Asuhan keperawatan diverticular disease. CA

ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE

MAKALAH

oleh
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017

ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE

MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah dengan dosen
pengampu Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB

oleh :
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017

ii

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan

rahmat

menyelesaikan
Diverticular

dan

makalah


Disease”.

karunianya,sehingga

yang

Makalah

berjudul
ini

penulis

“Asuhan

disusun

dapat

Keperawatan


berdasarkan

untuk

memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari kontribusi
berbagai pihak. Oleh karenaitu,penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen mata kuliah
keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember.
2. Semua

pihak

yang

secara


tidak

langsung

membantu

terciptanya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jember, Mei 2017

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
PRAKATA ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Pengertian ....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................... 3
2.3Etiologi............................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi......................................................................................... 6
2.5 Phatogenesis..................................................................................... 6
2.6Phatofisiologi..................................................................................... 7
2.7Manifestasi klinis.............................................................................. 7
2.8PemeriksaanPenunjang................................................................... 9
2.9Penatalaksanaan medis.................................................................... 9
BAB 3.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN...........................................13

3.1 Pengkajian........................................................................................13
3.2 Diagnosis..........................................................................................20
3.3 Intervensi..........................................................................................21
3.4Implementasi.....................................................................................23
3.5Evaluasi.............................................................................................23

iv

BAB 4.PENUTUP...........................................................................................24
4.1 Simpulan .........................................................................................24
4.2 Saran ................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

v

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Penyakit deverticular disease merupakan penyakit yang berhubungan dengan
pola makan dan asupan gizi pada tubuh. Penyakit deverticular disease terjadi karena

perubahan pola makan akubat dari konsumsi jenis makanan yang mengandung banyak
serat ke jenis makanan yang kurang mengandung banyak serat. Prevalensi
deverticula disease berjumlah 75% dari jumlah populasi di Amerika
Serikat yang berusia diatas 80 tahun. Prevalensi tersebut meningkat
secara drastis seiring dengan menurunnya asupan makanan berserat
tinggi. (Schwartz, 2007). Berdasarkan survey lapangan didapatkan
hasil prevalensi penyakit divertikula diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30%pada usia 60 tahun, dan
menjadi sebesar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu meliputi
pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula tersebut
banyak muncul di negara yang tinggi terhadap industrialisasi seperti
Amerika

Serikat

dan

Eropa


Barat

daripada

Negara

dengan

industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.
(Sabiston,
divertikulosis

2000).

Diperkirakan

melibatkan

kolon


90-95%
sigmoid,

penderita
dan

65%

dengan
penderita

mempunyai penyakit yang terbatas hanya terbatas pada kolon
sigmoid. Sebaliknya, hanya 2-10% penderita mempunyai penyakit
yang

terbatas

pada

colon


asenden

atau

transversum.

(Sabiston,2000).
Deverticular

disease

merupakan

penyakit

karena

adanya


peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi otot
kolon (Painter, 2013). Terbukti dengan penelitian penderita divertikula
dapat menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap stimuli
hormonal sehingga kontraksi otot kolon yang

1

abnormal tersebut

menyebabkan

peningkatan

tekanan

intraluminal

dengan

hipertrof otot polos dan pembentukan divertikula.

akibat

Divertikulum

sering disebut dengan istilah herniasi usus besar yang menyerupai
kantung yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu.
(Brunner, 2016). Penyakit ini disepabkan karena kurangnya supan
serat pada tubuh, misalnya diet tinggi lemak. Kebanyakan diera
modern

ini

masyarakat

dunia

termasuk

di

Indonesia

kurang

memperhatikan asupan serat bagi tubuh dalam memenuhi nutrisi
seharai-hari. Sehingga perlu adanya penyuluhan dan deteksi dini
terkait penyakit diverticular disease ini.
Rumusan Masalah
1.2.1

Apa pengertian divertikular disease ?

1.2.2

Bagaimana epidemiologi divertikular disease ?

1.2.3

Bagaimana etiologi dari divertikular disease ?

1.2.4

Bagaimana klasifkasi divertikular disease ?

1.2.5

Bagaimana pathogenesis divertikular disease ?

1.2.6

Bagaimana patofsiologi divertikular disease ?

1.2.7

Bagaimana manifestasi klinis divertikular disease ?

1.2.8

Bagaimana pemeriksaan penunjang divertikular disease ?

1.2.9

Bagaimana penatalaksanakan medis divertikular

disease ?
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Diverticular
disease.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis Divertikular disease.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
Divertikular disease, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.

2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Definisi
Deverticular

disease

merupakan

penyakit

karena

adanya

peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi
otot kolon (Painter, 2013). Divertikular disease yaitu adanya divertikel
semu multiple, tidak bergejala pada 80% penderita. Divertikulitis
adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau dengan perforasi.
(Sjamsuhidajat, 2007).

Gambar 2.1.1 Diverticular disease

Divertikular

disease

merupakan

penyakit

pada

saluran

pencernaan yang timbul karena adanya penonjolan berbentuk
kantung dari dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa

3

millimeter sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya
merupakan manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum
dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal.
(Sabiston, 2000). Divertikular disease adalah penyakit yang terjadi
karena adanya herniasi pada kolon yang menyerupai kantung
yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu. (Brunner,
2016).
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian devertikular disease
diatas dapat disimpulkan bahwa deverticular sisease merupakan
gangguan pada pencernaan yang terjadi di divertikula karena
kontraksi

pada

otot

kolon,

biasanya

ditemukan

penonjolan

berbentuk kantung di dinding kolon.
2.2Epidemiologi
Berdasarkan survey penyakit tidak menular ditemukan jumlah
prevalensi dari divertikular disease diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30% pada usia 60 tahun,
dan menjadi besar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu
meliputi pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula
tersebut

banyak

muncul

di

negara

yang

tinggi

terhadap

industrialisasi seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat daripada
Negara dengan industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia. (Sabiston, 2000)
2.3Etiologi
Deverticular disease biasanya disebabkan kan kare kurangnya
supan serat pada tubuh. Penyebab timbulnya divertikula diduga
karena faktor makanan. Penelitian klinik dan eksperimental telah
melibatkan

diet-rendah-serat

sebagai

faktor

radiologic

yang

menonjol. Diet yang kurang serat sayuran diduga merupakan
predisposisi untuk timbulnya divertikula akibat motilitas kolon
terganggu.

Terdapat

bukti

bahwa

penderita

divertikula

menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap makanan dan

4

stimuli hormonal.

otot abnormal ini diduga menyebabkan

peningkatan tekanan intraluminal dengan akibat hipertrof otot
polos dan pembentukan divertikula. Secara anatomi, divertikula
membentuk titik”lemah” dimana pembuluh darah nutrient (vasa
recta) menembus lapisan otot sirkular ke mukosa. “perforasi”
pembuluh

darah

ini

cenderung

menembus

dinding

kolon

sepanjang tepi mesenteric kedua taenia antimesentrik. Divertikula
dapat terjadi dilokasi manapun diusus kecil maupun kolon
sigmoid. Diverkulosis terjadi apabila terdapat beberapa divertikula
tanpa disertai infamasi atau gejala. Kasus ini paling sering
dijumpai pada lansia usia lebih dari 80 tahun. Asupan rendah
serat diet yang rendah merupakan faktor predisposisi utama.
Divertikulitis terjadi ketika makanan dan bakteri yang tertahan
didalam divertikulum menyebabkan infeksi dan infamasi yang
dapat menghambat pengeluaran cairan dan mengakibatkan
perforasi atau abses. Diverticulitis dapat terjadi dalam bentuk
serangan akut atau sebagai infeksi kronis yang terpendam.
Predisposisi kemungkinan bersifat congenital apabila gangguan
muncul pada individu berusia dibawah 40 tahun. (Brunner, 2016)
Divertikulum yang didapat merupakan pembentukan kantong
keluar

yang

diinduksi

tarikan

pada

dinding

kolon,

yang

berkembang dalam pola agak klasik dalam dua baris diantara
tenia, melalui cacat dalam stratum sirkularis tunika muskularis
pada tempat masuknya pembuluh darah. Perkembangannya
berhubungan dengan area lokalista tekanan intralumen yang
tinggi diantara cincin kontraksi haustra. Divertikulosis mempunyai
predileksi bagi kolon sigmoideum dan descenden distalis dalam
sekitar 80% pasien. Divertikulosis jarang timbul didalam rectum
dan kadang terlihat pada sisi kanan. Divertikulosis terutama
mengenai masyarakat beradab dan kurangnya bagian kasar diet
bisa

berperanan

sebagai

penyebab.

5

Faktor

lain

mencakup

penuaan, obesitas, sifat genetika, dan konstipasi kronis. (Sabiston,
1994)
2.4Klasifikasi
2.4.1 Divertikulosis
Diverticulosis merupakan gangguan perncernaan karena adanya penonjolanpenonjolan deverticula di usus besar, sehingga menyebabkan perdarahan pada usus
besar. Perdarahan dapat diduga akan terjadi pada 15% penderita dengan
divertikulosis, dan penyakit divertikula merupakan penyebab bagi 30-50%
perdarahan kolon massif. Perdarahan divertikula timbul dari kolon kanan pada 7090% penderita, dan 70% penderita dengan perdarahan divertikula akan berhenti
spontan. (Sabiston, 2000).
2.4.2 Divertikulitis
Diverticulitis dapat terjadi karena diverkulosis yang sudah parah dan tidak
segera diatasi karena diverticulum pecah dan infeksi set di sekitar divertikulum
tersebut, kondisi tersebut disebut dengan diverticulitis.

Istilah divertikulitis

menyatakan inflamasi satu atau lebih divertikula dan menggambarkan, pada tingkat
anatomic, perforasi divertikulum kedalam ruang perikolik. Penderita diverticulitis
dengan komplikasi menimbulkan masalah seperti obstruksi kolon, pembentukan
abses, perforasi bebas, atau fistulisasi. (Sabiston, 2000)
2.5Patogenesis
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan dikolon,
khususnya disigmoid. Divertikel kolon adalah divertikel palsu
karena terdiri dari mukosa yang menonjol melalui lapisan otot
seperti hernia kecil. Di vertikel sejati jarang ditemukan dikolon.
Divertikel ini disebut divertikel pulsi (pukulan) karena disebabkan
oleh tekanan tinggi dibagian usus distal ini. Besarnya berkisar
antara beberapa millimeter – 2 sentimeter; leher divertikel atau
pintunya biasanya sempit tetapi mungkin lebar. Kadang terbentuk
fekolit (batu tinja) didalamnya. Pada orang barat 95% divertikel
kolon terdapat disigmoid. Divertikel soliter disekum atau divertikel

6

multiple dikolon asendens, yang jarang ditemukan, biasanya
terdapat pada orang asia. (Sjamsuhidajat, 2007)
Pathogenesis
didinding

dipengaruhi

sigmoid.

tekanan

Tekanan

intralumen

intraluminer

dan

defek

bergantung

pada

kepadatan feses yang meningkat bilakekurangan serat. Defek
kecil

dilapisan

otot

dinding

usus

ditemukan

pada

tempat

keluarnya arteri ke apendiks epiploika. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.6Patofisiologi/patologi
Divertikulosis menunjukkan kehadiran divertikulum didalam
kolon dan keadaan patologi terlazim dengan lesi ini adalah
diverticulitis. Merupakan suatu keadaan peradangan yang timbul
setelah obstruksi leher divertikulum oleh tinja dan kadang-kadang
barium. Proses ini menyebabkan penyempitan kolon dan bisa
berlanjut ke obstruksi lengkap yang meniru manifesti klinis
karsinoma. Perdarahan gastrointestinal bawah yang massif bisa
mengikuti ulserasi didalam divertikulum. Abses, fstula atau
perforasi sering mengkomplikasi perjalanan diverticulitis, sering
dengan perikolitis dan edema mesentrium. (Sabiston, 1994)
Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Divertikula kolon
merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada
perut. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan ialah pecahnya
secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri
marginal

pada

kubah

divertikulum

atau

pada

margin

antimesenterikus. Divertikula paling sering terletak pada kolon
sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya disebabkan oleh
faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan
abrasi

dari

pembuluh

darah,

sehingga

terjadi

perdarahan.

Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih banyak dan
menghasilkan volume yang lebih besar daripada divertikula sisi
sebelah kiri. Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang
terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak

7

atau leher dari divertikulum tersebut. Divertikula yang terletak
pada sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari
vasa recta menjadi luka, karena mereka memiliki bagian leher
yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar dibandingkan
dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.

Pathway
Penurunan kekuatan otot
dalam dinding kolon

Peningkatan tekanan
intraluminal

Volume kolon
rendah serat

Hipertrofi muskuler

Herniasi lapisan mukosa
dan submukosa

Divertikulum

Obstruksi

Inflamasi
Inflamasi menyebar ke
dinding

Inflamasi menimbulkan
erosi pembuluh darah
arterial

Abses
perdarahan

peritonitis

8

2.7Manifestasi Klinis
Divertikulum kolon tanpa gejala,kecuali bila dikomplikasi oleh
mikroperforasi dan infeksi, diverticulitis atau perdarahan rectum
tanpa nyeri. Diverticulitis akut mengikuti perforasi dan fekalit
yang terperangkap mengerosi mukosa serta memungkinkan
infeksi menyebar ke dinding usus berdekatan. Manifestasi klinis
diverticulitis

mencakup

nyeri

dan

nyeri

tekan

abdomen,

konstipasi, distensi ringan, demam, dan lekositosis. Masa didalam
abdomen, rectum atau vagina biasanya dapat dipalpasi serta juga
bisa timbul diare. Gejala iritasi vesika urinaria karena piuria
(frekuensi, disuria, dan urgency) sering disebabkan oleh masa
peradangan yang mengenai vesika urinaria atau perkembangan
fstula kedalam vesika urinaria. Perdarahan dari divertikulum
timbul sebagai perdarahan rectum mendadak berwarna merah tua
atau merah terang. Biasanya tanpa nyeri atau bisa disertai
dengan kram ringan. Kadang perdarahan bisa massif, yang
menyebabkan
divertikulum
Diagnosis

syok
jarang

banding

peradangan,
sigmoideum

hemoragik
timbul

dan

berbagai

kematian.

menyertai

mencakup

karsinoma

atau

apendisitis,

ovarium,
jenis

diverticulitis
penyakit

prostatitis,

colitis

Perdarahan
akuta.
adneska
karsinoma

peradangan,iskemik,

infeksiosa. Jika kolon sigmoideum berlebihan danmelipat kearah
kuadran kanan bawah, maka diverticulitis dalam area ini dapat
meniru apenditis. Enema barium adalah pemeriksaan diagnostic
yang penting, tetapi biasanya ditunda selama stadium akuta.
Setelah serangan akuta mereda,maka dilakukan persiapan usus
dengan enema pembersihan yang lembut daripada dengan
laksatif. Criteria radiograf bagi diagnosis diverticulitis akuta telah
berubah dalam tahun belakang ini. Pola gigi gergaji bergerigi

9

tajam dengan divertikulum dalam penyempitan lumen, criteria
yang lazim digunakan dimasa lampau, tidak lagi merupakan bukti
peradangan yang tepat. (Sabiston, 1994)
Obstruksi

bisa

mengikuti

diverticulitis

kronika,

penebalan

peradangan, fbrosis, dan tekanan dari abses perikolika. Kecuali
respon klinis terhadap terapi non bedah segera didapat, maka
pendekatan operasi yang serupa dengan yang digunakan bagi
diverticulitis akuta dengan abses, diindikasikan. (Sabiston, 1994).
Perforasi kolon yang disertai dengan abses jarang terjadi, tetapi
kadang-kadang terihat menyertai terapi kortikoseroid. Tanda
sepsis dan syok bisa ditutup sementara waktu oleh steroid dan
tingginya indeks kecurigaan penting dalam membuat diagnosis.
Eksisi segera dengan kolostomi penglihatan proksimal merupakan
terapi pilihan. (Sabiston, 1994)
Perdarahan dari divertikulum kolon biasanya berhenti spontan
dan dapat ditangani secara konservatif dengan penggantian darah
sesuai keperluan. Kurang dari 20% pasien dengan perdarahan
divertikulum mengalami perdarahan bermakna yang menetap
atau kambuh. Walaupun divertikulum kolon kanan kurang sering
dibandingkan

kolon

kiri,

bila

ada

tampaknya

mempunyai

kecenderungan lebih besar untuk berdarah. Perbedaan jelas ini
sebagian

bisa

karena

kebingungan

dengan

malformasi

anteriovenosa didalam kolon kanan.karena malformasi demikian
sulit didiagnosis dengan cara biasa bersama perdarahan yang
menetap

dan

tak

dapat

dispesifkasi,

maka

arteriograf

diindikasikan. Karsinoma kolon dapat menyebabkan perdarahan
massif, tetapi hal tersebut tidak lazim. (Sabiston, 1994).
Divertikulosis yaitu adanya divertikel semu multiple, tidak
bergejala pada 80% penderita. Keluhan dan tanda berupa
serangan nyeri, obstipasi, dan diare oleh gangguan motilitas
sigmoid. Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan local ringan
dan sigmoid sering dapat dan diraba sebagai struktur padat. Tidak

10

ada demam atau leukositosis bila tidak ada radang. Keadaan
umum tidak terganggu dan tanda sistemik juga tidak ada. Pada
foto roentgen barium tampak divertikel dengan spasme local dan
penebalan dinding

yang menyebabkan penyempitan lumen.

(Sjamsuhidajat, 2007)
Menurut brunner, 2016
a. Sering kali tidak terlihat gejala yang bermasalah,konstipasi
kronis kerap mengawali perjalanan penyakit.
b. BAB yang tidak teratur, sesekali disertai diare,mual dan
anoreksia, serta kembung atau distensi abdomen.
c. Kram,ukuran feses menyempit , dan peningkatan konstipasi
atau terkadang obstruksi usus.
d. Kelemahan,keletihan, dan anoreksia.
Diverticulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau
dengan perforasi. Biasanya radang disebabkan oleh retensi feses
didalamnya. Tekanan tinggi dalam sigmoid yang berperan pada
terjadinya divertikel. Perforasi akibat diverticulitis menyebabkan
peridivertikulitis terbatas, abses, atau peritonis umum. Diagnosis
banding terpenting adalah karsinoma kolon kiri atau kelainan
ginekologik. (Sjamsuhidajat,2007)
Menurut brunner, 2016
a. Nyeri akut ringan hingga berat dikuadran kiri bawah.
b. Mual, muntah, demam, menggigil, dan leuositosis.
c. Jika tidak ditangani peritonitis dan septicemia.
2.8Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x dengan barium enema.
b. Endokopi (kolonoskopi) untuk menyingkirkan karsinoma kolon.
c. Laboratorium
2.9Penatalaksanakan Medis
Pada serangan akut dilakukan tindakan konservatif berupa
puasa, pemasangan pipa hisab lambung, infuse, pemberian

11

antibiotic sistemik, dan analgetik. Reseksi bagian kolon yang
mengandung divertikel multiple dapat dikerjakan secara elektif
setelah diverticulitis

menyembuh. Reseksi sigmoid

biasanya

dilakukan dengan cara Hartmann dengan kolostomi sementara.
Cara

ini

dipilih

untuk

menghindari

resiko

tinggi

gangguan

penyembuhan luka anastomosis baru dikerjakan setelah rongga
perut dan lapangan bedah bebas kontaminasi dan radang.
(Sjamsuhidajat, 2007).
Komplikasi parah diverticulitis yang mencakup perforasi kolon,
perdarahan tak terkendali, fstula dan obstruksi merupakan
indikasi intervensi bedah gawat darurat. Proses peradangan
dalam

diverticulitis

abdomen

sekeliling

akuta

bisa

dilokalisir

oleh

atau

bisa

berpenetrasi

peritoneum

kedalamorgan

berdekatan. Jika proses ini tampak tampak local tanpa bukti
peritonitis yang menyebar maka diindikasikan terapi non bedah
intensif. Pengisapan nasogaster bagi distensi dan cairan intravena
untuk pemeliharaan hidrasi dan keseimbangan elektrolit bersifat
penting.

Antibiotika

berspektrum

luas,

biasanya

mencakup

ampisilin dan gentamisin, diberikan secara sistemik. Sering abses
hilang dengan terapi demikian serta laksatif yang menyerap air
dan bertindak sebagai masa didalam kolon, dan diet yang tepat
bisa mencegah serangan lebih lanjut. (Sabiston, 1994)
Menetap

atau

membesarnya

masa

peradangan

bersama

demam, peningkatan nyeri dan nyeri tekan, lekositosis serta
tanda sepsis mengaharuskan intervensi bedah segera. Jika masa
peradangan tak dapat disingkirkan, maka biasanya dilakukan
kolostomi pengalihan. Hal ini merupakan penatalaksanaan klasik
perforasi dan jika digunakan mungkin dapat dianjurkan untuk
menempatkan kolostomi serendah mungkin, lebih disukai dalam
kolon desenden atau kolon sigmoideum untuk memungkinkan
evakuasi melalui kolostomi dan mencegah peradangan lebih lanjut
pada tempat abses. Abses juga didrainase serentak, terapi

12

suportif intensif diteruskan dan reseksi dapat dilakukan secara
terencana

6-8

minggu

kesinambungan.

Akhirnya

sebagai

ketiga.

operasi

kemudian

dengan

pembukaan
Ini

adalah

pemulihan

kolostomi

terapi

dilakukan

tradisional

bagi

diverticulitis perforate dengan peritonitis yang dianjurkan dimasa
lampau.

Pendekatan

ini

memerlukan

tiga

operasi

dengan

konvalensensi lama dan peningkatan mortalitas total. Biasanya
kolon yang terlibat direseksi dengan drainasi abses dan kolostomi
proksimal

dengan

penutupan

kolon

sigmoideum

distal.

Reanastomosis terencana pada kolon dilakukan 6-8 minggu
kemudian. Reseksi segera dan anstomosis ujung ke ujung tanpa
pembuatan kolostomi penglihatan telah dianjurkan dalam pasien
terpilih dan merupakan tindakan yang dapat diterima. (Sabiston,
1994).
Penanganan

diverticulitis

Menurut

Brunner

(2016),

penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
:
a. Diverticulitis biasanya ditangani dengan rawat jalan, berupa
pemberian

medikasi

dan

diet,

gejala

ditangan

dengan

istirahat,analgesic, dan antispasmedik.
b. Pasien dianjurkan untuk minum cairan bening sampai infamasi
mereda, kemudian berikan diet tinggi serat dan rendah lemak.
Antibiotic diresepkan untuk 7-10 hari, dan laksatif pembentuk
bungkal juga diresepkan.
c. Pasien yang menunjukkan gejala berat, dan terkadang pasien
lansia,pasien yang mengalami gangguan imu, atau pasien yang
menggunakan

kortikosteroid

diistirahatkan

dengan

harus

dirawat

menghentikan

inap.

asupan

Untuk
cairan,

memberikan cairan IV dan melakukan pengisapan nasogastric.
d. Antibiotic spectrum luas dan analgesic diresepkan, opioid
diresepkan untuk meredakan nyeri. Asupan oral ditingkatkan

13

setelah gejala reda. Diet rendah serat harus diberikan sampai
tanda-tanda infeksi berkurang.
e. Antipasmodik seperti propantelin bromide dan oksifensiklimina
diresepkan.
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama
Umur

:: terjadi pada klien dengan usia 40tahun, tetapi
lebih banyak pada klien yang berusi >60tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki memiliki resiko yang sama
Suku
Alamat

:: Lebih banyak terjadi di Negara industri seperti
Amerika Serikat dan Eropa Barat

b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Klien datang dengan keluhan nyeri didaerah abdomen.
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan gejala devertikulum biasanya merasakan
nyeri hebat dibagian perut yang terinfeksi.
3. Riwayat penyakit dahulu
Memiliki riwayat nyeri perut sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga
Salah satu keluarga memiliki riwayat devertikular disease
c. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami penurunan nafsu makan karena klien
akan muntah bila makan.
2. Pola aktivitas.
Aktivitas klien akan terbatasi karena klien kehilangan
sebagian energy akibat susah makan.

14

3. Pola istirahat dan tidur.
Terjadi perubahan pola tidur karena kadang klien
merasakan nyeri.
4. Pola eliminasi
Seseorang yang mengalami divertikulum sebagian besar
mengalami kesulitan dalam pola eliminasi.
5. Pola hubungan peran
Hubungan dan peran klien dalam keluarga mengalami
perubahan karena adanya perubahan kenyamanan pada
klien.
6. Pola penanggulan stress
Biasanya klien merasa cemas dan stress karena keadaan
penyakitnya.
7. Pola tata nilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah klien sedikit terganggu dengan
adanya nyeri pada abdomen.
8. Pola fungsi dan seksualitas
Reproduksi klien dalam batas normal
d. Observasi dan pemeriksaan fsik
1. Keadaan umum
Kesadaran composmentis, tampak lemah
2. Tanda-tanda vital
Nadi

: takikardi

Suhu

: Hipertermi, jika terkena infeksi

TD

: Hipertensi karena ansietas terhadap nyeri

3. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : simetris, tidak terdapat luka, tidak ada benjolan,
kulit kepala bersih.
Rambut

: tidak ketombe

Muka

: tampak sayu, tidak ada luka

Mata

: penglihatan normal, konjungtiva tidak enemis

Hidung : bentuk simetris tidak terdapat secret

15

Mulut

: bibir agak kering, tidak bau, lidah tidak kotor.

Leher

: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.

4. Pemeriksaan thorax
Bentuk normal tidak ada kelainan, paru suara dan nafas
normal tidak ada suara tambahan,jantung teratur tidak ada
suara tambahan
5. Pemeriksaan abdomen
Terjadi ketegangan pada abdomen sehingga sulit untuk
BAB
6. Pemeriksaan ektremitas
Ekstremitas tidak ada kelainan
7. Pemeriksaan integumen
Kulit kering tidak ada kelainan
8. Pemeriksaan genetalia
Keadaan genetalia bersih
9. Pemeriksaan neurologi
System syaraf normal
e. Pemeriksaan diagnostic
1. Sinar-X abdomen
2. Enema barium
3. CT scan
4. Test laboratorium
5. kolonoskopi
3.2 Diagnosa
Data
Etiologi
Ds: klien mengeluh Penahanan/
nyeri pada perut.
Do:

Klien

gelisah

penonjolan

tampak pada

keluar

mukosa

sub

Masalah
Nyeri akut
dan

mukosa

disaluran
gastrointestinal.
16

Ds: klien mengeluh Penyempitan
kembung

pada sekunder

kolon Gangguan BAB
akibat (Konstipasi)

abdomen,

penebalan

merasa mual.

otot dan struktur.

Do:

perut

klien

buncit,

agak

keras
Ds:

Klien Penurunan

mengatakan

makan

makan.

nafsu ketidakseimbangan
terhadap nutrisi kurang dari

mual, tidak nafsu nyeri
Do:

segmen

ditandai kebutuhan tubuh.

dengan

klien

hanya

lemas, makan 3-4 sendok.

lesu, porsi makan
hanya

3-4

sendok.
Ds:

klien Gangguan pola tidur Gangguan pola tidur

mengatakan
tidak

bisa

karena

berhubungan
tidur dengan nyeri pada

merasa abdomen

nyeri.

ditandai

yang
klien

Do:klien gelisah
Ds : klien cemas,

gelisah.
Ansietas yang

penyakitnya

berhubungan

tidak sembuh

dengan nyeri yang

sembuh

tidak sembuh

Ansietas

Do : klien tampak sembuh ditandai
cemas
Ds : Klien

klien tampak cemas
Hipertermia yang

merasakan panas

berhubungan

dalam tubuhnya,

dengan dehidrasi

kedinginan.

ditandai dengan

Do: Suhu 39oC, nadi suhu tubuh 39oC,
cepat

nadi cepat

17

Hipertermia

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri

kronis

yang

berhubungan

dengan

penahanan/

penonjolan keluar pada mukosa dan sub mukosa disaluran
gastrointestinal yang ditandai klien mengeluh nyeri pada
perut, klien tampak gelisah.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi (pembedahan)
ditandai dengan klien Terdapat luka post operasi pada
daerah

kuadran

kiri

bawah.

,Klien meringis kesakitan dan skala nyeri 5
3. Konstipasi yang berhubungan dengan penyempitan kolon
sekunder akibat penebalan segmen otot dan struktur yang
ditandai dengan klien mengeluh kembung pada abdomen,
merasa mual, perut klien buncit, agak keras.
4. Ketidakseimbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

tubuhyang berhubungan dengan penurunan nafsu makan
terhadap nyeri ditandai dengan hanya makan setengah
porsi makan.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan klien
merasakan nyeri pada abdomen ditandai pasien gelisah.
6. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri yang tidak
kunjung sembuh yang ditandai klien tampak cemas.
7. Hipertermia yang berhubungan dengan dehidrasi yang
ditandai dengan suhu tubuh 39oC, nadi cepat
3.3 Intervensi
Diagnosa

Tujuan dan criteria

intervensi

hasil
Nyeri akut

NOC

1. osis optimal.

Pain level

2. Pilih rute pemberian

Pain control

secara IV, IM untuk

Comfort level

pengobatan

Kriteria hasil

teratur.

18

nyeri

1. Mampu

3. Monitor

vital

sign

mengontrol nyeri

sebelum dan sesudah

(tahu

penyebab

pemberian

nyeri,

mampu

menggunakan
teknik

analgesic

pertama kali.
4. Berikan

non

farmakologi

analgesic

tepat
5. waktu terutama saat

untuk

nyeri hebat.

mengurangi

6. Evaluasi

nyeri)

efektivitas

analgesic tanda dan

2. Melaporkan
bahwa

gejala.
nyeri

berkurang
dengan
menggunakan
manjemen nyeri.
3. Mampu
mengenali

nyeri

(skala, intensitas,
frekuensi

dan

tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman
Nyeri kronis

setelah

nyeri berkurang.
NOC
Comfort level

1. Pain Manajemen

Pain control

2.

Pain level

Monitor
kepuasan

Kriteria hasil
1.

NIC

Tidak

terhadap
ada

gangguan tidur
2. Tidak

nyeri3.
ada

19

manajemen
3. Tingkatkan

pasien

gangguan

istirahat dan tidur

konsentrasi

yang adekuat

3.Tidak

ada

4. Kelola

gangguan hubungan
interpersonal

analgetik
5.

pasien

menahan nyeri dan

nyeri

secara

5.

pada

penyebab

6. Lakukan

verbal

tehnik

nonfarmakologis
Tidak

ada

(relaksasi, masase

tegangan otot

Konstipasi

Jelaskan

4. Tidak ada ekspresi
ungkapan

anti

punggung)

NOC

NIC

Bowel elimination

Konstipasi/impaction

Hydration

management

Kriteria hasil

1. Monitor

1. Mempertahankan
bentuk feses.

tanda

dan

gejala konstipasi.
2. Monitor bising usus.

2. Lunak setiap 1-3
hari.

3. Monitor

feses

(frekuensi,

3. Bebas

dari

ketidaknyamanan
dan konstipasi.
4. Mengidentifkasi
indicator

untuk

konsistensi,
volume)

4. Jelaskan etiologi dan
rasionalisasi
tindakan

mencegah

pasien.

konstipasi.

5. Identifkasi

5. Feses lunak dan
berbentuk.

dan

terhadap
faktor

penyebab
konstribusi
konstipasi.
6. Dukung

20

intake

cairan
7. Kolaborasikan
pemberian laksatif.
8. Pantau

tanda-tanda

dan gejala impaksi.
9. Memantau
usus,

gerakan
termasuk

konsistensi
frekuensi,

bentuk,

volume, dan warna.
10. Memantau

bising

usus.
11. Konsultasikan
dengan

dokter

tentang
penurunan/kenaikan
frekuensi

bising

usus.
12. Pantau tanda gejala
pecahnya
usus/peritonitis
13. Jelaskan

etiologi

masalah

dan

pemikiran

untuk

tindakan pasien.
14. Mendorong
meningkatkan
asupan cairan.
15. Evaluasi profl obat
untuk efek samping
gastrointestinal.
16. Anjurkan

21

pasien/keluarga
mencatat

warna,

volume,

frekuensi,

dan konsistensi tinja.
17. Anjurkan

pasien

untuk

tinggi

diet

serat.
18. Anjurkan
pada

pasien

penggunakan

yang tepat dari obat
pencahar.
19. Anjurkan

pasien

pada

hubungan

asupan

diet,

olahraga, dan cairan
sembelit/impaksi.
20. Timbang BB pasien
Ketidakseimba

NOC

secara teratur.
NIC

ngan nutrisi

1. Nutrisional status

Nutrision

kurang dari

2. Intake

management

kebutuhan

3. Weight control

1. Kaji

tubuh

Kriteria Hasil

adanya

alergi

makanan.

1. Adanya

2. Kolaborasi

peningkatan berat

ahli

badan

menentukan jumlah

sesuai

tujuan.

kalori

2. Berat badan ideal
sesuai

tinggi

badan.

gizi

dengan

dan

yang

nutrisi

dibutuhkan

pasien.
3. Anjurkan

3. Mampu

untuk

pasien

untuk meningkatkan

mengidentifkasi

22

protein dan vitamin

kebutuhan nutrisi.

C

4. Tidak ada tanda-

4. Berikan

tanda malnutrisi.

gula.

5. Menunjukkan

substansi

5. Yakinkan diet yang

peningkatan

dimakan

fungsi

mengandung

tinggi

serat

untuk

pengecapan

dan

menelan.

mencegah

6. Tidak

terjadi

penurunan

berat

badan

yang

berarti.

konstipasi.
6. Berikan

makanan

yang terpilih.
7. Monitor

jumlah

nutrisi

dan

kandungan kalori.
8. Berikan

informasi

tentang

kebutuhan

nutrisi.
9. Kaji

kemampuan

pasien

untuk

mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. BB

pasien

dalam

batas normal.
2. Monitor

adanya

penurunan

berat

badan.
3. Monitor
jumlah
yang

tipe

dan

aktivitas
biasa

dilakukan.
4. Monitor

23

interaksi

anak atau orang tua
selama makan.
5. Monitor

lingkungan

selama makan.
6. Monitor kulit kering
dan

perubahan

pigmentasi.
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Monitor

mual

dan

muntah.
10. Monitor

kadar

albumin,

total

protein,

Hb,

dan

kadar Ht.
11. Monitor
pertumbuhan

dan

perkembangan.
12. Monitor

pucat,

kemerahan

dan

kekeringan jaringan
konjungtiva.
13. Monitor

kalori

dan

intake nutrisi.
14. Catat
edema,

adanya
hiperemik,

hipertonik,

papilla

lidah

cavitas

dan

oral.
15. Catat

24

jika

lidah

berwarna

magenta,

scarlet.
Gangguan pola

NOC

NIC

tidur

1. Anxiety reduction

Sleep Enhancement

2. Comfort level

1. Determinasi efek-efek

3. Pain level

medikasi

4. Rest : Extent dan

pola tidur

pattern
5. Sleep

terhadap

2. Jelaskan
:

Extent

danpattern

pentingnya

tidur yang adekuat.
3. Fasilitas

untuk

Kriteria Hasil

mempertahankan

1. Jumlah jam tidur

aktiftas

dalam

batas

normal

sebelum

tidur.

6-8 4. Ciptakan

jam/hari.

lingkungan

yang nyaman.

2. Pola tidur, kualitas 5. Kolaborasi pemberian
dalam

batas

normal.

obat tidur.
6. Diskusikan

3. Perasaan

segar

pasien dan keluarga

sesudah tidur atau

tentang

istirahat.

pasien

4. Mampu

dengan

teknik

tidur

7. Monitor waktu makan

mengidentifkasi

dan

hal-hal yang dapat

waktu tidur.

meningkatkan
tidur.

minum

dengan

8. Monitor/catat
kebutuhan

tidur

pasien setiap hari dan
Ansietas

jam.
NIC

NOC
1. Anxiety

self- Anxiety Reduction

control

1. Gunakan

2. Anxity level

25

pendekatan

yang

3. Koping

menyenangkan.

Kriteria Hasil
1. Klien

2. Nyatakan

mampu

jelas

harapan

mengidentifkasi

terhadap

dan

pasien.

mengungkapkan
gejala cemas.
1. Mengidentifkasi,
mengungkapkan
dan menunjukkan
teknik

untuk

mengontrol

pelaku

3. Jelaskan

semua

prosedur

dan

apa

yang

dirasakan

selama prosedur
4. Pahami

perspektif

pasien

terhadap

situasi stress.

cemas.

5. Temani pasien untuk

2. Vital sign dalam
batas normal.
3. Postur
ekpresi

dan

tubuh,

mengurangi

rasa

wajah,

takut.

aktivitas

menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

memberikan
keamanan

bahasa tubuh dan
tingkat

dengan

6. Lakukan back atau
neck rub.
7. Dorong

keluarga

untuk menemani.
8. Dengarkan

dengan

penuh perhatian.
9. Identifkasi

tingkat

kecemasan
10. Bantu pasien untuk
mengenal
yang

situasi

menimbulkan

kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan,

26

ketakutan,persepsi.
12. Instrusikan

pasien

menggunakan teknik
relaksasi.
13. Berikan obat untuk
mengurangi
Hipertermia

NOC

kecemasan.
NIC

Thermoregulation

Fever treatment

Kriteria hasil

1. Monitor

1. Suhu tubuh dalam
rentang normal.
2. Nadi

dan

sesering mungkin.
2. Monitor IWL

RR 3. Monitor warna dan

rentang normal.
3. Tidak

suhu

suhu kulit.

ada 4. Monitor

perubahan

warna

tekanan

darah, nadi dan RR

kulit dan tidak ada 5. Monitor
pusing

tingkat

penurunan
kesadaran.
6. Monitor

WBC,

Hb,

dan Htc.
7. Monitor intake dan
output.
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan
untuk

mengobati

penyakit demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan

tapid

sponge
12. Kolaborasi
pemberian

27

cairan

intravena.
13. Kompres

pasien

pada lipat paha dan
aksila.
14. Tingkatkan sirkulasi
udara.
15. Berikan pengobatan
untuk

mencegah

terjadinya
menggigil.
Temperature
regulation
1. Monitor

suhu

minimal tiap 2 jam.
2. Rencanakan
monitoring

suhu

secara kontinyu.
3. Monitor TD, nadi dan
RR
4. Monitor warna dan
suhu kulit.
5. Monitor

tanda

hipertermi

dan

hipotermi.
6. Tingkatkan

intake

cairan dan nutrisi.
7. Selimuti
untuk

pasien
mencegah

hilangnya
kehangatan tubuh.
8. Ajarkan pada pasien
cara

28

mencegah

keletihan

akibat

panas.
9. Diskusikan

tentang

pentingnya
pengaturan
dan
efek

suhu

kemungkinan
negative

dari

kedinginan.
10. Beritahukan tentang
indikasi

terjadinya

keletihan

dan

penanganan
emergency

yang

diperlukan.
11. Berikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Monitor

TD,nadi,

suhu, dan RR
2. Catat

adanya

fuktuasi

tekanan

darah
3. Monitor
pasien

VS

saat

berbaring,

duduk dan berdiri.
4. Auskultasi TD pada
kedua

lengan

dan

bandingkan
5. Monitor TD,nadi, RR
sebelum selama dan
setelah aktivitas.
6. Monitor
nadi.

29

kualitas

7. Monitor

frekuensi

dan

irama

pernafasan.
8. Monitor suara paru.
9. Monitor

pola

pernafasan
abnormal
10.

Monitor
warna,

suhu,

kelembapan

kulit.
11.

Monitor

sianosis

perifer.
12.

Monitor

adanya

cushing

triad

(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.

Identifkasi
penyebab

dari

perubahan vital sign
3.4 Implementasi
Diagnose
Nyeri akut

Implementasi
Pain management
1. Melakukan

pengkajian

nyeri

secara

komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
durasi,

frekuensi,

kualitas

dan

faktor

presipitasi.
2. Mengobservasi

reaksi

nonverbal

dari

ketidaknyamanan.
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk

mengetahui

30

pengalaman

nyeri

pasien.
4. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri.
5. Mengevaluasi

pengalaman

nyeri

masa

lampau.
6. Mengevaluasi
kesehatan

bersama

lain

pasien

tentang

dan

tim

ketidakefektifan

control nyeri masa lampau.
7. Membantu

pasin

dan

keluarga

untuk

mencari dan menemukan dukungan.
8. Mengkontrol

lingkungan

yang

dapat

mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, dan kebisingan.
9. Mengurangi faktor presipitasi nyeri.
10. Memilih dan melakukan penanganan nyeri
(farmakologi,non

farmakologi

dan

interpersonal)
11. Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentuka intervensi.
12. Mengajarkan teknik non farmakologi.
13. Memberikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
14. Mengevaluasikeefektifan control nyeri.
15. Meningkatkan istirahat.
16. Memonitor

penerimaan

pasien

tentang

manajemen nyeri.
Analgesic administration.
1. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajad nyeri sebelum pemberian
obat.
2. Memilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesic ketika pemberian

31

lebih dari satu.
3. Menentukan pilihan anlgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.
4. Menentukan

analgesic

pilihan,

rute

pemberian dan dosis optimal.
5. Memilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri teratur.
6. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesic pertama kali.
7. Memberikan

analgesic

tepat

waktu

terutama saat nyeri hebat.
8. Mengevaluasi efektivitas analgesic tanda
Nyeri kronis

dan gejala.
1. manajemen nyeri klien
2.

Memonitor

kepuasan

pasien

terhadap

manajemen nyeri
3.

Mingkatkan

istirahat

dan

tidur

yang

adekuat pada klien
4. Mengelola anti analgetik
5. Menjelaskan pada pasien penyebab nyeri
6.

Melakukan

tehnik

nonfarmakologis

(relaksasi, masase punggung)
Konstipasi

Konstipasi/impaction management
1. Memonitor tanda dan gejala konstipasi.
2. Memonitor bising usus.
3. Memonitor feses (frekuensi, konsistensi,
dan volume)
4. Menjelaskan

etiologi

dan

rasionalisasi

tindakan terhadap pasien.
5. Mengidentifkasi

faktor

konstribusi konstipasi.

32

penyebab

6. Mendukung intake cairan
7. Mengkolaborasikan pemberian laksatif.
8. Memantau

tanda-tanda

dan

gejala

impaksi.
9. Memantau

gerakan

usus,

termasuk

konsistensi frekuensi, bentuk, volume, dan
warna.
10. Memantau bising usus.
11. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang
penurunan/kenaikan frekuensi bising usus.
12. Memantau

tanda

gejala

pecahnya

usus/peritonitis
13. Menjelaskan

etiologi

masalah

dan

pemikiran untuktindakan pasien.
14. Mendorong meningkatkan asupan cairan.
15. Mengevaluasi

profl

obat

untuk

efek

samping gastrointestinal.
16. Menganjurkan pasien/keluarga mencatat
warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
17. Menganjurkan pasien untuk diet tinggi
serat.
18. Menganjurkan pasien pada penggunakan
yang tepat dari obat pencahar.
19. Menganjurkan

pasien

pada

hubungan

asupan diet, olahraga, dan cairan sembelit/
impaksi.
Keseimbangan

20. Menimbang BB pasien secara teratur.
Nutrision management

nutrisi kurang

1. Mengkaji adanya alergi makanan.

dari kebutuhan

2. Mengkolaborasikan

tubuh

dengan

ahli

gizi

untukmenentukan jumlah kalori dannutrisi

33

yang dibutuhkan pasien.
3. Menganjurkan pasien untuk meningkatkan
protein dan vitamin C.
4. Memberikan substansi gula.
5. Meyakinkan

diet

yang

dimakan

mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
6. Memberikan makanan yang terpilih.
7. Memonitor jumlah nutrisi dan kandungan
kalori.
8. Memberikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi.
9. Mengkaji

kemampuan

pasien

untuk

mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. Menimbang

BB

pasien

dalam

batas

penurunan

berat

normal.
2. Memonitor

adanya

badan.
3. Memonitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan.
4. Memonitor interaksi anak atau orang tua
selama makan.
5. Memonitor lingkungan selama makan.
6. Memonitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi.
7. Memonitor turgor kulit
8. Memonitor kekeringan, rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Memonitor mual dan muntah.
10. Memonitor kadar albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht.

34

11. Memonitor

pertumbuhan

dan

perkembangan.
12. Memonitor

pucat,

kemerahan

dan

kekeringan jaringan konjungtiva.
13. Memonitor kalori dan intake nutrisi.
14. Mencatat

adanya

edema,

hiperemik,

hipertonik, papilla lidah dan cavitas oral.
15. Mencatat jika lidah berwarna magenta,
Gangguan pola

scarlet.
Sleep Enhancement

tidur

1. Mendeterminasi

efek-efek

medikasi

terhadap pola tidur
2. Menjelaskan

pentingnya

tidur

yang

adekuat.
3. Memfasilitasi

untuk

mempertahankan

aktiftas sebelum tidur.
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman.
5. Mengkolaborasikan pemberian obat tidur.
6. Mendiskusikan

dengan

pasien

dan

keluarga tentang teknik tidur pasien
7. Memonitor

waktu

makan

dan

minum

dengan waktu tidur.
8. Memonitor/mencatat
Ansietas

kebutuhan

pasien setiap hari dan jam.
1. Mengggunakan
pendekatan

tidur
yang

menyenangkan.
2. Menyatakan

dengan

jelas

harapan

prosedur

dan apa

terhadap pelaku pasien.
3. Menjelaskan semua

yang dirasakan selama prosedur
4. Menjelaskan perspektif pasien terhadap
situasi stress.

35

5. Menemani

pasien

untuk

memberikan

keamanan dan mengurangi rasa takut.
6. Melakukan back atau neck rub.
7. Mendorong keluarga untuk menemani.
8. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
9. Mengidentifkasi tingkat kecemasan
10. Membantu pasien untuk mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
11. Mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan,persepsi.
12. Menginstrusikan

pasien

menggunakan

teknik relaksasi.
13. Memberikan
Hipertermia

obat

untuk

mengurangi

kecemasan.
Fever treatment
1. Memonitor suhu sesering mungkin.
2. Memonitor IWL.
3. Memonitor warna dan suhu kulit.
4. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
5. Memonitor tingkat penurunan kesadaran.
6. Memonitor WBC, Hb, dan Htc.
7. Memonitor intake dan output.
8. Memberikan antipiretik.
9. Memberikan pengobatan untuk mengobati
penyakit demam.
10. Menyelimuti pasien.
11. Melakukan tapid sponge.
12. Mengkolaborasikan

pemberian

cairan

intravena.
13. Mengkompres pasien pada lipat paha dan
aksila.
14. Meningkatkan sirkulasi udara.

36

15. Memberikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil.
Temperature regulation
1. Memonitor suhu minimal tiap 2 jam.
2. Merencanakan

monitoring

suhu

secara

kontinyu.
3. Memonitor TD, nadi dan RR.
4. Memonitor warna dan suhu kulit.
5. Memonitor tanda hipertermi dan hipotermi.
6. Meningkatkan intake cairan dan nutrisi.
7. Menyelimuti

pasien

untuk

mencegah

hilangnya kehangatan tubuh.
8. Mengajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas.
9. Mediskusikan

tentang

pentingnya

pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negative dari kedinginan.
10. Memberitahukan
terjadinya

tentang

keletihan

dan

indikasi
penanganan

emergency yang diperlukan.
11. Memberikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Memonitor TD,nadi, suhu, dan RR
2. Mencatat adanya fuktuasi tekanan darah
3. Memonitor

VS

saat

pasien

berbaring,

duduk dan berdiri.
4. Melakukan

auskultasi

TD

pada

kedua

lengan dan bandingkan
5. Memonitor TD,nadi, RR sebelum selama
dan setelah aktivitas.
6. Memonitor kualitas nadi.
7. Memonitor

37

frekuensi

dan

irama

pernafasan.
8. Memonitor suara paru.
9. Memonitor pola pernafasan abnormal.
10.Memonitor suhu, warna, kelembapan kulit.
11.Memonitor sianosis perifer.
12.Memonitor adanya cushing triad (tekanan
nadi

yang

melebar,

bradikardi,

peningkatan sistolik)
13.Mengidentifkasi penyebab dari perubahan
vital sign
3.5 Evaluasi
Data
Nyeri akut

Evaluasi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian

Nyeri kronis

P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
P: nyeri karena adanya penonjolan
Q : seperti ditusuk-tusuk
R : kuadran kiri bawah
S : skala nyeri 5
T : hilang timbul
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian

Konstipasi

P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan sudah lancer BAB
O : feses lunak
A : masalah teratasi

Ketidakseimba

P : Anjurkan makan diet tinggi serat
S : klien mengatakan sudah nafsu makan dan

38

ngan nutrisi

tidak mual.

kurang dari

O : Porsi makan penuh dihabiskan

kebutuhan

A : Masalah teratasi

tubuh
Gangguan pola

P : anjurkan tetap makan meskipun mual.
S : Klien mengatakan sudah bisa tidur

tidur

O : Klien tidur
A : Masalah teratasi

Ansietas

P : Anjurkan tetap rileks
S : Klien mengatakan sudah tidak gelisah
O : Klien tampak tenang
A : Masalah teratasi

Hipertermia

P : Anjurkan tetap rileks
S : klien mengatakan suhu tidak panas lagi
O : Suhu tubuh normal
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan banyak minum

39

BAB 4. PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Divertikula merupakan penonjolan berbentuk kantung dari
dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa millimeter
sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya merupakan
manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum dapat terjadi
di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal. Biasanya
penyakit ini disebakan karena klien mengkonsumsi rendah serat.
Penyakit divertikula ini sering terjadi di amerika serikat,mayoritas
penyakit divertikulaini menyerang pada usia lansia >80 tahun.
4. 2 Saran
Memperhatikan
penting,

agar

nutrisi

system

yang

kita

pencernaan

konsumsi

kita

tidak

sangatlah
mengalami

gangguan seperti penyakit divertikula. Oleh karena itu, sebelum
makan kita harus memperhatikan kandungan dalam makanan.
Upaya yang dapat kita lakukan

untuk menghindari penyakit

divertikula adalah mengkonsumsi makanan yang tinggi serat,
terutama bagi lanjut usia karena penyakit ini mudah menyerang
kepada usia lanjut.

40

41

DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth.2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Carpenito – moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.
Doenges, Marilyn E, dkk.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.
Pierce,A,.Grace,.Neil R. Borley,.2006. At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta : EGC
Tambayong, Jan,2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Sabiston, & David. 2000. Buku Teks Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC
Schwartz. 2007. Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT
15.EGC.Jakarta.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YA NG B E R P E N G A R UH HAS IL T AN GK A P AN I K A N, M ODAL K E RJA , JUM L AH T E NA G A KE RJA , JAR A K T E M PUH K E RJA , TE RHAD AP P E N DA P ATAN NEL AY AN IK A N DI K E CA M ATAN UJU N G P AN GK AH K ABU PATE N G RES IK

0 67 15

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Analisis Proses Pembelajaran Siswa Tunanetra Dalam Memahami Segiempat Di SMPLB-A Taman Pendidikan Dan Asuhan Jember Dan Kaitannya Dengan Tingkat Berpikir Geometri Van Hiele; Yantin Wijayanti Putri, 070210101008

0 17 17

Hubungan Religiusitas dengan happiness pada remaja panti Asuhan

7 62 93

Pola pengasuhan anak terlantar di Panti Sosial Asuhan Anak Putra Utama 4 Ceger Cipayung Jakarta Timur

5 36 134

Pola komunikasi antara guru dan murid dalam kegiatan ekstra kurikuler di Panti Asuhan Yatim Piatu Al-Andalusia Mampang Prapatan Jakarta Selatan

1 27 63

Pelayanan Kesejahteraan Sosial Terhadap Anak Terlantar Di Panti Sosial Asuhan Anak (Psaa) Putra Utama 03 Tebet Jakarta Selatan

6 123 220

Analisis dan perancangan sisttem informasi data donatur dengan menggunakan borland delphi di Pusat Asuhan Permata Insani Jl.Pualam PLN No.10 Surlayala Buah Batu Bandung : laporan kerja praktek

0 13 53

CARA PEMBENTUKAN KEMANDIRIAN DI PANTI ASUHAN (Studi di Panti Asuhan AL-Muttaqin Kecamatan Muaradua Kabupaten OKU Selatan)

3 35 66

Hubungan Asuhan Antenatal dengan Preeklampsia di RSUP M. Djamil Padang periode 1 Januari 2013 – 31 Desember 201

0 0 5