TINJAUAN YURIDIS YANG MENYEBABKAN NEGARA

TINJAUAN YURIDIS YANG MENYEBABKAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA BELUM MEMILIKI HUKUM NASIONAL YANG
TERKODIFIKASI
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas Politik Hukum
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Disusun oleh:
Aryani Widhiastuti
14/371187/PHK/8175

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan tatanan hukum dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang

berkembang pada suatu tempat dan masa tertentu. Begitu pula di Indonesia,
pembangunan Hukum Nasional tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah
perkembangan tatanan yang berlaku pada masyarakat Indonesia. Membahas
mengenai pembentukan hukum nasional maka membahas pula mengenai
politik hukum nasional. Melalui politik hukum nasional, kita dapat
mengetahui bagaimanakah dan kemanakah arah kebijakan yang dibuat dan
dikehendaki oleh penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahannya
untuk mencapai tujuan Negara. Arah politik hukum nasional dapat dilihat dari
sistem hukum nasional Indonesia yang tertuang dalam suatu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk.
Wajah hukum Indonesia yang dapat dilihat saat ini memang tidak
terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi. Disamping keberadaan
tatanan hukum asli masyarakat Indonesia yang hidup dan berkembang sejak
dahulu, yang kini akan diangkat dalam pembangunan hukum nasional
(misalnya menempatkan hukum adat sebagai basis hukum nasional), pengaruh
tatanan hukum modern (hukum eropa) yang dibawa oleh bangsa penjajah
(Belanda) pada masa colonial dan terlanjur tertanam dan mengakar kuat dalam
sistem hukum Indonesia (misalnya politik unifikasi dan kodifikasi), serta tidak
dapat dihindari lagi pengaruh dari tatanan hukum Negara-negara maju didunia
dalam rangka memenuhi tuntutan era globalisasi1. Sejak awal pembentukan

hukum di Indonesia telah dipengaruhi oleh tatanan hukum Eropa khususnya
dari Belanda, mengingat bahwa Indonesia bekas wilayah jajahan Belanda.
Sebagai contoh yaitu dasar hukum perdata Indonesia yaitu Kitab undangUndang Hukum Perdata (KUHPer) tidak lain adalah terjemahan dari
Burgerlijk Wetbook (BW) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas
konkordansi. Seiring berjalannya waktu, hukum kolonial yang telah dianut
1

Al. Wisnubroto, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010, Hlm. 3.

1

dan diubah statusnya menjadi hukum nasional tersebut ternyata berbenturan
dengan hukum adat masyarakat Indonesia. Di lain sisi muncul pula pihak yang
memperjuangkan hukum Islam yang aturannya juga tidak dapat sejalan
dengan aturan yang tercantum dalam hukum kolonial. Polemik tersebut hingga
kini bahkan telah menjadi semacam “aliran” atau pandangan yang berbeda
mengenai bagaimana hendaknya hukum di Indonesia dikembangkan. Ada
yang menginginkan tetap terpeliharanya huku adat yang pluralistis, ada pula
yang menginginkan berlakunya hukum islam, namun banyak sarjana hukum

terutama yang duduk di pemerintahan dan MPR/DPR menginginkan
berlakunya unifikasi dan kodifikasi huku bagi seluruh wilayah Republik
Indonesia dan semua warga negaranya2.
Mengkodifikasi undang-undang merupakan salah satu kegiatan
pembangunan hukum yang merujuk pada suatu produk hukum. Kodifikasi
sendiri menurut Mulyana W. Kusumah diartikan sebagai pembukuan hukum
dalam artian menghimpun aturan-aturan hukum yang sejenis ke dalam satu
buku hukum baik secara tuntas maupun secara parsial, termasuk juga di
dalamnya pembuatan peraturan tentang bidang-bidang tertentu3. Sebagai hasil
dari politik hukum, arahan untuk melakukan kodifikasi hukum pun telah
dicantumkan secara jelas sejak berlakunya TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
butir (c), begitu juga tercantum dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1983 butir
(c) dan TAP MPR No II/MPR/1988 butir (c). Namun mengapa dalam
perkembangannya hingga saat ini, Indonesia belum mempunyai Hukum
Nasional yang terkodifikasi. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas,
penulis akan melakukan suatu analisis yuridis terkait dengan penyebab Negara
Republik Indonesia belum memiliki hukum nasional yang terkodifikasi.
B. Permasalahan
Apakah yang menyebabkan Negara Republik Indonesia belum
memiliki hukum nasional yang terkodifikasi ditinjau dari segi yuridis?

BAB II
2

3

C.F.G. Sunaryati Hartono, Bhineka Tungga Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan
Hukum Nasional , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal 23
Mulyana W. Kusumah, Perspektif, Teori, Dan Kebijaksanaan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,
1986, hlm. 28.

2

PEMBAHASAN
Tinjauan Yuridis terhadap Belum Dimilikinya Hukum Nasional yang
terkodifikasi di Negara Repubik Indonesia
Pembangunan hukum nasional tidak terlepas dari peran penyelenggara
Negara dalam menentukan arah politik hukum nasional. Lalu bagaimana pengaruh
politik hukum Indonesia dalam pembentukan kodifikasi hukum di Indonesia?
Pengertian kodifikasi sendiri adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam
kitab undang-undnag secara sistematis dan lengkap. Adapun tujuan kodifikasi

daripada hukum tertulis ialah untuk memperoleh: (a)Kepastian hukum,
(b)Penyederhanaan hukum, (c)Kesatuan hukum.4 Di dalam mengadakan
kodifikasi hukum, maka ketiga dari tujuan minimal kodifikasi seperti
dikemukakan di atas tidak berdiri sendiri, karena tujuan kodifikasi tidak akan
mungkin tercapai, bila hanya satu atau dua tujuan yang dalam kenyataan benarbenar terwujud. Sedangkan definisi politik hukum nasional menurut Sunaryati
Hartono merupakan sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan
oleh Pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan
dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia5.
Dalam menguraikan mengenai alasan mengapa Indonesia belum memiliki hukum
nasional terkodifikasi, Penulis akan terlebih dahulu menguraikan mengenai
bagaimana pengaturan yuridis tatanan hukum di Indonesia yang berkaitan
mengenai amanat dalam melakukan kodifikasi hukum nasional.
Rumusan politik hukum nasional tercantum di dalam peraturan
perundang-undangan sebagai produk hukum yang dibentuk oleh pihak yang
berwenang yaitu lembaga legislatif. Banyak factor yang dapat mempengaruhi
karakteristik politik hukum nasional sebuah Negara, tidak terkecuali Indonesia.
Faktor-faktor itu bisa meliputi sejarah, geografi, tradisi local, kenstelasi socialpolitik, ekonomi, agama dan lain sebagainya. Belum lagi kelompok-kelompok

4


5

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1989, Hlm.72
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung, 1991, Hlm 1

3

yang digolongkan dalam suprastruktur politik (penyelenggara Negara) dan
infrastruktur poitik (kelompok-kelompok kepentingan)6.
Berdasarkan UUD 1945, lembaga yang mempumyai wewenang dalam
perumusan politik hukum nasional, diantaranya Majelis Permusyawaratan rakyat
(MPR) dan dewan perwakilan rakyat (DPR). Pasal 3 ayat (1) perubahan ketiga
UUD 1945 menyebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Merujuk dari bunyi pasal
tersebut menunjukkan bahwa MPR berwenang merumuskan politik hukum dalam
bentuk Undang-Undang Dasar. Segala bentuk perubahan dan penetapan yang
dilakukan oleh MPR terhadap UUD 1945 disebut sebagai politik hukum karena
merupakan kebijaksanaan dasar dari penyelenggara Negara dan dimaksudkan

sebagai instrument untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan. Sedangkan
DPR berwenang merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-undang sesuai
dengan amanat yang termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, “Dewan
Perwakilan

Rakyat

memegang

kekuasaan

membentuk

Undang-Undang”.

Diperkuat pula oleh Pasal 20 A yang mengatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dengan
melekatnya fungsi legislasi tersebut DPR mempunyai peran yang sangat
signifikan dalam membuat hukum nasional untuk mencapai cita-cita Negara.
Setelah membahas mengenai penyelenggara Negara perumus politik hukum

nasional, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah sebenarnya karakteristik
politik hukum nasional dalam upaya membangun hukum nasional?
Menengok kebelakang, bahwa karakteristik politik hukum nasional sudah
mulai dicantumkan pada rumusan GBHN pada butir (c) TAP MPR Nomor
IV/MPR 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang berbunyi:
“Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan
antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di
bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum
dalam masyarakat”
Berangkat dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa arahan dalam
pembentukan hukum nasional pada masa itu dilakukan dengan cara kodifikasi dan
6

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT Raja Grafindo Persada
Jakarta, 2004, hlm. 103-104

4

unifikasi hukum. Tafsiran yang sama juga dicantumkan pula dalam TAP MPR
selanjutnya yaitu TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar

Haluan Negara butir (c):
“Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam
rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi
serta unifikasi hukum di bidang-bidang hukum tertentu dengan
memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat”
Tidak jauh berbeda pula dengan ketentuan dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1988
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara butir (c):
“Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya
pembaruan hukum secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan
unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundangundangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung
pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan,
serta tingkat kesadaran masyarakat”.
Terlihat bahwa rumusan karakteristik politik hukum dalam rangka pembangunan
hukum nasional pada TAP MPR Nomor IV/MPR 1978, TAP MPR Nomor
II/MPR/1983, dan TAP MPR Nomor II/MPR/1988 mempunyai arah yang sama
yaitu dengan melakukan suatu kodifikasi dan unifikasi hukum. Arah yang berbeda
baru dicantumkan dalam rumusan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar haluan Negara butir (c) yang berbunyi:
“Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta

memperbaharui perundang-undangan warisan colonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi”
Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa mulai dari
diberlakukannya TAP MPR Nomor IV/MPR/1999, politik hukum Indonesia
dalam rangka pembangunan hukium nasional, sudah tidak mengharuskan adanya
pengkodifikasian maupun unifikasi hukum, melainkan (1) pembentukan sistem
hukum nasional hendaknya bersifat menyeluruh dan terpadu; (2) sistem hukum
nasional yang dibentuk tetap mengakui dan menghormati eksistensi hukum agama

5

dan hukum adat; (3) melakukan pembaruan terhadap warisan hukum colonial dan
hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi.
Kemudian pada masa reformasi banyak terjadi perubahan di seluruh sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk tidak diamanatkannya lagi MPR
untuk membentuk GBHN. Tidak adanya GBHN maka akan mengakibatkan tidak
adanya lagi rencana pembagian jangka panjang pada masa mendatang. Untuk itu
para penyelenggara Negara sepakat untuk menetapkan sistem perencanaan
pembangunan Nasional melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang

Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang didalamnya mengatur
mengenai perencanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka
menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan. Berdasarkan amanat UU SPPN,
pengaturan mengenai rencana pembangunan jangka panjang secara lex spesialis
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.
Tujuan

pembangunan

jangka

panjang

tahun

2005–2025

adalah

mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap
pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia
yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang
diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok salah satunya adalah
mewujudkan Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan berkeadilan
yang ditunjukkan salah satuya dengan terciptanya supremasi hukum dan
penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem
hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan
aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat,
dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada
hak-hak asasi manusia7. Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 juga
menjelaskan mengenai arah pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025,
7

Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025

6

salah satunya adalah reformasi hukum dan birokrasi. Disebutkan bahwa,
“….pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan
tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh
globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan
hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum,
serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan
kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur,
lancar, serta berdaya saing global.” Disebutkan pula, “Pembangunan hukum
diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap
bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum
termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat
yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka
mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil
dan demokratis.”
Melihat berbagai aturan mengenai pembangunan hukum nasional dimulai
sejak berlakunya TAP MPR hingga diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025 sebagai tindaklamjut dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, diketahui bahwa politik
hukum nasional yang tercantum dalam Undang-Undang sudah tidak lagi
menyebutkan secara tegas mengenai perintah untuk melakukan kodifikasi hukum
dalam pembangunan hukum nasional, melainkan dilaksanakan melalui pembaruan
materi hukum dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku
dan pengaruh globalisasi guna meningkatkan kepastian, perlindungan dan
penegakan hukum dan hak asasi manusia, dengan tujuan untuk mewujudkan
sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Hal tersebut ditegaskan pula dalam sila ketiga Pancasila, “Persatuan
Indonesia”. Sila ketiga ini mempunyai maksud mengutamakan persatuan atau
kerukunan bagi seluruh rakyat Indonesia yang mempunyai perbedaan agama,
suku, bangsa dan budaya. Dalam hal ini Negara merupakan suatu persekutuan

7

hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk Negara yang berupa
suku, ras, kelompok, golongan, maupun kelompok agama. Keanekaragaman
tersebut mengikat diri dalam suatu persatuan yang dilukskan dalam suatu seloka
Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik
dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling
menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan
tujuan

bersama.8

Penjabaran

sila

tersebut

menggambarkan

bahwa

keanekaragaman di Indonesia sangat dijunjung dan dihargai, termasuk dalam
pembentukan

hukum

nasional

yang

seharusnya

juga

menghargai

dan

mengakomodir semua hukum adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
Indonesia sepanjang sesuai dngan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun telah tidak diamanatkan secara yuridis untuk melakukan
kodifikasi dan unifikasi hukum, namun pemerintah tetap berupaya untuk
melakukan kebijakan tersebut. Hanya saja dalam prosesnya semakin mengalami
banyak tantangan. Disamping tidak adanya aturan yang mampu melegitimasi
kebijakan pembentukan hukum secara kodifikasi dan unifikasi, perkembangan
social-politik dan kesadaran hukum masyarakat menjadi tantangan besar
tersendiri.
Perkembangan hukum di Indonesia saat ini (lebih dari 60 tahun
pencanangan tekad pembangunan nasional), wajah hukum nasional kita tidak jauh
berbeda dengan hukum jaman kolonial, sehingga secara paradigmatik bisa
dikatakan bahwa belum ada proses “pembebasan” status quo dalam proses
pembangunan hukum. Tekad untuk membangun tatanan hukum nasional yang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sebenarnya sudah dituangkan dalam
Pembukaan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945) pada kalimat yang menyatakan: “….untuk membentuk suatu
pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, .. maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang dasar Negara
Indonesia…”. Politik pembangunan hukum nasional tersebut selalu ditegaskan
dalam berbagai landasan kebijakan penyelenggaraan Negara, misalnya pada era
8

Darmodiharjo Darji, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia,
Rajawali, Jakarta, 1996, Hlm 81

8

dahulu selalu tercantum dalam Tap-Tap MPR yang memuat tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan hingga kini tercantum secara eksplisit dalam Konstitusi
Negara yaitu Pasal 8B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
Undang-Undang”.
Upaya dalam melakukan kodifikasi, unifikasi dan universalisasi hukum
sebenarnya sudah diawali sejak jaman kolonial dan diteruskan hingga jaman
pembangunan nasional sekarang ini. Namun upaya pengkodifikasian tersebut
akan sangat susah dilakukan bahkan dapat berisiko mengalami kegagalan
mengingat bahwa kuatnya budaya asli Indonesia dengan corak masyarakat
Indonesia yang bersifat pluralistik. Sebagai contoh pada hukum privat UndangUndang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan
juga pada hukum publik yaitu Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang berasal dari hukum warisan Belanda Wet Boek van Strafrecht voor
Netherlands Indie, yang saat ini masih berlaku menjadi hukum positif Indonesia
namun juga tidak dapat memenuhi rasa keadilan apabila ditinjau dari hukum adat.
Namun atas dasar pertimbangan tidak boleh ada kekosongan hukum, Pasal 1
Aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang dasar ini”. Ketentuan ini memberikan legitimasi
konstitusional bagi peraturan perundnag-undangan warisan kolonial untuk tetap
berlaku. Meskipun demikian upaya pembangunan hukum nasional harus tetap
dilakukan mengingat bahwa peraturan perundang-undangan warisan kolonial
banyak yang bertentangan dengan tradisi dan agama masyarakat. Atas dasar itu,
upaya pembentukan hukum nasional mutlak dilakukan. Pada setiap Negara
merdeka, secara teoritis maupun secara praktik penyelenggaraan Negara, selalu
diusahakan agar sistem hukum yang berlaku adalah sesuai untuk kehidupan
bernegara9. Dengan demikian, apabila penyelenggara Negara masih bersikuat
untuk melakukan kodifikasi hukum, maka menurut Imam Syaukani dalam
9

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986,
hlm. 78

9

bukunya Dasar-Dasar Politik Hukum, kodifikasi lebih dilihat sebagai upaya untuk
menghimpun materi hukum tertentu yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum
dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum perdata
internasional, yang masing-masing harus tersusun dan terhimpun secara sistematis
dalam kitab undang-undang. Hanya saja, agar tidak terjadi kemandekan hukum
dan tidak menimbulkan konflik antarpenduduk, politik hukum kodifikasi
hendaknya menganut prinsip terbuka dan prinsip kodifikasi parsial. 10 Prinsip
kodifikasi terbuka adalah dimungkinkan diluar kitab-kitab undang-undang
terdapat aturan yang berdiri sendiri. Sedangkan makna dari prinsip parsial ialah,
dalam melaksanakan kodifikasi sesuatu cabang huikum pokok, kodifikasi tersebut
dilakukan mengenai bagian-bagian tertentu saja. Menurut Radhie, seperti yang
dikemukakan Mochtar Kusuma Atmaja, kodifikasi dilakukan hanya pada bagianbagian yang tergolong hukum “netral” dan tidak termasuk hukum yang berkenaan
dengan kesadaran budaya atau kepercayaan agama.11

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

10

Teuku Mohammad Radhie, pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan” dalam
Artidjo Alkostar . (ed.), identitas Hukum Nasional. Yogyakarta, fakultas Hukum UII, 1997, hlm.
216
11
Ibid., hlm. 217

10

Pembangunan hukum nasional tidak terlepas dari peran penyelenggara
Negara dalam menentukan arah politik hukum nasional, termasuk dalam
melakukan suatu kodifikasi terhadap hukum nasional. Mengenai aturan dalam
mengkodifikasi hukum nasional sudah ada sejak berlakunya TAP MPR
Nomor IV/MPR 1978, TAP MPR Nomor II/MPR/1983, dan TAP MPR
Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, namun seiring
berkembangnya dan bergantinya peraturan perundang-undangan sebagai
wujud dari politik hukum para penyelenggara Negara, aturan mengenai
kodifikasi sudah tidak dicantumkan kembali hingga pengaturan pembangunan
hukum nasional saat ini yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 20052025. Begitu pula ditegaskan dalam sila ketiga Pancasila yang menegaskan
mengenai adanya persatuan bukan kesatuan dalam menentukan kebijakan di
segala bidang termasuk dalam pembangunan hukum nasional. Meskipun
demikian, rupanya pemerintah tetap berupaya untuk melakukan kebijakan
tersebut. Hanya saja dalam prosesnya semakin mengalami banyak tantangan
mengingat bahwa kuatnya budaya asli Indonesia dengan corak masyarakat
Indonesia yang bersifat pluralistik. Konstitusi sendiri mengakui mengenai
adanya berbagai masyarakat hukum adat yang berkembang di Indonesia
(dicantumkan dalam Pasal 8 B ayat (2) UUD 1945.
B. SARAN
Tidak adanya peraturan yang mellegitimasi mengenai kodifikasi
hukum nasional serta keadaan masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistic
merupakan penghalang besar bagi penyelenggaran Negara dalam melakukan
kodifikasi hukum. Apabila penyelenggara Negara masih bersikuat untuk
melakukan kodifikasi hukum, kodifikasi mungkin hanya dapat dilakukan pada
hukum tertentu hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara
perdata, hukum acara pidana dan hukum perdata internasional. Hanya saja,
agar tidak terjadi kemandekan hukum dan tidak menimbulkan konflik
antarpenduduk, politik hukum kodifikasi hendaknya menganut prinsip terbuka
dan prinsip kodifikasi parsial.

11

DAFTAR PUSTAKA
Al. Wisnubroto. 2010. Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia. Yogyakarta: ,
Universitas Atmajaya Yogyakarta.

12

Artidjo Alkostar . (ed.). 1997. Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Fakultas
Hukum UII
C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta
Balai Pustaka
C.F.G. Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni
--------------------------------. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni
--------------------------------. 2006. Bhineka Tungga Ika Sebagai Asas Hukum Bagi
Pembangunan Hukum Nasional. Bandung: Citra Aditya Bakti
Darmodiharjo Darji. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem
Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. 2004. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Mulyana W. Kusumah. 1986. Perspektif, Teori, Dan Kebijaksanaan Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers
Padmo Wahjono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang

Nomor

25

Tahun

2004

tentang

Sistem

Perencanaan

Pembangunan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33

13