Imamah Muara Perseteruan Sunni Syiah
Imamah: Muara Perseteruan Sunni-Syiah
Oleh: Umar Said, Lc
Semua kalangan umat Islam sepakat akan wajib adanya seorang pemimpin (imam) dalam
satu komunitas umat agar sang pemimpin tersebut dapat menjadi penengah sekaligus pemisah jika
terjadi sebuah perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Dalam sejarahnya, konsep kepemimpinan memiliki efek yang sangat krusial dalam sejarah
umat Islam, bahkan Asy Syahrastani menyatakan bahwa: sebab perpecahan terbesar yang terjadi
diantara umat Islam adalah perselisihan dalam hal kepemimpinan, karena terhunusnya pedang
dalam Islam atas dasar agama tidak seperti terhunusnya pedang atas dasar Imamah (Asy
Syahrastani: al-Milal wa al-Nihal).
Al-Imamah secara lughawi adalah sifat progresif yang dimiliki seseorang dimana dengan sifat
tersebut dia akan diikuti dan dipatuhi oleh yang lainnya. Sedangkan orang yang memiliki sifat
tersebut disebut Imam.
Terkait Imamah secara terminologi, Wahbah Zuhaily mengungkapkan bahwa: Imamah atau
khilafah adalah sebuah sistem yang berdasarkan musyawarah dengan tujuan menghimpun
kemaslahatan dunia dan akhirat (Wahbah Zuhaily: Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu). Ini berarti
kedudukan seorang imam sangatlah sentral dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, namun derajat
seorang imam tidak sampai menyamai derajat seorang nabi meski sama-sama memiliki peran
penting dalam segala urusan agama.
Konsep Imamah dalam pandangan Syiah jauh berbeda dengan konsep Ala Sunni di atas,
karena menurut mereka al-Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat ilahi dan merupakan
lanjutan dari kenabian. Mereka menyamakan figur seorang imam dengan figur seorang nabi dalam
berbagai aspek kecuali dalam hal turunnya wahyu, karena wahyu hanya diturunkan pada para nabi
sedangkan yang diturunkan pada para imam mereka adalah ilham.
Imbas dari konsep Imamah ala Syiah tersebut mengakibatkan munculnya doktrin-doktrin
dalam Syiah diantaranya:
Pertama, al-Imamah merupakan salah satu rukun agama, sehingga iman tidak akan
sempurna tanpa meyakininya sebagai aqidah. Barangsiapa mengingkari konsep mereka dalam hal
Imamah – terutama imamah-nya Sayyidina Ali -, maka mereka sepakat bahwa orang tersebut
dihukumi kafir.
Kedua, seorang imam itu sebagaimana seorang nabi dari segi keilmuan, sifat bahkan kea’shu -an, sehingga muncullah klaim bahwa seorang imam itu wajib terjaga dari segala bentuk
kejelekan mulai dari masa kanak-kanak hingga ajal tiba. Mereka berpegang pada firman Allah dalam
surat al-Ahzab ayat 33:
“esu gguh ya Allah ber aksud he dak
dan membersihkan kamu sebersih-bersih ya .
e ghila gka dosa dari kalian, wahai ahlul bait
Ketiga, karena kedudukan seorang imam itu seperti nabi, maka di setiap masa atau kurun
harus ada seorang imam yang menjadi petunjuk bagi umat manusia sebagaimana jabatan seorang
nabi, sehingga semua perintah imam merupakan perintah Allah yang wajib ditaati karena imam
adalah penerus para nabi. Pun juga jabatan seorang imam hanya diperoleh dari nash-nash ilahi yakni
melalui sabda nabi atau ucapan imam yang diangkat berdasarkan nash tadi, atau dengan kata lain
sang anak menggantikan kedudukan sang ayah yang terlebih dulu menjadi imam. Pada poin ini
tampaklah kelemahan teologi Syiah akan konsep Imamah mereka, karena imam Muhammad AlJawwad (imam ke-9) diangkat untuk menjadi imam menggantikan ayahnya Ali Ridha (imam ke-8)
pada usia 9 tahun, sehingga muncullah pro-kontra dalam kubu Syiah sendiri akan kepemimpinan
imam Al-Jawwad yang berimbas perpecahan diantara mereka.
Yang lebih mencengangkan adalah ketika imam Hasan Al-Askari (imam ke-11) tidak memiliki
keturunan, karena Syiah dengan berani menciptakan paham wujudnya seorang anak yang
dinisbatkan pada imam Hasan Al-Askari sebagai imam ke-12 yang dipercaya sebagai pembawa
keadilan dan kedamaian, sekaligus hidup hingga hari kiamat namun tak seorang pun yang
mengetahuinya. Dialah imam yang oleh Syiah diklaim sebagai imam Mahdi. (Ali Ahmad As-Salus:
Ma a al-Its a Asyariyah Fi al-Ushul wa al-Furu )
Sebenarnya, dilema antara Syiah dan Sunni yang terletak pada sosok Ali bin Abi Thalib itu
hampir sama dengan dilema antara Islam dan Kristen yang terletak pada sosok nabi Isa AS. Umat
Islam wajib mempercayai nabi Isa As sebagai salah satu utusan Allah, sedangkan umat Kristen
meyakininya sebagai Tuhan. Seperti halnya Sunni mengakui Ali sebagai salah satu khalifah yang
pantas mendapat penghormatan, hanya saja Syiah menempatkannya pada derajat nabi, sehingga
konsep imamah yang mereka terapkan berimplikasi hingga ranah ideologi.
Berulang kali telah dilakukan upaya pendekatan antara Sunni dan Syiah, namun upaya
tersebut selalu terbentur pada konsep Imamah yang dipertahankan Syiah, bahkan tak jarang vonis
Takfir dilontarkan Syiah terhadap kubu Sunni karena tidak sependapat terkait Imamah yang mereka
pegang.
Wallahu A la ...
Oleh: Umar Said, Lc
Semua kalangan umat Islam sepakat akan wajib adanya seorang pemimpin (imam) dalam
satu komunitas umat agar sang pemimpin tersebut dapat menjadi penengah sekaligus pemisah jika
terjadi sebuah perselisihan antara satu pihak dengan pihak yang lain.
Dalam sejarahnya, konsep kepemimpinan memiliki efek yang sangat krusial dalam sejarah
umat Islam, bahkan Asy Syahrastani menyatakan bahwa: sebab perpecahan terbesar yang terjadi
diantara umat Islam adalah perselisihan dalam hal kepemimpinan, karena terhunusnya pedang
dalam Islam atas dasar agama tidak seperti terhunusnya pedang atas dasar Imamah (Asy
Syahrastani: al-Milal wa al-Nihal).
Al-Imamah secara lughawi adalah sifat progresif yang dimiliki seseorang dimana dengan sifat
tersebut dia akan diikuti dan dipatuhi oleh yang lainnya. Sedangkan orang yang memiliki sifat
tersebut disebut Imam.
Terkait Imamah secara terminologi, Wahbah Zuhaily mengungkapkan bahwa: Imamah atau
khilafah adalah sebuah sistem yang berdasarkan musyawarah dengan tujuan menghimpun
kemaslahatan dunia dan akhirat (Wahbah Zuhaily: Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu). Ini berarti
kedudukan seorang imam sangatlah sentral dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, namun derajat
seorang imam tidak sampai menyamai derajat seorang nabi meski sama-sama memiliki peran
penting dalam segala urusan agama.
Konsep Imamah dalam pandangan Syiah jauh berbeda dengan konsep Ala Sunni di atas,
karena menurut mereka al-Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat ilahi dan merupakan
lanjutan dari kenabian. Mereka menyamakan figur seorang imam dengan figur seorang nabi dalam
berbagai aspek kecuali dalam hal turunnya wahyu, karena wahyu hanya diturunkan pada para nabi
sedangkan yang diturunkan pada para imam mereka adalah ilham.
Imbas dari konsep Imamah ala Syiah tersebut mengakibatkan munculnya doktrin-doktrin
dalam Syiah diantaranya:
Pertama, al-Imamah merupakan salah satu rukun agama, sehingga iman tidak akan
sempurna tanpa meyakininya sebagai aqidah. Barangsiapa mengingkari konsep mereka dalam hal
Imamah – terutama imamah-nya Sayyidina Ali -, maka mereka sepakat bahwa orang tersebut
dihukumi kafir.
Kedua, seorang imam itu sebagaimana seorang nabi dari segi keilmuan, sifat bahkan kea’shu -an, sehingga muncullah klaim bahwa seorang imam itu wajib terjaga dari segala bentuk
kejelekan mulai dari masa kanak-kanak hingga ajal tiba. Mereka berpegang pada firman Allah dalam
surat al-Ahzab ayat 33:
“esu gguh ya Allah ber aksud he dak
dan membersihkan kamu sebersih-bersih ya .
e ghila gka dosa dari kalian, wahai ahlul bait
Ketiga, karena kedudukan seorang imam itu seperti nabi, maka di setiap masa atau kurun
harus ada seorang imam yang menjadi petunjuk bagi umat manusia sebagaimana jabatan seorang
nabi, sehingga semua perintah imam merupakan perintah Allah yang wajib ditaati karena imam
adalah penerus para nabi. Pun juga jabatan seorang imam hanya diperoleh dari nash-nash ilahi yakni
melalui sabda nabi atau ucapan imam yang diangkat berdasarkan nash tadi, atau dengan kata lain
sang anak menggantikan kedudukan sang ayah yang terlebih dulu menjadi imam. Pada poin ini
tampaklah kelemahan teologi Syiah akan konsep Imamah mereka, karena imam Muhammad AlJawwad (imam ke-9) diangkat untuk menjadi imam menggantikan ayahnya Ali Ridha (imam ke-8)
pada usia 9 tahun, sehingga muncullah pro-kontra dalam kubu Syiah sendiri akan kepemimpinan
imam Al-Jawwad yang berimbas perpecahan diantara mereka.
Yang lebih mencengangkan adalah ketika imam Hasan Al-Askari (imam ke-11) tidak memiliki
keturunan, karena Syiah dengan berani menciptakan paham wujudnya seorang anak yang
dinisbatkan pada imam Hasan Al-Askari sebagai imam ke-12 yang dipercaya sebagai pembawa
keadilan dan kedamaian, sekaligus hidup hingga hari kiamat namun tak seorang pun yang
mengetahuinya. Dialah imam yang oleh Syiah diklaim sebagai imam Mahdi. (Ali Ahmad As-Salus:
Ma a al-Its a Asyariyah Fi al-Ushul wa al-Furu )
Sebenarnya, dilema antara Syiah dan Sunni yang terletak pada sosok Ali bin Abi Thalib itu
hampir sama dengan dilema antara Islam dan Kristen yang terletak pada sosok nabi Isa AS. Umat
Islam wajib mempercayai nabi Isa As sebagai salah satu utusan Allah, sedangkan umat Kristen
meyakininya sebagai Tuhan. Seperti halnya Sunni mengakui Ali sebagai salah satu khalifah yang
pantas mendapat penghormatan, hanya saja Syiah menempatkannya pada derajat nabi, sehingga
konsep imamah yang mereka terapkan berimplikasi hingga ranah ideologi.
Berulang kali telah dilakukan upaya pendekatan antara Sunni dan Syiah, namun upaya
tersebut selalu terbentur pada konsep Imamah yang dipertahankan Syiah, bahkan tak jarang vonis
Takfir dilontarkan Syiah terhadap kubu Sunni karena tidak sependapat terkait Imamah yang mereka
pegang.
Wallahu A la ...