STRATEGI PENAMBANG MINYAK TRADISIONAL DI TENGAH MELUASNYA KONTROL NEGARA DALAM KONTEKS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA THE STRATEGY OF TRADITIONAL OIL MINING COMMUNITY AMID THE WIDESPREAD STATE CONTROL OVER NATURAL RESOURCES MANAGEMENT IN INDONE

SUMBER DAYA ALAM DI INDONESIA THE STRATEGY OF TRADITIONAL OIL MINING COMMUNITY AMID THE WIDESPREAD STATE CONTROL OVER NATURAL RESOURCES MANAGEMENT IN INDONESIA

Rio Heykhal Belvage

Sekolah Pascasarjana Antropologi Unversitas Gadjah Mada rio.belvage@gmail.com

Abstrak

Tambang minyak adalah salah satu sektor industri ekstraktif bernilai ekonomi tinggi. Di Desa Sewu Jati yang terletak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, terdapat tambang minyak bekas perusahaan Belanda. Sejak perusahaan tersebut melakukan kapitalisasi terhadap sumber minyak di Sewu Jati, yang kemudian dilanjutkan oleh rezim elit desa dan koperasi, masyarakat terus mengalami peminggiran. Berkaitan dengan meluasnya kontrol negara terhadap sumber daya alam yang berdampak pada merosotnya akses masyarakat terhadap usaha penambangan di daerahnya, tulisan ini menggambarkan strategi masyarakat penambang dalam menjaga kelangsungan usahanya.

Kata Kunci: tambang minyak, kontrol negara, strategi bertahan

Abstract

Oil mine is one of the extractive industries with high economic value. In Sewu Jati Village located on the border of East Java and Central Java, there is an oil mine well formerly owned by a Netherlands’ company. Since the company began to capitalize the oil resources in Sewu Jati, followed by local village elite regime and cooperative business, local mining community is marginalized continuously. Widespread state control over natural resources undeniably has impacts on the mining community’s access of production in Sewu Jati. This paper draws the strategy of local mining community in maintaining their business.

Keywords: oil mine, state control, survival strategy

Latar Belakang

Atas aktivitas ekonomi yang mereka Di perbatasan Provinsi Jawa Timur dan

lakukan, oleh negara mereka dicap melakukan Jawa Tengah yang memiliki potensi sumber daya

aktivitas ilegal karena tidak mengantongi izin dari alam minyak dan gas bumi yang sebagian besar

pemerintah daerah setempat (dikutip dari artikel dikelola oleh perusahaan asing, terdapat sebuah

“Penambang Minyak Tradisional”, www.sakti.tv). desa bernama Sewu Jati. Di sana warga

Pendapat berbeda diajukan oleh film dokumenter mengusahakan sendiri persediaan minyak yang

berjudul Gubug Reyot di atas Minyak dimiliki oleh wilayahnya. Minyak diproduksi oleh

Internasional yang merekam aktivitas ekonomi penduduk bersama dengan warga dari luar desa,

penambangan di desa itu: hingga kini (tahun bahkan sampai menciptakan rantai distribusi

2008-2009) aktivitas ekonomi penambangan sendiri. Letaknya tidak jauh dari area tambang

minyak itu tidak memperoleh perlindungan Blok Cepu yang merupakan bekas perusahaan

hukum.

Belanda, Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM).

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Terdapat dua

pandangan

berbeda

memiliki nilai atau pandangan hidup yang berbeda pihak melihat kegiatan tersebut sebagai aktivitas

dengan orang Jawa pada umumnya). ilegal karena tidak mengantongi izin, pihak lain melihat aktivitas ekonomi tersebut tidak mendapat

Permasalahan

perlindungan hukum. Sementara dari persepsi Sewu Jati sebagai sebuah desa penghasil masyarakat sendiri, yang sedikit banyak terwakili oleh penelitian Juhadi, dkk (2013) dalam “Persepsi minyak memiliki sejarah eksploitasi yang sangat

panjang. Eksploitasi telah berlangsung bahkan sejak Masyarakat Penambang Tradisional terhadap Sumberdaya Minyak Bumi di Kawasan Cepu” masa kolonial. Meluasnya kontrol negara terhadap

sumber daya alam tentu memberi dampak pada menyatakan bahwa aktivitas ekonomi penambangan merosotnya akses masyarakat terhadap usaha tradisional di desa-desa Blok Cepu merupakan ekonomi penambangan di daerahnya. Kenyataan cara untuk mempertahankan budaya dengan semacam ini mengantarkan penulis pada dua menyesuaikan kondisi sosial dan lingkungan alam. pertanyaan: Pertama, seperti apa dinamika sosial Dengan berlarut-larutnya proses pengaturan tata masyarakat penambang dalam sejarah ladang minyak kelola ladang minyak tersebut proses secara ilegal di Sewu Jati? Kedua, bagaimana strategi masyarakat pengelolaan minyak mentah yang dilakukan para penambang menjaga kelangsungan usaha di penambang, penyuling dan pedagang engkrek, tengah meluasnya kontrol negara terhadap bisa dipastikan masih terus berjalan (Sudarmojo, pengelolaan sumber daya alam? 2011).

Pernah suatu kali di tahun 2006, karena

Tinjauan Pustaka

rendahnya imbal jasa yang diterima oleh buruh Dalam penelitiannya di wilayah pertambangan dan pemilik sumur minyak, penambang tradisional di Jawa Barat, Iskandar Zulkarnain, dkk (2003) ini secara bersama-sama melakukan aksi boikot melihat secara umum konflik yang berkembang di terhadap sebuah koperasi yang dibentuk oleh daerah pertambangan di Indonesia muncul karena Pertamina (Yudhanto, 2011: 8). Sejak saat itu adanya sifat yang khas dari kawasan operasi penambangan kemudian berjalan di luar pertambangan. Kawasan pertambangan biasanya campur tangan Pertamina (catatan lapangan, 18 berlokasi di daerah yang relatif terpencil dan Mei 2014). Para penambang lebih memilih belum begitu berkembang termasuk masyarakat di menjual sendiri minyaknya daripada menjual ke sekitarnya. Sementara itu, kegiatan pertambangan Pertamina, tetapi dengan harga murah. yang dilakukan memerlukan teknologi yang maju

Sebagaimana yang marak terjadi di dengan fasilitas memadai. Akibatnya jurang berbagai wilayah di Indonesia akhir-akhir ini,

kesenjangan antara perusahaan pertambangan terdapat kecenderungan di mana kontrol terhadap

dengan masyarakat lokal menganga demikian sumber daya alam yang diterapkan oleh negara

lebar dan ini selalu melahirkan konflik antara merangsang munculnya berbagai bentuk protes

perusahaan dengan masyarakat sekitar (Zulkarnain sosial, dan bahkan lebih jauh lagi, menstimulus

dkk., 2003: 5).

lahirnya aksi-aksi perbanditan di beberapa daerah Telah banyak penelitian yang dilakukan (lihat, misalnya, studi Suhartono W. Pranoto (2010) mengenai aktivitas ekonomi penambangan ilegal. yang berjudul “Bandit-bandit Perdesaan: Studi Beberapa di antaranya penelitian Isa Ansari (2007) Historis 1850- 1942”). berjudul “Penambangan Emas Tanpa Izin:

Di sekitar wilayah operasi tambang Blok Eksploitasi dan Kerusakan Ekologi di Mandor, Cepu, di sela-sela tempat itu berlangsung kegiatan

Kalimantan Barat”. Dalam penelitian tersebut, produksi dan distribusi minyak dalam skala lokal.

Ansari menampilkan dampak aktivitas penambangan Menariknya, dalam aktivitas produksi skala lokal

terhadap lingkungan dan kultur masyarakat lokal. ini, para pelaku memiliki beragam julukan seperti;

Dengan berangkat pada asumsi bahwa wilayah penambang liar, penambang ilegal, penambang

pertambangan sebagai frontier, yakni wilayah tanpa izin (PETI), penambang rakyat, penambang

“kosong tak bertuan” yang mengandung potensi tradisional, hingga wong samin (salah satu

ekonomi tanpa batas, Ansari menemukan bahwa

454 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

penambangan tanpa izin telah mengakibatkan kerusakan budaya dan lingkungan (Lihat, Isa Ansari, 2007: 13-14). Penambangan ilegal tersebut terus berlangsung karena selain menguntungkan, juga karena adanya kolaborasi antara penambang dengan masyarakat lokal yang cenderung resisten terhadap negara.

Yudhanto (2011) dalam penelitian di Blok Cepu berjudul "Strategi Perlawanan Petani Tambang Tradisional dalam Menjaga Kelangsungan Hidup di Tengah Rendahnya Imbal Jasa", melihat lebih jauh. Ia menemukan adanya unsur resistensi dalam konflik yang berlangsung antara penambang dan negara yang dipicu rendahnya imbal jasa yang diterima penambang dari negara. Resistensi masyarakat lokal lebih dikarenakan oleh kebutuhan bertahan hidup. Perlawanan memuncak ditandai dengan aksi boikot setoran minyak pada tahun 2006 kepada koperasi bentukan Pertamina. Aksi itu berlanjut dengan membangun jaringan pasar lokal/ilegal sebagai cara untuk menjual hasil produksi minyak. Inilah yang dilihat oleh Yudhanto sebagai strategi perlawanan. Akan tetapi, penulis melihat perlawanan yang dimaksud Yudhanto masih sebatas “aksi-aksi terbuka” tanpa melihat lebih dalam lagi, seperti misalnya, bagaimana strategi boikot itu bekerja, apakah boikot tersebut bersifat spontan atau terorganisir, jika terorganisir siapakah yang menggerakkan aksi boikot hingga mampu membentuk jaringan dan rantai distribusi sendiri? Pembahasan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi studi Yudhanto tersebut.

Tulisan lain, dari Widodo (2013) dalam buku berjudul "Menanam adalah Melawan!". Dalam tulisan tersebut, ia memaparkan bagaimana kebijakan negara yang berencana membuka tambang pasir besi di Kulon Progo yang mengatasnamakan pembangunan, pada praktiknya justru mengancam kelangsungan hidup masyarakat tempatan. Sebagai saksi sekaligus pelaku (petani) di Kulon Progo, Yogyakarta, Widodo menceritakan latar belakang perlawanan yang dilakukan para petani di Kulon Progo. Di lahan pertanian yang telah lama menjadi sumber ekonomi petani, akan dibangun pertambangan pasir besi. Karena lahan mereka terdesak oleh rencana pembangunan, muncullah penolakan di kalangan petani. Reaksi perlawanan bermula dari sini, dengan membentuk paguyuban petani, membangun solidaritas dan

jaringan bersama para aktivis, akademisi, bahkan sebagaimana disebutkan olehnya, jejaring solidaritas itu hingga lintas negara, seperti Melbourne Anarchist Club dari Australia dan Casual Anarchist Federation (CAF) yang berpusat di Inggris. Hal tersebut dilakukan untuk memperbesar kapasitas suara dalam menolak rencana pembangunan tambang pasir besi. Selain dengan membangun jaringan, perlawanan juga dilakukan secara simbolik oleh Widodo sendiri - melalui tulisannya yang mewakili sudut pandang emic - dengan memperkenalkan slogan "Menanam adalah Melawan!" sebagai judul bukunya. Secara metode, tulisan Widodo ini menarik karena selain sebagai penulis, ia juga merupakan orang yang terlibat langsung dalam aksi-aksi perlawanan. Ia memiliki lahan pertanian yang terancam oleh agenda pembangunan.

Berbagai studi di atas memperlihatkan upaya yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan sumber hidup yang terancam, karena kebijakan yang berubah dinilai dapat mengganggu proses produksi (Sarmini, 2003: 262), yang akhirnya menyudutkan aktivitas ekonomi masyarakat tempatan. Namun, penulis belum mendapati perhatian para penulis pada cerita-cerita dari sudut pandang penambang guna menjaga usahanya. Mustahil perlawanan sebagai usaha mempertahankan diri dilakukan tanpa adanya strategi untuk menjaga kelangsungannya. Perhatian Iskandar Zulkarnain, dkk. (2003) misalnya, berhenti pada pemetaan sumber konflik dan konstruksi identitas penambang yang disebut sebagai Penambangan Tanpa Izin (PETI) - yang jika

diletakkan dalam formasi diskursif Foucaultian, akan terlihat bahwa pemunculan istilah PETI oleh Zulkarnain dkk. tersebut tidak lain merupakan bagian dari contoh kecil tentang bagaimana wacana identitas diproduksi oleh lembaga yang memiliki akses pengetahuan (dan kekuasaan) guna menciptakan legalitas tentang pengelolaan sumber daya alam.

Kerangka Berpikir

Pada bagian ini penulis menguraikan alur berpikir penelitian ini dengan berangkat dari pembacaan geopolitik. Penambang minyak di Sewu Jati dikenal sebagai penambang minyak tradisional yang mengacu pada penggunaan teknologi produksi yang masih sederhana. Namun Pada bagian ini penulis menguraikan alur berpikir penelitian ini dengan berangkat dari pembacaan geopolitik. Penambang minyak di Sewu Jati dikenal sebagai penambang minyak tradisional yang mengacu pada penggunaan teknologi produksi yang masih sederhana. Namun

ekonomi moral sebagai pilihan rasional untuk “tradisional”, atau bahwa penduduknya terikat

menjaga struktur tradisional. Situasi ini oleh tradisi, tidak menjelaskan mengapa tradisi itu

mengingatkan pada apa yang pernah diulas dapat bertahan terus, atau mengapa mereka terus

Polanyi (1971) tentang kehidupan petani di Inggris melekat pada tradisi itu. Mitos desa “tradisional”

dan Perancis pada abad ke-17, di mana kekuatan Jawa yang tertutup dan komunal adalah ciptaan

lokal berusaha menghalangi atau setidak-tidaknya negara koloni Belanda dan dilestarikan terus oleh

membatasi permainan kekuatan pasar dengan jalan negara modern Indonesia untuk memudahkan

menghidup-hidupkan ekonomi moral (lihat, Scott, klasifikasi tanah dan mengabsahkan penguasaan

1994: 13-14). Dalam hal ini ekonomi moral negara atas tanah-tanah tertentu, termasuk tanah

memusatkan perhatian pada apa yang dipikiran hutan (Peluso, 2006: 44). Oleh karena itu untuk

dan diyakini petani mengenai dunianya, pada mendefinisikan suatu daerah, masyarakat, dan

pandangan hidup yang digunakan untuk praktik tertentu sebagai pinggiran, tidak tertib,

menjelaskan tindakan mereka (lihat, Scott, 1994; “tradisional”, dan/atau memerlukan “pembangunan”

Ahimsa-Putra, 2003). Bila dalam perseteruan tidak hanya melalui pengungkapan dunia sosial

tersebut penambang menghidup-hidupkan ekonomi yang ada, tetapi juga berarti membeberkan wacana

moral sebagai strategi untuk menyiasati keadaan, tentang kekuasaan (Tania Li, 2002: 21).

maka posisi negara dalam hal ini, seperti digambarkan Scott;

Wacana dipahami sebagai peristiwa bahasa yang di dalamnya berlangsung bentuk

“Dalam drama ini negara merupakan pelaku

kuasa yang saling berkonfrontasi satu sama lain,

pula, sama halnya dengan para pemilik

sebuah pertarungan antarwacana melalui wacana,

faktor-faktor produksi yang langka. Tidak

teks beredar dan saling menanggapi, memberi

hanya negara menyediakan sarana-sarana

kunci untuk memahami pola hubungan kuasa, hukum dan paksaan yang diperlukan untuk

menjamin agar kontrak-kontrak ditaati dan

dominasi, dan konfrontasi di mana wacana hadir

ekonomi pasar dipertahankan, malahan negara

serta berfungsi (Ricoeur, 2003; Setyobudi, 2005:

sendiri merupakan salah satu pihak yang

9). Dalam konfrontasi tersebut berlangsung strategi

menuntut haknya atas penghasilan petani

dominasi dan siasat bertahan dari struktur dominan.

(Scott, 1994: 12)”.

Apa yang dimaksud sebagai strategi dipahami Di sinilah dalam perspektif Scottian sebagai pola-pola yang dibentuk oleh berbagai tentang resistensi menjadi strategi bertahan karena usaha yang direncanakan manusia untuk

memecahkan masalah yang dihadapi (Sumintarsih, struktur dominan memposisikan petani dekat

de

2003: 152-153) - dalam kaitannya dengan upaya ngan “garis bahaya”. Oleh karena itu sejalan

untuk mempertahankan serta melangsungkan dengan asumsi Scott, melalui prinsip “dahulukan

kehidupan, yang oleh karena itu setiap makhluk selamat” penambang memperkuat ekonomi

moralnya dengan menjalin hubungan patron-klien. hidup (baca: manusia) perlu melakukan adaptasi

(Raharjana, 2003: 71). Namun lebih dari itu, sesuai kondisi di lapangan penelitian yang rentan konflik, penulis membawa

Proses dominasi pada praktiknya terwujud konsep resistensi ala Scott dengan bersandar pada dalam bentuk-bentuk eksploitasi terhadap kelompok

konsep Hobsbawm (1972) yang dikembangkan minoritas. Tidak dapat dihindari bahwa konfrontasi

oleh Pranoto (2010) dalam melihat dunia yang berlangsung sebagai perseteruan antarkelas

perbanditan Jawa di masa lalu; melahirkan resistensi dari pihak yang kalah.

“Dalam hal ideologi perbanditan perdesaan

Resistensi ini terdiri atas ideologi, struktur sosial

letaknya ada di tengah antara resistensi

lokal, dan sejarah merupakan konfigurasi kontekstual

petaninya

Scott

dengan mesianismenya

dari tanggapan petani umumnya terhadap

Sartono Kartodirdjo.., Perbanditan sosial lebih

pengendalian pihak luar dan pengambilan sumber

merupakan kombinasi antara everyday forms

daya oleh negara (Peluso, 2006: 22). Di sinilah

of peasant resistance dan peasant revolt.

ekonomi moral memainkan peran penting sebagai

Ideologi gerakan perbanditan memang anti-

bagian dari sistem nilai yang menentukan tindakan

penguasa yang

ekstraktif dengan latar

456 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 456 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

dengan regulasi dan kebijakan yang baik langsung

religius. Memang pada dasarnya gerakan itu

maupun tidak, berpengaruh pada kelangsungan

muncul karena terdesak oleh ekspansi

hidup penambang minyak tradisional. Wacana

perkebunan yang mempersempit lahan dan

historis ini direproduksi, baik melalui lisan

hajat hidup petani. Dari sinilah timbul

ataupun tulisan, yang seiring dengan pesatnya

perasaan tidak senang dan dilampiaskan dalam bentuk gerakan perbanditan. Gerakan ini

teknologi, dapat ditemukan di berbagai laman di

bertujuan mengembalikan miliknya yang telah

internet,

seperti

misalnya pada laman

diserobot “penguasa”. Dipandang dari

www.jonegoroan.com yang berjudul Sejarah

ideologinya, perbanditan perdesaan lebih

Industri Minyak di Bojonegoro.

menitikberatkan hal-hal yang sifatnya riil dan

Untuk memperoleh sumber sejarah lisan

ekonomis, artinya menghadapi kepentingan primer yang merupakan hajat hidup bersama

(oral history), penulis melakukan wawancara

dalam masyarakat perdesaan (Pranoto, 2010:

kepada beberapa tetua desa yang berusia di atas 60

117- 118)”.

tahun. Sejarah lisan menjadi penting karena dengan begitu dapat diketahui bagaimana

Perlu digarisbawahi bahwa bandit yang representasi ingatan kolektif masyarakat. Dalam dimaksudkan oleh Pranoto di sini (dan juga

hal ini, ingatan mencerminkan suatu persepi pada tulisan ini) bukanlah bandit kriminal

manusia tentang dunia, dan panggung tempat seperti banyak dipahami oleh media dan

lakon yang telah masyarakat umum dewasa ini, bukan pula

bandit berdasi yang biasa diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melainkan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bandit yang berpihak pada rakyat, Maling

metode observasi yang memfokuskan pada Aguna yang melakukan perbuatan mulia karena

orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas mendapatkan dukungan dari masyarakat

ekonomi penambangan tradisional. Beberapa perdesaan (lihat, Pranoto 2010: vi). Pranoto

metode tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan melihat bahwa gerakan bandit merupakan

mozaik tentang aktivitas penambangan di Sewu ekspresi

Jati. Keduanya menjadi data primer yang terpinggirkan oleh struktur kolonial yang

dianalisis secara kualitatif. Selain itu, terdapat dominan. Dengan demikian melalui pijakan

sumber data sekunder yang digunakan dalam kerangka berpikir historis tersebut, penulis

penelitian ini. Data sekunder antara lain yaitu menggunakannya sebagai alur untuk menuntun

sumber literatur yang mengulas wacana ekonomi uraian tulisan ini.

penambangan tradisional yang berupa buku, jurnal ilmiah, koran elektronik, majalah, film dokumenter,

Metodologi Analisis Data

maupun wacana-wacana yang berasal dari media online .

Sewu Jati dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa tersebut dapat mewakili gambaran

Penelitian ini juga menggunakan analisis mengenai dinamika

wacana yang didasarkan pertama-tama dari data tradisional terhadap negara, yang dilakukan melalui

resistensi penambang

yang diperoleh di lapangan. Selanjutnya data “aksi pelanggaran terus-menerus” (penambangan ilegal), tersebut direfleksikan dengan wacana yang terlebih Sewu Jati berada dekat dengan perusahaan

diperoleh dari berbagai sumber data sekunder penambangan legal skala global. Pemilihan Sewu

untuk memperoleh gambaran tentang relasi Jati sebagai lokasi penelitian, didasarkan salah

wacana aktivitas penambangan di Sewu Jati. satunya karena faktor historis. Dalam konteks

Wacana yang dimaksud di sini terdiri dari berbagai historis, masyarakat di sana memiliki pengalaman

macam topik yang dinilai memiliki titik singgung kolektif yang membedakan dirinya dengan

dengan aktivitas ekonomi penambangan. Melalui masyarakat desa lain. Perbedaan ini terkait dengan

serangkaian metode penelitian inilah selanjutnya aktivitas ekonomi penambangan yang telah

data yang terkumpul dianalisis untuk menjawab ditekuni sejak tahun 1942 (Yudhanto, 2011: 8),

pertanyaan penelitian.

yang berarti aktivitas tersebut telah ada sejak Meniru penamaan lokasi etnografi Geertz sebelum Indonesia sebagai negara baru hadir

dalam penyebutan Pare sebagai Mojokuto, penulis

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

dan kemudian ditransliterasikan ke dalam tulisan berikut beserta nama-nama tokoh yang hadir di

tangan huruf latin. Sebagaimana yang ada di buku ini. Hal itu dilakukan selain agar tidak

bawah ini;

menyinggung subjek bilamana ada penjelasan

“Sekedar cerita hak sumber tani minyak Sewu

yang kurang mengenakkan, juga sekaligus untuk

Jati sebelum ada Belanda datang di Desa Sewu

menghindari kemungkinan lain yang bisa saja

Jati. Rakyat Desa Sewu Jati situ sudah punya

timbul dari tulisan ini. Persoalan bukanlah nama

sumber (belik) Sumur belikan/ lantung. Cara

orang atau nama tempat, tetapi bagaimana

menggunakan

hasil

sumber itu untuk

kebijakan yang dibuat oleh negara tanpa

gilir-bergilir Rakyat seluruhnya Desa Sewu Jati

mempertimbangkan aspek lokalitas dapat mengakibatkan

itu. Untuk mencari sandang pangan Rakyat

masyarakat mendapat getah pembangunan. Tulisan

seluruhnya. Dan kalau menjualnya Lantung itu

ini ditujukan sebagai refleksi bahwa fenomena

jauh sekali, di blantaran Cepu, Ngawi, Madiun,

yang diulas dalam pembahasan ini bukan hal yang di Pacitan, di Maospati dan lain-lainnya. Dijual bersifat “unik”, melainkan terjadi di banyak pakai jan belum ada Blik adanya baru jan

dipikul. Lalu lama kelamakan ada Belanda

tempat di Indonesia, terutama di daerah yang oleh

datang 2 orang yang bernama Tuan Rain dan

logika ekonomi kapitalisme global dilihat

Tuan Marfis. Belanda itu punya peraturan. Seb.

mengandung potensi sumber daya ekstraktif yang

Rakyat tidak diperbolehkan ambil lantung

besar.

tetapi sumber itu disewa tiap minggu dibayar atau diberi sewa dengan yang sebanyak Rp.10-

Pembahasan

tapi Desa Sewu Jati Rakyatnya belum begitu banyak baru 25 penduduk/KK.

Sewu Jati terletak di kawasan pegunungan dengan permukaan tanah berbukit-bukit. Secara

Sumur tersebut lama kelamakan menjadi ramai,

admistratif, Sewu Jati adalah salah satu desa dari

bisa dikatakan pabrik. Tahun 1942 Jepang datang, Belanda mundur. Sumuran sewa

lima desa yang terdapat di Kecamatan Kedewan,

bayaran sudah tidak diurusi dengan Belanda.

Bojonegoro, Jawa Timur. Sewu Jati berada di atas

Belanda sudah kalah sama Jepang. Semua

bukit dan diapit dua perbatasan provinsi dan

Rakyat di Desa Sewu Jati kembali ambil

kabupaten. Di sisi barat Sewu Jati berbatasan

lantung lagi sebab sawa ladangnya hanya itu.

dengan daerah Cepu yang masuk ke dalam

Jepang tidak mengurusi sumuran sebab

Provinsi Jawa Tengah, dan di sisi timur berbatasan

Belanda akan lari atau mundur semua.

dengan Tuban yang menjadi bagian dari wilayah

Sumuran sumbernya di barit/disemen dan

Provinsi Jawa Timur. Tandusnya jenis tanah

dirusak dan yang masih ketinggalan tidak

lempung berkapur menyebabkan Desa Sewu Jati

dirusak sedikit-sedikit masih keluar minyaknya

kurang mendukung untuk ditanami jenis tanaman diambil Rakyat Desa Sewu Jati untuk mencari

sandang pangan lagi. Tetapi kalau tahu sama

padi. Satu-satunya penopang ekonomi masyarakat

Jepang ditembak mati. Banyak orang yang

Sewu Jati disandarkan dari ladang minyak di

mati. Dengan Jepang mundur Rakyat kerja

sumur tua. Potensi sumur minyak tua inilah yang

seperti biasa mencari sumber yang masih bisa

membuat Sewu Jati bertahan dari berbagai

digali untuk makan penduduk Sewu Jati situ.

keterbatasan dan bahkan kian bergairah

Tahun 1949 Belanda datang lagi (AGRESI).

menghadapi pasang surut dinamika sosial dewasa

La ini Bapak Pemrintah mengalami susah

ini.

payah. Mulai th 1942-1949 hidup mati setiap harinya. Semua Rakyat Indonesia hidup

a. Sejarah Tambang Minyak di Sewu Jati

menderita seperti Anak Ayam ketinggalan

Pada zaman dulu Sewu Jati merupakan

hinduknya makan sak adanya. Lebih-lebih di Desa Sewu Jati sawa ladang sangat mines.

bagian dari daerah operasi tambang minyak

Sangat sempit waktu itu di Desa Sewu Jati dari

Belanda yang pada masa selanjutnya lebih dikenal

daerah pendudukan Belanda.

dengan Blok Cepu. Di samping narasi sejarah umum tentang pertambangan, masyarakat juga

Walaupun Desa Sewu Jati tanah mines tetapi

memiliki catatan sejarah menurut versinya sendiri. diduduki Tentara yang sebanyak 82 orang. Sejarah tersebut dituturkan oleh para pelakunya, Yang menjadi kepala desa orang yang bernama

458 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Somowijoyo/Sarijan jadi Kepala Desa P.D.T.H

September Bapak 1942-TH.1951 menjadi Kepala Desa di situ.

Pertengahan

Bulan

Pemrintah langsung meninjo dipabrik. Lain hari Kepala Desa dipanggil dikantor Gubernur

Sudah disebutkan diatas ladang sawah sangat di Surabaya. Gubernur di waktu itu Bapak mines. Untuk melayani Tentara Gerliya yang Pamuji tetapi baru dipanggil sekali panggilan sedikit. Untuk Rakyat Di Desa Sewu Jati yang ke II sudah Bapak Gubernur Samadikun sedikit. Kepala desa berjuang mintak supaya yang menerima panggilan. Sampai III kali, hasil Rakyat dari sumber tani minyak itu bisa yang isinya Kepala Desa Somowijoyo/Sarijan disahkan sama Rakyat atas nama tanah tidak boleh berhinti diajak bekerja yang sampai (Gerliya). jaman tentram tetapi Kepala Desa Somowijoyo

Kepala desa yang bernama Somowijoyo maksa mintak berhenti saja dan tidak ditrima (Sarijan) ketika ikut berontak melawan Jepang

seluruh Pejabat yang berwajib tidak mau di pasar juat. Di Semarang. Gerliya di Cepu dia

dikembalikan di Kepala Desa lagi.” juga ikut. Bahkan hasil senjata sebanyak 14 senjata. 2 Belanda saksi Gerliya teman masih

Berdasarkan arsip sejarah yang disimpan

ada teman Duduk di daerah Lamongan.

oleh Koperasi Unit Desa (KUD) di Sewu Jati,

Bahkan Tentara dapat pensiun. Orang Sewu

pada tahun 1950, seluruh wilayah yang meliputi

Jati lalu tahun 1951 sudah aman. Kepala Desa

Sewu Jati, termasuk sumur lantung (minyak

Sewu Jati mintak dihentikan dengan hormat

mentah) peninggalan Belanda yang berada di

dan dia mohon dengan hormat kalau bisa atau

dalamnya mendapat pengesahan pembebasan

boleh sebelum sebelum kepala desa berhenti,

lahan sebagai bentuk tanda penghormatan kepada

Bapak Pemrintah mengesahkan adanya sumber

warga Sewu Jati. Surat pengesahan ini dikenal

tani minyak dimasukan Sumber Gerliya (Tanah

dengan nama “Sertifikat Tanah Gerilya”, yang

Gerliya). Sebab di waktu bangsa kita atau

diketahui oleh Kepala Desa di masa itu,

Rakyat Sewu Jati montrang-mantring seperti pohon ditimpa angin. P.D.T.H 1950 Bulan

Somowidjoyo alias Saridjan dan Panglima Perang

September permohonan dilaksanakan dan

Sudirman.

disahkan denga Sah.

Gambar 1.

Tiga arsip di atas, satu arsip menerangkan kepemilikan tanah melalui “sertifikat tanah gerilya”, dua arsip lain adalah fotokopi dokumen yang berasal dari masa pendudukan Belanda (berbahasa Belanda) dan Jepang (berbahasa Jepang) (Sumber: Rio Heykhal Belvage). Dari dua arsip berbahasa asing tersebut, satu arsip berbahasa Jepang berhasil diketahui terjemahannya. Setelah melalui pelacakan lebih lanjut untuk memastikan isi dari arsip tersebut, diketahui bahwa arti dari arsip yang berhuruf kanji di atas bukanlah sebagaimana yang dinyatakan di awal. Secara ringkas arsip Jepang itu menerangkan tentang surat pengunduran diri Lurah Kasiman di masa lalu (tahun 1944) di bawah wewenang Jepang. Atas bantuan dan ketelatenannya melacak huruf kanji lama, penulis berterima kasih pada Ben, mahasiswa sastra Jepang yang pada saat penelitian ini dilangsungkan, ia sedang melanjutkan studi di Sanata Dharma, Yogyakarta.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

KUD Bogo Sasono. Peristiwa ini sempat diulas pula

“Aku opo wae dek biyen tak lawan mas (saya apa

oleh Yudhanto (2011) dalam strategi perlawanan

aja dulu saya lawan, mas), wes pokok’e koyo

petani tambang tradisional. Bila mengingat momen di

nduwe nyawa rangkep (pokoknya sudah seperti

mana mereka masih bekerja di bawah pengelolaan

punya nyawa rangkap), lha piye neh, urip e yo

KUD, ada sentimen dan kemuakan yang penulis

susah, arep mangan ae angel (lha mau gimana

temukan dari orang-orang yang ditemui, di mana

lagi, hidup aja susah, mau makan susah), anakku

mereka bercerita secara ironik betapa susah hidup di

wedok dek biyen sek cilik, tak gendongi neng

masa itu, ketika minyak dihargai teramat rendah. Hal

ndi-ndi karo mergawe (anak perempuanku dulu

tersebut dapat dilihat secara historis dari harga jual

masih kecil, kemana-mana saya gendong sambil

lantung bekerja)”. yang mereka produksi setiap harinya. Dulu, di zaman Lurah Sentono Warto harga lantung setiap Seorang informan yang dulu mengalami

drum berkapasitas 200 liter mendapat harga masa-masa sulit bercerita kepada penulis. Demi

Rp.11.000,00. Ketika pindah ke KUD naik menjadi memenuhi tanggung jawab untuk mencukupi

Rp.47.000,00 setiap drum. Namun, penambang kebutuhan keluarga, ia merangkap dua pekerjaan

menilai harga yang diberikan oleh KUD masih jauh sekaligus, sebagai penambang dan pencuri kayu di

dari standar yang mereka inginkan. Sampai kemudian hutan. Apa yang dikisahkan oleh informan di atas

setelah KUD runtuh dan mereka mengolah sendiri menegaskan betapa susahnya hidup di zaman itu.

lantung yang mereka produksi, setiap drum lantung Beratnya kondisi ekonomi yang harus dihadapi ketika

hasilkan memperoleh harga itu, bahkan sampai memunculkan istilah tersendiri. Di

yang mereka

Rp.85.000,00, hampir dua kali lipat dari harga yang desa yang tidak jauh dari desa tempat penelitian ini

didapat sebelumnya.

dilangsungkan, terdapat tanah yang dijuluki “Magersaren”. Dalam pengertian umum, istilah Di tengah kekosongan peran KUD dan masyarakat yang mengusahakan sendiri lantung yang

Magersaren merujuk pada daerah yang sebenarnya diproduksi inilah, pihak Pertamina masuk hendak merupakan tanah yang dimiliki oleh pihak Perhutani melakukan penertiban tata kelola produksi minyak di dan dimanfaatkan masyarakat desa hutan untuk Sewu Jati. Memang di masa sebelumnya, ketika KUD ditanami jenis tanaman kebutuhan pokok, seperti

Bogo Sasono masih bekerja sebagaimana mestinya, jagung, padi dan ketela untuk membantu mencukupi lantung yang dibeli dari warga ini oleh pihak KUD kebutuhan hidup. Namun bagi warga di sana, disetorkan ke Pertamina. Tetapi, setelah masyarakat Magersaren juga memiliki arti lain yang

memilih untuk menjual sendiri minyak mentahnya, merepresentasikan kondisi ekonomi yang mereka Pertamina keberatan karena ia tidak memperoleh hadapi. Magersaren, kurang-lebih dimaknai sebagai “Mergawe terus sego ra leren (Kerja terus nasi setoran lantung dari warga. Di masa ini, Pertamina

memaksa warga untuk menyerahkan semua hasil terus-terusan). Keringat keluar terus untuk lantung mereka ke Pertamina. Bentuk pemaksaan ini menyambung hidup, tetapi makan nasi saja susah. dilakukan dengan memperkenalkan istilah “ilegal” Kurang-lebih demikianlah artinya.

dan mempekerjakan pihak aparat keamanan untuk Pada bulan Oktober tahun 2006 aksi-aksi

berjaga di perbatasan dan melakukan patroli rutin yang dilakukan oleh para penambang meluap dan

supaya minyak mentah tidak sampai dibawa ke luar. menggerakkan aksi mogok oleh penambang di Sewu

Salah seorang informan bercerita kepada Jati terhadap Koperasi Unit Desa (KUD) dengan penulis, bahwa di masa itu, pihak warga juga tidak alasan rendahnya imbal jasa. Kesadaran rendahnya

kekurangan akal menghadapi desakan Pertamina. imbal jasa yang didapat oleh para pekerja tambang ini

Mereka melakukan pembagian kerja, ada yang menandai transisi masyarakat ke arah yang lebih bertugas sebagai mata-mata untuk mengintai di mana rasional. Mereka mulai berhitung dan memutuskan

saja posisi para aparat ini beroperasi melakukan razia. untuk mengambil resiko dengan menjual sendiri

Pembagian kerja yang menugaskan seseorang untuk minyak yang dihasilkannya ke pihak luar yang dapat menjadi mata-mata ini lagi-lagi mengingatkan pada menghasilkan untung lebih besar daripada menjualnya

penggambaran dunia bawah tanah perdesaan Jawa ke KUD. yang diulas Pranoto (2010) dengan mengutip Simmel

Aksi mogok yang dilakukan oleh masyarakat dalam penelitiannya tentang perbanditan di Jawa; penambang tersebut sekaligus menandai runtuhnya

460 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

“Dunia bawah tanah penuh rahasia, bohong, dusta,

Dari berita tersebut di atas, tergambar seperti

tipuan, jebakan, dll. Karena itu, tugas mata-mata

apa pola kepengaturan yang diterapkan oleh negara

penting sekali dan ia memegang penting pula

melalui institusinya sama sekali tidak menyertakan

sebelum kelompoknya melakukan operasi. Hal ini

warga penambang sebagai objek dari kebijakan. Bila

dimaksudkan agar usahanya sukses dan tidak terbongkar sebelum dan sesudah menjalankan

mencermati kata “menyelesaikan” dalam pemberitaan

aksinya (Simmel dalam Pranoto, 2010: 113)”.

media tersebut dapat dipahami kemudian bagaimana kehadiran para penambang ini semata-mata

Dengan mempekerjakan mata-mata untuk diposisikan sebagai sumber segala masalah yang mengawasi gerak-gerik aparat, para pekerja yang

harus “diselesaikan”. Dalam formasi diskursif bertugas mengangkut minyak mentah dapat lolos dari

semacam inilah, dengan dibantu oleh media, para patroli keamanan. Alasan mereka melakukan hal ini

penambang menempati posisi sebagai objek dari sederhana dan rasional secara ekonomi. Perbandingan

kekuasaan yang berkehendak mendisiplinkan perilaku harga jual yang mereka peroleh dari mendistribusikan

ekonomi sesuai dengan aturan yang telah dikreasi oleh secara gelap jauh lebih tinggi dari harga pembelian

negara, namun pada saat bersamaan beberapa institusi pihak Pertamina, bahkan mencapai tiga kali lipat. Kini

yang bersangkutan tersebut justru berpaling muka dan untuk setiap drum lantung bermuatan 200 liter biasa

tidak mau tahu ketika dihadapkan dengan latar dihargai antara 400 ribu hingga 600 ribu, tergantung

belakang yang mendasari perilaku ekonomi mereka. kualitas lantung yang diproduksi.

Hal ini terlihat bila kita menengok kembali ucapan Selain tugas menjadi mata-mata, untuk dapat

salah seorang informan pada bagian awal tulisan ini: lolos dari razia di tengah perjalanan ke luar kota, para

“Aku opo wae dek biyen tak lawan mas (saya apa aja penambang juga mempekerjakan marinir untuk

dulu saya lawan, mas), wes pokok’e koyo nduwe mengawal perjalanan. “Lek podho-podho aparat e

nyawa rangkep (pokoknya sudah seperti punya nyawa kan sungkan arep nangkep (Kalau sama-sama

rangkap), lha piye neh, urip e yo susah, arep mangan aparatnya kan ada rasa tidak enak kalau mau

ae angel (lha mau gimana lagi, hidup aja susah, mau menangkap),” kata informan yang juga pernah

makan susah).

menjual sendiri minyak mentah sampai ke daerah Pati,

Jawa Tengah. Lantung-lantung ini, biasanya diangkut

c. Reproduksi Kekerasan oleh Negara

dengan menggunakan truk. Distribusi minyak pun Sebuah media elektronik berlaman www. semakin lama semakin meluas, bahkan sampai ada

news.detik.com menulis berita konflik antara negara yang dibawa ke Jakarta dan diangkut dengan

dengan rakyat pada 5 Februari 2014. Dalam berita menggunakan peti kemas. Tetapi baru-baru ini,

berjudul “Penertiban Sumur Minyak Ilegal di sebuah berita yang dilayangkan dari koran elektronik

Bojonegoro Mendapat Perlawanan”, ditulis berita Tempo pada tanggal 14 Mei 2015 menampilkan berita

sebagai berikut;

berjudul “Polisi Bojonegoro Sita 15 Ribu Liter

Solar Ilegal”. Dalam peristiwa tersebut, seorang “Operasi penertiban sumur minyak ilegal di

wilayah Kawengan,

Kecamatan Kedewan,

Kepala Kepolisian Resor Bojonegoro pada saat

Bojonegoro, yang dilakukan Pertamina mendapat

diwawancara menyebutkan barang sitaan sejumlah 15

perlawanan. Massa menghadang akses jalan

ribu liter tersebut adalah hasil dari lima tangkapan

masuk lokasi sumur minyak tua Kawengan yang

dalam razia yang dijalankan selama satu bulan

sedang ditertibkan. Bahkan, massa juga memaksa

terakhir. Minyak-minyak itu diduga berasal dari

masuk ke Gedung Power Plant milik Pertamina

proses tradisional di daerah sumur tua di Bojonegoro.

EP, dan melakukan penghentian paksa aktivitas

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro

listrik, serta menyita alat berat milik kontraktor

Pertamina.”

memang telah membentuk

tim

untuk

“menyelesaikan” masalah sumur tua ini. Tim yang Pada hari yang sama, dalam sebuah media

terdiri atas Pertamina, Perhutani, Kepolisian, elektronik lain kanalbojonegoro.com melayangkan perangkat kecamatan, serta Dinas Energi Sumber

berita berjudul “Pasca Penertiban, Penambang Sumur Daya Mineral (ESDM) Bojonegoro ini dibentuk pada

Tua di Mal o Resah”, seorang warga yang terlibat aksi pertengahan Maret 2015 lalu (dikutip dari

perlawanan mengungkapkan kekesalannya kepada www.nasional.tempo.co).

pihak aparat yang seenaknya melakukan penertiban tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

“Kalau memang itu dikatakan ilegal, seharusnya

diproduksi tidak stabil antara sumur satu dengan

kami diberitahu dulu. Apa alasannya itu ilegal dan

sumur lainnya. Di alas barat, semua produksi lantung

kami harus bagaimana karena warga sudah

berpuluh- puluh tahun menjadi penambang disitu,”

dikerjakan secara tradisional dengan menggunakan

tenaga manusia untuk teknologi pengolahannya.

tegas Danddy.

Sementara di alas timur, sumur milik pihak Pertamina Jauh sebelum peristiwa perlawanan itu terjadi,

yang berada di kawasan Perhutani memiliki yakni sekitar satu tahun sebelumnya, media elektronik

kedalaman antara 800 sampai 3000 meter dengan suarabanyuurip.com meliput berita ber judul “Polisi

jumah sumur yang sangat sedikit bila dibandingkan Dilema Tangani Sumur Minyak Tua”. Dalam berita

dengan sumur di alas barat yang jumlahnya sampai tersebut Kapolres Bojonegoro AKBP Rakhmat

ratusan. Sumur milik Pertamina dikerjakan dengan Setyadi menceritakan posisinya yang serba dilematis

mewarisi teknologi dari zaman Belanda, penambangan dalam penyelesaian kasus minyak ilegal.

dilakukan dengan mesin-mesin yang telah diperbarui “Lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah dengan hasil minyak yang langsung dialirkan melalui

membumihanguskan orang- orang di sana? Usir

pipa tua melewati hutan dan desa yang bermuara

semua orang, atau diberdayakan?” tandas

langsung ke pengolahan Pertamina.

Rakhmad Setyadi (dikutip dari www.suarabanyu

Konflik antara perusahaan dan masyarakat

urip.com).

lokal bermula ketika mesin penambang di sumur alas Dalam berita tersebut, terlihat bahwa pihak

timur rusak dan tidak dapat dapat berproduksi. Sebuah aparat sendiri sebetulnya juga telah menyadari

sumur yang sudah tidak beroperasi cukup lama posisinya yang berada di tengah benturan konflik

kemudian diperbaiki oleh pihak Pertamina dan kepentingan antara negara dan rakyat.

dikontrak oleh KSO. Setelah sumur selesai diperbaiki “Selama ini harga minyak yang diberikan oleh dan akan dioperasikan, beberapa orang (yang menurut

Pertamina EP sangat murah, sedangkan kehidupan

keterangan informan adalah orang-orang kuat)

mereka bergantung dari itu. Di sini hukum alam

memfungsikan sumur tersebut. Pihak aparat

terjadi, di mana mereka menjual minyak-minyak

keamanan tadinya biasa saja. Sebab antara aparat

tersebut ke tempat lain dengan harga yang lebih

keamanan dan orang-orang yang menduduki sumur

tinggi,” tandas Kapolres Bojonegoro (dikutip dari

tersebut sudah saling “sama-sama tahu”. Menurut

www.suarabanyuurip.com).

keterangan informan, mereka telah bertemu sebelum Di lain waktu, ketika penulis berada di lokasi

menduduki sumur secara berkelompok. Tetapi, ketika penelitian pada akhir minggu bulan Oktober 2014,

pihak Pertamina melapor - dan entah suatu kebetulan penulis menjumpai peristiwa penyegelan sumur

atau bukan, pada saat itu Kapolres Bojonegoro baru minyak di alas etan. Alas etan adalah wilayah lahan

saja diganti. Hal ini membuat aparat keamanan yang milik Pertamina yang menjalin kontrak karya dengan

menduduki posisi bawahan tidak dapat berbuat perusahaan Kerja Sama Operasional (KSO). Kejadian

banyak. Mereka hanya bisa menjalankan perintah dari itu bermula dari pihak KSO yang melaporkan kepada

atasan barunya. Dari desas-desus yang penulis dengar, pihak kepolisian karena merasa lokasi sumur

bila pihak Polres tidak dapat menangani kejadian itu, tinggalan Belanda yang baru saja mereka perbaiki,

Markas Besar (Mabes) akan turun langsung untuk diduduki oleh beberapa orang warga lokal. Pertamina

menyelesaikannya. Ultimatum semacam itu tentu sendiri merasa minyaknya dicuri. Padahal sebelumnya

membuat pihak Polres merasa ditekan untuk segera telah ada kesepakatan bersama antara Pertamina dan

menyelesaikan masalah yang sebelumnya - menurut warga tentang pembagian wilayah produksi minyak.

informan - telah diketahui bersama alias “tahu sama Masyarakat boleh memanfaatkan sumur yang ada di

tahu”.

alas barat, tetapi untuk alas timur menjadi wilayah Salah seorang informan mengatakan kepada milik Pertamina.

penulis bahwa para pemilik sumur di kawasan Karakter sumur-sumur di alas timur milik

Pertamina adalah “orang-orang kuat”. Sementara Pertamina dan sumur-sumur di alas barat memang

informan lain yang merupakan pemilik sumur berbeda. Sumur di alas barat memiliki kedalaman 300

bercerita kepada penulis bahwa pada saat itu dirinya sampai 500 meter, yang karena saking banyak jumlah

dan para pemilik lainnya merasa “dilena (ditipu)”. sumurnya, menyebabkan jumlah minyak yang

Biasanya di sumur alas timur selalu ada yang jaga secara bergantian dan membuat aparat “tidak berani”

462 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 462 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Pertamina.

desa sebelah. Di daerah yang dikelilingi jati ini seni Rupanya ada perbedaan pandangan tentang pertunjukan tayub memang menjadi hiburan bagi pem ahaman mengenai ‘mencuri’ antara pihak warga desa di segala usia, terutama bagi para Pertamina dengan warga pemilik sumur. Dengan penambang lokal. Ketika semua penambang pergi argumen yang dilontarkan pemilik sumur sebagai menonton tayub, tanpa diduga para aparat datang pada pembenar atas tindakannya itu, tentu pihak Pertamina subuh dini hari dan menyebar garis polisi pada merasa dikelabui. Entah pemahaman tentang mencuri mesin-mesin produksi lantung milik warga. Keesokan ini sengaja diciptakan oleh pemilik sumur atau tidak, harinya saat hendak bekerja seperti biasa, mereka tetapi pada titik ini setidaknya diketahui bagaimana kaget bukan kepalang karena tanpa sepengetahuan benang merah ideologi samin yang resisten terhadap mereka sumur-sumur yang didudukinya telah represi kapitalisme kolonial tercermin melalui dilingkari garis polisi. penguasaan bahasanya yang khas.

Sejak peristiwa penyegelan di akhir bulan Oktober sampai pertengahan November ketika

Kesimpulan

penulis berada di lapangan, masalah tersebut belum Seperti apa dinamika sosial masyarakat juga tuntas. Garis polisi masih mengelilingi satu penambang dalam sejarah ladang minyak di Sewu Jati? sumur di alas timur. Setiap hari, di sebuah gubug di Tulisan ini menggambarkan bahwa sejarah ladang tepi jalan yang tidak jauh dari tempat di mana sumur minyak di Sewu Jati adalah sejarah eksploitasi. itu berada, selalu ada orang yang berjaga. Mereka Eksploitasi berlangsung sejak rezim kolonial Hindia adalah para penambang yang merasa memiliki hak Belanda. Inilah yang mendasari perilaku masyarakat terhadap sumur milik Pertamina. Penjagaan dilakukan penambang di Sewu Jati melakukan tindakan- untuk melindungi mesin-mesin produksi supaya tidak tindakan tidak patuh hukum. Datangnya Tuan Rain diangkut oleh pihak aparat keamanan. dan Tuan Marfis sebagaimana dicatat dalam arsip,

Masyarakat Sewu Jati sendiri, baik yang menjadi awal dimulainya peminggiran ruang terlibat maupun tidak terlibat dalam peristiwa itu,

hidup masyarakat melalui alienasi faktor produksi. beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh warga

Menjawab pertanyaan kedua penelitian ini, dengan menduduki sumur milik Pertamina itu

“Bagaimana strategi masyarakat penambang bukanlah tindak pencurian, karena lantung yang

menjaga kelangsungan usaha di tengah meluasnya dihasilkan dari sumur itu juga ujungnya disetorkan ke

kontrol negara terhadap pengelolaan sumber daya pihak Pertamina. Peristiwa penyegelan tersebut tentu

alam?” Tulisan ini menunjukkan bahwa dalam membuat hubungan antara warga penambang dan

menjaga kelangsungan usaha di tengah meluasnya aparat yang semula baik-baik saja kemudian berubah

kontrol negara, masyarakat penambang mengembangkan menjadi sedikit tegang. Selama beberapa hari, setiap

ekonomi moral. Hal ini dilakukan demi menjaga pagi penulis melihat dua mobil bak tentara melintas

kelangsungan usahanya. Ekonomi moral yang melewati desa menuju lokasi penambangan.

diulas pada tulisan ini terekspresikan melalui kisah aksi perbanditan, yang tidak lain merupakan

Lurah Sewu Jati sendiri yang juga salah strategi masyarakat untuk bertahan dari eksploitasi seorang pemilik sumur minyak datang langsung ke turun-temurun. Perhitungan ekonomi moral seperti Polres setelah kejadian penyegelan itu. Sampai saat ini sesuai dengan yang dikemukakan James Scott penulis berada di lapangan, sudah hampir lima (2000) tentang ekonomi moral petani di Asia minggu berjalan, para pemilik sepertinya merelakan Tenggara yang menyatakan bahwa struktur begitu saja sumur minyak Pertamina yang ekonomi masyarakat petani ditopang salah satunya didudukinya. Melihat kejadian tersebut, seorang

ol

eh prinsip “dahulukan selamat”. Namun yang membedakan dengan Scott, ekonomi moral yang

informan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan

kepemilikan sumur di alas timur seolah mendukung diterapkan masyarakat penambang di Sewu Jati dengan mengakui bahwa aktivitas yang dilakukan tidak lain adalah rasionalisasi dalam menjaga oleh kelompok pemilik sumur itu memang bukanlah kelangsungan usaha di tengah meluasnya kontrol suatu tindak pencurian, lagi-lagi dengan argumen negara yang bisa mempersempit akses mereka

untuk memperoleh sumber penghidupan. Dengan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Indonesian Mining Association (IMA). terhadap negara dengan bersiasat terhadap aturan

L. Popkin, S. (1986). Petani Rasional. Jakarta: yang diberlakukannya, tidak lain merupakan Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri. upaya penambang untuk bertahan dari kegagalan

negara melakukan redistribusi sumber daya yang Li, T.M. (2002). Keterpinggiran, Kekuasaan, dan melimpah di negeri ini.

Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah Pedalaman , dalam Proses Transformasi

Daftar Pustaka

Dokumen yang terkait

STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DESA TANJUNG BERAKIT DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM THE ADAPTATION STRATEGIES OF TANJUNG BERAKIT FISHERMEN IN FACING CLIMATE CHANGE

0 0 19

PENERAPAN PROGRAM MINAPOLITAN PERIKANAN TANGKAP DALAM MEMBERDAYAKAN NELAYAN KECIL DI KABUPATEN SUKABUMI THE IMPLEMENTATION OF MINAPOLITAN FISHERIES PROGRAM FOR EMPOWERING SMALL FISHERMEN IN SUKABUMI

0 1 14

PERANAN PELAUT DALAM REPRODUKSI WAWASAN KESATUAN GEO-BIO-SOSIAL-BUDAYA MARITIM NUSANTARA: BELAJAR DARI NELAYAN PENGEMBARA BUGIS-MAKASSAR DI SULAWESI SELATAN THE ROLE OF FISHERMEN IN THE REPRODUCTION OF NUSANTARA GEO-BIO-SOCIO-CULTURE UNITY INSIGHTS: LESSO

1 5 16

THE FREEDOM OF HUMAN’S INDIVIDUALISM IN THE TWENTHIETH CENTURY: SARTRE’S PHILOSOPHY OF EXISTENTIALISM

0 1 18

UPACARA SEBA BADUY: SEBUAH PERJALANAN POLITIK MASYARAKAT ADAT SUNDA WIWITAN SEBA BADUY CEREMONY: A POLITICAL JOURNEY OF SUNDA WIWITAN TRADITIONAL COMMUNITY

1 1 12

EKSPLORASI ATAS PRAKTIK DAN NILAI-NILAI DEMOKRASI DALAM KERAJAAN WAJO’ ABAD KE-1516 DAN KOMPATIBILITASNYA DENGAN SISTEM DEMOKRASI MODERN EXPLORATION ON DEMOCRATIC VALUES AND PRACTICES IN WAJO’ HISTORIC KINGDOM IN THE 15 TH AND 16 TH CENTURY AND THEIR COMP

0 0 16

AFIRMASI NILAI ESTETIKA, ETIKA, DAN SOSIAL KESENIAN GONG GUMBENG DI DESA WRINGINANOM, KECAMATAN SAMBIT, KABUPATEN PONOROGO AFFIRMATION AESTHETIC, ETHICS, AND SOCIAL VALUE OF GONG GUMBENG, WRINGINANOM, SAMBIT, PONOROGO

0 1 16

1969-2015: CERITA TIGA DEKADE POLITIK PERPINDAHAN MASYARAKAT DI INDONESIA

0 0 11

PROBLEMATIKA PRINSIP MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM KERANGKA PENYELAMATAN DANAU RAWAPENING THE PROBLEMS OF COLLABORATIVE MANAGEMENT IN RAWAPENING LAKE

0 1 16

KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN KETAHANAN SOSIAL PADA EKOLOGI HUTAN YANG BERUBAH THE LIFE OF FOREST COMMUNITY AND THE SOCIAL RESILIENCE IN A CHANGING FOREST ECOLOGY

0 0 20