Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia

(1)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI

TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

NIM : 080200096

TRIANA PUTRIE VINANSARI

Departemen Hukum Pidana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI

TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H

NIM : 080200096

TRIANA PUTRIE VINANSARI

Departemen Hukum Pidana Disetujui Oleh,

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

(Dr. M. Hamdan, SH, M. Hum) NIP: 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

(Prof. Dr. Suwarto, SH., M.Hum) (Dr. Marlina, SH., M.Hum) NIP: 195605051989031001 NIP: 197503072002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat, kasih, dan karunia-Nya karena penulis diberikan selalu kesehatan, kekuatan, dan pengharapan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang hendak menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun skripsi yang penulis akan kemukakan adalah berjudul:

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP

TERPIDANA DI INDONESIA”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin

untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan, meskipun penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, bantuan, saran, serta dukungan dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs. Ennis Purba, S. Sos dan Ibunda Astoria Damanik, BA yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, pengorbanan, didikan, dukungan, serta doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis;


(4)

2. Kakak-kakak dan adik-adik penulis, Christy Wina, Roma Artha, Cok Nando Panondang, Viola Gemmy Gemaya yang selalu menjadi bagian dalam keseharian penulis dan memberikan dukungan dan semangat kepada penulis;

3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Ibu Sinta Uli, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan bimbingan dan nasihat selama penulis menjalani masa perkuliahan;

10.Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Suwarto, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Dr. Marlina, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas kesediaan waktu dan tenaga memberikan arahan, bimbingan, serta perbaikan untuk skripsi ini.


(5)

11.Seluruh Dosen Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, baik yang masih mengabdikan diri maupun yang sudah pensiun;

12.Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 13.Terima kasih untuk sahabat-sahabat dan teman-teman yang menjadi

bagian hidup penulis dalam menjalani masa-masa perkuliahan di kampus yaitu Berliana Nasution, Fika Habbina, Debby Aditya Putri, Singgih Elida Hulu, Dorothy F. Rumapea, Irgayuni Sonia, Umi Ulfah Tarigan, Melky S. Pardede, Prinst Rayenda, Hiskia Meiko, Bonatua Edynata,Dolli Pratama, Kufner Ferdinand, New Yearlina, Jessie Olivia, Fitri Marhana, Ibnu Fajar, dan teman-teman lainnya;

14.Sahabat-sahabat penulis yang selalu memberikan dukungan semangat dan doa, Ruth Herlina Sitompul dan Mariana Putri;

15.Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2008 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu;

Disadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak mengandung kelemahan dan kekurangan, untuk itu sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun guna menuju ke arah perbaikan dan penyempurnaan di masa yang akan datang.


(6)

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan yang dapat digunakan bagi penegakan hukum di Indonesia. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.

Medan, April 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

ABSTRAKSI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat... 10

D. Keaslian Penulis... 11

E. Tinjauan Kepustakaan... 11

1. Pengertian Grasi... 11

2. Pengertian Terpidana... 13

F. Metode Penelitian... 15

G. Sistematika Penulisan... 18

BAB II PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DI INDONESIA... 19

A. Tinjauan Umum Tentang Grasi... 19

B. Syarat-Syarat Pemohon Grasi... 31

C. Prosedur dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi... 35


(8)

POSITIF DI INDONESIA... 43

A. Grasi dalam Sistem Hukum Indonesia... 43

B. Undang-Undang Mengenai Grasi... 50

C. Perbandingan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010... 63

D. Penerapan Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi... 64

Contoh Kasus Hukum... 67

BAB IV PENUTUP... 75

A. Kesimpulan... 75

B. Saran... 76


(9)

ABSTRAKSI

Triana Putrie Vinansari* Prof. Suwarto, S.H, M.Hum**

Dr. Marlina, S.H, M.Hum***

Grasi merupakan salah satu upaya yang dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden untuk meminta pengampunan atau pengurangan hukuman kepada Presiden. Tidak semua terpidana dapat mengajukan grasi, melainkan harus memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Permohonan grasi yang diajukan belum tentu akan mendapat persetujuan dari Presiden. Sebelum memberikan keputusan, Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung terlebih dahulu. Penyelesaian permohonan grasi ini masih ada menimbulkan kontroversi dalam masyarakat ketika grasi diberikan kepada orang-orang yang dianggap tidak layak untuk mendapatkannya. Permasalahan yang dikaji dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia” adalah mengenai apakah yang menjadi landasan dasar pemberian grasi dan bagaimana pengaturan mengenai grasi dalam hukum positif di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penulisan yuridis-normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas.

Alasan pemberian grasi kepada terpidana adalah karena faktor kemanusiaan dan faktor keadilan. Faktor kemanusiaan dimaksudkan kepada terpidana yang mengalami sakit parah atau kepada mereka yang telah membuktikan dirinya berubah menjadi baik, dinilai sebagai bentuk penghargaan atas perubahan tersebut. Faktor keadilan dimaksudkan kepada mereka yang mencari keadilan atas putusan yang dirasa kurang adil dipidanakan padanya.

Peraturan perundang-undangan mengenai grasi telah diatur dalam Undang-Undangnya tersendiri yaitu UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010, namun wewenang baru yang diberikan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam meneliti dan melaksanakan pengajuan grasi diharapkan dibuat aturan lebih lanjut karena cenderung dapat disalahgunakan dan pemberian grasi kepada terpidana korupsi, terorisme, dan narkotika dirasa sangat kurang adil apabila permohonan grasi yang diajukan dikabulkan oleh Presiden tanpa memperhatikan keadilan dari sisi terpidana dan masyarakat umum, karena tindak pidana tersebut dirasa sangat merugikan kepentingan orang banyak dan perlu mendapatkan hukuman yang berat. Oleh karena itu, akan dirasa kurang pantas apabila pelaku tindak pidana extra ordinary dimudahkan dalam proses pemidanaannya.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**Dosen Pembimbing I, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU ***Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum USU


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Tidak hanya memuat aturan tetapi hukum juga harus memiliki unsur paksaan. Unsur paksaan mendorong semua orang agar dapat menaati hukum yang berlaku. Ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum maka ia harus dikenai sanksi. Hukum dibuat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, hukum diberlakukan secara adil dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya. Artinya setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama dalam hal perlindungan hukum dan seseorang wajib dikenai hukum apabila ia terbukti melakukan kesalahan. Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum.

Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang maupun hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah


(11)

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu1

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28 D UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku.

. Penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya. Negara membentuk lembaga-lembaga hukum yang dapat membantu proses penegakan hukum di dalam masyarakat seperti Mahkamah Agung, Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian. Lembaga-lembaga hukum tersebut memiliki tugas dan perannya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu untuk menegakkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang

1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 151


(12)

Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur hak-hak seseorang baik kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa/terpidana. Hak untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP. Setiap terdakwa juga diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan2

Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukum grasi,

. Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

2

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002, hal 76


(13)

amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

Grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus pemidanaan.

Amnesti dapat diartikan dengan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan sehingga akibat hukum terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang3

3

Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hal 119

. Hak untuk memberikan suatu pengampunan terhadap suatu hukuman yang telah dijatuhkan dengan suatu putusan pengadilan, merupakan bagian dari salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara.


(14)

A. Hamzah dan Irdan Dahlan menyebutkan grasi sebagai upaya non hukum sebab grasi adalah wewenang Kepala Negara untuk memberikan ampunan kepada warganya yang dijatuhi pidana4

Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Sebenarnya upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau putusan peninjauan kembali. Grasi dapat dikatakan sebagai hak yang diberikan kepada terpidana untuk dapat meminta pengampunan kepada Presiden, namun hak ini sendiri tidak diberikan kepada seluruh narapidana ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan grasi dan dapat ditolak. Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan grasi secara tersendiri pertama kali yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Saat ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 masih berlaku namun ada beberapa pasal yang diubah ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

.

4

A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum dalam Perkara Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, hal 134


(15)

Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah mengalami perubahan dalam beberapa ketentuan, tetap terdapat pro dan kontra atas pemberian grasi misalnya grasi yang diberikan kepada Syaukani dan Schapelle Leigh Corby. Banyak orang yang mempersoalkan mengenai alasan dari pemberian grasi Syaukani dan Schapelle Leigh Corby.

Pada tahun 2010 istilah grasi sering muncul diperdebatkan ketika timbul kasus yang sangat kontroversial dan menyita perhatian publik yaitu kasus Syaukani Hasan Rais. Kasus ini menjadi kontroversial karena pemberian grasi kepada Syaukani dianggap tidak tepat dan kurang memenuhi rasa keadilan.

Syaukani Hasan Rais adalah Mantan Bupati Kutai Kartanegara,

Kalimantan Timur. 5Pada

kasus negara sebesar Rp 15,36 miliar, namun segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah sakit selama sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan. Pada dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan


(16)

Syaukani adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Yang membuat masyarakat Kutai kecewa adalah beliau merupakan orang Kutai yang menyalahgunakan uang rakyatnya sendiri untuk membangun daerah sendiri dan hukuman yang beliau jalankan tidak sebanding dengan hak masyarakat yang telah dia rampas6

Pada Juli 2008, Mahkamah Agung memperberat hukuman Syaukani menjadi enam tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 49,367 miliar

.

7

Syaukani pernah mengajukan grasi dan ditolak, setelah menjalani hukuman 3 tahun ia mengajukan grasi dengan alasan mengalami sakit dan permohonan grasi ini dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemotongan hukuman tiga tahun.

.

Beberapa pihak menganggap bahwa pemberian grasi kepada Syaukani tidak tepat karena beliau adalah pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang tidak tepat untuk mendapatkan pengampunan karena telah merugikan rakyat Indonesia. Seharusnya para pelaku korupsi diberikan hukuman yang berat dan hukuman pemiskinan agar mereka jera untuk tidak melakukan korupsi sehingga korupsi dapat diberantas. Namun Menteri Hukum dan Hak Asasi

6 Ibid


(17)

Manusia, Patrialis Akbar menyatakan bahwa Syaukani pantas menerima grasi atas dasar alasan kemanusiaan8

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary jadi perlakuan yang diberikan pun harus berbeda dari pelaku tindak pidana biasa. Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi tidak menyebutkan adanya pengecualian terhadap jenis pidana yang dilakukan. Undang-undang hanya memberikan batasan dari segi hukum yang dijatuhkan, hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 2 (dua) tahun.

. Syaukani dianggap tidak layak menjalani hukuman karena kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit parah yang dideritanya.

Oleh karena itu, banyak pihak yang kontra atas pemberian grasi Syaukani, banyak usulan yang mengharapkan pemberian grasi (pengampunan) kepada para pelaku korupsi dan tindak pidana extra ordinary lainnya harus dibuat peraturan khusus mengenai hal ini agar tidak menyakiti perasaan masyarakat, yang dirasakan selama ini penjatuhan hukuman kepada para pelaku korupsi tidak dijatuhi hukuman berat dan malah dengan mudah dapat menerima grasi dan pengurangan hukuman9

Kasus yang menjadi sorotan berikutnya adalah kasus Corby. Schapelle Leigh Corby adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara

.


(18)

Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2004. Dalam tasnya ditemukan 4,2 kg ganja. Corby dinyatakan bersalah dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun dan denda Rp 100 juta10

Corby mendapatkan pengurangan hukuman 5 (lima) tahun setelah grasinya dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pemberian grasi terhadap Corby adalah alasan kemanusiaan

.

11

Sama halnya seperti kasus Syaukani, pemberian grasi kepada Corby dianggap melukai rasa keadilan masyarakat ketika dihubungkan dengan jenis pidana yang ia lakukan. Corby sangat dianggap tidak layak menerima grasi karena ia adalah terpidana narkotika. Narkotika dan korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary crime dan pemberian grasi terhadap Syaukani serta Corby dianggap melemahkan perjuangan pemberantasan terhadap korupsi dan narkotika di Indonesia.

.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka perlulah kiranya penulis membahas lebih jauh mengenai pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia, maka dari itu penulis mengambil judul skripsi “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

10

11


(19)

1. Apakah yang menjadi landasan pemberian grasi terhadap terpidana?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum pemberian grasi terhadap terpidana dalam hukum positif di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang sudah saya utarakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui hal yang menjadi landasan dari pemberian grasi kepada terpidana di Indonesia.

2) Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai grasi dalam hukum positif di Indonesia.

2. Manfaat Penulisan

Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

a. Manfaat teoritis

Pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini diharapkan dapat menambah pemahaman kepada semua pihak yang berhubungan dengan dunia hukum pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai grasi.


(20)

b. Manfaat praktis

Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah agar dapat secara optimal menjalankan prosedur pemberian grasi sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga penyelesaian hukumnya dapat berjalan secara efektif dan menjunjung kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan skripsi tentang “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

belum pernah disajikan sebelumnya baik dalam bentuk tulisan maupun sub pembahasan permasalahan dalam suatu skripsi. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil pemikiran dan ide saya sendiri. Skripsi juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik. Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi ini adalah asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Grasi

Grasi merupakan upaya istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Istilah grasi berasal dari bahasa Latin yaitu gratia yang berarti ampun, pengampunan dan gratie (dalam bahasa


(21)

Belanda) atau granted (dalam bahasa Inggris) dan di Belgia disebut genade dari Kepala Negara dalam rangka memperingan atau membebaskan pidana si terhukum. Grasi juga disebutkan sebagai salah satu hak prerogatif Presiden.

Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang yang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidananya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata grasi berarti adalah ampunan yang diberikan Kepala Negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman12

Menurut Kamus Hukum, grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu

.

13

Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.

.

Menurut HATEWINKEL SURINGA, grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut.

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284


(22)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana. Berdasarkan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan Presiden dapat memberikan keputusan atas permohonan grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden dapat berupa:

a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.

2. Pengertian Terpidana

Orang yang disebut terpidana, ialah orang (subjek hukum) yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah terpidana adalah orang yang dikenai hukuman. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002


(23)

disebutkan bahwa Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana yang ada di Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 KUHP ini diurutkan berdasarkan beratnya pidana, dimana yang terberat disebutkan terlebih dahulu. Hakim menjatuhkan suatu pidana, terikat untuk menjatuhkan jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 10 KUHP, dengan perincian yaitu:

a) Pidana Pokok meliputi 1. Pidana mati;

2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

b) Pidana Tambahan meliputi

1. Pencabutan beberapa hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan Hakim

Grasi hanya dapat diberikan kepada mereka yang dihukum dengan keputusan Hakim yang tidak boleh diubah lagi dengan salah satu hukuman dalam Pasal 10 KUHPidana dan tidak diberikan kepada mereka yang dikenakan suatu


(24)

tindakan14

F. Metode Penulisan

. Contoh tindakan yaitu seperti tindakan perawatan dirumah sakit jiwa, tindakan rehabilitasi, tindakan perawatan dilembaga tertentu.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam skripsi adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum primer, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas:15

1) Peraturan perundang-undangan;

14

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001, hlm 293

15


(25)

2) Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan;

3) Putusan Hakim

Peraturan perundang-undangan di bidang grasi antara lain Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum yang terdapat dalam buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data yang diperoleh melalui internet yang berhubungan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini.


(26)

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis melalui literatur atau dari bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan seperti buku bacaan, peraturan perundang-undangan, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan-bahan kuliah lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode analisis data kualitatif normatif yaitu analisis data yang didasarkan kepada peraturan-peraturan yang berlaku sebagai norma hukum positif dan data-data lainnya yang kemudian diolah dan diuraikan secara sistematis sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan atau penyajiannya, penulis menjabarkan materi ataupun isi dari skripsi ini menjadi empat bab dengan sistematika sebagai berikut:


(27)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA

Bab ini merupakan bab yang membahas mengenai tinjauan umum tentang grasi, pengertian grasi, alasan dasar pemberian grasi, bentuk-bentuk grasi, syarat-syarat pemohon grasi, prosedur dan tata cara permohonan grasi

BAB III : PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Bab ini memuat mengenai perkembangan peraturan mengenai grasi, perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab terakhir yaitu sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang telah dibahas.


(28)

BAB II

PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA

DI INDONESIA

A. TINJAUAN UMUM MENGENAI GRASI 1. Pengertian Grasi

Ditinjau dari sudut bahasa, istilah “grasi” berasal dari bahasa Latin, yaitu

gratia yang berarti pengampunan. Grasi dikenal dalam seluruh sistem hukum di seluruh dunia. Di Belgia grasi dikenal dengan istilah genade.

J.C.T Simorangkir memberikan pendapat bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu16

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi memberikan defenisi grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

.

Sedangkan Satochid Kertanegara memberikan pendapat bahwa grasi atau pengampunan adalah merupakan juga hal yang dapat menggugurkan hak untuk melaksanakan hukuman17

Sama halnya dengan pendapat Utrecht yang menyatakan bahwa grasi termasuk ke dalam alasan gugurnya melaksanakan hukuman di luar Kitab

.

16

J.C.T Simorangkir, Op. Cit, hlm. 58 17

Satochid Kertanegara, Hukum Pidana Bagian Dua, Bandung: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun, hlm. 304


(29)

Undang-Undang Hukum Pidana, grasi yaitu menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman18

Adami Chazawi pun memiliki pendapat yang sama, ia menjelaskan setiap orang yang terbukti melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran wajib dijatuhi kepadanya pidana (hukuman). Menurut Bonger, pidana adalah mengenakan suatu penderitaan karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat

.

19

. Pidana yang dijatuhkan melalui putusan hakim pada orang yang dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana, pada saat telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) menjadi wajib untuk dijalankan. Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim menjadi putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, yaitu apabila20

1) Pada hari diucapkannya putusan itu dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut diterima baik oleh Terpidana maupun oleh Jaksa Penuntut Umum;

:

2) Pada hari kedelapan setelah putusan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum, dalam sidang yang terbuka untuk umum, dalam hal Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa ketika putusan diucapkan tidak menyatakan sikap yang tegas terhadap putusan;

3) Pada hari terdakwa menyatakan sikapnya menerima putusan dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak putusan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

18 Utrecht, Ringkasan Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987, hlm. 206

19

W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977, hlm. 20. 20


(30)

umum, sementara Jaksa Penuntut Umum telah menyatakan sikap menerima pada saat putusan diucapkan, dan demikian juga sebaliknya; 4) Pada hari terdakwa secara tegas menerima putusan (sementara Jaksa

Penuntut Umum secara tegas menerima) dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak menerima pemberitahuan tentang putusan tingkat banding oleh Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus dalam tingkat pertama; 5) Pada hari diberitahukannya putusan kasasi dari Mahkamah Agung pada

Terpidana, dalam hal perkara itu diperiksa dan diputus dalam tingkat terakhir oleh Mahkamah Agung.

Setelah keputusan telah memiliki keputusan hukum yang tetap maka negara memiliki hak untuk menjalankan hukuman. Hak negara untuk melaksanakan hukuman tersebut dapat gugur karena sebab-sebab tertentu.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa gugurnya hak pelaksanaan hukuman itu dapat disebabkan karena matinya terhukum (pasal 83 KUHP) dan karena kadaluwarsa (pasal 84 KUHP)21

Pasal 83 KUHP menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”. Dasar peniadaan pelaksanaan pidana akibat kematian yaitu karena sifat pertanggungjawaban dalam hukum pidana dan pembalasan dari suatu pidana. Seseorang yang melakukan tindak pidana harus menanggung sendiri akibat hukum dari tindak pidana yang diperbuatnya berupa pidana (nestapa/hukuman) sebagai suatu bentuk dari pembalasan atas tindak

.

21


(31)

pidana yang dilakukannya. Apabila seseorang yang dijatuhi hukuman itu meninggal dunia sebelum dilaksanakan hukuman maka hak untuk melaksanakan hukuman kepadanya secara praktis tidak dapat dijalankan lagi, kecuali dalam hal hukuman denda. Meskipun orang yang dikenakan hukuman denda meninggal dunia, ini tidak perlu menyebabkan hapusnya hak untuk melaksanakan hukuman denda itu karena denda dapat dilaksanakan terhadap harta benda dari orang yang meninggal tersebut.

Pasal 84 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa “kewenangan menjalankan pidana hapus karena kadaluwarsa”. Kewajiban terpidana untuk menjalani atau melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dapat menjadi hapus setelah lewatnya waktu tertentu. Hal ini dilatarbelakangi agar tercapainya kepastian hukum baik bagi terpidana maupun bagi negara, karena apabila pidana yang telah dijatuhkan oleh negara dalam waktu sekian lama tidak juga dilaksanakan dapat menderitakan terpidana sehingga pada waktu tertentu haruslah diakhiri.

Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebab gugurnya hak pelaksanaan hukuman yaitu karena memperoleh grasi dari Kepala Negara22

Dari berbagai pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa grasi tidak menghilangkan unsur kesalahan (schuld) yang melekat pada putusan hakim. Unsur kesalahan dalam putusan hakim itu tetap ada, namun pelaksanaan putusan tersebut dihilangkan atau dikurangi atau diubah jenis hukumannya.

.

22


(32)

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi telah disebutkan bahwa pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terikat dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.

Hak prerogatif diartikan sebagai hak khusus yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang berlaku23

Dalam sistem hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, grasi tidak termasuk upaya hukum meskipin permohonan grasi yang diajukan terpidana merupakan upaya yang dapat menghapuskan atau setidak-tidaknya meringankan hukumannya.

. Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden yang diberikan oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia.

Jika suatu kasus telah diputus oleh Pengadilan Negeri kemudian diajukan upaya hukum banding sehingga kasus tersebut diputus oleh Pengadilan Tinggi, lalu diajukan kasasi di Mahkamah Agung, dan jika putusan Mahkamah Agung

23


(33)

telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde), maka hanya terdapat suatu upaya hukum yang dapat dilakukan adalah menempuh upaya hukum Peninjauan Kembali. Apabila terdakwa terbukti bersalah dan dipidana, maka pertolongan terakhir yang sesungguhnya tidak termasuk lagi dalam upaya hukum (biasa dan luar biasa) yaitu dengan mengajukan grasi kepada Presiden.

Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau Peninjauan Kembali. Suatu permohonan grasi yang diajukan kepada Presiden dapat dikabulkan maupun ditolak oleh Presiden.

Menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan Presiden yang bersifat judisial dalam ranka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan, ataupun menghapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan peradilan24

2. Alasan Dasar Pemberian Grasi

.

Grasi merupakan wewenang yang dimiliki Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara (hak prerogatif). Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan memberikan keputusan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, yaitu mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, yang artinya

24

Jimly Ashiddiqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 175-176


(34)

tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan.

Tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Republik Indonesia Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya mengenai bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau ditolak oleh Presiden.

Pasal 14 UUD 1945 memberi hak kepada Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tanpa disertai syarat-syarat atau kriteria pemberiannya, sehingga hak presiden tersebut bersifat mutlak25

Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai grasi tidak menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang digunakan agar seseorang dapat diberikan grasi. Dalam konsiderans huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD.

.

Menurut Utrecht, ada 4 (empat) alasan pemberian grasi yaitu sebagai berikut:

a. Kepentingan keluarga dari terpidana;

25

Zakaria Bangun, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Medan: Penerbit Bina Medis Perintis, 2007, hlm. 218-219


(35)

b. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat;

c. Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

d. Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga Permasyarakatan dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya;26

Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor internal yang terdapat dalam diri pribadi terpidana.

Menurut J.E. Sahetapy, alasan yang memungkinkan Presiden untuk memberikan grasi adalah sebagai berikut27

a. Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak dapat disembuhkan;

:

b. Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu mengadili si terdakwa;

c. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas dari kasus Abolisi dan Amnesti;

d. Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis revolusi atau peperangan;

26 Utrecht, Op. Cit hlm. 239-242 27

JE. Sahetapy, Mekanisme Pengawasan atas Hak-Hak Presiden, diakses pada 15 Desember 2003


(36)

Menurut Satochid Kartanegara, alasan-alasan pemberian grasi yaitu antara lain28 1. Untuk memperbaiki akibat dari pelaksanaan undang-undang itu sendiri

yang dianggap dalam beberapa hal kurang adil, misalnya apabila dengan dilaksanakannya hukuman terhadap orang itu, akan mengakibatkan keluarganya akan terlantar, atau apabila terhukum sedang mempunyai penyakit yang parah.

:

2. Demi untuk kepentingan Negara

Misalnya dalam peristiwa Tan Malaka, terhadap para tertuduh telah dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Agung di Yogyakarta, atas tuduhan dan terbukti hendak menggulingkan Pemerintah RI. Kemudian kepada para terhukum diberi grasi, dengan pertimbangan bahwa mereka dilandasi oleh cita-cita hukum untuk membela Negara.

Menurut Pompe, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi yaitu29

1. Ada kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan;

:

2. Adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya

28

Satochid Kartanegara, Op. Cit, hlm. 304 29

Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, Bandung: CV. Armico, 1984, hlm. 287-288


(37)

keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim;

3. Terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut; 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa

percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan;

5. Pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis;

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa alasan yang dijadikan dasar pemberian grasi adalah karena faktor keadilan dan faktor kemanusiaan. Faktor keadilan yaitu jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan dirinya telah berubah menjadi lebih baik, maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri.

Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebelum memberikan keputusan untuk mengabulkan atau menolak suatu permohonan grasi. Namun dalam UUD 1945


(38)

dan UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 tidak dijelaskan secara rinci mengenai pertimbangan yang bagaimana yang harus diberikan oleh Mahkamah Agung, yang pasti pertimbangan yang diberikan adalah pertimbangan dari segi hukum. Jika pertimbangan tersebut dari segi hukum sepatutnya berkaitan dengan tujuan pemidanaan yang harus memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman dalam masyarakat dan melindungi masyarakat dari kejahatan serta menjerakan pelaku sehingga terhindar menjadi residivis30

Presiden dalam memberikan keputusan pengabulan atau penolakan permohonan grasi tidak terikat pada pertimbangan yang disampaikan Mahkamah Agung.

, maka pertimbangannya hendaknya memperhatikan aspek positif maupun aspek negatif terhadap terpidana maupun masyarakat bila permohonan grasi dikabulkan atau ditolak.

3. Bentuk-Bentuk Grasi

Grasi dapat diajukan oleh terpidana kepada Presiden apabila putusan pengadilan yang memidana seseorang tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:

1) putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;

30

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1992, hlm. 49-51


(39)

2) putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau

3) putusan kasasi.

• Peringanan atau perubahan jenis pidana seperti dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan sebagainya,

Bentuk-bentuk grasi (pengampunan) yang diberikan Presiden yaitu berupa:

• Pengurangan jumlah pidana, atau • Penghapusan pelaksanaan pidana

a) Peringanan atau perubahan jenis pidana

Salah satu bentuk pengampunan (grasi) yang diberikan Presiden adalah peringanan yang berupa perubahan jenis pidana. Pidana yang awalnya diterima oleh terpidana dapat dirubah jenis pidananya dengan pidana yang termasuk di dalam Pasal 10 KUHP.

b) Pengurangan Jumlah Pidana

Salah satu bentuk pidana ini tidak sama dengan remisi karena pengurangan jumlah pidana dalam grasi hanya berupa jumlah pidana awal yang dijatuhkan kepada seseorang terpidana dikurangi jumlahnya. Misalnya awalnya terpidana dijatuhi hukuman pidana penjara 6 tahun dan setelah mendapat grasi yang berupa pengurangan hukuman pidana penjara selama 2 tahun sehingga pidana yang


(40)

dijalani terpidana berkurang menjadi penjara selama 4 tahun. Sedangkan yang disebut remisi adalah pengurangan hukuman masa pidana yang diberikan kepada narapidana apabila ia berkelakuan baik di dalam Lembaga Permasyarakatan dan diberikan setiap hari-hari besar. Perbedaan lainnya adalah pengurangan hukuman grasi diberikan oleh Presiden sedangkan remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM.

c)Penghapusan pelaksanaan pidana (komutasi)

Bentuk grasi yang terakhir adalah penghapusan pelaksanaan pidana. Pidana yang awalnya diputuskan atas seorang terpidana dapat dihapuskan apabila grasinya dikabulkan. Contohnya pidana penjara selama 4 tahun dapat ditiadakan/dihapuskan karena terpidana mendapat grasi.

B. SYARAT-SYARAT PEMOHON GRASI

Pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan grasi kepada Presiden harus memenuhi syarat yaitu:

1. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

2. Permohonan grasi hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi: a) pidana mati;

b) pidana penjara seumur hidup;

c) pidana penjara peling rendah 2 (dua) tahun;

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara lain sebagai berikut:


(41)

1) Terpidana

Pasal 6 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 menyebut terpidana berada dalam urutan pertama untuk mengajukan permohonan grasi.

2) Kuasa Hukum

Dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan juga bahwa kuasa hukum dapat mengajukan permohonan grasi dan terpidana harus memberi surat kuasa khusus terlebih dahulu kepada kuasa hukumnya untuk mewakilinya mengajukan grasi.

3) Keluarga Terpidana

Keluarga terpidana juga dapat mengajukan permohonan grasi. Tidak seperti kepada kuasa hukum, keluarga dapat mengajukan tanpa harus surat kuasa melainkan ada syarat lainnya yaitu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari terpidana. Pasal 6 ayat (2) tidak menentukan bentuk persetujuannya sehingga dapat ditafsirkan bisa berbentuk persetujuan lisan, nemun yang paling baik dan tepat, berbentuk persetujuan tertulis baik autentik atau dibawah tangan31

a) Istri atau suami,

. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud keluarga terpidana yaitu:

b) Anak kandung,

c) Orang tua kandung, atau d) Saudara kandung terpidana.

31


(42)

Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana mati tanpa persetujuan terpidana.

4) Menteri Hukum dan HAM

Didalam Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 memberi wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan pengajuan permohonan grasi.

Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Pengajuan permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan diberikan batasan waktu yaitu paling lama diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetaap.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 tentang grasi tidak menetapkan syarat atau pembatasan terhadap pihak yang dapat mengajukan grasi dari jenis tindak pidana yang dilakukan.

Seharusnya hal-hal tersebut tercakup dalam perundang-undangan grasi karena pembatasan jenis pidana sangat berpengaruh dalam proses penyelesaian grasi. Misalnya terpidana korupsi tidaklah boleh disamakan dengan terpidana kasus pencurian biasa atau terpidana kriminal biasa lainnya, dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat apabila terpidana korupsi diberikan grasi tanpa ada pembatasan tertentu/khusus. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat


(43)

merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.32

Pemikiran ini didasari atas kenyataan dalam proses hukum yang kita lihat akhir-akhir ini. Sulitnya penanggulangan tindak pidana korupsi terlihat dari banyak diputusbebasnya terdakwa kasus tindak pidana korupsi atau minimnya pidana yang ditanggung oleh terdakwa yang tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya. Hal ini sangat merugikan negara dan menghambat pembangunan bangsa, jika hal ini terjadi secara terus menerus dalam waktu yang lama tentu dapat meniadakan rasa keadilan dan rasa kepercayaan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan oleh warga negara. Permasalahan korupsi menjadi masalah nasional yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh pemerintah dan aparat penegak hukum khususnya dengan memberikan penghukuman yang jelas dan tegas terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Acuan inilah yang harus pemerintah perhatikan dalam merumuskan berbagai kebijakan perundang-undangan agar lebih berpihak kepada rakyat.

Begitu pula terhadap terpidana kasus kejahatan serius (extra ordinary crime) lainnya seperti kasus narkotika dan terorisme, harus ada pemberlakuan pengaturan khusus dalam hal pemberian grasi.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 dalam bagian Penjelasan hanya menyebutkan bahwa dalam memberikan keputusan atas suatu permohonan grasi,

32


(44)

Presiden perlu mempertimbangkan secara arif dan bijaksana hal-hal yang terkait dengan tindak pidana yang telah dilakukan oleh terpidana, khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan secara berulang-ulang (residif), tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana.

Perumusan kebijakan ini menyiratkan bahwa kepada pelaku tindak pidana residif, tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana yang dilakukan secara sadis dan berencana, Presiden haruslah berpikir dua kali dalam memberikan pengabulan grasi kepada terpidana tersebut.

C.Prosedur Tata Cara Pengajuan Permohonan Grasi

Prosedur pengajuan permohonan grasi dimulai dengan pemberitahuan hak mengajukan grasi kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, apabila pada waktu pembacaan putusan pengadilan tingkat pertama dijatuhkan terpidana tidak hadir di ruang sidang, maka hak terpidana tersebut diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. Pengajuan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah antara lain: 5) Terpidana

Pasal 6 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 menyebut terpidana berada dalam urutan pertama untuk mengajukan permohonan grasi.


(45)

6) Kuasa Hukum

Dalam Pasal 6 ayat (1) menegaskan juga bahwa kuasa hukum dapat mengajukan permohonan grasi dan terpidana harus memberi surat kuasa khusus terlebih dahulu kepada kuasa hukumnya untuk mewakilinya mengajukan grasi.

7) Keluarga Terpidana

Keluarga terpidana juga dapat mengajukan permohonan grasi. Tidak seperti kepada kuasa hukum, keluarga dapat mengajukan tanpa harus surat kuasa melainkan ada syarat lainnya yaitu terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari terpidana. Pasal 6 ayat (2) tidak menentukan bentuk persetujuannya sehingga dapat ditafsirkan bisa berbentuk persetujuan lisan, nemun yang paling baik dan tepat, berbentuk persetujuan tertulis baik autentik atau dibawah tangan33

e) Istri atau suami,

. Penjelasan Pasal 6 ayat (2) menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud keluarga terpidana yaitu:

f) Anak kandung,

g) Orang tua kandung, atau h) Saudara kandung terpidana.

Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana mati tanpa persetujuan terpidana.

33

Yahya Harahap, Keputusan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta:Penerbit Sinar Grafika, 209, hlm. 203


(46)

8) Menteri Hukum dan HAM

Didalam Pasal 6A UU No. 5 Tahun 2010 memberi wewenang kepada Menteri Hukum dan HAM untuk meneliti dan melaksanakan pengajuan permohonan grasi.

Pengajuan permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden. Pengajuan permohonan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali dan diberikan batasan waktu yaitu paling lama diajukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Salinan permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan salinannya dapat disampaikan terpidana melalui Kepala Lemabaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana. Setelah itu Kepala Lembaga Permasyarakatan menyampaikan permohonan grasi kepada Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannya.

Prosedur penyelesaian permohonan grasi yaitu dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi maka pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.


(47)

Jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung harus mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan Presiden dapat berupa penerimaan dan penolakan grasi. Jangka waktu pemberian atau penolakan grasi paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.

Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. Salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:

a) Mahkamah Agung;

b) Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama; c) Kejaksaan negeri yang menuntut perkara terpidana; dan d) Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) jo. Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2002, keputusan yang dapat diberikan atau dijatuhkan Presiden terdiri dari:

a. Pengabulan atau pemberian grasi

Jika keputusan yang diberikan Presiden adalah mengabulkan permohonan grasi pemohon, maka klasifikasi bentuk grasi yang dapat diberikan Presiden, merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, yang terdiri dari:


(48)

a) peringanan atau perubahan jenis pidana; b) pengurangan jumlah pidana; atau c) penghapusan pelaksanaan pidana.

Jadi Presiden melalui hak prerogatif yang diberikan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Pasal 4 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, memberikan kewenangan kepada Presiden untuk:

1) memperingan atau mengubah jenis pidana dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, maupun mengubah jenis pidana penjara menjadi pidana denda;

2) mengurangi jumlah pidana dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 atau 15 tahun dan sebagainya;

3) menghapuskan pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga terhadap terpidana tidak dilakukan eksekusi yang diperintahkan. Dalam hal ini pidananya tidak diubah atau dikurangi, tetapi eksekusi putusannya yang dihapuskan dan ditiadakan.

b. Menolak Permohonan Grasi

Bentuk keputusan kedua yang dapat diberikan Presiden menurut Pasal 4 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 adalah menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana. Kewenangan ini merupakan kebalikan dari hak mengabulkan permohonan grasi. Putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan tetap keadaannya seperti semula, apabila permohonan grasi ditolak.


(49)

Jangka Waktu Pemberian Keputusan

Pasal 11 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 menentukan jangka waktu pemberian keputusan oleh Presiden atas permohonan grasi. Baik keputusan yang diberikan berupa pengabulan atau penolakan permohonan grasi, jangka waktu penerbitannya tetap sama yaitu:

a) paling lambat 3 (tiga) bulan, terhitung dari tanggal Presiden menerima pertimbangan Mahkamah Agung maka Presiden harus memberikan keputusan;

b) perhitungan jangka waktunya adalah bukan dari tanggal permohonan grasi diterima Presiden tetapi mulai dari tanggal pertimbangan Mahkamah Agung diterima Presiden.

Permohonan asli grasi menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 langsung ditujukan dan disampaikan kepada Presiden. Adapun salinannya disampaikan kepada Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dan untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari tanggal diterimanya salinan permohonan oleh Mahkamah Agung dibuatlah pertimbangan hukum yang diamanatkan Pasal 35 UU Mahkamah Agung untuk disampaikan kepada Presiden.

Jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan dari tanggal diterimanya pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung, Presiden wajib memberikan keputusannya. Pembatasan jangka waktu ini objektif dan rasional agar pemohon grasi tidak terkatung-katung dalam keadaan yang tidak menentu seperti yang


(50)

terjadi selama ini. Pada UU No. 22 Tahun 2002 masih menetapkan jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk Mahkamah Agung membuat pertimbangan hukumnya karena untuk memperhatikan kepastian hukum dan keadilan maka dilakukan percepatan dalam UU No. 5 Tahun 2010 yang menyatakan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung menyampaikan pertimbangannya kepada Presiden.

Pengiriman Keputusan Presiden

Pasal 12 UU No. 22 Tahun 2002 mengatur mengenai ketentuan pengiriman dan penyampaian keputusan Presiden, dengan acuan sebagai berikut: a) Penyampaian Keputusan kepada terpidana

Pasal 12 ayat (1) berbunyi:

Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden.”

Berdasarkan ketentuan diatas maka:

1. Keputusan Presiden harus disampaikan langsung kepada terpidana, tidak melalui Pengadilan tingkat pertama. Mekanisme penyampaian keputusan Presiden langsung kepada terpidana. Tidak berbelit melalui birokrasi yang tidak efisien

2. Jangka waktu penyampaian Keputusan kepada terpidana, paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.


(51)

b) Penyampaian Salinan Keputusan Presiden

Selain Keputusan Presiden disampaikan kepada terpidana, salinan keputusan itu pun harus disampaikan kepada berbagai instansi tertentu. Hal ini juga diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002, yang memerintahkan salinan Keputusan Presiden disampaikan kepada:

a. Mahkamah Agung,

b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana, dan d. Lembaga permasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.

Ketentuan UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010 tidak menentukan jangka waktu mengenai pengiriman salinan keputusan Presiden kepada instansi-instansi tersebut karena penyampaian salinan tersebut sekadar bersifat untuk diketahui saja. Baik permohonan grasi dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, Kejaksaan Negeri sebagai pelaksana putusan pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP, sangat berkepentingan untuk mengetahui isi Keputusan Presiden. Oleh karena itu, pengiriman atau penyampaian salinan berpedoman kepada batas jangka waktu yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (1) yakni mesti disampaikan paling lambat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari dari tanggal keputusan Presiden ditetapkan34

34


(52)

BAB III

PENGATURAN GRASI DALAM HUKUM POSITIF DI

INDONESIA

A. Grasi Dalam Sistem Hukum Indonesia

1. Sejarah Penerapan Grasi

Pemberian grasi telah dikenal dan diberlakukan sejak lama yaitu di pada abad ke-18 di zaman kerajaan absolut di Eropa. Pada mulanya grasi merupakan hadiah atau anugerah raja (vorstelijke gunst) yang memberikan pengampunan kepada orang yang dijatuhi hukuman. Tindakan pengampunan ini didasarkan kepada kemurahan hati raja yang berkuasa. Raja dipandang sebagai sebagai sumber dari kekuasaan termasuk sumber keadilan dan hak mengadili sepenuhnya berada di tangan raja.

Grasi menjadi hak kepala negara karena didasarkan atas pendapat masyarakatnya sendiri yang menyatakan bahwa hak tunggal untuk menghukum (ius puniendi) adalah negara (pemerintah) melalui alat kekuasaannya. Dalam hal ini Utrecht mengatakan: “Disamping negara tiada suatu subyek hukum lain yang mempunyai ius puniendi itu.”35

Sejalan dengan tumbuhnya negara-negara modern dan dikenal ajaran Trias Politica yang menyatakan adanya pemisahan kekuasaan suatu negara dimana kekuasaan kehakiman terpisah dengan kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan

35


(53)

pemerintahan tidak dapat campur tangan dalam kekuasaan kehakiman. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan pandangan mengenai grasi, yang mana grasi dipandang sebagai suatu tindakan keadilan atau upaya koreksi untuk menghapuskan atau mengurangi ketidakadilan dalam pelaksanaan undang-undang.

Sesuai dengan anggapan ini, maka meskipun grasi itu tidak diminta oleh terhukum, presiden dapat saja memberikannya, jikalau untuk itu adalah alasannya. Dan grasi yang tidak dimintanya itu, tidak dapat ditolaknya oleh orang kepada siapa diberikan grasi itu.36

Di Indonesia, pengaturan mengenai prosedur acara permohonan grasi sudah ada sejak masa penjajahan Hindia Belanda yang mana telah diatur dalam satu peraturan perundang-undangan tersendiri yaitu Gratieregeling yang termuat dalam Staatsblad 1933 No. 22 dan pada masa penjajahan Jepang pengaturan mengenai grasi termuat dalam Osamu/Sei/Hi/No. 1583 hanya untuk permohonan grasi atas keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan biasa (sipil).

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan grasi diatur dalam pasal 14 ayat (1) UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan Presiden memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Atas dasar ketentuan ini, pada tanggal 14 April 1947, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1947 yang memuat tata cara pelaksanaan permohonan ampun kepada Presiden. Pada tanggal 25 Juli 1947 keluar Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1947 yang

36


(54)

memuat perubahan terhadap Peraturan Pemerintah sebelumnya. Masih pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan lagi Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1947 yang isinya memuat perubahan terhadap peraturan sebelumnya dan pada tahun 1948 mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1948 mengenai perubahan peraturan grasi sebelumnya.

Pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuk negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) 1949. Berkenaan dengan masalah grasi, konstitusi tersebut mengatur grasi dalam pasal 160, yang berbunyi sebagai berikut:

Ayat (1) Presiden mempunyai hak untuk memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman. Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasehat dari Mahkamah Agung, sekedar dengan Undang-Undang Federal tidak ditunjuk pengadilan yang lain untuk memberi nasehat.

Ayat (2) Jika hukuman mati dilakukan maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang Federal, diberikan kesempatan memberi ampun.

Atas dasar ketentuan tersebut, pada tanggal 1 Juli 1950 dikeluarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi, Lembaran Negara 1950 No. 40, yang mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1950. Undang-undang ini disebut pula undang tentang Permohonan Grasi. Materi muatan


(55)

Undang-undang ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah lainnya mengenai permohonan grasi yang dikeluarkan berdasarkan pasal 14 UUD 1945 sebelum amandemen.

Ketentuan mengenai hal-hal yang baru diatur dalam undang-undang grasi ini. Misalnya, tenggang waktu penundaan pelaksanaan hukuman mati yang dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Presiden untuk mempertimbangkan grasi kepada terpidana mati tersebut sekalipun terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Undang-undang No. 3 Tahun 1950 mengatur tenggang waktunya tiga puluh (30) hari, sementara dalam peraturan-peraturan sebelumnya 14 hari.

Pada tanggal 15 Agustus 1950, Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 yang mengubah Konstitusi RIS untuk menjadi undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Undang-undang Dasar ini dikenal dengan sebutan UUDS 1950. Pasal 2 UU No. 7 tahun 1950 menyatakan, UUDS RI ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.

Pasal 107 UUDS RI menyatakan bahwa ada hak yang diserahkan kepada alat-alat yang bukan perlengkapan pengadilan yang dapat melemahkan kekuasaan kehakiman yaitu grasi, amnesti dan abolisi.

Pasal 107 menyatakan sebagai berikut:

1. Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan.


(56)

Hak itu dilakukannya sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung, sekadar dengan undang-undang tidak ditunjuk pengadilan lain untuk memberi nasihat.

2. Jika hukuman mati dijatuhkan, maka keputusan pengadilan itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden, menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang, diberikan kesempatan untuk memberi grasi.

3. Amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan dengan undang-undang ataupun atas kuasa undang-undang, oleh Presiden sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung.

Pada masa UUDS 1950, pengaturan tata cara pelaksanaan grasi masih tetap menggunakan UU Grasi tahun 1950 yang dikeluarkan pada masa RIS. Hal ini sesuai dengan perihal pasal 142 UUDS 1950 yang menentukan segala peraturan yang ada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku selama peraturan-peraturan tidak dicabut, ditambah, diubah atas kuasa Undang-undang Dasar ini.

Pada masa ini, peraturan yang keluar berkenaan dengan grasi tercatat Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1954 tentang Kasasi dan Grasi. Pasal 2 peraturan ini menetapkan, seorang terpidana yang berada dalam tahanan dan mengajukan grasi sehingga ia tidak harus menjalani hukumannya. Jika terdapat alasan-alasan yang penting. Disamping itu keluar surat edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Grasi. Surat Edaran ini ditujukan kepada ketua-ketua Pengadilan Negeri dan


(57)

Kepala-kepala Kejaksaan Negeri, yang isinya antara lain, menjelaskan maksud dan pengertian tempo 14 hari sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang Grasi.

UUDS 1950 berlaku sampai dengan tanggal 5 Juli 1959. Presiden melalui Dekritnya tanggal 5 Juli 1959 menetapkan berlakunya kembali UUD 1945. Berlakunya UUD 1945 mempengaruhi status hukum badan-badan kenegaraan dan peraturan-peraturan yang ada dan berlaku pada masa 5 Juli 1959, namun hal ini dapat diatasi melalui pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menetapkan, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Peraturan yang ada dan berlaku sebelum 5 Juli 1959 dan masih tetap berlaku setelah keluarnya dekrit tersebut antara lain, UU Grasi No. 3 tahun 1950. Ketentuan-ketentuan yang terbit berkenaan dengan masalah grasi, misalnya Surat Edaran Menteri Kehakiman No. J.G.2/42/11, tanggal 5 Nopember 1969.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat kini dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat saat itu maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 pun masih banyak memiliki kelemahan sehingga dilakukan revisi (perubahan) terhadap beberapa ketentuan dan terbentuklah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.


(58)

2. Grasi dalam UUD 1945

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 ketentuan mengenai grasi diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Grasi merupakan salah satu dari hak prerogatif Presiden dalam hal peradilan. Hak prerogatif adalah hak istimewa yg dipunyai oleh kepala negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Setelah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, hak prerogatif yang dimiliki Presiden tidak bersifat mutlak, hal ini dilakukan agar dapat terciptanya sistem check and balances dalam sistem pemerintahan sehingga dalam pemberian grasi Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam memberikan keputusan untuk menolak atau mengabulkan grasi.

3. Grasi dalam KUHP

Ketentuan mengenai grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu dalam pasal 33 a. Pasal 33 a menyatakan bahwa : “Jika dimasukkan permohonan ampun oleh orang yang mendapat hukuman kurungan, yang ada dalam tahanan sementara, atau oleh orang lain dengan persetujuan siterhukum maka tempo dihari memasukkan permohonan dan hari keputusan Presiden tentang permohonan tersebut, tidak terhitung sebagai tempo hukuman, kecuali jika dengan memperhatikan keadaan tentang hal itu, Presiden menetapkan dalam keputusannya, bahwa tempo tadi sama sekali atau sebagiannya dihitung sebagai tempo hukuman”.


(59)

Berdasarkan ketentuan Pasal 33a KUHP diatas terlihat bahwa pengaturan mengenai grasi tidak diatur secara jelas. Namun hanya mengatur mengenai waktu menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.

4. Grasi dalam KUHAP

Selain diatur dalam KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun mengatur mengenai hak grasi ini, yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat (3). Pasal 196 ayat (3) KUHAP berbunyi:

“Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan terdakwa tentang haknya, yaitu: menerima dan menolak putusan, mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain”

B.Undang-Undang Mengenai Grasi

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi

Grasi diadopsi dari undang-undang Belanda yang diatur dalam Art 68 UUD Kerajaan Belanda, yang meliputi hukuman-hukuman atau dasar keputusan pengadilan. Penggunaan terhadap grasi adalah hak terhukum untuk mendapatkan keseluruan atau debagian dari hukuman, tapi tidak statusnya, dimana ia tetap sebagi terpidana. Awalnya grasi diberikan sebagi kemurahan hati penguasa atau Raja, kini telah mengalami perubahan dari sifatnya yang dapat diberikan tanpa ditanyakan terlebih dahulu dan tidak dapat ditolak.

Ketentuan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat


(60)

Tahun 1950 Nomor 40). Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang grasi dibentuk dengan tujuan bahwa perlu diadakannya Undang-Undang yang akan mengatur tentang permohonan grasi untuk menggantikan peraturan Belanda yang sudah ada sebelumnya.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 terdiri dari 15 (lima belas) pasal yang berisi mengenai persyaratan dan mekanisme tata cara pengajuan serta penyelesaian permohonan grasi. Persyaratan yang diatur adalah grasi dapat diajukan oleh semua terpidana yang dijatuhi hukuman yang tidak dapat diubah lagi. Baik yang dijatuhi hukuman mati, penjara, kurungan, tutupan dan hukuman kurungan serta denda dapat mengajukan grasi, dan hukuman tersebut dapat dilakukan penundaan atas pelaksanaannya apabila dimohonkan oleh si terhukum untuk tidak dijalankan. Permohonan grasi dapat diajukan oleh pihak lain selain terpidana tanpa persetujuan terpidana, kecuali terhadap hukuman mati, pihak lain yang mengajukan permohonan grasi harus mendapat persetujuan dari si terhukum. Permohonan grasi dapat diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari mulai hari setelah keputusan menjadi tetap. Sedangkan yang dijatuhi hukuman mati dapat memajukan grasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

Permohonan grasi diajukan secara tertulis melalui Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama atau kepada pembesar di daerahnya. Permohonan grasi lalu langsung dikirimkan kepada Presiden dan Hakim atau ketua pengadilan yang bersangkutan. Setelah menerima surat permohonan grasi Panitera meneruskan surat permohonan, surat pemberitaan dan salinan surat keputusan yang bersangkutan kepada Hakim atau Ketua Pengadilan. Hakim atau


(61)

Ketua Pengadilan meneruskan surat-surat tersebut dan pertimbangannya kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. Jakssa atau Kepala Kejaksaan pada peradilan tingkat pertama meneruskan surat tersbut beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pun meneruskan surat-surat dan pertimbangannya kepada Menteri Kehakiman dan Menteri kehakiman meneruskan surat dan pertimbangannya kepada Presiden.

Setelah itu Presiden akan memberikan keputusan atas permohonan grasi tersebut. Namun dalam UU No. 3 Tahun 1950 tidak menetapkan jangka waktu Presiden harus memberikan keputusannya atas suatu permohonan grasi. Keputusan Presiden atas permohonan grasi dengan segera diberitahukan oleh Menteri Kehakiman kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan kehakiman dan kepada yang berkepentingan (Pasal 11 UU No. 3 Tahun 1950). Kemudian, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 ini dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

Alasan penggantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 menurut konsiderans huruf b UU No. 22 tahun 2002, karena UU No. 3 Tahun 1950, dibentuk berdasarkan konstitusi RIS, 31 Januari 1950. Oleh karena itu dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat. Alasan itu, dikemukakan lagi pada alinea kedua Penjelasan Umum. Dikatakan, selain UU No. 3 Tahun 1950 bersumber dari Konstitusi RIS serta tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku sekarang, substansinya pun tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.


(62)

Dalam alinea ketiga Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 2002 disebutkan kelemahan yang terkandung dalam UU No. 3 Tahun 1950 yaitu sebagai berikut: (1) Tidak mengenal pembatasan putusan pemidanaan pengadilan mana yang

dapat diajukan permohonan grasi. Menurut Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1950, grasi dapat diajukan terhadap semua putusan pemidanaan. Ketentuan ini menyebabkan banyaknya pengajuan permohonan yang diajukan oleh para terpidana sehingga menimbulkan penumpukan berkas.

(2) Melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system):

a. melibatkan Ketua Pengadilan Negeri membuat pertimbangan yang dikirimkankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (KAJARI),

b. KAJARI mengirimkannya kepada Mahkamah Agung dan selanjutnya Mahkamah Agung meneruskannya kepada Menteri Kehakiman, yang akan mengirimkannya kepada Presiden. Sedemikian rupa panjang dan berbelitnya birokrasi yang harus dilalui penyelesaian permohonan grasi. Benar-benar tidak efektif dan efisien. Terjadi pemborosan waktu yang merugikan kepentingan penegasan hukum dan kepentingan terpidana. (3) Menunda pelaksanaan putusan pidana jika terhadapnya diajukan permohonan

grasi.

Akibat dari berbagai kelemahan yang terkandung dalam UU No. 3 Tahun 1950 banyak permohonan grasi memakan waktu penyelesaian yang sangat lama karena prosesnya terlalu birokratis.


(1)

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian penulisan skripsi ini, dapat diambil kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang berupa putusan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara minimal 2 (dua) tahun. Alasan yang dijadikan sebagai dasar pemberian grasi adalah faktor kemanusiaan dan faktor keadilan. Pemberian grasi harus benar-benar memperhatikan tujuan pemidanaan terhadap terpidana. Grasi diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara. Presiden tidak dapat menggunakan wewenang tersebut secara sewenang-wenang, tetapi terbatas dalam hal-hal yang benar-benar beralasan penting dan harus dengan pertimbangan baik dari segi yuridis dan dari segi keadilan. Pemberian grasi juga tidak boleh melemahkan atau merugikan perundang-undangan dan pengadilan.

2. Perundang-undangan yang mengatur mengenai grasi saat ini adalah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 memperbaharui


(2)

beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Perbedaan UU No. 22 Tahun 2002 dengan UU No. 5 Tahun 2010 yaitu antara lain:

a) UU No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur mengenai jangka

pembatasan waktu untuk mengajukan grasi sedangkan dalam UU No. 5 Tahun 2010 telah diatur bahwa jangka waktu untuk mengajukan grasi dibatasi menjadi 1 tahun setelah putusannya telah memperoleh keputusan hukum tetap.

b) UU No. 22 Tahun 2010 memberikan jangka waktu kepada

Mahkamah Agung dalam mememberikan pertimbangan kepada Presiden selama 3 (tiga) bulan sedangkan dalam UU No. 5 Tahun 2010 dilakukan percepatan jangka waktu menjadi 30 (tiga puluh) hari

c) UU No. 22 Tahun 2002 mengatur bahwa pengajuan grasi hanya

dapat diajukan 1 (satu) kali dan ada pengecualian dapat diajukan kembali dengan syarat pernah diajukan namun ditolak atau dikabulkan dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun dari penolakan atau pengabulan grasi sebelumnya. Sedangkan UU No. 5 Tahun 2010 menetapkan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.

d) UU No. 5 Tahun 2010 menetapkan ketentuan baru untuk


(3)

meneliti dan melaksanakan proses pengajuan permohonan grasi kepada Presiden

B. Saran

1. Perlu adanya pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang yang diberikan kepada Menteri Hukum dan Ham untuk meneliti dan memproses pengajuan grasi, karena dikhawatirkan wewenangnya disalahgunakan dan pelaksanaannya secara tebang pilih sehingga diharapkan adanya pengaturan lebih lanjut dan lebih jelas mengenai wewenang tersebut.

2. Perlu adanya peninjauan kembali terhadap pengaturan mengenai

pemberian grasi kepada terpidana pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkotika, dan terorisme. Presiden pun diharapkan dapat memberikan pengabulan grasi dengan dasar alasan pertimbangan yuridis yang jelas, tegas, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memperhatikan terpenuhinya rasa keadilan masyarakat atas keputusannya tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. Zainuddin, 2009. Metode Penelitian Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Ashiddiqe, Jimly, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekjen dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Bangun, Zakaria, 2007. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Penerbit: Bina Media Perintis, Medan.

Berharap Pada 560, 2011. Catatan Kinerja DPR 2009-2010, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Bonger, W.A., 1977. Pengantar Tentang Kriminologi, Penerbit: Ghalia Indonesia, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2, Penerbit: PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Hamzah dan Irdan Dahlan, A., 1987. Upaya Hukum dalam Perkara Pidana,

Penerbit: PT. Bina Aksara, Jakarta.

Harahap, Yahya, 2009. Keputusan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Hartanti, Evi, 2006. Tindak Pidana Korupsi, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Kansil dan Christine S.T. Kansil, C.S.T., 2001. Latihan Ujian Hukum Pidana, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta.

Kartanegara, Satochid, Tanpa Tahun. Hukum Pidana Bagian Dua, Penerbit: Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta. Lamintang,PAF., 1984. Hukum Penitentier Indonesia, Penerbit: CV. Armico, Bandung.

M.P. Pangaribuan, Luhut, 2002. Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di


(5)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 Teori-teori dan Kebijakan Pidana,

Simorangkir, JCT., 2004. Kamus Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta. Penerbit: PT ALUMNI, Bandung.

Utrecht, 1987. Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit: Pustaka Tinta Mas, Surabaya

Zulfa, Eva Achjani, 2010. Gugurnya Hak Menuntut, Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1995 tentang Grasi

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi

Internet

Desember 2010

Akhir Kejayaan Syaukani Hasan Rais”. Terakir kali

diakses pada Minggu, 22 Januari 2011 | 12.06


(6)

2012

KPK Terima Pelunasan dari Eks Bupati Kutai

Kertanegara”. Terakhir kali diakses pada tanggal 17 Desember 2010

Menteri Hukum dan HAM, dalam: “Syaukani Hasan Rais Akhirnya Dapat Grasi Presiden”.

Juni 2012

JE. Sahetapy, Mekanisme Pengawasan atas Hak-Hak Presiden,