Asuhan keperawatan diverticular disease. CA
ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE
MAKALAH
oleh
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017
ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE
MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah dengan dosen
pengampu Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB
oleh :
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan
rahmat
menyelesaikan
Diverticular
dan
makalah
Disease”.
karunianya,sehingga
yang
Makalah
berjudul
ini
penulis
“Asuhan
disusun
dapat
Keperawatan
berdasarkan
untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari kontribusi
berbagai pihak. Oleh karenaitu,penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen mata kuliah
keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember.
2. Semua
pihak
yang
secara
tidak
langsung
membantu
terciptanya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Jember, Mei 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
PRAKATA ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Pengertian ....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................... 3
2.3Etiologi............................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi......................................................................................... 6
2.5 Phatogenesis..................................................................................... 6
2.6Phatofisiologi..................................................................................... 7
2.7Manifestasi klinis.............................................................................. 7
2.8PemeriksaanPenunjang................................................................... 9
2.9Penatalaksanaan medis.................................................................... 9
BAB 3.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN...........................................13
3.1 Pengkajian........................................................................................13
3.2 Diagnosis..........................................................................................20
3.3 Intervensi..........................................................................................21
3.4Implementasi.....................................................................................23
3.5Evaluasi.............................................................................................23
iv
BAB 4.PENUTUP...........................................................................................24
4.1 Simpulan .........................................................................................24
4.2 Saran ................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit deverticular disease merupakan penyakit yang berhubungan dengan
pola makan dan asupan gizi pada tubuh. Penyakit deverticular disease terjadi karena
perubahan pola makan akubat dari konsumsi jenis makanan yang mengandung banyak
serat ke jenis makanan yang kurang mengandung banyak serat. Prevalensi
deverticula disease berjumlah 75% dari jumlah populasi di Amerika
Serikat yang berusia diatas 80 tahun. Prevalensi tersebut meningkat
secara drastis seiring dengan menurunnya asupan makanan berserat
tinggi. (Schwartz, 2007). Berdasarkan survey lapangan didapatkan
hasil prevalensi penyakit divertikula diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30%pada usia 60 tahun, dan
menjadi sebesar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu meliputi
pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula tersebut
banyak muncul di negara yang tinggi terhadap industrialisasi seperti
Amerika
Serikat
dan
Eropa
Barat
daripada
Negara
dengan
industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.
(Sabiston,
divertikulosis
2000).
Diperkirakan
melibatkan
kolon
90-95%
sigmoid,
penderita
dan
65%
dengan
penderita
mempunyai penyakit yang terbatas hanya terbatas pada kolon
sigmoid. Sebaliknya, hanya 2-10% penderita mempunyai penyakit
yang
terbatas
pada
colon
asenden
atau
transversum.
(Sabiston,2000).
Deverticular
disease
merupakan
penyakit
karena
adanya
peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi otot
kolon (Painter, 2013). Terbukti dengan penelitian penderita divertikula
dapat menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap stimuli
hormonal sehingga kontraksi otot kolon yang
1
abnormal tersebut
menyebabkan
peningkatan
tekanan
intraluminal
dengan
hipertrof otot polos dan pembentukan divertikula.
akibat
Divertikulum
sering disebut dengan istilah herniasi usus besar yang menyerupai
kantung yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu.
(Brunner, 2016). Penyakit ini disepabkan karena kurangnya supan
serat pada tubuh, misalnya diet tinggi lemak. Kebanyakan diera
modern
ini
masyarakat
dunia
termasuk
di
Indonesia
kurang
memperhatikan asupan serat bagi tubuh dalam memenuhi nutrisi
seharai-hari. Sehingga perlu adanya penyuluhan dan deteksi dini
terkait penyakit diverticular disease ini.
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian divertikular disease ?
1.2.2
Bagaimana epidemiologi divertikular disease ?
1.2.3
Bagaimana etiologi dari divertikular disease ?
1.2.4
Bagaimana klasifkasi divertikular disease ?
1.2.5
Bagaimana pathogenesis divertikular disease ?
1.2.6
Bagaimana patofsiologi divertikular disease ?
1.2.7
Bagaimana manifestasi klinis divertikular disease ?
1.2.8
Bagaimana pemeriksaan penunjang divertikular disease ?
1.2.9
Bagaimana penatalaksanakan medis divertikular
disease ?
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Diverticular
disease.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis Divertikular disease.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
Divertikular disease, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi
Deverticular
disease
merupakan
penyakit
karena
adanya
peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi
otot kolon (Painter, 2013). Divertikular disease yaitu adanya divertikel
semu multiple, tidak bergejala pada 80% penderita. Divertikulitis
adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau dengan perforasi.
(Sjamsuhidajat, 2007).
Gambar 2.1.1 Diverticular disease
Divertikular
disease
merupakan
penyakit
pada
saluran
pencernaan yang timbul karena adanya penonjolan berbentuk
kantung dari dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa
3
millimeter sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya
merupakan manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum
dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal.
(Sabiston, 2000). Divertikular disease adalah penyakit yang terjadi
karena adanya herniasi pada kolon yang menyerupai kantung
yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu. (Brunner,
2016).
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian devertikular disease
diatas dapat disimpulkan bahwa deverticular sisease merupakan
gangguan pada pencernaan yang terjadi di divertikula karena
kontraksi
pada
otot
kolon,
biasanya
ditemukan
penonjolan
berbentuk kantung di dinding kolon.
2.2Epidemiologi
Berdasarkan survey penyakit tidak menular ditemukan jumlah
prevalensi dari divertikular disease diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30% pada usia 60 tahun,
dan menjadi besar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu
meliputi pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula
tersebut
banyak
muncul
di
negara
yang
tinggi
terhadap
industrialisasi seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat daripada
Negara dengan industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia. (Sabiston, 2000)
2.3Etiologi
Deverticular disease biasanya disebabkan kan kare kurangnya
supan serat pada tubuh. Penyebab timbulnya divertikula diduga
karena faktor makanan. Penelitian klinik dan eksperimental telah
melibatkan
diet-rendah-serat
sebagai
faktor
radiologic
yang
menonjol. Diet yang kurang serat sayuran diduga merupakan
predisposisi untuk timbulnya divertikula akibat motilitas kolon
terganggu.
Terdapat
bukti
bahwa
penderita
divertikula
menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap makanan dan
4
stimuli hormonal.
otot abnormal ini diduga menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal dengan akibat hipertrof otot
polos dan pembentukan divertikula. Secara anatomi, divertikula
membentuk titik”lemah” dimana pembuluh darah nutrient (vasa
recta) menembus lapisan otot sirkular ke mukosa. “perforasi”
pembuluh
darah
ini
cenderung
menembus
dinding
kolon
sepanjang tepi mesenteric kedua taenia antimesentrik. Divertikula
dapat terjadi dilokasi manapun diusus kecil maupun kolon
sigmoid. Diverkulosis terjadi apabila terdapat beberapa divertikula
tanpa disertai infamasi atau gejala. Kasus ini paling sering
dijumpai pada lansia usia lebih dari 80 tahun. Asupan rendah
serat diet yang rendah merupakan faktor predisposisi utama.
Divertikulitis terjadi ketika makanan dan bakteri yang tertahan
didalam divertikulum menyebabkan infeksi dan infamasi yang
dapat menghambat pengeluaran cairan dan mengakibatkan
perforasi atau abses. Diverticulitis dapat terjadi dalam bentuk
serangan akut atau sebagai infeksi kronis yang terpendam.
Predisposisi kemungkinan bersifat congenital apabila gangguan
muncul pada individu berusia dibawah 40 tahun. (Brunner, 2016)
Divertikulum yang didapat merupakan pembentukan kantong
keluar
yang
diinduksi
tarikan
pada
dinding
kolon,
yang
berkembang dalam pola agak klasik dalam dua baris diantara
tenia, melalui cacat dalam stratum sirkularis tunika muskularis
pada tempat masuknya pembuluh darah. Perkembangannya
berhubungan dengan area lokalista tekanan intralumen yang
tinggi diantara cincin kontraksi haustra. Divertikulosis mempunyai
predileksi bagi kolon sigmoideum dan descenden distalis dalam
sekitar 80% pasien. Divertikulosis jarang timbul didalam rectum
dan kadang terlihat pada sisi kanan. Divertikulosis terutama
mengenai masyarakat beradab dan kurangnya bagian kasar diet
bisa
berperanan
sebagai
penyebab.
5
Faktor
lain
mencakup
penuaan, obesitas, sifat genetika, dan konstipasi kronis. (Sabiston,
1994)
2.4Klasifikasi
2.4.1 Divertikulosis
Diverticulosis merupakan gangguan perncernaan karena adanya penonjolanpenonjolan deverticula di usus besar, sehingga menyebabkan perdarahan pada usus
besar. Perdarahan dapat diduga akan terjadi pada 15% penderita dengan
divertikulosis, dan penyakit divertikula merupakan penyebab bagi 30-50%
perdarahan kolon massif. Perdarahan divertikula timbul dari kolon kanan pada 7090% penderita, dan 70% penderita dengan perdarahan divertikula akan berhenti
spontan. (Sabiston, 2000).
2.4.2 Divertikulitis
Diverticulitis dapat terjadi karena diverkulosis yang sudah parah dan tidak
segera diatasi karena diverticulum pecah dan infeksi set di sekitar divertikulum
tersebut, kondisi tersebut disebut dengan diverticulitis.
Istilah divertikulitis
menyatakan inflamasi satu atau lebih divertikula dan menggambarkan, pada tingkat
anatomic, perforasi divertikulum kedalam ruang perikolik. Penderita diverticulitis
dengan komplikasi menimbulkan masalah seperti obstruksi kolon, pembentukan
abses, perforasi bebas, atau fistulisasi. (Sabiston, 2000)
2.5Patogenesis
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan dikolon,
khususnya disigmoid. Divertikel kolon adalah divertikel palsu
karena terdiri dari mukosa yang menonjol melalui lapisan otot
seperti hernia kecil. Di vertikel sejati jarang ditemukan dikolon.
Divertikel ini disebut divertikel pulsi (pukulan) karena disebabkan
oleh tekanan tinggi dibagian usus distal ini. Besarnya berkisar
antara beberapa millimeter – 2 sentimeter; leher divertikel atau
pintunya biasanya sempit tetapi mungkin lebar. Kadang terbentuk
fekolit (batu tinja) didalamnya. Pada orang barat 95% divertikel
kolon terdapat disigmoid. Divertikel soliter disekum atau divertikel
6
multiple dikolon asendens, yang jarang ditemukan, biasanya
terdapat pada orang asia. (Sjamsuhidajat, 2007)
Pathogenesis
didinding
dipengaruhi
sigmoid.
tekanan
Tekanan
intralumen
intraluminer
dan
defek
bergantung
pada
kepadatan feses yang meningkat bilakekurangan serat. Defek
kecil
dilapisan
otot
dinding
usus
ditemukan
pada
tempat
keluarnya arteri ke apendiks epiploika. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.6Patofisiologi/patologi
Divertikulosis menunjukkan kehadiran divertikulum didalam
kolon dan keadaan patologi terlazim dengan lesi ini adalah
diverticulitis. Merupakan suatu keadaan peradangan yang timbul
setelah obstruksi leher divertikulum oleh tinja dan kadang-kadang
barium. Proses ini menyebabkan penyempitan kolon dan bisa
berlanjut ke obstruksi lengkap yang meniru manifesti klinis
karsinoma. Perdarahan gastrointestinal bawah yang massif bisa
mengikuti ulserasi didalam divertikulum. Abses, fstula atau
perforasi sering mengkomplikasi perjalanan diverticulitis, sering
dengan perikolitis dan edema mesentrium. (Sabiston, 1994)
Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Divertikula kolon
merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada
perut. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan ialah pecahnya
secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri
marginal
pada
kubah
divertikulum
atau
pada
margin
antimesenterikus. Divertikula paling sering terletak pada kolon
sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya disebabkan oleh
faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan
abrasi
dari
pembuluh
darah,
sehingga
terjadi
perdarahan.
Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih banyak dan
menghasilkan volume yang lebih besar daripada divertikula sisi
sebelah kiri. Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang
terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak
7
atau leher dari divertikulum tersebut. Divertikula yang terletak
pada sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari
vasa recta menjadi luka, karena mereka memiliki bagian leher
yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar dibandingkan
dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.
Pathway
Penurunan kekuatan otot
dalam dinding kolon
Peningkatan tekanan
intraluminal
Volume kolon
rendah serat
Hipertrofi muskuler
Herniasi lapisan mukosa
dan submukosa
Divertikulum
Obstruksi
Inflamasi
Inflamasi menyebar ke
dinding
Inflamasi menimbulkan
erosi pembuluh darah
arterial
Abses
perdarahan
peritonitis
8
2.7Manifestasi Klinis
Divertikulum kolon tanpa gejala,kecuali bila dikomplikasi oleh
mikroperforasi dan infeksi, diverticulitis atau perdarahan rectum
tanpa nyeri. Diverticulitis akut mengikuti perforasi dan fekalit
yang terperangkap mengerosi mukosa serta memungkinkan
infeksi menyebar ke dinding usus berdekatan. Manifestasi klinis
diverticulitis
mencakup
nyeri
dan
nyeri
tekan
abdomen,
konstipasi, distensi ringan, demam, dan lekositosis. Masa didalam
abdomen, rectum atau vagina biasanya dapat dipalpasi serta juga
bisa timbul diare. Gejala iritasi vesika urinaria karena piuria
(frekuensi, disuria, dan urgency) sering disebabkan oleh masa
peradangan yang mengenai vesika urinaria atau perkembangan
fstula kedalam vesika urinaria. Perdarahan dari divertikulum
timbul sebagai perdarahan rectum mendadak berwarna merah tua
atau merah terang. Biasanya tanpa nyeri atau bisa disertai
dengan kram ringan. Kadang perdarahan bisa massif, yang
menyebabkan
divertikulum
Diagnosis
syok
jarang
banding
peradangan,
sigmoideum
hemoragik
timbul
dan
berbagai
kematian.
menyertai
mencakup
karsinoma
atau
apendisitis,
ovarium,
jenis
diverticulitis
penyakit
prostatitis,
colitis
Perdarahan
akuta.
adneska
karsinoma
peradangan,iskemik,
infeksiosa. Jika kolon sigmoideum berlebihan danmelipat kearah
kuadran kanan bawah, maka diverticulitis dalam area ini dapat
meniru apenditis. Enema barium adalah pemeriksaan diagnostic
yang penting, tetapi biasanya ditunda selama stadium akuta.
Setelah serangan akuta mereda,maka dilakukan persiapan usus
dengan enema pembersihan yang lembut daripada dengan
laksatif. Criteria radiograf bagi diagnosis diverticulitis akuta telah
berubah dalam tahun belakang ini. Pola gigi gergaji bergerigi
9
tajam dengan divertikulum dalam penyempitan lumen, criteria
yang lazim digunakan dimasa lampau, tidak lagi merupakan bukti
peradangan yang tepat. (Sabiston, 1994)
Obstruksi
bisa
mengikuti
diverticulitis
kronika,
penebalan
peradangan, fbrosis, dan tekanan dari abses perikolika. Kecuali
respon klinis terhadap terapi non bedah segera didapat, maka
pendekatan operasi yang serupa dengan yang digunakan bagi
diverticulitis akuta dengan abses, diindikasikan. (Sabiston, 1994).
Perforasi kolon yang disertai dengan abses jarang terjadi, tetapi
kadang-kadang terihat menyertai terapi kortikoseroid. Tanda
sepsis dan syok bisa ditutup sementara waktu oleh steroid dan
tingginya indeks kecurigaan penting dalam membuat diagnosis.
Eksisi segera dengan kolostomi penglihatan proksimal merupakan
terapi pilihan. (Sabiston, 1994)
Perdarahan dari divertikulum kolon biasanya berhenti spontan
dan dapat ditangani secara konservatif dengan penggantian darah
sesuai keperluan. Kurang dari 20% pasien dengan perdarahan
divertikulum mengalami perdarahan bermakna yang menetap
atau kambuh. Walaupun divertikulum kolon kanan kurang sering
dibandingkan
kolon
kiri,
bila
ada
tampaknya
mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk berdarah. Perbedaan jelas ini
sebagian
bisa
karena
kebingungan
dengan
malformasi
anteriovenosa didalam kolon kanan.karena malformasi demikian
sulit didiagnosis dengan cara biasa bersama perdarahan yang
menetap
dan
tak
dapat
dispesifkasi,
maka
arteriograf
diindikasikan. Karsinoma kolon dapat menyebabkan perdarahan
massif, tetapi hal tersebut tidak lazim. (Sabiston, 1994).
Divertikulosis yaitu adanya divertikel semu multiple, tidak
bergejala pada 80% penderita. Keluhan dan tanda berupa
serangan nyeri, obstipasi, dan diare oleh gangguan motilitas
sigmoid. Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan local ringan
dan sigmoid sering dapat dan diraba sebagai struktur padat. Tidak
10
ada demam atau leukositosis bila tidak ada radang. Keadaan
umum tidak terganggu dan tanda sistemik juga tidak ada. Pada
foto roentgen barium tampak divertikel dengan spasme local dan
penebalan dinding
yang menyebabkan penyempitan lumen.
(Sjamsuhidajat, 2007)
Menurut brunner, 2016
a. Sering kali tidak terlihat gejala yang bermasalah,konstipasi
kronis kerap mengawali perjalanan penyakit.
b. BAB yang tidak teratur, sesekali disertai diare,mual dan
anoreksia, serta kembung atau distensi abdomen.
c. Kram,ukuran feses menyempit , dan peningkatan konstipasi
atau terkadang obstruksi usus.
d. Kelemahan,keletihan, dan anoreksia.
Diverticulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau
dengan perforasi. Biasanya radang disebabkan oleh retensi feses
didalamnya. Tekanan tinggi dalam sigmoid yang berperan pada
terjadinya divertikel. Perforasi akibat diverticulitis menyebabkan
peridivertikulitis terbatas, abses, atau peritonis umum. Diagnosis
banding terpenting adalah karsinoma kolon kiri atau kelainan
ginekologik. (Sjamsuhidajat,2007)
Menurut brunner, 2016
a. Nyeri akut ringan hingga berat dikuadran kiri bawah.
b. Mual, muntah, demam, menggigil, dan leuositosis.
c. Jika tidak ditangani peritonitis dan septicemia.
2.8Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x dengan barium enema.
b. Endokopi (kolonoskopi) untuk menyingkirkan karsinoma kolon.
c. Laboratorium
2.9Penatalaksanakan Medis
Pada serangan akut dilakukan tindakan konservatif berupa
puasa, pemasangan pipa hisab lambung, infuse, pemberian
11
antibiotic sistemik, dan analgetik. Reseksi bagian kolon yang
mengandung divertikel multiple dapat dikerjakan secara elektif
setelah diverticulitis
menyembuh. Reseksi sigmoid
biasanya
dilakukan dengan cara Hartmann dengan kolostomi sementara.
Cara
ini
dipilih
untuk
menghindari
resiko
tinggi
gangguan
penyembuhan luka anastomosis baru dikerjakan setelah rongga
perut dan lapangan bedah bebas kontaminasi dan radang.
(Sjamsuhidajat, 2007).
Komplikasi parah diverticulitis yang mencakup perforasi kolon,
perdarahan tak terkendali, fstula dan obstruksi merupakan
indikasi intervensi bedah gawat darurat. Proses peradangan
dalam
diverticulitis
abdomen
sekeliling
akuta
bisa
dilokalisir
oleh
atau
bisa
berpenetrasi
peritoneum
kedalamorgan
berdekatan. Jika proses ini tampak tampak local tanpa bukti
peritonitis yang menyebar maka diindikasikan terapi non bedah
intensif. Pengisapan nasogaster bagi distensi dan cairan intravena
untuk pemeliharaan hidrasi dan keseimbangan elektrolit bersifat
penting.
Antibiotika
berspektrum
luas,
biasanya
mencakup
ampisilin dan gentamisin, diberikan secara sistemik. Sering abses
hilang dengan terapi demikian serta laksatif yang menyerap air
dan bertindak sebagai masa didalam kolon, dan diet yang tepat
bisa mencegah serangan lebih lanjut. (Sabiston, 1994)
Menetap
atau
membesarnya
masa
peradangan
bersama
demam, peningkatan nyeri dan nyeri tekan, lekositosis serta
tanda sepsis mengaharuskan intervensi bedah segera. Jika masa
peradangan tak dapat disingkirkan, maka biasanya dilakukan
kolostomi pengalihan. Hal ini merupakan penatalaksanaan klasik
perforasi dan jika digunakan mungkin dapat dianjurkan untuk
menempatkan kolostomi serendah mungkin, lebih disukai dalam
kolon desenden atau kolon sigmoideum untuk memungkinkan
evakuasi melalui kolostomi dan mencegah peradangan lebih lanjut
pada tempat abses. Abses juga didrainase serentak, terapi
12
suportif intensif diteruskan dan reseksi dapat dilakukan secara
terencana
6-8
minggu
kesinambungan.
Akhirnya
sebagai
ketiga.
operasi
kemudian
dengan
pembukaan
Ini
adalah
pemulihan
kolostomi
terapi
dilakukan
tradisional
bagi
diverticulitis perforate dengan peritonitis yang dianjurkan dimasa
lampau.
Pendekatan
ini
memerlukan
tiga
operasi
dengan
konvalensensi lama dan peningkatan mortalitas total. Biasanya
kolon yang terlibat direseksi dengan drainasi abses dan kolostomi
proksimal
dengan
penutupan
kolon
sigmoideum
distal.
Reanastomosis terencana pada kolon dilakukan 6-8 minggu
kemudian. Reseksi segera dan anstomosis ujung ke ujung tanpa
pembuatan kolostomi penglihatan telah dianjurkan dalam pasien
terpilih dan merupakan tindakan yang dapat diterima. (Sabiston,
1994).
Penanganan
diverticulitis
Menurut
Brunner
(2016),
penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
:
a. Diverticulitis biasanya ditangani dengan rawat jalan, berupa
pemberian
medikasi
dan
diet,
gejala
ditangan
dengan
istirahat,analgesic, dan antispasmedik.
b. Pasien dianjurkan untuk minum cairan bening sampai infamasi
mereda, kemudian berikan diet tinggi serat dan rendah lemak.
Antibiotic diresepkan untuk 7-10 hari, dan laksatif pembentuk
bungkal juga diresepkan.
c. Pasien yang menunjukkan gejala berat, dan terkadang pasien
lansia,pasien yang mengalami gangguan imu, atau pasien yang
menggunakan
kortikosteroid
diistirahatkan
dengan
harus
dirawat
menghentikan
inap.
asupan
Untuk
cairan,
memberikan cairan IV dan melakukan pengisapan nasogastric.
d. Antibiotic spectrum luas dan analgesic diresepkan, opioid
diresepkan untuk meredakan nyeri. Asupan oral ditingkatkan
13
setelah gejala reda. Diet rendah serat harus diberikan sampai
tanda-tanda infeksi berkurang.
e. Antipasmodik seperti propantelin bromide dan oksifensiklimina
diresepkan.
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama
Umur
:: terjadi pada klien dengan usia 40tahun, tetapi
lebih banyak pada klien yang berusi >60tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki memiliki resiko yang sama
Suku
Alamat
:: Lebih banyak terjadi di Negara industri seperti
Amerika Serikat dan Eropa Barat
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Klien datang dengan keluhan nyeri didaerah abdomen.
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan gejala devertikulum biasanya merasakan
nyeri hebat dibagian perut yang terinfeksi.
3. Riwayat penyakit dahulu
Memiliki riwayat nyeri perut sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga
Salah satu keluarga memiliki riwayat devertikular disease
c. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami penurunan nafsu makan karena klien
akan muntah bila makan.
2. Pola aktivitas.
Aktivitas klien akan terbatasi karena klien kehilangan
sebagian energy akibat susah makan.
14
3. Pola istirahat dan tidur.
Terjadi perubahan pola tidur karena kadang klien
merasakan nyeri.
4. Pola eliminasi
Seseorang yang mengalami divertikulum sebagian besar
mengalami kesulitan dalam pola eliminasi.
5. Pola hubungan peran
Hubungan dan peran klien dalam keluarga mengalami
perubahan karena adanya perubahan kenyamanan pada
klien.
6. Pola penanggulan stress
Biasanya klien merasa cemas dan stress karena keadaan
penyakitnya.
7. Pola tata nilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah klien sedikit terganggu dengan
adanya nyeri pada abdomen.
8. Pola fungsi dan seksualitas
Reproduksi klien dalam batas normal
d. Observasi dan pemeriksaan fsik
1. Keadaan umum
Kesadaran composmentis, tampak lemah
2. Tanda-tanda vital
Nadi
: takikardi
Suhu
: Hipertermi, jika terkena infeksi
TD
: Hipertensi karena ansietas terhadap nyeri
3. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : simetris, tidak terdapat luka, tidak ada benjolan,
kulit kepala bersih.
Rambut
: tidak ketombe
Muka
: tampak sayu, tidak ada luka
Mata
: penglihatan normal, konjungtiva tidak enemis
Hidung : bentuk simetris tidak terdapat secret
15
Mulut
: bibir agak kering, tidak bau, lidah tidak kotor.
Leher
: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
4. Pemeriksaan thorax
Bentuk normal tidak ada kelainan, paru suara dan nafas
normal tidak ada suara tambahan,jantung teratur tidak ada
suara tambahan
5. Pemeriksaan abdomen
Terjadi ketegangan pada abdomen sehingga sulit untuk
BAB
6. Pemeriksaan ektremitas
Ekstremitas tidak ada kelainan
7. Pemeriksaan integumen
Kulit kering tidak ada kelainan
8. Pemeriksaan genetalia
Keadaan genetalia bersih
9. Pemeriksaan neurologi
System syaraf normal
e. Pemeriksaan diagnostic
1. Sinar-X abdomen
2. Enema barium
3. CT scan
4. Test laboratorium
5. kolonoskopi
3.2 Diagnosa
Data
Etiologi
Ds: klien mengeluh Penahanan/
nyeri pada perut.
Do:
Klien
gelisah
penonjolan
tampak pada
keluar
mukosa
sub
Masalah
Nyeri akut
dan
mukosa
disaluran
gastrointestinal.
16
Ds: klien mengeluh Penyempitan
kembung
pada sekunder
kolon Gangguan BAB
akibat (Konstipasi)
abdomen,
penebalan
merasa mual.
otot dan struktur.
Do:
perut
klien
buncit,
agak
keras
Ds:
Klien Penurunan
mengatakan
makan
makan.
nafsu ketidakseimbangan
terhadap nutrisi kurang dari
mual, tidak nafsu nyeri
Do:
segmen
ditandai kebutuhan tubuh.
dengan
klien
hanya
lemas, makan 3-4 sendok.
lesu, porsi makan
hanya
3-4
sendok.
Ds:
klien Gangguan pola tidur Gangguan pola tidur
mengatakan
tidak
bisa
karena
berhubungan
tidur dengan nyeri pada
merasa abdomen
nyeri.
ditandai
yang
klien
Do:klien gelisah
Ds : klien cemas,
gelisah.
Ansietas yang
penyakitnya
berhubungan
tidak sembuh
dengan nyeri yang
sembuh
tidak sembuh
Ansietas
Do : klien tampak sembuh ditandai
cemas
Ds : Klien
klien tampak cemas
Hipertermia yang
merasakan panas
berhubungan
dalam tubuhnya,
dengan dehidrasi
kedinginan.
ditandai dengan
Do: Suhu 39oC, nadi suhu tubuh 39oC,
cepat
nadi cepat
17
Hipertermia
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
kronis
yang
berhubungan
dengan
penahanan/
penonjolan keluar pada mukosa dan sub mukosa disaluran
gastrointestinal yang ditandai klien mengeluh nyeri pada
perut, klien tampak gelisah.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi (pembedahan)
ditandai dengan klien Terdapat luka post operasi pada
daerah
kuadran
kiri
bawah.
,Klien meringis kesakitan dan skala nyeri 5
3. Konstipasi yang berhubungan dengan penyempitan kolon
sekunder akibat penebalan segmen otot dan struktur yang
ditandai dengan klien mengeluh kembung pada abdomen,
merasa mual, perut klien buncit, agak keras.
4. Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuhyang berhubungan dengan penurunan nafsu makan
terhadap nyeri ditandai dengan hanya makan setengah
porsi makan.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan klien
merasakan nyeri pada abdomen ditandai pasien gelisah.
6. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri yang tidak
kunjung sembuh yang ditandai klien tampak cemas.
7. Hipertermia yang berhubungan dengan dehidrasi yang
ditandai dengan suhu tubuh 39oC, nadi cepat
3.3 Intervensi
Diagnosa
Tujuan dan criteria
intervensi
hasil
Nyeri akut
NOC
1. osis optimal.
Pain level
2. Pilih rute pemberian
Pain control
secara IV, IM untuk
Comfort level
pengobatan
Kriteria hasil
teratur.
18
nyeri
1. Mampu
3. Monitor
vital
sign
mengontrol nyeri
sebelum dan sesudah
(tahu
penyebab
pemberian
nyeri,
mampu
menggunakan
teknik
analgesic
pertama kali.
4. Berikan
non
farmakologi
analgesic
tepat
5. waktu terutama saat
untuk
nyeri hebat.
mengurangi
6. Evaluasi
nyeri)
efektivitas
analgesic tanda dan
2. Melaporkan
bahwa
gejala.
nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manjemen nyeri.
3. Mampu
mengenali
nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi
dan
tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman
Nyeri kronis
setelah
nyeri berkurang.
NOC
Comfort level
1. Pain Manajemen
Pain control
2.
Pain level
Monitor
kepuasan
Kriteria hasil
1.
NIC
Tidak
terhadap
ada
gangguan tidur
2. Tidak
nyeri3.
ada
19
manajemen
3. Tingkatkan
pasien
gangguan
istirahat dan tidur
konsentrasi
yang adekuat
3.Tidak
ada
4. Kelola
gangguan hubungan
interpersonal
analgetik
5.
pasien
menahan nyeri dan
nyeri
secara
5.
pada
penyebab
6. Lakukan
verbal
tehnik
nonfarmakologis
Tidak
ada
(relaksasi, masase
tegangan otot
Konstipasi
Jelaskan
4. Tidak ada ekspresi
ungkapan
anti
punggung)
NOC
NIC
Bowel elimination
Konstipasi/impaction
Hydration
management
Kriteria hasil
1. Monitor
1. Mempertahankan
bentuk feses.
tanda
dan
gejala konstipasi.
2. Monitor bising usus.
2. Lunak setiap 1-3
hari.
3. Monitor
feses
(frekuensi,
3. Bebas
dari
ketidaknyamanan
dan konstipasi.
4. Mengidentifkasi
indicator
untuk
konsistensi,
volume)
4. Jelaskan etiologi dan
rasionalisasi
tindakan
mencegah
pasien.
konstipasi.
5. Identifkasi
5. Feses lunak dan
berbentuk.
dan
terhadap
faktor
penyebab
konstribusi
konstipasi.
6. Dukung
20
intake
cairan
7. Kolaborasikan
pemberian laksatif.
8. Pantau
tanda-tanda
dan gejala impaksi.
9. Memantau
usus,
gerakan
termasuk
konsistensi
frekuensi,
bentuk,
volume, dan warna.
10. Memantau
bising
usus.
11. Konsultasikan
dengan
dokter
tentang
penurunan/kenaikan
frekuensi
bising
usus.
12. Pantau tanda gejala
pecahnya
usus/peritonitis
13. Jelaskan
etiologi
masalah
dan
pemikiran
untuk
tindakan pasien.
14. Mendorong
meningkatkan
asupan cairan.
15. Evaluasi profl obat
untuk efek samping
gastrointestinal.
16. Anjurkan
21
pasien/keluarga
mencatat
warna,
volume,
frekuensi,
dan konsistensi tinja.
17. Anjurkan
pasien
untuk
tinggi
diet
serat.
18. Anjurkan
pada
pasien
penggunakan
yang tepat dari obat
pencahar.
19. Anjurkan
pasien
pada
hubungan
asupan
diet,
olahraga, dan cairan
sembelit/impaksi.
20. Timbang BB pasien
Ketidakseimba
NOC
secara teratur.
NIC
ngan nutrisi
1. Nutrisional status
Nutrision
kurang dari
2. Intake
management
kebutuhan
3. Weight control
1. Kaji
tubuh
Kriteria Hasil
adanya
alergi
makanan.
1. Adanya
2. Kolaborasi
peningkatan berat
ahli
badan
menentukan jumlah
sesuai
tujuan.
kalori
2. Berat badan ideal
sesuai
tinggi
badan.
gizi
dengan
dan
yang
nutrisi
dibutuhkan
pasien.
3. Anjurkan
3. Mampu
untuk
pasien
untuk meningkatkan
mengidentifkasi
22
protein dan vitamin
kebutuhan nutrisi.
C
4. Tidak ada tanda-
4. Berikan
tanda malnutrisi.
gula.
5. Menunjukkan
substansi
5. Yakinkan diet yang
peningkatan
dimakan
fungsi
mengandung
tinggi
serat
untuk
pengecapan
dan
menelan.
mencegah
6. Tidak
terjadi
penurunan
berat
badan
yang
berarti.
konstipasi.
6. Berikan
makanan
yang terpilih.
7. Monitor
jumlah
nutrisi
dan
kandungan kalori.
8. Berikan
informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi.
9. Kaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. BB
pasien
dalam
batas normal.
2. Monitor
adanya
penurunan
berat
badan.
3. Monitor
jumlah
yang
tipe
dan
aktivitas
biasa
dilakukan.
4. Monitor
23
interaksi
anak atau orang tua
selama makan.
5. Monitor
lingkungan
selama makan.
6. Monitor kulit kering
dan
perubahan
pigmentasi.
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Monitor
mual
dan
muntah.
10. Monitor
kadar
albumin,
total
protein,
Hb,
dan
kadar Ht.
11. Monitor
pertumbuhan
dan
perkembangan.
12. Monitor
pucat,
kemerahan
dan
kekeringan jaringan
konjungtiva.
13. Monitor
kalori
dan
intake nutrisi.
14. Catat
edema,
adanya
hiperemik,
hipertonik,
papilla
lidah
cavitas
dan
oral.
15. Catat
24
jika
lidah
berwarna
magenta,
scarlet.
Gangguan pola
NOC
NIC
tidur
1. Anxiety reduction
Sleep Enhancement
2. Comfort level
1. Determinasi efek-efek
3. Pain level
medikasi
4. Rest : Extent dan
pola tidur
pattern
5. Sleep
terhadap
2. Jelaskan
:
Extent
danpattern
pentingnya
tidur yang adekuat.
3. Fasilitas
untuk
Kriteria Hasil
mempertahankan
1. Jumlah jam tidur
aktiftas
dalam
batas
normal
sebelum
tidur.
6-8 4. Ciptakan
jam/hari.
lingkungan
yang nyaman.
2. Pola tidur, kualitas 5. Kolaborasi pemberian
dalam
batas
normal.
obat tidur.
6. Diskusikan
3. Perasaan
segar
pasien dan keluarga
sesudah tidur atau
tentang
istirahat.
pasien
4. Mampu
dengan
teknik
tidur
7. Monitor waktu makan
mengidentifkasi
dan
hal-hal yang dapat
waktu tidur.
meningkatkan
tidur.
minum
dengan
8. Monitor/catat
kebutuhan
tidur
pasien setiap hari dan
Ansietas
jam.
NIC
NOC
1. Anxiety
self- Anxiety Reduction
control
1. Gunakan
2. Anxity level
25
pendekatan
yang
3. Koping
menyenangkan.
Kriteria Hasil
1. Klien
2. Nyatakan
mampu
jelas
harapan
mengidentifkasi
terhadap
dan
pasien.
mengungkapkan
gejala cemas.
1. Mengidentifkasi,
mengungkapkan
dan menunjukkan
teknik
untuk
mengontrol
pelaku
3. Jelaskan
semua
prosedur
dan
apa
yang
dirasakan
selama prosedur
4. Pahami
perspektif
pasien
terhadap
situasi stress.
cemas.
5. Temani pasien untuk
2. Vital sign dalam
batas normal.
3. Postur
ekpresi
dan
tubuh,
mengurangi
rasa
wajah,
takut.
aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
memberikan
keamanan
bahasa tubuh dan
tingkat
dengan
6. Lakukan back atau
neck rub.
7. Dorong
keluarga
untuk menemani.
8. Dengarkan
dengan
penuh perhatian.
9. Identifkasi
tingkat
kecemasan
10. Bantu pasien untuk
mengenal
yang
situasi
menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan,
26
ketakutan,persepsi.
12. Instrusikan
pasien
menggunakan teknik
relaksasi.
13. Berikan obat untuk
mengurangi
Hipertermia
NOC
kecemasan.
NIC
Thermoregulation
Fever treatment
Kriteria hasil
1. Monitor
1. Suhu tubuh dalam
rentang normal.
2. Nadi
dan
sesering mungkin.
2. Monitor IWL
RR 3. Monitor warna dan
rentang normal.
3. Tidak
suhu
suhu kulit.
ada 4. Monitor
perubahan
warna
tekanan
darah, nadi dan RR
kulit dan tidak ada 5. Monitor
pusing
tingkat
penurunan
kesadaran.
6. Monitor
WBC,
Hb,
dan Htc.
7. Monitor intake dan
output.
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan
untuk
mengobati
penyakit demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan
tapid
sponge
12. Kolaborasi
pemberian
27
cairan
intravena.
13. Kompres
pasien
pada lipat paha dan
aksila.
14. Tingkatkan sirkulasi
udara.
15. Berikan pengobatan
untuk
mencegah
terjadinya
menggigil.
Temperature
regulation
1. Monitor
suhu
minimal tiap 2 jam.
2. Rencanakan
monitoring
suhu
secara kontinyu.
3. Monitor TD, nadi dan
RR
4. Monitor warna dan
suhu kulit.
5. Monitor
tanda
hipertermi
dan
hipotermi.
6. Tingkatkan
intake
cairan dan nutrisi.
7. Selimuti
untuk
pasien
mencegah
hilangnya
kehangatan tubuh.
8. Ajarkan pada pasien
cara
28
mencegah
keletihan
akibat
panas.
9. Diskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan
dan
efek
suhu
kemungkinan
negative
dari
kedinginan.
10. Beritahukan tentang
indikasi
terjadinya
keletihan
dan
penanganan
emergency
yang
diperlukan.
11. Berikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Monitor
TD,nadi,
suhu, dan RR
2. Catat
adanya
fuktuasi
tekanan
darah
3. Monitor
pasien
VS
saat
berbaring,
duduk dan berdiri.
4. Auskultasi TD pada
kedua
lengan
dan
bandingkan
5. Monitor TD,nadi, RR
sebelum selama dan
setelah aktivitas.
6. Monitor
nadi.
29
kualitas
7. Monitor
frekuensi
dan
irama
pernafasan.
8. Monitor suara paru.
9. Monitor
pola
pernafasan
abnormal
10.
Monitor
warna,
suhu,
kelembapan
kulit.
11.
Monitor
sianosis
perifer.
12.
Monitor
adanya
cushing
triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.
Identifkasi
penyebab
dari
perubahan vital sign
3.4 Implementasi
Diagnose
Nyeri akut
Implementasi
Pain management
1. Melakukan
pengkajian
nyeri
secara
komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas
dan
faktor
presipitasi.
2. Mengobservasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan.
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk
mengetahui
30
pengalaman
nyeri
pasien.
4. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri.
5. Mengevaluasi
pengalaman
nyeri
masa
lampau.
6. Mengevaluasi
kesehatan
bersama
lain
pasien
tentang
dan
tim
ketidakefektifan
control nyeri masa lampau.
7. Membantu
pasin
dan
keluarga
untuk
mencari dan menemukan dukungan.
8. Mengkontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, dan kebisingan.
9. Mengurangi faktor presipitasi nyeri.
10. Memilih dan melakukan penanganan nyeri
(farmakologi,non
farmakologi
dan
interpersonal)
11. Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentuka intervensi.
12. Mengajarkan teknik non farmakologi.
13. Memberikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
14. Mengevaluasikeefektifan control nyeri.
15. Meningkatkan istirahat.
16. Memonitor
penerimaan
pasien
tentang
manajemen nyeri.
Analgesic administration.
1. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajad nyeri sebelum pemberian
obat.
2. Memilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesic ketika pemberian
31
lebih dari satu.
3. Menentukan pilihan anlgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.
4. Menentukan
analgesic
pilihan,
rute
pemberian dan dosis optimal.
5. Memilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri teratur.
6. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesic pertama kali.
7. Memberikan
analgesic
tepat
waktu
terutama saat nyeri hebat.
8. Mengevaluasi efektivitas analgesic tanda
Nyeri kronis
dan gejala.
1. manajemen nyeri klien
2.
Memonitor
kepuasan
pasien
terhadap
manajemen nyeri
3.
Mingkatkan
istirahat
dan
tidur
yang
adekuat pada klien
4. Mengelola anti analgetik
5. Menjelaskan pada pasien penyebab nyeri
6.
Melakukan
tehnik
nonfarmakologis
(relaksasi, masase punggung)
Konstipasi
Konstipasi/impaction management
1. Memonitor tanda dan gejala konstipasi.
2. Memonitor bising usus.
3. Memonitor feses (frekuensi, konsistensi,
dan volume)
4. Menjelaskan
etiologi
dan
rasionalisasi
tindakan terhadap pasien.
5. Mengidentifkasi
faktor
konstribusi konstipasi.
32
penyebab
6. Mendukung intake cairan
7. Mengkolaborasikan pemberian laksatif.
8. Memantau
tanda-tanda
dan
gejala
impaksi.
9. Memantau
gerakan
usus,
termasuk
konsistensi frekuensi, bentuk, volume, dan
warna.
10. Memantau bising usus.
11. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang
penurunan/kenaikan frekuensi bising usus.
12. Memantau
tanda
gejala
pecahnya
usus/peritonitis
13. Menjelaskan
etiologi
masalah
dan
pemikiran untuktindakan pasien.
14. Mendorong meningkatkan asupan cairan.
15. Mengevaluasi
profl
obat
untuk
efek
samping gastrointestinal.
16. Menganjurkan pasien/keluarga mencatat
warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
17. Menganjurkan pasien untuk diet tinggi
serat.
18. Menganjurkan pasien pada penggunakan
yang tepat dari obat pencahar.
19. Menganjurkan
pasien
pada
hubungan
asupan diet, olahraga, dan cairan sembelit/
impaksi.
Keseimbangan
20. Menimbang BB pasien secara teratur.
Nutrision management
nutrisi kurang
1. Mengkaji adanya alergi makanan.
dari kebutuhan
2. Mengkolaborasikan
tubuh
dengan
ahli
gizi
untukmenentukan jumlah kalori dannutrisi
33
yang dibutuhkan pasien.
3. Menganjurkan pasien untuk meningkatkan
protein dan vitamin C.
4. Memberikan substansi gula.
5. Meyakinkan
diet
yang
dimakan
mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
6. Memberikan makanan yang terpilih.
7. Memonitor jumlah nutrisi dan kandungan
kalori.
8. Memberikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi.
9. Mengkaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. Menimbang
BB
pasien
dalam
batas
penurunan
berat
normal.
2. Memonitor
adanya
badan.
3. Memonitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan.
4. Memonitor interaksi anak atau orang tua
selama makan.
5. Memonitor lingkungan selama makan.
6. Memonitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi.
7. Memonitor turgor kulit
8. Memonitor kekeringan, rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Memonitor mual dan muntah.
10. Memonitor kadar albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht.
34
11. Memonitor
pertumbuhan
dan
perkembangan.
12. Memonitor
pucat,
kemerahan
dan
kekeringan jaringan konjungtiva.
13. Memonitor kalori dan intake nutrisi.
14. Mencatat
adanya
edema,
hiperemik,
hipertonik, papilla lidah dan cavitas oral.
15. Mencatat jika lidah berwarna magenta,
Gangguan pola
scarlet.
Sleep Enhancement
tidur
1. Mendeterminasi
efek-efek
medikasi
terhadap pola tidur
2. Menjelaskan
pentingnya
tidur
yang
adekuat.
3. Memfasilitasi
untuk
mempertahankan
aktiftas sebelum tidur.
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman.
5. Mengkolaborasikan pemberian obat tidur.
6. Mendiskusikan
dengan
pasien
dan
keluarga tentang teknik tidur pasien
7. Memonitor
waktu
makan
dan
minum
dengan waktu tidur.
8. Memonitor/mencatat
Ansietas
kebutuhan
pasien setiap hari dan jam.
1. Mengggunakan
pendekatan
tidur
yang
menyenangkan.
2. Menyatakan
dengan
jelas
harapan
prosedur
dan apa
terhadap pelaku pasien.
3. Menjelaskan semua
yang dirasakan selama prosedur
4. Menjelaskan perspektif pasien terhadap
situasi stress.
35
5. Menemani
pasien
untuk
memberikan
keamanan dan mengurangi rasa takut.
6. Melakukan back atau neck rub.
7. Mendorong keluarga untuk menemani.
8. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
9. Mengidentifkasi tingkat kecemasan
10. Membantu pasien untuk mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
11. Mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan,persepsi.
12. Menginstrusikan
pasien
menggunakan
teknik relaksasi.
13. Memberikan
Hipertermia
obat
untuk
mengurangi
kecemasan.
Fever treatment
1. Memonitor suhu sesering mungkin.
2. Memonitor IWL.
3. Memonitor warna dan suhu kulit.
4. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
5. Memonitor tingkat penurunan kesadaran.
6. Memonitor WBC, Hb, dan Htc.
7. Memonitor intake dan output.
8. Memberikan antipiretik.
9. Memberikan pengobatan untuk mengobati
penyakit demam.
10. Menyelimuti pasien.
11. Melakukan tapid sponge.
12. Mengkolaborasikan
pemberian
cairan
intravena.
13. Mengkompres pasien pada lipat paha dan
aksila.
14. Meningkatkan sirkulasi udara.
36
15. Memberikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil.
Temperature regulation
1. Memonitor suhu minimal tiap 2 jam.
2. Merencanakan
monitoring
suhu
secara
kontinyu.
3. Memonitor TD, nadi dan RR.
4. Memonitor warna dan suhu kulit.
5. Memonitor tanda hipertermi dan hipotermi.
6. Meningkatkan intake cairan dan nutrisi.
7. Menyelimuti
pasien
untuk
mencegah
hilangnya kehangatan tubuh.
8. Mengajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas.
9. Mediskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negative dari kedinginan.
10. Memberitahukan
terjadinya
tentang
keletihan
dan
indikasi
penanganan
emergency yang diperlukan.
11. Memberikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Memonitor TD,nadi, suhu, dan RR
2. Mencatat adanya fuktuasi tekanan darah
3. Memonitor
VS
saat
pasien
berbaring,
duduk dan berdiri.
4. Melakukan
auskultasi
TD
pada
kedua
lengan dan bandingkan
5. Memonitor TD,nadi, RR sebelum selama
dan setelah aktivitas.
6. Memonitor kualitas nadi.
7. Memonitor
37
frekuensi
dan
irama
pernafasan.
8. Memonitor suara paru.
9. Memonitor pola pernafasan abnormal.
10.Memonitor suhu, warna, kelembapan kulit.
11.Memonitor sianosis perifer.
12.Memonitor adanya cushing triad (tekanan
nadi
yang
melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.Mengidentifkasi penyebab dari perubahan
vital sign
3.5 Evaluasi
Data
Nyeri akut
Evaluasi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
Nyeri kronis
P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
P: nyeri karena adanya penonjolan
Q : seperti ditusuk-tusuk
R : kuadran kiri bawah
S : skala nyeri 5
T : hilang timbul
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
Konstipasi
P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan sudah lancer BAB
O : feses lunak
A : masalah teratasi
Ketidakseimba
P : Anjurkan makan diet tinggi serat
S : klien mengatakan sudah nafsu makan dan
38
ngan nutrisi
tidak mual.
kurang dari
O : Porsi makan penuh dihabiskan
kebutuhan
A : Masalah teratasi
tubuh
Gangguan pola
P : anjurkan tetap makan meskipun mual.
S : Klien mengatakan sudah bisa tidur
tidur
O : Klien tidur
A : Masalah teratasi
Ansietas
P : Anjurkan tetap rileks
S : Klien mengatakan sudah tidak gelisah
O : Klien tampak tenang
A : Masalah teratasi
Hipertermia
P : Anjurkan tetap rileks
S : klien mengatakan suhu tidak panas lagi
O : Suhu tubuh normal
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan banyak minum
39
BAB 4. PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Divertikula merupakan penonjolan berbentuk kantung dari
dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa millimeter
sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya merupakan
manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum dapat terjadi
di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal. Biasanya
penyakit ini disebakan karena klien mengkonsumsi rendah serat.
Penyakit divertikula ini sering terjadi di amerika serikat,mayoritas
penyakit divertikulaini menyerang pada usia lansia >80 tahun.
4. 2 Saran
Memperhatikan
penting,
agar
nutrisi
system
yang
kita
pencernaan
konsumsi
kita
tidak
sangatlah
mengalami
gangguan seperti penyakit divertikula. Oleh karena itu, sebelum
makan kita harus memperhatikan kandungan dalam makanan.
Upaya yang dapat kita lakukan
untuk menghindari penyakit
divertikula adalah mengkonsumsi makanan yang tinggi serat,
terutama bagi lanjut usia karena penyakit ini mudah menyerang
kepada usia lanjut.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth.2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Carpenito – moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.
Doenges, Marilyn E, dkk.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.
Pierce,A,.Grace,.Neil R. Borley,.2006. At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta : EGC
Tambayong, Jan,2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Sabiston, & David. 2000. Buku Teks Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC
Schwartz. 2007. Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT
15.EGC.Jakarta.
MAKALAH
oleh
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017
ASUHAN KEPERAWATAN DIVERTICULAR DISEASE
MAKALAH
diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah dengan dosen
pengampu Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB
oleh :
Istna Abidah Mardiyah
NIM 152310101070
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNVERSITAS JEMBER
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan
rahmat
menyelesaikan
Diverticular
dan
makalah
Disease”.
karunianya,sehingga
yang
Makalah
berjudul
ini
penulis
“Asuhan
disusun
dapat
Keperawatan
berdasarkan
untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bedah Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari kontribusi
berbagai pihak. Oleh karenaitu,penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Ns. Mulia Hakam,M.Kep., Sp.Kep.MB selaku dosen mata kuliah
keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember.
2. Semua
pihak
yang
secara
tidak
langsung
membantu
terciptanya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Jember, Mei 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
PRAKATA ...................................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 3
2.1 Pengertian ....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.................................................................................... 3
2.3Etiologi............................................................................................... 3
2.4 Klasifikasi......................................................................................... 6
2.5 Phatogenesis..................................................................................... 6
2.6Phatofisiologi..................................................................................... 7
2.7Manifestasi klinis.............................................................................. 7
2.8PemeriksaanPenunjang................................................................... 9
2.9Penatalaksanaan medis.................................................................... 9
BAB 3.KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN...........................................13
3.1 Pengkajian........................................................................................13
3.2 Diagnosis..........................................................................................20
3.3 Intervensi..........................................................................................21
3.4Implementasi.....................................................................................23
3.5Evaluasi.............................................................................................23
iv
BAB 4.PENUTUP...........................................................................................24
4.1 Simpulan .........................................................................................24
4.2 Saran ................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
v
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit deverticular disease merupakan penyakit yang berhubungan dengan
pola makan dan asupan gizi pada tubuh. Penyakit deverticular disease terjadi karena
perubahan pola makan akubat dari konsumsi jenis makanan yang mengandung banyak
serat ke jenis makanan yang kurang mengandung banyak serat. Prevalensi
deverticula disease berjumlah 75% dari jumlah populasi di Amerika
Serikat yang berusia diatas 80 tahun. Prevalensi tersebut meningkat
secara drastis seiring dengan menurunnya asupan makanan berserat
tinggi. (Schwartz, 2007). Berdasarkan survey lapangan didapatkan
hasil prevalensi penyakit divertikula diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30%pada usia 60 tahun, dan
menjadi sebesar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu meliputi
pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula tersebut
banyak muncul di negara yang tinggi terhadap industrialisasi seperti
Amerika
Serikat
dan
Eropa
Barat
daripada
Negara
dengan
industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika Selatan, dan Asia.
(Sabiston,
divertikulosis
2000).
Diperkirakan
melibatkan
kolon
90-95%
sigmoid,
penderita
dan
65%
dengan
penderita
mempunyai penyakit yang terbatas hanya terbatas pada kolon
sigmoid. Sebaliknya, hanya 2-10% penderita mempunyai penyakit
yang
terbatas
pada
colon
asenden
atau
transversum.
(Sabiston,2000).
Deverticular
disease
merupakan
penyakit
karena
adanya
peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi otot
kolon (Painter, 2013). Terbukti dengan penelitian penderita divertikula
dapat menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap stimuli
hormonal sehingga kontraksi otot kolon yang
1
abnormal tersebut
menyebabkan
peningkatan
tekanan
intraluminal
dengan
hipertrof otot polos dan pembentukan divertikula.
akibat
Divertikulum
sering disebut dengan istilah herniasi usus besar yang menyerupai
kantung yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu.
(Brunner, 2016). Penyakit ini disepabkan karena kurangnya supan
serat pada tubuh, misalnya diet tinggi lemak. Kebanyakan diera
modern
ini
masyarakat
dunia
termasuk
di
Indonesia
kurang
memperhatikan asupan serat bagi tubuh dalam memenuhi nutrisi
seharai-hari. Sehingga perlu adanya penyuluhan dan deteksi dini
terkait penyakit diverticular disease ini.
Rumusan Masalah
1.2.1
Apa pengertian divertikular disease ?
1.2.2
Bagaimana epidemiologi divertikular disease ?
1.2.3
Bagaimana etiologi dari divertikular disease ?
1.2.4
Bagaimana klasifkasi divertikular disease ?
1.2.5
Bagaimana pathogenesis divertikular disease ?
1.2.6
Bagaimana patofsiologi divertikular disease ?
1.2.7
Bagaimana manifestasi klinis divertikular disease ?
1.2.8
Bagaimana pemeriksaan penunjang divertikular disease ?
1.2.9
Bagaimana penatalaksanakan medis divertikular
disease ?
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Diverticular
disease.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis Divertikular disease.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan
Divertikular disease, yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi
Deverticular
disease
merupakan
penyakit
karena
adanya
peradangan yang terjadi pada divertikula yang disebabkan oleh kontraksi
otot kolon (Painter, 2013). Divertikular disease yaitu adanya divertikel
semu multiple, tidak bergejala pada 80% penderita. Divertikulitis
adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau dengan perforasi.
(Sjamsuhidajat, 2007).
Gambar 2.1.1 Diverticular disease
Divertikular
disease
merupakan
penyakit
pada
saluran
pencernaan yang timbul karena adanya penonjolan berbentuk
kantung dari dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa
3
millimeter sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya
merupakan manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum
dapat terjadi di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal.
(Sabiston, 2000). Divertikular disease adalah penyakit yang terjadi
karena adanya herniasi pada kolon yang menyerupai kantung
yang terbentuk melalui defek pada lapisan otot tertentu. (Brunner,
2016).
Jadi, berdasarkan beberapa pengertian devertikular disease
diatas dapat disimpulkan bahwa deverticular sisease merupakan
gangguan pada pencernaan yang terjadi di divertikula karena
kontraksi
pada
otot
kolon,
biasanya
ditemukan
penonjolan
berbentuk kantung di dinding kolon.
2.2Epidemiologi
Berdasarkan survey penyakit tidak menular ditemukan jumlah
prevalensi dari divertikular disease diperkirakan kurang dari 5%
pada usia 40 tahun, meningkat menjadi 30% pada usia 60 tahun,
dan menjadi besar 65% pada usia 85 tahun dengan semua jenis
kelamin dapat terserang penyakit deverticular disease yaitu
meliputi pria dan wanita. Secara geografs, penyakit divertikula
tersebut
banyak
muncul
di
negara
yang
tinggi
terhadap
industrialisasi seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat daripada
Negara dengan industrialisasi yang kurang seperti Afrika, Amerika
Selatan, dan Asia. (Sabiston, 2000)
2.3Etiologi
Deverticular disease biasanya disebabkan kan kare kurangnya
supan serat pada tubuh. Penyebab timbulnya divertikula diduga
karena faktor makanan. Penelitian klinik dan eksperimental telah
melibatkan
diet-rendah-serat
sebagai
faktor
radiologic
yang
menonjol. Diet yang kurang serat sayuran diduga merupakan
predisposisi untuk timbulnya divertikula akibat motilitas kolon
terganggu.
Terdapat
bukti
bahwa
penderita
divertikula
menimbulkan respon kontraktil berlebihan terhadap makanan dan
4
stimuli hormonal.
otot abnormal ini diduga menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal dengan akibat hipertrof otot
polos dan pembentukan divertikula. Secara anatomi, divertikula
membentuk titik”lemah” dimana pembuluh darah nutrient (vasa
recta) menembus lapisan otot sirkular ke mukosa. “perforasi”
pembuluh
darah
ini
cenderung
menembus
dinding
kolon
sepanjang tepi mesenteric kedua taenia antimesentrik. Divertikula
dapat terjadi dilokasi manapun diusus kecil maupun kolon
sigmoid. Diverkulosis terjadi apabila terdapat beberapa divertikula
tanpa disertai infamasi atau gejala. Kasus ini paling sering
dijumpai pada lansia usia lebih dari 80 tahun. Asupan rendah
serat diet yang rendah merupakan faktor predisposisi utama.
Divertikulitis terjadi ketika makanan dan bakteri yang tertahan
didalam divertikulum menyebabkan infeksi dan infamasi yang
dapat menghambat pengeluaran cairan dan mengakibatkan
perforasi atau abses. Diverticulitis dapat terjadi dalam bentuk
serangan akut atau sebagai infeksi kronis yang terpendam.
Predisposisi kemungkinan bersifat congenital apabila gangguan
muncul pada individu berusia dibawah 40 tahun. (Brunner, 2016)
Divertikulum yang didapat merupakan pembentukan kantong
keluar
yang
diinduksi
tarikan
pada
dinding
kolon,
yang
berkembang dalam pola agak klasik dalam dua baris diantara
tenia, melalui cacat dalam stratum sirkularis tunika muskularis
pada tempat masuknya pembuluh darah. Perkembangannya
berhubungan dengan area lokalista tekanan intralumen yang
tinggi diantara cincin kontraksi haustra. Divertikulosis mempunyai
predileksi bagi kolon sigmoideum dan descenden distalis dalam
sekitar 80% pasien. Divertikulosis jarang timbul didalam rectum
dan kadang terlihat pada sisi kanan. Divertikulosis terutama
mengenai masyarakat beradab dan kurangnya bagian kasar diet
bisa
berperanan
sebagai
penyebab.
5
Faktor
lain
mencakup
penuaan, obesitas, sifat genetika, dan konstipasi kronis. (Sabiston,
1994)
2.4Klasifikasi
2.4.1 Divertikulosis
Diverticulosis merupakan gangguan perncernaan karena adanya penonjolanpenonjolan deverticula di usus besar, sehingga menyebabkan perdarahan pada usus
besar. Perdarahan dapat diduga akan terjadi pada 15% penderita dengan
divertikulosis, dan penyakit divertikula merupakan penyebab bagi 30-50%
perdarahan kolon massif. Perdarahan divertikula timbul dari kolon kanan pada 7090% penderita, dan 70% penderita dengan perdarahan divertikula akan berhenti
spontan. (Sabiston, 2000).
2.4.2 Divertikulitis
Diverticulitis dapat terjadi karena diverkulosis yang sudah parah dan tidak
segera diatasi karena diverticulum pecah dan infeksi set di sekitar divertikulum
tersebut, kondisi tersebut disebut dengan diverticulitis.
Istilah divertikulitis
menyatakan inflamasi satu atau lebih divertikula dan menggambarkan, pada tingkat
anatomic, perforasi divertikulum kedalam ruang perikolik. Penderita diverticulitis
dengan komplikasi menimbulkan masalah seperti obstruksi kolon, pembentukan
abses, perforasi bebas, atau fistulisasi. (Sabiston, 2000)
2.5Patogenesis
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan dikolon,
khususnya disigmoid. Divertikel kolon adalah divertikel palsu
karena terdiri dari mukosa yang menonjol melalui lapisan otot
seperti hernia kecil. Di vertikel sejati jarang ditemukan dikolon.
Divertikel ini disebut divertikel pulsi (pukulan) karena disebabkan
oleh tekanan tinggi dibagian usus distal ini. Besarnya berkisar
antara beberapa millimeter – 2 sentimeter; leher divertikel atau
pintunya biasanya sempit tetapi mungkin lebar. Kadang terbentuk
fekolit (batu tinja) didalamnya. Pada orang barat 95% divertikel
kolon terdapat disigmoid. Divertikel soliter disekum atau divertikel
6
multiple dikolon asendens, yang jarang ditemukan, biasanya
terdapat pada orang asia. (Sjamsuhidajat, 2007)
Pathogenesis
didinding
dipengaruhi
sigmoid.
tekanan
Tekanan
intralumen
intraluminer
dan
defek
bergantung
pada
kepadatan feses yang meningkat bilakekurangan serat. Defek
kecil
dilapisan
otot
dinding
usus
ditemukan
pada
tempat
keluarnya arteri ke apendiks epiploika. (Sjamsuhidajat, 2007)
2.6Patofisiologi/patologi
Divertikulosis menunjukkan kehadiran divertikulum didalam
kolon dan keadaan patologi terlazim dengan lesi ini adalah
diverticulitis. Merupakan suatu keadaan peradangan yang timbul
setelah obstruksi leher divertikulum oleh tinja dan kadang-kadang
barium. Proses ini menyebabkan penyempitan kolon dan bisa
berlanjut ke obstruksi lengkap yang meniru manifesti klinis
karsinoma. Perdarahan gastrointestinal bawah yang massif bisa
mengikuti ulserasi didalam divertikulum. Abses, fstula atau
perforasi sering mengkomplikasi perjalanan diverticulitis, sering
dengan perikolitis dan edema mesentrium. (Sabiston, 1994)
Divertikulosis kolon merupakan penyebab yang paling umum
dari perdarahan saluran cerna bagian bawah. Divertikula kolon
merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada
perut. Dasar anatomi penyebab dari perdarahan ialah pecahnya
secara asimetris cabang intramural (di vasa recta) dari arteri
marginal
pada
kubah
divertikulum
atau
pada
margin
antimesenterikus. Divertikula paling sering terletak pada kolon
sigmoid dan kolon descendens. Kemungkinannya disebabkan oleh
faktor traumatis lumen, termasuk fecalith yang menyebabkan
abrasi
dari
pembuluh
darah,
sehingga
terjadi
perdarahan.
Perdarahan dari lesi kolon kanan dapat lebih banyak dan
menghasilkan volume yang lebih besar daripada divertikula sisi
sebelah kiri. Perdarahan divertikular berasal dari vasa recta yang
terletak di submukosa, yang dapat pecah pada bagian puncak
7
atau leher dari divertikulum tersebut. Divertikula yang terletak
pada sisi kanan dapat mengekspos bagian yang lebih besar dari
vasa recta menjadi luka, karena mereka memiliki bagian leher
yang lebih luas dan bagian kubah yang lebih besar dibandingkan
dengan divertikulum khas pada kolon sisi kiri.
Pathway
Penurunan kekuatan otot
dalam dinding kolon
Peningkatan tekanan
intraluminal
Volume kolon
rendah serat
Hipertrofi muskuler
Herniasi lapisan mukosa
dan submukosa
Divertikulum
Obstruksi
Inflamasi
Inflamasi menyebar ke
dinding
Inflamasi menimbulkan
erosi pembuluh darah
arterial
Abses
perdarahan
peritonitis
8
2.7Manifestasi Klinis
Divertikulum kolon tanpa gejala,kecuali bila dikomplikasi oleh
mikroperforasi dan infeksi, diverticulitis atau perdarahan rectum
tanpa nyeri. Diverticulitis akut mengikuti perforasi dan fekalit
yang terperangkap mengerosi mukosa serta memungkinkan
infeksi menyebar ke dinding usus berdekatan. Manifestasi klinis
diverticulitis
mencakup
nyeri
dan
nyeri
tekan
abdomen,
konstipasi, distensi ringan, demam, dan lekositosis. Masa didalam
abdomen, rectum atau vagina biasanya dapat dipalpasi serta juga
bisa timbul diare. Gejala iritasi vesika urinaria karena piuria
(frekuensi, disuria, dan urgency) sering disebabkan oleh masa
peradangan yang mengenai vesika urinaria atau perkembangan
fstula kedalam vesika urinaria. Perdarahan dari divertikulum
timbul sebagai perdarahan rectum mendadak berwarna merah tua
atau merah terang. Biasanya tanpa nyeri atau bisa disertai
dengan kram ringan. Kadang perdarahan bisa massif, yang
menyebabkan
divertikulum
Diagnosis
syok
jarang
banding
peradangan,
sigmoideum
hemoragik
timbul
dan
berbagai
kematian.
menyertai
mencakup
karsinoma
atau
apendisitis,
ovarium,
jenis
diverticulitis
penyakit
prostatitis,
colitis
Perdarahan
akuta.
adneska
karsinoma
peradangan,iskemik,
infeksiosa. Jika kolon sigmoideum berlebihan danmelipat kearah
kuadran kanan bawah, maka diverticulitis dalam area ini dapat
meniru apenditis. Enema barium adalah pemeriksaan diagnostic
yang penting, tetapi biasanya ditunda selama stadium akuta.
Setelah serangan akuta mereda,maka dilakukan persiapan usus
dengan enema pembersihan yang lembut daripada dengan
laksatif. Criteria radiograf bagi diagnosis diverticulitis akuta telah
berubah dalam tahun belakang ini. Pola gigi gergaji bergerigi
9
tajam dengan divertikulum dalam penyempitan lumen, criteria
yang lazim digunakan dimasa lampau, tidak lagi merupakan bukti
peradangan yang tepat. (Sabiston, 1994)
Obstruksi
bisa
mengikuti
diverticulitis
kronika,
penebalan
peradangan, fbrosis, dan tekanan dari abses perikolika. Kecuali
respon klinis terhadap terapi non bedah segera didapat, maka
pendekatan operasi yang serupa dengan yang digunakan bagi
diverticulitis akuta dengan abses, diindikasikan. (Sabiston, 1994).
Perforasi kolon yang disertai dengan abses jarang terjadi, tetapi
kadang-kadang terihat menyertai terapi kortikoseroid. Tanda
sepsis dan syok bisa ditutup sementara waktu oleh steroid dan
tingginya indeks kecurigaan penting dalam membuat diagnosis.
Eksisi segera dengan kolostomi penglihatan proksimal merupakan
terapi pilihan. (Sabiston, 1994)
Perdarahan dari divertikulum kolon biasanya berhenti spontan
dan dapat ditangani secara konservatif dengan penggantian darah
sesuai keperluan. Kurang dari 20% pasien dengan perdarahan
divertikulum mengalami perdarahan bermakna yang menetap
atau kambuh. Walaupun divertikulum kolon kanan kurang sering
dibandingkan
kolon
kiri,
bila
ada
tampaknya
mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk berdarah. Perbedaan jelas ini
sebagian
bisa
karena
kebingungan
dengan
malformasi
anteriovenosa didalam kolon kanan.karena malformasi demikian
sulit didiagnosis dengan cara biasa bersama perdarahan yang
menetap
dan
tak
dapat
dispesifkasi,
maka
arteriograf
diindikasikan. Karsinoma kolon dapat menyebabkan perdarahan
massif, tetapi hal tersebut tidak lazim. (Sabiston, 1994).
Divertikulosis yaitu adanya divertikel semu multiple, tidak
bergejala pada 80% penderita. Keluhan dan tanda berupa
serangan nyeri, obstipasi, dan diare oleh gangguan motilitas
sigmoid. Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan local ringan
dan sigmoid sering dapat dan diraba sebagai struktur padat. Tidak
10
ada demam atau leukositosis bila tidak ada radang. Keadaan
umum tidak terganggu dan tanda sistemik juga tidak ada. Pada
foto roentgen barium tampak divertikel dengan spasme local dan
penebalan dinding
yang menyebabkan penyempitan lumen.
(Sjamsuhidajat, 2007)
Menurut brunner, 2016
a. Sering kali tidak terlihat gejala yang bermasalah,konstipasi
kronis kerap mengawali perjalanan penyakit.
b. BAB yang tidak teratur, sesekali disertai diare,mual dan
anoreksia, serta kembung atau distensi abdomen.
c. Kram,ukuran feses menyempit , dan peningkatan konstipasi
atau terkadang obstruksi usus.
d. Kelemahan,keletihan, dan anoreksia.
Diverticulitis adalah radang akut dalam divertikel tanpa atau
dengan perforasi. Biasanya radang disebabkan oleh retensi feses
didalamnya. Tekanan tinggi dalam sigmoid yang berperan pada
terjadinya divertikel. Perforasi akibat diverticulitis menyebabkan
peridivertikulitis terbatas, abses, atau peritonis umum. Diagnosis
banding terpenting adalah karsinoma kolon kiri atau kelainan
ginekologik. (Sjamsuhidajat,2007)
Menurut brunner, 2016
a. Nyeri akut ringan hingga berat dikuadran kiri bawah.
b. Mual, muntah, demam, menggigil, dan leuositosis.
c. Jika tidak ditangani peritonitis dan septicemia.
2.8Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar x dengan barium enema.
b. Endokopi (kolonoskopi) untuk menyingkirkan karsinoma kolon.
c. Laboratorium
2.9Penatalaksanakan Medis
Pada serangan akut dilakukan tindakan konservatif berupa
puasa, pemasangan pipa hisab lambung, infuse, pemberian
11
antibiotic sistemik, dan analgetik. Reseksi bagian kolon yang
mengandung divertikel multiple dapat dikerjakan secara elektif
setelah diverticulitis
menyembuh. Reseksi sigmoid
biasanya
dilakukan dengan cara Hartmann dengan kolostomi sementara.
Cara
ini
dipilih
untuk
menghindari
resiko
tinggi
gangguan
penyembuhan luka anastomosis baru dikerjakan setelah rongga
perut dan lapangan bedah bebas kontaminasi dan radang.
(Sjamsuhidajat, 2007).
Komplikasi parah diverticulitis yang mencakup perforasi kolon,
perdarahan tak terkendali, fstula dan obstruksi merupakan
indikasi intervensi bedah gawat darurat. Proses peradangan
dalam
diverticulitis
abdomen
sekeliling
akuta
bisa
dilokalisir
oleh
atau
bisa
berpenetrasi
peritoneum
kedalamorgan
berdekatan. Jika proses ini tampak tampak local tanpa bukti
peritonitis yang menyebar maka diindikasikan terapi non bedah
intensif. Pengisapan nasogaster bagi distensi dan cairan intravena
untuk pemeliharaan hidrasi dan keseimbangan elektrolit bersifat
penting.
Antibiotika
berspektrum
luas,
biasanya
mencakup
ampisilin dan gentamisin, diberikan secara sistemik. Sering abses
hilang dengan terapi demikian serta laksatif yang menyerap air
dan bertindak sebagai masa didalam kolon, dan diet yang tepat
bisa mencegah serangan lebih lanjut. (Sabiston, 1994)
Menetap
atau
membesarnya
masa
peradangan
bersama
demam, peningkatan nyeri dan nyeri tekan, lekositosis serta
tanda sepsis mengaharuskan intervensi bedah segera. Jika masa
peradangan tak dapat disingkirkan, maka biasanya dilakukan
kolostomi pengalihan. Hal ini merupakan penatalaksanaan klasik
perforasi dan jika digunakan mungkin dapat dianjurkan untuk
menempatkan kolostomi serendah mungkin, lebih disukai dalam
kolon desenden atau kolon sigmoideum untuk memungkinkan
evakuasi melalui kolostomi dan mencegah peradangan lebih lanjut
pada tempat abses. Abses juga didrainase serentak, terapi
12
suportif intensif diteruskan dan reseksi dapat dilakukan secara
terencana
6-8
minggu
kesinambungan.
Akhirnya
sebagai
ketiga.
operasi
kemudian
dengan
pembukaan
Ini
adalah
pemulihan
kolostomi
terapi
dilakukan
tradisional
bagi
diverticulitis perforate dengan peritonitis yang dianjurkan dimasa
lampau.
Pendekatan
ini
memerlukan
tiga
operasi
dengan
konvalensensi lama dan peningkatan mortalitas total. Biasanya
kolon yang terlibat direseksi dengan drainasi abses dan kolostomi
proksimal
dengan
penutupan
kolon
sigmoideum
distal.
Reanastomosis terencana pada kolon dilakukan 6-8 minggu
kemudian. Reseksi segera dan anstomosis ujung ke ujung tanpa
pembuatan kolostomi penglihatan telah dianjurkan dalam pasien
terpilih dan merupakan tindakan yang dapat diterima. (Sabiston,
1994).
Penanganan
diverticulitis
Menurut
Brunner
(2016),
penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
:
a. Diverticulitis biasanya ditangani dengan rawat jalan, berupa
pemberian
medikasi
dan
diet,
gejala
ditangan
dengan
istirahat,analgesic, dan antispasmedik.
b. Pasien dianjurkan untuk minum cairan bening sampai infamasi
mereda, kemudian berikan diet tinggi serat dan rendah lemak.
Antibiotic diresepkan untuk 7-10 hari, dan laksatif pembentuk
bungkal juga diresepkan.
c. Pasien yang menunjukkan gejala berat, dan terkadang pasien
lansia,pasien yang mengalami gangguan imu, atau pasien yang
menggunakan
kortikosteroid
diistirahatkan
dengan
harus
dirawat
menghentikan
inap.
asupan
Untuk
cairan,
memberikan cairan IV dan melakukan pengisapan nasogastric.
d. Antibiotic spectrum luas dan analgesic diresepkan, opioid
diresepkan untuk meredakan nyeri. Asupan oral ditingkatkan
13
setelah gejala reda. Diet rendah serat harus diberikan sampai
tanda-tanda infeksi berkurang.
e. Antipasmodik seperti propantelin bromide dan oksifensiklimina
diresepkan.
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama
Umur
:: terjadi pada klien dengan usia 40tahun, tetapi
lebih banyak pada klien yang berusi >60tahun
Jenis Kelamin: Laki-laki memiliki resiko yang sama
Suku
Alamat
:: Lebih banyak terjadi di Negara industri seperti
Amerika Serikat dan Eropa Barat
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Klien datang dengan keluhan nyeri didaerah abdomen.
2. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan gejala devertikulum biasanya merasakan
nyeri hebat dibagian perut yang terinfeksi.
3. Riwayat penyakit dahulu
Memiliki riwayat nyeri perut sebelumnya.
4. Riwayat penyakit keluarga
Salah satu keluarga memiliki riwayat devertikular disease
c. Pola fungsi kesehatan
1. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami penurunan nafsu makan karena klien
akan muntah bila makan.
2. Pola aktivitas.
Aktivitas klien akan terbatasi karena klien kehilangan
sebagian energy akibat susah makan.
14
3. Pola istirahat dan tidur.
Terjadi perubahan pola tidur karena kadang klien
merasakan nyeri.
4. Pola eliminasi
Seseorang yang mengalami divertikulum sebagian besar
mengalami kesulitan dalam pola eliminasi.
5. Pola hubungan peran
Hubungan dan peran klien dalam keluarga mengalami
perubahan karena adanya perubahan kenyamanan pada
klien.
6. Pola penanggulan stress
Biasanya klien merasa cemas dan stress karena keadaan
penyakitnya.
7. Pola tata nilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah klien sedikit terganggu dengan
adanya nyeri pada abdomen.
8. Pola fungsi dan seksualitas
Reproduksi klien dalam batas normal
d. Observasi dan pemeriksaan fsik
1. Keadaan umum
Kesadaran composmentis, tampak lemah
2. Tanda-tanda vital
Nadi
: takikardi
Suhu
: Hipertermi, jika terkena infeksi
TD
: Hipertensi karena ansietas terhadap nyeri
3. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : simetris, tidak terdapat luka, tidak ada benjolan,
kulit kepala bersih.
Rambut
: tidak ketombe
Muka
: tampak sayu, tidak ada luka
Mata
: penglihatan normal, konjungtiva tidak enemis
Hidung : bentuk simetris tidak terdapat secret
15
Mulut
: bibir agak kering, tidak bau, lidah tidak kotor.
Leher
: tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
4. Pemeriksaan thorax
Bentuk normal tidak ada kelainan, paru suara dan nafas
normal tidak ada suara tambahan,jantung teratur tidak ada
suara tambahan
5. Pemeriksaan abdomen
Terjadi ketegangan pada abdomen sehingga sulit untuk
BAB
6. Pemeriksaan ektremitas
Ekstremitas tidak ada kelainan
7. Pemeriksaan integumen
Kulit kering tidak ada kelainan
8. Pemeriksaan genetalia
Keadaan genetalia bersih
9. Pemeriksaan neurologi
System syaraf normal
e. Pemeriksaan diagnostic
1. Sinar-X abdomen
2. Enema barium
3. CT scan
4. Test laboratorium
5. kolonoskopi
3.2 Diagnosa
Data
Etiologi
Ds: klien mengeluh Penahanan/
nyeri pada perut.
Do:
Klien
gelisah
penonjolan
tampak pada
keluar
mukosa
sub
Masalah
Nyeri akut
dan
mukosa
disaluran
gastrointestinal.
16
Ds: klien mengeluh Penyempitan
kembung
pada sekunder
kolon Gangguan BAB
akibat (Konstipasi)
abdomen,
penebalan
merasa mual.
otot dan struktur.
Do:
perut
klien
buncit,
agak
keras
Ds:
Klien Penurunan
mengatakan
makan
makan.
nafsu ketidakseimbangan
terhadap nutrisi kurang dari
mual, tidak nafsu nyeri
Do:
segmen
ditandai kebutuhan tubuh.
dengan
klien
hanya
lemas, makan 3-4 sendok.
lesu, porsi makan
hanya
3-4
sendok.
Ds:
klien Gangguan pola tidur Gangguan pola tidur
mengatakan
tidak
bisa
karena
berhubungan
tidur dengan nyeri pada
merasa abdomen
nyeri.
ditandai
yang
klien
Do:klien gelisah
Ds : klien cemas,
gelisah.
Ansietas yang
penyakitnya
berhubungan
tidak sembuh
dengan nyeri yang
sembuh
tidak sembuh
Ansietas
Do : klien tampak sembuh ditandai
cemas
Ds : Klien
klien tampak cemas
Hipertermia yang
merasakan panas
berhubungan
dalam tubuhnya,
dengan dehidrasi
kedinginan.
ditandai dengan
Do: Suhu 39oC, nadi suhu tubuh 39oC,
cepat
nadi cepat
17
Hipertermia
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
kronis
yang
berhubungan
dengan
penahanan/
penonjolan keluar pada mukosa dan sub mukosa disaluran
gastrointestinal yang ditandai klien mengeluh nyeri pada
perut, klien tampak gelisah.
2. Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi (pembedahan)
ditandai dengan klien Terdapat luka post operasi pada
daerah
kuadran
kiri
bawah.
,Klien meringis kesakitan dan skala nyeri 5
3. Konstipasi yang berhubungan dengan penyempitan kolon
sekunder akibat penebalan segmen otot dan struktur yang
ditandai dengan klien mengeluh kembung pada abdomen,
merasa mual, perut klien buncit, agak keras.
4. Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
tubuhyang berhubungan dengan penurunan nafsu makan
terhadap nyeri ditandai dengan hanya makan setengah
porsi makan.
5. Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan klien
merasakan nyeri pada abdomen ditandai pasien gelisah.
6. Ansietas yang berhubungan dengan nyeri yang tidak
kunjung sembuh yang ditandai klien tampak cemas.
7. Hipertermia yang berhubungan dengan dehidrasi yang
ditandai dengan suhu tubuh 39oC, nadi cepat
3.3 Intervensi
Diagnosa
Tujuan dan criteria
intervensi
hasil
Nyeri akut
NOC
1. osis optimal.
Pain level
2. Pilih rute pemberian
Pain control
secara IV, IM untuk
Comfort level
pengobatan
Kriteria hasil
teratur.
18
nyeri
1. Mampu
3. Monitor
vital
sign
mengontrol nyeri
sebelum dan sesudah
(tahu
penyebab
pemberian
nyeri,
mampu
menggunakan
teknik
analgesic
pertama kali.
4. Berikan
non
farmakologi
analgesic
tepat
5. waktu terutama saat
untuk
nyeri hebat.
mengurangi
6. Evaluasi
nyeri)
efektivitas
analgesic tanda dan
2. Melaporkan
bahwa
gejala.
nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manjemen nyeri.
3. Mampu
mengenali
nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi
dan
tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman
Nyeri kronis
setelah
nyeri berkurang.
NOC
Comfort level
1. Pain Manajemen
Pain control
2.
Pain level
Monitor
kepuasan
Kriteria hasil
1.
NIC
Tidak
terhadap
ada
gangguan tidur
2. Tidak
nyeri3.
ada
19
manajemen
3. Tingkatkan
pasien
gangguan
istirahat dan tidur
konsentrasi
yang adekuat
3.Tidak
ada
4. Kelola
gangguan hubungan
interpersonal
analgetik
5.
pasien
menahan nyeri dan
nyeri
secara
5.
pada
penyebab
6. Lakukan
verbal
tehnik
nonfarmakologis
Tidak
ada
(relaksasi, masase
tegangan otot
Konstipasi
Jelaskan
4. Tidak ada ekspresi
ungkapan
anti
punggung)
NOC
NIC
Bowel elimination
Konstipasi/impaction
Hydration
management
Kriteria hasil
1. Monitor
1. Mempertahankan
bentuk feses.
tanda
dan
gejala konstipasi.
2. Monitor bising usus.
2. Lunak setiap 1-3
hari.
3. Monitor
feses
(frekuensi,
3. Bebas
dari
ketidaknyamanan
dan konstipasi.
4. Mengidentifkasi
indicator
untuk
konsistensi,
volume)
4. Jelaskan etiologi dan
rasionalisasi
tindakan
mencegah
pasien.
konstipasi.
5. Identifkasi
5. Feses lunak dan
berbentuk.
dan
terhadap
faktor
penyebab
konstribusi
konstipasi.
6. Dukung
20
intake
cairan
7. Kolaborasikan
pemberian laksatif.
8. Pantau
tanda-tanda
dan gejala impaksi.
9. Memantau
usus,
gerakan
termasuk
konsistensi
frekuensi,
bentuk,
volume, dan warna.
10. Memantau
bising
usus.
11. Konsultasikan
dengan
dokter
tentang
penurunan/kenaikan
frekuensi
bising
usus.
12. Pantau tanda gejala
pecahnya
usus/peritonitis
13. Jelaskan
etiologi
masalah
dan
pemikiran
untuk
tindakan pasien.
14. Mendorong
meningkatkan
asupan cairan.
15. Evaluasi profl obat
untuk efek samping
gastrointestinal.
16. Anjurkan
21
pasien/keluarga
mencatat
warna,
volume,
frekuensi,
dan konsistensi tinja.
17. Anjurkan
pasien
untuk
tinggi
diet
serat.
18. Anjurkan
pada
pasien
penggunakan
yang tepat dari obat
pencahar.
19. Anjurkan
pasien
pada
hubungan
asupan
diet,
olahraga, dan cairan
sembelit/impaksi.
20. Timbang BB pasien
Ketidakseimba
NOC
secara teratur.
NIC
ngan nutrisi
1. Nutrisional status
Nutrision
kurang dari
2. Intake
management
kebutuhan
3. Weight control
1. Kaji
tubuh
Kriteria Hasil
adanya
alergi
makanan.
1. Adanya
2. Kolaborasi
peningkatan berat
ahli
badan
menentukan jumlah
sesuai
tujuan.
kalori
2. Berat badan ideal
sesuai
tinggi
badan.
gizi
dengan
dan
yang
nutrisi
dibutuhkan
pasien.
3. Anjurkan
3. Mampu
untuk
pasien
untuk meningkatkan
mengidentifkasi
22
protein dan vitamin
kebutuhan nutrisi.
C
4. Tidak ada tanda-
4. Berikan
tanda malnutrisi.
gula.
5. Menunjukkan
substansi
5. Yakinkan diet yang
peningkatan
dimakan
fungsi
mengandung
tinggi
serat
untuk
pengecapan
dan
menelan.
mencegah
6. Tidak
terjadi
penurunan
berat
badan
yang
berarti.
konstipasi.
6. Berikan
makanan
yang terpilih.
7. Monitor
jumlah
nutrisi
dan
kandungan kalori.
8. Berikan
informasi
tentang
kebutuhan
nutrisi.
9. Kaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. BB
pasien
dalam
batas normal.
2. Monitor
adanya
penurunan
berat
badan.
3. Monitor
jumlah
yang
tipe
dan
aktivitas
biasa
dilakukan.
4. Monitor
23
interaksi
anak atau orang tua
selama makan.
5. Monitor
lingkungan
selama makan.
6. Monitor kulit kering
dan
perubahan
pigmentasi.
7. Monitor turgor kulit
8. Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Monitor
mual
dan
muntah.
10. Monitor
kadar
albumin,
total
protein,
Hb,
dan
kadar Ht.
11. Monitor
pertumbuhan
dan
perkembangan.
12. Monitor
pucat,
kemerahan
dan
kekeringan jaringan
konjungtiva.
13. Monitor
kalori
dan
intake nutrisi.
14. Catat
edema,
adanya
hiperemik,
hipertonik,
papilla
lidah
cavitas
dan
oral.
15. Catat
24
jika
lidah
berwarna
magenta,
scarlet.
Gangguan pola
NOC
NIC
tidur
1. Anxiety reduction
Sleep Enhancement
2. Comfort level
1. Determinasi efek-efek
3. Pain level
medikasi
4. Rest : Extent dan
pola tidur
pattern
5. Sleep
terhadap
2. Jelaskan
:
Extent
danpattern
pentingnya
tidur yang adekuat.
3. Fasilitas
untuk
Kriteria Hasil
mempertahankan
1. Jumlah jam tidur
aktiftas
dalam
batas
normal
sebelum
tidur.
6-8 4. Ciptakan
jam/hari.
lingkungan
yang nyaman.
2. Pola tidur, kualitas 5. Kolaborasi pemberian
dalam
batas
normal.
obat tidur.
6. Diskusikan
3. Perasaan
segar
pasien dan keluarga
sesudah tidur atau
tentang
istirahat.
pasien
4. Mampu
dengan
teknik
tidur
7. Monitor waktu makan
mengidentifkasi
dan
hal-hal yang dapat
waktu tidur.
meningkatkan
tidur.
minum
dengan
8. Monitor/catat
kebutuhan
tidur
pasien setiap hari dan
Ansietas
jam.
NIC
NOC
1. Anxiety
self- Anxiety Reduction
control
1. Gunakan
2. Anxity level
25
pendekatan
yang
3. Koping
menyenangkan.
Kriteria Hasil
1. Klien
2. Nyatakan
mampu
jelas
harapan
mengidentifkasi
terhadap
dan
pasien.
mengungkapkan
gejala cemas.
1. Mengidentifkasi,
mengungkapkan
dan menunjukkan
teknik
untuk
mengontrol
pelaku
3. Jelaskan
semua
prosedur
dan
apa
yang
dirasakan
selama prosedur
4. Pahami
perspektif
pasien
terhadap
situasi stress.
cemas.
5. Temani pasien untuk
2. Vital sign dalam
batas normal.
3. Postur
ekpresi
dan
tubuh,
mengurangi
rasa
wajah,
takut.
aktivitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.
memberikan
keamanan
bahasa tubuh dan
tingkat
dengan
6. Lakukan back atau
neck rub.
7. Dorong
keluarga
untuk menemani.
8. Dengarkan
dengan
penuh perhatian.
9. Identifkasi
tingkat
kecemasan
10. Bantu pasien untuk
mengenal
yang
situasi
menimbulkan
kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan,
26
ketakutan,persepsi.
12. Instrusikan
pasien
menggunakan teknik
relaksasi.
13. Berikan obat untuk
mengurangi
Hipertermia
NOC
kecemasan.
NIC
Thermoregulation
Fever treatment
Kriteria hasil
1. Monitor
1. Suhu tubuh dalam
rentang normal.
2. Nadi
dan
sesering mungkin.
2. Monitor IWL
RR 3. Monitor warna dan
rentang normal.
3. Tidak
suhu
suhu kulit.
ada 4. Monitor
perubahan
warna
tekanan
darah, nadi dan RR
kulit dan tidak ada 5. Monitor
pusing
tingkat
penurunan
kesadaran.
6. Monitor
WBC,
Hb,
dan Htc.
7. Monitor intake dan
output.
8. Berikan antipiretik
9. Berikan pengobatan
untuk
mengobati
penyakit demam
10. Selimuti pasien
11. Lakukan
tapid
sponge
12. Kolaborasi
pemberian
27
cairan
intravena.
13. Kompres
pasien
pada lipat paha dan
aksila.
14. Tingkatkan sirkulasi
udara.
15. Berikan pengobatan
untuk
mencegah
terjadinya
menggigil.
Temperature
regulation
1. Monitor
suhu
minimal tiap 2 jam.
2. Rencanakan
monitoring
suhu
secara kontinyu.
3. Monitor TD, nadi dan
RR
4. Monitor warna dan
suhu kulit.
5. Monitor
tanda
hipertermi
dan
hipotermi.
6. Tingkatkan
intake
cairan dan nutrisi.
7. Selimuti
untuk
pasien
mencegah
hilangnya
kehangatan tubuh.
8. Ajarkan pada pasien
cara
28
mencegah
keletihan
akibat
panas.
9. Diskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan
dan
efek
suhu
kemungkinan
negative
dari
kedinginan.
10. Beritahukan tentang
indikasi
terjadinya
keletihan
dan
penanganan
emergency
yang
diperlukan.
11. Berikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Monitor
TD,nadi,
suhu, dan RR
2. Catat
adanya
fuktuasi
tekanan
darah
3. Monitor
pasien
VS
saat
berbaring,
duduk dan berdiri.
4. Auskultasi TD pada
kedua
lengan
dan
bandingkan
5. Monitor TD,nadi, RR
sebelum selama dan
setelah aktivitas.
6. Monitor
nadi.
29
kualitas
7. Monitor
frekuensi
dan
irama
pernafasan.
8. Monitor suara paru.
9. Monitor
pola
pernafasan
abnormal
10.
Monitor
warna,
suhu,
kelembapan
kulit.
11.
Monitor
sianosis
perifer.
12.
Monitor
adanya
cushing
triad
(tekanan nadi yang
melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.
Identifkasi
penyebab
dari
perubahan vital sign
3.4 Implementasi
Diagnose
Nyeri akut
Implementasi
Pain management
1. Melakukan
pengkajian
nyeri
secara
komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas
dan
faktor
presipitasi.
2. Mengobservasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan.
3. Menggunakan teknik komunikasi terapeutik
untuk
mengetahui
30
pengalaman
nyeri
pasien.
4. Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon
nyeri.
5. Mengevaluasi
pengalaman
nyeri
masa
lampau.
6. Mengevaluasi
kesehatan
bersama
lain
pasien
tentang
dan
tim
ketidakefektifan
control nyeri masa lampau.
7. Membantu
pasin
dan
keluarga
untuk
mencari dan menemukan dukungan.
8. Mengkontrol
lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pencahayaan, dan kebisingan.
9. Mengurangi faktor presipitasi nyeri.
10. Memilih dan melakukan penanganan nyeri
(farmakologi,non
farmakologi
dan
interpersonal)
11. Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentuka intervensi.
12. Mengajarkan teknik non farmakologi.
13. Memberikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
14. Mengevaluasikeefektifan control nyeri.
15. Meningkatkan istirahat.
16. Memonitor
penerimaan
pasien
tentang
manajemen nyeri.
Analgesic administration.
1. Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dan derajad nyeri sebelum pemberian
obat.
2. Memilih analgesic yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesic ketika pemberian
31
lebih dari satu.
3. Menentukan pilihan anlgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri.
4. Menentukan
analgesic
pilihan,
rute
pemberian dan dosis optimal.
5. Memilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri teratur.
6. Memonitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesic pertama kali.
7. Memberikan
analgesic
tepat
waktu
terutama saat nyeri hebat.
8. Mengevaluasi efektivitas analgesic tanda
Nyeri kronis
dan gejala.
1. manajemen nyeri klien
2.
Memonitor
kepuasan
pasien
terhadap
manajemen nyeri
3.
Mingkatkan
istirahat
dan
tidur
yang
adekuat pada klien
4. Mengelola anti analgetik
5. Menjelaskan pada pasien penyebab nyeri
6.
Melakukan
tehnik
nonfarmakologis
(relaksasi, masase punggung)
Konstipasi
Konstipasi/impaction management
1. Memonitor tanda dan gejala konstipasi.
2. Memonitor bising usus.
3. Memonitor feses (frekuensi, konsistensi,
dan volume)
4. Menjelaskan
etiologi
dan
rasionalisasi
tindakan terhadap pasien.
5. Mengidentifkasi
faktor
konstribusi konstipasi.
32
penyebab
6. Mendukung intake cairan
7. Mengkolaborasikan pemberian laksatif.
8. Memantau
tanda-tanda
dan
gejala
impaksi.
9. Memantau
gerakan
usus,
termasuk
konsistensi frekuensi, bentuk, volume, dan
warna.
10. Memantau bising usus.
11. Mengkonsultasikan dengan dokter tentang
penurunan/kenaikan frekuensi bising usus.
12. Memantau
tanda
gejala
pecahnya
usus/peritonitis
13. Menjelaskan
etiologi
masalah
dan
pemikiran untuktindakan pasien.
14. Mendorong meningkatkan asupan cairan.
15. Mengevaluasi
profl
obat
untuk
efek
samping gastrointestinal.
16. Menganjurkan pasien/keluarga mencatat
warna, volume, frekuensi, dan konsistensi
tinja.
17. Menganjurkan pasien untuk diet tinggi
serat.
18. Menganjurkan pasien pada penggunakan
yang tepat dari obat pencahar.
19. Menganjurkan
pasien
pada
hubungan
asupan diet, olahraga, dan cairan sembelit/
impaksi.
Keseimbangan
20. Menimbang BB pasien secara teratur.
Nutrision management
nutrisi kurang
1. Mengkaji adanya alergi makanan.
dari kebutuhan
2. Mengkolaborasikan
tubuh
dengan
ahli
gizi
untukmenentukan jumlah kalori dannutrisi
33
yang dibutuhkan pasien.
3. Menganjurkan pasien untuk meningkatkan
protein dan vitamin C.
4. Memberikan substansi gula.
5. Meyakinkan
diet
yang
dimakan
mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi.
6. Memberikan makanan yang terpilih.
7. Memonitor jumlah nutrisi dan kandungan
kalori.
8. Memberikan informasi tentang kebutuhan
nutrisi.
9. Mengkaji
kemampuan
pasien
untuk
mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan.
Nutrision monitoring
1. Menimbang
BB
pasien
dalam
batas
penurunan
berat
normal.
2. Memonitor
adanya
badan.
3. Memonitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan.
4. Memonitor interaksi anak atau orang tua
selama makan.
5. Memonitor lingkungan selama makan.
6. Memonitor kulit kering dan perubahan
pigmentasi.
7. Memonitor turgor kulit
8. Memonitor kekeringan, rambut kusam, dan
mudah patah.
9. Memonitor mual dan muntah.
10. Memonitor kadar albumin, total protein,
Hb, dan kadar Ht.
34
11. Memonitor
pertumbuhan
dan
perkembangan.
12. Memonitor
pucat,
kemerahan
dan
kekeringan jaringan konjungtiva.
13. Memonitor kalori dan intake nutrisi.
14. Mencatat
adanya
edema,
hiperemik,
hipertonik, papilla lidah dan cavitas oral.
15. Mencatat jika lidah berwarna magenta,
Gangguan pola
scarlet.
Sleep Enhancement
tidur
1. Mendeterminasi
efek-efek
medikasi
terhadap pola tidur
2. Menjelaskan
pentingnya
tidur
yang
adekuat.
3. Memfasilitasi
untuk
mempertahankan
aktiftas sebelum tidur.
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman.
5. Mengkolaborasikan pemberian obat tidur.
6. Mendiskusikan
dengan
pasien
dan
keluarga tentang teknik tidur pasien
7. Memonitor
waktu
makan
dan
minum
dengan waktu tidur.
8. Memonitor/mencatat
Ansietas
kebutuhan
pasien setiap hari dan jam.
1. Mengggunakan
pendekatan
tidur
yang
menyenangkan.
2. Menyatakan
dengan
jelas
harapan
prosedur
dan apa
terhadap pelaku pasien.
3. Menjelaskan semua
yang dirasakan selama prosedur
4. Menjelaskan perspektif pasien terhadap
situasi stress.
35
5. Menemani
pasien
untuk
memberikan
keamanan dan mengurangi rasa takut.
6. Melakukan back atau neck rub.
7. Mendorong keluarga untuk menemani.
8. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
9. Mengidentifkasi tingkat kecemasan
10. Membantu pasien untuk mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
11. Mendorong pasien untuk mengungkapkan
perasaan, ketakutan,persepsi.
12. Menginstrusikan
pasien
menggunakan
teknik relaksasi.
13. Memberikan
Hipertermia
obat
untuk
mengurangi
kecemasan.
Fever treatment
1. Memonitor suhu sesering mungkin.
2. Memonitor IWL.
3. Memonitor warna dan suhu kulit.
4. Memonitor tekanan darah, nadi dan RR
5. Memonitor tingkat penurunan kesadaran.
6. Memonitor WBC, Hb, dan Htc.
7. Memonitor intake dan output.
8. Memberikan antipiretik.
9. Memberikan pengobatan untuk mengobati
penyakit demam.
10. Menyelimuti pasien.
11. Melakukan tapid sponge.
12. Mengkolaborasikan
pemberian
cairan
intravena.
13. Mengkompres pasien pada lipat paha dan
aksila.
14. Meningkatkan sirkulasi udara.
36
15. Memberikan pengobatan untuk mencegah
terjadinya menggigil.
Temperature regulation
1. Memonitor suhu minimal tiap 2 jam.
2. Merencanakan
monitoring
suhu
secara
kontinyu.
3. Memonitor TD, nadi dan RR.
4. Memonitor warna dan suhu kulit.
5. Memonitor tanda hipertermi dan hipotermi.
6. Meningkatkan intake cairan dan nutrisi.
7. Menyelimuti
pasien
untuk
mencegah
hilangnya kehangatan tubuh.
8. Mengajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas.
9. Mediskusikan
tentang
pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negative dari kedinginan.
10. Memberitahukan
terjadinya
tentang
keletihan
dan
indikasi
penanganan
emergency yang diperlukan.
11. Memberikan antipiretik
Vital sign Monitoring
1. Memonitor TD,nadi, suhu, dan RR
2. Mencatat adanya fuktuasi tekanan darah
3. Memonitor
VS
saat
pasien
berbaring,
duduk dan berdiri.
4. Melakukan
auskultasi
TD
pada
kedua
lengan dan bandingkan
5. Memonitor TD,nadi, RR sebelum selama
dan setelah aktivitas.
6. Memonitor kualitas nadi.
7. Memonitor
37
frekuensi
dan
irama
pernafasan.
8. Memonitor suara paru.
9. Memonitor pola pernafasan abnormal.
10.Memonitor suhu, warna, kelembapan kulit.
11.Memonitor sianosis perifer.
12.Memonitor adanya cushing triad (tekanan
nadi
yang
melebar,
bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.Mengidentifkasi penyebab dari perubahan
vital sign
3.5 Evaluasi
Data
Nyeri akut
Evaluasi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
Nyeri kronis
P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan nyeri di abdomen sedikit
berkurang
P: nyeri karena adanya penonjolan
Q : seperti ditusuk-tusuk
R : kuadran kiri bawah
S : skala nyeri 5
T : hilang timbul
O : Ekspresi wajah tenang
A : Masalah teratasi sebagian
Konstipasi
P : lanjutkan intervensi
S : klien mengatakan sudah lancer BAB
O : feses lunak
A : masalah teratasi
Ketidakseimba
P : Anjurkan makan diet tinggi serat
S : klien mengatakan sudah nafsu makan dan
38
ngan nutrisi
tidak mual.
kurang dari
O : Porsi makan penuh dihabiskan
kebutuhan
A : Masalah teratasi
tubuh
Gangguan pola
P : anjurkan tetap makan meskipun mual.
S : Klien mengatakan sudah bisa tidur
tidur
O : Klien tidur
A : Masalah teratasi
Ansietas
P : Anjurkan tetap rileks
S : Klien mengatakan sudah tidak gelisah
O : Klien tampak tenang
A : Masalah teratasi
Hipertermia
P : Anjurkan tetap rileks
S : klien mengatakan suhu tidak panas lagi
O : Suhu tubuh normal
A : Masalah teratasi
P : Anjurkan banyak minum
39
BAB 4. PENUTUP
4. 1 Kesimpulan
Divertikula merupakan penonjolan berbentuk kantung dari
dinding kolon dengan besar bervariasi dari beberapa millimeter
sampai beberapa sentimeter. Divertikula biasanya merupakan
manifestasi motalitas yang abnormal. Divertikulum dapat terjadi
di mana saja sepanjang saluran gastrointestinal. Biasanya
penyakit ini disebakan karena klien mengkonsumsi rendah serat.
Penyakit divertikula ini sering terjadi di amerika serikat,mayoritas
penyakit divertikulaini menyerang pada usia lansia >80 tahun.
4. 2 Saran
Memperhatikan
penting,
agar
nutrisi
system
yang
kita
pencernaan
konsumsi
kita
tidak
sangatlah
mengalami
gangguan seperti penyakit divertikula. Oleh karena itu, sebelum
makan kita harus memperhatikan kandungan dalam makanan.
Upaya yang dapat kita lakukan
untuk menghindari penyakit
divertikula adalah mengkonsumsi makanan yang tinggi serat,
terutama bagi lanjut usia karena penyakit ini mudah menyerang
kepada usia lanjut.
40
41
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth.2016. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Carpenito – moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Corwin J. Elisabet.2004.patofisiologi untuk perawat.EGC,Jakarta.
Doenges, Marilyn E, dkk.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta : EGC.
Pierce,A,.Grace,.Neil R. Borley,.2006. At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta : EGC
Tambayong, Jan,2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Sabiston, & David. 2000. Buku Teks Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara
Sabiston. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC
Schwartz. 2007. Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT
15.EGC.Jakarta.