Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

BAB IV

PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NOMOR : 755 K/PID.SUS/2007
A. Posisi Kasus
a) D akwaan Jaksa Penuntut Umum ……………………….. 77
b) T untutan Jaksa Penuntut Umum ………………………... 85
c) F akta – Fakta Hukum …………………………………… 86
d) P utusan Hakim ………………………………………….. 91
B. A
nalisis Kasus
a) B erdasarka Hukum Acara ……………………………..... 92
b) B erdasarkan Hukum Pidana Materil …………………..... 93
c) A spek Keadilan Putusan Hakim ……………………….... 98

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
A. K esimpulan ………………………………………………... 100
B. S aran ………………………………………………………. 101

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………103


Universitas Sumatera Utara

ABSTRAKSI
Elly Selvianti Purba* Alvi Syahrin ** Edi Yunara ***
Skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 775 K/ PID.SUS/ 2007)”. Lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi, namun perusakan terhadap lingkungan hidup masih terus terjadi tanpa disadari oleh pelaku bahwa dampak yang diakibatkan bukan hanya merugikan dirinya sendiri melainkan seluruh manusia dan makhluk yang hidup di atas bumi. Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya dilakukan oleh individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah korporasi.
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana pengaturan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi di bidang lingkungan hidup dan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana perusakan dan pencemaran lingkungan hidup dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada pengurus, hal ini sabagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Sebagaimana diterapkan dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 755K/PID.SUS/2007 dimana pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada H. Oktafianus selaku penanggungjawab lapangan pada kegiatan pertambangan yang dilakukan untuk dan atas nama PT. Surya Cipta Rezeki.
* Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari
kehidupan manusia dan segala makhluk yang hidup di atas bumi. Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dilestarikan dan dikembangkan agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Undang – Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi Negara kita telah mengamanatkan, bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.1 Dengan demikian dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum tersebut dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarka kebijaksanaan nasional yang terpadu dan
1 M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara

menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan generasi mendatang.2
Manusia sejak dilahirkan di dunia ini, telah berada pada suatu lingkungan hidup tertentu.3 Manusia dengan segala aktivitas hidupnya mencari makan, minum serta memenuhi kebutuhan lainnya, adalah karena terdapatnya lingkungan hidup sebagai sumber pertama dan terpenting bagi pemenuhan berbagai kebutuhan tersebut.4

Secara harafiah istilah lingkungan hidup diterjemahkan menjadi “life environment”, namun dalam kenyataannya selalu diterjemahkan sebagai “environment”.5
Emil Salim (1982:14-15), memberikan pendapat, bahwa lingkungan hidup diartikan segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. 6
Selanjutnya, Danusaputro (1980:65), mengemukakan bahwa lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk didalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang diamana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.7
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewajiban bagi Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
2 Ibid 3 Ibid, hlm. 2 4 Ibid 5 Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hlm . 45. 6 Ibid, hlm . 46 7 Ibid
Universitas Sumatera Utara

pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.8 Negara Indonesia yang berdasarkan hukum (recht staat) mempunyai tujuan sebagaimana yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.9
Kerusakan lingkungan dewasa ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan kehidupan manusia dan makhluk lain yang hidup di bumi. Isu mengenai dampak kerusakan lingkungan yang sering kali kita dengar yaitu Pemanasan Global atau dikenal juga dengan istilah “Global Warming”. Isu ini menjadi pembahasan yang mendunia karena dampaknya bukan hanya dirasakan di daerah tertentu tapi secara menyeluruh di seluruh penjuru bumi. Hal yang kini telah menjadi kecemasan bagi seluruh manusia. Pemanasan global menyebabkan tidak menentunya musim, cuaca ekstream dan bencana alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan disebabkan oleh keserakahan manusia yang ingin menggunakan sebesar – besarnya kekayaan alam tanpa melakukan perbaikan pada daerah yang dimanfaatkan. Para pelaku perusakan berdalih, hal ini dilakukan demi peningkatan kualitas hidupnya atau demi nilai ekonomi yang lebih tinggi, yang akan di dapatnya dari pemanfaatan lingkungan. Perusakan bukan hanya dilakukan oleh
8 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2011), hlm.1.
9 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara

individu namun seringkali dilakukan oleh badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum atau yang biasa dikenal dengan istilah korporasi.
Indonesia sebagai Negara berkembang terus melakukan upaya pembangunan nasional di berbagai bidang sebagai pelaksanaan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.10 Tidak dapat dipungkiri bahwa korporasi mepunyai peranan penting dalam pembangunan tersebut, dan banyak memberikan kontribusi terutama dalam rangka pembangunan di bidang ekonomi.11 Namun demikian tidak jarang korporasi dalam aktivitasnya melakukan tindakan menyimpang atau kejahatan.12 Salah satu bentuk kejahatan korporasi yang sangat menjadi perhatian karena perkembangannya yang terus meningkat adalah bentuk kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup.13
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum Pidana dan Kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya hukum Perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Inggris disebut “legal entities” atau “corporation”.14 Sebagaimana ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 butir 32 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum, baik yang berbadan hukum
10 Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 1.
11 Ibid 12 Ibid 13 Ibid, hlm. 2. 14 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia,2010), hlm. 11.
Universitas Sumatera Utara


maupun yang tidak berbadan hukum”.15 Dari ketentuan pasal tersebut , bahwa yang termasuk subyek tindak pidana lingkungan, yaitu :16
1. Orang perseorangan atau individu 2. Badan usaha 3. Badan usaha yang berbadan hukum Ketentuan hukum pidana dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diataur dari pasal 97 sampai dengan Pasal 120 yang secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan merupakan kejahatan (rechtsdelichten), yaitu perbuatan – perbuatan yang meskipun tidak ditetapkan dalam undang – undang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. (Moeljanto, 2008 : 78 )17 Mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan badan usaha yang berbadan hukum dan tidak berbadan hukum diatur dalam Pasal 116 sampai dengan Pasal 120.18 Sehubungan dengan pertanggung jawaban badan hukum, selama ini ada bermacam – macam cara perumusan yang ditempuh oleh pembuat undang – undang yaitu :19 a. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat dipertanggungjawabkan adalah orang, perumusan ini diatur oleh KUHP; b. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan tindak pidana ialah perserikatan, akan tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanyalah orang,
15 H. Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 229. 16 Ibid 17 Ibid, hlm. 218. 18 Ibid, hlm. 229. 19 M.Hamdan, Op. Cit , hlm. 70 – 71.
Universitas Sumatera Utara

dalam hal perserikatan yang melakukan, yang dapat dipertanggungjawabkan ialah (anggota) pengurus, perumusan serupa ini terlihat pada Ordonansi Devisa, UU Penyelesaian Perburuha, UU Pengawasan Perburuhan dan Peraturan Kecelakaan. c. Ada yang merumuskan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat mempertanggungjawabkan ialah orang dan/atau perserikatan itu sendiri, perumusan serupa ini terlihat pada UU Tindak Pidana Ekonomi, UU Subversi, dan Narkotika (Salim, 1986:117) Berdasarkan rumusan pasal 116 dan pasal 118 UUPPLH, terdapat tiga pihak yang dapat dikenakan tuntutan dan hukuman yaitu :20 1. Badan Usaha itu sendiri 2. Orang yang member perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana; dan 3. Pengurus atau pimpinan badan usaha. Di dalam system hukum Anglo Saxon, syarat seseorang dapat didmintakan pertanggungjawaban pidana adanya unsur kesalahan dikenal dengan asas “ mens rea”.21
Lingkungan dan kehidupan manusia di segala bidang merupakan satu kesatuan hubugan timbal balik yang tidak dapat terpisahkan, sehingga dalam pemanfaatannya manusia haruslah bijaksana. Dan hukum yang melindunginya haruslah ditegakkan ketika terjadi pelanggaran dalam pemanfaatan lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkajinya dan menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul :
20 Syamsul Arifin, Op. Cit, hlm . 230. 21 Ibid
Universitas Sumatera Utara

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)
B. Rumusan Masalah Bertitik tolak pada latar belakang masalah maka dapat penulis kemukakan
beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Korporasi Di
Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia? 2. Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan
dan Pencemaran Ligkungan Hidup Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009 ? 3. Bagaimana Penerapan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Dalam Putusan MA RI Nomor : 755 K/PID.SUS/2007 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui ruang lingkup hukum pidana dan/atau ketentuan pidana
dalam Undang – Undang lain mengenai hal – hal apa saja yang termasuk sebagai tindak pidana korporasi di bidang lingkungan hidup ?
Universitas Sumatera Utara


b. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan berdasakan Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 dan Undang – Undang No. 32 Tahun 2009.
c. Untuk mengetahui penerapan system pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup melalui analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor : 755K/PID.SUS/2007
2. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah: a. Secara teoritis
Untuk menambah dan memperluas pengetahuan mengenai pengaturan pidana di bidang lingkungan hidup dan pengaturan serta system pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan di indonesia, yang diharapkan penulis dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap kelestarian lingkungan di Indonesia; b. Secara praktis 1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana
umumnya, maupun terhadap pengaturan hukum pidana di bidang lingkungan pada khususnya; 2) Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan hukum di bidang lingkungan sebagai perwujudan tugas yang termaktub dalam UUD 1945 dan sebagai pedoman bagi kalangan pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan;
Universitas Sumatera Utara

3) Sebagai sumbangan pemikiran / masukan kepada pihak aparat penegak hukum, dalam menaggulangi hal – hal yang menjadi penghalang penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan.Untuk lahirnya keadilan hukum antara pelaku dan korban tindak pidana di bidang lingkungan dan sebagai pencegahan terjadi kembali pelanggaran pidana di bidang lingkungan, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
D. Keaslia Penulisan Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan kita akan
Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup (Studi Putusan MA RI No. 755 K/PID.SUS/2007)” ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri, bukan jiplakan atau diambil dari skripsi milik orang lain.
E. Tinjauan Kepustakaan 5. Hukum Pidana dan Tindak Pidana a) Hukum Pidana
Universitas Sumatera Utara

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mempunyai isi yang bersifat
umum dana normatif berperan memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah pembangunan, serta instrument kebijakan.22 Hukum mengendalikan keadilan.23 Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat.24 Selain itu,
hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan – kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah – kaidah, serta jalinan antar institusi.25
Segala peraturan – peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
(misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).26
Hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma –norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap norma hukum yang menganai kepentingan umum.27

Untuk memberikan gambaran tentang ruang lingkup hukum pidana tersebut
maka berikut beberapa pengertian hukum pidana yang diungkapkan beberapa sarjana terkemuka, yaitu:28
1. Soedarto
22 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan: PT. Sofmedia, 2009), hlm. 5
23 Ibid 24 Ibid 25 Ibid 26 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3 27 Ibid 28Tongat, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 11 – 16.
Universitas Sumatera Utara

Beliau memberikan pengertian tentang hukum pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Menurut Soedarto, hukum pidana berpangkal dari dua hal pokok, yaitu: a. Perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu
Menurut Soedarto, dengan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu, dimaksud perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapaat disebut sebagai perbuatan yang dapat dipidana atau dapat disingkat sebagai perbuatan jahat. b. Pidana Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu itu, yang menurut soedarto termasuk juga apa yang disebut tindakan tata tertib.
2. Lemaire Memberikan pengertian hukum pidana sebagai norma – norma yang berisi
keharusan dan larangan yang (oleh pembentuk undang – undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan suatu system norma yang menentukan terhadap tindakan – tindakan yang mana dan dalam keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan tersebut.
Universitas Sumatera Utara

3. Moeljatno Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar – dasar dan aturan – aturan untuk: a. Menentukan perbuatan – perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal – hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan – larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
4. Simons Menurut Simons, hukum pidana adalah: a. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam dengan
nestapa, yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati. b. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat – syarat untuk penjatuhan
pidana, dan c. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan
penerapan pidana.

5. Van Hamel Hukum pidana merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh
Negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang
Universitas Sumatera Utara

apa yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yangmelanggar larangan tersebut.
Dari berbagai pengertian tentang hukum pidana tersebut, maka dapat dikemukakan, bahwa hukum pidana hakikatnya adalah aturan atau ketentuan hukum yang mengatur tentang perbuatan – perbuatan yang dilarang yang secara popular disebut tindak pidana (criminal act), mengatur tentang syarat – syarat dapat dijatuhkannya pidana atau pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan mengatur tentang cara – cara atau prosedur penjatuhan pidana.29
Dua hal yang disebut pertama diatas hakikatnya merupakan isi dari hukum pidana materiil sedang satu hal yang disebut terakhir hakikatnya merupakan isi dari hukum pidana formil.30 b) Tindak Pidana
Peristiwa pidana yang juga disebut tidank pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana.31 Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang – undangan pidana kita, hampir seluruh peraturan perundang – undangan menggunakan istilah tindak pidana.32
29 Ibid, hlm. 16 30 Ibid 31 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana: Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Press,2014), hlm. 16 32 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori – Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002), hlm. 67
Universitas Sumatera Utara

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, yang
biasanya disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum.33
Strafbaar feit, terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar, dan feit.34 Secara literlijk (harfiah) kata “straf” artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh, dan “feit” adalah perbuatan.35 Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf diartikan juga dengan kata hukum.36
Untuk kata baar ada dua istilah yang digunakan yaitu boleh dan dapat.37
Sedangkan untuk kata feit digunakan empat istilah, yakni tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.38 Secara harfiah, feit memang lebih tepat diterjemahkan dengan kata perbuatan, sedangkan untuk kata “peristiwa”,
menggambarkan pengertian yang lebih luas dari kata perbuatan, karena peristiwa
tidak saja menunjuk pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh
kejadian yang tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata, tetapi juga oleh alam.39
Untuk istilah “tindak”, menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti

positif (handelen) semata dan tidak termasuk kelakuan manusia yang pasif atau negatif (nalaten).40 Padahal pengertian yang sebanarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.41 Perbuatan aktif artinya suatu
bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan adanya suatu gerakan
33 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 47 34 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.69 35 Ibid 36 Ibid 37 Ibid 38 Ibid 39 Ibid 40 Ibid 41 Ibid, hlm.70
Universitas Sumatera Utara

dari tubuh manusia misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau merusak (pasal 406 KUHP).42 Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya, dengan demikian seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan (pasal 304 KUHP).43
Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana bila memenuhi unsur – unsur pidananya, terdiri dari:44 1. Objektif
Yaitu suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari pengertian objektif di sini adalah tindakannya. 2. Subjektif
Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang – undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).
Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.45 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang – undang, namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang.46 Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
42 Ibid 43 Ibid 44 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 16 - 17 45 Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, Medan, 2010), hlm. 75 46 Ibid
Universitas Sumatera Utara

perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis.47 Syarat – syarat yang harus dipenuhi sebagai suatau peristiwa pidana ialah:48 1. Harus ada suatu perbuatan. 2. Perbuatan itu harus sesuai denga apa yang ditentukan dalam ketentuan
hukum. 3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan 4. Harus berlawanan dengan hukum 5. Harus terdapat ancaman hukumannya.
Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:49 1. Menurut system KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat
dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III 2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten) 3. Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana
sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten) 4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
47 Ibid, hlm. 76 48 Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm. 17 - 18 49 Adami Chazawi,, Op. Cit, hlm. 117 - 119

Universitas Sumatera Utara

5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu)
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten)
9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)
10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan dan lain sebagainya.
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).
Universitas Sumatera Utara

6. Korporasi
Dewasa ini tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa dalam lapangan hukum
perdata sudah sangat lazim, bahwa korporasi/badan hukum diakui sebagai subyek hukum.50 Dalam bidang hukum pidana, banyak perdebatan mengenai status
korporasi sebagai subyek hukum pidana, namun pada akhirnya sekarang korporasi diakui sebagai subyek hukum pidana.51 Artinya, korporasi dapat melakukan
perbuatan pidana, dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sehingga karena juga dapat dipidana.52
Secara istilah korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama – sama sebagai subyek hukum tersendiri, suatu personifikasi.53 Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing – masing.54
Secara harfiah korporasi berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin.55
Korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan ahli hukum

pidana untuk menyebut apa yang ada dalam hukum perdata sebagai badan hukum (recht person) dan dalam bahasa Inggris legal entities atau corporation.56
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan perkembangan korporasi
menyadarkan lembaga legislative untuk menentukan korporasi sebagai subyek hukum pidana.57 Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk perundang – undangan
50 Tongat, Op. Cit, hlm. 135 51 Ibid, hlm. 136 52 Ibid 53 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 58 54 Ibid 55 Ibid 56 Ibid 57 Ibid
Universitas Sumatera Utara

yang mengakui korporasi sebagai pelaku kejahatan sekaligus dapat bertanggungjawab secara hukum, diantaranya:58 1) Korporasi dapat melakukan tindak pidana, tetapi tanggungjawab pidana masih
dibebankan kepada pengurus. (Pasal 35 Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982) 2) Korporasi dinyatakan secara tegas sebagai pelaku kejahatan dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Pasal 15 UUTPE), (Pasal 46 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997)
Sekalipun pengaturannya hanya dapat dijumpai dalam perundang – undangankhusus diluar KUHP, sementara dalam KUHP sendiri sebagai induk hukum pidana yang berlaku di Indonesia masih menganut subyek hukum pidana secara umum yaitu manusia sebagaimana terlihat dalam rumusan pasal 59 KUHP, sebagai berikut:59 “ Dalam hal – hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota – anggota badan pengurus atau komisaris – komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.” Dengan demikian menurut Soedarto, Pasal 59 KUHP tidak menunjuk kearah dapat dipidananya suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan lain.60 Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan fungsi dalam suatu badan hukum/korporasi.61

58 Ibid, hlm. 59 59 Tongat, Op. Cit, hlm. 137 60 Ibid 61 Ibid

Universitas Sumatera Utara

Menurut asas identifikasi (suatu asas dalam konsep hukum pidana Inggris), perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, di – identifikasi-kan (dipersamakan) dengan perbuatan korporasi sendiri.62 Asas ini sebenarnya merupakan konsep dalam hukum perdata yang mendasarkan diri pada pemikiran, bahwa apa yang dilakukan pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan badan hukum, karena pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak atau kewenangan badan hukum yang bersangkutan.63 Dengan kata lain, kesalahan pengurus harus dianggap sebagai kesalahan korporasi.64 7. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam KUHP tidak ada rumusan yang jelas tentang kemampuan bertanggungjawab pidana.65 Pasal 44 (1) KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana.66
Ada 3 syarat mengenai pertanggungjawaban pidana menurut J.E.Jonkers, yaitu:67 a. Kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan b. Mengetahui maksud yang sesungguhnya daripada perbuatan itu c. Keinsyafan, bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat Moeljatno menarik kesimpulan tantang adanya kemampuan bertanggungjawab, ialah:68
62 Ibid, hlm. 138 63 Ibid, hlm. 139 64 Ibid 65 Ibid, hlm. 142 66 Ibid 67 Ibid
Universitas Sumatera Utara


a. Harus adanya kemampuan untuk membeda – bedakan antara perbauatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum
b. Harus adanya kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Hukum menentukan, bahwa manusialah yang diakuinya sebagai
penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya dipertimbangkan dari segi yang bersangkut – paut atau mempunyai arti hukum.69 Subjek tindak pidana adalah setiap orang yang dapat dibebani tanggungjawab pidana atas perbuatan yang dirumuskan dalam Undang – Undang Pidana.70 Pembentuk KUHP berpandangan bahwa hanya manusia atau pribadi alamiah yang dapat dibebani tanggungjawab pidana, karena hanya manusia yang merupakan subjek tindak pidana dalam KUHP.71
Namun, mengingat terjadinya perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi (legal person).72
Penolakan korporasi sebagai subjek hukum pidana didasarkan pada doktrin universitas delinquere non potest (korporasi tidak dapat melakukan delik), harus diakui bahwa hanya manusia yang memungkinkan terjadinya suatau delik
68 Ibid 69 Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 21 70 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 82 71 Ibid 72 Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 22
Universitas Sumatera Utara

dan hanya manusia pula yang dapat dipidana; tuntutan pertanggungjawaban yang memunculkan rasa bersalah hanya mungkin dilakukan pada manusia.73
Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan, serta berkembangnya tindak pidana terorganisasi, maka subjek hukum pidana tidak dapat dibatasi pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, yaitu kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum (legal person) maupun bukan badan hukum.74 Dengan dianutnya paham bahwa korporasi adalah subjek tindak pidana, berarti korporasi baik sebagai badan hukum maupun non badan hukum dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana(corporate criminal responsibility).75
Badan hukum bisa bertindak, dalam artian dapat melakukan penuntutan dan dituntut, dan memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para pemegang sahamnya dan kekayaan para pendirinya, sedangkan badan usaha yang bukan badan hukum hanya merupakan suatu wadah dari usaha pendirinya atau usaha bersamadiantara para pendirinya sehingga jika terjadi gugatan dari pihak ke tiga, maka para pendiri/persero pemilik harus bertanggungjawab atau menanggung sampai dengan harta pribadinya.76Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki keduduan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak korporasi.77

73 Ibid 74 Ibid, hlm. 25 75 Ibid 76 Ibid, hlm. 26 77 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 57

Universitas Sumatera Utara

Tindak pidana yang dilakukan korporasi seringkali tidak tempak karena kompleksitas dan dilakukan dengan perencanaan yang matang serta pelaksanaannya rapi dan terkoordinasi serta memiliki dimensi ekonomi.78
Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai prinsip ekonomi tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.79
Menurut Barda Nawawi Arief, untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas lebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.80 Setelah pelaku ditentukan, selanjutnya bagaimana mengenai pertanggungjawaban pidananya.81 Mengenai sifat pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana terdapat beberapa system perumusan yang ditempuh oleh pembuat Undang – Undang, yaitu:82 a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang
bertanggungjawab; b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab; c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab;

Menurut konsep KUHP Baru, subjek hukum pidana tidak dapat lagi dibatasi hanya pada manusia alamiah (natural person) tetapi mencakup pula korporasi, sebagaimana diatur dalam pasal 47 yang menyebutkan: korporasi merupakan subjek tindak pidana.83
78 Ibid 79 Ibid, hlm. 59 80 Ibid, hlm. 62 81 Ibid, hlm. 63 82 Ibid 83 Mohammad Ekaputra, Op. Cit, hlm. 27
Universitas Sumatera Utara

Dalam konsep KUHP Baru disebutkan, bahwa tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan oleh orang – orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lai, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama.84 Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.85
8. Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup Mengutip pengertian dari rumusan yang ditetapkan oleh Tim Pengkaji
Hukum Pidana Nasional sebagai berikut: “ Tindak Pidana ialah perbuatan melakuakan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang – undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.” (BPHN, 1991: 20)86
Untuk membahas tindak pidana lingkungan perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khusu (delic species).87 Inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”.88 Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk
84 Ibid, hlm. 27 85 Ibid, hlm. 28 86 M. Hamdan, Op. Cit, hlm. 59. 87 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 35 88 Ibid
Universitas Sumatera Utara

menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan Undang – Undang Lingkungan Hidup maupun dalam ketentuan Undang – Undang lain yang mengatur perlindungan Hukum Pidana bagi lingkungan hidup.89
Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan”, memiliki makna substansi yang sama yaitu tercemar atau rusaknya lingkungan hidup.90 Tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai kalimat aktif dan kalimat pasif (kata benda) dalam prroses menimbulkan akibat.91
A. Pencemaran Lingkungan Hidup Lingkungan mempunyai kemampuan mengabsorbsi limbah yang di buang ke
dalamnya.92 Kemampuan ini tidak terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang ke dalam lingkungan melampaui kemampuan untuk mengabsorpsi, maka dikatakan bahwa lingkungan itu tercemar.93
Pencemaran lingkungan sebagaimana pengertiannya dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12 Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 adalah “ pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnyabturun sampai ke tingkat tertentu yang
89 Ibid 90 Ibid 91 Ibid, hlm. 35 - 36 92 Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan: Tinjauan atas Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 7 93 Ibid
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya”.94 Dari rumusan pasal tersebut dapat disimpulkan adanya unsur – unsur pencemaran sebagai berikut:95 1. Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan hidup. Maksud unsur yang pertama ini berupa masuk atau dimasukkannya zat pencemar, yang berarti baik disengaja maupun tidak memasukkan zat pencemar atau komponen lainnya yang kira – kira sangat berbahaya bagi lingkungan, yang mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan hidup tersebut. 2. Adanya kegiatan manusia atau adanya proses alam. Unsure kedua ini dengan melihat factor penyebabnya, yaitu pencemaran lingkungan dapat dibedakan antara pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan manusia, dan pencemaran lingkungan yan disebabkan oleh proses alam. 3. Turunnya kualitas lingkungan. Dengan demikian, pencemaran lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan merupakan yang esensia, sehingga perlu ditanggulangi dan tidak berdampak pada masyarakat 4. Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungn berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. Dari pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa pencemaran lingkungan selalu berkaitan dengan peryntukan lingkungan (tata guna lingkungan)
94 Ibid 95 Ibid, hlm. 7 - 8
Universitas Sumatera Utara

Sedangkan, berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, pengertian secara otentik pencemaran lingkungan hidup tercantum dalam Pasal 1 angka (14), yaitu:96
“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.” Adapun unsur pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (14) UUPPLH, yaitu:97 1. Masuk atau dimasukkannya: - Makhluk hidup, - Zat, - Energy dan/atau - Komponen lain ke dalam lingkungan; 2. Dilakukan oleh kegiatan manusia; 3. Melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Berdasarka Pasal 20 ayat (1) UUPPLH dinyatakan bahwa penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 1 angka (13) UUPPLH, yaitu:98 “Ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
96 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 36 97 Ibid 98 Ibid
Universitas Sumatera Utara

keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.”
Pada ayat (2) dijelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup meliputi:99 a. Baku mutu air, b. Baku mutu air limbah, c. Baku mutu air laut, d. Baku mutu udara ambient, e. Baku mutu emisi, f. Baku mutu gangguan, dan g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Yang selanjutnya mengenai baku mutu tersebut diatur dalam peraturan menteri Negara lingkungan hidup.100
B. Perusakan Lingkungan Hidup Dirumuskan pengertiannya dalam Pasal 1 angka 14 Undang – Undang No.
23 Tahun 1997, sebagai berikut:101 “Perusakan Lingkungan Hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.
99 Ibid, hlm. 37 100 Ibid 101 Sodikin, Op. Cit, hlm. 8
Universitas Sumatera Utara

Dari rumusan pasal tersebut, dapat disimpulkan adanya unsur – unsur perusakan lingkungan yaitu:102 1. Adanya suatu tindakan manusia. Maksudnya, karena manusia merupakan
komponen biotik (makhluk hidup) dalam lingkungan hidup yang sangat dominan, maka segala tindakan atau perilakunya sangat mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan makhluk hidup yang lain. 2. Terjadinya perubahan terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya. Dengan demikian, perusakan lingkungan dalam dirinya selalu mengandung pengertian terjadinya perubahan sifat fisik dan/atau sifat hayati lingkungan. Untuk dapat mengetahui telah terjadinya perusakan lingkungan perlu diketahui keadaan lingkungan sebelum terjadi kerusakan. Dengan kata lain, perlu diketahui kondisi awal lingkungan. 3. Mengakibatkan berkurangnya atau tidak dapatnya lingkungan berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Perlu adanya ketetapan suatu tolok ukur berupa kriteria untuk menentukan bahwa lingkungan berada dalam kondisi kurang atau tidak berfungsi lahi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Pengertian istilah “perusakan lingkungan hidup” dalam Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 dirumuskan dalam Pasal 1 angka (16), sebagai berikut:103
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau

102 Ibid, hlm. 8 - 9 103 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 38

Universitas Sumatera Utara

hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”
Adapun unsur perusakan lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam Pasal 1 angka (16), yaitu:104 1. Adanya tindakan; 2. Menimbulkan:
- Perubahan langsung atau - Tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan; 3. Melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup Berdasarkan Pasal 21 ayat (1), dinyatakan bahwa untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.105 Pasal 1 angka (15) menjelasakan bahwa yang dimaksud dengan baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu106
“ Ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.” Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 21 ayat (2) meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim, diatur dalam peraturan pemerintah.107 Kriteria baku kerusakan ekosistem menurut Pasal 21 ayat (3), meliputi:108 a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa; b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
104 Ibid 105 Ibid 106 Ibid 107 Ibid, hlm. 38 – 39 108 Ibid, hlm. 39
Universitas Sumatera Utara

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove; e. kriteria baku kerusakan padang lamun; f. kriteria baku kerusakan gambut; g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim menurut Pasal 21 ayat
(4), didasarkan pada paramater antara lain:109 a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. Ketentuan pidana dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 tercantum
dalam Pasal 41 sampai Pasal 48, dan pasal – pasal didalamnya tidak merumuskan tindak pidan tetapi mengatur ketentuan pidana bagi barang siapa yang dengan sengaja atau karena kealpaannya melakukan perbuatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.110
Sedangkan dalam Undang – Undang No. 32 tahun 2009, perumusan tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tidak lagi abstrak dan luas sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No. 23 Tahun 1997, karena telah adanya kata kunci bagi tindak pidana dan/atau kerusakan lingkungan, yaitu:
109 Ibid 110 Sodikin, Op. Cit, hlm. 160
Universitas Sumatera Utara

“melampaui baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan” atau “melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan”.111 Ketentuan Pidana dalam UUPPLH diatur dalam Bab XV, yaitu dari Pasal 97 sampai Pasal 120.112
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian
sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penulisan
Dalam membuat/ menulis suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode mutlak diperlukan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas – asas hukum. 2. Metode Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari:113 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat, yakni:
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945; - Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang – Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan – Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat - Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
111 Alvi Syahrin, Op. Cit, hlm. 40 - 41 112 Ibid, hlm. 41 113 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
Universitas Sumatera Utara

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: Rancangan Undang – Undang, Hasil penelitian, Karya dari kalangan hukum, dan sebagainya.

G. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing – masing bab

terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Uraian singkat atas bab - bab dan sub bab tersebut akan diuraikan sebagai

berikut:

1. Bab I

: PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penulisan dan sistematika penulisan.

2. Bab II

: PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI

BIDANG LINGKUNGAN HIDUP

Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian tindak pidanan di bidang

lingkungan hidup, hak dan kewajiban korporasi dalam perlindungan lingkungan hidup, dan jenis – jenis tindak pidana korporasi di bidang

lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun

2009

3. Bab III

: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

YANG MELAKUAKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN DAN

PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP

Universitas Sumatera Utara

Dalam bab ini dibahas mengenai korporasi sebagai subyek hukum pidana, jenis sanksi administrati terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009, jenis sanksi pidana terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup menurut UU No. 23 Tahun 1997 jo UU No. 32 Tahun 2009, dan system pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

4. Bab IV

: PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

KORPORASI PELAKU PERUSAKAN DAN PENCEMARAN

LINGKUNGAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG