaan obat yang tidak sesuai dengan rutenya dan memberikan beberapa obat yang berinteraksi. Bentuk lain ketidakrasionalan pengobatan adalah extravagant prescribing, kebiasaan meresepkan obat mahal padahal tersedia obat yang sama efektifnya dan lebih murah, baik dalam kelompok yang sama atau berbeda kelompok (Sadikin, 2011). 2.6 Medication Appropriateness Index

2.6.1 Definisi Medication Appropriateness Index

MAI (Medication Appropriateness Index) adalah suatu instrumen yang digunakan untuk mengukur kesesuaian resep dengan menggunakan kriteria sebagai alat pengukur dari setiap masing-masing obat dalam resep. Untuk setiap kriteria memiliki tingkatan evaluasi apakah obat sesuai, sedikit sesuai atau tidak sesuai sama sekali. Para pengembang instrumen MAI mengidentifikasi area penting dari peresepan obat yang digunakan untuk menciptakan sebuah alat yang bisa mengetahui berbagai efek lain dari peresepan terapi obat, diterima atau


(33)

17

tidaknya suatu obat dan kondisi klinik pasien. Dari berbagai informasi yang dikumpulkan para pengembang menciptakan sepuluh kriteria MAI, yang disajikan dalam bentuk instrumen pertanyaan (Hanlon, dkk., 1992).

2.6.2 Klasifikasi Medication Appropriateness Index

Hanlon, dkk., (1992) mengklasifikasikan MAI menjadi 10 kriteria :

a. Indikasi obat, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tetapi pasien tidak mendapatkan obat untuk indikasi tersebut.

b. Efektivitas, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi mendapatkan obat yang kurang efektif. c. Dosis, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan

obat yang benar tetapi dosis obat tersebut tidak tepat.

d. Petunjuk yang benar, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan mendapatkan obat yang benar tetapi pasien tidak mendapatkan instruksi penggunaan obat yang benar dari tenaga kesehatan.

e. Penggunaan yang benar, keadaan dimana pasien mempunya kondisi medis dan dan mendapatkan obat yang benar tetapi tidak menjalankan instruksi penggunaan obat yang benar dari tenaga kesehatan.

f. Interaksi obat-obat, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat yang benar tetapi mendapatkan obat lain yang memiliki potensi terjadinya interaksi obat dengan obat.

g. Interaksi obat-penyakit, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis dan menerima obat tetapi mendapatkan obat yang berpotensi menyebabkan interaksi dengan penyakit lain yang diderita pasien.


(34)

18

h. Duplikasi, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi menerima lebih dari satu obat dengan jenis, dosis dan cara penggunaan yang sama secara bersamaan.

i. Durasi, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi menerima obat dengan frekuensi yang salah.

j. Biaya, keadaan dimana pasien mempunyai kondisi medis tetapi pasien tidak mendapatkan obat dikarnakan kendala biaya.

Adapun kasus dari masing-masing kriteria MAI memiliki bobot poin dapat

dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Bobot yang diberikan pada masing-masing kriteria MAI

Kriteria Bobot ketidaksesuaian yang diberikan

1. Apakah indikasi untuk pasien sudah benar? 3 2. Apakah obat sudah efektif dengan kondisi

pasien? 3

3. Apakah dosis sudah sesuai? 2

4. Apakah sudah diberi petunjuk yang benar

dari tenaga kesehatan? 2

5. Apakah sudah dipraktikan dengan benar

oleh pasien? 1

6. Apakah ada potensi terjadi interaksi obat–

obat? 2

7. Apakah ada potensi terjadi interaksi antara

obat–penyakit? 2

8. Adakah terjadi duplikasi obat ? 1

9. Apakah durasi pemakaian obat sudah

sesuai? 1

10. Apakah biaya obat dapat dipenuhi oleh

pasien? 1


(35)

19 2.7 Rekam Medis

Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien rawat jalan sekurang-kurangnya harus membuat data mengenai :

a. Identitas pasien b. Tanggal dan waktu

c. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit

d. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik e. Diagnosis

f. Rencana penatalaksanaan g. Pengobatan dan/atau tindakan

h. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien

i. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik j. Persetujuan tindakan bila diperlukan


(36)

20 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian survei deskriptif, yang dilakukan secara prospektif. Data dalam penelitian ini diperoleh dari data primer berupa data yang diperoleh langsung melalui pengisian kuesioner.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian adalah pasien penderita hipertensi yang berobat jalan ke Puskesmas di Kota Medan. Ada empat (4) Puskesmas yang mewakili dari 39 Puskesmas Kota Medan dipilih berdasarkan jumlah kunjungan pasien terbanyak pada 6 bulan sebelumnya.

3.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien penderita hipertensi yang melakukan pengobatan di Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Teladan, Puskesmas Darussalam, dan Puskesmas Helvetia pada periode September-November 2014 yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut:

a. Pasien hipertensi yang menggunakan terapi antihipertensi b. Pasien yang bersedia secara suka rela menjadi responden

Kriteria ekslusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek tidak dapat diikutsertakan. Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

a. Pasien yang tidak mengikuti penelitian hingga selesai b. Pasien yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik


(37)

21 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Teladan, Puskesmas Darussalam dan Puskesmas Helvetia pada bulan September-November 2014.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Sumber data penelitian adalah informasi yang tertulis dalam kuesioner dan rekam medik pasien hipertensi yang berobat di Puskesmas Medan Deli, Puskesmas Darussalam, Puskesmas Helvetia, Puskesmas Teladan Medan. Kuesioner terdiri dari 3 bagian yaitu :

a. Data demografi pasien berupa biodata pasien.

b. Penilaian kesesuaian pengobatan hipertensi menggunakan instrumen MAI (Medication Appropriatness Index) dari Hanlon, dkk., (1992) adalah alat untuk mengukur kerasionalan pengobatan dengan menggunakan penilaian berdasarkan 10 kriteria yaitu indikasi, efektivitas, dosis, petunjuk yang benar, penggunaan yang benar, interaksi obat-obat, interaksi obat-penyakit, duplikasi, durasi terapi, dan biaya. Pada setiap kriteria akan di beri poin jika terjadi kesalahan pada pengobatan, dari setiap kriteria memiliki bobot skor yang berbeda sebagai berikut :

1. pada indikasi dan efektivitas obat di beri poin 3.

2. dosis, petunjuk yang benar, interaksi obat – obat, dan interaksi obat – penyakit dari obat di beri poin 2.


(38)

22

Total poin seluruh kriteria adalah 18 poin sehingga semakin tinggi jumlah poin tersebut maka semakin tidak rasional/tidak sesuai pengobatan yang diberikan (Lampiran 2.)

c. Data klinis berupa tekanan darah pasien hipertensi. 3.5 Prosedur Kerja

3.6 Tahap-Tahap Penelitian

Pengisian kuesioner

Meminta izin pihak dinas kesehatan untuk melakukan penelitian di Puskesmas dan mengurus ethical clearance.

Analisis data

Pasien diminta kesediaannya mengisi kuesioner dan dilakukan penilaian.

Meminta izin kepada Dekan Fakultas Farmasi USU untuk melakukan penelitian ke Puskesmas Medan.

Pengelompokan data berdasarkan kriteria inklusi.

Data demografi Data pengobatan pasien

Dua minggu pengobatan Kunjungan ke Puskesmas

Data Klinis

Analisis data menggunakan instrumen MAI Data Klinis


(39)

23 3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Data kuantitatif disajikan dalam bentuk tabel sedangkan data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian. Data dianalisa menggunakan program SPSS 17. Data terdistribusi normal memakai uji parametrik dan data tidak terdistribusi normal memakai uji non parametrik.

3.8 Defenisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Defenisi operasional

Variabel Definisi

Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Parameter

Umur Total lama waktu hidup subjek

Observasi Lembar Kuesioner

a. 40 - 59 tahun b. 60 - 79 tahun c. 80 - 89 tahun Jenis

Kelamin

Gender dari subjek

Observasi Lembar Kuesioner a. laki-laki b. perempuan Pendidikan Terakhir Jenjang pendidikan terakhir dari subjek

Observasi Lembar Kuesioner a. SD b. SMP c. SMA d. S1 Jenis Pekerjaan Aktifitas mata pencarian subjek

Observasi Lembar Kuesioner

a. pegawai swasta b. ibu rumah tangga c. wiraswasta d. lain-lain MAI Pengukuran

kesesuaian penggunaan obat dengan 10 keriteria MAI

Observasi Rekam Medik

a. rendah (0 - 6) b. sedang (6 - 12) c. tinggi (12 - 18)

Penurunan tekanan darah Tekanan darah 2 minggu sebelum dan sesudah

Observasi Lembar Kuesioner

a. berhasil (TD turun) b. tidak berhasil (TD


(40)

24 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Demografi Pasien

Berdasarkan sampel yang diambil dari 63 pasien hipertensi Kota Medan, diperoleh gambaran umum karakteristik subjek yang diteliti seperti ditunjukkan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Demografi subjek penelitian

Demografi pasien Jumlah (Orang) Persentase (%) Usia

a. 40 - 59 tahun b. 60 - 79 tahun c. 80 - 89 tahun

27 34 2 43 54 3

Total 63 100

Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 22 41 35 65

Total 63 100

Pendidikan a. SD b. SMP c. SMA d. S1 33 11 14 5 52 18 22 8

Total 63 100

Pekerjaan

a. Pegawai Swasta b. Ibu rumah Tangga c. Wiraswasta d. Lainnya 2 36 19 6 4 57 30 9

Total 63 100

Berdasarkan Tabel 4.1 menunjukkan bahwa frekuensi pasien hipertensi paling banyak terjadi pada kelompok usia 60-79 tahun sebanyak 34 (54%) pasien, diikuti dengan pasien pada kelompok usia 40-59 tahun sebanyak 27 (43%) pasien. Penelitian ini sesuai dengan data hasil penelitian Framingham yang menunjukkan bahwa 27% orang di atas usia 60 bertekanan darah lebih tinggi dari 140/90, dan


(41)

25

20% dari mereka menderita hipertensi dengan angka 160/100 (Kowalski, 2010). Hal tersebut disebabkan berubahnya struktur pembuluh darah besar seiring bertambahnya usia seseorang, sehingga dinding pembuluh darah menjadi kaku dan lumen menjadi lebih sempit yang menyebabkan meningkatnya tekanan darah sistolik (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Berdasarkan jenis kelamin, pasien hipertensi yang terbanyak adalah perempuan sebanyak 41 (65%) pasien, sedangkan laki-laki hanya 22 (35%) pasien. Laki-laki sebenarnya memiliki resiko lebih besar menderita hipertensi dibanding dengan perempuan, karena tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Namun, resiko hipertensi pada perempuan akan meningkat setelah melalui fase menopause, kondisi ini berkaitan dengan perubahan sistem hormonal (Julius, 2008). Sebuah penelitian yang dilakukan di sebuah Rumah Sakit di Padang juga menunjukkan bahwa jumlah pasien hipertensi perempuan lebih banyak dari laki-laki, namun secara statistik tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (Fitrianto, dkk., 2014).

Berdasarkan tingkat pendidikan, pasien hipertensi yang terbanyak adalah tamatan SD sebanyak 33 (52%) pasien. Berdasarkan pekerjaan, yang paling banyak adalah ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 36 (30%) pasien. Hasil penelitian juga mengatakan bahwa kelompok pendidikan lebih rendah dan kelompok tidak bekerja adalah kelompok paling tinggi prevalensinya menderita hipertensi diduga akibat ketidaktahuan pasien tentang pola makan yang baik (Kemenkes, 2013). 4.1.1 Data obat yang digunakan


(42)

26

Berdasarkan rekam medik yang diambil dari 63 pasien hipertensi di Kota Medan. diperoleh gambaran obat antihipertensi yang digunakan pasien dalam terapi hipertensi data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Data obat antihipertensi yang digunakan

Jenis Obat Jumlah (Obat) Persentase (%) a. Amlodipin b. Kaptopril c. HCT d. Furosemid e. Nipedipin f. Telmisartan 40 37 3 2 1 1 48 44 3,5 2,3 1,1 1,1

Total 84 100

Berdasarkan kelompok obat hipertensi yang terbanyak adalah amlodipin (Calcium Chanel Blockers) sebanyak 40 (48%) obat diikuti oleh Kaptopril (ACE inhibitor) sebanyak 37 (44%) obat. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Manado yang menyatakan obat-obat yang paling banyak diberikan adalah kaptopril dan amlodipin (Rumagit, dkk., 2012).

4.2 Data Klinis

Pengukuran karateristik klinis dilakukan terhadap pasien hipertensi yang turut serta dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini pengukuran dilakukan pada tekanan darah sistolik, karena telah terbukti menjadi indikator yang lebih tepat dalam menunjukkan risiko kardiovaskular dibandingkan dengan tekanan darah diastolik pada pasien hipertensi. Oleh sebab itu, pada penelitian ini tekanan darah sistolik dijadikan sebagai indikator terapi yang dinilai. Selain itu, setelah target tekanan darah sistolik tercapai, sebagian besar pasien hipertensi juga akan mencapai target tekanan darah diastolik (McEvoy, 2004).


(43)

27

Mayoritas pasien yang terlibat pada penelitian ini berada pada kategori hipertensi stage II sebanyak 32 (50.8 %) pasien, kemudian diikuti hipertensi stage I sebanyak 24 (38.1%) pasien dan prehipertensi 6 (9.5%) pasien dengan rata-rata tekanan darah sistolik yang diperoleh adalah 160,95 mmHg. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Karateristik klinis pasien hipertensi berdasarkan tekanan darah sistol

No Kategori hipertensi Jumlah (orang) %

1 2 3

Prehipertensi (120-139/80-89 mmHg) Hipertensi stage I (140-159/90-99 mmHg) Hipertensi stage II (≥160/≥100 mmHg)

6 24 32 10% 39% 51%

Jumlah 63 100%

4.2.2 Kelompok perubahan tekanan darah

Berdasarkan perubahan tekanan darah sistolik selama 2 minggu setelah pemberian obat diperoleh 2 kelompok yaitu, kelompok berhasil yang mana terjadi penurunan tekanan darah dan kelompok tidak berhasil yang mana terjadi peningkatan atau tidak ada perubahan tekanan darah. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Distribusi kelompok pasien hipertensi berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik

No Kelompok tekanan darah Jumlah (orang) Persentase 1 2 Berhasil Tidak berhasil 33 30 52,38% 47,61%

Jumlah 63 100%

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas pasien mengalami penurunan tekanan darah setelah 2 minggu pemberian obat (kelompok berhasil) yaitu sebanyak 33 (52,38%) pasien, manakala 30 (47,61%) pasien mengalami peningkatan atau tidak ada perubahan tekanan darah sistolik (kelompok tidak berhasil).


(44)

28

4.2.3 Hubungan demografi pasien dengan tekanan darah sistolik akhir Berdasarkan analisis statistik yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara setiap variabel demografi pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik akhir pasien dapat dilihat bahwa tidak terdapat perubahan yang signifikan tekanan darah akhir pada setiap variabel yang dianalisis. Data lengkap dapat dilihat padaTabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil analisis hubungan demografi pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik akhir

Demografi Jumlah

Rata-rata Tekanan Darah Sistolik Akhir Uji Statistik Nilai signifikansi Umur

a. 40 - 59 tahun b. 60 - 79

tahun c. 80 - 89

tahun 27 34 2 151,41 154,44 115,00 Kruskall –

Wallis 0,088

Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 22 41 151,27 151,71 Mann - Whitney Test 0,771 Pendidikan a. SD b. SMP c. SMA d. SI 33 11 14 5 154,00 145,64 149,29 154,80 Oneway Anova 0,665 Pekerjaan

a. Pegawai swasta b. Ibu rumah tangga c. Wiraswasta d. Lain-lain 2 36 19 6 130 153,61 152 145 Kruskall -Wallis 0,329

Pada Tabel 4.5 dapat dilihat berdasarkan umur tekanan darah akhir pada pasien yang berusia 60 - 79 tahun lebih tinggi dari pada pasien usia lain dan berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan tekanan darah


(45)

29

akhir pada ketiga kelompok usia tersebut. Hal ini disebabkan rata-rata pasien telah mengalami penurunan tekanan darah sehingga faktor yang menyebabkan meningkatnya tekanan darah seiring dengan meningkatnya usia tidak lagi terlihat. Berdasarkan jenis kelamin tekanan darah akhir perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki tetapi secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat bahwa tekanan darah akhir pada pasien yang berpendidikan SD dan Sarjana masih lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain dan tekanan darah akhir yang paling rendah pada pasien yang berpendidikan SMA. Tetapi perbedaan tekanan darah akhir berdasarkan tingkat pendidikan tidak berbeda secara signifikan ,manakala berdasarkan pekerjaan juga dapat dilihat bahwa tekanan darah akhir pada pasien ibu rumah tangga lebih tinggi dari pada yang lainnya dan tekanan darah akhir yang paling rendah pada pasien yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta tetapi secara keseluruhan tidak terdapat perbedaaan yang signifikan terhadap tekanan darah pasien. Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa semua jenis demografi tidak berpengaruh dalam terapi pengobatan.

4.3 Pengukuran Kesesuaian Pengobatan

Penggunaan obat dikatakan sesuai apabila pasien menerima obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang cukup dan dengan harga yang disanggupi oleh pasien (Kemenkes RI, 2011), dalam penelitian ini peneliti mencoba mengukur kesesuaian pengobatan pasien hipertensi menggunakan instrumen MAI.


(46)

30 4.3.1 Pengelompokan MAI

Berdasarkan penelitian ini hasil pengukuran kesesesuaian pengobatan hipertensi dengan menggunakan instrumen MAI adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6 Kelompok pasien hipertensi berdasarkan MAI

No Kelompok MAI Jumlah (pasien) Persentase

1 2 3

MAI rendah (Skor 0-6) MAI sedang (Skor 7-12) MAI tinggi (Skor 13-18)

45 18 0 71.5% 28.5% 0%

Jumlah 63 100%

Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 63 rekam medik pasien hipertensi yang dianalisis diperoleh bahwa mayoritas pasien telah menerima pengobatan yang telah memenuhi standar yaitu sebanyak 45 (71,42%) pasien dengan rekam medik pasien yang mempunyai nilai MAI yang rendah, 18 (28.57%) pasien mempunyai nilai MAI yang sedang dan tidak satupun pasien mempunyai nilai MAI yang tinggi.

4.3.2 Gambaran MAI pasien

Berdasarkan 84 obat antihipertensi yang digunakan analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui gambaran kriteria MAI pada setiap pengobatan hipertensi yang dilakukan di puskesmas Kota Medan. Data lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Total kasus pengobatan yang tidak sesuai berdasarkan MAI No Kategori MAI

Obat dengan ketidaksesuaian kriteria MAI (n = Jumlah kasus)

N %

1 2 3 4 5 6 7 8 Indikasi Obat efektivitas dosis

petunjuk yang benar penggunaan yang benar interaksi obat-obat Interaksi obat-penyakit Duplikasi 0 21 28 20 0 33 0 0 0% 20.65% 27.5% 19.6% 0% 32.3% 0% 0%


(47)

31 9

10

Durasi terapi Biaya

0 0

0% 0%

Jumlah 102 100%

Berdasarkan penelitian ini diperoleh dari 102 kasus ketidaksesuaian pengobatan antihipertensi berdasarkan kriteria MAI yang di gunakan oleh 63 pasien hipertensi diperoleh bahwa interaksi obat-obat adalah kriteria yang paling tinggi sebanyak 33 (32,3%) kasus diikuti oleh efektifitas sebanyak 21 (20,65%) kasus, dosis sebanyak 28 (27,5%) kasus, petunjuk yang benar sebanyak 20 (19,6%) kasus, dengan penjelasan lengkap sebagai berikut.

4.3.2.1 Kesesuaian indikasi obat

Ketidaksesuaian yang sering terjadi indikasi pemberian obat antihipertensi dimana pasien yang didiagnosa menderita hipertensi stage I pada awal terapi diberikan kombinasi obat dimana seharusnya diberikan obat tunggal (Gumi, dkk., 2013). Tetapi hal ini tidak ditemukan didalam penelitian ini.

4.3.2.2 Kesesuaian efektivitas obat

Berdasarkan hasil penelitian ini didapat sebanyak 21 (20.65%) kasus ketidaksesuaian efektivitas penggunaan obat antihipertensi. Kasus yang terjadi berupa pasien yang menderita hipertensi stage II hanya diberikan 1 macam obat antihipertensi yang seharusnya berupa kombinasi dua obat. Terapi dengan lebih dari satu obat akan meningkatkan kemungkinan untuk mencapai tujuan tekanan darah secara lebih cepat. Penggunaan kombinasi obat sering menghasilkan penurunan tekanan darah yang lebih besar pada dosis yang lebih rendah


(48)

32

dibandingkan ketika obat digunakan secara tunggal, sehingga kemungkinan efek samping yang terjadi lebih kecil (Chobanian, dkk., 2003).

4.3.2.3 Kesesuaian dosis

Berdasarkan hasil penelitian ini didapat sebanyak 28 (27,5%) kasus ketidaksesuaian dosis penggunaan obat antihipertensi. Kasus yang terjadi adalah pemberian obat kaptopril yang kurang memberikan efek dimana pada kasus ini pasien yang menerima dosis awal tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah 2 minggu seharusnya mendapatkan peningkatan dosis terapi obat antihipertensi (Depkes RI, 2006). Jika tidak juga terdapat penurunan atau bahkan terjadi peningkatan tekanan darah disarankan agar diberi terapi kombinasi obat antihipertensi (NIH, 2007).

4.3.2.4 Petunjuk yang benar

Berdasarkan hasil penelitian ini didapat sebanyak 20 (19,6%) kasus ketidaksesuaian pemberian petunjuk yang benar. Kasus yang terjadi berupa tidak adanya pemberitahuan tentang kapan waktu menggunakan obat dan pemberian petunjuk yang benar kepada pasien (misalnya pemberitahuan mengenai waktu penggunaan obat yang diberikan satu kali sehari), pada sejumlah obat tertentu harus ditambahkan petunjuk khusus (Hanlon, dkk., 1992).

4.3.2.5 Penggunaan yang benar

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak ditemukan ketidaksesuaian dalam penggunaan obat pada pasien hipertensi. Penggunaan obat berkaitan terhadap petunjuk dari tenaga kesehatan untuk menjalankan terapi hipertensi dengan benar untuk mendapatkan hasil terapi yang diinginkan (Hanlon, dkk., 1992).


(49)

33 4.3.2.6 Interaksi obat-obat

Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan potensi interaksi obat yang dijelaskan pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8 Jenis obat dan interaksi obat-obat

Obat Tingkat Keparahan Interaksi

Jumlah Kasus % Kaptopril - NSAID (As.mefanamat,

diklofenak, piroksikam) Moderate 6 18,18 Kaptopril – Furosemid Moderate 2 6,06 Kaptopril – Alopurinol Major 6 18,18 Kaptopril – Antasida Minor 1 3,03 Kaptopril – Glibenklamid Moderate 5 15,15 Amlodipin – NSAID (As.mefanamat,

piroxicam, diklofenak)

Moderate 6 18,18

Amlodipin – Simvastatin Major 2 6,06 Amlodipin – Simetidin Moderate 2 6,06 Amlodipin – Nipedipin Moderate 1 3,03 Hidroklortiazid – Metformin Moderate 2 6,06

Jumlah 33 100

Berdasarkan Tabel 4.8 didapat bahwa potensi interaksi obat terbanyak adalah Kaptopril-Alopurinol, diikuti Kaptopril-NSAID dan Amlodipin-NSAID dengan penjelasan sebagai berikut.

Potensi interaksi obat yang terjadi antara Kaptopril dan Alopurinol adalah sebanyak 6 (18,18%) kasus. Mekanisme terjadinya interaksi tersebut belum diketahui dalam studi klinis Alopurinol dan Kaptopril masing-masing dapat menyebabkan reaksi hipersensitif yang besar. Pemantauan respon terapi sangat diperlukan pada pasien geriatrik. Pasien diajurkan untuk segera menghentikan penggunaan obat ini jika terjadi reaksi alergi seperti pembengkakan wajah, bibir atau lidah, ruam dan lainnya. Interaksi ini dikategorikan serius karena dapat mengakibatkan sindrom stevens-johnson walaupun sangat jarang terjadi (Anonim1, 2014).


(50)

34

Interaksi obat juga ditemukan antara kaptopril dan golongan NSAID sebanyak 6 (18,18%) kasus. Jika golongan obat Nonsteroidal anti-inflammatory

drugs (NSAIDs) dan kaptopril di berikan secara bersamaan secara oral dapat

melemahkan efek antihipertensi dengan mekanisme antagonis farmakodinamik terhadap ACE inhibitor (Anonim2, 2014).

Interaksi obat yang lain terjadi antara Amlodipin dan golongan NSAID sebanyak 6 (18,18%) kasus sedikit data yang menunjukan bahwa beberapa inhibitor siklooksigenase dapat melemahkan efek antihipertensi dari beberapa

calcium channel blockers. Mekanisme yang terjadi mungkin terikat dengan

perubahan tonus pembuluh darah yang bergantung pada prostasiklin dan prostanoid vasodilator lainnya. Ketika NSAID ditambahkan pada regimen pengobatan seorang pasien yang sudah menggunakan calcium channel blocker, peningkatan tekanan darah dapat terjadi sehingga menyebabkan resiko hipotensi dapat terjadi ketika NSAID dihilangkan dari regimen (Anonim3, 2014).

Potensi interaksi obat juga di temukan antara Amlodipin dan Simvastatin sebanyak 2 (6,06%) kasus. Jika amlodipin dan simvastatin diberikan secara bersamaan dapat meningkatkan kadar simvastatin dalam darah yang menyebabkan resiko kerusakan pada hati dan kemungkinan dapat menyebabkan rhabdomyolysis walaupun sangat langka terjadi. Pasien dianjurkan untuk menghentikan penggunaan obat ini. Hubungi segera dokter jika mengalami demam dan perubahan warna urin menjadi lebih gelap (Anonim4, 2014).


(51)

35

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak ditemukan interaksi obat dengan penyakit pada pasien hipertensi, berdasarkan penelitian Gormer (2007) mengatakan bahwa kebanyakan interaksi antihipertensi dengan penyakit komplikasi, salah satu contohnya ginjal. Obat antihipertensi yang berinteraksi dengan penyakit tersebut adalah golongan ACEi dikarenakan dapat menurunkan atau menghilangkan filtrasi glomerular dan menyebabkan kegagalan ginjal.

4.3.2.8 Duplikasi

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak ditemukan duplikasi pemberian obat pada pasien hipertensi. Terjadinya duplikasi sering terjadi karena pasien dengan penyakit hipertensi yang berobat ke puskesmas sering berobat lagi ke beberapa poli seperti poli ginjal dan poli kardio, kedua poli tersebut sering meresepkan obat yang sama dengan dosis yang sama atau berbeda atau dengan nama paten yang berbeda (Depkes RI, 2006).

4.3.2.9 Durasi

Berdasarkan hasil penelitian ini juga tidak ditemukan ketidaksesuaian pada jangka waktu pemberian obat yang salah pada pasien hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang memerlukan pengobatan waktu jangka panjang. Lamanya pengobatan ini bertujuan mengendalikan tekanan darah dengan maksud mencegah komplikasi sehingga pengobatan ini digunakan seumur hidup (Depkes RI, 2006).

4.3.2.10 Biaya

Berdasarkan hasil penelitian ini tidak ditemukan ketidaksesuaian pada biaya pasien hipertensi. Seperti diketahui, mayoritas pasien yang ikut serta dalam


(52)

36

penelitian ini merupakan pasien yang turut serta dalam sistem kesehatan BPJS sehingga dalam penelitian ini tidak terdapat kendala.

4.4 Hubungan Perubahan Tekanan Darah Sistol Pasien Hipertensi dengan MAI

Hubungan perubahan tekanan darah sistol pasien hipertensi dengan MAI dapat diketahui secara statistik dengan menggunakan uji t tes. Hasilnya dapat dilihat padaTabel 4.9.

Tabel 4.9 Hasil analisis hubungan perubahan tekanan darah dengan MAI Kelompok perubahan

tekanan darah Jumlah

Rata-rata

MAI Nilai Signifikansi a.Berhasil

b.Tidak berhasil

33 30

1,682

4,500 0,000

Berdasarkan penelitian ini didapat nilai mean MAI masing masing kelompok tekanan darah yang turun (berhasil) 33 pasien adalah sebesar 1,682 dan kelompok tekanan darah yang naik (tidak berhasil) 30 pasien sebesar 4,50 dengan nilai signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan pada hasil terapi dari kedua kelompok yang menunjukkan adanya pengaruh variabel kesesuaian terapi dengan hasil terapi. Hasil penelitian yang mengukur kerasionalan pengobatan hipertensi terhadap hasil terapi dilakukan di RSUD DR Moewardi Surakarta yang memperoleh hasil evaluasi pengobatan berdasarkan tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat dan tepat dosis yang secara keseluruhan memenuhi kerasionalan dan mencapai target penurunan tekanan darah sistol dan diastol (Sari, 2014).


(53)

37 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. Berdasarkan hasil penelitian obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah amlodipin 40 (48%) obat dan kaptopril 37 (44%) obat.

b. Evaluasi kesesuaian pengobatan pada pasien hipertensi di Puskesmas Kota Medan adalah baik. Karena lebih dari 50 % pasien menerima pengobatan dengan nilai MAI rendah.

c. Berdasarkan hasil kesesuaian penggunaan obat antihipertensi yang mempengaruhi hasil terapi dimana pasien yang mengalami tekanan darah menurun (positif) mempunyai nilai MAI rendah dibandingkan mereka yang mengalami kenaikan atau tanpa perubahan tekanan darah setelah pemberian obat.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk:

a. Untuk meminimalisir potensi terjadinya interaksi obat, diharapkan dokter menulis resep secara rasional.

b. diharapkan kerja sama tenaga kesehatan dan apoteker dalam hal peresepan obat agar peresepan obat yang rasional dapat dicapai sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat..


(54)

38

DAFTAR PUSTAKA

Anonima .(2014). Drug Interactions Checker. Dikutip dari: http://www.drugs.com/drug-interactions/allopurinol-with-captopril-127-0-493-0.html. Diakses pada 3 Desember 2014.

Anonimb .(2014). Drug Interactions Checker. Dikutip dari: http://www.drugs.com/drug-interactions/captopril-with-mefenamic-acid-493-0-1545-0.html. Diakses pada 3 Desember 2014.

Anonimc .(2014). Drug Interactions Checker. Dikutip dari:

http://www.drugs.com/drug-interactions/amlodipine-with-mefenamic-acid-172-0-1545-0.html. Diakses pada 3 Desember 2014.

Anonimd .(2014). Drug Interactions Checker. Dikutip dari:

http://www.drugs.com/drug-interactions/amlodipine-with-simvastatin-172-0-2067-0.html. Diakses pada 3 Desember 2014.

Ariani, N.W. 2005. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Resep Dokter Anak di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta Bagian Barat Tahun 2003. Skripsi Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Halaman 4.

Baharudin, Kabo, P., Suwandi, D. (2013). Perbandingan Efektivitas dan Efek Samping Obat Anti Hipertensi Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pasien Hipertensi. Makassar: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Halaman 1.

Bowman, W.C., dan Rand, M.J. (1980). Textbook of Pharmacology. Oxford: Blackwell Scientific Publications. Halaman 23.30-32

Chobanian, A.V.,

Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 42(6): 1206–1252.

Cohean, M.R., Basse., Myers. (1991). Causes of Medication Error, in: Cohean. M.R., (Ed), Medication Error, American Pharmaceutical Association. Washington, DC. Halaman. 230-240.

Cote, I., Farris, K., Olson, K., Wiens, C., dan Dieleman, S. (2003). Assessing the Usefulness of the Medication Appropriateness Index in a Community Setting. Canada: Institute of Health Economics. Halaman 2.

Departemen Kesehatan, R.I. (2006). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan . Halaman 12, 46-47.


(55)

39

Dipiro, T.J., Talbert,L.R., Yee, C.G., Matzke, R.G., Wells, G.B., dan Posey, M.L. (2008). Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: McGraw-Hills Companies. Halaman. 141-142.

Fauci, S.A., Kasper, L.D., Longo, L.D., Braunwald, E., Hauser, L.S., Jameson, L.J., dan Loscalzo, J. (2008). Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ketujuh belas. New York: McGraw-Hills Company. Halaman 1403.

Fitrianto, H., Azmi, S., dan Kadri, H. (2014). Penggunaan Obat Antihipertensi pada Pasien Hipertensi Esensial di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUP DR. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 3(1): 45-48.

Garcao, J. A. and J. Cabrita. (2002). Evaluation of a Pharmaceutical Care Program for Hypertensive Patients in Rural Portugal. J Am Pharm Assoc. 42: 858–864.

Gormer, B. (2007). Farmakologi Hipertensi. Editor Diana Lyrawati. (2008). Jakarta: Universitas Indonesia. Halaman 3.

Gunawan, S.G. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Gaya Baru. Halaman 342-343.

Gumi, V.C., Larasanty, Y.L.F., dan Udayani, N.N.W. (2013). Identifikasi Drug Related Problems Pada Penanganan Pasien Hipertensi di UPT

Puskesmas Jembrana. Denpasar: Universitas Udayana. Halaman 51-54.

Harvey, R.A., dan Champe, P.C. (2009). Farmakologi Ulasan Bergambar. Editor Tjahyanto, A., dan Salim C. (2013) Edisi 4. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Halaman 253-260, 307-332.

Hanlon, J.T., Schmader, K.E., dan Samsa, G.P. (1992). A Method for Assessing Drug Therapy Appropriateness. J Clin Epidemiol. 45: 1045-51.

James, A.P., Suzanne, O., Barry, L., William, C., Cheryl, D., Joel, H., Daniel, T., dkk. (2014). Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members Appointed to

the Eighth Joint National Committee (JNC 8). Lowa: American Medical

Association. Hal. 1-14.

Julius, S. (2008). Clinical Implications of Pathophysiologic Changes in the Midlife Hypertensive Patients. American Heart Journal. 122: 886-891. Kementerian Kesehatan, R.I. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Halaman 88-90.


(56)

40

Kowalski, dan Robert. (2010). Terapi Hipertensi. Editor Rani S. Ekawati. Bandung: Mizan Media Utama. Halaman 70.

McEvoy, G. K. (2004). AHFS Drug Information. United States of America: American Society of Health-System Pharmacists. Halaman 1091.

Michael, A.S., Seth, C.L., Gary, E.R., Daniel, B., Saunak, S., dan Peter, J.K. (2006). Polypharmacy and Prescribing Quality in Older People. The American Geriatrics Society. 54: 1516-1523.

Michelle, H., Lisa, D., Janusz, K., Connie, S., dan Jhon, S. (2004). Prescribing of potentially inappropriate medications to elderly people. Volume 21. Oxford: Oxford University Press. 3: 1093.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Undang-undang No.269 Tahun

2008 tentang Rekam Medis. Lembar Negara RI Tahun 2008, No.III.

Mentri Kesehatan RI. Jakarta.

National Institute of Health. (2003). JNC 7 Express: The 7th Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. United States of America: Departement National Institute of Health. 98: 4080.

Pestana, M. (2001). Hypertension in the Elderly. International Urology and Nephrology. 33: 563-569.

Rahajeng, E., dan Tuminah, S. (2009). Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 59(12): 580-587.

Rumagit, B.I., Pojoh, J.A., dan Manampiring, V.N. (2012). Studi Deskriptif Pemberian Obat Pada Pasien Hipertensi di Puskesmas Sario. Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado: Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan

Kemenkes Manado. Halaman 1.

Sadikin, D.Z. (2011). Penggunaan Obat yang Rasional. Volum 61. Jakarta: Jurnal Indonesia Med Assoc. Halaman 145-147.

Sari, T.K. (2014). Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi dan Outcome Terapi Pada Pasien Hipertensi Di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD DR Moewardi Surakarta. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Halaman 9.

Scanlon, C.V., dan Sanders, T. (2007). Essentials of Anatomy and Physiology. Edisi kelima. New Jersey: Davis Company. Halaman 307-312.


(57)

41

Sugiarto, R.L. (2012). Kajian Kelengkapan Informasi Mengenai Indikasi dan Dosis Obat Antihipertensi Tunggal Yang Digunakan Secara Peroral

Pada Berbagai Sumber Literatur Tersier. Bali: Universitas Udayana.

Halaman 41-46.

World Health Organization. (2013). WHO‟s Global Brief on Hypertension: Silent

killer, global public health crisis. Switzerland: World Health

Organization Press. Halaman 9-14.

World Health Organization. (2006). The Role of Education in the Rational Use of Medicines. India: SEARO Technical Publication Series No. 45.

Yogiantoro, M. (2009). Hipertensi esensial. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Kedua. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing. Halaman 1079-1085.


(58)

42

Lampiran 1. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian Assalamualaikum Wr Wb/Salam Sejahtera

Dengan Hormat,

Nama Saya Abdullah Syahril Sitepu., sedang menjalani pendidikan Farmasi di Program S1 Farmasi USU. Saya sedang melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Di Puskesmas Kota Medan.”

Evaluasi penggunaan obat disini adalah penggunaan obat dapat dinilai menggunakan metode MAI (Medication Appropriateness Index). Metode ini telah dievaluasi kesesuaian dan tingkat kebenarannya untuk mendukung dokter dan farmasis dalam menilai rasionalitas pengobatan seorang pasien (Hanlon, dkk., 1992).

Penilaian penggunaan obat yang rasional dapat dilakukan oleh farmasis. Peran farmasis ini penting dalam mencegah terjadinya kesalahan pengobatan. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa intervensi farmasis untuk mencegah kesalahan pengobatan yang mungkin berasal dari peresepan yang tidak benar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan obat antihipertensi yang sesuai untuk pasien. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai strategi dalam terapi hipertensi serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Kami akan melakukan wawancara terstruktur kepada bapak/ibu/sdra/sdri mengenai:

a. Data demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.

b. Data klinis seperti obat/terapi hipertensi yang digunakan, riwayat penyakit, kondisi tertentu pasien (hamil, geriatrik, ibu menyusui) penggunaan obat lain. c. Data penilaian masalah terapi obat seperti : Indikasi, Efektivitas, Dosis,

Petunjuk yang benar, Penggunaan yang benar, Interaksi obat-obat, Interaksi obat-penyakit, Duplikasi, Durasi, Biaya.

Wawancara akan kami lakukan sekitar 10 menit. Petugas pewawancara adalah peneliti yaitu saya sendiri dan penelitian ini tidak ada potensi menyebabkan efek berbahaya bagi pasien.

Partisipasi Bapak/Ibu/Sdra/Sdri bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Setiap data yang ada dalam penelitian ini akan dirahasiakan dan digunakan untuk kepentingan


(59)

43

penelitian. Untuk penelitian ini Bapak/Ibu/Sdra/Sdri tidak akan dikenakan biaya apapun. Bila Bapak/Ibu/Sdra/Sdri membutuhkan penjelasan, maka dapat menghubungi Saya:

Nama : Abdullah Syahril Sitepu

Alamat : Jalan Jend Gatot Subroto No.124a No. HP : 083199602587

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak/Ibu/Sdra/Sdri yang telah ikut berpartisipasi pada penelitian ini. Keikutsertaan Bapak/Ibu/Sdra/Sdri dalam penelitian ini akan menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi ilmu pengetahuan. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini diharapkan Bapak/Ibu/Sdra/Sdri bersedia mengisi lembar persetujuan yang telah kami persiapkan.

Medan, September 2014 Peneliti


(60)

44 Lampiran 2. Lembar kuesioner

LEMBAR KUESIONER

Judul Penelitian : Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi di Empat Puskesmas Kota Medan

Peneliti : Abdullah Syahril Sitepu (101501054)

No.ID : A. Data Demografi

Nama(inisial) Umur

Jenis Kelamin Laki-laki / Perempuan (coret yang tidak perlu) Pendidikan

terakhir

( ) SD ( ) SMP ( ) SMA ( ) S1 Pekerjaan anda

saat ini ? sebagai :

( ) Pegawai Swasta ( ) Wiraswasta ( ) Ibu Rumah Tangga ( ) Lainnya Status Pasien

(Diagnosis) B. Data Klinis

Obat yang digunakan : (terapi hipertensi)

Tekanan Darah Sebelum

Tekanan Darah Sesudah


(61)

45 C. MAI (Medication Appropriateness Index)

Untuk menghitung kesesuaian dari obat, maka jawablah sesuai dengan pertanyaan berikut :

1. apakah indikasi sudah sesuai dengan obat? keterangan: A_____ terindikasi C_____ tidak terindikasi Z TD

2. Apkah obat yang diberikan sudah efekektiv dengan kondisi pasien ? Keterangan: A_____ Efektiv C_____ Tidak Efektiv Z TD

3. Apakah dosis sudah sesuai ? Keterangan: A_____ Benar C_____ Tidak benar Z TD 4. Apakah petunjuk sudah benar ?

Keterangan: A_____ Benar C_____ Tidak benar Z TD 5. Apakah sudah dipraktikan dengan

benar ? Keterangan: A_____ dipraktikan C_____ Tidak dipraktikan Z TD

6.Apakah ada interaksi obat – obat ? Keterangan: A_____ tidak terjadi C_____ terjadi Z TD 6.Apakah ada interaksi obat – penyakit ?

Keterangan: A_____ tidak terjadi C_____ terjadi Z TD 8. Apakah ada duplikasi obat yang tidak

perlu dengan obat lain ? Keterangan: A_____ perlu C_____ Tidak perlu Z TD

9. Apakah durasi pengobatan dapat diterima ? Keterangan: A_____ Diterima C_____ Tidak diterima Z TD

10.Apakah ada obat alternatif lain yang lebih murah dengan kemampuan yang sama ? Keterangan: A_____ Harga Sesuai C_____ Harga terlalu mahal Z TD


(62)

46 Kriteria

Bobot

ketidaksesuaian yang diberikan

2. Adakah indikasi untuk obat? 3

3. Apakah obat sudah efektiv dengan kondisi

pasien? 3

4. Apakah dosis sudah sesuai? 2

5. Apakah sudah diberi petunjuk yang benar ? 2 6. Apakah sudah dipraktikan dengan benar ? 1 7. Apakah ada terjadi interaksi obat – obat ? 2 8. Apakah ada terjadi interaksi obat – penyakit ? 2

9. Adakah terjadi duplikasi obat ? 1

10.Apakah durasi pemakaian dapat diterima ? 1 11.Apakah ada obat alternatif lain yang lebih

murah dengan kemampuan yang sama ? 1

*Instruktur pengisian poin MAI (Hanlon, dkk., 1992).

Diadaptasi seluruhnya dari :

Hanlon, J.T., Schmader, K.E., and Samsa, G.P et al. A Method for Assessing Drug Therapy Appropriateness.


(63)

47 Lampiran 3. Uji normalitas

Uji Normalitas Tekanan Darah Sistol Akhir

a. Hubungan antara Umur dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Tests of Normality

UMUR GROUP

Kolmogorov-Smirnova

Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Sistol

Sesudah

1.00 .249 27 .000 .857 27 .002

2.00 .129 34 .163 .961 34 .268

3.00 .260 2 .

a. Lilliefors Significance Correction

b. Hubungan Jenis kelamin dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Tests of Normality

Jenis Kelamin

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Sistol

Sesudah

Laki-laki .187 22 .045 .953 22 .356

Perempuan .123 41 .123 .973 41 .438

a. Lilliefors Significance Correction

c. Hubungan Tingkat pendidikan dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Tests of Normality

Tingkat Pendidikan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. Perubahan

tekanan darah

SD .102 33 .200* .986 33 .932

SMP .321 11 .002* .833 11 .026

SMA .158 14 .200* .966 14 .815

S1 .209 5 .200* .866 5 .250

a. Lilliefors Significance Correction


(64)

48

d. Hubungan Pekerjaan dengan Perubahan Tekanan Darah Tests of Normality

Pekerjaan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig. Perubahan

tekanan darah

Pegawai swasta .260 2 .

Ibu rumah tangga .126 36 .159* .969 36 .396

Wiraswasta .202 19 .040* .931 19 .184

Lain - lain .238 6 .200 .845 6 .700

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

e. Hubungan MAI dengan Perubahan Tekanan Darah Tests of Normality Selisih

Sistol

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

MAI

Berhasil .202 33 .001 .763 33 .000

Tdk berhasil

.199 30 .004 .872 30 .002


(65)

49 Lampiran 4. Uji signifikansi

a. Hubungan Umur dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Ranks

grouping umur N Mean Rank

selisih sistol

1.00 27 33.52

2.00 34 32.43

3.00 2 4.25

Total 63

b. Hubungan Jenis kelamin dengan Tekanan Darah Sistol Akhir Test Statisticsa,b

Sistol sesudah

Chi-Square 4.865

Df 2

Asymp. Sig. .088

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: grouping umur Report Mean Sistol

UMUR GROUP Mean N Std.

Deviation

1.00 151.41 27 20.317

2.00 154.44 34 19.842

3.00 115.00 2 21.213

Total 151.56 63 20.897

Ranks

Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of

Ranks

Sistol Sesudah Laki - Laki 22 31.09 684.00

Perempuan 41 32.49 1332.00

Total 63

Test Statisticsa,b

Sistol sesudah Mann-Whitney U

Wilcoxon W

431.000 684.000

Z -.291

Asymp. Sig.(2-tailed) .771


(66)

50 Mann-Whitney Test

c. Hubungan Pendidikan dengan Tekanan Darah Sistol Akhir

Descriptives Sistol Sesudah

N Mean Std.

Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min Max Lower

Bound

Upper Bound

SD 33 154.00 24.536 4.271 145.30 162.70 100 207 SMP 11 145.64 11.724 3.535 137.76 153.51 130 172 SMA 14 149.29 18.370 4.910 138.68 159.89 110 180 S1 5 154.80 18.308 8.188 132.07 177.53 140 184 Total 63 151.56 20.897 2.633 146.29 156.82 100 207

d. Hubungan Pekerjaan dengan Perubahan Tekanan Darah

Ranks

Pekerjaan N Mean Rank

selisih sistol

Pegawai swasta 2 11.25

Ibu rumah tangga 36 34.14

Wiraswasta 19 31.45

Lain – lain 6 27.83

Total 63

Report Mean Sistol Sesudah

Jenis Kelamin Mean N Std. Deviation

Laki – Laki 151.27 22 22.229

Perempuan 151.71 41 20.429

Total 151.56 63 20.897

ANOVA selisih sistol

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 707.353 3 235.784 .528 .665

Within Groups 26366.203 59 446.885


(67)

51 Test Statisticsa,b

selisih sistol

Chi-Square 3.435

df 3

Asymp. Sig. .329

a. Kruskal Wallis Test


(68)

52

Lampiran 5. Uji statistik hubungan rasionalitas terhadap hasil terapi Kelompok penurunan Tekanan Darah terhadap rata – rata nilai MAI

Group Statistics

Selisih Sistol N Rata-rata Std. Deviation Std. Error Mean

MAI Berhasil 33 1.682 2.0149 .3507

Tdk berhasil 30 4.500 2.9798 .5440

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference F Sig. t df Sig.(

2-taile d) Mean Differe nce Std. Error Differ ence

Lower Upper

M A I Equal variances assumed 10.

793 .002 -4.433 61 .000 -2.8182 .6357 -4.0894 -1.5470 Equal

variances not assumed

-4.354 50.


(69)

53 Lampiran 6. Data demografi pasien


(70)

54 Lampiran 7. Data pengobatan pasien


(1)

(2)

56 Lampiran 8. Lembar ethical clearence


(3)

57 Lampiran 9. Surat selesai penelitian


(4)

(5)

(6)