BAB III TINJAUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan Terhadap Jiwa Dan Tubuh - Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Polresta Medan)

BAB III TINJAUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MUTILASI A. Tinjauan Hukum Pidana Terkait Mutilasi Sebagai Kejahatan Terhadap Jiwa Dan Tubuh Kejahatan mutilasi biasanya terjadi tergantung kepada keadaan psikis

  si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, kejahatan memutilasi merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan, dengan maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukanlah pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui maka akan menghambat penyidik untuk mengungkap identitasnya. Dari sisi ilmu kriminologi, secara definitive yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar. Beberapa penyebab terjadinya mutilasi disebabkan oleh kecelakaan, bisa juga merupakan faktor kesengajaan atau motif untuk melakukan tindakan jahat (kriminal), dan bisa juga oleh faktor lain-lain seperti sunat. Sebagai suatu konteks tindak kejahatan biasanya pelaku melakukan tindakan mutilasi adalah dengan tujuan untuk membuat relasi antara dirinya dengan korban terputus

   dan agar jati diri korban tidak dikenali dengan alasan-alasan tertentu.

  47 25 September 2010

  Alasan-alasan dilakukannya tindakan mutilasi oleh pelaku terhadap korban tentunya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu pula. pelaku menderita gangguan jiwa, sejenis sadism. Pelaku terpuaskan bila orang lain menderita, terbunuh, terpotong-potong. Ini bisa diketahui dengan hanya melihat potongan-potongan tubuh tersebut. Pada umumnya kalau motif yang dilatarbelakangi oleh motif cinta, potongannnya adalah di bagian-bagian genetalia seperti payudara, penis, dan yang lain. Namun kalau motifnya dendam, umumnya yang dimutilasi adalah bagian kepala. Kedua motif ini biasanya dilakukan dengan sengaja dan terencana yang disebabkan oleh rasa tidak puas pelaku mutilasi terhadap korban, Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi sering sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku sering sekali tidak puas untuk

   menyelesaikan kejahatannya.

  Adapun motif utama pembunuhan mutilasi adalah menghilangkan identitas korban sehingga identitas korban sulit dilacak, apalagi pelakunya.

  Menghilangkan identitas dengan cara memotong-motong tubuh juga mencerminkan kepanikan pelaku. Usai melakukan pembunuhan, pelaku biasanya panik dan mencari jalan pintas untuk menyelamatkan diri. pelaku pembunuhan mutilasi juga umumnya seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan apalagi jika pelaku berpikir untuk menghilangkan kepala, jari, dan 48

   24 September 2010 tulang adalah cara pelaku untuk mempersulit penyelidikan. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji DNA (deoxyribonucleic acid) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA baru bisa dilakukan jika ada pembanding. ada dua kemungkinan orang melakukan mutilasi. Pertama, pelaku khawatir dirinya akan ditangkap bila meninggalkan korbannya secara utuh. Mereka berpikir bila meninggalkan jejak, terungkapnya kasus tersebut akan sangat tinggi. Karena itu, untuk menghilangkan jejak, pelaku dengan sengaja melakukan mutilasi dengan harapan orang lain akan sulit mencari jejak korban maupun pelaku. Kedua, terlalu rapatnya beberapa kasus mutilasi yang terjadi akhir-akhir ini membuat para pelaku mengadopsi tayangan televisi atau media lainnya. Dengan demikian, para pelaku mengambil referensi dari berbagai ragam media massa,baik cetak maupun elektronik, yang tersebar di seluruh pelosok kota. Namun, kemungkinan yang paling besar adalah para pelaku panik dengan tindakan yang dilakukannya. Kemudian, mereka ingin aksi itu tidak diketahui banyak orang sehingga memutilasi korbannya.

  

B. Kajian Psikologi Kriminal Terhadap Aspek Kejiwaan Pelaku Tindak

Pidana Mutilasi

  Menurut asal katanya, psikologi berasal dari bahasa yunani kuno yaitu dari

  

  kata-kata:

  a. psyche, yang berarti Jiwa ; dan 49 Simandjuntak, B.Pengantar Krimonologi dan Patologi Sosial. (Jakarta : Tarsito,

  1981), hl 56 b. logos (ology), yang berarti Ilmu Pengetahuan Jadi secara etimologis, psikologi berarti ilmu jiwa yaitu ilmu yang mempelajari tentang jiwa baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun latar belakangnya.

  Namun ada beberapa ahli yang kurang sependapat bahwa pengertian psikologi itu benar-benar sama dengan ilmu jiwa, walaupun ditinjau dari arti kata kedua istilah itu sama. perbedaannya terletak pada:

  a. Ilmu jiwa :

  • Merupakan istilah bahasa Indonesia sehari-hari dan dikenal setiap orang ;
  • Meliputi segala pemikiran, pengetahuan, tanggapan, khayalan dan spekulasi mengenai jiwa

  1. Woodworth Psikologi adalah penasihat profesional dengan menggunakan peralatan ilmiah, member tes dan Konseling pada individu dalam berbagai area penyesuaian diri atau adjustment pada persoalan yang penting

  2. Americal Psycological Association clinical section Psikologi adalah penentuan kapasistas dan karakteristik tingkah laku individu dengan menggunakan metode-metode pengukuran assessment, analisa dan observasi dalam membantu penyesuaian diri individu secara tepat.

  Terdapat empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan antara kepribadian dengan kejahatan. Pertama, melihat kepada perbedaan-perbedaan antara struktur kepribadian dari penjahat dan bukan penjahat. Kedua, memprediksi tingkah laku. Ketiga, menguji tingkatan dimana dinamika-dinamika kepribadian normal beroperasi dalam diri penjahat, dan keempat, mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan.

  Psikologi kriminal merupakan cabang ilmu psikologi terapan yang dipergunakan untuk mengidentifikasi suatu hubungan kausalitas antara kondisi karakteristik dan deternimistik jiwa pelaku tindak pidana terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan.

  

C. Dampak Terjadinya Kejahatan Mutilasi Terhadap

Masyarakat

  Kejahatan Mutilasi adalah jenis kejahatan yang tergolong sadis, dimana pelaku kejahatan tersebut tidak hanya membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain melainkan juga memotong-motong setiap bagian tubuh si korbannya. menurut beberapa ahli kejahatan pidana, biasanya kejahatan ini terjadi tergantung pada keadaan Psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan, pada pendapat lain ahli berpendapat bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan susulan dari sebuah kejahatan pembunuhan,dengan maksud untuk menutupi kejahatan pembunuhan tersebut maka dilakukan lah pemutilasian tubuh korban, sehingga korban tidak diketahui keberadaannya ataupun jika diketahui

   maka akan mengelabui penyidik dalam mengungkap identitasnya.

  Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi kerap sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan 50

  http//www.kompas.com/kompas%2Dcetak/9907/28/opini/kejahatanmutilasi.htm, 24 September 2010 kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya ,pelaku sering sekali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya.

  Apapun alasannya yang dikembangkan mengenai kejahatan mutilasi, seharusnya pelaku kejahatan ini dijerat dengan hukuman mati layaknya apa yang diatur dalam PASAL 340 KUHP ( tentang pembunuhan berencana), aparat penegak hukum diharapkan dapat menafsirkan dan mempersamakan kejahatan ini dengan kejahatan pembunuhan berencana walaupun dalam melakukannya setelah si korban mati duluan. mengingat bahwa pengaturan dan batasan pengertian tentang kejahatan ini tidak dijelaskan secara spesifik dan tegas didalam Undang- undang Hukum Pidana Indonesia.

  Dengan semakin maraknya tindak kejahatan mutilasi, timbul berbagai reaksi dari masyarakat, baik itu yang memandang positif ataupun negatif bahkan ada suatu respon dari masyarakat yang memandang bahwa tindak kejahatan mutilasi adalah suatu tindak kejahatan yang biasa saja. Kejahatan mutilasi yang semakin marak terjadi belakangan ini, Tidak hanya timbul dari dorongan kejiwaan si pelaku sendiri, tetapi juga kerap timbul dari dorongan luar seperti ingin lari dari tanggung jawab. Salah satu contohnya adalah kasus mutilasi di Brebes, dimana pelaku dari mutulasi tersebut adalah pacar korban sendiri dan diketahui bahwa korban telah hamil 4 bulan.

  Fenomena mutilasi ini sendiri cukup memberikan shock terapy yang sangat mengejutkan pada awal terjadinya, karena sebuah perbuatan yang sangat tidak manusiawi dan abnormal bisa terjadi, selain itu faktor ekonomi juga kerap dipandang sebagai salah satu pemicu terjadinya kejahatan mutilasi.

  Bila diperhatikan kejahatan mutilasi akhir-akhir ini juga tersebar luas di media masa. Padahal jika dianalisis berdasarkan psikologi masyarakat, masyarakat itu lebih cenderung mempunyai sifat imitasi (meniru). Peniruan atau imitasi seperti ini merujuk pula pada teori imitasi oleh sosiolog asal Perancis, Gabriel Tarde (1843-1904). ”Society is imitation. Masyarakat selalu dalam proses meniru. Ketika orang tiap hari dicekoki nilai-nilai keras, kasar, masyarakat pada akhirnya meniru. Oleh karena itu, hal ini mempunyai dampak yang negatif mengingat Media massa yang menampilkan kejahatan mutilasi cenderung kian menginspirasi orang dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas cenderung meniru praktik kejahatan lainnya melalui media massa. Indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus-kasus kriminalitas. Ini membuktikan bahwa media massa menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal. Dampak mekanisme peniruan atau imitasi ini dapat terjadi baik secara

   langsung (direct effect) maupun tertunda (delayed effect).

  Dampak dari kejahatan mutilasi lainnya yaitu terjadinya ketegangan di dalam masyarakat. Ketegangan ini terjadi dikarenakan munculnya rasa tidak aman terhadap lingkungan pasca terjadinya suatu kejahatan mutilasi. Ketegangan yang dikarenakan rasa tidak aman ini menyebabkan krisis kepercayaan terhadap orang lain dengan kata lain seseorang akan selalu merasa curiga terhadap orang disekitarnya, di karenakan rasa ketakutan akan hal yang sama terjadi pada

  51 25 September 2010 dirinya.sikap paranoid ini akan berdampak buruk terhadap social masyarakat dan justru akan saling apatis dan tertutup.

D. Pencegahan Kejahatan Mutilasi

  Secara nyata manusia tidak mundur dari kejahatan, walaupun mereka menginsafi atau mengetahui atau untuk perlakuan itu akan dihukum. jadi sebenarnya sangatlah sulit untuk menghentikan suatu kejahatan, termasuk juga dengan mutilasi. Sebab, dimana ada masyarakat maka disitulah akan timbul suatu kejahatan, dan tidak menutup kemungkinan juga kejahatan mutilasi. Namun setidaknya kejahatan seperti mutilasi ini dapat diminimalisir dengan cara pencegahan-pencegahan tertentu.

  Mereka berpendapat bahwa pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan

  

  cara:

1) Merubah yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu.

  2) mengasingkan mereka yang tak dapat di perbaiki. 3) koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan. 4) menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong kearah kejahatan.

  Kaitannya dengan pencegahan kejahatan mutilasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Dari pendapat ahli diatas dapat dikemukakan bahwa untuk mencegah

52 Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, PT. Raja Grafindo Persada,

  Jakarta terjadinya suatu mutilasi, maka diperlukan suatu deteksi dini terhadap orang- orang yang mempunyai suatu kebiasaan yang aneh. Selain itu pembatasan kondisi terhadap masyarakat terhadap hal-hal yang dapat berakibat terjadinya suatu pembunuhan mutilasi juga harus dilakukan.

  Mengenai sistem penghukuman walaupun diakui sebagai alat yang penting untuk preventif suatu kejahatan, namun dapat dikatakan bahwa hukuman bukanlah faktor utama yang mampu untuk mencegah suatu kejahatan, termasuk juga kejahatan mutilasi. Hal ini terbukti, meskipun telah banyak tersangka pelaku mutilasi yang dihukum bahkan di pidana mati, ternyata presentase kejahatan mutilasi tetap saja meningkat dari tahun ke tahun. Mengembangkan tingkah laku melalui pendidikan, memperluas atau memperdalam tradisi, mengadakan kontak atau saling pengertian antara manusia yang mengutamakan penilaian norma- norma adalah cara yang baik untuk prevensi, dengan kata lain filterisasi diri adalah faktor utama dalam usaha preventif kejahatan mutilasi.

  Untuk menghadapi masalah Crime Preventation, ketentuan-ketentuan berikut ini sebagai faktor yang perlu diperhatikan: c.

  Perlu diingat bahwa menghadapi the casual offender adalah berbeda dengan occasional criminal, lain pula dengan episodic, habitual dan sebagainya.

  Keliru bila menciptakan suatu ketentuan umum bila menghadapi penjahat dalam tipe-tipe yang berbeda-beda itu.

  d.

  Criminal behavior telah di mulai sejak remaja. Fakta ini dapat dibuktikan terhadap mereka yang terlibat dalam professional crime yang kejahatannya telah dikembangkan sejak zaman remaja. Hal ini tentulah kurang dimengerti oleh kaum awam tetapi mudah dipahami oleh kaum psychiatrist terutama yang menyangkut emotional dan psychotic criminal. Oleh karena itu maka pencegahan harus dimulai dari anak-anak remaja dan remaja.

  e.

  Untuk mencapai hasil yang bermanfaat, maka pencegahan harus diarahkan pada gejala-gejala kejahatan, tetapi harus ditujukan pada penyebab yang tersembunyi dibalik perbuatan. Sebagai contohnya, ada tempat-tempat yang dapat dijadikan sebagai faktor-faktor yang melatar belakangi kejahatan.

  Beberapa jenis tertentu dari gangguan emosionil dapat membimbing ke arah perbuatan-perbuatan mendadak yang bersifat kekerasan, bahkan sampai dengan pembunuhan yang diikuti dengan tindakan lanjutan seperti memutilasi korban.

  Maka usaha-usaha prevensi itu, memerlukan pengarahan seperti: a.

  Community reorganization. Yaitu mengikutsertakan segenap lapisan masyarakat untuk ambil bagian dalam usaha prevensi. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah-sekolah umum misalnya tidak saja mengutamakan formal curriculum tetapi perlu diarahkan pula pada character training, personality study dan sebagainya. Tugas polisi juga tidak saja menangkap dan menahan, tetapi juga ikut menjadi pembimbing dalam penanaman moral untuk usaha preventif kejahatan terutama kejahatan berat seperti pembunuhan disertai mutilasi.

  b.

  Family reorganization. Ini adalah usaha pencegahan kejahatan yang di mulai dari lingkungan terdekat dengan diri kita, yaitu lingkungan keluarga. Cavan mengatakan bahwa Broken home sangat banyak mendorong perwujudan kejahatan dan oleh karena itu kebutuhan kasih sayang dalam keluarga disertai dengan penanaman moral sangatlah penting perananya dalam proses pencegahan kejahatan mutilasi.

  c.

  Gangguan emosisonal dan mental. Banyak kasus kejahatan yang berawal tekanan-tekanan emosional serta konflik-konflik yang mengarah pada perbuatan criminal.

  Kesimpulan dari pendapat Cavan adalah lebih mengutamakan seluruh anggota masyarakat untuk bertanggungjawab dalam preventif kejahatan. Hal Ini juga sangat tepat bila diterapkan dalam usaha pencegahan terhadap kejahatan mutilasi.

  Masalah pokok yang ada adalah usaha untuk mengembangkan kesadaran hukum, karena masalah hukum adalah sebuah unsur utama yang menyokong pencegahan kejahatan.

  Penanaman moral yang kokoh dapat memperkuat emosi dalam diri.Pendapat Walter ini sangatlah efektif bila digunakan dalam usaha pencegahan kejahatan mutilasi.

BAB IV UPAYA-UPAYA DAN KENDALA-KENDALA SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENANGGULANGI DAN MENGUNGKAP TINDAK PIDANA MUTILASI. A. Upaya–upaya yang dilakukan Satuan Reserse Kriminal Dalam Menanggulangi Terjadinya Tindak Pidana Mutilasi Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy)

  kebijakan penggulangan kejahatan harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau memberikan partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan

   yang rasional dan menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan.

  Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Piter Hoefnagels, kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan dengan dua cara yaitu kebijakan

   penal (penal Policy) dan kebijakan non penal (non penal policy).

1. Upaya Penal

  Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa

53 Ibid, hal, 46.

  yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan

   konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkakan.

  Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana. Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial walfare). Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan : 1.

  Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si

   pelanggar.

  Sehubungan dengan hal ini, Ted Honderich Bependapat, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1.

  Pidana itu sungguh-sungguh mencegah.

  2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya tindakan keadaan yang lebih berbahaya/merugikan dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan. 55 56 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan, Pustaka Bangsa Perss, 2008), hal, 66.

  Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra

3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya

   kerugian yang lebih kecil.

  Dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar pembunuhan dapat di basmi, dicegah atau dikurangi, ternyata merupakan hampa belaka.

  Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai, terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.

  Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan apabila preventif atau upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan.

  Maka upaya penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik dilaporkan masyarakat maupun temuan kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelaku menjadi sadar dan jera untuk berbuat kembali, Selain itu menjatuhkan hukuman yang maksimal yang sesuai dengan ketentuan KUHPidana kepada pelaku

   pembunuhan.

  Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada KUHPidana yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan korban dalam pembuktian kasus disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan pembuktian KUHPidana.

  Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan pada kasus pembunuhan yang akan diterima adalah hukuman pidana maksimal berbagai pertimbangan, juga mengaju pada pasal-pasal 338 KUHPidana. Namun dalam penerapannya diharapkan bersifat selektif, hati-hati dann berotientasi juga pada perlindungan/kepentingan individu (pelaku tindak pidana).

2. Upaya Non Penal

  Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kodusif antara lain berpudat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

  Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global.

58 Hasil Wawancara dengan IPTU. M.Idris Harahap, di Polresta Medan tanggal 19 Juni

  maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik criminal.

  Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara

   materil dan imateril dari faktor-faktor krominoge.

  Sesuai dengan hakikat sumber terjadinya kriminalitas, penanggulangan kejahatan secara umum senantiasa dilakukan melalui upaya preventif dan represif, secara konsepsional penanggulangan kejahatan dirumuskan oleh Polri khususnya satuan Reserse Kriminal Poltabes Medan dengan ketentuan bahwa pola dasar penanggulangan kejahatan di Indonesia bersifat terpadu, baik dalam ingkup yang melibatkan komponen lain di luar Polri. Dengan demikian penanggulangan kejahatan melibatkan tidak saja unsur-unsur interen Polisi, tetapi juga unsur-unsur di luar Polri denngan dukungan peran aktif masyarakat.

  Polri khususnya satuan Reserse Kriminal sebagai unsur utama yang paling awal dalam menghadapi kejahatan dan pelaku kejahatan, bertugas melaksanakan kegiatan penanggulangan kejahatan guna mewujudkan situasi yang nyaman dan terkendali.

  Tujuan penanggulangan kejahatan secara terpadu ini yang dimaksudkan adalah kemantapan situasi kamtibmas yaitu: a.

  Adanya suasana masyarakat bebas dari gangguan fisik maupun psikis.

  b.

  Adanya suasana bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan dan ketakutan 59 serta rasa kepastian dan ketaatan hukum.

  Barda Nawawi Arif, Ibid, hal, 49 c.

  Adanya suasana masyarakat yang merasakan adanya perlindungan dari segala macam bahaya.

  d.

  Adanya kedamaian dan ketentraman lahiriah.

  Upaya penanggulangan kejahatan melalui upaya preventif, polri khusunya satuan Reserse Kriminal dan aparat penegak hukum lainnya serta dukungan swakarsa masyarakat, mengusahakan untuk memperkecil ruang gerak serta kesempatan dilakukannya kejahatan. Upaya ini meliputi memberikan himbauan- himbauan kepada masyarakat mengenai kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat jangan sampai terjerumus melakukan kejahatan yang sangat meresahkan masyarakat, memperkuat ibadah karena dengan ibadah yang baik bisa

  

menghindarkan diri dari tindak kejahatan.

B. Kendala–kendala yang di hadapi dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi

  Dalam hal proses pengungkapan suatu tindak pidana pembunuhan mutilasi guna menemukan pelakunya atau tersangkanya agar dapat di jatuhi hukuman maka tidak terlepas dari kerja keras pihak kepolisian khusunya satuan Reserse Kriminal yang mana satuaan ini bertugas sebagai pemberantasan kejahatan menemui kendala-kendala atau hambatan-bambatan dalam proses pengungkapannya yang menyebabkan tidak selesainya proses pengusutan.

  Pengungkapan tindak pidana apa lagi tindak pidana Pembunuhan tidak semudah yang di harapkan oleh semua pihak apa lagi pihak Kepolisian khususnya

60 Hasil Wawancara dengan Iptu M. Idris Harahap di Polresta Medan tanggal 19 Juni

  satuan Reserse Kriminal dikarenakan pelaku kejahatan sudah barang tentu tidak akan sampai meninggalkan jejak/barang bukti yang nantinya akan bisa membuat terungkapnya kejahatan yang dilakukannya.

  Berdasarkan hasil penelitian penulis yang di lakukan di Polresta Medan, maka yang menjadi kendala-kendala atau hambatan-hambatan yang dihadapi satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan tersebut antara lain

1. Pelaku tidak tertangkap

  Proses pengungkapan tindak pidana Pembunuhan Mutilasi tidaklah mudah ini membutuhkan kerja keras dari pihak kepolisian khususnya satuan reserse Kriminal dan bahkan akan menjadi terhambat, ini disebabkan tidak tertangkapnya pelaku dari peristiwa Pembunuhan tersebut, bisa jadi pelaku dari Pembunuhan tersebut telah melarikan diri dan bersembunyi keluar dari daerah dimana pelaku tersebut tinggal.

  Ini disebabkan karena masih kurangnya kemampuan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan dalam menerapkan teknik-teknik penyelidikan dalam mengungkap suatu perkara pidana yang telah terjadi, maka seringkali kasus-kasus yang agak sulit pembuktianya dibiarkan begitu saja sehingga tidak dapat terungkap dengan tuntas.

  Tapi walaupun pelaku berhasil kabur dan tidak tertangkap pihak Kepolisian tidak akan berhenti mengejar tersangka kemanapun ia lari seperti contoh kasus pembunuhan Hj Siti Mariam Sibarani di Jalan Armada, kelurahan Teladan Barat, kecamatan Medan Kota. Yang berhasil di ungkap Polsekta Medan Kota yang mana pelakunya bernama TP alis Jait alis Topan alis Poltak (34), penduduk jalan pelajar, lingkungan VII, kelurahan Binjai Timur, Medan Denai, yang disebut-sebut otak dari Pembunuhan Tersebut berhasil di tanggkap di

61 Jakarta.

  Dengan tertangkapnya pelaku Pembunuhan tesebut menunjukkan tidak hentinya pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal dalam mengejar dan menemukan Tersangka dari Pembunuhan yang terjadi demi memberikan rasa nyaman kepada masyarakat dan tegaknya hukum di Negara Indonesia.

2. Kurangnya saksi yang di peroleh.

  Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk menjadi acuan dalam mengungkap tindak pidana apa lagi tindak pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal yang mana dengan saksi yang di peroleh akan sangat bisa membantu pihak kepolisian dalam mencari dan menemukan pelaku tindak pidana Pembunuhan, karena saksi adalah orang yang mengetahui atau yang menemukan telah terjadinya tindak pidana Pembunuhan.

  Kurangnya saksi yang diperoleh akan menjadi kendala-kendala/hambatan- hambatan yang di hadapi oleh pihak Kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap kasus Pembunuhan, dengan kurangnya saksi yang diperoleh akan membuat pihak kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal akan bekerja lebih keras lagi dalam mencari dan mengumpulkan bukti yang mengarah kepada pelaku kasus pembunuhan tersbut.

  Kurangnya saksi yang diperoleh disebabkan kurang cepatnya Polisi Khususnya satua Reserse Kriminal dalam mendatangi TKP, tidak menguasai teknik pencarian dan pengambilan barang bukti yang ada di TKP, tidak menguasai tekniks pembungkusan dan pengiriman barang bukti ke laboratorium criminal (labkrim) yang mengakibatkan barang bukti tersebut tidak dapat diperiksa di labkrim.

  Bahkan pihak kepolisian Khususnya satuan Reserse Kriminal cepat putus asa dalam melakukan penyelidikan, bila tidak berhasil mendapatkan informasi yang diperlukan, langsung berhenti dan tidak ditindak lanjuti hanya menunggu datangnya informasi dari masyarakat.

  3. Pemanggilan Masih adanya penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemanggilan baik terhadap tersangka maupun terhadap saksi yang tidak dilayanai sesuai waktu yang telah dicantumkan dalam surat penggilan, orang yang dipanggil dibiarkan lama menunggu bahkan sama sekali tidak dilayani atau disuruh pulang dan disuruh kembali lagi pada hari yang lain dengan seenaknya tanpa memperhatikan tenggang waktu dan kesibukan saksi, yang terkesan tidak mau tau atau organ, hal ini meyebabkan seseorang enggan untuk membantu penyidik memberikan informasi atau keterangan yang di butuhkan untuk proses pengungkapannya.

  4. Penangkapan Masih banyaknya anggota Reserse Kriminal yang belum menguasai dan memahami serta penerapan teknik dan taktik penangkapan, belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, sehingga sering ditemukan melakukan penangkapan tanpa menggunakan surat perintah penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada, masih ditemukan adanya polisi yang salah tangkap terhadap orang yang bukan pelaku kejahatan, akibat kurang jelinya polisi atau terlalu gegabah dalam melaksanakan tugasnya.

  5. Penahanan Pihak kepolisian seringkali salah dalam melakukan penahanan adalah terlambat membuat Surat Perintah Penahanan atau perpanjangan penahanan atau terlambat memberikan tembusannya kepada keluarga tersangka, bahkan penyidik/penyidik pembantu sering melupakan tentang hak-hak tersangka yang terkait masalah penahanan, seperti misalnya tahanan tidak boleh dikunjungi keluarganya atau penasehat hukumnya tanpa asalan yang jelas, pada waktu dilakukan penahan tidak dilakukan pemeriksaan kondosi kesehatannya.

  Bahkan masih adanya polisi yang memanfaatkan kewenangan penahanan terhadap tersangka digunakan untuk menekut-nakuti seseorang untuk mendapatkan materi.

  6. Penyitaan.

  Dalam melakukan tugasnya pihak kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal sering melakukan tindakan yang ceroboh dalam penyimpanan barang- barang sitaan sebagai barang bukti yang akan menambah petunjuk yaitu tanpa diberi lebel atau hilang dalam penyimpanan, masih adanya anggota kepolisian yang kurang menguasai teknik dan taktik penyimpanan khususnya dalam pengambilan bendan-benda yang seharusnya dapat dijadikan barang bukti tetapi tidak disita dan masih adanya tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik tidak dilengkapi dangan Surat Perintah dan Surat Izin Penyitaan.

7. Pemeriksaan

  Pihak kepolisian khususnya satuan reserse kriminal masih menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka ataupun tidak dapat mengendalikan emosi karena keterangan tersangka yang berbelit-belit, masih adanya polisi yang bertindak sebagai penyidik merekayasa Berita Acara Pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan materi dari pihak-pihak yang diuntungkan , maupun untuk kepentingan tertentu, dan masih adanya penyidik yang tidak menguasai unsur-unsur pasal atau penafsiran pasal, sehingga Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat tidak memenuhi unsur-unsur pasal pidana yang diterapkan, tidak menguasai uraian kasus yang terjadi sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berbelit-belit dan membingungkan yang diperiksa, tidak mampu menerapkan keterampilan bertanya sehingga pertanyaan- pertanyaan tidak berkembang, dalam pemeriksaan masih adanya unsure menekan sehingga yang diperiksa tidak bebas atau kurang leluasa sekedar menuruti kemauan pihak kepolisian yang bertugas sebagai penyidik dan pada akhirnya penyidik tidak memperoleh keterangan yang berkembang disamping itu dalam persidangan bisa tidak diakui oleh tersangka atau saksi.

BAB V PENUTUP KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pada akhir penulisan skripsi ini, penulis mengambil beberapa kesimpulan

  yang berupa inti sari dari penguraiaan skripsi ini. Kesimpulan ini juga merupakan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang di ajukan pada awal penulisan skripsi ini sekaligus merupakan hasil pengujian hipotesa yang telah dilakukan dalam pembahasan materinya. Maka dari penguraian skripsi ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1.

  Bagaimana peranan Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana Mutilasi, diantaranya : a.

  Melakukan Penyelidikan Setelah diketahuinya suatu peristiwa tindak pidana yang terjadi maka pihak kepolisian akan langsung melakukan Penyelidikan tentang tindak pidana tersebut, kegiatan penyelidikan ini dimaksudkan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti permulaan atau barang bukti yang cukup .

  b.

  Melakukan Penyidikan Penyidikan Ini dilakukan setelah selesainya proses penyelidikan yang ditandai dengan keluarnya surat perintah penyidikan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, dengan diterimanya laporan atau pengaduan atau informasi tentang telah terjadinya kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut tidak dengan sendirinya surat perintah penyidikan dikeluarkan, c. Melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara

  Untuk mencari barang bukti yang tertinggal di Tempat Kejadian Pembunuhan, mengambil Sdik Jari Korban, mengambil Foto Korban, dan membawa korban kerumah sakit untuk dilakukan Visum. Ini dilakukan untuk mencari barang bukti mengenai kematian korban.

  d.

  Memeriksa saksi-saksi Tujuannya adalah memintai keterangan pada seseorang yang mengetahui/melihat peristiwa pembunuhan yang nantinya akan menjadi bukti untuk pihak Kepolisian Khususnya Satuan Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak pidana Pembunuhan tersebut.

  e.

  Melakukan Visum/Otopsi Ini dilakukan untuk mengetahui tentang kematian korban dari tindak pidana Pembunuhan apakah di pukul dengan menggunakan bendan tumpul, ditikam menggunakan pisau, atau dicekik menggunakan tali.

  f.

  Mencari Tersangka Ini dilakukan setelah adanya bukti-bukti yang kuat mengenai ciri- ciri dari tersangka yang melekukan tindak pidana Pembunuhan tersebut.

  g.

  Penangkapan Ini dilakukan dan dijalankan berdasarkan prosedur yang telah berlaku, seperti yang berwenang harus mengeluarkan surat perintah penangkapan. penangkapan ini dilakukan terhadap orang yang diduga keras melakukan kejahatan berdasarkan bukti-bukti yang telah mengarah kepada tersangka.

  h.

  Penyelesain dan penyerahan berkas perkara Ini dilakukan setelah hasil pemeriksaan tersangka dan saksi serta kelengkapan bukti yang diperoleh, unsur-unsur tindak pidana.

  Penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahaan tanggung jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum.

  2. Tinjauan Hukum Terhadap Tindak Pidana Mutilasi sebagai berikut ; Kejahatan mutilasi merupakan suatu jenis tindak pidana yang digolongkan ke dalam bentuk kejahatan yang tergolong sadis (rare crime) oleh karena objek kejahatan tersebut adalah manusia baik dalam kondisi hidup maupun telah meninggal. Intensitas tindak pidana mutilasi mengalami peningkatan baik dalam bentuk latar belakang, motif maupun bentuk, yang keseluruhannya bertujuan untuk menghilangkan jejak pelaku terhadap terjadinya suatu peristiwa pidana pembunuhan. Mengenai ketentuan hukum pidana yang mengatur, KUHP sebenarnya memberikan pengaturan yang bersifat dasar, misalnya mutilasi sebagai salah satu bentuk penganiayaan, penganiayaan berat atau tindak pembunuhan. Hanya saja memang sangat diakui dalam kasus yang terjadi, sangatlah jarang pelaku melakukan mutilasi bermotifkan penganiayaan. tindakan mutilasi seringkali terjadi sebagai rangkaian tindakan lanjutan dari tindakan pembunuhan dengan tujuan agar bukti mayat tidak diketahui identitasnya.

3. Bahwa upaya-upaya yang dapat diambil dalam menanggulangi tindak pidana

  Mutilasi. Adalah sebagai berikut : Upaya Penal

  • Dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik laporan masyarakat maupun temuan Kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelu menjadi sadar dan jera untuk berbuat kembali.
  • Sesuai dengan hakikat sumber terjadinya kriminsalitas penanggulangan kejahatan secara umum senantiasa dilakukan melalui upaya preventif dan refresif

  Upaya Non Penal

B. Saran

  Adapun yang menjadi saran penulis adalah : 1.

  Perlunya penyuluhan hukum bagi masyarakat awam untuk mengetahui perbuatan yang dilarang atau tidak oleh hukum sehingga timbul kesadaran masyarakat untuk mematuhi hukum dalam rangka menciptakan budaya hukum yang baik di kota medan sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana Pembunuhan.

  2. Hendaknya pemerintah dalam menentukan arah kebijaksanaan pembangunan, terutama dalam bidang ekonomi lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakatnekonomi lemah sebagai kelompok masyarakat terbanyak di kotamadya Medan.

  3. Untuk kedepannya polisi harus bisa menciptakan polisi yang handal dalam melakukan tugasnya guna melakukan pengungkapan suatu kasus yang ditangani.

Dokumen yang terkait

Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Polresta Medan)

4 52 86

Tinjauan Kriminologis Dan Hukum Pidana Terhadap Peranan Kepolisian Dalam Menangani Pelaku Tindak Pidana Akibat Pengaruh Narkoba Suntik Di Kota Medan (Studi Di Polresta Medan)

0 73 111

Pananggulangan Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Dalam Perspektif Hukum Pidana (Studi Di Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara).

1 72 175

Tinjauan Psikologi Kriminal Penyimpangan Perilaku Seksual Terhadap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Depok Nomor 1036/PID.B/2009/PN.DEPOK)

18 111 171

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) - Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia

0 0 35

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM PIDANA A. Tinjauan Terhadap Istilah Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana - Peranan Kepolisian Resor Labuhan Batu Terhadap Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Wilayah H

0 6 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Polresta Medan)

0 0 26

BAB II PERANAN SATUAN RESERSE KRIMINAL DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA MUTILASI A. Peranan dan Tugas Satuan Reserse Kriminal sebagai Polisi Republik Indonesia. - Peranana Satuan Reserse Kriminal Dalam Mengungkap Tindak Pidana Mutilasi (Studi Lapangan Di Po

0 0 19