BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan

  berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Tidak hanya memuat aturan tetapi hukum juga harus memiliki unsur paksaan. Unsur paksaan mendorong semua orang agar dapat menaati hukum yang berlaku. Ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum maka ia harus dikenai sanksi. Hukum dibuat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, hukum diberlakukan secara adil dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya. Artinya setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama dalam hal perlindungan hukum dan seseorang wajib dikenai hukum apabila ia terbukti melakukan kesalahan. Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum.

  Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang maupun hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah

  

  dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu . Penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya. Negara membentuk lembaga- lembaga hukum yang dapat membantu proses penegakan hukum di dalam masyarakat seperti Mahkamah Agung, Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian. Lembaga-lembaga hukum tersebut memiliki tugas dan perannya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu untuk menegakkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.

  Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28 D UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku.

  Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang 1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan,

  

Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas,

Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 151

  Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur hak-hak seseorang baik kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa/terpidana. Hak untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP. Setiap terdakwa juga diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu

  

  putusan pengadilan . Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

  Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

  Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukum grasi, 2 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu

  pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi: (1)

  Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (2)

  Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus pemidanaan.

  Amnesti dapat diartikan dengan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan sehingga akibat hukum terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar

  

  menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang . Hak untuk memberikan suatu pengampunan terhadap suatu hukuman yang telah dijatuhkan dengan suatu putusan pengadilan, merupakan bagian dari salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara.

3 Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hal

  119

  A. Hamzah dan Irdan Dahlan menyebutkan grasi sebagai upaya non hukum sebab grasi adalah wewenang Kepala Negara untuk memberikan ampunan

   kepada warganya yang dijatuhi pidana .

  Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Sebenarnya upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau putusan peninjauan kembali. Grasi dapat dikatakan sebagai hak yang diberikan kepada terpidana untuk dapat meminta pengampunan kepada Presiden, namun hak ini sendiri tidak diberikan kepada seluruh narapidana ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan grasi dan dapat ditolak. Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan grasi secara tersendiri pertama kali yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Saat ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga dibentuklah Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 masih berlaku namun ada beberapa pasal yang diubah ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

4 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum dalam Perkara Pidana, Jakarta: PT. Bina

  Aksara, 1987, hal 134

  Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah mengalami perubahan dalam beberapa ketentuan, tetap terdapat pro dan kontra atas pemberian grasi misalnya grasi yang diberikan kepada Syaukani dan Schapelle Leigh Corby. Banyak orang yang mempersoalkan mengenai alasan dari pemberian grasi Syaukani dan Schapelle Leigh Corby.

  Pada tahun 2010 istilah grasi sering muncul diperdebatkan ketika timbul kasus yang sangat kontroversial dan menyita perhatian publik yaitu kasus Syaukani Hasan Rais. Kasus ini menjadi kontroversial karena pemberian grasi kepada Syaukani dianggap tidak tepat dan kurang memenuhi rasa keadilan.

  Syaukani Hasan Rais adalah Mantan Bupati Kutai Kartanegara,

  yang diduga merugikan negara sebesar Rp 15,36 miliar, namun segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah sakit selama sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan. PadaSyaukani akhirnya dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada memvonis Syaukani dengan hukuman penjara dua tahun enam bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan

  

diakses pada 18 April 2012 Syaukani adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Yang membuat masyarakat Kutai kecewa adalah beliau merupakan orang Kutai yang menyalahgunakan uang rakyatnya sendiri untuk membangun daerah sendiri dan hukuman yang beliau jalankan tidak sebanding dengan hak masyarakat yang telah

   dia rampas .

  Pada Juli 2008, Mahkamah Agung memperberat hukuman Syaukani

menjadi enam tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara

sebesar Rp 49,367 miliar .

  Syaukani pernah mengajukan grasi dan ditolak, setelah menjalani hukuman 3 tahun ia mengajukan grasi dengan alasan mengalami sakit dan permohonan grasi ini dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemotongan hukuman tiga tahun.

  Beberapa pihak menganggap bahwa pemberian grasi kepada Syaukani tidak tepat karena beliau adalah pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang tidak tepat untuk mendapatkan pengampunan karena telah merugikan rakyat Indonesia. Seharusnya para pelaku korupsi diberikan hukuman yang berat dan hukuman pemiskinan agar mereka jera untuk tidak melakukan korupsi sehingga korupsi dapat diberantas. Namun Menteri Hukum dan Hak Asasi 6

  diakses pada 19 Agustus 2010

  Manusia, Patrialis Akbar menyatakan bahwa Syaukani pantas menerima grasi atas

  

  dasar alasan kemanusiaan . Syaukani dianggap tidak layak menjalani hukuman karena kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit parah yang dideritanya.

  Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary jadi perlakuan yang diberikan pun harus berbeda dari pelaku tindak pidana biasa.

  Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi tidak menyebutkan adanya pengecualian terhadap jenis pidana yang dilakukan.

  Undang-undang hanya memberikan batasan dari segi hukum yang dijatuhkan, hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 2 (dua) tahun.

  Oleh karena itu, banyak pihak yang kontra atas pemberian grasi Syaukani, banyak usulan yang mengharapkan pemberian grasi (pengampunan) kepada para pelaku korupsi dan tindak pidana extra ordinary lainnya harus dibuat peraturan khusus mengenai hal ini agar tidak menyakiti perasaan masyarakat, yang dirasakan selama ini penjatuhan hukuman kepada para pelaku korupsi tidak dijatuhi hukuman berat dan malah dengan mudah dapat menerima grasi dan

   pengurangan hukuman .

  Kasus yang menjadi sorotan berikutnya adalah kasus Corby. Schapelle Leigh Corby adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara

  akses pada tanggal 20 Agustus 2010 9 Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2004. Dalam tasnya ditemukan 4,2 kg ganja. Corby dinyatakan bersalah dan divonis hukuman penjara

  

  Corby mendapatkan pengurangan hukuman 5 (lima) tahun setelah grasinya dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pemberian grasi

   terhadap Corby adalah alasan kemanusiaan .

  Sama halnya seperti kasus Syaukani, pemberian grasi kepada Corby dianggap melukai rasa keadilan masyarakat ketika dihubungkan dengan jenis pidana yang ia lakukan. Corby sangat dianggap tidak layak menerima grasi karena ia adalah terpidana narkotika. Narkotika dan korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary crime dan pemberian grasi terhadap Syaukani serta Corby dianggap melemahkan perjuangan pemberantasan terhadap korupsi dan narkotika di Indonesia.

  Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka perlulah kiranya penulis membahas lebih jauh mengenai pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia, maka dari itu penulis mengambil judul skripsi “Tinjauan Yuridis

  Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 10 11

1. Apakah yang menjadi landasan pemberian grasi terhadap terpidana? 2.

  Bagaimanakah pengaturan hukum pemberian grasi terhadap terpidana dalam hukum positif di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  1. Tujuan Penulisan

  Berdasarkan identifikasi permasalahan yang sudah saya utarakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

  1) Untuk mengetahui hal yang menjadi landasan dari pemberian grasi kepada terpidana di Indonesia.

  2) Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai grasi dalam hukum positif di Indonesia.

  2. Manfaat Penulisan

  Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya: a.

  Manfaat teoritis Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada semua pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai grasi. b.

  Manfaat praktis Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah agar dapat secara optimal menjalankan prosedur pemberian grasi sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga penyelesaian hukumnya dapat berjalan secara efektif dan menjunjung kepastian hukum.

  D. Keaslian Penulisan

  Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan skripsi tentang “Tinjauan

  

Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

  belum pernah disajikan sebelumnya baik dalam bentuk tulisan maupun sub pembahasan permasalahan dalam suatu skripsi. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil pemikiran dan ide saya sendiri. Skripsi juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik. Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi ini adalah asli.

  E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Grasi

  Grasi merupakan upaya istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Istilah grasi berasal dari bahasa Latin yaitu gratia yang berarti ampun, pengampunan dan gratie (dalam bahasa Belanda) atau granted (dalam bahasa Inggris) dan di Belgia disebut genade dari Kepala Negara dalam rangka memperingan atau membebaskan pidana si terhukum. Grasi juga disebutkan sebagai salah satu hak prerogatif Presiden.

  Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang yang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidananya.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata grasi berarti adalah ampunan yang diberikan Kepala Negara kepada orang yang telah dijatuhi

   hukuman .

  Menurut Kamus Hukum, grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk

   hukuman itu .

  Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.

  Menurut HATEWINKEL SURINGA, grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut.

12 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

  Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284 13

  Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

  Dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana. Berdasarkan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan Presiden dapat memberikan keputusan atas permohonan grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

  Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden dapat berupa: a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.

2. Pengertian Terpidana

  Orang yang disebut terpidana, ialah orang (subjek hukum) yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah terpidana adalah orang yang dikenai hukuman. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, di

  pidana

  dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana yang ada di Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 KUHP ini diurutkan berdasarkan beratnya pidana, dimana yang terberat disebutkan terlebih dahulu. Hakim menjatuhkan suatu pidana, terikat untuk menjatuhkan jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 10 KUHP, dengan perincian yaitu:

  a) Pidana Pokok meliputi 1.

  Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

  b) Pidana Tambahan meliputi 1.

  Pencabutan beberapa hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan Hakim

  Grasi hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum dengan keputusan Hakim yang tidak boleh diubah lagi dengan salah satu hukuman dalam Pasal 10 KUHPidana dan tidak diberikan kepada mereka yang dikenakan suatu

  

  tindakan . Contoh tindakan yaitu seperti tindakan perawatan dirumah sakit jiwa, tindakan rehabilitasi, tindakan perawatan dilembaga tertentu.

F. Metode Penulisan

  1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam skripsi adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas

  2. Sumber Data

  Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum primer, yaitu: a.

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas

  

  (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas: 1)

  Peraturan perundang-undangan;

14 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit

  Sinar Grafika, 2001, hlm 293 15

  2) Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan;

  3) Putusan Hakim

  Peraturan perundang-undangan di bidang grasi antara lain Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum yang terdapat dalam buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.

  c.

  Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data yang diperoleh melalui internet yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

  1. Metode Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

  

dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis melalui literatur

atau dari bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan seperti

  buku bacaan, peraturan perundang-undangan, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan-bahan kuliah lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan dalam skripsi ini.

  2. Analisis Data

  Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode analisis data kualitatif normatif yaitu analisis data yang didasarkan kepada peraturan-peraturan yang berlaku sebagai norma hukum positif dan data-data lainnya yang kemudian diolah dan diuraikan secara sistematis sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Untuk mempermudah penulisan atau penyajiannya, penulis menjabarkan materi ataupun isi dari skripsi ini menjadi empat bab dengan sistematika sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

  BAB II : PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA Bab ini merupakan bab yang membahas mengenai tinjauan umum tentang grasi, pengertian grasi, alasan dasar pemberian grasi, bentuk-bentuk grasi, syarat-syarat pemohon grasi, prosedur dan tata cara permohonan grasi

  BAB III : PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA Bab ini memuat mengenai perkembangan peraturan mengenai grasi, perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi

  BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab terakhir yaitu sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang telah dibahas.