4.1 Aspek Lingkungan dan Sosial - DOCRPIJM 095f69139c BAB IVBAB IV ANALISIS

SOPPENG 2017-2021

BAB IV ANALISIS SOSIAL DAN LINGKUNGAN

4.1 Aspek Lingkungan dan Sosial

4.1.1 Aspek Lingkungan

  Kebijakan nasional penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UU 24/1992), yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU 26/2007). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang nasional yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Namun, setelah lebih dari 25 tahun diberlakukannya kebijakan tersebut, kualitas tata ruang masih belum memenuhi harapan. Bahkan cenderung sebaliknya, justru yang belakangan ini sedang berlangsung adalah indikasi dengan penurunan kualitas dan daya dukung lingkungan. Pencemaran dan kerusakan lingkungan bahkan makin terlihat secara kasat mata baik di kawasan perkotaan maupun di kawasan perdesaan.

  Isu-isu lingkungan hidup yang semakin menguat dewasa ini, termasuk pada aras global, secara substantif merupakan suatu wacana korektif terhadap paradigma pembangunan (developmentalism). Krisis lingkungan hidup yang semakin luas di Indonesia dewasa ini, ditengarai karena antara lain perencanaan pembangunan yang bias pertumbuhan ekonomi ketimbang ekologi. Sehingga sebagai akumulasinya dalam dekade terakhir ini kita seperti menuai bencana lingkungan. Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, degradasi hutan dan keanekaragaman hayati, serta pencemaran sungai, dan udara, datang silih berganti. Sebagai akibatnya, biaya (cost) dampak lingkungan hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah jauh lebih besar ketimbang manfaat (benefit) ekonomi yang diperoleh.

  Dengan diberlakukannya kebijakan nasional penataan ruang tersebut, maka tidak ada lagi tata ruang wilayah yang tidak direncanakan. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, penegasan sanksi atas pelanggaran tata ruang sebagaimana diatur dalam UU 26/2007 menuntut proses perencanaan tata ruang harus diselenggarakan dengan baik agar penyimpangan pemanfaatan ruang bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas rencana tata ruang wilayah. Guna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis [KLHS] atau Strategic Environmental Assessment [SEA] menjadi salah satu pilihan alat

SOPPENG 2017-2021

  bantu melalui perbaikan kerangka pikir [framework of thinking] perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup.

  Pengarusutamaan (mainstreaming) pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai landasan operasional pelaksanaan pembangunan, sepertitercantum dalam RPJP dan RPJM Nasional. Lebih dariitu, selain UUD 45, UU tentang Lingkungan Hidup, UUtentang Penataan Ruang serta UU Otonomi Daerah telah menegaskan arti pentingnya lingkungan hidup Secara filosofis maupun fenomena riel, pendekatan konsep keruangan sangat identik dengan fenomena lingkungan hidup yang dinamis dan sistemik.

  Fenomena ini menjadi dasar argumentasi perhatian pada lingkungan hidup dalam konstelasi pelaksanaan pembangunan nasionaldan daerah melalui implementasi UU Penataan Ruang. Oleh karena itu, setiap proses perumusan visi, misi,tujuan, dan strategi pembangunan sampai dengan pelaksanaannya yang memerlukan alokasi kegiatan disuatu lokasi atau kawasan tertentu akan senantiasa mengandung kepentingan pelestarian lingkungan hidup.

  Dalam konteks mekanisme implementasi strategi pembangunan, perhatian pada lingkunganhidup ini seyogyanya ditempatkan sejak awal proses penetapan strategi sampai dengan pelaksanaannya. Sejumlah studi dan upaya untuk mengenalkan serta menerapkan kajian lingkungan hidup strategis telahdilakukan sejak 5 (lima) tahun terakhir atas inisiatifKLH, Bappenas, dan Depdagri. Orientasi kegiatan tidak saja menyangkut pembangunan regional dan pembangunan daerah tetapi juga pembangunansektoral, serta pengujian konsep, kebijakan, metode,dan teknis analisis.

  Menyadari bahwa instrumen lingkungan hidup yang tersedia saat ini baru pada tingkat proyek (pelaksanaan AMDAL), maka masih dibutuhkan satu alat kaji pada tingkat strategis, setara dengan strategi pembangunan nasional maupun daerah. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah tentang AMDAL dinyatakan bahwa salahsatu instrumennya yaitu AMDAL Regional telah dihapuskan, sehingga sebuah format kajian mengenai lingkungan hidup pada aras strategis dalam konteks pembangunan semakin diperlukan.

  Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau yang secara internasional dikenal sebagai Strategic Environmental Assessment (SEA), dalam satu dekade terakhir dapat dikatakan masih dalam tahap awal pengembangan di Indonesia. Yang dimaksud dengan tahap awal adalah bahwa KLHS baru dalam tahap penapisan (screening) dan pelingkupan (scoping) serta masih dalam bentuk kajian yang belum diimplementasikan secara riel. Dengan kata lain, KLHS belum menjadi bagian dari kebijakan pembangunan nasional. Namun dari pengalaman selama ini, dapatditarik satu kesimpulan bahwa KLHS sudah sampai padataraf sangat dibutuhkan, dan perlu segera diterapkan secara riel serta diformalkan dalam konteks kebijakan nasional maupun daerah.

SOPPENG 2017-2021

  10. Tersusunnya aturan pendanaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang inovatif.

  5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup, baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulatif, fenomena alam yang musiman, dan bencana.

  4. Meningkatkan upaya pengendalian dampaklingkungan akibat kegiatan pembangunan.

  3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemaran lingkungan.

  2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah.

  1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan.

  Sementara itu, pembangunan lingkungan hidup secara khusus diarahkan untuk:

  12. Meningkatkan kesadaran rakyat akan pentingnya konservasi lingkungan hidup dan sumber daya alam.

  11. Meningkatkan diplomasi internasional.

  Sebagai satu konsep yang baru tetapi sangat dibutuhkan maka sejumlah alternatif mekanisme penerapannya dalam konteks substansi, konstitusi, kelembagaan maupun pendekatan, metode,dan teknis pelaksanaannya telah dicoba untuk dirumuskan. Tentunya alternatif - alternatif ini perlu di uji coba pula, khususnya dalam konteks kebijakan penyelenggaraannya.

  Memahami permasalahan dan tantangan di atas,maka sasaran pembangunan lingkungan hidup yang ditetapkan pemerintah dapat dirinci sebagai berikut:

  8. Meningkatkan sistem pengelolaan limbah B3.

  7. Meningkatkan upaya pengelolaan sampah perkotaan dengan menempatkan faktor lingkungan sebagai penentu kebijakan.

  IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan) 2003 –2020.

  6. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sesuai dengan

  5. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global.

  4. Pengurangan penggunaan bahan perusak ozon (BPO) secara bertahap.

  3. Meningkatkan kualitas udara, khususnya di daerah perkotaan, melalui kebijakan transportasi yang ramah lingkungan.

  2. Terkendalinya pencemaran melalui usaha konservasi tanah.

  1. Meningkatkan kualitas air permukaan (sungai,danau, dan situ), sekaligus pengendalian dan pemantauan terpadu antarsektor.

  9. Tersusunnya informasi dan peta wilayah yang rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam (banjir, kekeringan, gempa bumi,tsunami, dan lainnya).

SOPPENG 2017-2021

  6. Membangun kesadaran rakyat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan

  7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana.

  Selanjutnya, arah pembangunan di atas dijabarkan dalam program-program pembangunan yang langsung terkait dengan urusan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004

  • – 2009. Program ini bertujuan untuk menjamin kualitas ekosistem agar fungsinya sebagai penyangga sistem kehidupan dapat terjaga dengan baik. Kegiatan pokok yang tercakup antara lain penyusunan tata ruang dan zonasi untuk perlindungan sumber daya alam, terutama wilayah-wilayah yang rentan terhadap gempa bumi tektonik dan tsunami, banjir, kekeringan,serta bencana alam lainnya;

4.1.1.1Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)

  Mengacu pada UU SPPN, UU Lingkungan Hidup, dan RPJM 2004-2009 serta UU Otonomi Daerah berikut arahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Dirjen PUOD, konsep KLHS secara filosofis dan konseptual sangat relevan menjadi bagian pokok arah kebijakan pembangunan, dengan mengingat bahwa pembangunan lingkungan merupakan dasar bagi pembangunan berkelanjutan. Konsep KLHS memiliki kapasitas untuk menjadi payung yang mengintegrasikan permasalahan riel dan kebutuhan pembangunan dengan proses pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih bersifat holistik dan sistemik bukan kepentingan pragmatis sektoral semata yang saratdengan konflik dan perilaku eksploitatif sumber daya alam. Bahkan dari sisi kepentingan politik, penerapan konsep KLHS memiliki potensi sebagai integrator kekuatan-kekuatan politik yang berkembang melalui mekanisme dinamika partai politik, yaitu kampanye politik dan sistem pemilihan umum.

  Namun demikian, permasalahan yang muncul dan menjadi perhatian untuk dicarikan terobosan solusinya dalam kondisi saat ini adalah pada tatanan metode penerapannya, karena dalam acuan struktur kebijakan khususnya dalam kaitannya dengan institusionalisasinya masih ditemui inkonsistensi,serta belum terdefinisi secara operasional dan sistematik. Belum lagi dengan adanya kemungkinan ketidakserasian antar kebijakan sektoral yang seringkali menimbulkan konflik, dimana masing-masing kebijakan sektoral dipayungi oleh kekuatan hukum yang setara tingkatannya (antar Undang-Undang, Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah).

SOPPENG 2017-2021

  Mengingat kondisi di atas, terlihat perlunya dilakukan terobosan-terobosan kreatif untuk menghasilkan inovasi dalam merancang kebijakan strategis pembangunan melalui pemanfaatan instrumen peraturan perundangan yang berlaku serta legitimasi kelembagaan, dimana keterlibatan rakyat yang secara riel terkait langsung dengan fenomena lingkungan hidup menjadi kuncinya. Pada prakteknya, sesuai dengan definisi yang tertuang dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang (UU No. 26 tahun 2007), di manapun ada kehidupan atau kegiatan manusia pasti terkait secarasistem atau fungsional dengan permasalalan lingkungan hidup. Oleh karena itu menjadi semakin mendesak untuk dilakukan terobosan dalam merumuskan development administration KLHS (terkait dengansistem politik, sosial-budaya-ekonomi dan birokrasi) mengikuti konteks perkembangan kepentingan pembangunan Indonesia masa kini dan mendatang.

  Menyadari banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang berskala regional ataupun nasional bahkan lintas negara, dan tidak cukup memadainya instrumen AMDAL yang hanya berorientasi pada skala proyek, kini telah dikembangkan satu instrumen yang berskala regional sampai internasional pada tataran strategis. Instrumen ini kemudian dipopulerkan dengan istilah Strategic Environment Assessment (SEA), yang kemudian diterjemahkan sebagai Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). KLHS kini tidak hanya menjadi perhatian, tetapi juga telah ditetapkan sebagai mandatory atau directive di sejumlah negara di Asiadan Afrika, Australia, dan Selandia Baru, serta beberapa badan dunia seperti Uni Eropa, World Bank, dan Asian Development Bank.

  Mengikuti perkembangan ini, KLH telah berinisiatif untuk mengembangkannya sejak lebih dari lima tahun lalu. Sebagaimana tahap inisiasi pada umumnya, kegiatan yang terkait dengan pemikiran KLHS ini masih lebih dikonsentrasikan pada studi dan pengenalan. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan tersebut belum dapat dikatakan sebagai kegiatan KLHS seutuhnya, sehingga dapat dikatakan masih “nearly SEA”. Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan penyelesaian masalah lingkungan hidup pada tataran regional dan strategis di Indonesia, maka instrumen KLHS ini dituntut untuk segera menjadi acuan dasar dalam mengkaji kebutuhan, perumusan tujuan, dan strategi pembangunan nasional maupun daerah.

  Tuntutan ini semakin kuat sejalan dengan UUSPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) dan RPJM 2004

  • – 2009. Sesuai dengan perannya masing-masing, maka KLH, Bappenas, dan Depdagri semakin intensif bekerja untuk merumuskan KLHS ini sebagai satu instrumen nasional dan regional. Bahkan KLHS ini telah diupayakan untuk menjadi

SOPPENG 2017-2021

  pegangan utama dalam merumuskan setiap strategi pembangunan berikut monitoring dan evaluasinya,baik dalam konteks kewilayahan maupun sektoral.

  Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada pendekatan telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). Pada definisi pertama, KLHS berfungsi untuk menelaah efek dan/atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan definisi kedua, menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.

  Definisi KLHS untuk Indonesia kemudian dirumuskan sebagai proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dari, dan menjamin diintegrasikannya prinsip-prinsip keberlanjutan dalam, pengambilan keputusan yang bersifat strategis SEA is a systematic process for evaluating the environmental effect of, and for ensuring the integration of sustainability principles into, strategic decision-making].

  KLHS adalah sebuah bentuk tindakan stratejik dalam menuntun, mengarahkan, dan menjamin tidak terjadinya efek negatif terhadap lingkungan dan keberlanjutan dipertimbangkan secara inheren dalam kebijakan, rencana dan program [KRP]. Posisinya berada pada relung pengambilan keputusan. Oleh karena tidak ada mekanisme baku dalam siklus dan bentuk pengambilan keputusan dalam perencanaan tata ruang, maka manfaat KLHS bersifat khusus bagi masing-masing hirarki rencana tata ruang wilayah [RTRW]. KLHS bisa menentukan substansi RTRW, bisa memperkaya proses penyusunan dan evaluasi keputusan, bisa dimanfaatkan sebagai instrumen metodologis pelengkap (komplementer) atau tambahan (suplementer) dari penjabaran RTRW, atau kombinasi dari beberapa atau semua fungsi-fungsi diatas.

  Penerapan KLHS dalam penataan ruang juga bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dan atau instrumen pengelolaan lingkungan lainnya, menciptakan tata pengaturan yang lebih baik melalui pembangunan keterlibatan para pemangku kepentingan yang strategis dan partisipatif, kerjasama lintas batas wilayah administrasi, serta memperkuat pendekatan kesatuan ekosistem dalam satuan wilayah (kerap juga disebut “bio-region” dan/atau “bio-geo-region”). Sifat pengaruh KLHS dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu KLHS yang bersifat instrumental, transformatif, dan substantif. Tipologi ini membantu membedakan pengaruh yang diharapkan dari tiap jenis KLHS terhadap berbagai ragam RTRW, termasuk bentuk aplikasinya, baik dari sudut langkah- langkah prosedural maupun teknik dan metodologinya.

SOPPENG 2017-2021

  Pendekatan KLHS dalam penataan ruang didasarkan pada kerangka bekerja dan metodologi berpikirnya. Berdasarkan literatur terkait, sampai saat ini ada 4 (empat) model pendekatan KLHS untuk penataan ruang, yaitu :

  1. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)

  KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL yaitu mendasarkan telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW terhadap lingkungan hidup. Perbedaannya adalah pada ruang lingkup dan tekanan analisis telaahannya pada tiap hirarhi KRP RTRW.

  2. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup(Environmental Appraisal)

  KLHS ditempatkan sebagai environmental appraisal untuk memastikan KRP RTRW menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga bisa diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang aspek lingkungan hidup.

  3. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated AssessmentSustainability Appraisal)

  KLHS diterapkan sebagai bagian dari uji KRP untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Dalam prakteknya, KLHS kemudian lebih ditempatkan sebagai bagian dari kajian yang lebih luas yang menilai atau menganalisis dampak sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara terpadu.

  4. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam(Sustainable Natural Resource

  Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a) menekankan pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari substansi RTRW, sementara model b) menekankan penegasan fungsi RTRW sebagai acuan aturan pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.

  Aplikasi-aplikasi pendekatan di atas dapat diterapkan dalam bentuk kombinasi, sesuai dengan : hirarki dan jenis RTRW yang akan dihasilkan/ditelaah, lingkup isu

SOPPENG 2017-2021

  mengenai sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang menjadi fokus, konteks kerangka hukum RTRW yang dihasilkan/ditelaah, kapasitas institusi dan sumberdaya manusia aparatur pemerintah selaku pelaksana dan pengguna KLHS, serta tingkat kemauan politis atas manfaat KLHS terhadap RTRW.

Tabel 4.1 Pengaruh KLHS dalam RTRW

  Prosedur penyelenggaraan KLHS untuk setiap pendekatan berbeda, namun secara generik hubungan antara komponen-komponen kerja KLHS dapat dijelaskan sebagai berikut :

Gambar 4.1 Kerangka Kerja KLHS

SOPPENG 2017-2021

  Kegiatan penapisan menentukan perlu atau tidaknya dilakukan KLHS terhadap sebuah konsep/muatan rencana tata ruang. Langkah ini diperlukan atas alasan-alasan : a) memfokuskan telaah pada KRP yang memiliki nilai strategik, b) memfokuskan telaah pada KRP yang diindikasikan akan memberikan konsekuensi penting pada kondisi lingkungan hidup, dan c) memberikan gambaran umum metodologi pendekatan yang akan digunakan. Karena penyusunan RTRW wajib dilakukan maka tahap penapisan tidak diperlukan, sementara penyusunan RTR dengan tingkat kerincian Kawasan bisa ditapis terlebih dulu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :

   sumber daya alam (hutan, tanah, air atau pesisir) dan pencemaran lingkungan yang kini tengah berlangsung di suatu wilayah atau DAS dan/atau Apakah rancangan RTR berpotensi meningkatkan intensitas bencana banjir,

  Apakah rancangan RTR berpotensi mendorong timbulnya percepatan kerusakan

   longsor, atau kekeringan di wilayah-wilayah yang saat ini tengah mengalami krisis ekologi? dan/atau Apakah rancangan RTR berpotensi menurunkan mutu air dan udara termasuk

   ketersediaan air bersih yang dibutuhkan oleh suatu wilayah yang berpenduduk padat? dan/atau Apakah rancangan RTR akan menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk

   golongan miskin sebagai akibat adanya pembatasan baru atas akses dan kontrol terhadap sumber-sumber alam yang semula dapat mereka akses? dan/atau Apakah rancangan RTR berpotensi mengancam keberlanjutan penghidupan

   (livelihood sustainability) suatu komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di masa mendatang? Jawaban positif bagi salah satu pertanyaan diatas sudah cukup untuk memberikan alasan bahwa rancangan RTR tersebut memiliki potensi efek penting dan perlu dipertimbangkan untuk dilengkapi dengan KLHS.

  Pelingkupan merupakan proses yang sistematis dan terbuka untuk mengidentifikasi isu-isu penting atau konsekuensi lingkungan hidup yang akan timbul berkenaan dengan rencana KRP RTR Wilayah dan Kawasan. Berkat adanya pelingkupan ini, pokok bahasan dokumen KLHS akan lebih difokuskan pada isu-isu atau konsekuensi lingkungan dimaksud.

SOPPENG 2017-2021

  Telaah dan analisis teknis adalah proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi mengenai konsekuensi dan efek lingkungan akibat diterapkannya RTRW; serta pengujian efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Telaah dan analisis teknis mencakup : a) pemilihan dan penerapan metoda, serta teknik analisis yang sesuai dan terkini, b) penentuan dan penerapan aras rinci (level of detail) analisis agar sesuai dengan kebutuhan rekomendasi, dan c) sistematisasi proses pertimbangan seluruh informasi, kepentingan dan aspirasi yang dijaring. Jenis-jenis kerangka telaah yang lazim dibutuhkan, antara lain:

  Telaah daya dukung dan daya tampung lingkungan,

   Telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia dan fungsi ekosistem.

   Telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim

   dan bencana lingkungan.

   Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup : a) substansi pokok/dasar RTRW (misalnya: pilihan struktur dan pola ruang), b) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW (misalnya: pilihan intensitas pemanfaatan ruang), dan/atau c) kegiatan- kegiatan operasional pengelolaan efek lingkungan hidup (misalnya: penerapan kode bangunan yang hemat energi).

  Telaah ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

  Pengambilan keputusan dilakukan untuk memilih alternatif terbaik yang bisa dilaksanakan yang dipercaya dapat mewujudkan tujuan penataan ruang dalam kurun waktu yang ditetapkan. Alternatif terpilih tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial akan tetapi juga dapat menjamin terpeliharanya fungsi lingkungan secara terus menerus. Berbagai metodologi yang lazim diterapkan dalam pengambilan keputusan, antara lain: compatibility [internal dan eksternal] appraisal, benefit-cost ratio, analisis skenario dan multikriteria, analisis risiko, survai opini untuk menentukan prioritas, dll.

  Sesuai dengan kebutuhannya, kegiatan pemantauan dan tindak lanjut dapat diatur berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Pada dasarnya efektivitas penerapan rekomendasi KLHS berkaitan langsung dengan efektivitas RTRW bagi wilayah rencananya, sehingga tata laksananya bisa mengikuti aturan pemantauan efektivitas RTRW.

  Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Semua komponen kegiatan diwarnai berbagai bentuk partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun demikian, tingkat keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat bervariasi bergantung pada aras

SOPPENG 2017-2021

  (level of detail) RTRW, peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan masyarakat, serta komitmen dan keterbukaan dari pimpinan organisasi pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Secara umum boleh dikatakan bila KLHS diaplikasikan pada tingkat nasional atau provinsi, maka keterlibatan atau partisipasi masyarakat harus lebih luas dan intens dibanding KLHS pada tingkat kabupaten atau kota. Bila KLHS diaplikasikan untuk tingkat kabupaten, kota, atau kawasan, maka proses pelibatan masyarakat atau konsultasi publik harus dilakukan sedini mungkin dan efektif. Hal ini disebabkan cakupan muatan RTRW yang bersifat operasional memiliki ragam penerapan yang variatif dan bersinggungan langsung dengan kegiatan masyarakat.

  Secara spesifik, harus ada ketersediaan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk menelaah, memberikan masukan, dan mendapatkan tanggapan dalam proses KLHS. Kegiatan ini juga mensyaratkan adanya tata laksana penyaluran aspirasi masyarakat, termasuk pada tahap pengambilan keputusan.

  Komponen-komponen kerja KLHS dilaksanakan dengan memperhatikan proses formal yang berjalan. Kombinasi berbagai alternatif pelaksanaannya sangat ditentukan oleh kekhususan proses pengambilan keputusan yang sedang terjadi pada masing- masing RTRW. Dalam kasus dimana proses perencanaan RTRW belum terbentuk atau dilaksanakan, seluruh komponen kerja KLHS bisa dijadikan bagian yang tak terpisahkan dari langkah-langkah pekerjaan penyusunan RTRW. Pada situasi dimana KLHS hadir sebagai kebutuhan untuk mendukung proses pengambilan keputusan di tahap akhir proses perencanaan, proses kerjanya bisa terpisah (stand alone). Banyak kondisi dimana kombinasi antara kedua hal diatas akan terjadi, misalnya pengintegrasian beberapa komponen kerja di tahap-tahap tertentu dan memisahkannya pada tahap yang lain. Dapat pula terjadi situasi dimana tidak semua komponen kerja perlu dilaksanakan atas alasan-alasan tertentu tanpa mengurangi nilai penting dari pelaksanaan KLHS itu sendiri.

  Kecenderungan penurunan kualitas lingkungan terkait dengan tata ruang wilayah sebagai produk dari rangkaian proses penataan ruang, yang diawali tahapan perencanaan tata ruang, oleh karena itu, perbaikan kuaitas rencana tata ruang wilayah menjadi mutlak dan sangat strategis untuk segera direalisasikan guna menghambat laju penurunan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. KLHS bisa menjadi pilihan alat bantu untuk memperbaiki kualitas rencana tata ruang wilayah melalui perbaikan

SOPPENG 2017-2021

  kerangka berfikir perencanaan tata ruang, yang berimplikasi pada perbaikan prosedur/proses dan metodologi/muatan perencanaan.

4.1.1.2 AMDAL, UKL-UPL dan SPPLH

  AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal -hal yang dikaji dalam proses AMDAL : aspek fisik-kimia, ekologi, sosial -ekonomi, sosial budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian studi kelayakan untuk mel aksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap lingk ungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

  Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di antaranya digunakan kriteria mengenai :

   Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; Luas wilayah penyebaran dampak;

   Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

   Banyaknya komponen lingk ungan hidup lain yang akan terkena dampak;

   Sifat kumulatif dampak;

   Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

   Menurut PP No. 27/1999 pasal 3 ayat 1 Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam

   Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharu

   Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,

   Pencemaran dan keru sakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,

   lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

SOPPENG 2017-2021

   konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya; Introduksi jenis tumbuh -tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik;

  Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempe ngaruhi pelestarian kawasan

   Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di Indonesia diberlakukan berdasar PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997. AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkun gan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek itu sendiri. Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek -proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya -upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut.

  Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu : 1.

  AMDAL Proyek , yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.

  2. AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.

  3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatua n hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing -masing kegiatan di

SOPPENG 2017-2021

  dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.

  4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dal am satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota -kota baru.

  Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di In donesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi -instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi -studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan , yaitu :

  1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak te rdapat kejelasan apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana kegiatan pembangunan.

  2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah dilibatkan dalam sidang -sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan keputusan.

3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi -studi AMDAL.

  Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.

  4. Masih lemahnya metode -metode penyusunan AMDAL, khusunya aspek “sosial budaya”, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial – budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis

SOPPENG 2017-2021

  dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik berbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti :

   Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan, Kekuatan institusi ,

   Pelatihan ilmiah dan profesional,

   Ketersediaan data.

   Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “ bottom up ”.

  Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sum berdaya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemi skinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut.

  Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar instansi , karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadapa usaha penilaian dan perencanaan lingkungan, serta mneyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang

SOPPENG 2017-2021

  terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada di masing -masing sektor kementrian dan propin si bekerja sendiri - sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek.

  Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsult asi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama.

  Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.

  Tidak adanya lagi Komisi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) sektoral dan ditetapkannya satu Komisi Amdal Pusat di bawah Kementerian Negara Lingkungan Hidup di mana semua stakeholders (para pihak terkait) duduk di dalamnya, baik wakil dari departemen terkait, pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil masyarakat-merupakan kemajuan penting. Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Sonny Keraf saat membuka Workshop Nasional "Pengembangan Kapasitas Desentralisasi Proses Amdal", Senin (31/7 /2000), di Jakarta. Seiring desentralisasi, proses Amdal akan diserahkan ke daerah. Di pusat hanya akan ada satu komisi Amdal yang menilai kegiatan yang mempunyai potensi berdampak negatif secara nasional. Sementara di masing -masing propinsi dan kabupaten/kota akan dibentuk satu komisi Amdal yang menangani proses Amdal di daerah bersangkutan.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27/1999, semua kebijakan dan proses mengenai Amdal hanya satu pintu. Dengan demikian tidak ada lagi egosektoral yang selama

SOPPENG 2017-2021

  ini mungkin terjadi, di mana sektor lebih menekankan kegiatan produksi dan pertumbuhan ekonomi, sementara Amdal hanya dipandang sebagai dokumen formal yang bisa digarap sambil jalan .

  Dalam peraturan pemerintah yang akan diberlakukan November 2000 itu dinyatakan, penilaian Amdal menjadi syarat mutlak pemberian izin usaha. Dengan demikian, tidak akan ada izin usaha sebelum Amdal dianggap memenuhi syarat. Dengan masuknya pelbagai pakar terkait dari perguruan tinggi, diharapkan Amdal bisa menjadi dokumen ilmiah yang berdasarkan kebenaran dan kejujuran. "Kepentingan untuk menjadikan Amdal sebagai rekomendasi murni, tidak dibelenggu kepentingan politis dan ekonomis, harus dikedepankan.

  Pelibatan wakil LSM dan masyarakat sangat penting, sehingga tidak ada lagi keluhan bahwa masyarakat harus menerima dampak suatu kegiatan tanpa memiliki suara untuk menyetujui atau menolak. Hal ini dikuatkan dengan Keputusan Kepala Bapedal No 8/2000, yang mensyaratkan par tisipasi masyarakat dalam proses penilaian Amdal. "Desentralisasi kewenangan Amdal merupakan bentuk penyelesaian masalah yang paling strategis untuk menyerap aspirasi masyarakat, penyederhanaan prosedur Amdal, peningkatan efektivitas pelaksanaan dan keterp aduan serta ketepatan perencanaan daerah.

  Penyerahan wewenang proses Amdal dan perizinan ke daerah menimbulkan pelbagai implikasi, antara lain masalah sumber daya manusia. Karena itu, kelembagaan di daerah perlu diperkuat khususnya di level pemerintah.

  Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

  Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL.

  UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi

SOPPENG 2017-2021

  UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKLUPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan.

  Prosedur Operasional Standar (Standard Operating Procedure) selanjutnya disingkat SOP adalah upaya yang dilakukan untuk meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha dan/ atau kegiatan sesuai prosedur operasional yang berlaku.

4.1.2 Aspek Sosial

  Komponen pengamanan sosial adalah bagian paling penting untuk memahami upaya pencegahan terhadap munculnya dampak sosial di masyarakat. Pelaksanaan upaya pengamanan sosial adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk melihat dan memastikan bahwa pelaksanaan program telah sesuai dengan kaidah-kaidah pengamanan sosial. Secara garis besar mekanisme penerapan pengamanan sosial dilaksanakan dengan alur sebagai berikut:

   Wajib melakukan sosialisasi upaya pengamanan lingkungan di setiap tahapan kegiatan/siklus program, dimulai dari kegiatan sosialisasi, perencanaan, pengusulan kegiatan, pelaksanaan konstruksi sampai dengan tahapan pemanfaatan dan pemeliharaan.

   Menyiapkan usulan kegiatan berdasarkan format standar yang telah disediakan yang memuat spesifikasi teknis, anggaran dan rencana kerja, termasuk dalam hal ini kesesuaiannya dengan ketentuan pengamanan sosial.

  

 Semua usulan kegiatan dari masyarakat akan dikaji oleh tenaga ahli dari segi kelayakan,

teknis, dan kesesuaian dengan pedoman.

 Menapis usulan kegiatan dari sisi dampak lingkungan berdasarkan tabel kriteria penapisan

  lingkungan. Serta jika diperlukan juga melakukan penapisan khusus untuk semua usulan kegiatan masyarakat yang membutuhkan tanah dan perubahan penggunaan air (misal reklamasi, irigasi); proyek ekonomi yang berdampak lingkungan untuk memastikan alignment, air larian, dsb. memenuhi standar praktek yang baik.

   Memastikan adanya langkah-langkah mitigasi yang memadai.

  Sebagai acuan pelaksanaan maka keberhasilan dalam pelaksanaan pengamanan sosial dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

   Masyarakat memahami pentingnya tindakan pengamanan sosial.  Masyarakat tidak mengalami kerugian dengan adanya pelaksanaan program.

  SOPPENG 2017-2021  Tidak terjadi konflik di masyarakat selama dan setelah pelaksanaan program.

4.1.2.1 Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya

  a.

  Hak Asasi Manusia

  c.

  Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding secara kolektif.

  Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak operasionalisasi terhadap lingkungan.

  Proteksi Lingkungan

  Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur tanggung jawab sosial terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial sebagai berikut.

   Infrastruktur dibangun di atas lahan yang status pemanfaataan lahannya sudah jelas.

  Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen, praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan governance organisasi.