PROBLEMATIKA PRINSIP MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM KERANGKA PENYELAMATAN DANAU RAWAPENING THE PROBLEMS OF COLLABORATIVE MANAGEMENT IN RAWAPENING LAKE
PROBLEMATIKA PRINSIP MANAJEMEN KOLABORATIF DALAM KERANGKA PENYELAMATAN DANAU RAWAPENING THE PROBLEMS OF COLLABORATIVE MANAGEMENT IN RAWAPENING LAKE
Mochammad Nadjib
Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI mochammadnadjib13@gmail.com
Abstrak
Interaksi penduduk dan lingkungan yang kompleks dapat ditemukan pada ekologi perairan Rawapening. Rawapening adalah suatu kawasan danau yang memiliki potensi multifungsi, diantaranya adalah perikanan, irigasi, pembangkit listrik dan pariwisata. Pemanfaatan secara multifungsi tersebut bisa saling mendukung, tetapi dapat pula bersifat trade off bila dilakukan secara tidak terkendali. Tulisan ini mendiskusikan permasalahan trade off sebagai dampak dari pemanfaatan secara bebas dan tidak terkendali antara berbagai pihak di Danau Rawapening. Sumber data ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan tentang “Optimalisasi Multifungsi Perairan Umum Daratan dalam Pengembangan Ekonomi Daerah: Kasus Danau Rawapening”. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussion dan observasi lapangan di kawasan Danau Rawapening. Implikasi dari pemanfaatan secara bebas atas Danau Rawapening terjadi karena polarisasi kepentingan, sehingga berdampak timbulnya degradasi lingkungan. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma pengelolaan dari polarisasi kepentingan menjadi paradigma kolaborasi, sehingga segenap kegiatan ekonomi yang menjadi penyangga kawasan Rawapening dapat dikelola secara komprehensif.
Kata kunci: danau rawapening, multifungsi ekonomi, degradasi lingkungan, polarisasi kepentingan, paradigma kolaborasi
Abstract
Rawapening ecology consists of complex interactions between society and environment. Rawapening is the lake area which has several functions, including fisheries, irigation, power plant and tourism. The multiple functions produce positive and negative effects. This paper discusses the vast effect of Rawapening misuse. The data were collected from research report about “Optimalisasi Multifungsi Perairan Umum Daratan dalam Pengembangan Ekonomi Daerah: Kasus Danau Rawapening through indepth interview, focus group discussion and field observation. The excessive use of Rawapening affects the polarisation of interests, leading to environmental degradation. This paper suggests paradigm shift from polarisation of interests to collaboration, in order to manage sustainable economic activity in Rawapening area comprehensively.
Keywords: rawapening lake, economic multifunction, environmental degradation, polarisation of interests, collaborative paradigm
Pendahuluan
sekitarnya. Manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati penduduk sekitar danau, tetapi juga
Danau merupakan salah satu ekologi daerah hilir melalui jaringan irigasi. Penduduk perairan umum daratan yang memiliki peranan - sekitar Rawapening memanfaatkan keberadaan penting di Indonesia. Diperkirakan Indonesia danau untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi memiliki lebih dari 500 danau dengan luas
2 sumber penghasilan keluarga, diantaranya usaha keseluruhannya lebih dari 5000 km atau sekitar perikanan, penambang gambut, peramu enceng 0,25% dari luas daratan Indonesia, termasuk gondok, dan pertanian di lahan pasang surut. Pola diantaranya adalah Danau Rawapening di pertanian lahan pasang surut ini terkait secara Semarang (Sutarwi, 2008). Rawapening merupakan langsung dengan pengelolaan dan operasionalisasi kawasan danau yang mampu memberi manfaat air danau. Di lain pihak, sawah di hilir juga ekonomi dan sosial budaya bagi penduduk
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
secara bersama dan komprehensif? Hal ini dilandai oleh asumsi bahwa pemanfaatan Rawapening
Pemanfaatan langsung lainnya adalah secara optimal dapat terwujud bila pengelolaannya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dilakukan dengan mengubah dari konsep top-down serta untuk Perusahaan Daerah Air Minum planning berdasarkan sektoral menjadi bottom-up (PDAM). Dampak dari pemanfaatan langsung oleh planning yang dilakukan secara kolaboratif beberapa sektor ekonomi telah menimbulkan diantara stakeholder. Dengan demikian masing- tumpang tindih pengelolaan, dan ujungnya adalah masing stakeholder memiliki tanggungjawab munculnya konflik kepentingan. Efek yang untuk menjaga Rawapening dari kerusakan. kemudian terjadi adalah adanya degradasi ekologi,
yaitu dengan semakin rusaknya kawasan Danau Rawapening sebagai akibat terjadinya pendangkalan
Pengelolaan oleh Komunitas: Beberapa Pendekatan
muka air danau oleh adanya sedimentasi dan berkembangnya gulma enceng gondok yang diluar
Dua kutub ekstrem dalam pengelolaan suatu kendali. Degradasi ekologi terjadi, karena
kawasan meliputi, pengelolaan yang dilakukan pemanfaatan Danau Rawapening dilakukan secara
oleh masyarakat (community management) dan bebas dan tidak terkendali.
pengelolaan yang diprakarsai pemerintah (government dengan pendekatan top-down. Keduanya
Hardin (1968) menyatakan, bahwa sumber
base) memiliki keunggulan maupun kelemahan masing-
daya yang terbuka (open access) cenderung masing. Menurut Pomeroy (1995), pengelolaan dianggap sebagai sumber daya yang tidak ada yang dilakukan oleh masyarakat (community pemiliknya, atau dengan kata lain siapa saja dapat management) memiliki keunggulan dapat memberi memilikinya. Dengan demikian sumber daya manfaat secara langsung bagi masyarakat, karena tersebut dapat secara bebas dimanfaatkan dan mereka dapat secara bebas memanfaatkan sumber dieksploitasi. Pendapat Hardin tersebut diperkuat daya sesuai dengan kepentingannya. Kelemahannya oleh Wantrup dan Bishop (1986), bahwa sumber adalah pola ini biasanya bersifat tradisional dan daya yang dinilai tidak ada pemiliknya keberadaannya jarang yang mendapatkan pengakuan memungkinkan setiap orang dapat mengeksploitasinya pemerintah. Sebaliknya pengelolaan yang diprakarsai secara maksimal tanpa memperhatikan akibat pemerintah (government base) memiliki keunggulan negatif dari tindakannya tersebut. Akibat setiap adanya standar baku dalam pengelolaan sumber orang memiliki pemikiran yang sama untuk dapat daya, mengikutsertakan stakeholder untuk mengeksploitasi semaksimal mungkin sumber menentukan aturan pengelolaan dan bagaimana daya yang ada maka terjadilah kehancuran kondisi aturan pengelolaan yang dibuat itu dapat disesuaikan biologi, ekologi dan ekonomi dari sumber daya dengan situasi lokal. Kelemahannya adalah alam serta berpotensi menimbulkan konflik sosial umumnya pemerintah mengalami kesulitan dalam diantara para pelaku ekonomi. Dengan kata lain, menjalankan berbagai fungsi manajemen yang sumber daya yang terbuka (open access) akan bisa diterima semua pihak dalam mengelola menyebabkan terjadinya tumpang tindih peran kawasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari antar berbagai kepentingan, sehingga berpotensi banyaknya ketidaktaatan pelaku ekonomi atas menjadi bencana ekologi dan ekonomi masyarakat peraturan-peraturan pemerintah, saling tidak sekitar. Oleh Hardin kondisi tersebut disebut percaya antara pemerintah dengan pelaku ekonomi dengan the tragedy of the commons. serta konflik kepentingan diantara para pelaku
Berdasarkan latar belakang tersebut,
ekonomi sendiri.
muncul suatu pertanyaan yaitu bagaimana Sebagaimana yang telah ditulis oleh menghindari atau setidaknya meminimalisasi Pomeroy (1995), kasus di Danau Rawapening bencana ekologi dan ekonomi masyarakat sekitar yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat Rawapening? Apakah perlu dilakukan perubahan (community management) kenyataannya juga tidak paradigma (shifting paradigm) dari paradigma mampu menjamin keberlanjutan pemanfaatan sektoral menjadi paradigma kolaborasi, sehingga sumber daya. Kegagalan tersebut telah mengubah segenap kegiatan ekonomi yang menjadi model pengelolaan, dari pengelolaan komunitas
488 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 488 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
kawasan yang perlu dikelola. Dalam bentuk penentu kebijakan adalah pemerintah provinsi.
aslinya, pengelolaan ini bersifat partisipatif yang Dengan demikian, peran masyarakat pemanfaat
melibatkan semua pemangku kepentingan secara sumber daya menjadi tereduksi sehingga
aktif dalam berbagai kegiatan pengelolaan, pengelolaannya menjadi tidak efisien. Ketidakseimbangan
termasuk pengembangan visi bersama, belajar distribusi antara peran masyarakat dan peran
bersama, dan penyesuaian praktik-praktik pengelolaan pemerintah
dalam mengelola Rawapening mereka. Walaupun demikian, model pengelolaan menjadi latar belakang pentingnya keseimbangan
ini meskipun memiliki keunggulan, tetapi juga dalam kolaborasi pengelolaan antar pihak
ada kelemahannya.
(collaborative management) 1 . Di berbagai negara
Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006) mencatat maju seperti Jepang dan Belanda telah - beberapa keunggulan dari model Collaborative memanfaatkan - pemikiran dan penerapan kerjasama management sebagai berikut. pengelolaan sebagai solusi ketidak mampuan
pemerintah dalam mengelola suatu kawasan - (1) Lebih transparan dalam hubungan antara tanpa melibatkan masyarakat (Organization for
pemerintah dengan masyarakat pemanfaat Economic Co-operation and Development, 1997).
sumber daya.
Collaborative management adalah pendekatan Lebih demokratis serta dapat mengadopsi
partisipasi seluruh pihak (stakeholder) dari pengelolaan secara kemitraan pengelolaan sumber berbagai unsur yang terkait dalam pengelolaan daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
suatu kawasan.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ostrom (1990), (3) Adanya keterlibatan stakeholder dalam bahwa kepemilikan bersama suatu sumber daya pengelolaan kawasan, memungkinkannya para (Common-Pool Resources) tidak harus menimbulkan stakeholder -t mengambil tanggungjawab dalam the tragedy of the commons atau bencana bagi
pengelolaan.
semua pihak. Masyarakat yang memanfaatkan (4) Dalam jangka panjang, pola ini lebih efisien Danau Rawapening secara bersama, dapat
sentralistis, karena membuat kesepakatan untuk mengelolanya dengan mengurangi biaya administrasi dan biaya baik. Mereka harus membangun konsensus, saling untuk penegakan aturan yang umumnya mengawasi, serta saling memberi sanksi atas pe- menjadi komponen biaya terbesar dalam pola langgaran yang dilakukan oleh sesama anggota.
dibandingkan pola
pengelolaan sentralistis.
Hal yang sama dikatakan oleh Pomeroy (5) Pengelolaan sumber daya memungkinkan (1995), bahwa prinsip kerja kemitraan adalah
penggabungan antara pengetahuan lokal tradisional dilakukannya pembagian tanggung jawab diantara
dengan pengelolaan berbasis pengetahuan stakeholders terkait seperti pemerintah, swasta dan
ilmiah.
masyarakat dalam mengelola sumber daya atau Sebaliknya kelemahan model Collaborative lingkungan. Dalam operasional pengelolaannya management (Pomeroy dan Rivera-Guieb, 2006) (Borrini-Fayerabend, 2001), para stakeholders
adalah:
dapat saling bernegosiasi, mendefinisasikan kegiatan dan menjamin pembagian peran dalam
(1) Tidak bisa diterapkan pada semua komunitas dan semua kawasan, karena kapasitas
pengguna sumber daya yang tidak sama.
(2) Sekiranya kepemimpinan dan organisasi
kolaboratif) sering digunakan secara bergantian dengan
berbagai istilah lainnya
seperti
co-operative
masyarakat lokal tidak ada, maka efektivitas
management (kerjasama pengelolaan), participatory
inisiasi dan keberlanjutannya akan berkurang.
management (pengelolaan partisipatif), joint management
(3) Perubahan strategi pengelolaan suatu kawasan
(pengelolaan bersama), shared management (pengelolaan
dapat menimbulkan risiko tinggi bagi sebagian
berbagi), dan multistakeholder management (pengelolaan
stakeholder yang memanfaatkannya.
multipihak). Lihat Trikurnianti Kusumanto, dkk, 2006.
(4) Dalam jangka pendek dibutuhkan investasi
Learning to Adapt Managing Forests together in Indonesia. Bogor: Center for International Forestry
yang besar, baik dalam biaya, sumber daya
Research (CIFOR). pp. 14-15.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
pengelolaan adaptif. Pendekatan tersebut lebih (5) Tidak semua kawasan dapat melakukan
dikenal dengan adaptive collaborative management pembagian peran dan tanggungjawab antara
atau pengelolaan bersama secara adaptif pemerintah dengan masyarakat lokal dengan
(Kusumanto, dkk, 2006; Fisher dkk, 2007). mudah.
Adaptive Collaborative Management Kelemahan-kelemahan lain dalam pengelolaan
merupakan pendekatan yang mendorong para suatu kawasan (Kusumanto, dkk, 2006; Fisher
pemangku kepentingan untuk melakukan kerjasama dkk, 2007) adalah, ketidakpastian yang disebabkan
dalam merencanakan, mengamati, dan menarik oleh latar belakang kepentingan yang berbeda dari
pelajaran dari perencanaan yang telah dibuat para stakeholder. Latar belakang kepentingan yang
sebelumnya. Maka penting untuk dilihat bahwa berbeda menyebabkan dinamika kebijakan
proses adaptive collaborative pengelolaan yang fluktuatif dan senantiasa
ciri
khas
management adalah adanya kesadaran usaha dari berubah, sehingga memungkinkan terjadinya
para pemangku kepentingan untuk secara ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.
berkelanjutan menjalin komunikasi, melakukan Selain itu, faktor risiko lingkungan alam juga
kolaborasi, dan negosiasi serta mencari peluang menimbulkan masalah ketidakpastian. Umumnya
untuk belajar bersama mengenai akibat dari ketidakpastian lingkungan ini disebabkan oleh
kebijakan dan tindakan yang telah dilakukan. kondisi biofisik yang senantiasa berubah dengan
Oleh karena itu, sangat relevan jikalau konsep cepat. Meskipun menghadapi ketidakpastian
pengelolaan bersama secara adaptif (adaptive seperti itu, pengelola suatu kawasan tetap harus
collaborative management) diadaptasi untuk mengambil keputusan dan melaksanakan apa yang
mengelola Danau Rawapening. telah direncanakan. Padahal, menjalankan suatu
Artikel ini ditulis berdasarkan hasil rencana berdasarkan informasi yang tidak pasti,
akan menghasilkan keputusan yang tidak efektif. “Optimalisasi Multi Fungsi
penelitian tentang
Perairan Umum Daratan dalam Pengembangan Salah satu jalan keluar dari dilema ini adalah
menerapkan suatu pendekatan pengelolaan yang Ekonomi Daerah: Kasus Danau Rawapening”.
Penelitian dilakukan pada komunitas masyarakat memungkinkan dilakukan penyesuaian keputusan yang tinggal dan bermukim di sekitar Danau secara
sistematis
dan berlanjut.
Proses
Rawapening. Pengumpulan data lapangan dilakukan penyesuaian keputusan itu akan terjadi ketika melalui metode wawancara mendalam terhadap dapat dikumpulkannya informasi yang baru, sejumlah narasumber dan informan kunci serta setelah adanya perubahan. Proses tersebut dikenal melakukan Focus Group Discussion dan observasi dengan model pengelolaan adaptif, yaitu suatu lapangan. Narasumber yang diwawancara meliputi pendekatan pengelolaan yang memungkinkan para pelaku kegiatan ekonomi di kawasan Danau dilakukannya penyesuaian keputusan secara
adalah nelayan, sistematis dan berkelanjutan. pembudidaya ikan di karamba, petani pasang
Rawapening
diantaranya
Gagasan pengelolaan adaptif ini muncul surut, pelaku usaha pariwisata dan jasa lainnnya, ketika
PDAM dan PLTA. Adapun informan kunci yang menghadapi ketidakpastian, dengan cara merancang
diwawancara meliputi pengambil kebijakan, intervensi untuk mendorong dilakukannya
akademisi dari Perguruan Tinggi setempat, serta pembelajaran. Pendekatan ini memungkinkan
beberapa tokoh masyarakat yang tinggal di sekitar dilakukannya perbaikan atas kesalahan-kesalahan
Danau Rawapening. Mereka adalah orang-orang yang pernah dilakukan dan diperbaiki sesering
yang banyak mengetahui dan memahami yang dibutuhkan (trial and errors). Pendekatan
permasalahan Rawapening. Sumber informasi adaptif ini akan sulit dilakukan jika tidak
dipilih melalui metode triangulasi (Moloeng, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.
2004) yaitu, informasi yang diperoleh dari seorang Oleh karena itu, untuk dapat memanfaatkan
informan dibandingkan, dikembangkan dan dicek keunggulan-keunggulan dan mengatasi kelemahan-
keabsahannya dengan hasil pengamatan, dokumen kelemahan yang ada, perlu dilakukan suatu
yang berkaitan serta perspektif informan kunci kolaborasi antara model pengelolaan kolaboratif
lainnya serta pendapat dan pandangan masyarakat.
490 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Analisis yang dikembangkan bersifat kualitatif, mendapat manfaat dari irigasi yang airnya berasal yaitu dengan melakukan pemahaman yang
dari Rawapening. Berdasarkan identifikasi komprehensif. Pemahaman yang komprehensif ini
terhadap mata pencaharian penduduk di sekitar menempatkan objek kajian dalam konteks
danau, sektor ekonomi yang berkembang adalah hubungan kausalitas, dan konsep empati sebagai
kegiatan yang secara langsung tergantung dengan pendekatan. Pendekatan empati yang dimaksud
keberadaan air Rawapening. Sektor pertanian adalah pendekatan yang berupaya memahami
dalam arti luas, seperti pertanian pasang surut, permasalahan lapangan berdasarkan perspektif
kenelayanan dan pembudidaya ikan di karamba pelaku.
merupakan mata pencaharian utama penduduk, kecuali yang bermukim di kawasan perkotaan
Pola Pemanfaatan Kawasan Rawapening
sekitar Rawapening seperti Ambarawa dan Bawen (lihat tabel 1). Selain sektor pertanian, industri
Rawapening merupakan sebuah danau yang secara langsung tergantung dari air yang keberadaannya memberi manfaat ekonomi Rawapening adalah PDAM Kabupaten Semarang, dan sosial budaya bagi masyarakat. Manfaat PLTA Jelok dan PLTA Timo. ekonomi tidak hanya dinikmati penduduk sekitar
danau semata, tetapi penduduk di daerah hilir juga
Tabel 1
Persentase Lapangan Kerja Utama Penduduk di Sekitar Danau Rawapening, 2015
Persentase Lapangan Kerja Penduduk (%) Kecamatan
Jasa Lainnya Tuntang
11,72 16,44 Sumber: Kecamatan (Tuntang, Banyubiru, Ambarawa, dan Bawen) Dalam Angka, 2016.
Statistik di atas menunjukkan bahwa Selain pertanian sawah, lahan pasang sektor pertanian memiliki peranan penting
surut di sekitar danau dimanfaatkan pula untuk terhadap mata pencaharian penduduk selingkar
menanam padi. Oleh karena itu, pola pertanian Rawapening. Berdasarkan hasil observasi di
sawah pada lahan pasang surut ini terpengaruh lapangan mengindikasikan bahwa di sektor
secara langsung dengan pengelolaan dan pertanian, pekerjaan
operasionalisasi air danau. Kawasan yang mendominasi mata pencaharian penduduk, disusul
selaku buruh
tani
termasuk lahan pasang surut ditandai dengan dengan petani pemilik, nelayan danau, petani
patok hitam, yang aturan dan pemasangannya dalam karamba, berkebun, dan peternakan. Orang-
telah dilakukan sejak masa pemerintahan Hindia orang yang terlibat pekerjaan di sektor industri,
Belanda. Areal yang ditandai dengan patok hitam utamanya bekerja sebagai buruh di berbagai
menunjukkan lahan yang terletak di kawasan industri garment yang keberadaannya berkembang
tersebut masih dimungkinkan untuk dimanfaatkan di sekitar Bawen. Dominasi sektor pertanian
sebagai lahan pertanian. Adapun areal yang sama sebagai mata pencaharian mengindikasikan bahwa
sekali tidak diizinkan untuk dimanfaatkan sebagai sebagian besar penduduk sekitar Rawapening
lahan pertanian, diberi tanda patok merah. secara langsung maupun tidak langsung
Data dari Sutarwi (2008) menunjukkan memperoleh dampak dari operasionalisasi air lahan sawah pasang surut di sekitar Rawapening Rawapening. Kebijakan pengelolaan air Rawapening yang terletak di atas patok hitam antara peil yang meliputi kebijakan konservasi, pemanfaatan +462,3 sampai peil +463,3 luasnya sekitar 812 maupun pengendalian air berpengaruh terhadap
ha. Status lahan tersebut merupakan lahan milik kehidupan petani, nelayan danau, maupun rakyat, sebagian besar berpotensi dimanfaatkan pembudidaya ikan. untuk pertanian tanaman padi. Pola tanam lahan
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
air Rawapening yang - diambil dari aliran sungai dengan bulan Maret. Disamping lahan sawah
Tuntang. Kapasitas debit air yang akan diambil pasang surut tersebut, lahan sawah yang terletak
dari Sungai Tuntang sebanyak 250 liter/detik antara patok merah peil +462,05 sampai patok
dengan perincian sebanyak 200 liter/detik hitam peil +462,3 yang luasnya sekitar 200 ha
dialokasikan untuk kebutuhan industri dan 50 meskipun statusnya milik rakyat tetapi sebagian
liter/detik diperuntukkan bagi keperluan PDAM hak tanam telah dibeli selamanya oleh pemerintah
yang akan disalurkan kepada masyarakan masa Hindia Belanda. Dengan telah dibelinya
pelanggan (Sutarwi, 2008). Oleh karena air sebagian hak tanam oleh pemerintah Belanda,
Sungai Tuntang merupakan outlet yang bersumber maka pola tanam di lahan ini hanya bisa dilakukan
maka tidak tertutup satu kali dalam setahun yaitu pada musim
dari
Rawapening,
kemungkinan terjadi konflik kepentingan dengan penghujan antara bulan Oktober sampai Maret.
stakeholder lainnya termasuk pula dengan petani Hak tanam di musim kemarau telah dibeli untuk
pasang surut maupun PLTA. selamanya oleh pemerintahan Hindia Belanda dan
Bagi petani sawah pasang surut, semakin berlaku hingga sekarang. rendah elevasi air dinilai akan semakin baik,
Pemanfaatan air Rawapening tidak hanya karena mereka bisa menanam padi di sekitar untuk pertanian sawah dan sawah pasang surut,
danau. Meskipun demikian, kondisi elevasi air tetapi juga dimanfaatkan untuk Perusahaan
yang rendah ini bertentangan dengan kepentingan Daerah Air Minum (PDAM) Semarang dan
PDAM dan PLTA. Semakin rendah elevasi air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Secara
semakin menyulitkan operasional PDAM dan historis air Rawapening sudah dimanfaatkan
PLTA. Oleh karena itu, dari sudut pandang untuk pembangkit listrik sejak masa pemerintahan
operasional PLTA, elevasi air yang tinggi dinilai Hindia Belanda. Pemanfaatan pertama kali
semakin bagus untuk optimalisasi operasional dilakukan di desa Susukan pada tahun 1912,
PLTA. Tingginya elevasi air juga dinilai lokasi ini tidak lagi difungsikan sejak
bermanfaat bagi kepentingan irigasi di kawasan dioperasikannya PLTA Jelok pada tahun 1938.
hilir dan pengambilan air untuk keperluan industri Untuk mengoptimalkan pemanfaatan air Rawapening,
serta PDAM. Dengan demikian, pada saat maka pada tahun 1962 pemerintah Indonesia
penentuan tinggi elevasi air, maka petani lahan membangun PLTA Timo. Kedua PLTA tersebut
pasang surut menghendaki pengurangan elevasi sampai sekarang masih bisa beroperasi. Untuk
air agar bisa menanam padi, sementara PLTA memanfaatkan air Rawapening bagi kepentingan
menghendaki elevasi air dinaikkan untuk PLTA, dilakukan dengan cara membendung sungai
optimalisasi operasional PLTA. Tuntang sebagai outlet Rawapening dengan membuat beberapa bendungan. Bendung Jelok di bagian
Existing Condition Pengelolaan Rawapening
hulu dimanfaatkan untuk mengoperasionalkan Pemanfaatan danau oleh beberapa sektor PLTA Jelok, sedangkan bendung Slomot, ekonomi, membutuhkan pengelolaan yang baik. Kenteng dan Tapen dimanfaatkan untuk Beberapa model pengelolaan yang telah dilakukan mengoperasionalkan PLTA Timo. terhadap kawasan Rawapening, adalah model
Selain itu, keberadaan sektor industri yang didasarkan atas tradisi dan kepercayaan yang secara langsung mengambil air Rawapening
masyarakat lokal serta model yang semata dari sungai Tuntang juga sangat berpengaruh
dibentuk secara formal oleh pemerintah daerah. terhadap pendayagunaan air tersebut. Telah ada
Kedua model pengelolaan yang sudah ada, kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten
kenyataannya masih belum mampu menunjukkan Semarang dalam investasi penyediaan air bersih
sinkronisasi yang dapat mengeliminasi kemungkinan untuk keperluan industri dan PDAM Kabupaten
terjadinya konflik kepentingan. Model pengelolaan Semarang dengan salah satu stakeholder. terhadap kawasan Rawapening yang pernah
Kerjasama investasi tersebut dilakukan berdasarkan
dilakukan meliputi:
Peraturan Daerah Kabupaten Semarang No 11 tahun 2002 tentang Kerjasama Daerah. Dalam
492 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
(1) Model Pengelolaan yang dilakukan
panggung membelakangi Rawapening (Sutarwi,
Masyarakat
2008), karena dinilai sebagai tindakan tidak sopan dan tidak menghargai keberadaan penguasa yang
Tradisi masyarakat setempat telah bertahta di Rawapening. Selain itu, masyarakat mengenal secara arif pengelolaan Rawapening. sekitar Rawapening juga mengkeramatkan sumber Kearifan lokal terbangun dari adanya kepercayaan mata air yang dipercaya sebagai tempat awal terhadap mitos terbentuknya Rawapening yang
mulanya “Baru Klinting” menancapkan dan ikaitkan dengan legenda “Baru Klinting”.
d 2 Untuk
mencabut lidi.
membangun penghormatan terhadap Rawapening dilakukan upacara ritual sedekah rawa setiap
Terlepas benar tidaknya mitos yang tahunnya, yaitu setiap Jumat Pahing pada bulan
berkembang, kepercayaan terhadap mitos “Baru Suro menurut kalender penanggalan Jawa.
Klinting” dan mata air yang dikeramatkan Upacara ini melibatkan masyarakat sekitar danau.
ternyata menciptakan cara berperilaku yang cenderung mengarah pada prinsip konservasi. Hal
Intisari dari pelaksanaan upacara ritual yang dibutuhkan dalam prinsip konservasi adalah sedekah rawa adalah bentuk penghormatan atau persembahan kepada “kekuatan di luar nalar”, sikap saling menghormati dalam menjaga alam,
dengan demikian tempat-tempat yang dianggap tempat masyarakat merasa penghidupannya keramat cenderung tidak mengalami kerusakan bergantung. Bentuk ritual ini berkaitan dengan karena masyarakat akan berpikir ulang jika pandangan hidup masyarakat setempat bahwa hendak melakukan eksploitasi. Tempat tersebut Rawapening adalah bagian dari alam yang harus dijaga dan dihormati dengan bentuk penghormatan dihormati, dirawat sebagai tempat di-mana berupa aktivitas ritual dan pemberian sesaji. masyarakat mendapatkan penghidupan sekaligus Dengan demikian aktivitas ritual dan pemberian sebagai tempat angker atau menakutkan dan sesaji mampu membentuk sikap bijaksana dan arif berbahaya yang mampu mencelakakan kehidupan dalam menghargai alam dan lingkungan setempat. dan penghidupannya beserta keluarga. Dengan
demikian, masyarakat sangat mempercayai suatu Di lain pihak, aktivitas sedekah rawa ini kekuatan di luar logika yang bisa melindungi dan
telah menciptakan integrasi dalam berkehidupan sekaligus bahkan mampu mencelakakannya.
sosial masyarakat dan sikap kegotong royongan Kekuatan itu dipercaya berbentuk ular besar yang
yang awalnya terjadi karena kebutuhan yang sama merupakan penjelmaan “Baru Klinting”. Penghormatan
dalam menyediakan sesaji. Dalam perkembangannya, yang tinggi terhadap Rawapening diwujudkan
integrasi dan aktivitas sosial tidak semata melalui tindakan yang melarang warganya
dikaitkan dengan kebutuhan ritual, tetapi melakukan aktivitas keramaian dengan membangun
berkembang dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kelompok ekonomi yang terbentuk umumnya memiliki orientasi dalam pemanfaatan
2 Legenda “Baru Klinting” ini tetap dipercayai
Rawapening, diantaranya adalah kelompok
oleh masyarakat sekitar
Rawapening
dan
nelayan, budidaya karamba, petani, peternak itik,
keberadaannya mampu mempengaruhi pandangan
UKM pengusaha kerajinan, kelompok pemilik
hidup (worldview) serta membentuk norma yang
perahu wisata, dan kelompok lainnya. Kelompok-
seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Kristen Satya Wacana
kelompok ekonomi ini atas inisiasi Dinas
telah menyimpulkan bahwa mayoritas responden
Perikanan Kabupaten Semarang, tahun 1996
(83,49%) masih mempercayai adanya mitos dan
disatukan dalam bentuk Paguyuban Kelompok
legenda “Baru Klinting”, adapun yang tidak
Tani nelayan. Di awal pembentukannya, orientasi
mempercayai adanya mitos kebanyakan adalah warga
peguyuban terbatas untuk menjaga Rawapening
pendatang yang baru tinggal di sekitar Rawapening
dari kerusakan ekologi dengan harapan akan
kurang dari setahun. Lihat Sutarwi. Kebijakan
diikuti oleh peningkatan kesejahteraan anggota.
Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran
Fungsi paguyuban ini murni memperhatikan
Kelembagaan Informal:Menggugat Peran Negara atas
Hilangnya Nilai “Ngepen” dan “Wening” dalam kesejahteraan anggota, dan secara gotong royong para anggota mengelola kawasan Rawapening
Pengelolaan Danau Rawapening di Jawa Tengah , 2008. Salatiga: Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana Press.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Salah satu program paguyuban adalah Rawapening harus dikerjakan melalui paguyuban. 5 disepakatinya penentuan batas minimal lebar mata
jaring serta larangan penggunaan racun, peledak Peran paguyuban berubah sebagai “perantara”
dalam setiap kegiatan atau program yang dan strum dalam penangkapan ikan. Selain itu dilakukan pemerintah. Orientasi paguyuban yang dilakukan pula penataan kawasan danau dengan awalnya untuk kesejahteraan masyarakat, telah menyusun zona-zona untuk penangkapan,
budidaya, maupun suaka. Zonasi penangkapan, berubah mencari “keuntungan” bagi sekelompok
anggota. Akibatnya segenap kegiatan ekonomi dibagi lagi berdasarkan sub zona yang yang menjadi penyangga kawasan Rawapening pembagiannya didasarkan pada perbedaan alat tidak dapat dikelola secara komprehensif, tangkap. Dalam hal ini zona penangkapan partisipasi masyarakat menjadi lemah. meliputi sub zona branjang arang dan branjang
kerep , sub zona sodo dorong dan sodo tarik, serta Tidak optimalnya aktivitas forum koordinasi sub zona dengan alat tangkap lainnya meliputi
telah ditanggapi dengan keluarnya Surat Keputusan jala, jaring, bubu, icir, embakan, pancing tunggal Gubernur Jawa Tengah No 610/21/2007 tanggal 9
dan pancing rawe. Zonasi budidaya, wilayahnya Agustus 2007 tentang Pembentukan Forum dibagi menjadi 10 sub zona yang arealnya terletak
Koordinasi Pengelolaan Rawapening sebagai sejajar dengan desa pembudidaya ikan. Sub zona
penyempurnaan. SK Gubernur dengan demikian tersebut meliputi Talang, Muncul, Puteran,
telah menganulir SK No. 610/VI/2004 tanggal 10 Cobening, Segalok, Semenep, Nglonder, Serondo
Agustus 2004. Dalam Forum koordinasi ini Ketua dan Tuntang, serta sub zona daerah pasang surut.
Paguyuban Kelompok Tani nelayan tidak lagi Zonasi suaka, merupakan zona yang tidak
menjadi ketua forum, tetapi tergeser menjadi diperkenankan ada kegiatan usaha perikanan
anggota, sedangkan ketua forum dijabat oleh karena fungsinya sebagai tempat berkembang biak
Kepala Bappeda Provinsi Jawa Tengah. Secara dan menjaga pelestarian populasi ikan. 4 riil, forum ini merupakan wadah kegiatan
pengelolaan Rawapening, tetapi implementasinya
2. Model Pengelolaan yang dilakukan
tidak berjalan secara maksimal. Dilihat dari fungsi
Pemerintah
tugas dan keanggotaannya, forum ini lebih pada penyaluran aspirasi, sarana komunikasi dan
Intervensi pertama pemerintah dalam koordinasi pejabat daerah. Karena dominasi pengelolaan Rawapening adalah menarik Paguyuban keanggotaan lebih pada pemegang kekuasaan Kelompok Tani nelayan menjadi lembaga yang lebih “formal”. Formalisasi paguyuban terjadi yaitu pejabat pemerintah, sedangkan masyarakat
pemanfaat Rawapening hanya diwakili oleh ketua setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur paguyuban. Ada kesan orientasi kebijakan forum Jawa Tengah No. 610/VI/2004 tanggal 10 Agustus ini lebih bersifat top-down, peran masyarakat 2004, tentang Forum Rembug Rawapening. Dalam secara representatif kurang dapat diakomodasi. forum ini ketua paguyuban ditetapkan sebagai Menyikapi kondisi ini, seorang tokoh masyarakat Ketua Forum Rembug Rawapening membawahi dari Banyubiru mengomentari forum ini dengan sebanyak 31 unsur pejabat pemerintah daerah dan tokoh masyarakat. Semenjak “diformalkan” dalam menilai kegiatannya:
suatu forum bersama dengan institusi pemerintah,
“… kurang efektif karena (kegiatannya) hanya “rembugan” (rapat) yang diadakan setiap (hari)
Kamis Pahing. Hampir tidak ada “action” masyarakat
(tindakan) yang diputuskan. (Keputusan yang Rawapening.
4 Lihat Petunjuk Pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001 Tentang
Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Rawapening, 2001.
dengan tokoh masyarakat Ungaran: Dinas Peternakan dan Perikanan, Pemerintah
5 Wawancara
Banyubiru, pemilik karamba dan pemerhati masalah Kabupaten Semarang
Rawapening.
494 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 494 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
untuk PLTA lebih diutamakan dibandingkan
tanggungjawab”. 6 kebutuhan untuk lainnya. 8
Dalam pengelolaan sumber daya air,
semenjak keluarnya Surat Keputusan Gubernur
Konsep Pengelolaan Bersama secara
Jawa Tengah tersebut telah dikelola secara formal
Multistakeholders
oleh pemerintah, meskipun demikian pengelolaan Rawapening adalah suatu kawasan yang secara formal ini bukan berarti permasalahan
selama ini dimanfaatkan secara ekonomi oleh sudah bisa diatasi. Pengelolaan sumber daya air
banyak pihak. Latar belakang kepentingan dan Rawapening secara formal telah dibentuk jauh
kondisi sosial ekonomi yang berbeda telah sebelum adanya Forum Rembug Rawapening
menimbulkan tumpang tindih dalam pengelolaan, yaitu dibentuk berdasarkan SK Gubernur Kepala
dan ujungnya adalah munculnya konflik kepentingan.
Berbagai prakarsa dalam pengelolaan Danau 74/1971//32/50/9 tanggal 5 Agustus 1971.
Daerah Tingkat I Jawa Tengah Nomor
Rawapening sudah pernah dilakukan. Akan tetapi Pengelolaan sumber daya air Rawapening
realita yang terjadi selama ini menunjukkan, dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
bahwa Danau Rawapening telah gagal dikelola Jawa Tengah, dengan operasionalisasi pada
melalui sistem pengelolaan yang dilakukan oleh Satuan Kerja Balai Pengelolaan Sumber Daya Air
masyarakat (community management), maupun Jragung dan Tuntang. Tata pengaturan air
sistem pengelolaan yang diprakarsai oleh Rawapening dituntut melibatkan berbagai
pemerintah (government base) dengan pendekatan stakeholder , diantaranya Perkumpulan Petani
top-down.
Pemakai Air (P3A) di daerah hilir, kelompok tani sawah pasang surut, kelompok nelayan dan petani
Kegagalan-kegagalan tersebut menginspirasi ikan, PLTA dan Dinas terkait, serta para Camat di
dilakukannya pengelolaan secara kolaboratif, sekitar Rawapening.
yang melibatkan berbagai stakeholder yang berkepentingan terhadap sumber daya Danau
Meskipun telah ditunjuk institusi Rawapening. Adanya ketidak seimbangan peran pengelola air Rawapening secara formal, tetapi
antara pemerintah dengan masyarakat yang implementasi di lapangan memperlihatkan bahwa
selama ini memanfaatkan Rawapening menjadi pengatur pintu air Bendung Jelok dan Timo tidak
latar belakang pentingnya dilakukan perubahan berada di tangan Satker PSDA tetapi berada di
pendekatan dalam pengelolaan. Untuk itu, guna
bawah wewenang pengelolaan PLTA. 7
memperbaiki sistem pengelolaan Rawapening buka-tutup pintu air Bendung Jelok dan Timo
Petugas
dalam pengelolaan merupakan karyawan PLTA, bukan petugas
diperlukan
kolaborasi
(collaborative management). Dalam tataran pengelolaan Satker PSDA. Dengan demikian secara de jure
Rawapening, sistem collaborative management Satker Balai PSDA memiliki kewenangan
mengharuskan dilakukannya kesepakatan antar mengatur tata kelola air Rawapening tetapi de
pihak selaku stakeholder untuk berbagi informasi, facto pelaksana buka-tutup pintu air menjadi
peran, fungsi dan tanggungjawab dalam suatu kewenangan PLTA. Kondisi semacam ini sangat
hubungan dan mekanisme kemitraan (partnership) mudah difahami bahwa sebenarnya kebutuhan
yang telah disetujui bersama (Borrini-Feyerabend, 2001). Pola ini melibatkan masyarakat dan berbagai kelompok kepentingan serta berbagai satuan kerja pemerintah daerah yang memiliki program di Rawapening. Pentingnya dilibatkannya
6 Wawancara dengan seorang tokoh masyarakat
setiap kelompok dan satuan kerja dalam
Banyubiru pemilik karamba di Rawapening, tanggal 04
pengelolaan, karena setiap kelompok memiliki
Juni 2014.
kepentingan yang tidak sama.
Lihat Sutarwi, 2008. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air Danau dan Peran Kelembagaan Informal:Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai “Ngepen” dan “Wening” dalam Pengelolaan
dengan seorang pemerhati Danau Rawapening di Jawa Tengah . Salatiga: Program
8 Wawancara
Rawapening yang juga menjadi pengajar Universitas Pasca Sarjana Universitas Kristen Satya Wacana Press.
Kristen Satya Wacana Salatiga.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Konflik kepentingan yang paling terlihat kelompok pemanfaat Danau Rawapening serta di antara stakeholder adalah konflik kepentingan
unit bisnis pemerintah. Meskipun demikian, antara petani pasang surut dengan PLTA dan
terdapat pula stakeholder yang tidak terlibat PDAM. Bagi petani sawah pasang surut, semakin
secara langsung dalam pemanfaatan tetapi rendah elevasi air dinilai semakin menguntungkan
mempunyai ketertarikan dengan permasalahan karena mereka bisa menanam padi. Tidak
yang terjadi di Rawapening, yaitu para akademisi demikian halnya dengan PLTA dan PDAM,
dan Lembaga Swadaya Masyarakat. semakin rendah elevasi air semakin menyulitkannya
Stakeholder menurut Ingles, dkk. (1999) beroperasi. Itulah sebabnya representasi perwakilan adalah, individu, kelompok masyarakat, dan dianggap cukup penting dalam melakukan lembaga pemerintah yang memiliki minat serta kolaborasi pengelolaan. Untuk itu implementasi wewenang mengambil peran dalam pengelolaan aktivitas collaborative management diperlukan sumber daya alam. Dengan kata lain, stakeholder pembagian wewenang dan tanggungjawab berbagai adalah individu atau kelompok yang dapat kelompok kepentingan dalam mengelola kawasan mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu danau (Pameroy, 1995). Untuk memahami berbagai ekosistem sumber daya alam. Dalam konteks pihak yang berkepentingan terhadap kawasan pengelolaan Danau Rawapening, fungsi stakeholder Danau Rawapening, diperlukan identifikasi tidak diletakkan dalam otoritass legal formal yang stakeholder yang berperan. disandangnya, akan tetapi yang dinilai adalah
seberapa besar fungsinya dan realita perannya
Para Stakeholder di Rawapening
dalam pemanfaatan serta pengelolaan Rawapening.
Berdasarkan identifikasi di lapangan, secara pengelolaan Rawapening terdiri dari banyak
Stakeholders yang
terlibat
dalam
fungsional stakeholder kunci yang terlibat dalam pihak. Identifikasi di lapangan menunjukkan
pengelolaan Danau Rawapening terdiri dari tiga pengelola dan pemanfaat Rawapening meliputi
level (lihat tabel 2).
berbagai satuan kerja pemerintah dan kelompok-
Tabel 2.
Pemangku Kepentingan dan Perannya dalam Pengelolaan Danau Rawapening
No Pemangku kepentingan
Peran utama 1 Stakeholder pemanfaat
Sub kelompok
Pemanfaat utama sumber daya level 1
Kelompok Tani
Kelompok Nelayan
perairan Danau Rawapening
Kelompok Budidaya karamba
Pemanfaat dan pengelola pintu
PDAM
air Danau Rawapening
PLTA Jelok-Timo
2. Stakeholder pemanfaat
Kebijakan umum terhadap level 2
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
Pemerintah Kabupaten Semarang
kawasan danau dan penyediaan
Bappeda Provinsi Jawa Tengah
bantuan
Bappedalda Prov Jawa Tengah
Melakukan koordinasi dan
Dinas PSDA Jateng
mengembangkan kerjasama
Balai PSDA Jragung Tuntang
dengan institusi terkait.
Dinas Perikanan dan Kelautan
Kebijakan pengelolaan
Dinas Pariwisata
lingkungan
Dinas Pertanian Pangan
Kebijakan pengaturan operasi
Dinas Perkebunan
air danau Kebijakan konservasi catchment area
Kebijakan penetapan zona perikanan Kebijakan pengembangan pariwisata Pengembangan pertanian pangan di hilir
496 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
No Pemangku kepentingan
Sub kelompok
Peran utama Pengelolaan perkebunan di
hulu
3 Stakeholder tidak langsung
LSM
Fasilitator dan mediator untuk
Lembaga Penelitian Universitas
pengembangan masyarakat.
Satya Wacana
Pengembangan ilmu dan
Lembaga Penelitian Universitas
teknologi, serta peningkatan
kapasitas masyarakat Sumber: Data Primer Penelitian
Diponegoro
terjadi pula pada kebijakan yang dilakukan Hasil identifikasi menunjukkan terdapat pemerintah daerah setempat. Hampir semua tiga kelompok besar yang menjadi stakeholder satuan kerja pemerintah daerah memiliki program yang memanfaatkan Rawapening. Stakeholder kerja terhadap Rawapening, namun dalam level pertama , adalah kelompok yang akan implementasinya kurang didukung dengan adanya terkena dampak langsung bila Rawapening kerjasama antar stakeholder lainnya. Bahkan mengalami perubahan positif atau negatif. Mereka peran antar satuan kerja dalam pengelolaan adalah kelompok yang mengambil manfaat kawasan Rawapening juga sering tidak sinkron, ekonomi Rawapening secara. Level kedua, adalah mereka bergerak sendiri-sendiri bahkan cenderung kelompok yang memiliki kepentingan terhadap terjadi tumpang tindih dalam menjalankan Danau Rawapening, tetapi tidak secara langsung program antar satuan kerja. 9 Dengan demikian latar terkena dampak atas degradasi yang terjadi atas belakang ketidaksinkronan program memungkinkan Rawapening. Meskipun kelompok ini bisa terjadinya dinamika perubahan kebijakan dalam mengalami kerugian, tetapi dampaknya tidak akan pengelolaan. Dinamika kebijakan yang senantiasa melumpuhkan kelompok ini. Keterlibatan kelompok berubah, memungkinkan munculnya ketidakpastian ini terhadap Danau Rawapening terbatas pada dalam pengambilan keputusan. Menjalankan suatu tataran kebijakan, meskipun demikian perannya rencana berdasarkan informasi yang tidak pasti cukup penting dan menentukan arah program dalam dapat menghasilkan keputusan yang tidak efektif. pengaturan operasi air danau, kebijakan
konservasi catchment area maupun pengelolaan Fisher, dkk. (2007) mengusulkan solusi lingkungan.
dari adanya dilema perbedaan kepentingan dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan atas
Level ketiga , adalah stakeholder tidak pengelolaan kawasan, yaitu suatu pendekatan langsung (indirect stakeholder). Mereka tidak pengelolaan yang memungkinkan dilakukannya mengalami dampak secara langsung atas penyesuaian keputusan secara sistematis dan kemungkinan perubahan yang terjadi pada berkelanjutan. Pendekatan ini dikenal sebagai Rawapening. Mereka tidak memiliki kekuasaan model pengelolaan adaptif. Gagasan pengelolaan untuk menentukan arah perkembangan kawasan, adaptif ini muncul ketika stakeholder menyadari tetapi memiliki perhatian dan ketertarikan atas pentingnya menanggulangi masalah ketidakpastian, perkembangan Rawapening dan masyarakat di untuk itu mereka merancang suatu intervensi sekitarnya. Peran mereka terbatas sebagai guna mendorong dilakukannya pembelajaran. fasilitator dan mediator serta dalam pengembangan Pengelolaan adaptif merupakan suatu cara bagi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan stakeholder untuk mengambil langkah secara kapasitas masyarakat, sehingga mereka juga bertanggung jawab ketika menghadapi ketidakpastian mampu berperan sebagai agen perubahan (agent kebijakan. Pendekatan ini memungkinkan dilakukannya of change) . Umumnya mereka berada di lokasi perbaikan pada saat dibutuhkan melalui proses yang cukup jauh dari Rawapening. memperbaiki kesalahan atau penyimpangan yang
Pengelompokan stakeholder berdasarkan
terjadi.
level dimungkinkan karena masing-masing memiliki peran yang tidak sama, bahkan sebagian
cenderung tumpang tindih serta saling bertolak
9 Wawancara
dengan seorang pejabat
belakang dalam pengelolaan Danau Rawapening.
Pemerintah setempat yang bertugas di bidang
Selain tumpang tindih dalam pemanfaatan danau,
perencanaan, 02 Juni 2014.
Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016
Kusumanto, dkk. (2006) menggambarkan keterwakilan stakeholder dalam pengelolaan bersama, dalam suatu diagram yang menarik suatu proses
sebab ketidakterwakilan memungkinkan timbulnya pengelolaan adaptif. Dimulai dengan melakukan
konflik kepentingan atas pemanfaatan Danau refleksi untuk mengidentifikasi permasalahan
Rawapening.
mendasar, peluang, dan pokok persoalan. Hasil refleksi itu kemudian diangkat sebagai faktor
Otoritas Pengelola Rawapening
penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan. Sumber daya air Rawapening selama ini Selanjutnya, perencanaan itu dilanjutkan dengan telah dimanfaatkan secara beragam dan tindakan nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan. multifungsi oleh berbagai instansi lintas sektoral Pada saat membuat perencanaan, para pengelola dan stakeholder. Di lain pihak, model pengelolaan juga -perlu merancang bagaimana mereka akan yang sudah ada belum menunjukkan sinkronisasi, memantau apakah rencana tersebut dapat sehingga implementasi pengelolaan dinilai seperti memenuhi tujuan dan apakah rencana itu efektif. “benang kusut” sebagai akibat tumpang tindihnya Hasil pemantauan digunakan dalam proses pemanfaatan. Agar “benang kusut” pengelolaan evaluasi atau refleksi. Adaptasi terhadap perbedaaan sebagai akibat tumpang tindihnya pemanfaatan latar belakang para stakeholder memungkinkan tersebut dapat diurai, diperlukan suatu kelembagaan munculnya penyesuaian atas keputusan yang atau semacam Badan otoritas pengelola yang sistematis dan berlanjut. mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan Rawapening.
Kunci keberhasilan pengelolaan adaptif Pembentukan otoritas pengelolaan Rawapening adalah belajar dari pengalaman yang menjadi
dimungkinkan bila institusi ini diberi wewenang bahan perencanaan pengelolaan masa depan
dan otoritas penuh, tidak terbatas hanya pada dengan lebih baik. Oleh karena itu, untuk dapat
kawasan inti tetapi meliputi pula seluruh kesatuan memanfaatkan keunggulan-keunggulan serta
daerah hidrologis. Dengan demikian wilayah kerja mengatasi kelemahan-kelemahan perlu dilakukan
badan otoritas ini mencakup lintas administrasi kolaborasi antara model pendekatan collaborative
pemerintahan dari hulu sungai yang mengalir ke management dengan model pengelolaan adaptif.
Rawapening sampai hilir sungai yang diairi dari Kolaborasi dua pendekatan tersebut lebih dikenal
sumber Rawapening. Karena, masalah di hulu dan dengan Adaptive Collaborative Management atau
hilir saling kait mengkait dengan permasalahan di pengelolaan bersama secara adaptif (Fisher, dkk.,
Rawapening.
2007). Model ini memungkinkan dilakukannya
Gambar 1.
Diagram Proses Pengelolaan Adaptif
Sumber: Kusumanto, dkk., 2006
Pengelolaan Rawapening yang didasarkan unsur pemanfaat yang berbeda sedapat mungkin pada model adaptive collaborative management
diakomodasi pendapatnya, sehingga diperoleh akan mencapai hasil yang memuaskan bila konsep
keterpaduan dalam arti yang sebenarnya yaitu pengelolaannya berbasiskan masyarakat. Setiap
dapat mewadahi dan mengakomodasi kepentingan