Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

(1)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat - syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ARIF DHARMAWAN PURBA 110200369

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN

TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

(STUDI PUTUSAN NOMOR : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat - syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ARIF DHARMAWAN PURBA 110200369

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

DR. M.Hamdan, SH., MH NIP: 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Liza Erwina, S.H., M.Hum. Dr. Marlina,S.H.,M.Hum. NIP : 196110241989032002 NIP : 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kepada ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat dan Salam kepada junjungan nabi kita Baginda Muhammad S.A.W. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Judul skripsi ini adalah “Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari terdapat kekurangan namun dengan lapang dada Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-bearnya kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini

Pada kesempatan ini juga Penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar - besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.H., D.F.M, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. H. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr . M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan perhatian serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Makdin Munthe, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasihat Akademik yeng telah banyak membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

9. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu serta mendidik dan membimbing Penulis selama mengikuti perkuliahan sampai Penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan baik. Serta Bapak/Ibu Staf Administrasi ( Pegawai Tata Usaha) yang telah banyak membantu dan memberikan pelayanan terbaiknya sehingga Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik.

10. Tersayang, teristimewa , surga duniaku, kedua orang tua Penulis yaitu Ayahanda Ilham Purba, S.H., M.Hum dan Ibunda tercinta Salmah Nasution yang dengan izin ALLAH SWT menjadi Penulis sebagai anak mereka. Peluk dan cium kepada mereka karena telah mendidik serta membesarkan penulis yang tidak pernah bosan dan mengeluh untuk memberikan dukungan dan doa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

11. Yang tersayang adikku Ahmad Akbar Purba yang telah membantu, memberikan dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini

12. Kepada teman-teman 7 Centimeter ( Armansyah Putra Lumban Gaol, Eliezer Sianturi, Herman F. Hutabarat, Guslihan Anggi Nusa, Yudha Praditya Kirana, Yogi Ar Chaniago) terimah kasih atas semangat dan pengalaman hidup yang telah kita lalui selama 3 tahun. Berharap kebersamaan kita akan bertahan untuk selamanya.


(6)

13. Teman- teman penulis stambuk 2011 ( Deni Hamdani, Imran Sahari, Choky, Stella, Aprini, Marshal, Roni Danilers, Suenta, Puput, Yenni, Fenny, Lidya situmorang, Roland, Herry kaban, Reni Anggraini, Rizky syhabana, yogo, imam, jeffry dan kawan-kawan yang tiak dapat disebutkan satu persatu yang bersama- sama menyelesaikan perkuliahan Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas dukungan serta masukannya dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Teman-teman Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “IMADANA USU” stambuk 2011 yang turut membantu Penulis Dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan untuk kita semua.

Medan, Maret 2015

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………. i

DAFTAR ISI………... ....v

ABSTRAK………viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..1

B. Perumusan Masalah……….. 7

C. Tujuan Penelitian………...8

D. Manfaat Penelitian ………... 9

E. Keaslian Penulisan ………9

F. Tinjauan Kepustakaan ……….10

1. Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ………10

2. Pengertian Anak ………...15

3. Tindak Pidana Penggelapan……….19

G. Metode Penelitian……….29

H. Sistematika Penulisan Skripsi ………..33

BAB II : RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG – UNDANG NOMOR 11


(8)

A. Pengertian Restorative Justice Dan Diversi Menurut Undang – Undang

Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak……..35

B. Analisis Yuridis Putusan Nomor : 06 / Pid.SUS- ANAK/2014/PN. MDN……….47 BAB III : PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

A. Tindak Pidana Penggelapan ……….54

B. Hak- Hak Anak Menurut Undang- Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak………..59

C. Pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor : 06 / PID.SUS. ANAK/

2014/ PN.MDN……….64

BAB IV: ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM NOMOR : 06/PID.SUS/ANAK/2014/PN.MDN

A. Kasus……….77

B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim………..78 BAB V : PENUTUP (KESIMPULAN DAN SARAN)


(9)

B. Saran ………...86


(10)

ABSTRAK Liza Erwina, S.H., M.Hum.1

Dr. Marlina,S.H.,M.Hum.**

Arif Dharmawan Purba.***

Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana Kehidupan dalam perkembangan dewasa ini, tindak pidana bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi perbuatan tindak pidana juga dilakukan oleh anak di bawah umur. Tindakan tersebut merupakan suatu keadaan yang mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, lingkungan sekitar maupun faktor sosial ekonomi. Pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap anak jangan sampai hak-hak anak terhapus dan lahirlah Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, dan berupa pendapat para sarjana dan disertai dengan wawancara dengan hakim pengadilan Negeri Medan.

Penerapan ketentuan diversi dan restoratif justice merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi, semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Putusan hakim harus mengedepankan nilai keadilan restoratif karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak sebagai pelaku tindak pidana. Hakim harus yakin bahwa putusan yang diambil dapat menjadi salah dasar kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang lebih baik dan mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi keluarga, bangsa dan negara.

1

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(11)

ABSTRAK Liza Erwina, S.H., M.Hum.1

Dr. Marlina,S.H.,M.Hum.**

Arif Dharmawan Purba.***

Skripsi ini berbicara mengenai Pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana Kehidupan dalam perkembangan dewasa ini, tindak pidana bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi perbuatan tindak pidana juga dilakukan oleh anak di bawah umur. Tindakan tersebut merupakan suatu keadaan yang mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, lingkungan sekitar maupun faktor sosial ekonomi. Pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap anak jangan sampai hak-hak anak terhapus dan lahirlah Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur tentang diversi. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normative yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,

keputusan pengadilan, teori hukum, dan berupa pendapat para sarjana dan disertai dengan wawancara dengan hakim pengadilan Negeri Medan.

Penerapan ketentuan diversi dan restoratif justice merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi, semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Putusan hakim harus mengedepankan nilai keadilan restoratif karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak sebagai pelaku tindak pidana. Hakim harus yakin bahwa putusan yang diambil dapat menjadi salah dasar kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang lebih baik dan mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi keluarga, bangsa dan negara.

1

Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

**

Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan aset bangsa bagian generasi muda yang berperan sangat strategis dalam kemajuan suatu bangsa. Anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.2 Setiap anak harus

mendapatkan pembinaan sejak dini, mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Masa kanak - kanak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia dalam meniti kehidupan.3

Filosofi anak merupakan generasi muda, salah satu sumber daya manusia yang memiliki potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang akan datang, yang memiliki peran strategi serta mempunyai cirri atau sifat khusus, pembinaan dan perlindungan yang khusus pula.4

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa.Anak adalah tunas, potensi, dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan

2

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2008, Hlm 1.

3

Ibid

4

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hal.76.


(13)

mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Dunia anak di pentas percaturan masyarakat dunia di berbagai forum, baik dalam lingkungan nasional, regional, maupun internasional, permasalahan anak semakin dikhawatirkan. Krisis pada akhir 1990 - an di Indonesia, permasalahan anak semakin tampil.5 Permasalahan politik dan ekonomi yang menjadi arus utama krisis.

Multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia, menempatkan permasalahan anak semakin menonjol, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.6

Kehidupan dalam perkembangan dewasa ini, tindak pidana bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, tetapi perbuatan tindak pidana juga dilakukan oleh anak di bawah umur. Tindakan tersebut merupakan suatu keadaan yang mengganggu ketertiban kehidupan masyarakat.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunukasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, lingkungan sekitar maupun faktor sosial ekonomi.

Anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret pada

5

Tri Budiardjo, Anak - anak Generasi Terpinggirkan, (Membangun Generasi Terbaru Lewat Pelayanan Anak). Penerbit Andi ,Yogyakarta, 2010, hal 110.

6


(14)

arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.

Upaya pembinaan dan perlindungan anak, dihadapkan pada permasalahan dan tantangan yang terjadi di masyarakat. Banyak di jumpai penyimpangan perilaku di kalangan anak. Anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum, tidak memandang status sosial dan ekonomi. Anak yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh perhatian baik secara fisik, mental, maupun secara sosial, seringkali melakukan tindakan atau berperilaku yang dapat merugikan baik dirinya maupun masyarakat yang berada di sekitarnya.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa, Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan Anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban Orang Tua, Wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap Anak.7 Pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah

dan negara sangat perlu dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak dan terbinanya anak-anak ke arah kehidupan yang terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta anak-anak berprilaku positif. Hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan terhadap anak-anak dibawah umur yang melakukan tindak pidana yang di atur dalam perundang-undangan dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Anak yang

7


(15)

yang dikategorikan sebagai anak dibawah umur adalah bila anak tersebut belum berusia delapan belas (18) tahun.

Menurut Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Anak adalah ” seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan ”.8

Pasal 1 Ayat (2) berbunyi : “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.9

Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-hak anak (Convention on the Rights of the child) sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi hak-hak anak).

Pemerintah mengupayakan perlindungan terhadap anak jangan sampai hak-hak anak terhapus dan lahir Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Lahirnya Undang-undang No 11 Tahun 2012 mengatur adanya tindakan diversi, namun kenyataannya putusan Nomor : 06/PID.SUS/2014/PN.MDN masih belum diberlakukannya tindakan diversi. Putusan Nomor : 06/PID.SUS/2014/PN.MDN mengenai Penggelapan yang dilakukan oleh

8

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

9

Departeman Kehakiman Republik Indonesia.Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pustaka Yudistisia.Jakarta, hlm. .6 .


(16)

anak dibawah umur. Putusan tersebut menyatakan terdakwa MUHAMMAD FADIL ALS.RANGGA berusia 17 Tahun telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 11 bulan.

Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2012 Pasal 7 menyebutkan 10:

1. Pada tingkat penyidikan, penuntutan , dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.11

2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan 12:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 7 ayat (2) dikatakan diversi dapat dilakukan hanya jika tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dibawah 7 tahun. Menurut Pasal 372 KUHP tindak pidana penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada padanya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tindak pidana penggelapan penjatuhan hukumannya maksimal 4 tahun.

10

Pasal 7 Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

11

Pasal 7 ayat (1) Pasal 7 Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

12

Pasal 7 ayat (2) Pasal 7 Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(17)

Pertimbangan hakim inilah yang akan diangkat dalam rumusan masalah dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penggelapan putusan Nomor : 06/PID.SUS/2014/PN.MDN.

Seorang hakim harus berpikir kedepan agar memberi keadilan bagi anak dengan menerapkan diversi, maka perlu pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman pidana terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penggelapan.

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.13

Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin, dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum.14

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses diversi, semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan

13, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. http:// doktormarlina.htm Marlina,diakses pada 9 febuari 2015.

14

Lushiana Primasari, Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, http:// lushiana.staff.uns.ac.id/. Diakses pada 9 Febuari. 2015.


(18)

pembalasan.15 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak sebagai pelaku tindak pidana. Hakim harus yakin bahwa putusan yang akan diambil akan dapat menjadi salah satu dasar kuat untuk mengembalikan dan mengantar anak menuju masa depan yang lebih baik dan untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi keluarga bangsa dan negara. Hakim sebagai aparat penegak hukum harus memperhatikannya dalam menangani kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Pelaksanakan pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, haruslah diperhatikan tentang tujuan peradilan anak, dengan melakukan koreksi dan rehabilitasi, sehingga anak dapat kembali ke kehidupan yang normal dan mandiri demi potensi masa depannya.16

Permasalahan diatas mengenai masalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak diangkat sebagai judul skripsi yaitu : “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU

TINDAK PIDANA ( STUDI PUTUSAN NOMOR : Nomor :

06/PID.SUS/2014/PN.MDN).

B. Rumusan Masalah

15

Tri Jata Ayu Pramesti,Hal-hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak. Http/www.Hukum Online.com(diakses tgl 1 Desember2014)

16


(19)

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah diterapkan Restorative Justice dan Diversi dalam Putusan Nomor: 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN ?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak pelaku tindak pidana penggelapan. Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN ?

3. Apakah keputusan yang dijatuhkan hakim Nomor : 06/PID.SUS/2014/ PN.MDN telah memiliki nilai keadilan terhadap anak ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah di rumuskan secara deklaratif dan merupakanpenyertaan-penyertaan tentang apa yang hendak di capai dalam penelitian.17

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan restoratife justice dan diversi berdasarkan Undang – Undang No 11 Tahun 2012 tentang SPPA.

3. Untuk mengetahui bagaimana upaya - upaya serta tindakan - tindakan lain yang dapat dilakukan atau di usahakan dalam menyelesaikan perkara


(20)

anak yang melakukan tindak pidana, tanpa harus menjalani hukuman penjara.

4. Untuk mengetahui apakah putusan hakim yang dijatuhkan terhadap anak telah mempunyai nilai keadilan..

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai pengembangan konsep, teori, asas hukum dalam pembaharuan hukum pidana khususnya sistem peradilan pidana anak.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapakan dapat memberi masukan kepada penegak hukum, khususnya dan masyarakat umumnya dengan perrmasalahan yang di bahas dapat menambah informasi kepada pihak - pihak yang terkait mengenai pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman pidana penjara terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana penggelapan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak dalam proses pidana anak di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan ini pada prinsipnya dibuat dengan melihat dasar-dasar yang ada, baik yang diperoleh dari wawancara hakim yang bersangkutan dalam putusan tersebut, perpustakaan, buku serta media cetak maupun elektronik.


(21)

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian mengenai PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN HUKUMAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA (STUDI PUTUSAN NOMOR : 06/PID.SUS/2014/PN.MDN) belum pernah ada yang dilakukan pembahasan yang sama.Penelitian terhadap judul skripsi ini telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan menyatakan judul skripsi ini belum pernah diangkat dan dibahas sebelumnya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan terjemahan dari istilah The Juvenille Justice System, yaitu suatu istilah yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-fasilitas pembinaan anak.18

Kata sistem peradilan pidana anak, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan istilah anak, dalam frase ”sistem peradilan pidana anak” mesti dicantumkan,karena untuk membedakan dengan sistem peradilan pidana dewasa. Sistem peradilan pidana anak mengacu pada UU No. 3 Tahun 1997 tentang

18

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publising, 2011, hlm.26.


(22)

Pengadilan Anak, anak adalah anak nakal, yakni anak yang melakukan tindak pidana, ataupun anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi anak.19

Defenisi tersebut mengandung permasalahan secara teoritis yakni mencampurkan tindak pidana dengan perbuatan yang dilarang, mengakibatkan penafsiran yang tidak tunggal. Pada prakteknya, aparat penegak hukum bisa menangkap seorang anak yang hanya menempeli temannya dengan seekor lebah, perbuatan tersebut tidak perlu ditangkap, melainkan bisa selesai melalui jalan kekeluargaan.20 Permasalahan defenisi tersebut jelas bermasalah, sehingga diperbaiki

dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa yang dimaksud anak dalam sistem peradilan anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum.

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana.21

Menurut Romli Atmasamita, membedakan antara penegertian “criminal justice process” dan “ criminal justice system”.22

Pengertian criminal justice adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Pengertian criminal

19

M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, Cetakan Pertama,2013, hlm.44.

20

Ibid.

21 Muldi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Diponegoro, Semarang, 2002, hlm.14.

22Romli Atmasamita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisilisionisme, Bina Cipta, 1996, hlm.14.


(23)

justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

UU Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan defenisi berupa keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.23 Anak

yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi sanksi tindak pidana.24

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut dengan anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.25 Dilihat dari Undang - Undang

Nomor 11 Tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa kategori anak dalam peraturan ini adalah anak yang berusia antara 12 sampai 18 tahun.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Terdapat beberapa hal yang tidak relevan dengan keadaan yang terjadi dimasa sekarang maka diperbarui dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang - Undang ini ini tepatnya pada pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa anak merupakan orang yang telah mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun dan belum pernah kawin.

Ketentuan Undang-undang ini ditentukan bahwa batas minimal anak adalah berumur 8 tahun. Terhadap anak yang melakukan tindak pidana belum berumur 8

23

Pasal 1 angka (1) UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

24

Pasal 1 angka (2) UU Sistem Peradilan Pidana Anak

25


(24)

tahun maka dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuh, apabila tidak dibina maka penyidik menyerahkan anak kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.26

Berkaitan dengan asas, terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Pengadilan Anak, secara eksplisit terdapat sepuluh asas yaitu :

1. Pembatasan umur.

2. Pengadilan anak memeriksa anak dalam suasana kekeluargaan.

3. Pengadilan anak mengharuskan adanya “splitsing perkara”.

4. Bersidang dengan hakim tunggal dan hakim anak ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung RI.

5. Penjatuhan pidana lebih ringan dari orang dewasa.

6. Ditangani oleh pejabat khusus.

7. Diperlukan kehadiran orang tua,wali atau orang tua asuh serta diakuinya Pembimbingan Kemasyarakatan.

8. Adanya kehadiran penasehat hukum.

9. Penahanan Anak lebih singkat daripada penahanan orang dewasa.27

26

Angger Sigit Pramukti & Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustia,Yogyakarta, Cetakan Pertama, 2015,hlm.7.


(25)

Undang –Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapa 10 asas. Asas tersebut adalah 28:

1. Perlindungan

Yang dimaksud dengan perlindungan meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan atau psikis.

2. Keadilan

Yang dimaksud keadilan adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi anak.

3. Non-diskriminasi

Yang dimaksud dengan non diskriminasi adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan mental.

4. Kepentingan Terbaik bagi Anak

Yang dimaksud dengan kepentinagn terbaik bagi anak adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.

5. Penghargaan terhadap Pendapat Anak

Yang dimaksud penghargaan pada pendapat anak adalah pengamatan atas hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan, terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan anak.

6. Kelangsungan Hidup dan Tumbuh Kembang Anak

Yang dimaksud dengan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

7. Pembinaan dan Pembimbingan Anak

Yang dimaksud pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualita, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku

27

Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti,Bandung, hlm.13-14.

28


(26)

pelatihan ketrampilan , professional , serta kesehatan jasmani dan rohani anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Yang dimaksud dengan pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa , intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan ketrampilan, professional, serta kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

8. Profesional

Yang dimaksud professional adalah segala perlakuan terhadap anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, serta kondisi si anak yang bersangkutan.

9. Perampasan Kemerdekaan dan Pemidanaan sebagai upaya terakhir yang diambil.

Yang dimaksud perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir yang diambil adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya , kecuali terpaksa dilakukan guna kepentingan saian perkara.

10. Penghindaran Pembalasan

Yang dimaksud penghindaran pembalasan adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

2. Pengertian Anak Dalam Hukum Positif ( Perundang- Undangan)

a. Menurut Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Undang – Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 29 Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah

tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki

29


(27)

peran strategis dan mempunyai sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.30

Menurut Kartini Kartono, anak adalah keadaan manusia normal yang masih muda usia dan jiwanya, sehingga sangat mudah terpengaruh lingkungannya.31

Menurut Shanty Dellyana, anak adalah mereka yang belum dewasa dan yang menjadi belum dewasa kerena peraturan tertentu (akibat mental) yang masih belum dewasa).32

Pengertian anak berdasarkan peraturan perundang-undang berbeda-beda akibat adanya perbedaan batasan usia dalam peraturan perundangan-undangan itu sendiri. Pengertian anak jika di tinjau dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu, dan keperluan apa yang juga akan mempengaruhi dalam menentukan batasan umur anak. Pengertian anak dilihat dari peraturan perundang - undangan saat ini.

b. Menurut Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak

Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 pasal 1 yaitu:

1. Anak adalah dalam orang yang perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin.

30

Ibid

31

Kartini-Kartono ,Gangguan-Gangguan Psikis. Sinar Baru: Jakarta.2002.Hlm.187.


(28)

2. Anak nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang - undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan.

3. Anak Terlantar adalah :

Anak yang berdasarkan penetapan pengadilan ditetapkan sebagai anak terlantar, atas pertimbangan anak tersebut tidak terpenuhi dengan wajar kebutuhannya, baik secara rohaniah, jasmaniah, maupun sosial disebabkan: a. Adanya kesalahan, kelalaian, dan atau ketidakmampuan orang tua, wali

atau orang tua asuhnya atau

b. Statusnya sebagai anak yatim piatu atau tidak ada orang tuanya.33

c. Menurut KUHP (Pasal 45)

Pengertian anak yang terdapat dalam Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat dengan KUH Pidana) yaitu , Anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun, di dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa

33

Salam Faisal, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2005.Hlm.25.


(29)

pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan dan terakhir oleh Undang-undang nomor 11 Tahun 2002 tentang Sistem Peradilan Anak

d. Anak Menurut Hukum Perdata

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Aturan ini tercantum dalam UU No.4/1979). Hal ini didasarkan pada pertimbangan usaha kesejahteraan anak, dimana kematangan sosial, pribadi dan mental seseorang anak dicapai pada umur tersebut. Pengertian ini digunakan sepanjang memiliki keterkaitan dengan anak secara umum, kecuali untk kepentingan tertentu menurut undang-undang menentukan umur

e. Anak Menurut Undang – Undang Perkawinan

Pasal 7 (1) Undang-undang Pokok Perkawinan (Undang-undang No.1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.


(30)

Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan anak anak diatas, dapat dikatakan mengacu pada Ketentuan Pasal 330 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.34 Memuat batasa antara belum

dewasa (minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerdrjarigheid), yaitu 21 tahun, atau melakukan “ Pendewasaan ” (venia aetetis,jo. Pasal 419 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).35

3. Tindak Pidana Penggelapan

a. Pengertian Tindak Pidana dan Pelaku Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan sebuah istilah yang dipakai oleh beberapa ahli hukum di Indonesia untuk menterjemahkan istilah “strafbaar feit”. Beberapa istilah yang juga sering digunakan antara lain, perbuatan pidana, peristiwa pidana, perbuatan yang dapat dihukum, pelanggaran pidana, serta delik.

Istilah “strafbaar feit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut terdiri atas tiga kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat (boleh), dan feit yang berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.36

R. Abdoel Djamali, mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan ataurangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana, suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana

34

Nashriana, op.cit., hal 3-4.

35

Ibid

36

Amir Ilya, Asas-Asas Hukum Pidnana, Rangkang Education Yogyakarta & PUKAP, 2012, hlm 19.


(31)

kalau memenuhi unsur-unsur pidananya.37 Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan

yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan perundang undangan lainnya.

Menurut Simons tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan hukum. Perbuatan yang mana dilakukan oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan, dapat diisyaratkan kepada pelaku.38

Menurut Moeljatno pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.39

Menurut KUHP, pelaku yang dapat dipidana pada Pasal 55 KUHP adalah : a. Pasal 55 KUHP.

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

a. Mereka yang melakukan , yang menyuruh melakukan , dan yang turut serta melakukan perbuatan.

b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjika sesuatu , dengan menyalah -

gunakan kekuasaan atau martabat , dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan ,

sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur , hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

37

Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung, 2008, hlm 493.

38

C.S.T. Kansil, Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, PT Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm 106.

39


(32)

1. Dipidana sebagai pelaku kejahatan :

a. Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

b. Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

b. Tindak Pidana Penggelapan

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi . 40 ” Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi - tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.

Unsur-unsur Pasal 372 KUHP (Wetboek van Strafrecht) : 1. Barangsiapa.

2. Dengan sengaja.

3. Melawan hukum (wederrechttelijk) mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain (enig goed dat geheel of ten dele aan een ander toebehoort).

40

Garintirana, pengertian yuridis tindak pidana pengelapan dalam bentuk pokok ,http// blogspot.com,html.,diaksek tgl 17 Feburi 2015.


(33)

4. Yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan (anders dan door misdrijf onder zich hebben).

Penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang, menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.

Soerjono Soekanto mengemukakan pendapatnya, bahwa kejahatan (tindak pidana) adalah gejala sosial yang senantiasa dihadapi untuk setiap masyarakat di dunia, apapun usaha untuk menghapuskannya tidak tuntas karena kejahatan itu memang tidak dapat dihapus. 41 Terutama disebabkan karena tidak semua kebutuhan

dasar manusia dapat dipenuhi secara sempurna, dan manusia mempunyai kepentingan yang berbeda - beda yang bahkan dapat berwujud sebagai pertentangan yang

prinsipil.42

Rumusan itu disebut atau diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.

Sebagai contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini

41

Soerjono Soekanto, Pokok - Pokok Sosiologi Hukum, Raja Rafindo Persada, Jakarta, 1999, hal . 14.

42


(34)

menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnyamenjadi gelap atau tidak terang.43 Lebih mendekati pengertian bahwa

petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.44

c. Jenis - jenisTindak Pidana Penggelapan

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

1) Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Unsur – unsur Pasal 372 yaitu :

1. Dengan sengaja memiliki.Memiliki suatu barang.

2. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain. 3. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

4. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 2) Penggelapan Ringan

43

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal .70.

44


(35)

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

Unsur- unsure pasal 373 KUHP : 1. Dengan sengaja memiliki. 2. Memiliki suatu bukan ternak.

3. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain. 4. Mengakui memiliki secara melawan hukum

5. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 6 Harganya tidak lebih dari Rp. 25,

3. Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena mendapat upah. Pasal 374 berbunyi :“Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”45

R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa pasal ini biasa disebut dengan “Penggelapan dengan Pemberatan”, di mana pemberatannya adalah dalam hal :

45


(36)

a. terdakwa diserahi menyimpan barang yang digelapkan itu karena hubungan pekerjaannya (persoonlijke dienstbetrekking), misalnya perhubungan antara majikan dan pembantu rumah tangga atau majikan dan buruh

b. terdakwa menyimpan barang itu karena jabatannya (beroep), misalnya tukang binatu menggelapkan pakaian yang dicucikan kepadanya, tukang jam, sepatu, sepeda, dsb menggelapkan sepatu, jam dan sepeda yang diserahkan kepadanya untuk diprbaiki

c. karena mendapat upah uang (bukan upah berupa barang), misalnya pekerja stasiun membawakan barang orang penumpang dengan upah uang, barang itu digelapkannya.

Mengenai unsur subyektif dan obyektif S.R Sianturi menyatakan bahwa subyek tindak pidana adalah manusia, hal ini disimpulkan dari:

1. Perumusan delik yang selalu menentukan subjeknya dengan istilah: barangsiapa, warga negara Indonesia, nakhoda, pegawai negeri dsb.

2. Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana yang diatur dengan mensyaratkan “kejiwaan”.

3. Ketentuan mengenai pidana denda yang hanya manusia yang mengerti akan nilai uang.

Mengenai unsur obyektif, S.R Sianturi menyatakan bahwa unsur obyektif ditafsirkan pada suatu tempat, waktu, dan keadaan. Artinya, tindakan tersebut harus


(37)

terjadi pada suatu tempat di mana ketentuan pidana berlaku, belum daluarsa, dan merupakan tindakan tercela.46

4. Penggelapan oleh Wali dan Lain- lain

Pasal 375 KUHP berbunyi “Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.47 Unsur – unsur yang terdapat dalam pasal 375 KUHP yaitu :

1. Dengan sengaja memiliki.

2 Memiliki suatu barang.

3. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

5. Terpaksa disuruh menyimpan barang.

6. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek

46

Tindak Pidana Penggelapan dengan Pemberatan, http : //www .hukumonline.com /klinik/ detail / lt4e9f694721b03/ tindak- pidana-penggelapan-dengan-pemberatan, diakses pada tgl 1 April 2015.

47


(38)

Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.

5. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya.48 Unsur- unsur Pasal 376 KUHP

yaitu :

1. Dengan sengaja memiliki.

2. Memiliki suatu barang.

3. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain

4. Mengakui memiliki secara melawan hukum.

48

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), Cet. 29, hal.132.


(39)

5. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

6 Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.

Hukuman, hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.

Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri, karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai


(40)

delik aduan. Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.49

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan 2 (dua) jenis penelitian hukum adalah:

a. Penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu penelitian atas pasal pasal aturan hukum untuk menentukan asas-asas hukum, mengetahui sinkronisasi vertical, horizontal, mengetahui aspek sejarah hukum dan mengetahui perbandingan antara sistem hukum.

b. Penelitian hukum empiris (empirical legal research) yaitu penelitian

hukum di lapangan yang ingin mengetahui efektifitas aturan hukum, ketaatan masyarakat akan hukum, persepsi masyarakat akan hukum dan ingin mengetahui faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi pembuatan dan penerapan hukum.50

Penelitian hukum normatif meliputi 5 (lima) jenis penelitian yaitu: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.

49

Tindak Pidana Penggelapan , http://zofyanthespiritoflife.blogspot.com/2014/01/tindak-pidana-penggelapan.html diakses pada tanggal 1 April 2015.

50


(41)

d. Penelitian perbandingan hukum. e. Penelitian sejarah hukum.

Soetandyo Wignyosoebroto menyebutkan, penelitian hukum normatif dengan istilah “Penelitian Hukum Doktrinal” (Doctrinal Legal Research), sementara penelitian hukum empiris disebutnya dengan istilah “Penelitian Hukum Non Doktrinal” (Non Doctrinal Research).51

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian hukum normative (normative legal research) yaitu menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan berupa pendapat para sarjana. Dan disertai dengan wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan.

2. Sumber data

Sumber data dipergunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder, Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya yaitu data hasil wawancara peneliti dengan dengan narasumber yaitu hakim Pengadilan Negeri Medan. Data sekunder adalah data yang diperoleh diperoleh dari kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan berupa pendapat para sarjana. Data sekunder dibagi menjadi tiga yaitu :

51

Soetandyo Soekanto, 1989, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia,


(42)

1. Bahan hukum primer yang digunakan berpusat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang –undang No 11 Tahun 2012 (Undang - Undang Sistem Peradilan Pidana Anak), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 (Pengadilan Anak), Undang No 35 Tahun 2014 (Undang-Undang Perlindungan Anak),

2. Bahan hukum sekunder yakni penjelasan mengenai bahan hukum primer dalam hubungan penelitian ini berupa, buku - buku hukum, jurnal - jurnal

hukum, karya tulis atau pendapat para ahli hukum baik yang di muat di media massa perihal perlindungan hukum bagi anak

Kegunaan bahan hukum sekunder adalah:

1. Sebagai bahan rujukan sebagai bahan materiil.

2. Untuk mengembangkan hukum sebagai suatu sistem normatif yang

Komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang formal maupun dalam maknanya yang materiil.52

3. Bahan hukum tersier yakni penelitian yang menyangkut seperti kamus atau ensiklopedia yang memberikan pengertian secara etimilogi, arti kata atau gramatikal untuk istilah - istilah yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat.

52 Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum Cetakan Ketiga, PT Rineka Cipta, Jakarta.


(43)

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah :

1. library Research (penelitian kepustakaan)

Library research adalah dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan, yakni buku-buku, pendapat sarjana, peraturan perundang – undangan, artikel, surat kabar, koran, internet, media massa yang behubungan dengan masalah yang dibahas.

2. Field Research

Field research adalah pengumpulan data secara langsung dari lapangan, yakni wawancara hakim mengenai pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman pidana dalam putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN.

4. Analisis Data

Analisis data penelitian yang digunakan adalah dengan cara kualitatif. Analisis data berpedoman pada tipe dan tujuan yang akan digunakan. Prosedur logika dimulai pengumpulan hukum positif yang relevan dengan sasaran penelitian. Dilakukan proses abstraksi dari kaidah-kaidah hukum positif tersebut sehingga ditemukan sebuah pemikiran yang lebih umum, luas dan abstraksi. Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan


(44)

menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai dengan aturan dan penulisan karya ilmiah, maka penulisan dibuat secara sistematika penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari lima bab, yaitu:

BAB I : Berisikan Pendahuluan yang menguraikan latar belakang judul

penelitian diangkat, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keasliaan penulisan, metode penulisan, tinjauan

kepustakaan , sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini berisikan apa yang dimaksud, restorative justice, diversi , dan bagaimana penerapan restorative dan diversi.

BAB III : Bab ini berisikan, bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap anak pelaku tindak pidana

penggelapan (Putusan NOMOR :06/PID.SUS – ANAK/ 2014/ PN.MDN.)

BAB IV : Bab ini berisikan analisis terhadap putusan hakim Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN


(45)

BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab- bab terdahulu serta berisi saran terhadap pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana.


(46)

BAB II

RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI MENURUT SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012

A. Pengertian Restorative Justice dan Diversi Menurut Undang –

Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

1. Restoratife Justice

Konsep asli praktek keadilan restorative berasal dari praktik pemelihara perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori, penduduk asli Selandia Baru Menurut Helen Cowie keadilan restorative pada intinya terletak pada konsep komunitas yang peduli dan inklusif.53 Bilamana timbul konflik, praktek restorative

justice akan menangani pihak pelaku, korban, dan para stakebolders komunitas tersebut, yang secara kolektif memecahkan masalah.54

Peradilan anak model restorative juga berangkat dari asumsi bahwa anggapan atau reaksi terhadap perilaku delinkuensi anak tidak efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat.

Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan.55

53

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm.196

54

Ibid.

55


(47)

Helen Cowie dan Dawn Jennifer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restoratife sebagai berikut 56:

a. Perbaikan , bukanlah tentang memperoleh kemenangan atau menerima kekalahan, tudingan, atau pembalasan dendam, tetapi tentang keadilan. b. Pemulihan hubungan , bukan bersifat hukuman para pelaku criminal

memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara , tetapi melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku criminal, yang berpotensi mengubah cara berhubungan satu sama lain.

c. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena tempat anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalias serta memahami dampak perilaku mereka terhadap orang lain.

Howar Zehr membedakan retributive justice dengan restorative justice sebagai berikut:57

Dalam Retributive Justice:

1. Kejahatan adalah pelanggaran sistem 2. Fokus pada menjatuhkan hukuman 3. Menimbulkan rasa bersalah

4. Korban diabaikan 5. Pelaku pasif

6. Pertanggung jawaban pelaku adalah hukuman 7. Respon terpaku pada prilaku masa lalu pelaku 8. Stigma tidak terhapuskan

9. Tidak di dukung untuk menyesal dan dimaafkan 10. Proses bergantung pada aparat

11. Proses sangat rasional Dalam Restorative Justice 58:

1. Kejahatan adalah perlukaan terhadap individu dan/atau masyarakat 2. Fokus pada pemecahan masalah

3. Memperbaiki kerugian

4. Hak dan kebutuhan korban diperhatikan 5. Pelaku di dorong untuk bertanggung jawab

56

Ibid.

57

Rena Yulia, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 164.

58


(48)

6. Pertanggung jawaban pelaku adalah menunjukan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian.

7. Respon terpaku pada prilaku menyakitkan akibat prilaku-prilaku 8. Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat

9. Didukung agar pelaku menyesal dan maaf dimungkinkan untuk diberikan oleh korban

10. Proses bergantung pada keterlibatan orang-orang yang terpengaruh oleh kejadian.

11. Dimungkinkan proses menjadi emosional

Model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan hubungan pelaku dan korban, misalnya, seseorang mencuri buku professor, proses keadilannya adalah begaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara orang tersebut dan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan.59 Keadilan retributive, masyarakat tidak dilibatkan karena sudah

diwakilkan pengacara, sementara alam keadilan restrorative masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, misalnya tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya.60

Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. Restorative Justice dibangun atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang dilaksanakan menghargai hak asasi manusia (HAM).61

Prinsip-prinsip Restorative Justice adalah, membuat pelaku bertanggung jawab untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya sebaik dia mengatasi rasa bersalahnya dengan cara yang konstruktif, melibatkan korban, orang tua, keluarga,

59

Hadi Supeno, op.cit., hlm.165.

60

Ibid.

61


(49)

sekolah atau teman bermainnya, membuat forum kerja sama, juga dalam masalah yang berhubungan dengan kejahatan untuk mengatasinya.62

Watchel dan McCold yang banyak melakukan praktik keadilan restorative di lingkungan sekolah, mengonseptualkan kerangka kultur yang adil dan setara beradasarkan hubungan yang positif dan penuh kepedulian, sebagaimana ditunjukkan dalam skema 1 tentang Pembuatan Kerangka bagi Praktek Keadilan Restoratif.

. Pembuatan Kerangka bagi Praktik Keadilan Restoratife 63

Tinggi

Bersifat memulihkan Bersifat Menghukum (Kolaboratif/integrasi) (otoriter/mencela aib) Kontrol (penetapan

batasan,akuntabilitas)

Bersifat Lalai Bersifat Membebaskan (acuh tak-acuh/pasif) (terapeutik/melindungi)

Rendah Tinggi

Gambar tersebut, tentang poros vertical merujuk pada batas yang perlu guna mempertahankan struktur yang baik dalam komunitas (sekolah, masyarkat) seutuhnya

62

Ibid.

63


(50)

sementara pada poros horizontal merujuk pada dukungan emosi dan pengasuhan yang dibutuhkan komunitas dan individu di dalamnya.64

a. Praktik yang kekurangan struktur dan dukungan dianggap sebagai lalai (tidak

melibatkan siapa pun ketika terjadi delikuensi anak).

b. Praktik yang memiliki pengendalian yang tinggi , tetapi dukungan rendah, bersifat menghukum (menerapkan kekuasaan terhadap orang banyak dengan cara menuduh para peserta dalam kekerasan dan dengan demikian melanggengkan kultur menyalahkan dan mencela aib.

c. Praktik yang pengendaliannya rendah dan dukungannnya tinggi dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat pasrah ( melakukan hal-hal bagi orang,tetapi pada saat sama tidak memberdayakan merekan dan tidak menantang mereka, jadi mereka tidak belajar secara proaktif dalam menantang kekerasan).65

d. Praktik yang mempertahankan standar perilaku dan batasan yang tinggi, dan pada saat yang bersamaanjuga bersifat mendukung, dirasakan sebagai restoratif (disini sekolah bekerja sama dengan orang dan dengan demikian turut menciptakan kultur kerja sama dan memfasilitasi perasaan tanggung jawab dan kepemilikan pada komunutas).66

64

Ibid.

65

Ibid.

66


(51)

Muladi mengungkapkan bahwa dalam keadilan restrorative korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali kedalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan karena itu harus dirukunkan.67

Mantan Ketua Mahkamah Agung RI Bagir Manan berpandangan, dalam keadilan restoratife perkara harus diubah, bukan lagi demi kepentingan ketertiban, melainkan demi kepentingan korban beserta pemulihan segi materi dan psikisnya. Intinya, bagaimanana menghindarkan pelaku dari pemenjaraan, tetapi tetap bertanggung jawab.68

Menurut Pasal 1 angka (6) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , Keadilan Restoratif adalah penyelesain perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama–sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.69

Peradilan pidana anak dengan keadilan restoratif bertujuan untuk:

1) Mengupayakan perdamaian antara korban dan anak;

2) Mengutamakan penyelesaian di luar proses peradilan;

3) Menjauhkan anak dari pengaruh negative proses peradilan;

67

Muladi, KKR dan Keadilan Restoratif,”Kompas Cyber Media, 21 April 2005.

68

Bagir Manan,Suara Karya Online, Edisi 27 November 2008

69


(52)

4) Menanamkan rasa tanggung jawab anak;

5) Mewujudkan kesejahteraan anak;

6) Menghindarkan anak dari perampasan kemedekaan;

7) Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

8) Meningkatkan keterampilan hidup anak.

Sebenarnya dalam UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sudah ada upaya pengubahan paradigma pemidanaan anak di Indonesia, yang bukan lagi di tujukan intuk memberikan pembalasan (dalam pandangan retributif), tetapi lebih diarahkan pada proses pembinaan agar masa depannya menjadi lebih baik.70

Paradigma ini dirasakan tidak cukup karena perkembang lebih jauh dari aturan dalm undang-undang pengadilan anak dimana paradigma yang berkembang kemudian bukan lagi sekedar mengubah jenis pidana menjadi jenis pidana yang bersifat mendidik, tetapi seminimal mungkin memasukkan anak ke dalam proses peradilan anak.

Pemahaman bahwa menjauhkan anak dari proses peradilan pidana menjadi lebih penting karena hal ini merupakan bagian upaya perlindungan hak asasi anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak pasal 37 (b) The Beijing Rules (Butir 13.1

70


(53)

dan 2). Pasal 40 dan Beijing Rules (Butir 6 dan Butir 11. 1, 2, 3 dan 4) diberikan peluang bagi dilakukannya diversi.71

Pengalihan perkara oleh polisi dan penuntut umum serta pejabat lain yang berwenang untuk menjauhkan anak dari proses peradilan formil, penahanan, atau pemenjaraan. Program divesi ini dilakukan dengan menempatkan anak dibawah pengawasan badan - badan sosial tertentu yang membantu pelaksanaan sistem peradilan pidana anak sebagaimana disebut dalam Undang - Undang.72

Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang No 11 Tahun 2012” Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. 73

Ide mengenai restorative justice masuk dalam Pasal 5, bahwa sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif ayat (1), yang meliputi :

a. Penyidikan dan penututan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, kecuali ditentukan lain dalam undang - undang ini;

b. Persidangan anak dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana, tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

2. Pengertian Diversi Dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012

71

Ibid.

72

Ibid.

73


(54)

Ide diversi pada mulanya dirancangkan dalam United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) yang disebut The Beijing Rules. Prinsip-prinsip Diversi Menurut The Beijing Rule 11 adalah 74:

a. Diversi dilakukan setelah melihat pertimbangan yang layak, yaitu

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lainnya) diberi kewenangan untuk menangani pelanggar - pelanggar hukum berusia muda tanpa menggunakan pengadilan formal.

b. Kewenangan untuk menentukan Diversi diberikan kepada aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan lembaga lain yang sesuai dengan kriteria yang ditentukan untuk tujuan itu di dalam sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam The Beijing Rules.

c. Pelaksanaan Diversi harus dengan persetujuan anak, atau orang tua walinya, namun demikian keputusan pelaksanaan Diversi setelah ada kajian oleh pejabat yang berwenang atas permohonan Diversi tersebut.

d. Pelaksanaan Diversi memerlukan kerja ama dan peran masyarakat,sehubungan dengan adanya program Diversi seperti : Pengawasan, bimbingan sementara, pemulihan, dan ganti rugi kepada korban.

Diversi, merupakan pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan - tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain menghentikan atau tidak meneruskan, melepaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan, menyerahkan kepada masyarakat.75 Dan dapat diserahkan

kepada tempat - tempat sosial atau pelayanan sosial lainnya. Penerepan Diversi dapat diterapkan di semua tingakat pemeriksaan, dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatife keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut

74

Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, op.cit., hlm.67.

75


(55)

Di Indonesia, istilah Diversi pertama kali dimunculkan dalam perumusan hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996.76 Perumusan hasil seminar

tersebut tentang hal-hal yang disepakati,antara lain”Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan atau tidak meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selam proses pemeriksaan di muka sidang,77

Kebijakan legislative tentang perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengn hukum melalui diversi dalam sistem peradila anak adalah dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Diversi dalam sistem peradilan pidan anak.78

Diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada tanggal 30 Juli 2012, maka Indonesia sudah secara sah memiliki suatu peraturan yang memberi perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan denagn hukum dengan salah satu metodenya adalah Diversi.79 Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum

menerapkan lembaga Diversi dalam rumusannya. Menyebabkan banyak perkara pidana bermuara dari tindak kenakalan anak yang sifatnya Juneville Delinquency semata, yang seharusnya tidak perlu proses sampai ke ranah pidana .

76

Romli Atmasasmita,op.cit.,hlm.201

77

Ibid.

78

Angger Sigit Pramukti & Fuandy Primaharsya, op.cit., hlm 68

79


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tentang apakah diterapkan atau tidak diterapkannnya Restoratif Justice dan Diversi dalam Putusan Nomor : 06/PID.SUS- ANAK/2014/PN.MDN, adalah Putusan yang dijatuhkan hakim sama sekali tidak menerapkanadanya Restoratif Justice dan Diversi yang tercantum dalam Pasal 1 angka (6) dan Pasal 7 ayat (2) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Anak, pada tahap awal hingga ke persidangan konsep diversi dalam UU SPPA belum diterapkan dan vonis hakim tetap mempergunakan pendekatan UU Pengadilan Anak, ini menunjukkan bahwa konsep keadilan restoratif juga masih belum sepenuhnya dipahami oleh penegak hukum.

2. Pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana hanya mempertimbangkan mengenai dakwaan penuntut umum, tuntutan pidana, keterangan saksi - saksi, keterangan terdakwa, barang bukti, hal – hal yang memberatkan terdakwa dan hal – hal yang meringankan terdakwa, pertimbangan hakim mengenai adanya Undang – Undang Nomor : 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana anak, yang didalamnya berbicara mengenai keadilan restoratif dan diversi sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim.

3. Keputusan hakim dalam putusan Nomor : 06/ PID.SUS -ANAK/2014/PN.MDN belum memberikan nilai keadilan bagi anak. Hakim


(2)

lebih mengedepankan teori retributif atau pembalasan daripada mengedepankan konsep Restoratif Justice dan Diversi. Putusan hakim yang cenderung menjatuhkan pidana penjara daripada tindakan terhadap anak nakal, sebenarnya tidak sesuai filososi dari pemidanaan dalam hukum pidana anak. Penjatuhan pidana secara tidak tepat dapat mengabaikan pengaturan perlindungan, karena pemidanaan anak seharusnya adalah jalan keluar terakhir

Saran

1. Dengan adanya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim haruslah lebih mengedepankan konsep keadilan restoratif dan diversi daripada mengedepankan konsep retributive atau pembalasan, hakim yang menyelesaikan perkara pidana anak secara tepat dan adil dengan memperhatikan kondisi anak, agar anak tersebut tidak merasa kehilangan haknya sesuai dan mengalihkan penyelesain perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana dengan apa yang diatur dalam Undang – Undang SPPA.

2. Pertimbangan hakim dalam penjatuhan hukuman terhadap anak harus lebih mengutamakan keadilan restoratif justice dan diversi, dengan adanya Undang

– Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim harus mempertimbangkan apakah putusannya membuat anak jera atau mencederai keadaan psikologi anak dimasa depan. Anak – anak yang


(3)

3. Putusan Nomor : 06/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MDN, seharusnya hakim tidak menjatuhkan pidana 11 bulan bagi anak pelaku tindak pidana penggelapan namun harus memberikan keadilan bagi anak dengan mengalihkan penyelesaian perkara nak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Anwar, Moch . H.A.K., Hukum Pidana Khusus (KUHP buku II), Bandung : Alumni Bandung,1979.

Ashshofa , Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2001.

Atmasamita, Romli, Sistem Peradilan Pidana , Perspektif Eksistensialisme dan Abolisilisionisme, Bandung : Bina Cipta, 1996.

Budiardjo, Tri, Anak - anak Generasi Terpinggirkan, (Membangun Generasi Terbaru Lewat Pelayanan Anak, Yogyakarta : Andi, 2010.

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Harta Benda,. Malang : Bayumedia, 2003.

______________, Hukum Pidana III, Malang : Produksi Si Unyil, 1982.

Djamil, Nasir. M., Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2013.

Dellayana, Shanty, Wanita dan Anak Di mata Hukum,Yogyakarta : Liberty, 1998.

Faisal, Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 2005.

Fuady , Munir., Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.

Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2008.

Gatot, Supramono., Hukum Acara Peradilan Anak, Jakarta : Djambatan, 2002.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2005.

Ilya, Amir, Asas - Asas Hukum Pidana. Rangkang, Yogyakarta : Education Yogyakarta & Pukap Indonesia, 2012.


(5)

Kansil, C.S.T., Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta : PT Sinar Grafika., 1995.

Lamintang, P.A.F, Delik-Delik Khusus : Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Bandung : PT. Sinar Baru, 1989.

Moeljatno, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.

Muldi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Badan Penerbit Diponegoro, 2002.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Pramukti, Sigit Angger & Primaharsya, Fuady, Sistem Peradilan Pidana Anak, Yogyakarta : Pustaka Yustia, 2015.

Prinst , Darwin, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.

Soekanto, Soetandyo, Penelitian Hukum Sebuah Tipologi Masyarakat Indonesia. Surabaya : Penerbit Unair, 1989.

Soekanto, Soerjono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Rafindo Persada, 1999.

Soekanto , Widowati Sri, Anak dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta : LP 3 ES, 1984

Supeno , Hadi , Kriminalisasi Anak, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Wahyudi, Setya, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesi,. Yogyakarta: Genta Publising, 2011. Yulia, Rena, Viktimologi: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,

Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009.

B. Undang – Undang

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang

– Undang Hukum Pidana.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang


(6)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

C. Internet

http//blogspot.com,html,Garintirana. Pengertian yuridis tindak pidana pengelapan dalam bentuk pokok diakses pada tanggal 17 Febuari 2015.

https:// ferli1982 .wordpress.com/2013/03/05/, Hidayat, Feri. Diversi dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diakses pada tanggal 19 febuary 2015.

http:// doktormarlina.htm.Marlina, Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak diakses pada tanggal 9 febuari 2015.

http.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara /article/.../6199, Primasari, Lushiana . Keadilan Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum diakses pada tanggal 9 Febuari. 2015.

Http/www.Hukum Online.com, Pramesti, Ayu, Jata, Tri . Hal-hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak diakses pada tanggal 1 Desember 2014.

Http : //www .hukumonline.com /klinik/ detail / lt4e9f694721b03/ tindak- pidana-penggelapan-dengan-pemberatan, diakses pada tgl 1 April 2015. Tindak Pidana Penggelapan dengan Pemberatan,


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn)

2 81 104

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

2 50 101

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 54 168

Pertimbangan Hakim Terhadap Penelitian Kemasyarakatan Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak (Studi Putusan No. 826/Pid.B/2007/PN.Mdn)

2 47 107

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Analisis Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan (Studi Putusan No. 622/PID/B(A)/2011/PN.TK)

2 17 70

BAB II RESTORATIVE JUSTICE DAN DIVERSI - Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 1 19

Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Hukuman Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Penggelapan (Studi Putusan Nomor : 06/Pid.Sus-Anak/2014/Pn.Mdn)

0 0 34

Peranan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

0 0 12

Pertimbangan Hakim Terhadap Penelitian Kemasyarakatan Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak (Studi Putusan No. 826/Pid.B/2007/PN.Mdn)

0 0 10