LOMBA KARYA TULIS ILMIAH LKTI 3rd Editio
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH
LKTI 3rd Edition Chemical Expo 2016
Local Knowledge Future School: Pendidikan Falsafah Jawa bagi Anak-anak
dalam Pelestarian Lingkungan Lereng Merapi
(Studi Kasus Efek Lingkungan dari Penambangan Pasir
di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta)
Disusun Oleh :
Kafa Abdallah Kafaa
14/364821/SP/26214
Pinurba Parama P.
14/367527/SP/26417
Kinanti Indah Safitri
14/367547/SP/26425
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah limpahan
taufik serta rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah
yang berjudul: “Local Knowledge Future School:Pendidikan Falsafah Jawa bagi
Anak-anak dalam Pelsetarian Lingkungan Lereng Merapi)”. Dalam kesempatan
kali ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Yth:
-
Dr. Krisdyatmiko, S.Sos., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penulisan Karya Ilmiah ini.
-
Rekan-rekan sejawat jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
angkatan 2014 yang turut memberikan dukungan kepada kami.
Di dalam karya tulis ilmiah ini dipaparkan bagaimana kondisi lingkungan
sekitar penambangan pasir lereng Merapi di Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta. Terdapat beberapa dampak negatif terhadap lingkungan yang
disebabkan penambangan pasir tersebut. Pada dasarnya, penambangan pasir
tersebut dinilai tidak atau kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan,
sehingga memunculkan berbagai bentuk dampak kerusakan yang menyebabkan
krisis air bagi warga sekitar, bencana alam (tanah longsor), perubahan relief bumi,
dan penurunan kualitas kesuburan tanah. Gagasan yang disampaikan dalam karya
tulis ini adalah betapa pentingnya nilai-nilai kearifan lokal yang dalam hal ini
falsafah jawa untuk membendung atau setidaknya mengurangi tingkat kerusakan,
terlebih lagi sebagai suatu modal pengetahuan dalam pelestarian lingkungan
lereng Merapi. Pendidikan menjadi alat penyampaiannya kemudian, dengan
menunjuk anak-anak usia 5-18 tahun (masa sekolah formal) sebagai peserta dan
mahasiswa sebagai fasilitator yang keseluruhan dilakukan secara informal.
Pendidikan tersebut menggunakan metode pembelajaran secara pedagogik dan
andragogik (utama). Tujuan sekolah ini adalah untuk menyampaikan nilai-nilai
kearifan lokal dalam falsafah jawa kepada masyarakat yang diawali dengan anakanak, sehingga dapat terinternalisasi dalam dirinya, dan sekaligus dapat mampu
menjadi agent of change terhadap pola pikir masyarakatnya. Harapannya dengan
inovasi Local Knowledge Future School ini, masyarakat terkhususnya penambang
iv
pasir dapat mengetahui dan mengimplementasikan pada tataran praktis mengenai
nilai-nilai kearifan lokal falsafah jawa. Dengan demikian, upaya membendung
atau mengurangi kerusakan dan melestarikan lingkungan di lereng Merapi dapat
terwujud.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun berdasarkan hasil observasi dan wawancara
serta melalui studi literatur berupa buku, makalah dan jurnal ilmiah. Diharapkan
karya tulis ini dapat bermanfaat dan membantu para pembaca untuk menambah
wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan. Akhir kata, Karya tulis ilmiah ini tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan untuk itulah kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kelancaran proses penyusunan karya
ilmiah selanjutnya. Semoga dapat memberikan sumber bacaan yang bermanfaat
dan menginspirasi.
Yogyakarta, 08 Februari 2016
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................i
Halaman Pengesahan............................................................................................ii
Lembar Pernyataan..............................................................................................iii
Kata Pengantar.....................................................................................................iv
Daftar Isi...............................................................................................................vi
Abstrak..................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................2
1.1 Latar Belakang................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan...........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi Lingkungan...5
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup........................................................................6
2.3 Kearifan Lokal.................................................................................................8
2.4 Falsafah Jawa...................................................................................................9
BAB III METODE PENULISAN.......................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................11
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir.....................................11
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local
Knowledge Future School..........................................................................12
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School................................17
BAB V PENUTUP...........................................................................................19
vi
5.1 Kesimpulan..............................................................................................19
5.2 Saran........................................................................................................20
Daftar Pustaka...............................................................................................vii
Daftar Riwayat Hidup....................................................................................21
Lampiran.......................................................................................................24
vii
ABSTRAK
Abstrak: Dewasa ini nilai-nilai kearifan lokal telah mengalami kemunduran. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang berpotensi atau justru telah
merusak lingkungan, terutama di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta. Aktivitas penambangan pasir secara ilegal sebagian besar tidak
memiliki komitmen dalam pemulihan lingkungan sehingga dapat menimbulkan
dampak negatif. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi
tambang pasir diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat melalui
pendidikan lingkungan yang dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal.
Local Knowledge Future School merupakan program pendidikan lingkungan
berbasis kearifan lokal kepada anak-anak yang hidup di sekitar lingkungan
tambang pasir. Tujuannya untuk membentuk kesadaran akan pentingnya menjaga
lingkungan sejak usia dini agar pengetahuan tersebut mampu terinternalisasi
dalam diri anak serta memotivasi anak untuk menjadi agent of change. Kearifan
lokal yang dimaksud adalah tiga nilai falsafah jawa yang menjadi local knowledge
(pengetahuan lokal); Aja nggugu karepe dewe (jangan berbuat sekehendak
sendiri), ibu bumi, bapa aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit), dan asta
brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan).
Materi pendidikan falsafah jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
pendidikan mengantisipasi kerusakan lingkungan dan pendidikan sikap bersatu
dengan alam. Proses belajar mengajar dilaksanakan oleh anak-anak yang hidup di
wilayah sekitar tambang pasir dan mahasiswa/pemuda sebagai fasilitator. Metode
pembelajaran dilakukan melalui sharing-diskusi, study tour, dan menggunakan
permainan tradisional wilayah tersebut sebagai sarana pengenalan falsafah jawa
sekaligus menjadi sarana hiburan.
Kata Kunci: Anak-anak, Falsafah Jawa, Lingkungan, Local Knowledge Future
School
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman yang semakin hari semakin berorientasi
pada kebutuhan ekonomi, berbagai aspek kehidupan pun ikut menjadi imbasnya.
Zaman yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa; 2006)
sebagai zaman modal ini lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi
daripada aspek lainnya. Sebut saja salah satunya aspek lingkungan yang semakin
hari semakin akrab akan kerusakannya. Kekuatan gaib –modal telah mampu
mencengkeram segala aspek kehidupan, yang tanpanya akan terkucilkan atau
bahkan terbunuh dikemudian waktu. Manusia tidak lagi bertindak sebagai tuan
bagi alam, melainkan hamba bagi modal untuk memperbudak alam.
Indonesia yang disebut-sebut oleh Koes Plus dalam lagunya “Kolam
Susu” sebagai negeri tanah surga, dengan terpampang berjuta kekayaan dari
Sabang sampai Merauke pun ikut tercengkeram dalam kuasa modal. Alam,
budaya, adat, tradisi, dan lain sebagainya menjadi korban keperkasaan modal
tersebut. Demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, alam dieksploitasi
secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak kerusakannya. Budaya,
adat, dan tradisi pun tersisihkan, terlupakan, bahkan dilupakan demi menunjang
keberhasilan meraup untung dalam jumlah yang sangat banyak.
Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya asli Indonesia
telah tergeser oleh nilai-nilai kapitalisme asing yang entah dari mana asalnya.
Kearifan lokal yang semestinya menjadi tolok ukur bagi pelaksanaan pemanfaatan
lingkungan pun mulai hilang –setidaknya tertutupi oleh arus derasnya ombak
permukaan kapitalisme. Kearifan lokal ini ditunjang oleh adanya pengetahuan
lokal yang berbeda pada setiap daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
Seperti halnya pengetahuan lokal bagi penambangan pasir di lereng Merapi yang
berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Penambangan tersebut telah menuai berbagai kecaman dari kalangan
akademis, penulis, bahkan perlawanan secara fisik oleh warga sekitarnya. Hal ini
disebabkan karena adanya praktik penambangan yang tidak atau kurang
2
memperhatikan aspek lingkungan yang menjadi dampaknya. Krisis air yang
diakibatkan pengerukan lapisan tanah secara terus-menerus yang kemudian
berdampak pada cadangan air yang semakin dalam, sehingga menyulitkan warga
sekitar penambangan untuk memperoleh air. Bencana alam kerap terjadi di daerah
penambangan
tersebut
yang
disebabkan
pengerukan
tanah
sehingga
mempengaruhi bentuk relief bumi. Parahnya, kesuburan tanah yang menjadi
nyawa bagi mayoritas pekerjaan warga sekitar pun menjadi terganggu, sehingga
aktivitas pertanian menjadi imbasnya pula.
Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir,
kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat
khususnya
sekitar
penambangan
melalui
pendidikan
lingkungan
yang
dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal. Penulisan ini bermaksud untuk
mengkaji lebih dalam lagi terkait akibat dari kerusakan lingkungan yang
disebabkan penambangan pasir di lereng Merapi di Kecamatan Cangkringan,
Merapi, Yogyakarta. Lebih jauh lagi, adalah memberikan angin segar berupa
gagasan untuk senantiasa mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal yang telah
tertutup oleh derasnya arus permukaan kapitalisme melalui pentingnya
pengetahuan dan penerapan nilai-nilai luhur falsafah jawa dalam kehidupan
manusia terkhususnya sebagai permulaan diperuntukkan bagi anak-anak di
wilayah sekitar penambangan pasir tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng
Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
Bagaimanakah keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan pelestarian
lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
Bagaimanakah implementasi dari inovasi sistem pendidikan Local
Knowledge Future School bagi anak-anak sekitar penambangan pasir di
lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
3
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng
Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Untuk mengetahui keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan
pelestarian lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi
Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Untuk mengetahui implementasi inovasi sistem pendidikan Local
Knowledge Future School bagi anak-anak sekitar penambangan pasir di
lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penulisan
Sebagai media pengetahuan dan pembelajaran terkait kondisi lingkungan
sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta.
Sebagai media dalam menjawab persoalan yang ada di lingkungan sekitar
penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta.
Sebagai media pembangunan dalam hal pelestarian lingkungan sekitar
penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta, melalui inovasi Local Knowledge Future School.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi
Lingkungan
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Batu Bara, yang diartikan sebagai pertambangan yaitu sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, ekplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Kemudian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian
membagi jenis bahan galian tambang menjadi tiga: bahan galian strategis, bahan
galian vital, dan bahan galian non-vital maupun non-strategis. Salah satu faktor
yang menentukan penggolangan bahan galian ini dapat dilihat dari dampak yang
ditimbulkan kepada masyarakat.
Sebagai salah satu kegiatan pertambangan, pertambangan pasir mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 merupakan bentuk
penambangan bahan galian C atau non-vital dan non-strategis. Namun fakta
dilapangan justru menunjukan bahan galian C memberi dampak krusial seperti
pencemaran air yang diakibatkan kontaminasi limbah hasil kegiatan tambang
(Rahmadian & Dharmawan, 2014: 95). Dalam Yudhistira et. al., (2011) pada
dasarnya industri pertambangan pasir secara ekonomis mampu menciptakan
surplus devisa dan menyedot banyak lapangan kerja. Akan tetapi di sisi lain sektor
tambang mengundang banyak sorotan dalam kegiatannya yang justru merusak
lingkungan. Secara umum kegiatan industri tambang pasir menimbulkan berbagai
efek sebagai berikut: (Rahmadian & Dharmawan, 2014: 106)
1. Degradasi kualitas air oleh karena pencemaran limbah dari kegiatan
tambang.
2. Polusi udara yang disebabkan oleh maraknya truk atau kendaraan
pengangkut pasir yang berlalu-lalang yang berefeksamping pula
dengan rusaknya kondisi jalan.
5
3. Ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang
diakibatkan penyusutan sungai dan konversi lahan.
4. Munculnya bahaya konflik laten maupun manifes yang bersifat
horizontal maupun vertikal.
5. Munculnya sikap apatis masyarakat dalam isu pelestarian lingkungan.
6. Tumbuhnya
pusat
industri
dan
ekonomi
baru
oleh
karena
meningkatnya kegiatan tambang.
Menurut Yudhistira, et al. (2011) dalam kasus perusakan lingkungan oleh
aktivitas pertambangan pasir di Merapi terdapat dua aspek utama sebagai dampak
yaitu lingkungan dan sosial-ekonomi. Dampak lingkungan dari aktivitas
penambangan pasir di Merapi diantaranya sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat erosi di kawasan pertambangan.
2. Adanya tebing yang rawan longsor oleh karena aktivitas penambangan
yang sembarangan.
3. Berkurangnya jumlah air permukaan.
4. Tingginya lalu lintas kendaraan pengangkut pasir yang menimbulkan
kerusakan jalan.
5. Terjadinya polusi udara.
Sementara itu terdapat pula dampak sosial-ekonomi dari penambangan pasir di
Merapi yang diantaranya:
1. Pengurangan jumlah pengangguran oleh karena muncul lapangan kerja
baru di kawasan industri tambang pasir.
2. Adanya pemasukan dari pemilik tanah yang menjual atau menyewakan
lahan mereka untuk ditambang.
3. Mulai
munculnya
pendatang
sehingga
memunculkan
potensi
timbulnya konflik.
4. Adanya ketakutan masyarakat akan potensi kerusakan lingkungan
yang dapat menimbulkan bencana.
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup
Menurut Pranoto (2009) pendidikan lingkungan hidup adalah suatu
program pendidikan untuk membina anak agar mampu memahami, sadar, dan
memiliki sikap perilaku yang rasional serta bertanggungjawab dalam timbal balik
6
antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai aspek dalam kehidupan. Hening
dan Pakpahan (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan lingkungan
berkaitan dengan proses pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai, keterampilan,
dan tanggung jawab terhadap masalah lingkungan. Oleh karena itu suatu proses
pendidikan lingkungan tidak hanya berpusat pada pemahaman dasar akan
permasalah lingkungan namun lebih lanjut lagi adalah upaya menumbuhkan sikap
kepedulian dalam upaya pelestarian lingkungan.
Barlia (2008: 7, dalam Afandi, 2013) berpendapat bahwa sekiranya
terdapat tujuan khusus dari suatu pendidikan lingkungan hidup yang diantaranya:
1. Kesadaran: membantu anak didik mendapatkan kesadaran dan peka
terhadap lingkungan hidup dan permasalahannya.
2. Pengetahuan: membantu anak didik memperoleh dasar pemahaman
tentang
fungsi
lingkungan
hidup,
interaksi
manusia
dengan
lingkungannya.
3. Sikap: membantu anak didik mendapat nilai, perasaan tanggungjawab
serta komitmen terhadap pelestarian lingkungan.
4. Keterampilan: membantu anak didik mendapatkan keterampilan
mengindetifikasi, investigasi, dan kontribusi terhadap pemecahan dan
penanganan masalah lingkungan.
5. Partisipasi: membantu anak didik dalam menerapkan pengetahuannya
serta berpengalaman dalam menghadapi permasalahan lingkungan.
Sebagai bentuk pendidikan lingkungan hidup, perlu adanya suatu proses
integrasi dengan keunggulan lokal yang dimiliki suatu daerah. Hal ini melihat
akan kondisi setiap daerah yang memiliki perbedaan urgensi permasalahan
lingkungan. Dalam implementasinya dengan keunggulan lokal terdapat beberapa
proses yang dapat dilakukan (Santoso et al., 2011) yaitu:
1. Melakukan indetifikasi jenis keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu
daerah.
2. Pemetaan jenis keunggulan lokal yang dapat dikembangkan di satuan
pendidikan.
3. Menentukan jenis keunggulan lokal yang dapat dilaksanakan dalam
satuan pendidikan.
7
4. Mengintegrasi keunggulan lokal dengan standar kopentensi yang
relevan.
5. Tahap eksekusi yang dilakukan oleh pengajar dan obeserver sesuai
dengan rencana yang telah dibangun.
6. Evaluasi tentang proses pembelajaran serta efek bagi peserta didik
untuk sebagai pertimbangan dalam rencana selanjutnya.
2.3 Kearifan Lokal
Menurut NarkonThap (NakhornThap, 1996 dalam R. Mungmachon,
2012), yang dimaksud sebagai kearifan lokal adalah suatu pengetahuan dasar yang
didapat dari pembelajaran keseimbangan kehidupan dengan alam dan biasanya
berkaitan dengan budaya lokal yang disosialisasikan secara turun temurun
(Sartini, 2004).Secara umum, kearifan lokal dapat dilihat sebagai suatu bentuk
akumulasi pengetahuan yang tumbuh-kembang dalam setiap interaksi masyarakat
yang berkaitan dengan keseimbangan alam yang diproses secara turun temurun
sebagai suatu bagian dari norma dan nilai-nilai bersama.
Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai manifestasi dari pengetahuan
lokal masyarakat. Pengetahuan lokal secara definisi dapat dijabarkan sebagai
berikut(Ellen, et. al., 2005 dalam Dahliana, 2015). Pertama, pengetahuan yang
dikaitkan dengan keberadaan suatu tempat, kumpulan pengalaman, dan tumbuh
dalam masyarakat lokal. Kedua, pengetahuan yang didapat melalui mimikri,
imitasi, dan eksperimen. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh melalui trial and
error setiap harinya. Keempat, ilmu pengetahuan empiris yang tidak teoritis.
Kelima, suatu pengetahuan komprehensif yangterintegrasi dalam tradisi dan
budaya.
Dalam suatu kearifan lokal terdapat dua elemen dasar, antara lain;
Pertama, manusia sebagai penerjemah sekaligus aktor yang menumbuhkan makna
dari suatu fenomena dan realita. Kedua, alam sebagai objek dari manusia dalam
melakukan upaya penerjemahan. Keberadaan komponen alam tidaklah berarti
sebagai secara fisik, namun lebih bermakna luas. Alam pada hakikatnya adalah
segala lingkungan baik batin maupun lahir yang selalu berinteraksidengan setiap
kegiatan manusia.
8
2.4 Falsafah Jawa
Pada dasarnya falsafah jawa termasuk sebagai suatu cabang dari ilmu
filsafat Timur. Filsafat Timur berlandasakan hubungan antara hakikat illahiyyah
dengan perkembangan pemahaman pengetahuan yang tumbuh dalam masyarakat
(Sutrisno, 2013). Sebagai bagian dari filsafat Timur, falsafah jawa secara umum
menggambarkan suatu hubungan antara manusia dan hakikat illahiyyah. Menurut
Ciptoprawiro dalam bukunya yang berjudul Falsafah Jawa, pengetahuan
senantiasa hanya sebagai sarana menuju pada kesempurnaan. Untuk mencapai
kesempurnaan inilah maka manusia haruslah memiliki kodrat hubungan yang
harmonis dengan lingkungannya, yaitu dengan Tuhan dan alam semesta
(Ciptoprawiro, 1986).
Falsafah jawa dibangun atas empat dasar utama, antara lain; metafisika,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Sutrisno, 2013). Metafisika adalah ilmu
yang melihat yang ada sebagai yang ada. Secara umumnya metafisika dalam
filsafat sendiri adalah sebagai bentuk pertanyaan mendasar yang terlepas dari
fakta empiris secara fisik. Kemudian ontolgi sendiri merupakan kebalikan dari
metafisika. Ontologi adalah suatu padangan yang mempersoalkan adanya segala
sesuatu yang ada, hal-hal yang terkait nyata ada di depan mata. Dasar
epistemologi merupakan bagaimana logika formal berpikir dan menelaah suatu
realita yang ada maupun yang diadakan. Terakhir, aksiologi berkaitan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam proses pemikiran dan pemahamana berfilsafat.
9
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode pengumpulan data observasi dan
wawancara tidak terstruktur. Observasi merupakan proses yang kompleks,
tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiyono dalam
Sutrisno Hadi, 2009:203). Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan
wawancara
yang
dilakukan
dengan
responden
terpilih
yang
memiliki
pengetahuan, mendalami situasi dan mengetahui informasi yang diperlukan
(Moleong, 1999). Observasi dilaksanakan pada hari Sabtu, 09 Januari 2016 di
desa Umbul Harjo, kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman. Observasi
ditujukan untuk mengamati tingkat kerusakan lingkungan akibat aktivitas
tambang pasir serta meninjau secara langsung pemukiman penduduk yang
potensial menjadi lokasi program Local Knowledge Future School. Wawancara
tidak terstruktur dilaksanakan dengan menggali informasi beberapa narasumber
yang aktif berkegiatan langsung dalam aktivitas tambang pasir di lereng Merapi,
yakni Bapak Sutarjo (42) dan Bapak Atmono (24). Selain pengumpulan data
secara langsung, karya tulis ini juga dibuat berdasarkan studi pustaka dan literatur
yang berkaitan dengan falsafah jawa yang memiliki korelasi dengan kelestarian
lingkungan. Dari kajian pustaka berdasarkan kata kunci tersebut dapat ditemukan
data yang relevan untuk menunjang penulisan gagasan. Studi pustaka bersumber
dari buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan topik tersebut sehingga
terciptalah inovasi berupa program pendidikan Falsafah Jawa dalam mengatasi
permasalahan lingkungan akibat penambangan pasir melalui Local Knowledge
Future School.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir
Aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi sudah dimulai
sejak Gunung ini mengeluarkan lava pada tahun 1930-an. Lava yang turun dari
moncong merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir
tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai–sungai yang menjadi jalur lava,
beberapa diantaranya adalah sungai opak, sungai gendol dan sungai kuning. Bagi
masyarakat lereng Gunung Merapi, aktivitas penambangan pasir merupakan
pekerjaan turun-temurun yang menjadi sumber mata pencaharian warga.
Menambang pasir bagi warga sekitar penambangan merupakan salah satu cara
mudah untuk mendapatkan uang, karena menurut mereka, aktivitas dalam
menambang pasir tidak memerlukan keterampilan (skill) khusus. Hanya dengan
bermodal senggrong saja, seseorang bisa menjadi penambang pasir dengan
penghasilan Rp. 90.000 – Rp. 150.000, cukup menggiurkan tentunya. Rata–rata
penambang pasir di daerah sungai gendol dan sungai kuning adalah warga
Cangkringan dan Klaten. Usia mereka sekitar 20-40 tahunan. Mereka menjadikan
menambang pasir sebagai pekerjaan pokok mereka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Sutarjo (42 tahun),
menambang pasir merupakan pekerjaan tetapnya untuk menghidupi keluarga,
sebenarnya bapak Sutarjo mengetahui tentang bahaya dari aktivitas penambangan
tersebut, tetapi beliau tidak memiliki pekerjaan lain sehingga tetap melakukan
penambangan pasir. Atmono (24 tahun) mengungkapkan hal yang sama, sulitnya
mencari pekerjaan menyebabkan dia menambang pasir. Tapi pekerjaan
menambang pasir hanya dijadikan pekerjaan sampingan. Menurut Dinas
Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA),
kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi perubahan kondisi
alam, hilangnya kesuburan tanah, dan perubahan tata air. Pasca penambangan,
kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang
buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang
merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan
11
hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran
lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah
gersang.
Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan
sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan
besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas
penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat,
penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali
dan mengubah bentang alam. Apalagi tingkat permintaan pembeli akan pasir
Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9 juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding
dengan suplai material dari letusan Merapi rata-rata hanya mampu memberikan
daya dukung kebutuhan pasir sebesar 2,5 juta M 3 / tahun. Di luar jalur aliran
erupsi Merapi, para penambang juga masuk ke wilayah tutupan hutan pinus yang
berdekatan dengan sungai-sungai lokasi penambangan sebelumnya atau menyewa
lahan-lahan pertanian maupun perkebunan penduduk.
Sekarang kondisi alam di kawasan Merapi berubah dengan cepat.
Beberapa desa di Kecamatan Cangkringan, kini telah berubah menjadi lubanglubang penambangan pasir yang setiap hari dipenuhi para penambang, back hoe
dan truck pengangkut pasir. Warga yang tinggal disekitar lereng Gunung Merapi
memprotes maraknya penambangan pasir karena mengancam lingkungan tempat
mereka tinggal. Selama ini protes sudah dilayangkan ke Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta tetapi belum ada tanggapan. Kegiatan penambangan pasir di
lereng Gunung Merapi Yogyakarta sampai dengan saat ini masih terus
berlangsung. Alat-alat berat seperti bego digunakan untuk mengeruk pasir dari
lereng Merapi.
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local Knowledge Future School
Pendidikan memiliki fungsi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia. Kapasitas tersebut berupa kompetensi intelektual, spiritual dan
emosional. Pendidikan selain diorientasikan untuk memberikan bekal potensi juga
merupakan media penyadaran masyarakat terutama berkaitan dengan kepekaan
terhadap masalah lingkungan fisik dan sosial. Permasalahan lingkungan bisa
12
terjadi karena adanya kerusakan yang diakibatkan secara alamiah namun juga bisa
disebabkan oleh ulah manusia. Aktivitas manusia yang riil menyebabkan
kerusakan lingkungan, seperti eksploitasi tambang pasir secara ilegal yang tidak
mematuhi kaidah hukum. Oleh sebab itu, diperlukan alternatif strategi melalui
pendidikan yang diorientasikan kepada anak-anak untuk mengintervensi
masyarakat penambang pasir melalui peran generasi muda.
Fokus pendidikan kepada anak usia sekolah akan cukup efektif
mengintervensi pola pikir orang tua ketika anak-anak penambang pasir tergabung
dalam gerakan penyadaran lingkungan. Anak-anak tersebut menjadi mediator
yang menghubungkan antara fasilitator dengan orang tua mereka yang berprofesi
sebagai penambang. Sehingga harapannya anak-anak terutama yang orang tuanya
bekerja sebagai penambang pasir dapat memberikan informasi kepada para orang
tua tentang bahaya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi penambangan pasir
secara ilegal sepertihalnya sulitnya akses air bersih, polusi udara, bahkan
produktivitas tanaman pertanian menjadi menurun.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School
adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui
pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa.
Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam yakni
dengan melatih kepekaan anak melalui pengenalan tanda kerusakan lingkungan
dari fenomena alam yang dapat ditangkap melalui kelima panca indera. Tanda
Kerusakan Lingkungan yang dapat ditangkap dengan Panca Indra.
Mata: Fenomena secara fisiologis dapat dilihat dengan jelas sepertihalnya:
Kemiringan lereng yang melebihi 40% dengan tinggi 2000 m/dpl perlu
untuk diwaspadai karena berpotensi terjadi longsor. Asap tebal hitam yang
muncul diatas gunung berarti menandakan gunung tersebut sedang meletus
dan masyarakat perlu waspada menjauh dari gunung berapi tersebut.
Contoh kedua, munculnya hewan-hewan yang biasa ditemukan di hutan
13
sepertihalnya kera dan burung yang bermigrasi turun dari wilayah puncak
menandakan gunung juga akan meletus. Contoh ketiga: Masuknya
material vulkanik ke dalam sungai berupa batu-batu besar menandakan
gejala lahar dingin.
Telinga: Masyarakat perlu peka ketika mendengar suara gemuruh dari arah
puncak gunung.
Hidung: Tercium asap yang menimbulkan bau seperti bahan kimia
menyengat bisa menjadi tanda adanya kerusakan lingkungan sepertihalnya
gunung meletus, banjir lahar dan kebakaran hutan.
Kulit: Merasakan hawa panas yang tidak biasa maka masyarakat patut
waspada, bisa jadi karena adanya pembakaran atau tanda gunung akan
meletus.
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam melalui pengenalan filosofi kehidupan
jawa yang mencakup tiga prinsip dasar yakni:
Aja Nggugu Karepe Dewe (jangan berbuat sekehendak sendiri)
Memiliki sebuah makna bahwa sebagai seorang manusia hendaknya kita
tidak menganggap dirinya, kelakuan dan kepribadiannya adalah yang
paling benar. Timbul sifat egoisme yang tidak sekalipun memikirkan
kepentingan orang lain atau masyarakat banyak dan cenderung
mementingkan kehidupannya sendiri. Fenomena sosial ini terjadi di
kehidupan masyarakat sekitar lereng Merapi dimana terdapat anggota
masyarakat yang mencari wahana pemenuhan kebutuhan hidup melalui
aktivitas yang kurang sesuai dengan prinsip kesimbangan alam. Orientasi
pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat masyarakat tertarik untuk
mengeksploitasi tambang pasir secara ilegal dan tidak memedulikan daya
dukung lingkungan sehingga dampaknya terjadi kerusakan lingkungan dan
kerusakan infrastruktur di wilayah tersebut. Oleh sebab itu pembelajaran
filosofi “Aja Nggugu Karepe Dewe” ini dapat diimplementasikan dengan
metode pembelajaran cerita rakyat dan mengajarkan permainan tradisional
yang memiliki esensi semangat kegotong-royongan, kesabaran, koordinasi
dan komunikasi sepertihalnya permainan gobak sodor, jeteng dan egrang.
14
Ibu Bumi, Bapa Aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit)
Mengandung nilai filosofi bahwa yang dimaksud bumi adalah ibu
memiliki arti tanah sebagai tempat berpijak yang melambangkan
kesuburan. Langit adalah bapak, artinya adanya sebuah keberkahan dari
hujan yang turun dari langit. Pembelajaran dari filosofi pitutur luhur (kata
bijak) tersebut, manusia harus menyayangi, melindungi, merawat dan
menjaga bumi sepertihalnya menyayangi orang tua. Jika bertindak
merusak maka langit akan marah dan menghukum manusia melalui
bencana alam sepertihalnya: badai, intensitas hujan tinggi dan lain-lain.
Nilai kehidupan Ibu Bumi, Bapak Aksa ini harus diinternalisasikan dalam
diri masyarakat sekitar lereng merapi agar senantiasa hidup bersatu dengan
alam, menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan.
Asta Brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang,
dan awan)
Ajaran Asta Brata ini merupakan pembelajaran filsafat 8 elemen yang ada
di kehidupan dunia yang memiliki keterkaitan satu sama lain serta
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Elemen tersebut
diantaranya: bumi, api, air, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan yang
memiliki makna filosofi sebagai berikut.
Bumi: Sifat seperti bumi artinya teguh dalam pendirian, mampu
menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain terutama dapat
memberikan bantuan untuk mencukupi kesejahteraan bagi sesama.
Bumi yang dimaksud adalah tanah yang menggambarkan sumber
kehidupan makhluk hidup sehingga seorang manusia harus memiliki
sifat welas asih sepertihalnya filosofi bumi.
Air: Sifat air mampu memberikan kesejukan dan ketentraman. Air
selalu mengalir ke bawah dan bukan ke atas. Hal inilah yang harus
dipelajari manusia dari sifat air karena kemurnian dan kejernihannya
telah mampu membawa kesejukan. Manusia harus memiliki
kejernihan hati, tulus peduli terhadap sesama yang artinya tidak hanya
memperdulikan kepentingan diri sendiri. Sifat air mengajarkan
15
manusia untuk rendah hati terutama kepada orang yang berada di
bawah kita dalam hal kesejahteraan ekonomi.
Api: Api mampu membakar dan menghanguskan sebuah benda,
sehingga api melambangkan semangat keberanian dan keadilan.
Memberikan pembelajaran bahwa manusia harus berani bertindak
secara benar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat serta berani
menentang segala bentuk kebatilan yang ada di kehidupan dunia.
Berlaku adil dalam memutuskan beragam perkara kehidupan serta
berani bertindak dan berkata secara jujur.
Angin: Angin berhembus membawa kesejukan dan kesegaran bagi
jiwa manusia. Esensi pembelajaran sifat angin, yakni tidak tamak serta
tidak menonjolkan nafsu semata. Karena ketentraman hati dan pikiran
akan didapatkan melalui sifat menerima dan bersyukur atas segala hal
yang telah dicapai dan dimiliki.
Matahari: Sifat matahari mampu memancarkan cahaya serta energi
panas yang merupakan sumber energi bagi bumi. Sehingga matahari
memiliki makna sabar, kritis, dan terarah. Matahari menyinari alam
semesta secara teratur dan terarah. Matahari juga menjadi pusat tata
surya yang di putari oleh delapan planet. Manusia harus belajar dari
sifat-sifat matahari tersebut agar mampu menjadi sosok yang
bijaksana karena sifat kesabaran dan keteraturannya sehingga mampu
menjadi pribadi yang menginspirasi dan memotivasi orang lain.
Bulan: Sinar bulan memberikan penerangan di kegelapan malam serta
memberikan warna keindahan di alam semesta. Pembelajaran dari
sifat bulan tersebut dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari bahwa
manusia yang bijak selalu bermanfaat untuk orang lain karena
beragam ide dan solusi yang ia berikan terhadap permasalahan orang
lain tersebut.
Bintang: Bintang mampu membawa cahaya terang yang juga
memberikan penerangan terhadap bumi. Cahaya terang bintang
terlihat kontras dan berbeda dengan matahari dan bulan. Sinar bintang
melambangkan adanya perjuangan serta kerja keras untuk berjaya
16
namun tidak bersifat arogan karena di angkasa terdapat jutaan bintang
yang juga bersinar dan menerangi benda-benda langit disekitarnya.
Oleh sebab itu, sering terdengar kalimat “gapailah bintang di langit”,
yang merupakan sebuah kalimat motivasi bahwa manusia haruslah
pantang menyerah, gigih dan ulet untuk meraih kesuksesan.
Awan: Sifat awan selalu memberikan keteduhan dan hujan yang
menjadi sebuah berkah bagi segala kehidupan yang ada di bumi. Sifat
teduh ini memiliki arti mampu mengayomi dan mengabdi. Manusia
sebagai seorang khalifah dibumi (pemimpin) haruslah mengayomi
sesama anggota masyarakat lainnya. Mengabdi untuk kemaslahatan
masyarakat dan demi kepentingan bersama.
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School
Local Knowledge Future School (LKFS) merupakan program pendidikan
lingkungan berbasis kearifan lokal kepada anak-anak yang hidup di sekitar
lingkungan tambang pasir. Tujuannya untuk membentuk kesadaran akan
pentingnya menjaga lingkungan sejak usia dini agar pengetahuan tersebut mampu
terinternalisasi dalam diri anak. Pendidikan lingkungan berdasarkan nilai falsafah
jawa juga memiliki fungsi untuk memotivasi anak lereng merapi sehingga mereka
dapat menjadi agent of change yang mampu mengubah pola pikir masyarakat
disekitarnya. Program Local Knowledge Future School ini diwujudkan melalui
pendidikan non formal yang mengambil lokasi di pemukiman penduduk di
kawasan lereng Merapi tepatnya di desa Umbul Harjo, Kecamatan Cangkringan.
Dengan
memanfaatkan
gedung
yang
tidak
terpakai
atau
membangun
pendopo/bale yang dapat digunakan untuk proses belajar mengajar. Mahasiswa
dari setiap perguruan tinggi yang dekat dengan lokasi sekolah merupakan
fasilitator secara sukarela, tetapi konsep dan sistematika keseluruhan ditentukan
oleh tim penggagas dan warga sekitar menurut kesepakatan yang telah disetujui
dikemudian hari oleh kedua belah pihak. Target peserta yang mengikuti
pendidikan non formal ini merupakan anak usia 5-18 tahun (masa usia sekolah
formal) yang tinggal di kawasan lereng merapi kecamatan Cangkringan.
17
Model pembelajaran Local Knowledge Future School berorientasi pada
aspek partisipatif inklusif, dimana terdapat umpan balik dari interaksi antara
fasilitator dan peserta. Waktu implementasi proses pembelajaran bersifat tentatif
yang akan dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan peserta didik dan warga di
sekitar tempat belajar-mengajar. Estimasi pembelajaran berlangsung selama 2
jam/pertemuan dengan perincian 30 menit pertama sebagai pengenalan dan
pemberian materi secara pedagogik, dan 90 menit berikutnya sebagai observasi,
permainan, atau lebih dikenal sebagai metode pendidikan secara andragogik.
Minimal dalam satu minggu diadakan 1 kali pertemuan (tergantung kesepakatan
peserta dan fasilitator). Pembelajaran tidak hanya dilaksanakan di dalam ruangan
atau bale melainkan juga di luar ruangan. Metode pembelajaran yang diterapkan
lebih condong ke metode observasi dan study tour agar peserta didik mampu
memahami fenomena yang merupakan sebuah pengetahuan kearifan lokal yang
ada di sekitar lingkungannya.
Dengan demikian, maka kiranya peserta diharapkan tidak hanya
menguasai pendidikan secara pedagogik, melainkan juga pendidikan secara
andragogik. Peserta diharapkan dapat mengikuti proses pembelajaran secara
dewasa, artinya peserta tidak melulu diarahkan oleh fasilitator terhadap sesuatu
hal, akan tetapi peserta juga dapat mampu menyadari akan pentingnya kelestarian
lingkungan dengan mencari pengetahuan melalui panca indera. Dengan
pengetahuan tersebut, peserta diharapkan mampu menentukan sikap yang sesuai
dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah disajikan dalam bentuk materi secara
pedagogik, yang pada akhirnya akan bermuara pada partisipasi peserta terhadap
keikutsertaannya
di
masyarakat
dalam
rangka
menyampaikan
dan
mengimplementasikannya secara bersama-sama. Pengalaman menjadi hal yang
sangat penting kemudian, karena peserta dituntut untuk senantiasa mempelajari
sendiri pengalamannya sesuai dengan bekal pengetahuan yang telah didapatkan,
tentunya tidak terlepas dari keterkaitannya dengan materi kajian dari Local
Knowledge Future School ini.
18
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir di lereng Merapi
Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, meliputi perubahan kondisi alam,
hilangnya kesuburan tanah, dan perubahan tata air. Pasca penambangan, kondisi
alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk.
Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan
lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang
disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi
penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah
gersang. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir,
kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat
khususnya
sekitar
penambangan
melalui
pendidikan
lingkungan
yang
dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School
adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui
pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa.
Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
Peserta Local Knowledge Future School diharapkan dapat mengikuti
proses pembelajaran secara dewasa, artinya peserta tidak melulu diarahkan oleh
fasilitator terhadap sesuatu hal, akan tetapi peserta juga dapat mampu menyadari
akan pentingnya kelestarian lingkungan dengan mencari pengetahuan melalui
panca indera. Dengan pengetahuan tersebut, peserta diharapkan mampu
menentukan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah
disajikan dalam bentuk materi secara pedagogik, yang pada akhirnya akan
bermuara pada partisipasi peserta terhadap keikutsertaannya di masyarakat dalam
rangka menyampaikan dan mengimplementasikannya secara bersama-sama.
19
Dengan demikian, maka kiranya kesadaran akan pentingnya menjaga
lingkungan sejak usia dini dapat terinternalisasi dalam diri anak dan dapat
memotivasi anak sehingga mereka dapat menjadi agent of change yang mampu
mengubah pola pikir masyarakat di sekitarnya khususnya penambang pasir itu
sendiri.
5.2.. Saran
Dalam
melakukan
pemberdayaan
pendidikan
guna
meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan diperlukan peran
stakeholder yang kuat. Implementasi Local Knowledge Future School pada
dasarnya membutuhkan peranan masyarakat dan pemerintah. Masyarakatlah yang
menjadi basis aktor dan penggagas dari konsep ini. Sementara pemerintah
menjadi bagian dari pendukung keberadaan sistem pendidikan ini, sehingga
kedepannya dapat dikembangkan di daerah-daerah yang serupa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, R. (2013) Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup melalui
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah
Hijau. Pedagogia , 2(1), hlm. 98-108.
Ciptoprawiro, A. (1986) Filsafat Jawa . Jakarta: Balai Pustaka.
Dahliani, Soemarno I., dan Setijanti, P. (2015) Local Wisdom in Built
Environment in Globalization Era. International Journal of Education and
Research, 3 (6), hlm. 157-165.
Henning, D.H. dan Pakpahan, A. (1991) Pendidikan Lingkungan dan Taman
Nasional: Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media
Konservasi, 3(2), hlm. 1-9.
Mungmachon, R. (2012) Knowledge and Local Wisdom: Community
Treasure. International Journal of Humanities and Social Science , 2, (13), hlm.
174-181.
Moleong, L.J. (1999) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Risdakarya.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahanbahan Galian.
Pratomo, S. (2009) Model Pembelajaran Tematik dalam Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 11,
hlm. 8-15.
Rahmadian, F. dan Dharmawan, A.H. (2014) Ideologi Aktor dan Persepsi
Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung
Galunggung. Jurnal Sosiologi Pedesaan, hlm 93-108.
Santoso, A.M., Setyowati, E., dan Nurmilawati, M. (2011) Pembangunan
Karakter melalui Lesson Study pada Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis
Keunggulan Lokal. Prosiding Seminar Biologi, 8(1).
Sartini. (2004) Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.
Jurnal Filsafat, 37 (2), hlm. 111-120.
Sutrisno, W. (2013) Filsafat Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu
Bara.
vii
Yudhistira, Hidayat, W.K., Hardiyanto A. (2011) Kajian Dampak Kerusakan
Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah
Kawasan Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), hlm. 76-84.
Ananta, T.P. (2006). Anak Semua Bangsa . Jakarta: Lentera Dipantara.
Wihardandi, A. (2012). Tambang Pasir Merapi Menggerus Alam dan
Kesehatan
Warga
Cangkringan.
(Online).
Tersedia:
http://www.mongabay.co.id/2012/09/20/tambang-pasir-merapi-menggerus-alamdan-kesehatan-warga-cangkringan/
Mahmud, F. (2015). Walhi: Penambangan Matikan Sumber Air di Lereng
Merapi. (Online). Tersedia: http://news.liputan6.com/read/2242721/walhipenambangan-matikan-sumber-air-di-lereng-merapi
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Penulis 1
A. IDENTITAS DIRI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nama Lengkap
NIM
Program Studi / Jurusan
Fakultas
Tempat dan Tanggal Lahir
Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Kafa Abdallah Kafaa
14/364821/SP/26214
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Cirebon, 29 Maret 1997
Lingk. Sukajaya Girang, RT. 001, RW.
010, Kel. Cijati, Kecamatan
Majalengka, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat
[email protected]
085708063681
B. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
Institusi
Pemberi
Penghargaan
1. Juara III Gema
Universitas
Lomba Karya Essay Pendidikan
Nasional (GELORA) Ganesha
2015
Judul Karya
Tahun
Pendidikan Multikultural
sebagai Transformasi
Sosial
2015
2 Semifinalis National
. Bussiness Challenge
(NBC) 2015
Cafe Berbasis Sistem
Ramah Lingkungan
sebagai Solusi Global
Warming di Era
Globalisasi
2015
Universitas
Negeri
Yogyakarta
21
Biodata Penulis 2
C. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap
2. NIM
3. Program Studi / Jurusan
4. Fakultas
5. Tempat dan Tanggal Lahir
6. Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Pinurba Parama Pratiyudha
14/367527/SP/26417
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Magelang, 3 Maret 1996
Jalan Kyai Puji No. 48, RT 01/ RW 02,
Dusun Bagongan, Kelurahan Sukorejo,
Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten
Magelang
[email protected]
085326730001
D. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
1. Juara I Essai
kategori
Mahasiswa/Umum
Bulan Bahasa UGM
2015
2. Delapan besar Call
for Paper
Sospolenesea
“Social Movement”
2015
Institusi
Pemberi
Penghargaan
Departemen
Sastra
Indonesia,
Falkutas Ilmu
Budaya UGM
Dema Fisipol
UGM
E. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat
No.
Judul Karya
1.
Mengenal Pemikiran Politik Para
Ketua BEM Falkutas di UGM
melalui “The Political Compass”
Judul Karya
Tahun
Tiga Jalan Satu Hidup
2015
Youth Social Movement
Syndicate: Membangun
Gerakan Grassroot dalam
Andvokasi Kebijakan
2015
Keterangan
Dipublikasikan dalam Jurnal
Mahasiswa Sangkakala Dema Fisipol
UGM, Volume 1 Tahun 2015
22
Biodata Penulis 3
F. IDENTITAS DIRI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nama Lengkap
NIM
Program Studi / Jurusan
Fakultas
Tempat dan Tanggal Lahir
Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Kinanti Indah Safitri
14/367547/SP/26425
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Jember, 22 April 1996
Jalan Kaliurang km 4.5 Gg.Ilir-Ilir
CT.III 263/C Barek Sleman-Yogyakarta
[email protected]
08993247760
G. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
Institusi
Pemberi
Penghargaan
Dema Fisipol
Universitas
Gadjah Mada
Judul Karya
Tahun
2015
2015
1.
Juara II Call For
Paper Sospolnesea
“Social Movement”
2015
2.
Juara Favorit Artikel Ikatan
Kemuhammadiyahan Mahasiswa
2015
Muhammadiy
ah
Universitas
Negeri
Yogyakarta
Dilematika Konflik
Agraria Menyulut
Gerakan Sosial
Kelompok Tani (Studi
Kasus Gerakan Anti
Tambang Desa Selok
Awar-Awar Lumajang)
Implementasi
Pemberdayaan
Masyarakat Melalui
Pengembangan Program
“Muda-Mudi”
(Muhammadiyah Muda
Mengabdi)
3.
Juara IV Lomba
Menulis Artikel
Pendidikan dalam
rangka Pekan Raya
Pendidikan di
Universitas Tanjung
Pura 2015
Strategi Pengembangan
Kompetensi Guru
Berbasis Innovative
Facilitator dalam
Mendukung
Implementasi Kurikulum
Nasional
BEM FKIP
Universitas
Tanjung Pura
2015
23
LAMPIRAN
Foto Observasi
`
24
25
26
LKTI 3rd Edition Chemical Expo 2016
Local Knowledge Future School: Pendidikan Falsafah Jawa bagi Anak-anak
dalam Pelestarian Lingkungan Lereng Merapi
(Studi Kasus Efek Lingkungan dari Penambangan Pasir
di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta)
Disusun Oleh :
Kafa Abdallah Kafaa
14/364821/SP/26214
Pinurba Parama P.
14/367527/SP/26417
Kinanti Indah Safitri
14/367547/SP/26425
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah limpahan
taufik serta rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ilmiah
yang berjudul: “Local Knowledge Future School:Pendidikan Falsafah Jawa bagi
Anak-anak dalam Pelsetarian Lingkungan Lereng Merapi)”. Dalam kesempatan
kali ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Yth:
-
Dr. Krisdyatmiko, S.Sos., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan saran dan masukan dalam penulisan Karya Ilmiah ini.
-
Rekan-rekan sejawat jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
angkatan 2014 yang turut memberikan dukungan kepada kami.
Di dalam karya tulis ilmiah ini dipaparkan bagaimana kondisi lingkungan
sekitar penambangan pasir lereng Merapi di Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta. Terdapat beberapa dampak negatif terhadap lingkungan yang
disebabkan penambangan pasir tersebut. Pada dasarnya, penambangan pasir
tersebut dinilai tidak atau kurang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan,
sehingga memunculkan berbagai bentuk dampak kerusakan yang menyebabkan
krisis air bagi warga sekitar, bencana alam (tanah longsor), perubahan relief bumi,
dan penurunan kualitas kesuburan tanah. Gagasan yang disampaikan dalam karya
tulis ini adalah betapa pentingnya nilai-nilai kearifan lokal yang dalam hal ini
falsafah jawa untuk membendung atau setidaknya mengurangi tingkat kerusakan,
terlebih lagi sebagai suatu modal pengetahuan dalam pelestarian lingkungan
lereng Merapi. Pendidikan menjadi alat penyampaiannya kemudian, dengan
menunjuk anak-anak usia 5-18 tahun (masa sekolah formal) sebagai peserta dan
mahasiswa sebagai fasilitator yang keseluruhan dilakukan secara informal.
Pendidikan tersebut menggunakan metode pembelajaran secara pedagogik dan
andragogik (utama). Tujuan sekolah ini adalah untuk menyampaikan nilai-nilai
kearifan lokal dalam falsafah jawa kepada masyarakat yang diawali dengan anakanak, sehingga dapat terinternalisasi dalam dirinya, dan sekaligus dapat mampu
menjadi agent of change terhadap pola pikir masyarakatnya. Harapannya dengan
inovasi Local Knowledge Future School ini, masyarakat terkhususnya penambang
iv
pasir dapat mengetahui dan mengimplementasikan pada tataran praktis mengenai
nilai-nilai kearifan lokal falsafah jawa. Dengan demikian, upaya membendung
atau mengurangi kerusakan dan melestarikan lingkungan di lereng Merapi dapat
terwujud.
Karya Tulis Ilmiah ini disusun berdasarkan hasil observasi dan wawancara
serta melalui studi literatur berupa buku, makalah dan jurnal ilmiah. Diharapkan
karya tulis ini dapat bermanfaat dan membantu para pembaca untuk menambah
wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan. Akhir kata, Karya tulis ilmiah ini tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan untuk itulah kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kelancaran proses penyusunan karya
ilmiah selanjutnya. Semoga dapat memberikan sumber bacaan yang bermanfaat
dan menginspirasi.
Yogyakarta, 08 Februari 2016
v
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................i
Halaman Pengesahan............................................................................................ii
Lembar Pernyataan..............................................................................................iii
Kata Pengantar.....................................................................................................iv
Daftar Isi...............................................................................................................vi
Abstrak..................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................2
1.1 Latar Belakang................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan...........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................5
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi Lingkungan...5
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup........................................................................6
2.3 Kearifan Lokal.................................................................................................8
2.4 Falsafah Jawa...................................................................................................9
BAB III METODE PENULISAN.......................................................................10
BAB IV PEMBAHASAN...................................................................................11
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir.....................................11
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local
Knowledge Future School..........................................................................12
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School................................17
BAB V PENUTUP...........................................................................................19
vi
5.1 Kesimpulan..............................................................................................19
5.2 Saran........................................................................................................20
Daftar Pustaka...............................................................................................vii
Daftar Riwayat Hidup....................................................................................21
Lampiran.......................................................................................................24
vii
ABSTRAK
Abstrak: Dewasa ini nilai-nilai kearifan lokal telah mengalami kemunduran. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus yang berpotensi atau justru telah
merusak lingkungan, terutama di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta. Aktivitas penambangan pasir secara ilegal sebagian besar tidak
memiliki komitmen dalam pemulihan lingkungan sehingga dapat menimbulkan
dampak negatif. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi
tambang pasir diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat melalui
pendidikan lingkungan yang dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal.
Local Knowledge Future School merupakan program pendidikan lingkungan
berbasis kearifan lokal kepada anak-anak yang hidup di sekitar lingkungan
tambang pasir. Tujuannya untuk membentuk kesadaran akan pentingnya menjaga
lingkungan sejak usia dini agar pengetahuan tersebut mampu terinternalisasi
dalam diri anak serta memotivasi anak untuk menjadi agent of change. Kearifan
lokal yang dimaksud adalah tiga nilai falsafah jawa yang menjadi local knowledge
(pengetahuan lokal); Aja nggugu karepe dewe (jangan berbuat sekehendak
sendiri), ibu bumi, bapa aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit), dan asta
brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan).
Materi pendidikan falsafah jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
pendidikan mengantisipasi kerusakan lingkungan dan pendidikan sikap bersatu
dengan alam. Proses belajar mengajar dilaksanakan oleh anak-anak yang hidup di
wilayah sekitar tambang pasir dan mahasiswa/pemuda sebagai fasilitator. Metode
pembelajaran dilakukan melalui sharing-diskusi, study tour, dan menggunakan
permainan tradisional wilayah tersebut sebagai sarana pengenalan falsafah jawa
sekaligus menjadi sarana hiburan.
Kata Kunci: Anak-anak, Falsafah Jawa, Lingkungan, Local Knowledge Future
School
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring perkembangan zaman yang semakin hari semakin berorientasi
pada kebutuhan ekonomi, berbagai aspek kehidupan pun ikut menjadi imbasnya.
Zaman yang disebut oleh Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa; 2006)
sebagai zaman modal ini lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi
daripada aspek lainnya. Sebut saja salah satunya aspek lingkungan yang semakin
hari semakin akrab akan kerusakannya. Kekuatan gaib –modal telah mampu
mencengkeram segala aspek kehidupan, yang tanpanya akan terkucilkan atau
bahkan terbunuh dikemudian waktu. Manusia tidak lagi bertindak sebagai tuan
bagi alam, melainkan hamba bagi modal untuk memperbudak alam.
Indonesia yang disebut-sebut oleh Koes Plus dalam lagunya “Kolam
Susu” sebagai negeri tanah surga, dengan terpampang berjuta kekayaan dari
Sabang sampai Merauke pun ikut tercengkeram dalam kuasa modal. Alam,
budaya, adat, tradisi, dan lain sebagainya menjadi korban keperkasaan modal
tersebut. Demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, alam dieksploitasi
secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak kerusakannya. Budaya,
adat, dan tradisi pun tersisihkan, terlupakan, bahkan dilupakan demi menunjang
keberhasilan meraup untung dalam jumlah yang sangat banyak.
Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya asli Indonesia
telah tergeser oleh nilai-nilai kapitalisme asing yang entah dari mana asalnya.
Kearifan lokal yang semestinya menjadi tolok ukur bagi pelaksanaan pemanfaatan
lingkungan pun mulai hilang –setidaknya tertutupi oleh arus derasnya ombak
permukaan kapitalisme. Kearifan lokal ini ditunjang oleh adanya pengetahuan
lokal yang berbeda pada setiap daerah yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
Seperti halnya pengetahuan lokal bagi penambangan pasir di lereng Merapi yang
berada di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Penambangan tersebut telah menuai berbagai kecaman dari kalangan
akademis, penulis, bahkan perlawanan secara fisik oleh warga sekitarnya. Hal ini
disebabkan karena adanya praktik penambangan yang tidak atau kurang
2
memperhatikan aspek lingkungan yang menjadi dampaknya. Krisis air yang
diakibatkan pengerukan lapisan tanah secara terus-menerus yang kemudian
berdampak pada cadangan air yang semakin dalam, sehingga menyulitkan warga
sekitar penambangan untuk memperoleh air. Bencana alam kerap terjadi di daerah
penambangan
tersebut
yang
disebabkan
pengerukan
tanah
sehingga
mempengaruhi bentuk relief bumi. Parahnya, kesuburan tanah yang menjadi
nyawa bagi mayoritas pekerjaan warga sekitar pun menjadi terganggu, sehingga
aktivitas pertanian menjadi imbasnya pula.
Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir,
kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat
khususnya
sekitar
penambangan
melalui
pendidikan
lingkungan
yang
dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal. Penulisan ini bermaksud untuk
mengkaji lebih dalam lagi terkait akibat dari kerusakan lingkungan yang
disebabkan penambangan pasir di lereng Merapi di Kecamatan Cangkringan,
Merapi, Yogyakarta. Lebih jauh lagi, adalah memberikan angin segar berupa
gagasan untuk senantiasa mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal yang telah
tertutup oleh derasnya arus permukaan kapitalisme melalui pentingnya
pengetahuan dan penerapan nilai-nilai luhur falsafah jawa dalam kehidupan
manusia terkhususnya sebagai permulaan diperuntukkan bagi anak-anak di
wilayah sekitar penambangan pasir tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng
Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
Bagaimanakah keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan pelestarian
lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan
Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
Bagaimanakah implementasi dari inovasi sistem pendidikan Local
Knowledge Future School bagi anak-anak sekitar penambangan pasir di
lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta?
3
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui kondisi lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng
Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Untuk mengetahui keterkaitan kearifan lokal falsafah jawa dengan
pelestarian lingkungan sekitar penambangan pasir di lereng Merapi
Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
Untuk mengetahui implementasi inovasi sistem pendidikan Local
Knowledge Future School bagi anak-anak sekitar penambangan pasir di
lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.
1.4 Manfaat Penulisan
Sebagai media pengetahuan dan pembelajaran terkait kondisi lingkungan
sekitar penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan,
Sleman, Yogyakarta.
Sebagai media dalam menjawab persoalan yang ada di lingkungan sekitar
penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta.
Sebagai media pembangunan dalam hal pelestarian lingkungan sekitar
penambangan pasir di lereng Merapi Kecamatan Cangkringan, Sleman,
Yogyakarta, melalui inovasi Local Knowledge Future School.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penambangan Pasir dari Kebutuhan Ekonomi hingga Urgensi
Lingkungan
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral Batu Bara, yang diartikan sebagai pertambangan yaitu sebagian atau
seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, ekplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Kemudian dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian
membagi jenis bahan galian tambang menjadi tiga: bahan galian strategis, bahan
galian vital, dan bahan galian non-vital maupun non-strategis. Salah satu faktor
yang menentukan penggolangan bahan galian ini dapat dilihat dari dampak yang
ditimbulkan kepada masyarakat.
Sebagai salah satu kegiatan pertambangan, pertambangan pasir mengacu
pada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 merupakan bentuk
penambangan bahan galian C atau non-vital dan non-strategis. Namun fakta
dilapangan justru menunjukan bahan galian C memberi dampak krusial seperti
pencemaran air yang diakibatkan kontaminasi limbah hasil kegiatan tambang
(Rahmadian & Dharmawan, 2014: 95). Dalam Yudhistira et. al., (2011) pada
dasarnya industri pertambangan pasir secara ekonomis mampu menciptakan
surplus devisa dan menyedot banyak lapangan kerja. Akan tetapi di sisi lain sektor
tambang mengundang banyak sorotan dalam kegiatannya yang justru merusak
lingkungan. Secara umum kegiatan industri tambang pasir menimbulkan berbagai
efek sebagai berikut: (Rahmadian & Dharmawan, 2014: 106)
1. Degradasi kualitas air oleh karena pencemaran limbah dari kegiatan
tambang.
2. Polusi udara yang disebabkan oleh maraknya truk atau kendaraan
pengangkut pasir yang berlalu-lalang yang berefeksamping pula
dengan rusaknya kondisi jalan.
5
3. Ancaman bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang
diakibatkan penyusutan sungai dan konversi lahan.
4. Munculnya bahaya konflik laten maupun manifes yang bersifat
horizontal maupun vertikal.
5. Munculnya sikap apatis masyarakat dalam isu pelestarian lingkungan.
6. Tumbuhnya
pusat
industri
dan
ekonomi
baru
oleh
karena
meningkatnya kegiatan tambang.
Menurut Yudhistira, et al. (2011) dalam kasus perusakan lingkungan oleh
aktivitas pertambangan pasir di Merapi terdapat dua aspek utama sebagai dampak
yaitu lingkungan dan sosial-ekonomi. Dampak lingkungan dari aktivitas
penambangan pasir di Merapi diantaranya sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat erosi di kawasan pertambangan.
2. Adanya tebing yang rawan longsor oleh karena aktivitas penambangan
yang sembarangan.
3. Berkurangnya jumlah air permukaan.
4. Tingginya lalu lintas kendaraan pengangkut pasir yang menimbulkan
kerusakan jalan.
5. Terjadinya polusi udara.
Sementara itu terdapat pula dampak sosial-ekonomi dari penambangan pasir di
Merapi yang diantaranya:
1. Pengurangan jumlah pengangguran oleh karena muncul lapangan kerja
baru di kawasan industri tambang pasir.
2. Adanya pemasukan dari pemilik tanah yang menjual atau menyewakan
lahan mereka untuk ditambang.
3. Mulai
munculnya
pendatang
sehingga
memunculkan
potensi
timbulnya konflik.
4. Adanya ketakutan masyarakat akan potensi kerusakan lingkungan
yang dapat menimbulkan bencana.
2.2 Pendidikan Lingkungan Hidup
Menurut Pranoto (2009) pendidikan lingkungan hidup adalah suatu
program pendidikan untuk membina anak agar mampu memahami, sadar, dan
memiliki sikap perilaku yang rasional serta bertanggungjawab dalam timbal balik
6
antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai aspek dalam kehidupan. Hening
dan Pakpahan (1991) mengatakan bahwa pada dasarnya pendidikan lingkungan
berkaitan dengan proses pengetahuan, pemahaman, sikap, nilai, keterampilan,
dan tanggung jawab terhadap masalah lingkungan. Oleh karena itu suatu proses
pendidikan lingkungan tidak hanya berpusat pada pemahaman dasar akan
permasalah lingkungan namun lebih lanjut lagi adalah upaya menumbuhkan sikap
kepedulian dalam upaya pelestarian lingkungan.
Barlia (2008: 7, dalam Afandi, 2013) berpendapat bahwa sekiranya
terdapat tujuan khusus dari suatu pendidikan lingkungan hidup yang diantaranya:
1. Kesadaran: membantu anak didik mendapatkan kesadaran dan peka
terhadap lingkungan hidup dan permasalahannya.
2. Pengetahuan: membantu anak didik memperoleh dasar pemahaman
tentang
fungsi
lingkungan
hidup,
interaksi
manusia
dengan
lingkungannya.
3. Sikap: membantu anak didik mendapat nilai, perasaan tanggungjawab
serta komitmen terhadap pelestarian lingkungan.
4. Keterampilan: membantu anak didik mendapatkan keterampilan
mengindetifikasi, investigasi, dan kontribusi terhadap pemecahan dan
penanganan masalah lingkungan.
5. Partisipasi: membantu anak didik dalam menerapkan pengetahuannya
serta berpengalaman dalam menghadapi permasalahan lingkungan.
Sebagai bentuk pendidikan lingkungan hidup, perlu adanya suatu proses
integrasi dengan keunggulan lokal yang dimiliki suatu daerah. Hal ini melihat
akan kondisi setiap daerah yang memiliki perbedaan urgensi permasalahan
lingkungan. Dalam implementasinya dengan keunggulan lokal terdapat beberapa
proses yang dapat dilakukan (Santoso et al., 2011) yaitu:
1. Melakukan indetifikasi jenis keunggulan lokal yang dimiliki oleh suatu
daerah.
2. Pemetaan jenis keunggulan lokal yang dapat dikembangkan di satuan
pendidikan.
3. Menentukan jenis keunggulan lokal yang dapat dilaksanakan dalam
satuan pendidikan.
7
4. Mengintegrasi keunggulan lokal dengan standar kopentensi yang
relevan.
5. Tahap eksekusi yang dilakukan oleh pengajar dan obeserver sesuai
dengan rencana yang telah dibangun.
6. Evaluasi tentang proses pembelajaran serta efek bagi peserta didik
untuk sebagai pertimbangan dalam rencana selanjutnya.
2.3 Kearifan Lokal
Menurut NarkonThap (NakhornThap, 1996 dalam R. Mungmachon,
2012), yang dimaksud sebagai kearifan lokal adalah suatu pengetahuan dasar yang
didapat dari pembelajaran keseimbangan kehidupan dengan alam dan biasanya
berkaitan dengan budaya lokal yang disosialisasikan secara turun temurun
(Sartini, 2004).Secara umum, kearifan lokal dapat dilihat sebagai suatu bentuk
akumulasi pengetahuan yang tumbuh-kembang dalam setiap interaksi masyarakat
yang berkaitan dengan keseimbangan alam yang diproses secara turun temurun
sebagai suatu bagian dari norma dan nilai-nilai bersama.
Kearifan lokal juga dapat dikatakan sebagai manifestasi dari pengetahuan
lokal masyarakat. Pengetahuan lokal secara definisi dapat dijabarkan sebagai
berikut(Ellen, et. al., 2005 dalam Dahliana, 2015). Pertama, pengetahuan yang
dikaitkan dengan keberadaan suatu tempat, kumpulan pengalaman, dan tumbuh
dalam masyarakat lokal. Kedua, pengetahuan yang didapat melalui mimikri,
imitasi, dan eksperimen. Ketiga, pengetahuan yang diperoleh melalui trial and
error setiap harinya. Keempat, ilmu pengetahuan empiris yang tidak teoritis.
Kelima, suatu pengetahuan komprehensif yangterintegrasi dalam tradisi dan
budaya.
Dalam suatu kearifan lokal terdapat dua elemen dasar, antara lain;
Pertama, manusia sebagai penerjemah sekaligus aktor yang menumbuhkan makna
dari suatu fenomena dan realita. Kedua, alam sebagai objek dari manusia dalam
melakukan upaya penerjemahan. Keberadaan komponen alam tidaklah berarti
sebagai secara fisik, namun lebih bermakna luas. Alam pada hakikatnya adalah
segala lingkungan baik batin maupun lahir yang selalu berinteraksidengan setiap
kegiatan manusia.
8
2.4 Falsafah Jawa
Pada dasarnya falsafah jawa termasuk sebagai suatu cabang dari ilmu
filsafat Timur. Filsafat Timur berlandasakan hubungan antara hakikat illahiyyah
dengan perkembangan pemahaman pengetahuan yang tumbuh dalam masyarakat
(Sutrisno, 2013). Sebagai bagian dari filsafat Timur, falsafah jawa secara umum
menggambarkan suatu hubungan antara manusia dan hakikat illahiyyah. Menurut
Ciptoprawiro dalam bukunya yang berjudul Falsafah Jawa, pengetahuan
senantiasa hanya sebagai sarana menuju pada kesempurnaan. Untuk mencapai
kesempurnaan inilah maka manusia haruslah memiliki kodrat hubungan yang
harmonis dengan lingkungannya, yaitu dengan Tuhan dan alam semesta
(Ciptoprawiro, 1986).
Falsafah jawa dibangun atas empat dasar utama, antara lain; metafisika,
ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Sutrisno, 2013). Metafisika adalah ilmu
yang melihat yang ada sebagai yang ada. Secara umumnya metafisika dalam
filsafat sendiri adalah sebagai bentuk pertanyaan mendasar yang terlepas dari
fakta empiris secara fisik. Kemudian ontolgi sendiri merupakan kebalikan dari
metafisika. Ontologi adalah suatu padangan yang mempersoalkan adanya segala
sesuatu yang ada, hal-hal yang terkait nyata ada di depan mata. Dasar
epistemologi merupakan bagaimana logika formal berpikir dan menelaah suatu
realita yang ada maupun yang diadakan. Terakhir, aksiologi berkaitan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam proses pemikiran dan pemahamana berfilsafat.
9
BAB III
METODE PENULISAN
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode pengumpulan data observasi dan
wawancara tidak terstruktur. Observasi merupakan proses yang kompleks,
tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiyono dalam
Sutrisno Hadi, 2009:203). Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan
wawancara
yang
dilakukan
dengan
responden
terpilih
yang
memiliki
pengetahuan, mendalami situasi dan mengetahui informasi yang diperlukan
(Moleong, 1999). Observasi dilaksanakan pada hari Sabtu, 09 Januari 2016 di
desa Umbul Harjo, kecamatan Cangkringan kabupaten Sleman. Observasi
ditujukan untuk mengamati tingkat kerusakan lingkungan akibat aktivitas
tambang pasir serta meninjau secara langsung pemukiman penduduk yang
potensial menjadi lokasi program Local Knowledge Future School. Wawancara
tidak terstruktur dilaksanakan dengan menggali informasi beberapa narasumber
yang aktif berkegiatan langsung dalam aktivitas tambang pasir di lereng Merapi,
yakni Bapak Sutarjo (42) dan Bapak Atmono (24). Selain pengumpulan data
secara langsung, karya tulis ini juga dibuat berdasarkan studi pustaka dan literatur
yang berkaitan dengan falsafah jawa yang memiliki korelasi dengan kelestarian
lingkungan. Dari kajian pustaka berdasarkan kata kunci tersebut dapat ditemukan
data yang relevan untuk menunjang penulisan gagasan. Studi pustaka bersumber
dari buku, artikel, dan jurnal ilmiah yang berkaitan dengan topik tersebut sehingga
terciptalah inovasi berupa program pendidikan Falsafah Jawa dalam mengatasi
permasalahan lingkungan akibat penambangan pasir melalui Local Knowledge
Future School.
10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan di Sekitar Penambangan Pasir
Aktivitas penambangan pasir di lereng Gunung Merapi sudah dimulai
sejak Gunung ini mengeluarkan lava pada tahun 1930-an. Lava yang turun dari
moncong merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir
tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai–sungai yang menjadi jalur lava,
beberapa diantaranya adalah sungai opak, sungai gendol dan sungai kuning. Bagi
masyarakat lereng Gunung Merapi, aktivitas penambangan pasir merupakan
pekerjaan turun-temurun yang menjadi sumber mata pencaharian warga.
Menambang pasir bagi warga sekitar penambangan merupakan salah satu cara
mudah untuk mendapatkan uang, karena menurut mereka, aktivitas dalam
menambang pasir tidak memerlukan keterampilan (skill) khusus. Hanya dengan
bermodal senggrong saja, seseorang bisa menjadi penambang pasir dengan
penghasilan Rp. 90.000 – Rp. 150.000, cukup menggiurkan tentunya. Rata–rata
penambang pasir di daerah sungai gendol dan sungai kuning adalah warga
Cangkringan dan Klaten. Usia mereka sekitar 20-40 tahunan. Mereka menjadikan
menambang pasir sebagai pekerjaan pokok mereka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Sutarjo (42 tahun),
menambang pasir merupakan pekerjaan tetapnya untuk menghidupi keluarga,
sebenarnya bapak Sutarjo mengetahui tentang bahaya dari aktivitas penambangan
tersebut, tetapi beliau tidak memiliki pekerjaan lain sehingga tetap melakukan
penambangan pasir. Atmono (24 tahun) mengungkapkan hal yang sama, sulitnya
mencari pekerjaan menyebabkan dia menambang pasir. Tapi pekerjaan
menambang pasir hanya dijadikan pekerjaan sampingan. Menurut Dinas
Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA),
kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi perubahan kondisi
alam, hilangnya kesuburan tanah, dan perubahan tata air. Pasca penambangan,
kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang
buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang
merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan
11
hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran
lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah
gersang.
Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan
sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan
besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas
penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat,
penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali
dan mengubah bentang alam. Apalagi tingkat permintaan pembeli akan pasir
Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9 juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding
dengan suplai material dari letusan Merapi rata-rata hanya mampu memberikan
daya dukung kebutuhan pasir sebesar 2,5 juta M 3 / tahun. Di luar jalur aliran
erupsi Merapi, para penambang juga masuk ke wilayah tutupan hutan pinus yang
berdekatan dengan sungai-sungai lokasi penambangan sebelumnya atau menyewa
lahan-lahan pertanian maupun perkebunan penduduk.
Sekarang kondisi alam di kawasan Merapi berubah dengan cepat.
Beberapa desa di Kecamatan Cangkringan, kini telah berubah menjadi lubanglubang penambangan pasir yang setiap hari dipenuhi para penambang, back hoe
dan truck pengangkut pasir. Warga yang tinggal disekitar lereng Gunung Merapi
memprotes maraknya penambangan pasir karena mengancam lingkungan tempat
mereka tinggal. Selama ini protes sudah dilayangkan ke Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta tetapi belum ada tanggapan. Kegiatan penambangan pasir di
lereng Gunung Merapi Yogyakarta sampai dengan saat ini masih terus
berlangsung. Alat-alat berat seperti bego digunakan untuk mengeruk pasir dari
lereng Merapi.
4.2 Falsafah Jawa dan Pendidikan Local Knowledge Future School
Pendidikan memiliki fungsi untuk meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia. Kapasitas tersebut berupa kompetensi intelektual, spiritual dan
emosional. Pendidikan selain diorientasikan untuk memberikan bekal potensi juga
merupakan media penyadaran masyarakat terutama berkaitan dengan kepekaan
terhadap masalah lingkungan fisik dan sosial. Permasalahan lingkungan bisa
12
terjadi karena adanya kerusakan yang diakibatkan secara alamiah namun juga bisa
disebabkan oleh ulah manusia. Aktivitas manusia yang riil menyebabkan
kerusakan lingkungan, seperti eksploitasi tambang pasir secara ilegal yang tidak
mematuhi kaidah hukum. Oleh sebab itu, diperlukan alternatif strategi melalui
pendidikan yang diorientasikan kepada anak-anak untuk mengintervensi
masyarakat penambang pasir melalui peran generasi muda.
Fokus pendidikan kepada anak usia sekolah akan cukup efektif
mengintervensi pola pikir orang tua ketika anak-anak penambang pasir tergabung
dalam gerakan penyadaran lingkungan. Anak-anak tersebut menjadi mediator
yang menghubungkan antara fasilitator dengan orang tua mereka yang berprofesi
sebagai penambang. Sehingga harapannya anak-anak terutama yang orang tuanya
bekerja sebagai penambang pasir dapat memberikan informasi kepada para orang
tua tentang bahaya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi penambangan pasir
secara ilegal sepertihalnya sulitnya akses air bersih, polusi udara, bahkan
produktivitas tanaman pertanian menjadi menurun.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School
adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui
pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa.
Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam yakni
dengan melatih kepekaan anak melalui pengenalan tanda kerusakan lingkungan
dari fenomena alam yang dapat ditangkap melalui kelima panca indera. Tanda
Kerusakan Lingkungan yang dapat ditangkap dengan Panca Indra.
Mata: Fenomena secara fisiologis dapat dilihat dengan jelas sepertihalnya:
Kemiringan lereng yang melebihi 40% dengan tinggi 2000 m/dpl perlu
untuk diwaspadai karena berpotensi terjadi longsor. Asap tebal hitam yang
muncul diatas gunung berarti menandakan gunung tersebut sedang meletus
dan masyarakat perlu waspada menjauh dari gunung berapi tersebut.
Contoh kedua, munculnya hewan-hewan yang biasa ditemukan di hutan
13
sepertihalnya kera dan burung yang bermigrasi turun dari wilayah puncak
menandakan gunung juga akan meletus. Contoh ketiga: Masuknya
material vulkanik ke dalam sungai berupa batu-batu besar menandakan
gejala lahar dingin.
Telinga: Masyarakat perlu peka ketika mendengar suara gemuruh dari arah
puncak gunung.
Hidung: Tercium asap yang menimbulkan bau seperti bahan kimia
menyengat bisa menjadi tanda adanya kerusakan lingkungan sepertihalnya
gunung meletus, banjir lahar dan kebakaran hutan.
Kulit: Merasakan hawa panas yang tidak biasa maka masyarakat patut
waspada, bisa jadi karena adanya pembakaran atau tanda gunung akan
meletus.
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam melalui pengenalan filosofi kehidupan
jawa yang mencakup tiga prinsip dasar yakni:
Aja Nggugu Karepe Dewe (jangan berbuat sekehendak sendiri)
Memiliki sebuah makna bahwa sebagai seorang manusia hendaknya kita
tidak menganggap dirinya, kelakuan dan kepribadiannya adalah yang
paling benar. Timbul sifat egoisme yang tidak sekalipun memikirkan
kepentingan orang lain atau masyarakat banyak dan cenderung
mementingkan kehidupannya sendiri. Fenomena sosial ini terjadi di
kehidupan masyarakat sekitar lereng Merapi dimana terdapat anggota
masyarakat yang mencari wahana pemenuhan kebutuhan hidup melalui
aktivitas yang kurang sesuai dengan prinsip kesimbangan alam. Orientasi
pemenuhan kebutuhan ekonomi membuat masyarakat tertarik untuk
mengeksploitasi tambang pasir secara ilegal dan tidak memedulikan daya
dukung lingkungan sehingga dampaknya terjadi kerusakan lingkungan dan
kerusakan infrastruktur di wilayah tersebut. Oleh sebab itu pembelajaran
filosofi “Aja Nggugu Karepe Dewe” ini dapat diimplementasikan dengan
metode pembelajaran cerita rakyat dan mengajarkan permainan tradisional
yang memiliki esensi semangat kegotong-royongan, kesabaran, koordinasi
dan komunikasi sepertihalnya permainan gobak sodor, jeteng dan egrang.
14
Ibu Bumi, Bapa Aksa (ibu adalah bumi, bapak adalah langit)
Mengandung nilai filosofi bahwa yang dimaksud bumi adalah ibu
memiliki arti tanah sebagai tempat berpijak yang melambangkan
kesuburan. Langit adalah bapak, artinya adanya sebuah keberkahan dari
hujan yang turun dari langit. Pembelajaran dari filosofi pitutur luhur (kata
bijak) tersebut, manusia harus menyayangi, melindungi, merawat dan
menjaga bumi sepertihalnya menyayangi orang tua. Jika bertindak
merusak maka langit akan marah dan menghukum manusia melalui
bencana alam sepertihalnya: badai, intensitas hujan tinggi dan lain-lain.
Nilai kehidupan Ibu Bumi, Bapak Aksa ini harus diinternalisasikan dalam
diri masyarakat sekitar lereng merapi agar senantiasa hidup bersatu dengan
alam, menjaga, merawat dan melestarikan lingkungan.
Asta Brata (delapan ajaran; bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang,
dan awan)
Ajaran Asta Brata ini merupakan pembelajaran filsafat 8 elemen yang ada
di kehidupan dunia yang memiliki keterkaitan satu sama lain serta
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia. Elemen tersebut
diantaranya: bumi, api, air, angin, matahari, bulan, bintang, dan awan yang
memiliki makna filosofi sebagai berikut.
Bumi: Sifat seperti bumi artinya teguh dalam pendirian, mampu
menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain terutama dapat
memberikan bantuan untuk mencukupi kesejahteraan bagi sesama.
Bumi yang dimaksud adalah tanah yang menggambarkan sumber
kehidupan makhluk hidup sehingga seorang manusia harus memiliki
sifat welas asih sepertihalnya filosofi bumi.
Air: Sifat air mampu memberikan kesejukan dan ketentraman. Air
selalu mengalir ke bawah dan bukan ke atas. Hal inilah yang harus
dipelajari manusia dari sifat air karena kemurnian dan kejernihannya
telah mampu membawa kesejukan. Manusia harus memiliki
kejernihan hati, tulus peduli terhadap sesama yang artinya tidak hanya
memperdulikan kepentingan diri sendiri. Sifat air mengajarkan
15
manusia untuk rendah hati terutama kepada orang yang berada di
bawah kita dalam hal kesejahteraan ekonomi.
Api: Api mampu membakar dan menghanguskan sebuah benda,
sehingga api melambangkan semangat keberanian dan keadilan.
Memberikan pembelajaran bahwa manusia harus berani bertindak
secara benar sesuai dengan nilai dan norma masyarakat serta berani
menentang segala bentuk kebatilan yang ada di kehidupan dunia.
Berlaku adil dalam memutuskan beragam perkara kehidupan serta
berani bertindak dan berkata secara jujur.
Angin: Angin berhembus membawa kesejukan dan kesegaran bagi
jiwa manusia. Esensi pembelajaran sifat angin, yakni tidak tamak serta
tidak menonjolkan nafsu semata. Karena ketentraman hati dan pikiran
akan didapatkan melalui sifat menerima dan bersyukur atas segala hal
yang telah dicapai dan dimiliki.
Matahari: Sifat matahari mampu memancarkan cahaya serta energi
panas yang merupakan sumber energi bagi bumi. Sehingga matahari
memiliki makna sabar, kritis, dan terarah. Matahari menyinari alam
semesta secara teratur dan terarah. Matahari juga menjadi pusat tata
surya yang di putari oleh delapan planet. Manusia harus belajar dari
sifat-sifat matahari tersebut agar mampu menjadi sosok yang
bijaksana karena sifat kesabaran dan keteraturannya sehingga mampu
menjadi pribadi yang menginspirasi dan memotivasi orang lain.
Bulan: Sinar bulan memberikan penerangan di kegelapan malam serta
memberikan warna keindahan di alam semesta. Pembelajaran dari
sifat bulan tersebut dapat diterapkan di kehidupan sehari-hari bahwa
manusia yang bijak selalu bermanfaat untuk orang lain karena
beragam ide dan solusi yang ia berikan terhadap permasalahan orang
lain tersebut.
Bintang: Bintang mampu membawa cahaya terang yang juga
memberikan penerangan terhadap bumi. Cahaya terang bintang
terlihat kontras dan berbeda dengan matahari dan bulan. Sinar bintang
melambangkan adanya perjuangan serta kerja keras untuk berjaya
16
namun tidak bersifat arogan karena di angkasa terdapat jutaan bintang
yang juga bersinar dan menerangi benda-benda langit disekitarnya.
Oleh sebab itu, sering terdengar kalimat “gapailah bintang di langit”,
yang merupakan sebuah kalimat motivasi bahwa manusia haruslah
pantang menyerah, gigih dan ulet untuk meraih kesuksesan.
Awan: Sifat awan selalu memberikan keteduhan dan hujan yang
menjadi sebuah berkah bagi segala kehidupan yang ada di bumi. Sifat
teduh ini memiliki arti mampu mengayomi dan mengabdi. Manusia
sebagai seorang khalifah dibumi (pemimpin) haruslah mengayomi
sesama anggota masyarakat lainnya. Mengabdi untuk kemaslahatan
masyarakat dan demi kepentingan bersama.
4.3 Sistem Pembelajaran Local Knowledge Future School
Local Knowledge Future School (LKFS) merupakan program pendidikan
lingkungan berbasis kearifan lokal kepada anak-anak yang hidup di sekitar
lingkungan tambang pasir. Tujuannya untuk membentuk kesadaran akan
pentingnya menjaga lingkungan sejak usia dini agar pengetahuan tersebut mampu
terinternalisasi dalam diri anak. Pendidikan lingkungan berdasarkan nilai falsafah
jawa juga memiliki fungsi untuk memotivasi anak lereng merapi sehingga mereka
dapat menjadi agent of change yang mampu mengubah pola pikir masyarakat
disekitarnya. Program Local Knowledge Future School ini diwujudkan melalui
pendidikan non formal yang mengambil lokasi di pemukiman penduduk di
kawasan lereng Merapi tepatnya di desa Umbul Harjo, Kecamatan Cangkringan.
Dengan
memanfaatkan
gedung
yang
tidak
terpakai
atau
membangun
pendopo/bale yang dapat digunakan untuk proses belajar mengajar. Mahasiswa
dari setiap perguruan tinggi yang dekat dengan lokasi sekolah merupakan
fasilitator secara sukarela, tetapi konsep dan sistematika keseluruhan ditentukan
oleh tim penggagas dan warga sekitar menurut kesepakatan yang telah disetujui
dikemudian hari oleh kedua belah pihak. Target peserta yang mengikuti
pendidikan non formal ini merupakan anak usia 5-18 tahun (masa usia sekolah
formal) yang tinggal di kawasan lereng merapi kecamatan Cangkringan.
17
Model pembelajaran Local Knowledge Future School berorientasi pada
aspek partisipatif inklusif, dimana terdapat umpan balik dari interaksi antara
fasilitator dan peserta. Waktu implementasi proses pembelajaran bersifat tentatif
yang akan dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan peserta didik dan warga di
sekitar tempat belajar-mengajar. Estimasi pembelajaran berlangsung selama 2
jam/pertemuan dengan perincian 30 menit pertama sebagai pengenalan dan
pemberian materi secara pedagogik, dan 90 menit berikutnya sebagai observasi,
permainan, atau lebih dikenal sebagai metode pendidikan secara andragogik.
Minimal dalam satu minggu diadakan 1 kali pertemuan (tergantung kesepakatan
peserta dan fasilitator). Pembelajaran tidak hanya dilaksanakan di dalam ruangan
atau bale melainkan juga di luar ruangan. Metode pembelajaran yang diterapkan
lebih condong ke metode observasi dan study tour agar peserta didik mampu
memahami fenomena yang merupakan sebuah pengetahuan kearifan lokal yang
ada di sekitar lingkungannya.
Dengan demikian, maka kiranya peserta diharapkan tidak hanya
menguasai pendidikan secara pedagogik, melainkan juga pendidikan secara
andragogik. Peserta diharapkan dapat mengikuti proses pembelajaran secara
dewasa, artinya peserta tidak melulu diarahkan oleh fasilitator terhadap sesuatu
hal, akan tetapi peserta juga dapat mampu menyadari akan pentingnya kelestarian
lingkungan dengan mencari pengetahuan melalui panca indera. Dengan
pengetahuan tersebut, peserta diharapkan mampu menentukan sikap yang sesuai
dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah disajikan dalam bentuk materi secara
pedagogik, yang pada akhirnya akan bermuara pada partisipasi peserta terhadap
keikutsertaannya
di
masyarakat
dalam
rangka
menyampaikan
dan
mengimplementasikannya secara bersama-sama. Pengalaman menjadi hal yang
sangat penting kemudian, karena peserta dituntut untuk senantiasa mempelajari
sendiri pengalamannya sesuai dengan bekal pengetahuan yang telah didapatkan,
tentunya tidak terlepas dari keterkaitannya dengan materi kajian dari Local
Knowledge Future School ini.
18
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir di lereng Merapi
Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, meliputi perubahan kondisi alam,
hilangnya kesuburan tanah, dan perubahan tata air. Pasca penambangan, kondisi
alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk.
Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan
lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang
disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi
penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah
gersang. Strategi pemulihan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir,
kiranya harus diawali dengan mengintervensi kesadaran kritis masyarakat
khususnya
sekitar
penambangan
melalui
pendidikan
lingkungan
yang
dikorelasikan dengan konsep pengetahuan lokal.
Konsep pendidikan yang diusung oleh Local Knowledge Future School
adalah pendidikan falsafah jawa yang merupakan kearifan lokal melalui
pengajaran dan pengimplementasian nilai filosofi kehidupan masyarakat Jawa.
Materi pendidikan falsafah Jawa diklasifikasikan menjadi dua bagian, yakni
Pendidikan Mengantisipasi Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam dan
Pendidikan Sikap Bersatu dengan Alam.
Peserta Local Knowledge Future School diharapkan dapat mengikuti
proses pembelajaran secara dewasa, artinya peserta tidak melulu diarahkan oleh
fasilitator terhadap sesuatu hal, akan tetapi peserta juga dapat mampu menyadari
akan pentingnya kelestarian lingkungan dengan mencari pengetahuan melalui
panca indera. Dengan pengetahuan tersebut, peserta diharapkan mampu
menentukan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang telah
disajikan dalam bentuk materi secara pedagogik, yang pada akhirnya akan
bermuara pada partisipasi peserta terhadap keikutsertaannya di masyarakat dalam
rangka menyampaikan dan mengimplementasikannya secara bersama-sama.
19
Dengan demikian, maka kiranya kesadaran akan pentingnya menjaga
lingkungan sejak usia dini dapat terinternalisasi dalam diri anak dan dapat
memotivasi anak sehingga mereka dapat menjadi agent of change yang mampu
mengubah pola pikir masyarakat di sekitarnya khususnya penambang pasir itu
sendiri.
5.2.. Saran
Dalam
melakukan
pemberdayaan
pendidikan
guna
meningkatkan
kepedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan diperlukan peran
stakeholder yang kuat. Implementasi Local Knowledge Future School pada
dasarnya membutuhkan peranan masyarakat dan pemerintah. Masyarakatlah yang
menjadi basis aktor dan penggagas dari konsep ini. Sementara pemerintah
menjadi bagian dari pendukung keberadaan sistem pendidikan ini, sehingga
kedepannya dapat dikembangkan di daerah-daerah yang serupa.
20
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, R. (2013) Integrasi Pendidikan Lingkungan Hidup melalui
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar sebagai Alternatif Menciptakan Sekolah
Hijau. Pedagogia , 2(1), hlm. 98-108.
Ciptoprawiro, A. (1986) Filsafat Jawa . Jakarta: Balai Pustaka.
Dahliani, Soemarno I., dan Setijanti, P. (2015) Local Wisdom in Built
Environment in Globalization Era. International Journal of Education and
Research, 3 (6), hlm. 157-165.
Henning, D.H. dan Pakpahan, A. (1991) Pendidikan Lingkungan dan Taman
Nasional: Strategi Konservasi Dunia dan Kegiatan Interpretasi Alam. Media
Konservasi, 3(2), hlm. 1-9.
Mungmachon, R. (2012) Knowledge and Local Wisdom: Community
Treasure. International Journal of Humanities and Social Science , 2, (13), hlm.
174-181.
Moleong, L.J. (1999) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Risdakarya.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahanbahan Galian.
Pratomo, S. (2009) Model Pembelajaran Tematik dalam Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Dasar Nomor 11,
hlm. 8-15.
Rahmadian, F. dan Dharmawan, A.H. (2014) Ideologi Aktor dan Persepsi
Masyarakat terhadap Dampak Pertambangan Pasir di Pedesaan Gunung
Galunggung. Jurnal Sosiologi Pedesaan, hlm 93-108.
Santoso, A.M., Setyowati, E., dan Nurmilawati, M. (2011) Pembangunan
Karakter melalui Lesson Study pada Pendidikan Lingkungan Hidup Berbasis
Keunggulan Lokal. Prosiding Seminar Biologi, 8(1).
Sartini. (2004) Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.
Jurnal Filsafat, 37 (2), hlm. 111-120.
Sutrisno, W. (2013) Filsafat Jawa. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu
Bara.
vii
Yudhistira, Hidayat, W.K., Hardiyanto A. (2011) Kajian Dampak Kerusakan
Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah
Kawasan Merapi. Jurnal Ilmu Lingkungan, 9(2), hlm. 76-84.
Ananta, T.P. (2006). Anak Semua Bangsa . Jakarta: Lentera Dipantara.
Wihardandi, A. (2012). Tambang Pasir Merapi Menggerus Alam dan
Kesehatan
Warga
Cangkringan.
(Online).
Tersedia:
http://www.mongabay.co.id/2012/09/20/tambang-pasir-merapi-menggerus-alamdan-kesehatan-warga-cangkringan/
Mahmud, F. (2015). Walhi: Penambangan Matikan Sumber Air di Lereng
Merapi. (Online). Tersedia: http://news.liputan6.com/read/2242721/walhipenambangan-matikan-sumber-air-di-lereng-merapi
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Biodata Penulis 1
A. IDENTITAS DIRI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nama Lengkap
NIM
Program Studi / Jurusan
Fakultas
Tempat dan Tanggal Lahir
Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Kafa Abdallah Kafaa
14/364821/SP/26214
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Cirebon, 29 Maret 1997
Lingk. Sukajaya Girang, RT. 001, RW.
010, Kel. Cijati, Kecamatan
Majalengka, Kabupaten Majalengka,
Jawa Barat
[email protected]
085708063681
B. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
Institusi
Pemberi
Penghargaan
1. Juara III Gema
Universitas
Lomba Karya Essay Pendidikan
Nasional (GELORA) Ganesha
2015
Judul Karya
Tahun
Pendidikan Multikultural
sebagai Transformasi
Sosial
2015
2 Semifinalis National
. Bussiness Challenge
(NBC) 2015
Cafe Berbasis Sistem
Ramah Lingkungan
sebagai Solusi Global
Warming di Era
Globalisasi
2015
Universitas
Negeri
Yogyakarta
21
Biodata Penulis 2
C. IDENTITAS DIRI
1. Nama Lengkap
2. NIM
3. Program Studi / Jurusan
4. Fakultas
5. Tempat dan Tanggal Lahir
6. Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Pinurba Parama Pratiyudha
14/367527/SP/26417
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Magelang, 3 Maret 1996
Jalan Kyai Puji No. 48, RT 01/ RW 02,
Dusun Bagongan, Kelurahan Sukorejo,
Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten
Magelang
[email protected]
085326730001
D. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
1. Juara I Essai
kategori
Mahasiswa/Umum
Bulan Bahasa UGM
2015
2. Delapan besar Call
for Paper
Sospolenesea
“Social Movement”
2015
Institusi
Pemberi
Penghargaan
Departemen
Sastra
Indonesia,
Falkutas Ilmu
Budaya UGM
Dema Fisipol
UGM
E. Karya Ilmiah yang Pernah Dibuat
No.
Judul Karya
1.
Mengenal Pemikiran Politik Para
Ketua BEM Falkutas di UGM
melalui “The Political Compass”
Judul Karya
Tahun
Tiga Jalan Satu Hidup
2015
Youth Social Movement
Syndicate: Membangun
Gerakan Grassroot dalam
Andvokasi Kebijakan
2015
Keterangan
Dipublikasikan dalam Jurnal
Mahasiswa Sangkakala Dema Fisipol
UGM, Volume 1 Tahun 2015
22
Biodata Penulis 3
F. IDENTITAS DIRI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Nama Lengkap
NIM
Program Studi / Jurusan
Fakultas
Tempat dan Tanggal Lahir
Alamat
7. Email
8. Nomor Telepon / HP
Kinanti Indah Safitri
14/367547/SP/26425
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Sosial dan Politik
Jember, 22 April 1996
Jalan Kaliurang km 4.5 Gg.Ilir-Ilir
CT.III 263/C Barek Sleman-Yogyakarta
[email protected]
08993247760
G. Penghargaan Kepenulisan Selama Menjadi Mahasiswa (dari
Pemerintah, Asosiasi atau Institusi Lainnya)
No
Jenis Penghargaan
Institusi
Pemberi
Penghargaan
Dema Fisipol
Universitas
Gadjah Mada
Judul Karya
Tahun
2015
2015
1.
Juara II Call For
Paper Sospolnesea
“Social Movement”
2015
2.
Juara Favorit Artikel Ikatan
Kemuhammadiyahan Mahasiswa
2015
Muhammadiy
ah
Universitas
Negeri
Yogyakarta
Dilematika Konflik
Agraria Menyulut
Gerakan Sosial
Kelompok Tani (Studi
Kasus Gerakan Anti
Tambang Desa Selok
Awar-Awar Lumajang)
Implementasi
Pemberdayaan
Masyarakat Melalui
Pengembangan Program
“Muda-Mudi”
(Muhammadiyah Muda
Mengabdi)
3.
Juara IV Lomba
Menulis Artikel
Pendidikan dalam
rangka Pekan Raya
Pendidikan di
Universitas Tanjung
Pura 2015
Strategi Pengembangan
Kompetensi Guru
Berbasis Innovative
Facilitator dalam
Mendukung
Implementasi Kurikulum
Nasional
BEM FKIP
Universitas
Tanjung Pura
2015
23
LAMPIRAN
Foto Observasi
`
24
25
26