Pengaruh Filsafat Islam terhadap Yahudi

Pendahuluan

Dalam pandangan sarjana Barat baik Muslim maupun non-Muslim
terkesan bahwa falsafah Islam tidaklah murni Islam. Falsafah Islam
hanya sekedar mentransformasikan teks-teks peradaban Yunani dalam
bahasa

Arab.

Falsafah

Islam

hanya

berguna

untuk

menyambung


peradaban Yunani. Tidak ada ketertarikan dan kemurnian di dalamnya.
Bahkan, ia menjadi agen pengeruh kejernihan dan keaslian arus
peradaban Yunani.1
Terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya kesan tersebut.
Pertama, semangat kaum terpelajar Muslim dalam menelaah, mengulas,
dan menerjemahkan teks-teks peradaban Yunani. Oleh sebagian sarjana
Barat memandang semangat yang kuat ini sebagai usaha semu dalam
meng-Islam-kan khazanah Yunani. Pada kenyataannya, sebagaimana
yang terlihat dalam pernyataan para pengulas dan failasuf Islam,
kegiatan

seperti

itu

justru

menunjukkan

dari


nilai

Islam

yang

berhubungan dengan pentingnya “mencari ilmu sampai ke negeri Cina”
dan “mengambil hikmah dari sumber mana pun ia berasal”.
Kedua, kurangnya penguasaan kalangan sarjana Barat terhadap
literatur khazanah Islam secara umum dan perkembangan khasnya di
daratan Persia secara khusus. Memutuskan sejarah falsafah Islam dari
konteks

perkembangannya

mengakibatkan

semakin


di

Iran

kuatnya

pasca-Ibn

anggapan

Rusyd

bahwa

hanya

falsafah

akan
Islam


hanyalah duplikasi dari falsafah Yunani. Pada kenyataannya, Henry
Corbin

secara

menyimpulkan

jujur

menyatakan,

“Adalah

bahwa

perenungan

(kalangan


berakhir dengan kematian

sangat
failasuf

keliru

untuk

Muslim)

ini

Ibn Rusyd pada 1198 M.” Selanjutnya ia

meyimpulkan, “Di belahan timur Islam, terutama di Iran, Averroisme
1

Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am.
(Bandung: Mizan, 2001), h. xi


1

telah menghilang tanpa jejak dan kritik al-Ghazâli atas falsafah tidak
pernah dianggap sebagai keberhasilan mengakhiri tradisi yang telah
diresmikan oleh Avicenna (Ibn Sîna) ini.” 2 Dalam hal ini falsafah Islam
justru memiliki keunikan pada tubuh falsafahnya yang menjadi bukti
keislaman falsafah Islam. Sumber falsafah Islam adalah al-Qur’an dan
Sunnah. Seperti yang diutarakan oleh S.H. Nasr, “Falsafah Islam disebut
Islam bukan hanya karena penyebaran dan perkembangannya di dunia
Islam serta di tangan orang-orang Muslim, tetapi (lebih tepatnya) kerena
seluruh aspek, inspirasi, dan pokok permasalahannya berpusat pada
sumber-sumber wahyu Islam.”
Kedatangan al-Qur’an dan Sunnah telah mengganti pola berfalsafah
dalam konteks dunia Islam secara mendasar, sehingga muncullah hal
yang dapat disebut sebagai “falsafah profetik”. Realitas dan proses metahistoris

penyampaian

al-Qur’an


merupakan

perhatian

utama

para

pemikir Islam delam melakukan kegiatan berfalsafah. Implikasinya,
kandungan al-Qur’an dan cahayanya dalam pribadi

Nabi Muḥammad

Saw. adalah sumber yang fundamental bagi pengetahuan kaum Muslim,
baik pengetahuan yang secara langsung terikat dengan dasar-dasar
agama maupun yang tidak langsung seperti logika, kesusastraan dan
kedokteran.3
Pada perkembangan sejarah falsafah Islam, penerjemahan dan
penulisan falsafah yang sistematis dimulai pada abad ke-9. Failasuf yang

pertama merayakan penerjemahan dan penulisan falsafah Islam dari
karya-karya falsafah Yunani dan Suryani tak lain adalah Abû Yûsuf
Yaʻqûb

al-Kindî.

Penerjemahan

yang

dilakukan

ini

mengawali

perkembangan falsafah Islam pada masa-masa selanjutnya. Kekayaan
dan kekuatan falsafah Islam menjadi topik yang menarik dan sangat
memberikan andil pada perkembangan falsafah di luar dunia Islam.
2

3

Ibid, h. xii
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, h. xiv

2

Khazanah ilmu yang berlimpah, seperti matematika, teori kedokteran,
astronomi, dan falsafah dapat diakses dengan gampang oleh setiap
anggota masyarakat yang berpendidikan, dan kekayaan itu bukan hanya
milik kaum Muslim. Terlebih lagi orang-orang Yahudi yang sangat
tertarik dengan keragaman perspektif teoritis yang ada, dan secara
antusias berkecipung dalam kehidupan intelaktual masa itu. Bahkan
mereka mengadopsi banyak konsep yang berkaitan dengan bidangbidang pengamatan yang khas Islam, sebagai contoh, fqih dan teologi
dengan dalil-dalil hukum dan agama mereka sendiri. Ini adalah hal biasa,
dimana kaum minoritas biasanya mengambil budaya umat untuk
disesuaikan dengan kebutuhan dan minat mereka sendiri.4
Besarnya pengaruh falsafah Islam terhadap Yahudi, terlihat ketika
kita mengamati karya-karya para pemikir, seperti Saadiah, Halevi,
Maimonides,


dan

bahkan

Gersonides,

kita

dapat

menyaksikan

didalamnya kurikulum falsafah Islam tergambar sepenuhnya. Lebih dari
itu para failasuf Yahudi juga mengambil dan membaca teks-teks karya
failasuf Muslim, seperti kitab Fashl al-Maqâl karya Ibn Rusyd. Tidak
hanya itu, kitab yang membahas tentang bidang lain juga dibaca oleh
mereka sehingga secara tidak langsung pengaruh pemikiran Ibn Rusyd
mulai tersusun dalam pemikiran failasuf Yahudi. Pada paper ini akan
dipaparkan tentang besarnya pengaruh pemikiran Ibn Rusyd dalam

perkembangan falsafah Yahudi, yang diperankan oleh Averrois Yahudi
dalam memahami dan mengomentari pemikiran Ibn Rusyd.

4

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Buku
Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan. (Bandung: Mizan 2003), h. 947

3

Pembahasan

A. Averroisme Yahudi
Ketika pembuangan Ibn Rusyd ke lucena, ia disambut oleh muridmuridnya, eperti Maimonides dan Josef Benjehovan yang beragama
Yahudi, dengan demikian kegiatan menulis dan mengajar Ibn Rusyd tetap
berlangsung.5
Ibn Rusyd adalah failasuf yang sukses memberikan sumbangan jauh
lebih besar di lingkungan orang Yahudi dan Kristen dibanding yang
pernah diberikannya atas kaum Muslim. 6Ibn Rusyd dianggap sebagai
pensyarah terbaik atas karya Aristoteles, sehingga seseorang yang ingin
melibatkan diri dalam perdebatan Aristotelian yang sangat lazim terjadi
pada abad pertengahan harus melibatkan diri pada pemikiran Ibn Rusyd
dan interpretasinya. Di dunia Yahudi, banyak pemikir terkemuka, seperti
Gersonides, Ḥasdai Crescas, dan Abravanel yang melibatkan dirinya
menggunakan Averroes sebagai pengantar menuju Aristoteles. melihat
5

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. Cetakan ke-6,( Jakarta: Gaya Media Pratama,
2013), h. 124
6

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 1071

4

gaya

Aristoteles

yang

singkat

dan

padat

serta

abstrak,

mereka

membutuhkan Ibn Rusyd sebagai penafsir yang dapat memenuhi
kebutuhan itu dengan baik melalui komentarnya dalam berbagai bentuk
atas karya Aristoteles.7
Kendati banyak failasuf besar Yahudi yang menulis tentang Ibn Rusyd,
bukan berarti mereka termasuk dalam Averrois (pengikut Ibn Rusyd).
Kaum Averrois mempunyai gambaran tertentu tentang relasi antara
bahasa falsafah dan bahasa agama, dan gambaran ini berasal dari
pemikiran Ibn Rusyd (Averroes). Terus menjadi kajian yang menarik
betapa dekatnya para pemikir yang disebut Averrois ini dengan gagasan
Ibn Rusyd sendiri. Jawaban yang biasanya keluar adalah mereka
sejatinya tidak sedekat itu. Karena lingkungan tempat Ibn Rusyd menulis
sangat berbeda jauh dengan lingkungan Yahudi dan Kristen.8
Para Averrois Yahudi bukanlah penganut Ibn Rusyd yang taklid buta.
Mereka menyatukan interpretasi mereka terhadap Ibn Rusyd dengan
bantuan dari Maimonides dan Abraham ibn Ezra. Maimonides juga
tertarik tentang hubungan antara agama dengan falsafah sebagaimana
Ibn Rusyd, dan sama-sama menghormati Aristoteles. meskipun terdapat
kemiripan pada karya-karya kedua failasuf ini, Ibn Rusyd diakui sebagai
pemikir yang lebih radikal. barangkali karena ia tidak mau mengkritik
Aristoteles,

sementara

dipihak

lain

dalam

hal

kekekalan

dunia,

Maimonides menganggap Aristoteles tidak memberikan bukti yang
demonstratif.
Averrois Yahudi yang pertama adalah Isaac Albalag, ia berasal dari
daerah Pyrenee sekitar paruh kedua abad ke-13. Isaac jauh lebih hormat
kepada Ibn Rusyd dari pada kepada Maimonides, juga para pendahulu
Islamnya. Isaac menerjemahkan Maqâshid al-Falâsifah, karya al-Ghazâlî,
ke dalam bahasa Ibrani. Isaac sepakat dengan al-Ghazâlî bahwa terdapat
7
8

Ibid, h. 1072
Ibid, h.1073

5

prinsip-prinsip tertentu dalam agama yang mesti diterima, seperti
adanya ganjaran dan hukuman untuk perbuatan kita. keabadian jiwa
setelah

mati

dan

hakikat

pemeliharaan

dan

pengaturan

yang

memungkinkan Tuhan mengawasi kita.
Isaac sangat menghargai kritikan Ibn Rusyd terhadap interpretasi
tersebut diatas dalam Sefer Tikkun ha-Deʻot, ia menegaskan bahwa
pemikiran demikian harus diterima oleh orang biasa yang tidak lazim
atau tidak dapat berflsafat. Dengan cara mengikuti doktrin agamanya
yang ada, orang-orang awam juga bisa mencapai tangga kebahagiaan
yang sesuai bagi mereka, dan sebagaimana diinginkan agama dapat
memberikan kesejahteraan serta kebahagiaan tertinggi para penganut
awam. Para failasuf adalah satu-satunya kelompok manusia yang benarbenar memahami bagaimana dunia ini diorganisai dan pengetahuan
semacam ini adalah bagian dari kebahagiaan mereka. Akibatnya adalah
bahwa para failasuf bukan hanya menikmati model kebahagiaan yang
lain dengan kebahagiaan orang-orang awam, akan tetapi menikmati level
kebahagiaan lebih tinggi, yang mereka anggap patut diterima sebagai
hasil dari usaha-usaha intelektual dan kualitas-kualitas alami mereka
yang lebih besar.9
Isaac

mulai

berpisah

dengan

Ibn

Rusyd

ketika

sampai

pada

pemahaman tentang kenabian. Ia mengganti kritik Ibn Rusyd atas teologi
dengan kritik sejenis atas penjelasan Kabbalistik. Tradisi mistis Yahudi
sangat siap untuk memberikan penjelasan terhadap ucapan profetik yang
sukar, tetapi Isaac tidak tertarik dengan jawaban yang diberikan, dan
menganggap jawaban yang diberikan memperlihatkan kelonggaran
dalam

metodologi

yang

menyamakan

dengan

kepastian

dalam

pendekatan demonstratif. Jika kenyataannya menyandingkan ucapan
profetik dengan tafsiran flosofs atas ucapan kenabian itu sulit, maka
9

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 1076

6

kita harus menerimanya dengan cara yang berbeda. Pengertian harifah
adalah sesuatu yang kita percayai bisa dipahami seluruhnya hanya jika
kita berada dalam posisi para nabi yang pertama menghasilkan teks itu,
dan kita harus mengasumsikan bahwa makna teks itu tidak sesuai
dengan

dasar

pemikiran

flosofsnya.

Kelihatannya

ini

merupakan

pengelakan yang serius. Apa landasan kita untuk percaya bahwa
kebenaran

yang

diucapkan

oleh

nabi

sesungguhnya

merupakan

kebenaran yang sama dengan yang dipahami oleh para failasuf?
Tidakkah kita harus menuntut kebenaran yang menetapkan keserasian
antara dua kebenaran itu? Jawaban yang dikeluarkan Isaac mungkin
tidak. Karena kita memiliki akal dan percaya akan akal, juga kita berhak
mempercayai agama. Tidak ada gunanya menggunakan akal sebagai
pengoreksi terhadap agama, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan
mendasar antara keduanya. Mereka hanya berbicara dengan cara yang
berbeda tentang hal yang sama.10
Tokoh Averrois Yahudi selanjutnya adalah Joseph ibn Caspi. Ia
dilahirkan di Provence pada 1279 M. Caspi juga banyak menulis teks
flosofs dan teologis. Pengaruh flosofs utamanya adalah Ibn Rusyd,
Maimonides, dan Abraham ibn Ezra. Failasuf Yahudi satu ini menekankan
perbedaan antara pernyataan religius dengan pernyataan flosofs secara
Averroistik. Salah satu poin yang tidak bisa dianggap bersifat deskriptif
sama sekali, akan tetapi mengharuskan kita untuk bertindak, dan poin
penting dalam agama adalah kemampuannya dalam menggerakkan
penganutnya untuk bertindak. Keistimewaan tentang kenabian dan
mukjizat

adalah

bahwa

keduanya

menganugerahi

manusia

untuk

berperilaku secara benar. Karena pernyataan-pernyataan profetik dan
pernyataan saintifk sangat berbeda, tidak mengherankan jika keduanya
itu tidak selalu sejalan. Dalam masalah ini ia melakukan pendekatan
10

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 1078

7

menggunakan persepsi Abraham ibn Ezra, bahwa salah satu tugas
falsafah agama adalah menemukan kembali makna-makna asli teks
biblikal, karena setelah itu barulah kita dapat memahami apa isi teks
tersebut.11 Jika kita bisa memahami makna asli ini, maka kita akan bisa
juga memahami makna flosofs dan religius itu bersesuaian satu sama
lain, tetapi sekarang kita mengetahui secara memadai bahwa mereka
harus sesuai sekalipun kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana
mereka bersesuaian. Menurut Caspi, rahasia-rahasia penafsiran itu tidak
hanya terbatas pada elite intelektual.
Failasuf Yahudi berikutnya yang paling “ortodoks” adalah Moses
Narboni, lahir di Perpignan pada tahun 1300. Ia hidup sekitar 62 tahun
dan telah menulis sejumlah karya flosofs tentang komentar penting atas
Ibn Rusyd. Penguraiannya terhadap pemikiran Ibn Rusyd tentang Intelek
Aktif sangat menarik. Intelek Aktif memainkan peran yang fundamental
dalam pemikiran Ibn Rusyd, seperti halnya dalam falsafah abad
pertengahan, dan dianggap sebagai dasar pemikiran rasional. Ketika
pemikiran seseorang itu semakin sempurna, maka pemikiran seseorang
itu menjadi lebih abstrak dan identik dengan Intelek Aktif dan Intelek
Agen.
Model pemikiran seperti ini memainkan peran yang penting dalam
penjelasan

Narboni

tentang

kenabian

dan

mukjizat.

Nabi,

dapat

memahami kejadian masa depan dengan menggunakan pemikirannya
yang relatif sempurna, meskipun ini bukan hanya jenis pengetahuan
formal. Nab mempunyai kemampuan untuk memaparkan penglihatannya
tentang masa depan dengan cara yang mampu menggerakkan umat
untuk berbuat. Maksudnya adalah pemikiran intelektualnya mempunyai
efek material, dan efek ini adalah kemampuannya menerjemahkan
pengetahuan itu ke dalam bahasa yang menggerakkan umat ke tindakan
11

Ibid, h. 10879-1080

8

praktis. Nabi memberikan contoh-contoh dan kisah-kisah yang dapat
menggemakan umat, dan membantu mereka memahami secara imajinatif
apa yang dipahami olehnya secara intelektual.12
Jenis hubungan antara intelek dan eksistensi yang ditegaskan oleh
doktrin ini dapat digambarkan sebagai hubungan antara prinsip dan
tindakan religius. Pertalian antara teori dan praktik adalah gagasan khas
Averroistik, yang mengikuti pendekatan terpadu yang telah dilakukan
Ibn rusyd terhadap jiwa dan raga, agama dan falsafah, serta Intelek Aktif
dan para pemikir individual. Taurat adalah suatu sistem doktrin yang
benar dan mempunyai praktik-praktik yang mampu membawa sejenis
kehidupan yang bermakna dan bernilai sebagai aspek materialnya.
Diktrin dan praktik hanyalah dua sisi dari mata uang yang sama.
Memahami bagaimana Taurat menyelesaikan masalah ini, memahami
sistem tersebut sebagai suatu keseluruhan, hanya akan dapat dipahami
oleh diri yang berbakat. Dan dalam hal ini Narboni menggunakan Musa
sebagai ganti dari Muḥammad-nya Ibn Rusyd. Narboni menganggap sebagaimana Ibn Rusyd- bahwa harus ada sosok yang demikian itu,
karena keduanya setia pada prinsip kemahakuasaan.
Averrois Yahudi besar terakhir adalah Elijah Delmedigo, hidup sekitar
1460-1493 M. dan mempunyai andil besar atas kehidupan intelektual
Yahudi pada zaman renaisans. Ia telah menulis tentang karya Ibn Rusyd
dalam bahasa Ibrani dan Latin, salah satu karyanya yang menonjol
adalah Behinat ha-Dat (Menguji Agama). Dasar utama dari karya
tersebut adalah Fash al-Maqâl karya Ibn Rusyd. Didalamnya ia mengikuti
doktrin yang dibuka dengan kalimat-kalimat yang membedakan antara
peran religius dan flosofs. Delmedigo tidak sepakat akan kontradiksi
yang jelas antara aspek-aspek Taurat dan tesis-tesis flosofs yang andal.
Keduanya tidak mesti sesuai, dan ketika seseorang menganggap bahwa
12

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 1081

9

hukum-hukum

yang

ditetapkan

Taurat

memiliki

tujuan

politis,

ia

memahami bahwa tidak ada masalah jika ia menerima hukum-hukum
agama karena alasan-alasan politis dan kebenaran-kebenaran flosofs
karena alasan-alasan intelektual. Inti Taurat adalah membantu orang
awam untuk menemukan jalan menuju kebahagiaan, tetapi mereka tidak
perlu bersusah payah pada masalah agama mereka apabila mereka tidak
memiliki perlengkapan intelektual untuk memahami masalah itu.
Apakah dasar-dasar agama dan dasar-dasar falsafah itu berbeda
seperti yang dikatakan oleh Ibn Rusyd?, menurut Delmedigo, tidak
berbeda. Dari sini terlihat ia bertentangan dengan fokus utama Ibn
Rusyd tentang rekonsiliasi agama dan falsafah, dan bukan hanya untuk
para pemeluk awam. Dasar argumennya adalah bahwa agama dan
falsafah

merupakan usaha yang sangat berlainan dan tidak bisa

diharapkan keduanya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.
Sebenarnya, usaha intelektual mulai mengambil bentuk menerjemahkan
bahasa

religius

dengan

menggunakan

Kabbalah

seolah-olah

bertentangan dengan falsafah, yang memperlihatkan bahwa bahasa itu
berbeda dengan falsafah.13
Sejatinya, ada lebih banyak lagi kaum Averrois Yahudi dari pada yang
dibahas pada paper ini. Pengakuan Averrois Yahudi yang paling utama
terhadap kiprah Ibn Rusyd dalam dunia falsafah adalah kepiawaiannya
menjelaskan pemikiran Aristoteles, dan komentar-komentarnya atas
pemikiran Aristoteles. Salah satu kontribusi yang menjadi ciri Averrois
Yahudi adalah pendekatannya pada relasi antara kebenaran agama dan
kebenaran falsafah. Fashl al-Maqâl, telah menegaskan bahwa falsafah
tidak hanya

bisa diterima dari perspektif religius, tetapi juga sebagai

cara studi bagi para pencari kebenaran yang cerdas.14

13
14

Seyyed Hossein Nasr, and Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, h. 1084
Ibid, h.1085-1086

10

Kesimpulan

Sumbangan pemikiran Ibn Rusyd dalam dunia Yahudi secara umum
telah melahirkan banyak pemikir-pemikir besar Yahudi yang tidak hanya
mendukung bahkan mengkritik pemikiran dari Ibn Rusyd. Kitab Fashl alMaqâl, menjadi rujukan para Averrois Yahudi dalam menggali pemikiran
Ibn Rusyd. Selain itu, Averrois yang ingin mengetahui dalamnya
pemikiran-pemikiran

Aristoteles

mau

tidak

mau

mereka

harus

berkecipung dan menggeluti karya-karya Ibn Rusyd sebagi komentator
termasyhur atas pemikiran-pemikiran Aristoteles. Jelas terlihat bahwa
falsafah Islam yang terus berkembang mampu membawa pengaruh
terhadap bangsa Yahudi bahkan Kristen. Karya-karya failasuf Muslim
dipelajari oleh mereka dan mereka juga memberikan komentar serta
mengembangkan pemikiran failasuf Muslim baik itu tentang metafsika,
kenabian, moral, politik dan lain-lain. Kebesaran falsafah Islam bukan
hanya sebagai jembatan terhadap perkembangan falsafah selanjutnya,
namun justru falsafah Islam mampu memberikan kontribusi yang cukup
besar terhadap perkembangan falsafah secara umum dan falsafah Yahudi
secara khusus yang diperankan oleh failasuf Yahudi.

11

Sumber Bacaan
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam. Cetakan ke-6, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2013
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2001.
Seyyed Hossein Nasr, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam.
Buku

Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan

2003

12