BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia

BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA A. TINJAUAN UMUM MENGENAI GRASI

1. Pengertian Grasi

  Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu

  

gratia yang berarti pengampunan. Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di

seluruh dunia. Di Belgia grasi dikenal dengan istilah genade.

  J.C.T Simorangkir memberikan pendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah

   sifat atau bentuk hukuman itu .

  Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi memberikan defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

  Sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk

   melaksanakan hukuman .

  Sama halnya dengan pendapat Utrecht yang menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan hukuman di luar Kitab 16 17 J.C.T Simorangkir, Op. Cit, hlm. 58 Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, Bandung: Balai Lektur Mahasiswa, Undang-Undang Hukum Pidana, grasi yaitu menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman

18 Adami Chazawi pun memiliki pendapat yang sama, ia menjelaskan setiap

  orang yang terbukti melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran wajib dijatuhi kepadanya pidana (hukuman). Menurut Bonger, pidana adalah mengenakan suatu penderitaan karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat

  .

  

  . Pidana yang dijatuhkan melalui putusan hakim pada orang yang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, pada saat telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) menjadi wajib untuk dijalankan. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim menjadi putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu apabila

  

  1) Pada hari diucapkannya putusan itu dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut diterima baik oleh Terpidana maupun oleh Jaksa

  Penuntut Umum; :

  2) Pada hari kedelapan setelah putusan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum, dalam sidang yang terbuka untuk umum, dalam hal Jaksa

  Penuntut Umum dan Terdakwa ketika putusan diucapkan tidak menyatakan sikap yang tegas terhadap putusan; 3)

  Pada hari terdakwa menyatakan sikapnya menerima putusan dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk 18 Utrecht, Ringkasan Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas,

  1987, hlm. 206 19 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977, hlm. 20.

  umum, sementara Jaksa Penuntut Umum telah menyatakan sikap menerima pada saat putusan diucapkan, dan demikian juga sebaliknya; 4)

  Pada hari terdakwa secara tegas menerima putusan (sementara Jaksa Penuntut Umum secara tegas menerima) dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima pemberitahuan tentang putusan tingkat banding oleh Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus dalam tingkat pertama;

  5) Pada hari diberitahukannya putusan kasasi dari Mahkamah Agung pada

  Terpidana, dalam hal perkara itu diperiksa dan diputus dalam tingkat terakhir oleh Mahkamah Agung.

  Setelah keputusan telah memiliki keputusan hukum yang tetap maka negara memiliki hak untuk menjalankan hukuman. Hak negara untuk melaksanakan hukuman tersebut dapat gugur karena sebab-sebab tertentu.

  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa gugurnya hak pelaksanaan hukuman itu dapat disebabkan karena matinya terhukum (pasal 83 KUHP) dan karena kadaluwarsa (pasal 84 KUHP)

   Pasal 83 KUHP menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana

hapus jika terpidana meninggal dunia ”. Dasar peniadaan pelaksanaan pidana

  akibat kematian yaitu karena sifat pertanggungjawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Seseorang yang melakukan tindak pidana harus menanggung sendiri akibat hukum dari tindak pidana yang diperbuatnya berupa pidana (nestapa/hukuman) sebagai suatu bentuk dari pembalasan atas tindak

  .

  21 pidana yang dilakukannya. Apabila seseorang yang dijatuhi hukuman itu meninggal dunia sebelum dilaksanakan hukuman maka hak untuk melaksanakan hukuman kepadanya secara praktis tidak dapat dijalankan lagi, kecuali dalam hal hukuman denda. Meskipun orang yang dikenakan hukuman denda meninggal dunia, ini tidak perlu menyebabkan hapusnya hak untuk melaksanakan hukuman denda itu karena denda dapat dilaksanakan terhadap harta benda dari orang yang meninggal tersebut.

  Pasal 84 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa”. Kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dapat menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu. Hal ini dilatarbelakangi agar tercapainya kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara, karena apabila pidana yang telah dijatuhkan oleh negara dalam waktu sekian lama tidak juga dilaksanakan dapat menderitakan terpidana sehingga pada waktu tertentu haruslah diakhiri.

  Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebab gugurnya hak

   pelaksanaan hukuman yaitu karena memperoleh grasi dari Kepala Negara .

  Dari berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa grasi tidak menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang melekat pada putusan hakim.

  Unsur kesalahan dalam putusan hakim itu tetap ada, namun pelaksanaan putusan tersebut dihilangkan atau dikurangi atau diubah jenis hukumannya. 22

  Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi telah disebutkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terikat dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan.

  Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

  Hak prerogatif diartikan sebagai hak khusus yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang

  

  berlaku rasi merupakan hak prerogatif dari Presiden yang diberikan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia.

  Dalam sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, grasi tidak termasuk upaya hukum meskipin permohonan grasi yang diajukan terpidana merupakan upaya yang dapat menghapuskan atau setidak-tidaknya meringankan hukumannya.

  Jika suatu kasus telah diputus oleh Pengadilan Negeri kemudian diajukan upaya hukum banding sehingga kasus tersebut diputus oleh Pengadilan Tinggi, lalu diajukan kasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung 23 telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde), maka hanya terdapat suatu upaya hukum yang dapat dilakukan adalah menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali. Apabila terdakwa terbukti bersalah dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya tidak termasuk lagi dalam upaya hukum (biasa dan luar biasa) yaitu dengan mengajukan grasi kepada Presiden.

  Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau Peninjauan Kembali. Suatu permohonan grasi yang diajukan kepada Presiden dapat dikabulkan maupun ditolak oleh Presiden.

  Menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan Presiden yang bersifat judisial dalam ranka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan,

   ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan .

2. Alasan Dasar Pemberian Grasi

  Grasi merupakan wewenang yang dimiliki Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara (hak prerogatif). Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan memberikan keputusan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, yaitu mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, yang artinya 24 Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

  Tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya mengenai bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau ditolak oleh Presiden.

  Pasal 14 UUD 1945 memberi hak kepada Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tanpa disertai syarat-syarat atau kriteria

  

  Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai grasi tidak menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang digunakan agar seseorang dapat diberikan grasi. Dalam konsiderans huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD.

  Menurut Utrecht, ada 4 (empat) alasan pemberian grasi yaitu sebagai berikut: a.

  Kepentingan keluarga dari terpidana; 25 Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,

  b.

  Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat; c. Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan; d. Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Permasyarakatan

  

  dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya; Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor internal yang terdapat dalam diri pribadi terpidana.

  Menurut J.E. Sahetapy, alasan yang memungkinkan Presiden untuk

  

  memberikan grasi adalah sebagai berikut a.

  Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan; b.

  Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa; c. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan

  Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti; d.

  Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis 26 revolusi atau peperangan; 27 Utrecht, Op. Cit hlm. 239-242 JE. Sahetapy, Mekanisme Pengawasan atas Hak-Hak Presiden,

  

   Menurut Satochid Kartanegara, alasan-alasan pemberian grasi yaitu antara lain : 1.

  Untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang itu sendiri yang dianggap dalam beberapa hal kurang adil, misalnya apabila dengan dilaksanakannya hukuman terhadap orang itu, akan mengakibatkan keluarganya akan terlantar, atau apabila terhukum sedang mempunyai penyakit yang parah.

2. Demi untuk kepentingan Negara

  Misalnya dalam peristiwa Tan Malaka, terhadap para tertuduh telah dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung di Yogyakarta, atas tuduhan dan terbukti hendak menggulingkan Pemerintah RI. Kemudian kepada para terhukum diberi grasi, dengan pertimbangan bahwa mereka dilandasi oleh cita-cita hukum untuk membela Negara. Menurut Pompe, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai

  

  sebagai alasan untuk memberikan grasi yaitu : 1.

  Ada kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan;

  2. Adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. 28 Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya 29 Satochid Kartanegara, Op. Cit, hlm. 304 Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: CV. Armico, keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

  3. Terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut; 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan; 5. Pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah.

  Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis; Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alasan yang dijadikan dasar pemberian grasi adalah karena faktor keadilan dan faktor kemanusiaan. Faktor keadilan yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

  Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebelum memberikan keputusan untuk dan UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 tidak dijelaskan secara rinci mengenai pertimbangan yang bagaimana yang harus diberikan oleh Mahkamah Agung, yang pasti pertimbangan yang diberikan adalah pertimbangan dari segi hukum. Jika pertimbangan tersebut dari segi hukum sepatutnya berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang harus memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman dalam masyarakat dan melindungi masyarakat dari kejahatan serta

  

  menjerakan pelaku sehingga terhindar menjadi residivis , maka pertimbangannya hendaknya memperhatikan aspek positif maupun aspek negatif terhadap terpidana maupun masyarakat bila permohonan grasi dikabulkan atau ditolak.

  Presiden dalam memberikan keputusan pengabulan atau penolakan permohonan grasi tidak terikat pada pertimbangan yang disampaikan Mahkamah Agung.

3. Bentuk-Bentuk Grasi

  Grasi dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden apabila putusan pengadilan yang memidana seseorang tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:

  1) putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum 30 Acara Pidana;

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT.

  2) putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

  3) putusan kasasi.

  Bentuk-bentuk grasi (pengampunan) yang diberikan Presiden yaitu berupa:

  • Peringanan atau perubahan jenis pidana seperti dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan sebagainya,
  • Pengurangan jumlah pidana, atau
  • Penghapusan pelaksanaan pidana

  a) Peringanan atau perubahan jenis pidana

  Salah satu bentuk pengampunan (grasi) yang diberikan Presiden adalah peringanan yang berupa perubahan jenis pidana. Pidana yang awalnya diterima oleh terpidana dapat dirubah jenis pidananya dengan pidana yang termasuk di dalam Pasal 10 KUHP.

  b) Pengurangan Jumlah Pidana

  Salah satu bentuk pidana ini tidak sama dengan remisi karena pengurangan jumlah pidana dalam grasi hanya berupa jumlah pidana awal yang dijatuhkan kepada seseorang terpidana dikurangi jumlahnya. Misalnya awalnya terpidana dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun dan setelah mendapat grasi yang berupa pengurangan hukuman pidana penjara selama 2 tahun sehingga pidana yang dijalani terpidana berkurang menjadi penjara selama 4 tahun. Sedangkan yang disebut remisi adalah pengurangan hukuman masa pidana yang diberikan kepada narapidana apabila ia berkelakuan baik di dalam Lembaga Permasyarakatan dan diberikan setiap hari-hari besar. Perbedaan lainnya adalah pengurangan hukuman grasi diberikan oleh Presiden sedangkan remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM.

c) Penghapusan pelaksanaan pidana (komutasi) Bentuk grasi yang terakhir adalah penghapusan pelaksanaan pidana.

  Pidana yang awalnya diputuskan atas seorang terpidana dapat dihapuskan apabila grasinya dikabulkan. Contohnya pidana penjara selama 4 tahun dapat ditiadakan/dihapuskan karena terpidana mendapat grasi.

B. SYARAT-SYARAT PEMOHON GRASI

  Pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan grasi kepada Presiden harus memenuhi syarat yaitu:

  1. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi:

  a) pidana mati; b) pidana penjara seumur hidup; c) pidana penjara peling rendah 2 (dua) tahun;

  Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara lain

  1) Terpidana

  Pasal 6 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 menyebut terpidana berada dalam urutan pertama untuk mengajukan permohonan grasi.

  2) Kuasa Hukum

  Dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan juga bahwa kuasa hukum dapat mengajukan permohonan grasi dan terpidana harus memberi surat kuasa khusus terlebih dahulu kepada kuasa hukumnya untuk mewakilinya mengajukan grasi.

  3) Keluarga Terpidana

  Keluarga terpidana juga dapat mengajukan permohonan grasi. Tidak seperti kepada kuasa hukum, keluarga dapat mengajukan tanpa harus surat kuasa melainkan ada syarat lainnya yaitu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari terpidana. Pasal 6 ayat (2) tidak menentukan bentuk persetujuannya sehingga dapat ditafsirkan bisa berbentuk persetujuan lisan, nemun yang paling baik dan

   tepat, berbentuk persetujuan tertulis baik autentik atau dibawah tangan .

  Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud keluarga terpidana yaitu: a)

  Istri atau suami,

  b) Anak kandung,

  c) Orang tua kandung, atau

  31

d) Saudara kandung terpidana.

  Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana mati tanpa persetujuan terpidana.

  4) Menteri Hukum dan HAM

  Didalam Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 memberi wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan pengajuan permohonan grasi.

  Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Pengajuan permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan diberikan batasan waktu yaitu paling lama diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetaap.

  Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang grasi tidak menetapkan syarat atau pembatasan terhadap pihak yang dapat mengajukan grasi dari jenis tindak pidana yang dilakukan.

  Seharusnya hal-hal tersebut tercakup dalam perundang-undangan grasi karena pembatasan jenis pidana sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian grasi. Misalnya terpidana korupsi tidaklah boleh disamakan dengan terpidana kasus pencurian biasa atau terpidana kriminal biasa lainnya, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat apabila terpidana korupsi diberikan grasi tanpa ada pembatasan tertentu/khusus. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita

   menuju masyarakat adil dan makmur.

  Pemikiran ini didasari atas kenyataan dalam proses hukum yang kita lihat akhir-akhir ini. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputusbebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa, jika hal ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama tentu dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Permasalahan korupsi menjadi masalah nasional yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya dengan memberikan penghukuman yang jelas dan tegas terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Acuan inilah yang harus pemerintah perhatikan dalam merumuskan berbagai kebijakan perundang- undangan agar lebih berpihak kepada rakyat.

  Begitu pula terhadap terpidana kasus kejahatan serius (extra ordinary crime) lainnya seperti kasus narkotika dan terorisme, harus ada pemberlakuan pengaturan khusus dalam hal pemberian grasi.

  Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 dalam bagian Penjelasan hanya menyebutkan bahwa dalam memberikan keputusan atas suatu permohonan grasi, 32 Presiden perlu mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan secara berulang-ulang (residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana.

  Perumusan kebijakan ini menyiratkan bahwa kepada pelaku tindak pidana residif, tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana, Presiden haruslah berpikir dua kali dalam memberikan pengabulan grasi kepada terpidana tersebut.

C. Prosedur Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi

  Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, apabila pada waktu pembacaan putusan pengadilan tingkat pertama dijatuhkan terpidana tidak hadir di ruang sidang, maka hak terpidana tersebut diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

  Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara lain: 5)

  Terpidana

  Pasal 6 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 menyebut terpidana berada dalam urutan pertama untuk mengajukan permohonan grasi.

  6) Kuasa Hukum

  Dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan juga bahwa kuasa hukum dapat mengajukan permohonan grasi dan terpidana harus memberi surat kuasa khusus terlebih dahulu kepada kuasa hukumnya untuk mewakilinya mengajukan grasi.

  7) Keluarga Terpidana

  Keluarga terpidana juga dapat mengajukan permohonan grasi. Tidak seperti kepada kuasa hukum, keluarga dapat mengajukan tanpa harus surat kuasa melainkan ada syarat lainnya yaitu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari terpidana. Pasal 6 ayat (2) tidak menentukan bentuk persetujuannya sehingga dapat ditafsirkan bisa berbentuk persetujuan lisan, nemun yang paling baik dan

   tepat, berbentuk persetujuan tertulis baik autentik atau dibawah tangan .

  Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud keluarga terpidana yaitu: e)

  Istri atau suami,

  f) Anak kandung,

  g) Orang tua kandung, atau

h) Saudara kandung terpidana.

  Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana mati tanpa persetujuan terpidana.

33 Yahya Harahap, Keputusan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

  8) Menteri Hukum dan HAM

  Didalam Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 memberi wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan pengajuan permohonan grasi.

  Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Pengajuan permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan diberikan batasan waktu yaitu paling lama diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

  Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.

  Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan terpidana melalui Kepala Lemabaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Setelah itu Kepala Lembaga Permasyarakatan menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

  Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.

  Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

  Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:

  a) Mahkamah Agung;

  b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama;

  c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan

d) Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

  Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) jo. Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2002, keputusan yang dapat diberikan atau dijatuhkan Presiden terdiri dari: a.

   Pengabulan atau pemberian grasi

  Jika keputusan yang diberikan Presiden adalah mengabulkan permohonan grasi pemohon, maka klasifikasi bentuk grasi yang dapat diberikan Presiden, merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, yang terdiri dari: a) peringanan atau perubahan jenis pidana; b) pengurangan jumlah pidana; atau c) penghapusan pelaksanaan pidana.

  Jadi Presiden melalui hak prerogatif yang diberikan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk:

  1) memperingan atau mengubah jenis pidana dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, maupun mengubah jenis pidana penjara menjadi pidana denda;

  2) mengurangi jumlah pidana dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 atau 15 tahun dan sebagainya;

  3) menghapuskan pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga terhadap terpidana tidak dilakukan eksekusi yang diperintahkan. Dalam hal ini pidananya tidak diubah atau dikurangi, tetapi eksekusi putusannya yang dihapuskan dan ditiadakan.

b. Menolak Permohonan Grasi

  Bentuk keputusan kedua yang dapat diberikan Presiden menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 adalah menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana. Kewenangan ini merupakan kebalikan dari hak mengabulkan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan tetap keadaannya seperti semula, apabila permohonan grasi ditolak.

  Jangka Waktu Pemberian Keputusan

  Pasal 11 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 menentukan jangka waktu pemberian keputusan oleh Presiden atas permohonan grasi. Baik keputusan yang diberikan berupa pengabulan atau penolakan permohonan grasi, jangka waktu penerbitannya tetap sama yaitu: a) paling lambat 3 (tiga) bulan, terhitung dari tanggal Presiden menerima pertimbangan Mahkamah Agung maka Presiden harus memberikan keputusan; b) perhitungan jangka waktunya adalah bukan dari tanggal permohonan grasi diterima Presiden tetapi mulai dari tanggal pertimbangan Mahkamah Agung diterima Presiden.

  Permohonan asli grasi menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 langsung ditujukan dan disampaikan kepada Presiden. Adapun salinannya disampaikan kepada Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari tanggal diterimanya salinan permohonan oleh Mahkamah Agung dibuatlah pertimbangan hukum yang diamanatkan Pasal

  35 UU Mahkamah Agung untuk disampaikan kepada Presiden.

  Jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan dari tanggal diterimanya pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung, Presiden wajib memberikan keputusannya. Pembatasan jangka waktu ini objektif dan rasional agar pemohon grasi tidak terkatung-katung dalam keadaan yang tidak menentu seperti yang terjadi selama ini. Pada UU No. 22 Tahun 2002 masih menetapkan jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukumnya karena untuk memperhatikan kepastian hukum dan keadilan maka dilakukan percepatan dalam UU No. 5 Tahun 2010 yang menyatakan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden.

  Pengiriman Keputusan Presiden

  Pasal 12 UU No. 22 Tahun 2002 mengatur mengenai ketentuan pengiriman dan penyampaian keputusan Presiden, dengan acuan sebagai berikut: a)

  Penyampaian Keputusan kepada terpidana

  Pasal 12 ayat (1) berbunyi: “Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu

  

paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan

Presiden .”

  Berdasarkan ketentuan diatas maka: 1.

  Keputusan Presiden harus disampaikan langsung kepada terpidana, tidak melalui Pengadilan tingkat pertama. Mekanisme penyampaian keputusan Presiden langsung kepada terpidana. Tidak berbelit melalui birokrasi yang tidak efisien

2. Jangka waktu penyampaian Keputusan kepada terpidana, paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

  b) Penyampaian Salinan Keputusan Presiden

  Selain Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana, salinan keputusan itu pun harus disampaikan kepada berbagai instansi tertentu. Hal ini juga diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, yang memerintahkan salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada: a.

  Mahkamah Agung, b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana, dan d. Lembaga permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

  Ketentuan UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 tidak menentukan jangka waktu mengenai pengiriman salinan keputusan Presiden kepada instansi-instansi tersebut karena penyampaian salinan tersebut sekadar bersifat untuk diketahui saja. Baik permohonan grasi dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, Kejaksaan Negeri sebagai pelaksana putusan pengadilan berdasarkan

  Pasal 270 KUHAP, sangat berkepentingan untuk mengetahui isi Keputusan Presiden. Oleh karena itu, pengiriman atau penyampaian salinan berpedoman kepada batas jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) yakni mesti disampaikan paling lambat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari dari tanggal

  

  keputusan Presiden ditetapkan

  34