Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Mati Narkoba Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 (Kajian Hukum PIdana Islam)
(KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
WILDA AZIZAH
NIM : 108045100009
KONSENTRASI HUKUM PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1436 H / 2015 M
(2)
(3)
(4)
(5)
v
WILDA AZIZAH, NIM: 108045100009, PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA MATI NARKOBA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 7/G/2012 (KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015
Skripsi ini menganalisis pemberian grasi terhadap terpidana mati narkoba oleh Presiden dalam hukum Islam yakni untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap alasan Presiden memberikan grasi dan untuk mengetahui dasar hukum atau pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati narkoba (Deni Setia Maharwan).
Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif yuridis yaitu mendekati permasalahan dengan norma atau kaidah hukum yang berlaku menurut hukum dengan menggunakan teknik studi pustaka (library
research) berupa buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah,
surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti.
Dari hasil tinjauan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Pemberian grasi khususnya kepada terpidana tindak pidana extra ordinary crime seperti tindak pidana narkoba tidak diberikan, sebab narkoba dapat merusak akal dan merusak bangsa. Pemberian grasi terhadap terpidana mati narkoba (Deni) tidak sejalan. Pandangan hukum Islam lebih mementingkan kemaslahatan umat dibanding kepentingan individu terhukum. Pemberian grasi terhadap terpidana narkoba itu sama sekali tidak memberikan efek jera dan memberikan kesempatan untuk tumbuhnya kejahatan.
Kata kunci: Grasi, Narkotika/Narkoba, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais. M.A Daftar Pustaka : Tahun 1976 s.d Tahun 2013
(6)
vi
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq serta nikmatnya, sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW beserta sanak keluarga dan para sahabatnya, sebagai pelindung orang-orang tertindas dan pejuang keadilan bagi seluruh manusia serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.
Hanya dengan karunia Allah SWT Tuhan yang Maha Adil, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk Skripsi ini yang merupakan tugas akhir sebagai salah satu kewajiban akademik yang harus ditempuh untuk meraih gelar Sarjana Syariah (S.Sy) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak kendala serta rintangan yang penulis hadapi dalam melakukan penelitian ini. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal-hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
(7)
vii
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1.
3. Hj. Rosdiana M.A Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1.
4. Iding Rosyidin, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan proposal skripsi ini sehingga skripsi dapat diseminarkan dengan baik.
5. Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi.
6. Segenap Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan Ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani, serta pimpinan dan pengurus perpustakaan yang telah memberikan fasilitas dan meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.
7. Kepada seluruh keluargaku tercinta, terutama kedua orang tuaku Ayahanda Abdul Kadir Hasibuan dan Ibunda Zuraidah Harahap yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat.
8. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2008 terima kasih telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang dalam kehidupan, antara
(8)
viii
9. Teman-teman KKN Hati 2011, terima kasih atas persahabatan, pengalaman dan dukungannya.
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT. Penulis hanya dapat berdoa semoga mereka yang telah disebutkan nama-namanya maupun yang belum sempat disebutkan nama-namnya mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan segala bantuan yang diberikan dicatat sebagai ibadah di sisi-Nya. sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 4 Juni 2015 Penulis,
(9)
viii
HALAMAN JUDUL………... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING………. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI………. iii
LEMBAR PERNYATAAN………... iv
ABSTRAK……….. v
KATA PENGANTAR………... vi
DAFTAR ISI……….. viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah……….. 6
C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian…... 7
D. Metodologi Penelitian……… 8
E. Tinjauan Pustaka / Review Study………. 10
F. Sistematika Penulisan……… 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI A. Pengertian dan Dasar Hukum Grasi………... 12
B. Prosedur Pemberian Grasi………. 16
C. Pemberian Grasi Bagi Terpidana Narkoba………... 21
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOBA A. Pengertian dan Dasar Hukum Narkoba………... 25
B. Jenis-jenis dan Bahaya Narkoba………. 33
(10)
ix
BAB IV KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP KEPUTUSAN
PPRESIDEN NOMOR 7/G/2012 TENTANG PEMBERIAN GRASI BAGI TERPIDANA MATI NARKOBA
A. Grasi Dalam Hukum Islam………... 49 B. Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 tentang Pemberian Grasi
Narkoba Menurut Kajian Hukum Pidana Islam……… 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……… 69
B. Saran-Saran………... 71
(11)
1 A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan zaman telah membawa negara Indonesia kepada semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran narkoba. Penyalahgunaan dan peredaran narkoba telah menimbulkan banyak korban dan banyak masalah sosial lainnya di dunia. Narkoba telah menyebar tidak hanya di kota-kota, tetapi juga di daerah-daerah terpencil. Para pengguna narkoba bukan lagi terbatas pada usia dewasa, bahkan anak usia dini pun telah menjadi korbannya.
Narkoba merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.1 Bahkan dapat menyebabkan kematian, sehingga merusak generasi suatu bangsa.
Dalam pandangan Islam, narkoba tidak dikenal pada masa Rasulullah saw. Istilah narkoba dalam Islam tidak disebutkan secara langsung dalam
Al-Qur‟an dan Sunnah. Walaupun demikian ia termasuk dalam kategori khamr,
bahkan narkoba lebih berbahaya dibanding khamr, tetapi dalam teori ilmu
1
(12)
Ushul Fiqh, bila suatu hukum belum ditentukan status hukumnya bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum).2 Khamr menurut bahasa Al-Qur‟an adalah minuman yang terbuat dari biji-bijian atau buah-buahan yang melalui proses begitu rupa sehingga dapat mencapai kadar yang memabukkan.3 Narkoba dan khamr, meskipun bentuknya berbeda namun cara kerja khamr dan narkoba sama saja. Keduanya memabukkan, merusak fungsi akal manusia.
Melihat dampak negatif yang yang diakibatkan oleh narkoba, perlu adanya pengaturan keras bagi pengguna dan pengedar narkoba. Oleh karenanya hukuman keras perlu diberlakukan demi memberikan efek jera tehadap pemakai dan pengedar narkoba.
Masih ingat dalam memori kita pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada terpidana narkotika, Deni Setia Maharwan pada tahun 2012. Deni batal mendapatkan hukuman dari hukuman mati diganti menjadi hukuman seumur hidup melalui keputusan Presiden (Keppres) Nomor 7/G/20124. Deni Setia Maharwan dan sepupunya terbukti menjadi anggota sindikat narkoba dengan menyelundupkan 3,5 kilogram
2
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 73
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 84 4
http//: tribunnews.com/nasional/2012/10/18/ini-alasan-sby-keluarkan-grasi-untuk-deni-setia. Akses tgl 11 April 2015.
(13)
heroin ditambah 3 kilogram kokain saat mencoba meninggalkan wilayah Indonesia pada tahun 2000.5
Grasi merupakan hak prerogatif Presiden dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945: Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan mempertimbangkan pertimbangan Mahkamah Agung. Sedangkan grasi menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Pemberian grasi ini dapat merubah, merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tetapi tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Hukum pidana Islam juga mengenal grasi kepada terpidana. dikenal dengan istilah Syafa’at atau al-afwu (pengampunan). Pemberian pengampunan ini bisa dilihat pada peristiwa “Fath al-Makkah dimana Rasulullah membatalkan putusan hukuman mati terhadap orang kafir yang masuk catatan hitam yang harus dibunuh, akan tetapi mereka mau bertaubat
salah satunya Abdullah bin Sa‟ad bin Abi Sarah, maka Rasulullah
memberikan maaf meskipun ada sebagian yang tetap dihukum bunuh karena
5
Dewi Safitri, Menhuk HAM: Bedakan Grasi Presiden Dengan MA, dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/drugamnesty.shtml. akses tanggal 5 juli 2015
(14)
terus membangkang terhadap Islam.6 Dan pada masa pemerintahan Muawiyah bin Sufyan yang memberikan pengampunan kepada narapidana dengan membebaskan seorang yang bersalah dalam kasus pencurian dan dihukumi potong tangan.7
Pengampunan dalam Islam memang ada akan tetapi tidak semua tindak pidana bisa mendapatkan pengampunan karena tergantung pada pertimbangan kemashlahatan umat dan hanya hukuman-hukuman ringan yang tidak membahayakan kepentingan umum yang boleh diampuni oleh kepala Negara (Presiden).
Pemberian grasi/pengampunan kepada Deni dianggap melukai rasa keadilan masyarakat karena ia adalah terpidana narkoba. Narkoba merupakan tindak pidana extra ordinary crime yang bahayanya dapat merusak diri sendiri dan merusak generasi bangsa, sehingga pemberian grasi kepada terpidana narkoba dipandang sebagai sebuah langkah mundur dalam upaya pemberantasan tindak pidana narkoba dan melemahkan perjuangan pemberantasan narkotika di Indonesia.
Menurut pengamat Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Budi Darmono, Pemberian grasi menjadikan sebuah pesan keliru yang
6
Munawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), Jus 2. h.81
7
(15)
membuat mereka jauh lebih berani dan menyepelekan hukum Indonesia. Mereka beranggapan bahwa hukum yang ada di Indonesia bisa dijualbelikan.8
Berdasarkan dari pemaparan yang penulis sampaikan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam penulisan skripsi dengan judul
“Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Mati Narkoba Keputusan Presiden Nomor 7/G/2012 (Kajian Hukum Pidana Islam)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Di dalam penulisan skripsi ini hanya membahas tentang pemberian grasi oleh Presiden dalam memberikan grasi kepada terpidana mati narkotika Deni Setia Maharwan pada tahun 2012 berdasarkan tinjauan hukum baik hukum Islam maupun hukum positif..
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis merumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pemberian grasi kepada Deni Setia Maharwan Keppres No.7/G/2012?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap alasan pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana mati narkoba Deni Setia Maharwan (Keppres No.7/G/2012)?
8
Isnaini, Adanya Grasi Pengedar Mulai Sepelekan Hukum di Indonesia dalam http://news.Okezone.com/read/. Diakses pada tanggal 2 Juli 2015
(16)
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme tentang pemberian grasi Keppres No.7/G//2012 terhadap Deni Setia Maharwan
b. Untuk mengetahui pandangan hukum pidana Islam terhadap alasan pemberian grasi oleh Presiden kepada Deni Setia Maharwan (Keppres No. 7/G/2012).
2. Manfaat penelitian
Penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untu berbagai hal diantaranya:
a. Secara teoritis, sebagai sumbangan pengetahuan di bidang hukum Islam dan hukum Pidana mengenai pemberian grasi tindak pidana narkoba.
b. Secara praktis, diharapkan dapat menambah pemahaman kepada semua pihak mengenai masalah grasi oleh Presiden kepada terpidana narkotika, Deni Setia Maharwan pada tahun 2012.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pada penulisan skripsi ini, penulis sepenuhnya menggunakan studi review yaitu dengan melihat penelitian-penelitian yang pernah dibahas oleh penulis sebelumnya dan sama-sama membahas masalah skripsi yang berkaitan
(17)
dengna judul penulis serta karya ilmiah lainnya. Guna dijadikan acuan dan rujukan, penulis telah menemukan hasil penelitian yang ditulis oleh
mahasiswa Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul:
Karya ilmiah mahasiswa (skripsi) yang ditulis pada tahun 2003 oleh
Zubaedah, di fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “Grasi dan Amnesti Dalam Kaitannya Dengan Penghapusan Hukuman Tindak Pidana (Komparasi Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia). Skripsi ini hanya membahas tentang perbandingan hukum Islam
dan hukum pidana Indonesia dalam menghapus hukuman dalam tindak pidana.
Karya ilmiah mahasiswa (skripsi) yang ditulis pada tahun 2004 oleh Eneng Anasiyah Aminah, Eneng, di fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Pemberian Grasi Menurut Hukum Islam
dan Hukum Pidana di Indonesia (Studi Komparatif). Skripsi ini hanya
membahas tentang pemberian grasi yang dilihat dari hukum pidana di Indonesia dan Hukum Islam lalu membandingkan keduanya.
Skripsi yang ditulis pada tahu 2014 oleh Fuji Abdul Rohman, di
fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Memberikan Grasi Kepada Terpidana Narkotika (Analisis Kasus Pemberian Grasi kepada Terpidana Narkotika, Schapelle Leigh Corby Tahun 2012). Skripsi ini
(18)
membahas mengenai grasi secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang grasi dengan mengkaitkannya dengan kasus hukum.
Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan tentang grasi hanya terbatas pada pengertian saja. Penulis menilai bahwa belum ada penelitian yang mengkaji tentang pemberian grasi terhadap terpidana mati narkoba Keppres Nomor 7/G/2012 kajian hukum pidana Islam.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif9, yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literature dan bahanpustaka yang ada relevansinya degan judul skripsi ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
9
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
(19)
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka (library research)10, baik berupa buku, peraturan perundang-undangan, majalah surata kabar, mengakses internet dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti. Data-data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa disebut editing.
3. Sumber Data
Adapun dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, data primer dan data sekunder, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan dalam hal ini adalah Al-Qur‟an, Al-Hadits, kaidah-kaidah fiqih, pendapat Ulama terdahulu dan kontemporer, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi jo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan buku yang berkaitan tentang grasi serta masalah-masalah kejahatan Narkotika dan yang ada relevansinya dengan skripsi ini.
10
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
(20)
b. Data Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan dalam mengkaji data primer , yaitu data-data yang diperoleh dari buku-buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan diteliti.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisi data yang digunakan adalah analisis kualitatif11 untuk menemukan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengklasifikasikan data-data yang telah diperoleh, disusun dan dideskripsikan.
5. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum dan Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”
E. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:
11
Lexy.j.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2004), Cet.I, h. 248
(21)
BAB I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
BAB II menguraikan tinjauan umum tentang grasi yang meliputi pengertian dan dasar hukum grasi, syarat dan pemberian grasi, prosedur pemberian grasi dan pemberian grasi bagi terpidana narkoba.
BAB III tinjauan umum tentang tindak pidana narkoba dalam hukum Islam dan positif yang meliputi pengertian narkoba dan dasar hukum tindak pidana narkoba, jenis-jenis dan bahaya narkoba, serta sanksi narkoba.
BAB IV berisi tentang grasi (pengampunan) dalam hukum Islam dan analisis keputusan Presiden (Keppres) No.7/G/2012 mengenai grasi yang telah diberikan dalam perspektif hukum pidana Islam.
BAB V merupakan bab penutup, yang berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini, serta mengemukakan beberapa saran yang dipandang perlu dalam mewujudkan hasil penelitian ini.
(22)
12 A. Pengertian dan Dasar Hukum Grasi
Grasi berasal dari kata Belanda “gratie” yang berarti pengampunan, pembebasan atau pengurangan hukuman yang diberikan kepada seorang terhukum oleh kepala Negara (Presiden).1 Secara etimologis, grasi berarti anugerah, dan dalam terminologi hukum, grasi diartikan sebagai bentuk pengampunan kepada para terhukum yang diberikan oleh kepala Negara.2
Sedangkan grasi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Pemberian grasi berfungsi untuk memberikan agar tidak terjadi penyimpangan dalam memberikan keputusan oleh pengadilan.
Pengaturan mengenai grasi sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang ini lahir
1
R. Subekti dan Tjitrsoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000), Cet. Ke- 13. Hal. 45
2
Peter Salim, Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer edisi 1, (Jakarta: Modern English Press, 1991)
(23)
pada tanggal 1 Juli 1950.3 Undang-undang ini di dalam pasal-pasalnya tidak banyak membahas ketentuan formil, namun lebih banyak mengatur ketentuan yang sifatnya materil. Tidak terdapat ketentuan umum yang menjelaskan pendefisian atas hal-hal yang diatur di dalamnya. Undang-undang ini dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat itu dan subtansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat. Maka kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang tentang Grasi di dalamnya diatur mengenai ketentuan umum, ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi, tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Grasi dalam Undang-Undang Dasar 1945 diatur dalam pasal 14 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden diberikan hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung. Hak tersebut merupakan hak istimewa (prerogatif) bagi kepala Negara karena hal tersebut seharusnya ditangani oleh kehakiman (yudikatif). Selanjutnya dijelaskan bahwa pemberian grasi dapat merubah, meringankan, mengurangi atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan
3
(24)
pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.4
Ketentuan grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam Pasal 33 a. menyatakan bahwa : “Jika dimasukkan permohonan ampun oleh orang yang mendapat hukuman kurungan, yang ada dalam tahanan sementara, atau oleh orang lain dengan persetujuan si terhukum maka tempo dihari memasukkan permohonan dan hari keputusan Presiden tentang permohonan tersebut, tidak terhitung sebagai tempo hukuman, kecuali jika dengan memperhatikan keadaan tentang hal itu, Presiden menetapkan dalam keputusannya, bahwa tempo tadi sama sekali atau
sebagiannya dihitung sebagai tempo hukuman”.
Selain diatur didalam KUHP, Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pun mengatur mengenai grasi ini yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat (3)
bebunyi : “Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahu
terdakwa tentang haknya, yaitu : menerima dan menolak putusan, mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain”
Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 2010 perubahan Undang-Undang No.22 Tahun 2002 tentang Grasi, kesempatan mendapatkan pengampunan dari Presiden atau Grasi dibatasi, batasannya adalah lama hukuman dan
4
Sholeh Suaidy, Perpu 1 2002 Terorisme Ditetapkan Presiden Megawati: Undang-undang 22 Tahun 2002 Grasi Peraturan Pemerintah 2 2002 HAM Berat Perpu 2 2002 Peledakan Bom di Bali, (Jakarta: Durat Bahagia, 2002), hlm. 8
(25)
hukuman mati. Undang-Undang grasi menyebutkan bahwa putusan pidana yang dapat dimohonkan grasi adalah5:
- pidana mati,
- penjara seumur hidup dan - penjara paling rendah 2 tahun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum grasi sebagai salah satu dari upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai sifat yang berbeda dibandingkan dengan upaya hukum „banding‟ maupun „kasasi‟.
Karena didalam upaya hukum „banding‟ dan „kasasi‟, pihak pemohon pada
dasarnya tidak mengakui dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) untuk
memeriksa dan mengadili sendiri atas perkara yang dimohonkan „banding‟ dan „kasasi‟ tersebut.6
Sedangkan dalam upaya hukum grasi, pemohon, pada prinsipnya telah mengakui dirinya bersalah dan menerima putusan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, dan atas kesalahannya tersebut pemohon mengajukan pemohonan ampun kepada Presiden dan meminta agar hukuman yang telah dijatuhkan atas dirinya dapat dikurangi atau dihapuskan.7
5
Pasal 2 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi 6
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h. 90 7
(26)
Grasi deberikan bila memang kepentingan Negara nyata mendorong untuk tidak dijalankannya hukuman keputusan pengadilan, bukan pada pertimbangan yang keluar dari keibaan hati atau rasa sayang terhadap orang.8
Tujuan dari adanya grasi adalah untuk memperbaiki putusan hakim agar lebih sesuai dengan rasa keadilan sebagai dasar segala hukum9, untuk menjamin kemaslahatan dan rasa keadilan serta ketentraman individu di masyarakat, untuk membina keselarasan sosial antara pihak yang bersangkutan dengan peristiwa kejahatan, untuk mencari peluang atau memberi pelajaran kepada penjahat untuk kembali kejalan yang benar dan untuk menghindari kemudharatan akibat terlalu beratnya hukuman yang dijatuhkan.10
B. Prosedur Pemberian Grasi
1. Hak dan Wewenang Pemberian Grasi
Presiden mempunyai hak dan wewenang untuk memberikan grasi dari hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan pidana. Hal ini dilakukan oleh Presiden setelah meminta nasehat atau mendapat pertimbangan dari
8
R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradya Paramita, 1978). H. 146-147
9
Wirjono Prodjodikiro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h. 105 10
(27)
Mahkamah Agung, bahkan jika hukuman mati dijatuhkan kepada narapidana, maka hukuman tersebut tidak dapat dijalankan sebelum Presiden diberi kesempatan untuk memberikan grasi.11
Dalam konsiderans huruf b, dan huruf c Undang-undang 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan kepastian hukum berdasarkan pancasila dan UUD.
2. Syarat Grasi
Sebelum permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. (Pasal 2 ayat 1)
b. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat
11
Wirjono Prodjodikiro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1983), h. 153
(28)
mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana. (Pasal 6 ayat 3)
c. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara, seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. (Pasal 2 ayat 2).
d. Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. (Pasal 2 ayat 3)
Pemberian grasi dapat diberikan diberikan dengan alasan bahwa keputusan hukum yang sudah benar menurut hukum positif yang berlaku, tapi dirasakan terlalu berat dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu putusan hakim dijalankan, yang mana keadaan ini mungkin dapat merubah pada saat putusan hakim dijatuhkan.12 Ada beberapa alasan sebagai pertimbangan pemberian grasi bagi si terhukum, yaitu:13
a. Permohonan grasi berdasarkan alasan kepentingan keluarga, bahwa si terhukum merupakan tulang punggung di dalam keluarganya.
b. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat.
c. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
12
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1980), h. 104
13
E. Utrecht, Rangkaian Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1987), Cet.Ke – 3, hal. 251
(29)
d. Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa si terhukum berkelakuan baik selama di penjara dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.
3. Tata Cara Grasi
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang permohonan grasi diatur tentang prosedur dan mekanisme pengajuan grasi. Beberapa proses permohonan grasi , sebagai berikut:
1. Hak untuk mengajukan grasi diberitahukan oleh hakim atau ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama kepada terpidana, apabila pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana untuk mengajukan grasi diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat petama.
2. Permohonan grasi diajukan kepada Presiden oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarga terpidana. permohonan grasi tersebut dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.14
3. Permohonan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan diajukan kepada Presiden secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya atau keluarganya. Selanjutnya salinan permohonan grasi tersebut kemudian
14
(30)
disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan salinannnya.
4. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterinya salinan permohonan dan berkas perkara.
5. Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, dengan jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
6. Keputusan Presiden tersebut disampaikan kepada terpidana dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. Lalu salinan keputusan disampaikan kepada Mahkamah Agung, pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, kejaksaan negri menuntut perkara terpidana, danlembaga pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
(31)
C. Pemberian Grasi Bagi Narapidana Narkoba
Bagi setiap narapidana berhak mendapatkan grasi. pemberian grasi bagi narapidana narkoba mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang grasi. Grasi dapat diajukan pada putusan pidana mati, penjara seumur hidup dan penjara paling lama 2 (dua) tahun. Maka berdasarkan peraturan tersebut, bahwa narapidana narkoba bisa mengajukan grasi karena masuk dalam kategori putusan pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi. berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 bahwa sanksi tindak pidana narkoba paling berat adalah pidana mati dan paling ringan adalah 4 tahun.
Pihak yang berwenang memberikan grasi adalah Presiden dengan memperthatikan pertimbangan Mahkamah Agung15. Presiden berhak dalam mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.16
Sejumlah narapidana narkoba mendapatkan pengampunan masa hukuman (grasi). Kepala Biro Humas Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementrian Hukum dan HAM Akbar Hadi mengatakan, sampai awal tahun ini sudah ada 39 narapidana yang mengajukan grasi kepada
15
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 16
(32)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi hanya 10 orang yang dikabulkan.17
Pemberian grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada empat terpidana narkoba yang mendapatkan grasi diantaranya: , Deni Setia Maharwan alias Rafi Mohammad Majid mendapatkan grasi Keppres Nomor 7/G/2012 pada Januari 2012, Meirika Franola alias Ola mendapatkan grasi Keppres Nomor 35/G/2011 pada September 2011, Schapelle Leigh Corby Keppres Nomor 22/G/2012 dan Peter Achim Franz Grobmann mendapatkan grasi Keppres Nomor 23/G/2012 pada Mei 2012.18
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberikan grasi kepada Deni Setia Maharwan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan perundangan tentang grasi. Deni sebagai tersangka tindak pidana narkoba membawa narkotika jenis heroin seberat 3 kilogram dari London, Inggris, melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Hukuman Deni yaitu hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Pemberian grasi tersebut berdasarkan Deni Setia Maharwan telah menyesali perbuatannya.
Juru bicara Kepresidenan Julian Aldi Pasha membenarkan adanya Pemberian grasi oleh Presiden terhadap terpidana mati kasus narkotika, Deni
17
http://www.rmol.co/read/2012/05/27/65155/10-Permohonan-Grasi-Napi-Dikabulkan-Presiden-SBY-. diakses pada tanggal 27 Desember 2014
18
http://agussutondomediacenter.blogspot.com/2012/10/sby-plin-plan-indonesia-banjir-investor.html. diakses pada tanggal 27 Desember 2014
(33)
Setia Maharwan alias Rafi. “Benar bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi itu. Tentunya dalam Pemberian grasi yang menjadi kewenangannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpedoman pada pasal 14 UUD 1945. Sesuai prosedur pemberiannya berdasarkan masukan dari MA, Kejaksaan, Menko Polhukam dan Kemenkum HAM,” kata Julian Aldrin Pasha, Jumat (12/10).19 Pemberian grasi terhadap Deni dengan pertimbangan sisi kemanusiaan.20
Merika Franola alias Ola alias Taniapada 22 Agustus 2000 lalu karena terbukti membawa 3,5 Kg heroin dari London, Inggris, melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta,mendapat hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Kemudian Presiden SBY mengeluarkan pengampunan atau grasi kepada Ola pada 26 September 2011 lalu, melalui Keppres No 35 Tahun 2011 dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.
Namun ternyata, di balik jeruji besi Lapas Wanita Tangerang, Ola diketahui masih mengendalikan penyelundupan narkotika ke Indonesia. Grasi atau pengampunan hukuman dari mantan Presiden SBY dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup, rupanya tidak digunakan Ola untuk
19
http://forumkeadilan.com/politik/sby-dan-grasi-narkoba/. Diakses pada tanggal 5 Juni 2015 20
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/10/26/mchm3q-terpidana-narkotika-saya-ajukan-grasi-sesuai-prosedur. Diakses pada tanggal 28 Desember 2014
(34)
memperbaiki diri, dirinya kembali ikut terlibat dalam peredaran narkotika di dalam penjara.21
Schapelle Leigh Corby, bermula 8 Oktober 2004. Saat iut, personel Imigrasi di Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali menemukan mariyuana atau ganja seberat 4,1 kilogram dalam tas selancarnya. Corby ditangkap dan diproses hukum. Corby dinyatakan bersalah atas tuduhan yang diajukan
terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun pada vonis 27 Mei 2005.Ia juga didenda sebesar Rp 100 juta. Dengan diberikan grasi lima tahun kepada Corby lewat Keppres No. 22/G Tahun 2012 tanggal 15 Mei 2012, hukuman Corby berkurang dari 20 tahun penjara menjadi 15 tahun penjara. Corby menjadi terpidana di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Bali sejak tanggal 9 Oktober 2004.22 Pemberian grasi terhadap Corby dengan alasan kemanusiaan karena kondisi yang bersangkutan sering sakit-sakitan di dalam lapas.23
21
http://www.merdeka.com/peristiwa/diberi-grasi-sby-namun-kendalikan-narkoba-ola-dijerat-hukuman-mati.html. diakses pada 5Juni 2015
22
http://www.tribunnews.com/nasional/2014/02/08/kontroversi-schapelle-leigh-corby?page=3 . diakses pada tanggal 12 Juni 2015
23
http://www.indonesiamedia.com/2013/04/17/jika-serius-gembong-narkoba-korupsi-di-indonesia-jangan-diberi-grasi/. Diakses pada tanggal 28 Desember 2014
(35)
25
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOBA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Narkoba
Istilah narkoba dalam konteks hukum Islam, tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur‟an maupun dalam Sunnah. Dalam Al-Qur‟an hanya menyebutkan khamr.
Khamr biasanya diartikan sebagai minuman keras (minuman memabukkan) atau arak.1
Al-Khamru berasal dari kata ارمخ رمخي رمخ .yang berarti menutupi. Secara
terminologi, khamr berarti tertutup, tersembunyi, rahasia, mabuk dan berubah dari aslinya. Sehingga jika orang yang meminum khamr akan tertutup akal dan kesadarannya. Muhammad Ali Ash-Shabuni mendefinisikan khamr sebagai benda atau zat yang memabukkan, terbuat dari anggur dan selain anggur.2 Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dinyatakan bahwa Umar pernah berpidato di atas mimbar Rasulullah Saw dan berkata:
ها ضر رمع عمس : ق رمع ن ا نع لص لأ ر م لع ه ع
ه لع ها : قي لسو زّ هّأ لا يأ ,دع مأ
ر عشلاو ط خلاو سعلاو رمتلاو علا :نم سمخ نم و ,رمخلا يرح اور) . قعلا رم خ م رمخعلاو
( ر خ لا
3
1
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, h. 17 2
Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Al-Hadis, 1994), Juz. Ke-1, h. 189 3
A. Hassan, Tarjamah, Bulughul Maram, Ibnu Hajar al-Asqalani, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006), h. 574
(36)
Artinya: “Sesungguhnya telah turun (ayat) pengharaman khamr, sedang ia adalah dari lima (macam) dari: anggur, kurma, madu, gandum dan sya’ir. Dan khamr itu
adalah yang menutup akal”. (HR. Bukhori)
Hadits di atas menyatakan bahwa khamr adalah segala yang menutupi akalmenegaskan bahwa, khamr tidak terbatas pada apa yang terbuaat dari lima bahan baku di atas. Penyebutan kelima bahan tersebut, karena kelimanya pada saat itu paling sering dijadikan bahan baku khamr.4
Dalam yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abdullah bin Umar dinyatakan bahwa:5
رح رمخ كو رمخ ر سم ك Artinya: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram”.
(HR. Muslim).
Proses pengharaman khamr di dalam Al-Qur’an tidak dilakukan secara langsung, tetapi dilakukan secara bertahap. Beberapa ayat Al-Qur’an berkaitan dengan pelarangan
khamr sebagai berikut :
Pertama, QS. Al-Baqarah ayat 219:
4
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: PBB UIN, 2003), h.19
5
(37)
Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Akan tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”
Kedua, QS. An-Nisa ayat 43:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Ketiga, pada ayat berikut ini khamr baru diharamkan secara tegas. QS. Al-Maidah
ayat 90:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, bejudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Sementara itu, beberapa hadits yang berkaitan dengan pengharaman khamr, hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori:
(38)
ارح ف ر سا ارش ك
Artinya: “Semua jenis minuman memabukkan adalah haram”. (HR. Bukhori)
Dari tegasnya larangan khamr dalam ayat dan hadits tersebut akibat mabuk yang ditimbulkannya, maka Ulama sepakat mengatakan bahwa mengkonsumsi khamr tersebut dijelaskan sendiri oleh Allah dalam ayat tersebut di atas yaitu: tindakan yang buruk dan keji serta termasuk salah satu perbuatan-perbuatan yang dilakukan syaitan. Dan menyatakan secara jelas bahwa segala yang memabukkan, tanpa dipersoalkan jenis dan bahannya asal dapat memabukkan, disebut sebagai khamr.6 Termasuk dalam kategori ini narkotika, psikotropika, minuman beralkohol dan yang sejenisnya disebut narkoba.7
Secara etimologis, narkoba diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan kata yang اردخملا berasal dari kata ريدخ ردخي ردخ (khaddara, yukhaddiru, takhdir) yang berarti hilang rasa, bingung, membius tidak sadar8, menutup, gelap dan mabuk.9 Sedangkan narkoba secara terminologis adalah :
ت ىلع بت تي ام لك ىه ا أب ضع لا ا ف ع ا لا به ت اكت ىتح لقعلا ىلع يثأت مسجلل كل اه ا ل ا
كلا يب لا يف لا يفاا شيشحلا ا عا ا شا يعض لا ي ا قلا ا م حت ىتلا ام اا اع كت اكلا يباك
10
6
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet. Ke- 3, h. 317.
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. Ke-2, h. 292 8
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 351
9 Luwis Ma’luf, al-Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam
, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1975), h. 170 (kutipan dari Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 76
10
Dr. Mardani, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008), h. 76-77
(39)
Artinya: “Narkotika adalah setiap zat yang apabila dikonsumsi akan merusak fisik dan akal, bahkan terkadang membuat orang menjadi gila atau mabuk. Hal yang demikian oleh undang-undang positif yang populer seperti: ganja, opium, morphin, heroin kokain dan kat.”
Ensiklopedi Hukum Islam mengenal narkotika sebagai Hasyis jamak dari
Hasyiysah (rumput kering) yang diekstrak dari bunga tanaman Cannabis Indica//Sativa,
apabila dihisap, dikunyah atau diminum mengakibatkan mabuk.11
Untuk menentukan status hukum narkotika dalam syariat Islam, maka para ulama (mujtahid) biasanya menyelesaikan dengan jalan ijtihad mereka, melalui metodelogi hukum Islam dengan jalan pendekatan qiyas sebagai solusi istinbat hukum yang belum jelas hukumnya dalam syariat Islam. Dalam teori Ushul Fiqih, bila sesuatu hukum belum ditentukan status hukumnya, maka bisa diselesaikan melalui metode qiyas (analogi hukum).12
Para Ulama Ushul Fikih menyatakan bahwa qiyas dapat dibagi dari beberapa segi antara lain sebagai berikut : (a). qiyas al-aulawi, (b). qiyas al-musawi, (c). qiyas
al-adna.13penyalahgunaan Narkotika temasuk dalam qiyas al-aulawi yaitu qiyas yang
berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pada berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illat (dasar) yang terdapat pada furu’. Berikut dipaparkan metode penyelesaian ketentuan hukum narkotika dengan penjelasan qiyas.14
11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1999) Cet. Ke-3, h. 535
12
Muhammad Khudori Bik, Ushul Al-Fiqh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), h.334 13
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Orbit, 2005), h. 273
14
(40)
1. Al-Ashl, adalah khamr, karena sesuatu yang ada hukumnya dalam nash (Al-Qu’an), sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 90.
2. Al-Far’u (cabang) adalah narkotika, karena tidak ada hukumnya dalam nash tetapi ada maksud menyamakan status hukumnya kepada nash yakni khamr. Narkoba dalam hal ini sisebut al-musyabbah (yang diserupakan).
3. Hukum ashl adalah khamr adalah haram, sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah (QS. Al-Maidah: 90) dengan itu menjadi tolak ukur ketetapan hukum bagi cabang (al-far’u).
Karena adanya illat memabukkan, narkoba disamakan dengan khamar mengenai hukumnya maka haram meminumnya.15 Islam melarang minuman memabukkan, karena dianggap sebagai induk keburukan, disamping merusak akal, jiwa, kesehatan dan harta. Dari sejak semula, Islam telah berusaha menjelaskan kepada umat manusia, bahwa manfaatnya tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkannya, karena akal adalah salah satu sendi kehidupan manusia yang harus dilindungi dan dipelihara. Untuk itu, dalam rangka pemeliharaan terhadap akal segala apapun yang dapat menyebabkan rusak atau berakibat buruk harus dilarang.16
Menurut pendapat Sayyid Sabiq mengatakan bahwa narkoba lebih berbahaya dari
khamr (minuman keras) sebagai berikut: “Sesungguhnya ganja itu haram, diberikan
sanksi had orang yang menyalahgunakannya, sebagaimana diberikan sanki had peminum khamr. Dan ganja itu lebih keji dibandingkan dengan khamr (minuman keras)
15
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000), h.
16
(41)
ditinjau dari segi sifatnya yang dapat merusak otak dan pengaruh buruk lainnya. Dan ia termasuk kategori khamr yang secara lafdzi dan maknawi telah diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya.”17
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Dalam hal ini, pengertian narkoba adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk bahan/obat yang masuk kategori berbahaya atau dilarang untuk digunakan, diproduksi, dipasok, diperjualbelikan, diedarkan dan sebagainya diluar ketentuan hukum.18
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang seperti opium dan ganja.19
Istilah lain yang diperkenalkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah NAPZA yaitu singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya, yakni bahan, zat atau obat yang apabila masuk kedalam tubuh manusia, akan mempengaruhi tubuh, terutama otak atau susunan syaraf pusat dan menyebabkan gangguan kesehatan jasmani, mental-emosional dan fungsi sosialnya, karena terjadi kebiasaan, ketagihan dan ketergantungan terhadap NAPZA.
Pengertian narkoba menurut DR. Soedjono, SH. adalah “bahan-bahan yang terutama efek kerja pembiusan, atau dapat menurunkan kesadaran, juga dapat
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Jilid II, Cet. Ke-III, h. 328 18
Pramono U. Tanthowi, Narkoba Problem dan Pemecahannya Dalam Perspektif Islam, h. 4 19
(42)
menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus menerus dan secara liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan tersebut.20
Sedangkan Drs. H. M. Ridho Ma’ruf dalam bukunya mengatakan “Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi syaraf sentral”.21
Narkoba merupakan jenis obat yang substansinya dilarang dan diatur penggunaannya oleh Undang-Undang Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pembaharuan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika danUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan sesuai dengan pernyataan dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa bahan-bahan yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa atau mental perilaku pemakainya.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang narkoba berkenaan dengan bahayanya ada beberapa peraturan yaitu :
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- PERMENKES Nomor 10 Tahun 2010 tentang Impor dan Ekspor Narkotika dan Psikotropika dan Prekursor Farmasi
- Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 453/Menkes/Pen/XI/1983 tentang Bahan-bahan Berbahaya
20
Soedjono D, Pathologi Sosial, (Bandung: Alumni 1974), h. 78
(43)
- Peraturan Menteri Kesehatan R.I. Nomor 86/Menkes/Pen/XII/1976 tentang Minuman Keras
- Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.
Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 , tidak memberikan definisi Narkotika, tetapi hanya menyebut bahan-bahan narkotika yang pada pokoknya: Dari bahan-bahan : Paver, Ganja dan Kokain, Garam-garam dari turunan Morfina dan Kokain, Bahan-bahan lain baik alamiah, sintesis maupun semi sintesis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina dan kokaina yang ditetapkan oleh Mentri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti morfina atau kokaina dan Campuran dari sediaan atau preparat No.1,2 dan 3.
B. Jenis-Jenis dan Bahaya Narkoba 1. Jenis-Jenis Narkoba
Narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.22
Sebagaimana telah dijelaskan di atas Narkoba atau NAPZA adalah obat-obat atau zat-zat yang berbahaya apabila disalahgunakan atau apabila penggunaannya tanpa medis.
22
(44)
Untuk mempermudah pemahaman dalam pembagian jenis-jenis narkoba, penulis membaginya menjadi tiga jenis yaitu : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif/Obat-obat berbaya. .
Penggolongan jenis-jenis narkotika didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibagi menjadi tiga golongan, sesuai dengan pasal 6 ayat 1:
a. Narkotika
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi (pengobatan), serta serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan adalah:
- Ganja, yaitu berasal dari tanaman dengan nama Cannabis Satifa dan Cannabis Indica, sejenis tanaman perdu yang biasanya digunakan sebagai obat relaksasi dan untuk mengatasi Intoksisasi ringan. Bahan yang digunakan dapat berupa daun, biji dan bunga tanaman tersebut. Beberapa istilah untuk ganja antara lain marijuana, gele, cimeng, hash, oyenn, ikat, bang, labang, rumput atau grass.23
- Heroin, yaitu zat yang dihasilkan dari bahan beku morfin, asam cuka anhidrid dan asetil klorid. Heroin biasanya berwana putih, kelabu atau coklat muda. Pada umumnya heroin berupa serbuk, kristal dan batangan yang padat dan keras. Serbuk heroin dihasilkan dari getah bunga tanaman candu melalui proses ekstraksi. Secara farmakologis mirip dengna morfin yang berefek kecanduan menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak
23
(45)
menentu. Daya kerja heroin lebih cepat dan mudah menimbulkan ketergantungan.24
- Kokain, yaitu jenis narkotika berupa serbuk putih. Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tumbuhan koka Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan. Daunnya biasa dikunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan “efek stimulan” untuk meningkatkan kemampuan fisik seseorang sehinga tubuh dapat bertahan lebih bugar.25
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi (pengobatan) atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan dalah:26
- Morfin, merupakan alkolaid yang termasuk dalam opium candu yang berasal dari tanaman papafer somniferum. Morfin burupa serbuk berwarna putih atau dalam bentuk cairan dan rasanya pahit. Sebagian opium diolah menjadi morfin dan kodein.27
- Petidin, Fentanil,Metadon.
24
M. arief Hakim, Bahaya Narkoba Alkohol: Cara Islam Mencegah, Mengatasi dan Melawan. h. 39 25
Sunarno, Narkoba Bahaya dan Upaya Pencegahannya, (Semarang: PT.Bengawan Ilmu) h. 25 26
Siswanto Suryono, Kami Peduli Penanggulangan Bahaaya Narkoba, (Jakarta: LSM Kemitraan Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba, 2001), Cet.Ke 1, h. 4
27
Badan Narkotika Nasional (BNN), Pedeoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Remaja (Jakarta: Badan Narkotika Nasional, 2003), h.6
(46)
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi (pengobatan) dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan adalah:28
- Kodein, merupakan alkolaid yang terdapat dalam opium/candu atau sintesa dari morfin. Kodein berupaserbuk berwarna putih atau dalam bentuk tablet, digunakan dalam pengobatan untuk menekan batuk antitutif dan pengilang nyeri analgesic. - Etil Morfin, - Dihidrokodlin dll.
Ada 4 jenis narkoba yang beredar di Negara Indonesia yaitu ganja, opium, putaw dan kokain. Narkoba yang paling membahayakan banyak disalahgunakan adalah heroin, ganja dan amphetamine.
b. Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang bershasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif dan susunan saraf pusat dan menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku, yang dibagi menurut potensi yang menyebabkan ketergantungan.29: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
1) Psikotropika golongan I: adalah psikotropika yang tidak digunakan dalam terapi (pengobatan), berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, adalah:
- MDMA (Ekstasi), merupakan turunan dari amphetamin, berbentuk serbuk berwarna putih atau kekuningan bersifat halusinogen kuat.
28
Ibid, h. 7 29
(47)
- LSD (lisergic dietihamid), berasal dari jamur jenis ergot yang tumbuh pada tumbuhan gandum hitam atau gandum putih. LSD mengakibatkan ketergantungan fisik, psikis dan juga toleransi.
2) Psikotropika golongan II: adalah psikotropika yang dapat digunakan amat terbatas dalam terapi (pengobatan), berpotensi kuat menyebabkan ketergantungan adalah: Ampetamin, Metamfetamin dan Ritalin.
3) Psikotropika golongan III: adalah psikotropika yang dapat digunakan dalam terapi (pengobatan), berpotensi sedang menyebabkan ketergantungan, adalah: Pentobarbital, Flunitrazepam dan lain-lain.
4) Psikotropika golongan IV: adalah psikotropika yang dapat digunakan sangat luas digunakan dalam terapi (pengobatan) atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta berpotensi ringan dalam ketergantungan, adalah: Diazepam, Klobazam, Klonazepam, Barbital dan Nitrazepam, seperti pil BK, DUM dan MG.
c. Zat Adiktif
Adalah bahan zat yang tidak tergolong narkotika atau psikotropika, tetapi sepertti halnya narkotika dan psikotropika, bahan zat adiktif ini menimbulkan ketergantungan antara lain yaitu:
1) Alkohol, adalah hasil fermentasi/peragian karbohidrat dari butir padi-padian, cassava, sari buah anggur dan nira. Terdapat pada jenis minuman keras. Alkohol termasuk zat adiktif, artinya zat tersebut dapat menimbulkan adiksi (addiction) yaitu ketagihan dan dependensi (ketergantungan). Karena sifat adiktifnya itu, maka orang
(48)
yang meminumnya lama-kelamaan tanpa disadari akan menambah takaran/dosis sampai pada dosis keracunan atau mabuk.30
2) Kafein, adalah alkohol yang terdapat di dalam biji buah tanaman kopi. Kafein juga terdapat dalam minuman ringan.
3) Nikotin, alkohol yang terdapat pada tembakau.
4) Inhalensia, adalah zat yang mudah menguap yang disedot melaui hidung seperti: hidrokarbon alivatis dan solvent, halogent hidrokarbon, nitrit alifatis, keton, ester dan glycols.
2. Bahaya Narkoba bagi Kesehatan
Bahaya dan akibat penyalahgunaan narkotika dapat bersifat bahaya bagi si pemakai dan dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingungan. Narkotika dan obat-obatan berbahaya, merupakan zat adiktif atau psikotropika yang dapat memberi efek candu/ketagihan pada orang yang mengkonsumsinya serta menimbulkan dampak buruk pada kesehatan tubuh dalam dosis yang banyak.
Dampak langsung bahaya penyalahgunaan narkoba bagi jasmani adalah adanya gangguan pada jantung, otak, tulang, pembuluh darah, kulit system syaraf, paru-paru dan gangguan pada sistem pencernaan (dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS, hepatitis herpes, TBC, dll).
Adapun akibat penyalahgunaan narkotika akan mempengaruhi sifat seseorang dan menimbulkan bermacam-macam bahaya antara lain:
30
Dadang Hawari, Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif, (Jakarta: FKUI, 2000), h. 52
(49)
1. Terhadap diri sendiri
a. Mampu merubah kepribadiannya b. Menimbulkan sifat masa bodo c. Suka berhubungan seks
d. Tidak segan-segan menyiksa dirinya e. Menjadi seorang pemalas
2. Terhadap keluarga
a. Suka mencuri barang yang ada di rumahnya sendiri b. Mencemarkan nama baik keluarga
c. Melawan kepada orang tua 3. Terhadap masyarakat
a. Melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat b. Melakukan tindak kriminal
c. Menggangu ketertiban umum
Bagi mereka yang sudah mengkonsumsi narkoba secara berlebihan akan berisiko sebagai berikut:
1. Narkotika dapat menyebabkan kematian karena zat-zat yang terkandung di dalamnya mengganggu sistem kekebalan tubuh sehingga dalam waktu yang relatif singkat bisa merenggut jiwa si pemakai.
2. Pengguna narkotika dapat bertindak nekat/bunuh diri karena pemakai cenderung memiliki sifat acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Ia menganggap tidak berguna bagi lingkungannya ini yang memacunya untuk bertindak nekat.
(50)
3. Setelah mengkonsumsi narkoba,si pemakai dapat hilang kontrol, karena zat-zat yang terkandung di dalamnya langsung menyerang syaraf otak yang cenderung menjadikan orang tidak sabar dan hilang kontrol.
4. Narkotika menimbulkan penyakit bagi pemakainya. Karena di dalam narkotika mengandung zat yang mempunyai efek samping yang menimbulkan penyakit baru.
C. Sanksi Tindak Pidana Narkoba C.1. Menurut Hukum Positif
Peraturan hukum tentang penyalahgunaan narkoba yang ditentukan dalam Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dibentuk bukan saja untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika akan tetapi usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 (Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtance 1971) dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Namun Undang-undang ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya, karena adanya
(51)
perkembangan kualitas kejahatan narkotika yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia.31
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah salah satu upaya bangsa Indonesia untuk menekan kriminalitas yang diakibatkan oleh obat-obatan. Berdasarkan kedua peraturan itu tindak pidana diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan denda. Mengingat tindak pidana narkoba dan psikotopika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus.
Dari tujuan yang diinginkan dan diatur di dalam undang-undang yang berkenaan dengan narkotika dan psikotropika peredaran gelap narkoba adalah salah satu yang harus diberantas, sehingga hukuman maksimal yang diberikan undang-undang kepada pengedar narkoba. Adapun hukuman maksimal yang diberikan dalam undang-undang narkotika yang berlaku saat ini kepada pengedar narkotika adalah hukuman mati.
Berdasarkan Undang-undang Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang dilarang yang berhubungan dengan narkotika dapat menjerat pengguna maupun pengedar barang-barang terlarang, mereka dapat dikenai pasal-pasal tentang narkotika adalah :
a. Penyalahguna
Pasal 127 : 1. Setiap Penyalahguna :
31
Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 101
(52)
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidna dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.
2. Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116
3. Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahguna narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Yang dimaksud dengan lembaga rehabilitasi sosial adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.32 Rehabilitasi sosial merupakan suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.33 Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahgunaan narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari pasal 54 sampai dengan 59.
b. Pengedar
32
Dikdik M. Arief Mansur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 102-103
33
(53)
Pasal 112 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun + denda Rp. 800 juta – Rp. 8 Miliar.
Pasal 117 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan II bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun + denda Rp. 600 juta – Rp. 5 Miliar.
Pasal 122 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan III bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun + denda Rp. 400 juta – Rp. 3 Miliar.
c. Produsen
Pasal 113 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun + denda Rp. 1 – 10 Miliar.
(54)
Pasal 118 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan II, beratnya melebihi 5 gram, dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun + denda Rp. 800 juta – Rp. 800 Miliar.
Pasal 123 : Setiap orang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan Narkotika Golongan III, beratnya melebihi 5 gram, dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 10 tahun + denda Rp. 600 juta – Rp. 5 Miliar
Sama halnya dengan undang-undang narkotika, Undang-Undang Psikotropika No. 5 Tahun 1997 juga memberikan sanksi yang sangat berat bagi pelanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalamnya. Dalam pasal 59 sampai dengan pasal 66 yang mana seluruhnya merupakan kejahatan. Ancaman hukuman untuk penyalahgunaan psikotpoka maksimal pidana mati atau penjara seumur hidup dan pidana denda berkisar antara Rp. 60 jua – Rp. 5 Miliar.
a. Sebagai Pengguna : dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 59 dan 62, dengan ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 15 tahun + denda.
b. Sebagai Pengedar : dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 59 dan 60, dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun + denda
(55)
c. Sebagai Produsen : dikenakan ketentuan pidana berdasarkan pasal 59 dan 60, dengan a Memproduksi, mengedarkan, mengimpor, mengekspor, memiliki, menyimpan dan membawa, pidana penjara min 4 tahun max 15 tahun + denda min Rp. 150 juta max Rp. 750 juta34.
d. Jika dilakukan secara terorganisir, pidana mati atau seumur hidup atau pidana selama 20 tahun + denda Rp. 750 juta.35
Dari uraian ketentuan pidana di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa narkotika dan psikotropika terdiri dari golongan I, II dan III. Masing-masing golongan tersebut mempunyai tingkatan bahaya yang berbeda dan sanksinya pun berbeda masing-masing golongan tersebut.
C.2. Menurut Hukum Islam
Hukuman atau hukum pidana dalam Islam disebut dengan „al-Uqubat’ (bentuk tunggalnya dan al-Uquubat jama’nya) yang meliputi baik hal-hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Dalam kamus al-Munawir uqubat asal katanya dari aqba,
aqban, uquuban yang berarti hukuman tujuan pokok.36
Islam secara jelas dan tegas telah mengatur bentuk-bentuk hukuman untuk setiap pelanggaran atas larangan Allah SWT, baik berupa had, maupun takzir.37 Hukuman had adalah hukuman yang ditetapkan oleh nash yang merupakan hak Allah. Takzir adalah hukuman yang tidak ada nashnya dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan hakim.
34
Pasal 59 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 35
Pasal 59 ayat 2 tentang Psikotropika 36
Ahmad Warson Munawir, Al-munawir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 1997) h. 952 37
(56)
Meminum khamr ditetapkan sanksi hukum had, Menurut penapat Hanafi dan Maliki peminum khamr akan dijatuhkan hukuman cambuk/jilid 80 kali.38
Imam Syafi’I menyatakan bahwa had bagi peminum khamr adalah 40 kali cambuk, hal ini didasarkan kepada tindakan Ali bin Abi Thalib yang mencambuk Walid bin Uqbah dengan 40 kali cambuk, hal ini pula merupakan sanksi hukum yang diperintahkan Rasulullah yang dilaksanakan pada saat Abu Bakar Al-Shiddiq menjabat khalifah. Meski demikian, mazhab Syafi’I kemudian menjelaskan bahwa hakim boleh saja menambah hukuman menjadi 80 kali dera dengan perincian 40 kali sebagai hukuman had dan sisanya adalah hukuman takzir. Karena tidak ada nash yang jelas tentang had tindak pidana ini.39
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah menegaskan bahwa jika meminum khamr setelah dikenai sanksi hukum masih melakukan dan terus melakukan beberapa kali (empat kali) hukumannya adalah hukuman mati.40
Larangan atas mengonsumsi khamr, berlaku pula bagi para produsen dan pengedar atau pedagangnya. Sebagaimana hadits nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’id bin Yazid bin Ibrohim
At-Tastari. Telah menceritakan kepada kami Abu Asim dari Su’aib. Saya telah
mendengar Anas bin Malik atau telah (menceritakan kepada kami Anas): berkata Anas, Rasulullah yelah melaknat tentang Khamr sepuluh golongan, yaitu: produsennya
38
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 101 39 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qura’an Tematik
, (Jakarta: Kamil Pustaka, 2014), h. 88 40
(57)
(pembuatnya), pengedarnya, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya dan pemesannya”.41
Seperti halnya sanksi peminum khamr, pengguna narkoba ditetapkan sanksi hukumannya adalah had. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah “sesungguhnya ganja itu haram, dijatuhkan sanksi had orang yang menyalahgunakannya, sebagaimana dijatuhkan had bagi peminum khamr”.42
Ulama berbeda pendapat mengenai sanksi terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba, jika dilihat menurut hukum pidana Islam ada yang berpendapat sanksinya adalah takzir. Wahbah Zuhaili dan Ahmad Al-Hasari berpendapat bahwa pelaku penyalahgunaan narkoba diberikan sanksi takzir, karena :
- narkoba tidak ada pada masa Rasulullah,
- narkoba lebih berbahaya dibandingkan dengan khamar, - narkoba tidak diminum seperti halnya khamr dan
- narkoba jenis dan macamnya banyak. Masing-masing mempunyai jenis yang berbeda.43
Al-Qur’an dan Sunnah tidak menjelaskan tentang sanksi hukum bagi produsen, dan pengedar narkoba. Oleh karena itu, sanksi sanksi hukum bagi pengedar dan produsen narkoba adalah takzir. Jarimah takzir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana)
41
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1415H), h.312 42
Mardani, Penyalahgunaan Narkoba : Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, h. 127
43
(58)
yang belum ditentukan hukumannya oleh syara. Penentuan hukumannya adalah hak penguasa,hukumannya belum ditentukan oleh syara dan batas minimal dan maksimal.44
Hukuman takzir bisa berat atau ringan tergantung kepada proses pengadilan (otoritas hakim). Menurut Abdul Aziz Amir sanksi takzir itu ada banyak macamnya yaitu:45
1. Sanksi yang mengenai badan seperti hukuman mati dan jilid
2. Sanksi yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti penjara dan pengasingan 3. Sanksi yang berkaitan dengan harta seperti denda, penyitaan, perampasan dan
penhancuran.
44
Prof Muhammad abu Zahra, ushul fiqih, (Jakarta firdaus, 1997), h. 355 45
(59)
49
KEPPRES NOMOR 7/G/2012 TENTANG PEMBERIAN GRASI TERPIDANA MATI NARKOBA ANALISIS KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Grasi Dalam Hukum Islam
Dalam kalangan ulama fikih, grasi dikenal dengan istilah al-Syafa’at di ambil dari kata al-Syaf’u. Menurut ahli fiqih bermazhab maliki, Fakhruddin ar-Razi definisi syafa’at diartikan sebagai suatu permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar keinginannya dipenuhi.1Dasar hukum kata syafa’at (grasi) diambil dari Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 85, yaitu :
Artinya : “Barangsiapa yang memberikan syafa’at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah maha kuasa atas segala sesuatu”
Ahli hukum Mazhab Maliki mengartikan grasi dalam hukum pidana umum dengan istilah Syafaat. Menurutnya syafaat ialah “suatu permohonan untuk dibebaskan
1
(60)
dilakukan”.2
Pengertian Syafa’at yang sangat tepat diterapkan dalam kepidanaan Islam adalah seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani: “Suatu perbuatan untuk dibebaskan atau dikurangkan dari menjalani hukuman suatu tindak pidana yang telah dilanggarnya.3
Pengampunan merupakan salah satu faktor pengurangan atau penghapusan hukuman baik diberikan oleh korban atau walinya, atau oleh penguasa negara. Pengaruh pengampunan hanya berlaku pada jarimah Qishah Diyat dan Takzir, tetapi tidak berlaku untuk jarimah Hudud.
Pengampunan dalam Islam memang ada dan dibolehkan, pemberian pengampunan terhadap pelaku pidana adalah hal yang terpuji (dihalalkan) dalam batas-batas yang sempit, akan tetapi tidak semua tindak pidana bisa mendapatkan pengampunan karena tergantung pada pertimbangan kemashlahatan umat. Tindak pidana dalam Islam, berdasarkan berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu hudud, qisas diyat dan takzir.4 Berikut Jenis-jenis pidana dalam Islam yang memberikan pengampunan terhadap pelaku pidana tersebut :
Pertama, jarimah hudud, pidana yang diancam hukuman had (terbatas), yakni
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya menjadi hak Allah SWT. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi , seperti
2
Ibid, h. 411 3
Fatchur Rahman, Hadits-hadits Tentang Peradilan Agama.( Jakarta: BulanBintang. 1977), hlm. 24. 4
(1)
Pasal 17
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 108
Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II, ttd.
(2)
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2002
TENTANG GRASI I. UMUM
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pada saat ini pengaturan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Undang-Undang tersebut dibentuk pada masa Republik Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang berlaku pada saat ini dan substansinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Dalam mengatur tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, Undang-Undang tersebut di samping tidak mengenal pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi, juga melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system)dan mengatur pula penundaan pelaksanaan putusan pengadilan jika diajukan permohonan grasi.Hal tersebut
mengakibatkan begitu banyak permohonan grasi yang diajukan dan adanya penyalahgunaan permohonan grasi untuk menunda pelaksanaan putusan sehingga penyelesaian permohonan grasi memakan waktu yang lama dan terlalu birokratis. Dengan demikian, Undang Nomor 3 Tahun 1950 perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru.
Pembentukan Undang-Undang ini bertujuan menyesuaikan pengaturan mengenai grasi dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa Presiden memberikan grasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
(3)
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai prinsip-prinsip umum tentang grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Ketentuan
mengenai tata cara tersebut dilakukan dengan penyederhanaan tanpa melibatkan pertimbangan dari instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana. Untuk mengurangi beban penyelesaian permohonan grasi dan mencegah penyalahgunaan permohonan grasi, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan putusan pengadilan yang dapat diajukan grasi paling rendah 2 (dua) tahun serta ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali terhadap putusan pidana mati. Di samping itu, ditentukan pula bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1 (satu) kali lagi. Pengecualian tersebut terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Untuk menjamin kepastian hukum dan hak-hak terpidana, dalam Undang-Undang ini diatur percepatan tata cara penyelesaian permohonan grasi dengan
menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian permohonan grasi. Tata cara pengajuan grasi, terpidana langsung menyampaikan permohonan tersebut kepada Presiden, dan salinan permohonan tersebut disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Presiden memberikan atau menolak permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas Pasal 2 Ayat (1)
(4)
Kata ?dapat? dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan permohonan grasi sesuai dengan Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan ?putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap? adalah :
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; 2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang
ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau 3. putusan kasasi.
Yang dimaksud dengan ?pengadilan? adalah pengadilan di lingkungan peradilan umum atau pengadilan di lingkungan peradilan militer yang memutus perkara pidana. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4
Cukup jelas Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Kewajiban panitera untuk memberitahukan secara tertulis hak terpidana untuk
mengajukan grasi, berlaku pula dalam hal putusan dijatuhkan pada tingkat banding atau kasasi.
Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2)
(5)
Yang dimaksud dengan ?keluarga? adalah isteri atau suami, anak kandung, orang tua kandung, atau saudara sekandung terpidana.
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 7
Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9
Yang dimaksud dengan ?berkas perkara? adalah termasuk putusan pengadilan tingkat pertama, serta putusan pengadilan tingkat banding atau kasasi jika terpidana mengajukan banding atau kasasi.
Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas Huruf b dan huruf c
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang memutus perkara pidana pada tingkat pertama dan oditurat militer yang menuntut perkara terpidana.
(6)
Dalam hal terpidana anggota Tentara Nasional Indonesia, salinan keputusan grasi disampaikan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Militer tempat terpidana menjalani pidana.
Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17
Cukup jelas