Tinjauan Kriminologis Dan Hukum Pidana Terhadap Peranan Kepolisian Dalam Menangani Pelaku Tindak Pidana Akibat Pengaruh Narkoba Suntik Di Kota Medan (Studi Di Polresta Medan)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Abdul Wahid, et,al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, R efika Aditama, 2004.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 Bambang Purnomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Terbitan

ketujuh, Jakarta,1994

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Departemen Sosial RI, Klasifikasi Narkoba, Psikotropika dan Zat-Zat Adiktif Lainnya, Jakarta, 2001.

Disdokkes Polri, Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba dan Zat Psikotropika, Jakarta 1993.

D. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Universitas, Bandung, 1965

Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Jakarta, Aksara Baru, 1981.

JCT. Simonangkir (et-al), Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,2004 J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia,

Pustaka Sinar Harapan, 1996

Martiman Prodjohamidjojo, Seri Pemerataan Keadilan: Upaya Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983

______________ , Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Jakarta,

1981.

Wresniwiro, M. Drs, et al., Masalah Narkoba, Psikotropika dan Obat-Obat Berbahaya, Jakarta, Yayasan Mitra Bintibmas, 1999.


(2)

B. Peraturan Perundang-undangan:

Amandemen Undang-undang Dasar 1945 KUHP

KUHAP

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika;

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997, tentang Narkoba.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoba;

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA.

SEMA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban penyalahgunaan dan Pecandu Narkoba ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

C. Lainnya:

http://antigadis.wordpress.com/2007/12/31/Narkoba-dan-disfungsi-seksual/ http://avivdkuntoro.blogspot.com/2010/02/orientasi.html

sebagai-akses-ke-pengadilan/

http://bareskrim29.blogspot.com/2010/04/undang-undang-Narkoba-terbaru-no-35.html


(3)

dan-napza-di-indonesia-oleh-ginan-koesmayadi-rumah-cemara/

http://echamoy.files.wordpress.com/2009/01/artikel-penanggulangan-Narkoba.doc

TERHADAP_KORBAN_NAPZA_DI_INDONESIA

penyalahgunaan-napza/

http://ilmuhukum.umsb.ac.id/?id=177

http://liranews.com/mdgs/2010/10/29/indonesia-harus-menerapkan-bio-metric-untuk-ungkap-jaringan-Narkoba/

html

http://news.okezone.com/read/2010/08/04/339/359527/berantas-narkoba-kepolisian-terkendala-anggaran

http://www.aidsindonesia.or.id/75-persen-penyebaran-hivaids-dari-narkoba.html http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detai l_press_release&id=68&mn=2&smn=e

&id=126:-penyalahguna-napza-korban-yang-perlu-manusiakan& catid =37:artikel view&id


(4)

BAB III

PERANAN KEPOLISIAN

DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA SUNTIK (IDU’s)

A. Tinjauan Satuan Narkoba di Polresta Meda.

Adalah unsur pelaksana utama Polres yang bertugas membina dan menyelengggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba termasuk penyuluhan dan pembinaan dalam rangka P4GN (Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba).

Satuan Narkoba dipimpin oleh seorang Kepala Satuan (Kasat) yang mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi :50

• Memimpin, mengendalikan dan melakukan pengawasan terhadap

penanganan kasus-kasus tindak pidana Narkoba di lingkungan Polres dan sekitarnya.

• Melakukan pembinaan sumber daya di lingkungan Sat Narkoba dalam rangka efektifitas pelaksanaan tugas.

• Melaksanakan koordinasi baik ke luar maupun ke dalam di lingkungan Sat Narkoba dalam rangka efektifitas pelaksanaan tugas.

• Sat Narkoba dipimpin oleh Kasat Narkoba bertanggung jawab kepada Kapolres.


(5)

Pelayanan Cepat (Quick Wins) merupakan Pelayanan kepada Pihak yang sedang memperjuangkan keadilan melalui pemberian SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) :

• Pemberian SP2HP kepada pihak yang sedang memperjuangkan keadilan menjadi tanggung jawab Kasat Narkoba selaku pengemban program Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana.

• Pemberian SP2HP diberikan setiap tahapan :

Tahap Penerimaan / Penilaian Laporan, SP2HP diberikan kepada pelapor paling lambat 3 hari setelah diterimanya laporan, dalam bentuk surat maupun memanfaatkan IT (website), dalam SP2HP menjelaskan bahwa laporan/pengaduan diterima dan akan ditindak lanjuti dengan penyelidikan dan menyebutkan identitas penyidik / penyelidik serta mencantumkan no. HP / telepon yang dapat dihubungi setiap saat diperlukan. Pada akhir kalimat dibuat catatan membuat Motto Polri : KAMI SIAP MELAYANI ANDA DENGAN CEPAT, TEPAT, TRANSPARAN, AKUNTABEL DAN TANPA IMBALAN.

A. Tahap Penyelidikan

• Untuk kasus ringan dan mudah dengan waktu penyelidikan 14 hari, pengirimana SP2HP paling lambat pada hari terakhir pelaksanaan penyelidikan (hari ke 14).

• Untuk kasus sulit denganwaktu penyelidikan 30 hari, pengiriman SP2HP dilaksanakan pada hari ke 15 dan ke 30.


(6)

B. Tahap Penyidikan

1. Tahap Penindakan dan Pemeriksaan.

• Kasus Ringan (30 hari), SP2HP dikirim kepada pelapor pada hari ke 15 dan hari ke 30.

• Kasus Mudah (60 hari), SP2HP dikirim kepada pelapor pada hari ke 15 dan ke 30, ke 45 dan ke 60.

• Kasus Sulit (90 hari), SP2HP dikirim kepada pelapor pada hari ke 15 dan 30, ke 45 dan 60, ke 75 dan 90.

• Kasus Sangat Sulit (120 hari), SP2HP dikirim kepada pelapor pada hari ke 20 dan ke 40, ke 60 dan ke 80, ke 100 dan ke 120.

2. Tahap Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara, SP2HP diberikan kepada Pelapor pada :

• Pelimpahan perkara Tahap I.

• Apabila ada P.19.

• Saat Pelimpahan kembali Berkas Perkara ke Jaksa Penuntut Umum.

• Pelimpahan Tahap II (Tersangka dan Barang Bukti).

3. SP2HP kedua, ketiga dan seterusnya berisi perkembangan Penyidikan, isinya tidak sama dengan SP2HP sebelumnya, ada perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan.


(7)

4. Untuk Penandatanganan SP2HP ditandatangani oleh Kasat, Wakasat, tembusan Kapolres / Wakapolres.

Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999 sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera. Kemandirian Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup dan berjalan serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangkan ketata negaraan dan pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia yang utuh termasuk dalam mengantisipasi otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Pengembangan kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan kriminalitas dan bencana alam. Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek yaitu:51

51


(8)

1. Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.

2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin, kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.

3. Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional.

Berkenaan dengan uraian tugas tersebut, maka Polri akan terus melakukan perubahan dan penataan baik di bidang pembinaan mau pun operasional serta pembangunan kekuatan sejalan dengan upaya Reformasi.

Tugas Pokok Satuan Narkoba berdasarkan KEPUTUSAN KEPALA

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : KEP / 7 / I / 2005 :

• Sat Narkoba adalah unsur pelaksanaan utama pada Polres Tipe “A1”, “A2” dan “B1”, yang merupakan pemekaran dari Sat Reskrim dan berada di bawah Kapolres.

• Sat Narkoba bertugas menyelenggarakan / membina fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkoba & obat berbahaya (Narkoba), termasuk penyuluhan & pembinaan dalam rangka pencegahan dan rehabilitasi korban ? penyalahgunaan Narkoba.


(9)

• Sat Narkoba dipimpin oleh Kepala Sat Narkoba, disingkat Kasat Narkoba, yang bertanggung jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali wakapolres.

Sat Narkoba terdiri dari Urusan Administrasi dan Ketatausahaan serta sejumlah unit. Sebagai lembaga yang dikedepankan dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan setiap perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di tengah dinamika yang begitu pesat, Polri menghadapi tantangan yang semakin berat dan komplek yang pada akhirnya memperluas bidang tugas Polri. Dalam menghadapi perubahan yang cepat tersebut Polri harus memiliki pandangan jauh ke depan sebagai pedoman yang mampu menjawab, membimbing dan memberikan arah kebijakan strategi dalam mengantisipasi intensitas permasalahan yang dihadapi.

Kasat Narkoba bertugas membina Fungsi dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dalam rangka penegakan hukum. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Kasat Narkoba dibantu oleh Kanit dan Kasubnit. Kasat Narkoba Polresta Medan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kapolresta Medan dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dibawah kendali Waka Polresta Medan. Saat ini satuan Narkoba Polresta memiliki jumlah personil ...orang. Jumlah ini masih sangat kurang apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk kota Medan yang


(10)

harus mendapatkan pelayanan. Dalam melaksanakan tugasnya Sat Narkoba menyelenggarakan Fungsi:

1. Mengelola sumber daya yang tersedia secara optimal serta meningkatkan kemampuan dan daya gunanya.

2. Mengelola ketertiban administrasi keuangan / perbendaharaan baik yang diadakan melalui program APBN maupun bantuan dari Pemda / masyarakat serta menggunakannya seoptimal mungkin bagi keberhasilan pelaksanaan tugas.

3. Menjabarkan dan menindak lanjuti setiap kebijakan Pimpinan.

4. Dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi baik dalam lingkungan satuan organisasi Polresta Medan maupun dalam hubungannya dengan Instansi Pemerintah dan lembaga lainnya.

5. Membina dan menyelenggarakan fungsi penyelidikan/penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi laboratorium forensik lapangan dalam rangka penegakan hukum serta kegiatan-kegiatan lain yang menjadi tugas Sat Narkoba dalam lingkungan Polresta Medan.

6. Menyelenggarakan kegiatan penyelidikan/penyidikan tindak pidana umum dan tertentu, dengan memberikan pelayanan/perlindungan khusus kepada korban/ pelaku remaja, anak-anak dan wanita, dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

7. Menyelenggarakan penyuluhan ke instansi pemerintahan, sekolah dan masyarakat.


(11)

B. Jenis-Jenis Kegiatan yang dilakukan Satuan Narkoba Polresta Medan

Beberapa waktu belakangan ini di seluruh sudut kota bahkan sampai pelosok daerah terpampang spanduk anti Narkoba (Narkoba dan obat-obat adaktif lain) sebagai bentuk keprihatinan masyarakat atas peredaran Narkoba yang sudah meraja lela sampai-sampai tidak mengenal umur sasarannya. Tidak hanya memasang spanduk, masyarakat pun aktif mengikuti pelatihan hukum, maupun kegiatan-kegiatan dalam rangka gerakan anti Narkoba. Sehingga tidak sedikit peristiwa penangkapan atas pelaku peredaran Narkoba oleh aparat keamanan,informasinya bersumber dari masyarakat sendiri. Bahkan tidak jarang masyarakat pun melakukan tindakan main hakim sendiri dengan menangkap atau mengadili sendiri orang-orang yang diduga kuat sebagai pengedar Narkoba.

Berdasarkan hasil penelitian Dadang Hawari tahun 1990, didapatkan bahwa remaja (berusia 13-17 tahun) merupakan pemakai (penyalahgunaan ) Narkoba terbesar (97 %) di Indonesia. Sementara Purwoko menyatakan bahwa sebagian besar korban penyalahgunaan Narkoba berusia 15–25 tahun. Sementara perkembangan kasus penyalahgunaan Narkoba dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data Mabes Polri per September 2003 terungkap bahwa pada akhir 2000 terdapat 3478 kasus Narkoba. Di akhir September 2003 angka itu meningkat signifikan menjadi 3729 kasus. Sedangkan Dadang Hawari menyatakan bahwa jumlah pasien NAZA yang ada di masyarakat sebanyak 10 kali dari angka resmi yang tercatat.52

52


(12)

Menyimak gejala yang dikemukakan di atas, banyak elemen masyarakat yang berupaya mengadakan kegiatan dalam rangka penanggulangan Narkoba. Ironisnya berdasarkan hasil temuan Tim Pokja Depdiknas 2002, sekitar 70 pasien dari 4 juta pecandu Narkoba tercata sebagai anak usia sekolah yang berumur 14– 20 tahun. Semua ini terjadi akibat publikasi dampak penyalahgunaan Narkoba yang tidak tepat. Kesalahan tersebut terjadi pada proses edukasi kompanye Narkoba seperti pada acara seminar maupun diskusi, pemberian materi di kelas dan sasaran usia anak didik yang tidak tepat justru memicu anak sekolah untuk mencoba barang haram tersebut. Selain itu menghadirkan selebritis mantan pengguna Narkoba pada acara-acara seminar membuka peluang meningkatnya pengguna Narkoba karena sesuai dengan karakteristik remaja yang suka meniru.53

1). Kegiatan Pre-emtif

Dalam rangka melakukan upaya penegakkan hukum di wilayah Polresta Medan,khusunya dalam hal penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, Polresta Medan (Satuan Narkoba) melakukan berbagai kegiatan :

Pre-emtif pencegahan yang dilakukan secara dini melalui kegiatan-kegiatan edukatif dengan sasaran mempengaruhi faktor-faktor penyebab, pendorong dan faktor peluang yang biasa disebut sebagai Faktor Korelatif Kriminogen (FKK) dari terjadinya pengguna untuk menciptakan sesuatu kesadaran dan kewaspadaan serta daya tangkap guna terbinanya kondisi perilaku dan norma hidup bebas dari penyalahgunaan Narkoba, psykotropika maupun mengkonsumsi minuman keras. Bahwa kegiatatan


(13)

ini pada dasarnya merupakan pembinaan pengembangan lingkungan serta pengembangan sarana dan kegiatan positif. Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam mengantisipasi segala perbuatan yang dapat merusak kondisi keluarga yang telah terbina dengan serasi dan harmonis.

Sekolah juga merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kepribadian remaja, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pengaruh negatif dari sesama pelajar, oleh karena itu perlu terbina hubungan yang harmonis baik sesama pelajar maupun antara pelajar dengan pengajar sehingga akan menghindari bahkan menghilangkan peluang pengaruh negatif untuk dapat berkembang di lingkungan pelajar. Mengembangkan pengetahuan kerohanian atau keagamaan dan pada saat-saat tertentu dilakukan pengecekan terhadap murid untuk mengetahui apakah diantara mereka telah menyalahgunakan Narkoba, psykotropika maupun minuman-minuman keras.

2). Kegiatan Preventif

Bahwa pencegahan adalah lebih baik dari pada pemberantasan, oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian Police Hazard (PH) untuk mencegah suplay and demand agar tidak saling interaksi, atau dengan kata lain mencegah terjadinya Ancaman Faktual (AF). Bahwa upaya preventip bukan semata-mata dibebankan kepada PoIri, namun juga melibatkan instansi terkait seperti Bea dan Cukai, Balai POM, Guru, Pemuka Agama dan tidak terlepas dari dukungan maupun


(14)

peserta masyarakat, karena dalam usaha pencegahan pada hakekatnya adalah :

a. Penanaman disiplin melalui pembinaan pribadi dan kelompok. b. Pengendalian situasi, khususnya yang menyangkut aspek

budaya, ekonomi dan politik yang cenderung dapat merangsang terjadinya penyalahgunaan Narkoba, psykotropika maupun minuman keras.

c. Pengawasan lingkungan untuk mengurangi atau meniadakan kesempatan terjadinya penyalahgunaan Narkoba, psykotropika dan obat-obatan berbahaya/minuman keras.

d. Pembinaan atau bimbingan dari partisipasi masyarakat secara aktif untuk menghindari penyalahgunaan tersebut dengan mengisi kegiatan-kegiatan yang positif.

Satuan Narkoba Polresta Medan dalam upaya mencegah penyalahgunaan Narkoba, psykotropika dan minuman keras bersama-sama dengan instansi terkait melakukan penyuluhan terhadap segala lapisan masyarakat baik secara langsung, melalui media cetak maupun media elektronik. Melakukan operasi kepolisian dengan cara patroli, razia di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadinya penyalahgunaan Narkoba, psykotropika maupun obat-obatan berbahaya/minuman keras. Untuk melaksanakan upaya preventif tersebut fungsi yang dikedepankan adalah fungsi Bimmas


(15)

dengan melibatkan peran serta Toga, Tomas, Tenaga Pendidik, LSM, Pokdar Kamtibmas ( Citra Bhayangkara)

3). Kegitan Represif .

Merupakan upaya penindakan dan penegakan hukum terhadap ancaman factual dengan sangsi yang tegas dan konsisten sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku untuk membuat efek jera bagi para pengguna dan pengedar Narkoba.

Bentuk - bentuk kegiatan yang dilakukan Polri dalam upaya Represif tersebut adalah :

a. Menangkakap pelaku dan melimpahkan berkas perkaranya sampai ke pengadilan.

b. Memutuskan jalur peredaran gelap Narkoba c. Mengungkap jaringan sindikat pengedar

d. Melaksanakan Operasi Rutin Kewilayahan dan Ops Khusus terpusat secara kontinyu. Fungsi yang dikedepankan adalah fungsi Reserse.

Tujuan dari kegiatan ini adalah terwujudnya kepastian dan supremasi hukum tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba. Dengan sasaran Memberantas dan mengungkap jaringan dan peredaran gelap Narkoba dan penyelesaian perkara trans nasional, kejahatan terhadap


(16)

produsen dan pengedar serta pengguna Narkoba dan psikotropika. Terbagi menjadi tiga jenis kegiatan yang saling terpadu:

a). Penyelidikan.

 Memastikan perkara pidana atau bukan.

 Mengumpulkan informasi dan penggalangan kepada

informan yang di lapangan.

 Penggalangan kepada masyarakat untuk memperkaya

informasi tentang adanya kejahatan Narkoba dan obat-obatan berbahaya.

b). Penyidikan.

 Memeriksa orang atau barang yang dicurigai.

 Mengajukan ke Labfor untuk uji kebenaran kepastian barang yang dicurigai.

 Melaksanakan pemberkasan.  Pengajuan berkas ke penuntut.

 Penyempurnaan berkas perkara dan proses persidangan.  Penyelenggaraan manajemen tahanan.

c). Penegakkan Hukum.

 Meningkatkan kerjasama dengan Instansi terkait.

 Mengadakan razia si sekolah atau tempat yang dicurigai para pengguna.


(17)

 Mengadakan razia di tempat tempat yang dicurigai untuk transaksi Narkoba

4). Kegiatan Rehabilitasi

Treatment dan Rehabilitasi merupakan usaha untuk menolong, merawat dan merehabilitasi korban penyalahgunaan Narkoba/obat terlarang dalam lembaga tertentu, sehingga diharapkan para korban dapat kembali ke dalam lingkungan masyarakat atau dapat bekerja dan belajar serta hidup dengan layak. Dalam upaya penyembuhan dan pemulihan kondisi para korban penyalahgunaan Narkoba/obat terlarang di Indonesia, dewasa ini Polri bekerjasama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ataupun lembaga sosial masyarakat lainnya untuk melakukan pemulihan terhadap para korban penyalahgunaan Narkoba.

Upaya yang dilakukan merehabilitas mereka yang sudah memakai dan dalam proses penyembuhan, upaya ini dilakukan cukup lama oleh lembaga khususnya seperti klinik rehabilitas dan kelompok masyarakat yang dibentuk khusus (therapeutic community). Dalam kegiatan ini satuan Narkoba Polresta Medan bekerjasama dengan layanan/tempat rehabilitasi medis/sosial. Tahap ini dibagi menjadi dua bagian yaitu fase stabilitasi yang berfungsi untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan fase sosial dalam masyarakat agar mantan penyalahguna Narkoba mampu mengembangkan kehidupan yang


(18)

bermakna di masyarakat. Adapun tujuan terapi dan rehabilitasi ini adalah:54

• Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan ini tergolong sangat ideal,namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan NAPZA pada fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan meminimasi efek-efek yang langsung atau tidak langsung dari NAPZA. Sebagian pasien memang telah abstinesia terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA yang lain.

• Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps .Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya,dan ia memang telah dobekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.

• Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok ini,abstinensia bukan merupakan sasaran utama.


(19)

Terapi rumatan (maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.

Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai Proses penyembuhan pelaku dari efek ketergantungan dan pengembalian sikap mental perilaku pengguna untuk dapat menjalani kehidupan normal dan diterima di masyarakat. Dengan sasaran para korban sebagai pelaku atau pengguna baik yang menyadari dan melaporkan ingin memperoleh kesembuhan dan yang tertangkap/ ditemukan dalam proses hukum sehingga sembuh/sehat dan tidak mengulangi perbuatan.55

1). Memberikan pengobatan kepada pelaku atau pengguna Narkoba yang melaporkan atau pengguna/ korban yang selesai menjalani hukuman untuk terapi penyembuhan.

Kegiatan yang dilakukan berupa:

2). Memberikan pembinaan sikap mental dan rohani kepada pelaku atau pengguna Narkoba.

3). Meningkatkan pemantauan terus menerus kegiatan sehari-hari korban yang sudah sadar.

4). Mengirimkan pengguna atau eks pengguna Narkoba ke Panti Rehabilitasi Sosial yang khusus menangani korban Narkoba .

55


(20)

C. Hambatan yang ditemui dalam menangani pelaku tindak Pidana Narkoba Suntik

Perkembangan teknologi informasi tidak dapat kita hindari, karena berpengaruh terhadap situasi keamanan dan ketertiban masyarakat, dan itu menjadi tantangan tugas yang tidaklah ringan bagi kepolisian sehingga perlu didukung peran serta masyarakat dalam memberikan informasi dan didukung oleh kemampuan dari sumber daya anggota polri dalam mengoptimalkan kemampuan dibidang teknologi, dengan demikian teknologi dan sistem informasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kepolisian bagi kepentingan operasional maupun pembinaan.

Setiap kegiatan menghadapi sumber daya yang terbatas dan hasil yang terbatas atas setiap hasil kerja kegiatan tersebut. Keterbatasan-keterbatasn ini disebut “Kendala” (constraint). Teori Kendala mengakui bahwa kinerja/hasil kerja setiap kegiatan dibatasi oleh kendala-kendalanya. Jika hendak memperbaiki kinerjanya, suatu kegiatan harus mengidentifikasi kendala-kendalanya, mengeksploitasi kendalanya dalam jangka pendek dan jangka panjang, kemudian menemukan cara untuk mengatasinya.56

a). Faktor Internal.

Dalam pelaksanaan fungsi satuan Narkoba Polresta Medan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh pengguna Narkoba suntik (IDUs), juga ditemukan hambatan yang membuat pelaksanaan tugas fungsi Narkoba tidak maksimal.yaitu:


(21)

Faktor-faktor yang membatasi/menghambat pencapaian kinerja yang maksimal yang berasal dari dalam satuan Narkoba Polresta Medan, yaitu:

 Personil

Secara umum kualitas personil Polri masih sangat kurang, khususnya dalam bidang penyelidikan dan penyidikan kasus Narkoba. Ditambah lagi jumlah personil satuan Narkoba Polresta Medan yang masih sangat kurang (…. Orang),dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan (…. Orang) sesuai dengan proporsi perbandingan jumlah penduduk kota Medan. Kendala lain sulitnya dilakukan pemberantasan narkoba khususnya di Medan, karena aparat pemerintahan terlibat di dalamnya. Baik PNS maupun oknum TNI/Polri banyak bermain dalam bisnis barang haram ini. Keterlibatan PNS, oknum TNI/Polri bermain dan menikmati barang haram ini, menjadi hambatan yang paling berat dalam pemberantasan narkoba. Dan hal ini sangat dirasakan di lapangan.Yang paling celaka adalah oknum polisi ikut bermain, sebab seharusnya mereka harus menangkap, bukan malah ikut bermain.

 Keterbatasan dana/anggaran.

Kepolisian mengeluhkan minimnya anggaran yang diberikan untuk memberantas peredaran narkoba yang marak terjadi di


(22)

Indonesia. Dana yang digunakan sekarang ini, hanya bisa untuk menuntaskan sekira 250 kasus per tahun.“Saat ini Polri menyadari keterbatasan sarana dan prasarana serta anggaran untuk pemberantasan narkoba. Setiap bulan rata-rata 650 kasus narkotik yang ditangani. Tetapi anggaran yang disediakan hanya untuk 250 kasus dalam setahun. tas keterbatasan anggaran tersebut dirinya menjelaskan bahwa nantinya penanganan untuk menyelesaiakan maraknya peredaran narkoba tidak akan terselesaikan.57

 Isu HIV dan AIDS

Hampir 75 persen penderita HIV/AIDs tertular dari jarum suntik narkoba secara bergantian.58

57

http://news.okezone.com/read/2010/08/04/339/359527/berantas-narkoba-kepolisian-terkendala-anggaran

Sehingga apabila ditemukan pengguna narkoba suntik yang melakukan tindak pidan (bukan masalah Narkoba), kemungkinan besar yang bersangkutan sudah terinfeksi HIV. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana (oleh pengguna narkoba suntik) untuk lepas dari jerat hukum. Ditambah ketidak tahuan petugas pada informasi HIV dan AIDS secara benar. Sehingga seringkali pelaku tindak pidana (oleh pengguna narkoba suntik) dilepaskan oleh petugas kepolisian, dengan alasan agar tidak tertular HIV dan tidak menulari penghuni tahanan lainnya.


(23)

b). Faktor Ekstenal

Faktor-faktor yang membatasi/menghambat pencapaian kinerja yang maksimal yang berasal dari luar satuan Narkoba Polresta Medan, yaitu:

 UU dan Peraturan yang Kontra Produktif.

Terkait dengan perumusan tindak pidana UU Narkoba dimana delik Narkoba diberikan batasan yang terlalu luas. Misalnya rumusan yang terdapat pada pasal 80 ayat (1),pasal 80 ayat (3),pasal 82 dan pasal 88 UU Narkoba yang mana terdapat alternatif hukuman tindak pidana, sehingga penafsirannya menjadi luas. Sedangkan terkait perumusan ancaman hukuman UU Narkoba masih menggunakan perumusan yang pasti atau tidak pasti (defenite-indefenite), sehingga ancaman pidana terkait penegakkan UU Narkoba menjadi tidak tegas. Kalaupun ada susunan yang menggunakan sitem defenite, ancaman pidana juga sangat besar sehingga menimbulkan kesulitan untuk diberlakukannya ancaman pidana.59

Ada hambatan lain yang menyebabkan pemberantasan Narkoba di Kota Medan sedikit terhambat. Hambatan itu adalah adanya edaran Kapolri yang mengharuskan Ketua Pelaksana Harian (Kelahar) BNP (Badan Narkoba Propinsi) mengundurkan diri dari jabatannya di instansi kepolisian. “Ada ketakutan pihak kepolisian kalau Kelahar nantinya bakal diperiksa Komisi

59


(24)

Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima gaji dobel yakni dari kepolisian dan dari Pemda.

 Kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Masalah pokoknya berpijak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia yang jauh di bawah standar, sehingga mudah dijadikan kurir Narkoba. Mental masyarakat kita sangat rapuh, seperti mudah disuap, suka menerabas dan potong kompas, mementingkan diri sendiri, susah diajak koordinasi serta menghindar dari tanggung jawab, yang berakibat sering menjadi bagian dari sindikat Narkoba.

 Belum ada keseragaman visi, misi dan interpretasi di seluruh komponen masyarakat.

Hingga sini belum ada keseragaman visi, misi dan interpretasi di seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara yang menyatakan bahwa Narkoba adalah musuh bersama dan kejahatan yang harus diperangi. Untuk memutus jaringan distribusi (supply), maka harus dilakukan operasi pemberantasan dan pemutusan jaringan yang terus-menerus sepanjang tahun terhadap sindikat Narkoba, baik pemodal, pabrik, pengirim, pembawa (kurir), penerima sampai kepada pengedar. Selain itu memetakan titik pengiriman, menutup rute yang dilalui baik melalui bandar udara, pelabuhan laut atau perbatasan sampai titik akhir pengiriman barang (gudang).


(25)

Operasi pemberantasan peredaran gelap Narkoba juga harus dilakukan di daerah kantong-kantong Narkoba, tempat-tempat hiburan, serta pemutusan jaringan sindikat yang dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan (Lapas). Karena itu, pihak BNP (Badan Narkoba Propinsi) harus terus meningkatkan kerjasama dengan badan-badan penegak hukum di kota Medan maupun pihak kepolisian internasional.60

60

http://liranews.com/mdgs/2010/10/29/indonesia-harus-menerapkan-bio-metric-untuk-ungkap-jaringan-Narkoba/


(26)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis mencoba untuk menyampaikan beberapa hal yang dianggap penting dari uraian-uraian bab terdahulu serta memberikan saran guna perkembangan penanganan Pelaku Tindak Pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik di masa yang akan datang. Maka kesimpulan dan saran yang dapat penulis kemukakan, adalah:

A. Kesimpulan

Berikut ini akan disampaikan mengenai kesimpulan dari penelitian mengenai penanganan Pelaku Tindak Pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik dalam perspektif hukum pidana:

1. Filosofi rehabilitasi cenderung lebih tepat sebagai model penghukuman terhadap para pengguna Narkoba. Jika dilihat dari karakteristik kejahatan ini, model rehabilitasi jelas memberikan pola penanganan yang lebih jelas dan terukur. Oleh karenanya, kebijakan menjebloskan para pengguna Narkoba yang jelas tidak sekaligus menjadi pengedar ke dalam penjara dinilai tidak tepat. Kekhawatiran besar terhadap kebijakan tersebut adalah tidak mampunya lembaga pemasyarakatan yang lebih menekankan filosofi reintegrasi untuk menjalankan fungsi-fungsi rehabilitatif. Terutama dalam melakukan detoksifikasi dan menghilangkan ketergantungan. Jikapun lembaga pemasyarakatan bersikeras mampu melaksanakan fungsi-fungsi


(27)

rehabilitatif, polemik atas peran sistem pemasyarakatan di Indonesia sekarang ini cenderung membuat kita menjadi semakin skeptis.

2. Perbedaan Rahabilitasi dan hukuman penjara:

a. Selain dilihat dari ketidakmampuan untuk menjalankan fungsi rehabilitatif, menjebloskan para murni pengguna Narkoba ke dalam lembaga pemasyarakatan akan sangat berpotensi menjadikan mereka pelaku kejahatan yang lebih serius (efek prisonisasi). Terlebih lagi di dalam sistem penjara yang belum mampu memberlakukan kategorisasi narapidana secara ketat. Di dalamnya, interaksi sekaligus proses pembelajaran antaar pengguna dengan pengguna, terlebih lagi pengguna dengan pengedar sangat mungkin terjadi.

b. Rumit dan kompleksnya permasalahan sistem pemasyarakatan Indonesia dewasa ini sangat mungkin menambah jumlah residivisme para penggunan Narkoba. Pemerintah pada dasarnya memiliki banyak pilihan alternatif penghukuman bagi para penggunan Narkoba. Bahkan di antara alternatif tersebut telah dipraktekkan sejak lama dalam format Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang telah berperan aktif dalam memberikan konseling kepada murni pengguna.

3. Peranan Kepolisian dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh pengguna Narkoba suntik.


(28)

 Perlunya peningkatan kualitas penyidik Polri khususnya pada satuan narkoba, peningkatan anggaran penyelidikan dan penyidikan kasus Narkoba, peningkatan sarana dan prasarana pendukung, guna lebih memberdayakan Polri dalam mengungkapkan kasus penyalahgunaan Narkoba.

 Perlunya pemberian informasi yang benar tentang HIV dan AIDS kepada personil Satuan Narkoba Polresta Medan. Hal ini dimaksudkan agar jangan ada lagi personil satuan Narkoba yang melepaskan pelaku tindak pidana (yang dilakukan oleh pengguna narkoba suntik) dengan alasan yang bersangkutan sudah terinfeksi HIV.

4. Melalui kegiatan preventif yang bersifat informatif dan edukatif, Narkoba dapat diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal dengan tidak mengiliminasi jalur pendidikan non formal. Kegiatan ini pada jalur pendidikan formal dirasa dapat membantu proses penanggulangan Narkoba lebih efektif. Selain itu dengan materi-materi yang diberikan, para pelajar tidak hanya ampu mengatasi permasalahaan dirinya tapi melahirkan konselor-konselor di sekitarnya.

B. Saran

Saran-saran yang dapat penulis kemukakan berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(29)

1. Setelah diperhatikan, peraturan mengenai Narkoba yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 dirasa perlu diperbaiki. Undang-undang tersebut tidak mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme pemidanaan pengguna Narkoba suntik. Undang-undang Narkoba tersebut hanya menyebutkan pemidanaan secara umum. Sehingga jika ditemukan tersangka atau terdakwa pengguna Narkoba suntik yang terindikasi positif HIV,sering kali tidak dapat penanganan yang serius apabila membutuhkan layanan kesehatan,atau bahkan karena ketakutan petugas /aparat maka pelaku tindak pidana tersebut dilepaskan begitu saja.

2. Apa yang sudah dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan Narkoba selama ini tentu harus tetap dilakukan dan ditingkatkan kualitas maupun kuantitasnya secara berkelanjutan. Namun demikian, perlu juga untuk dilakukan evaluasi dari waktu ke waktu mengingat karakteristik Narkoba sebagai kejahatan terorganisir, memiliki jaringan yang luas, modus kejahatan yang terus diperbaharui dengan melihat kelemahan pengawasan aparat penegak hukum dan kontrol sosial masyarakat, serta Narkoba menjadi bisnis yang menggiurkan ketika harga segala kebutuhan hidup naik dan lapangan kerja tidak ada. Walaupun ada tidak akan terjaring karena keterampilan yang minim dan tingkat pendidikan yang rendah. Ini menunjukkan upaya pemberantasan Narkoba tidak hanya dengan memenjarakan atau menghukum mati pelaku, tetapi merupakan masalah multidimensi yang membutuhkan upaya bersama lintas sektoral..


(30)

3. Dalam politik kriminal, upaya penanggulangan kejahatan menggunakan dua sarana, yaitu sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal (non hukum pidana). Sarana penal selama ini sudah banyak dilakukan. Mulai dari pembaharuan undang-undang (terakhir UU No. 35/2009) sampai dengan menangkap dan memenjarakan bahkan menghukum mati pelaku Narkoba). Namun sayangnya upaya penal yang sering kita andalkan ini lebih bersifat represif dan bukan preventif. Ditambah lagi dengan keterbatasan SDM dan sarana yang ada tentu tidak mampu secara maksimal menghentikan peredaran Narkoba. Kini tidak hanya modus peredaran Narkoba saja yang semakin kreatif dan inovatif guna mengelabui petugas, seperti dalam kemasan permen coklat dan pengiriman via pos, namun target pengguna Narkoba pun telah meraba segmen yang semakin beragam namun memperihatinkan. Ketika sosialisasi anti Narkoba banyak dilakukan di kalangan pelajar dan mahasiswa, karena menurut BNN sekarang target pengedaran Narkoba sudah masuk ke pintu-pintu sekolah dan perguruan tinggi, peristiwa mengejutkan terjadi di Babel ketika yang terjaring razia Narkoba justru oknum pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif, serta aparat penegak hukum yang seharusnya berperan aktif memberantas Narkoba..

4. Guna meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat serta tercapainya situasi Kamtibmas yang kondusif, perlu dilakukan revisi perundang-undangan yang mengatur pemberian sanksi kepada pengguna Narkoba khususnya bagi mereka yang pertama kali menggunakan, untuk


(31)

tidak diberikan pidana kurungan tetapi berupa peringatan keras sampai dengan sanksi sosial seperti pembinaan social, kerja sosial dan sebagainya. Kenyataan menunjukkan bahwa pidana kurungan terhadap mereka yang tidak punya niat jahat tersebut tidak akan membuat yang bersangkutan menjadi lebih baik tetapi sebaliknya akan menjadi lebih jahat di kemudian hari. Pengalaman dipenjara selain membuat masa depan menjadi hancur juga akibat pergaulan dengan narapidana lain seperti pembunuh, perampok dan lain-lain akan menjadi pemicu atau mengilhami mereka untuk melakukan hal yang sama dikemudian hari jika mengalami kegagalan dalam kehidupan berma-syarakat.

5. Perlu membuat Lembaga Pemasyarakat khusus Narkoba, jika hal ini masih sulit untuk direalisasikan maka perlu dilakukan pemisahan sel antara narapidana Narkoba dan narapi-dana bukan Narkoba, agar pembinaannya lebih mudah, terfokus dan mereka tidak terpengaruh oleh narapidana kejahatan konvensional yang lain. Dengan demikian setelah mereka keluar dari LP benar-benar dianggap baik, dapat bersosialisasi dan hidup produktif kembali ditengah-tengah masyarakat.


(32)

BAB II

KAJIAN KRIMINOLOGI DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOBA SUNTIK (IDU’s)

A. Pandangan Kriminologi.

Masalah penyalahgunaan Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkoba dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang d ilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Secara kriminologis, penggunaan Narkoba adalah kejahatan yang pelaku sekaligus menjadi korban. Sehingga dalam batas-batas tertentu dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang tidak terlalu serius. Berbeda halnya dengan pengguna sekaligus pelaku pengedar yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri namun masyarakat secara umum. Selain itu, terkait pula dengan karakteristik dari kejahatan ini yang memiliki dampak jangka panjang, khususnya ketergantungan dan toksifikatif, diperlukan suatu model penghukuman yang jauh berbeda dari model yang diterapkan kepada narapidana umumnya.26

Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkoba, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi


(33)

pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun.27

1) Faktor-faktor yang mendorong kejahatan.

Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.

Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari aspek yuridis, sosiologis maupun kriminologis. Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangat beragam, di samping tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan. Apabila hendak menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang tepat, maka cara pandang kita sebaiknya tidak hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan

27


(34)

penyebab timbulnya kejahatan atau metode apa yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan.28

Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan. Kejahatan merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat.29 Kejahatan, dilihat dari sudut pandang pendekatan legal diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana atau Undang-undang yang berlaku di masyarakat. adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan masyarakat yang bersangkutan. Mengapa demikian? Latar belakang terjadinya penyimpangan sosial : 30

a. Proses sosialisasi yang tidak sempurna atau tidak berhasil karena seseorang mengalami kesulitan dalam hal komunikasi ketika bersosialisasi. Artinya individu tersebut tidak mampu mendalami norma- norma masyarakat yang berlaku.

b. Penyimpangan juga dapat terjadi apabila seseorang sejak masih kecil mengamati bahkan meniru perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang dewasa.

c. Terbentuknya perilaku menyimpang juga merupakan hasil sosialisasi nilai sub kebudayaan menyimpang yang di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor ekonomi dan faktor agama.

28

http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/2%20URGENSI%20PERLINDUNGAN%20KORBAN%20KEJAHATAN.PDF 29

Abdul Wahid, et,al, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM, dan Hukum, R efika Aditama, 2004, hlm. 52

30


(35)

Contoh karena kekurangan biaya seorang pelajar mencuri dan seseorang yang tidak memiliki dasar agama hidupnya tanpa arah dan tujuan.

d. Pertentangan antar agen sosialisasi.Pesan-pesan yang disampaikan antara agen sosialisasi yang satu dengan agen sosialisasi yang lain kadang bertentangan, misalnya : orang tua mengajarkan merokok itu tidak baik, sementara iklan rokok begitu menarik, dan anak memiliki kelompok teman sebaya yang pada umumnya merokok, sehingga jika ia mengikuti pesan orang tuanya ia akan menyimpang dari norma kelompoknya, lama-lama anak tersebut akan menjadi perokok

e. Pertentangan antara norma kelompok dengan norma masyarakat Kelompok masyarakat tertentu memiliki norma yang bertentangan dengan norma masyarakat pada umumnya.

Kita harus sadari bahwa eksistensi suatu hukum di dalam masyarakat merupakan pengejawantahan dari tuntutan masyarakat agar jalannya kehidupan bersama menjadi baik dan tertib. Dengan dilanggarnya fondasi ketertiban masyarakat tersebut maka tentunya perbuatan tersebut adalah jahat.

Pernyataan bahwa tidak akan ada kejahatan apabila tidak ada hukum (undang-undang) pidana dan bahwa kita akan dapat menghilangkan seluruh kejahatan hanya dengan menghapuskan semua hukum (undang-undang) pidana adalah logomachy. Memang benar bahwa andaikata undang-undang terhadap pencurian ditarik kembali, maka mencuri itu tidak akan merupakan kejahatan,


(36)

meskipun ia bersifat menyerang atau merugikan dan masyarakat umum akan memberikan reaksi terhadapnya. Sebutan kepada perilaku itu mungkin akan berubah tetapi perilaku dan perlawanan masyarakat terhadap perilaku tersebut hakikatnya akan tetap sama, sebab “kepentingan-kepentingan masyarakat” yang rusak oleh perilaku itu hakikatnya akan tetap tidak berubah. Dalam konteks ini, konsep kejahatan lebih menekankan arti segi sosialnya daripada arti yuridis tentang definisi kejahatan.

Van Bemmelen merumuskan Kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Jikalau dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, maka perumusan kejahatan menurut Kitab Undang-undag Hukum Pidana adalah semua bentuk-bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 31

Efek negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan Narkoba secara berlebihan dalam jangka waktu lama serta tidak diawasi oleh ahlinya, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif pada penggunanya, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan tidak jarang, penggunaan Narkoba dapat memicu terjadinya berbagai tindak pidana. Karena itu, untuk mencegah semakin


(37)

meluasnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan Narkoba, maka pengawasan tidak hanya terbatas pada peredaran Narkoba tetapi juga pada mereka yang menjadi korban, misalnya seseorang yang menderita ketergantungan Narkoba (pecandu).

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik.

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna Narkoba suntik, diantaranya adalah faktor kebutuhan akan Narkoba suntik, faktor keluarga, faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Dari ke-empat faktor tersebut, bisa keempatnya sekaligus menjadi faktor penyebab atau hanya salah satunya saja.

a.Pertama, faktor Kebutuhan akan Narkoba.

Faktor ini merupakan faktor utama para pengguna Narkoba suntik melakukan kejahatan (tindak pidana). Terutama pada mereka yang sedang mengalami ketagihan obat (putaw). Berbagai macam cara akan mereka lakukan untuk memperoleh uang/barang yang dapat dipergunakan sebagai alat tukar dengan Narkoba (putaw).

b.Kedua, faktor keluarga.

Faktor ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti ketidakharmonisan dalam keluarga. Hal ini bisa membentuk pengguna Narkoba suntik kearah yang lebih negatif, karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan perilaku, pergaulan dan kepatuhan norma. Faktor ketidakharmonisan keluarga yang memicu pengguna Narkoba mudah melanggar norma sebagaimana


(38)

saya ungkapkan di atas, menurut kaca mata sosiologis mungkin hal yang wajar dan sejalan dengan hukum sebab akibat.

c.Ketiga, faktor lingkungan.

Setelah keluarga, tempat orang bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya. Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bergaul juga mempengaruhi kecenderungan kenakalan yang mengarah pada perbuatan melanggar hukum. Tidak semua orang dengan keluarga tidak harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena ada juga kasus dimana pengguna Narkoba suntik sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang harmonis. Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bergaulnya yang negatif. Aktivitas kelompok atau biasa dikenal ”gang” sepertinya perlu mendapat perhatian lebih dari orang tua, guru dan tokoh masyarakat, baik itu yang tumbuh di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. d.Keempat, faktor ekonomi.

Alasan tuntutan ekonomi merupakan alasan klasik yang sudah menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan sejak perkembangan awal ilmu kriminologi (ilmu yang mempelajari kejahatan). Mulai dari kebutuhan keluarga, sekolah sampai dengan


(39)

ingin menambah uang jajan sering menjadi alasan ketika seseorang melakukan pelanggaran hukum. 32

Robert M. Z. Lawang; Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku menyimpang.”

Keempat faktor di atas, hanyalah sebagian dari pemicu pengguna Narkoba suntik melakukan pelanggaran hukum. Perlu perhatian yang serius oleh seluruh perangkat pemerintah,masyarakat dan lingkungan.. Terakhir, sosial kontrol dari tokoh masyarakat dan tokoh agama, serta peran pemerintah dan swasta untuk memberikan perhatian serius pada korban Narkoba,khususnya pengguna Narkoba suntik.

” James W. Van Der Zanden; Penyimpangan perilaku merupakan perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan diluar batas toleransi.

33

Lemert (1951); Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk:34 1). Penyimpangan Primer (Primary Deviation)

Penyimpangan yang dilakukan seseorang akan tetapi si pelaku masih dapat diterima masyarakat. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer atau sementara, tidak dilakukan secara berulang-ulang dan masih dapat ditolerir oleh masyarakat.

2). Penyimpangan Sekunder (secondary deviation)

32

http://community.gunadarma.ac.id/user/agung_ramadhani/blogs

33

http://uhangdusun.blogspot.com/2009/06/perilaku-penyimpangan-sosial_22.html

34


(40)

Penyimpangan yang berupa perbuatan yang dilakukan seseorang yang secara umum dikenal sebagai perilaku menyimpang. Pelaku didominasi oleh tindakan menyimpang tersebut, karena merupakan tindakan pengulangan dari penyimpangan sebelumnya.

Dampak terhadap individu dapat menimbulkan gangguan terhadap kesehatan fisik (keracunan, gejala putus obat/sakauw, kerusakan otak, jantung, paru-paru, hati, ginjal, organ reproduksi sampai kematian yang sia-sia, menimbulkan gangguan psikis (gelisah, cemas, takut, curiga dan waspada berlebihan, paranoid, depresi, euphoria, agresif dan gangguan daya ingat, menimbulkan gangguan bersosialisasi dan tidak punya semangat belajar/bekerja, menimbulkan gangguan ketenangan dan ketentraman dalam keluarga dan masyarakat dan penggunaan Narkoba dengan jarum suntik dapat menimbulkan resiko tertular HIV/AIDS, Hepatitis B, C maupun penyakit infeksi lainnya.35

Dampak terhadap orang tua dan keluarga dapat menghancurkan ekonomi orang tua/keluarga dan menimbulkan beban psikologis/sosial yang sangat berat bagi orang tua dan keluarga. Dampak terhadap masyarakat dan bangsa dapat menurunkan kualitas SDM, menambah beban biaya negara dalam rangka untuk membiayai program penanggulangan bahaya Narkoba dan menimbulkan gangguan terhadap ketertiban maupun keamanan masyarakat dan bangsa. Dalam kebijakan kriminal (criminal policy), upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan perlu digunakan pendekatan integral, yaitu perpaduan antara sarana penal dan non penal. Sarana penal adalah hukum pidana melalui kebijakan hukum


(41)

pidana. Sementara non penal adalah sarana non hukum pidana, yang dapat berupa kebijakan ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan lain-lain. Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan Narkoba ini memerlukan pendekatan integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan Narkoba yang begitu komplek dan terjadi dimasyarakat. Berbagai upaya preventif dengan pendekatan agama, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi perlu untuk dimaksimalkan dibandingkan pendekatan hukum, karena lebih bersifat represif

3) Beberapa tindak pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik.

Akibat pengaruh dari penggunaan Narkoba suntik, seringkali pengguna yang sedang membutuhkan uang untuk membeli Narkoba melakukan tindak pidana, antara lain:

a). Pencurian (Pasal 362 KUHP)

Pengertian Pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KHUP yaitu: "Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah".

b). Pencurian dengan pemberatan.(Pasal 363 KUHP) 1. Diancam dengan Pidana paling lama tujuh tahun:


(42)

b. Pencurian pada waktu terjadi kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal tedampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahay perang;

c. Pencurian pada waktu malam dalam sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tanpa diketahui atau tanpa dikehendaki oleh yang berhak;

d. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

e. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk dapat mengambil barang yang hendak dicuri itu, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

2. Bila pencurian tersebut dalam nomor (c) disertai dengan salah satu hal dalam nomor (d) dan (e), maka perbuatan itu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

c). Pencurian dengan Kekerasan (pasal 365)

1. Diancam dengan pidana paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian itu, atau bila


(43)

tertangkap tangan, untuk memungkinkan diri sendiri atau peserta lainnya untuk melarikan diri, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

2. Diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun: a). Bila perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam

sebuah rumah atau di pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

b). Bila perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

c). Bila yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

d). Bila perbuatan mengakibatkan luka berat.

3. Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun. 4. Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau

pidana penjara selama waktu tertentu, paling lama duapuluh tahun, bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor 1' dan 3'.


(44)

d). Penggelapan (pasal 372 KUHP)

Pasal 372 KUHP merumuskan sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

e). Penipuan (pasal 378 KUHP)

Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut:

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

B. Pengaturan Hukum yang berkaitan dengan pelaku Tindak Pidana Narkoba Suntik.

Sebelum membahas mengenai pengaturan hukum yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana Narkoba suntik, berikut ini akan diberikan penjelasan singkat mengenai pembedaan hukum pidana. Dalam hukum pidana dikenal


(45)

pembedaan antara hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.

1. Hukum Pidana Dalam Arti Objektif (Ius Ponale).

Yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan atau keharusan dimana terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.

a. Hukum Pidana Materiil, mengenai:

• Peraturan yang diancam pidana;

• Siapa yang dapat dipidana;

• Pidana apa yang dijatuhkan.

b. Hukum Pidana Formil, mengenai sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara negara menggunakan haknya untuk melaksanakan pemidanaan. 2. Hukum Pidana Dalam arti Subjektif (Ius Poenendi)

• Sejumlah peraturan mengenai hak untuk memidana seseorang yang melakukan yang dilanggar;

• Hak untuk mengancam (dalam Undang-undang);

• Hak untuk menjatuhkan pidana;

• Hak untuk melaksanakan pidana36.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum pidana dalam arti objektif berisi tentang perbuatan yang dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidananya kepada setiap orang yang melakukannya. Sedangkan hukum pidana dalam arti subjektif berarti suatu hak atau kewenangan negara untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada

36


(46)

orang yang terbukti telah melanggar hukum pidana. Hak dan kewenangan negara tersebut merupakan kekuasaan negara yang besar, sehingga perlu dicari dan diterangkan dasar-dasarnya.

Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan hukum pidana dalam arti subjektif. Karena teori-teori ini menerangkan mengenai dasar-dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana. Kira-kira setelah abad 19, muncul teori-teori pembaharuan mengenai tujuan pemidanaan. Teori-teori tersebut yakni Teori-teori pembalasan, Teori-teori tujuan, dan Teori-teori gabungan. Jan Remmelink mengatakan selain adanya ketiga teori tersebut, ia juga menyebutkan mengenai teori perjanjian37

Namun sebelum munculnya teori-teori tersebut, sebelumnya ada dua aliran utama, yakni aliran retributivisme dan aliran utilitarisme.

. Menurutnya, teori hukum kodrat dan perjanjian dipandang sebagai satu-satunya yang benar. Secara kodrati adalah wajar seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima kembali balasan yang setimpal, terhadap ketentuan kodrati demikian individu dianggap menundukkan diri.

38

1. Aliran Retributivisme

Aliran ini membenarkan hukum dengan dasar si terhukum memang layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti, yang secara sadar dilakukan. Aliran ini mempunyai kelemahan, berupa tidak dapat meyakini secara sosial bahwa setiap hukuman akan membawa konsekuensi positif pada masyarakat.

37

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-pasal dari KUHP Belanda dan


(47)

2. Aliran Utilitarisme

Aliran ini membenarkan hukuman dengan dasar prinsip kemanfaatan, yaitu bahwa hukuman akan mempunyai dampak positif pada masyarakat. Kelemahan teori ini yaitu tidak dapat mengakui bahwa penjatuhan hukuman semata-mata oleh karena kesalahanya dan bahwa hukuman itu merupakan kesebandingan retribusi.

Konflik antara kedua teori tersebut tidak teratasi. Para filsuf hukum percaya harus ada jalan tengah yaitu berupa penggabungan antara keduanya.

H.L.A. Hart berupaya mencari jalan tengah dari kedua kutub tersebut, dengan mengajukan tiga pertanyaan pokok berupa:39

1) Apakah dasar pembenaran praktek hukuman, dan bagaimana

distribusinya?

2) Siapa yang harus dihukum?

3) Berapa berat hukuman yang harus dijatuhkan?

Dalam pertanyaan ketiganya, Hart terkesan tidak jelas. Sehingga menimbulkan berbagai penafsiran tentang apakah jumlah hukuman harus diukur berdasarkan kerugian yang ditimbulkan, atau berdasarkan efek-efek sosial yang ditimbulkan menurut perbandingan antara perlindungan yang harus diberikan kepada masyarakat dengan kerugian yang ditimbulkan dan besarnya kesalahan. Hingga kemudian muncul tiga teori pembaharuan mengenai pemidanaan, yakni berupa:

39


(48)

1. Teori Pembalasan (Absolut)

Teori yang muncul pada akhir abad 18 ini menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas. Tujuan pidana sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatannya.

Pada masyarakat Jawa ada semboyan “hutang pati nyaur pati”, yang maksudnya orang yang membunuh harus juga dibunuh. Dalam Kitab Suci Al-Qur’an Surah An Nisaa ayat 93, menyatakan “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”40

a). Ditujukan kepada pelakunya (sudut subyektif dari pembalasan); . Dari kutipan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya terkandung makna pembalasan yang setimpal di dalam suatu pidana.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:

b). Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).

2. Teori Tujuan (Relatif)

Berdasarkan pendirian dan azas bahwa tertib hukum perlu diperhatikan, akibatnya tujuan pidana adalah untuk prevensi terjadinya kejahatan. Pidana


(49)

adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib diperlukan pidana.41

a. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);

Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tersebut, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

b. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering); c. Bersifat membinasakan (onechadelijk maken). Teori ini dibedakan dua, yaitu

1). Pencegahan umum (Preventie General)

Bersifat murni, semua teori pemidanaan harus ditujukan untuk menakut- nakuti semua orang supaya tidak melakukan kejahatan, dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan. Teori ini banyak dianut oleh negara-negara di Eropa Barat sebelum Revolusi Perancis (1789-1794). Namun kemudian teori ini banyak ditentang , diantaranya oleh

Beccaria (1738-1794) dan Von Feuerbach (1775-1833).

Beccaria menginginkan agar pidana mati dan pidana penyiksaan yang dilakukan secara kejam, dihapuskan dan diganti dengan pidana yang memperhatikan perikemanusiaan. Penjatuhan pidana yang berupa penderitaan itu jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan pelaku yang dipidana tersebut.

Sedangkan Von Feuerbach dengan teorinya “psychologische zwang”, menyatakan sifat menakut-nakuti dari pidana itu, bukan pada

41


(50)

penjatuhan pidananya tetapi pada aturan ancaman pidananya yag diketahui oleh khalayak umum. Ancaman pidana dapat menimbulkan tekanan atau pengaruh kejiwaan bagi setiap orang untuk menjadi takut melakukan kejahatan. Teori ini muncul kembali pada azas legalitas, karena Von yang mengeluarkan ungkapan “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”. Namun teori ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:42

• Terhadap pelaku yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan dipidana serta menjalaninya, maka perasaan takut terhadap ancaman pidana tersebut menjadi sedikit atau bahkan hilang;

• Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu bisa saja tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Karena begitu sulit untuk terlebih dahulu menentukan batas-batas beratnya pidana yang diancamkan, agar sesuai dengan perbuatan yang diancam pidana tersebut;

• Terhadap orang-orang atau penjahat yang picik (bodoh) atau yang tidak mengetahiu perihal ancaman pidana itu, maka sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.

2. Pencegahan khusus (Preventie Special)

Bertujuan mencegah niat buruk pelaku (dader) melakukan pengulangan perbuatannya atau mencegah pelanggar melaksanakan


(51)

perbuatan jahat yang direncanakannya. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:

• Menakut-nakutinya;

• Memperbaikinya, dan

• Membuatnya menjadi tidak berdaya.

Pendukung teori ini adalah Van Hamel (1842-1917), yang berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan dan alasan dari penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus, yaitu:

• Pidana adalah melulu untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang cukup dapat dicegah dengan cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia tidak melakukan niat jahatnya;

• Apabila tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan penjatuhan pidana, maka penjatuhan pidana harus dapat memperbaiki dirinya (reclasering);

• Apabila tidak dapat lagi diperbaiki, maka penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau membuatnya tidak berdaya;

• Tujuan satu-satunya dari pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum di dalam masyarakat.


(52)

3. Teori Gabungan

Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan, melahirkan teori ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsure-unsur pembalasan dan mempertahankan ketertiban dalam masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur lainnya, maupun pada semua unsur yang ada43

1). Teori yang menitikberatkan pada pembalasan

.

Vos menerangkan bahwa di dalam teori gabungan terdapat tiga aliran, yaitu, teori yang menitikberatkan pada pembalasan, teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum, dan teori yang menganggap sama antara keduanya.

Pendukung teori ini adalah Pompe, yang berpandangan bahwa pidana adalah pembalasan pada pelaku, juga untuk mempertahankan tata tertib hukum, supaya kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang bersifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.

2). Teori yang menitikberatkan pada tata tertib hukum

Menurut pendukung teori ini, Thomas Aquino, yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada pelaku, dan kesalahan (schuld) itu hanya


(53)

terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Sifat membalas dari pidana merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan pidana, sebab tujuan pidana adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.

3). Teori gabungan yang menitikberatkan sama antara pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat

Penganutnya adalah De Pinto. Selanjutnya oleh Vos diterangkan, karena pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai suatu hukum pidana yang adil, dengan ide pembalasannya yang tidak mungkin diabaikan baik secara negatif maupun secara positif.

Sedangkan Simons, mempergunakan jalan pikiran bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya, dan secara prevensi khusus terletak pada sifat pidana menakutkan, memperbaiki dan membinasakan serta selanjutnya secara absolut pidana itu harus disesuaikan dengan kesadaran hukum anggota masyarakat.44

• Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

Di Indonesia, tujuan pemidanaan tidak pernah diatur secara eksplisit dalam Undang-undang hukum pidana, namun dalam Rancangan KUHP dapat dijumpai, yaitu:

44


(54)

• Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat;

• Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

• Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Selain adanya teori-teori mengenai pembenaran hukum pidana tersebut, terdapat juga pandanga-pandangan negatif yang menganggap hukum pidana itu sebagai ketidak adilan. Yakni keberatan dari sisi religius, keberatan biologis, dan keberatan sosial.

1). Keberatan Religius

Beranggapan bahwa pengenaan pidana (pengenaan derita dengan sengaja oleh pihak penguasa) tidak dapat dibenarkan. Leo Tolsoi, berpendapat bahwa kita tidak mungkin menghukum dengan nurani yang bersih. Mereka yakin bahwa orang-orang jahat janga dilawan atau ditolak, orang seperti itu harus dikasihi.

2). Keberatan Biologis

Pandangan yang dikemukakan oleh Max Schlapp dalam bukunya The New Criminology, bahwa gagasan pertanggungjawaban harus ditolak dan pidana dianggap sebagai suatu campur tangan yang buruk. Menurutnya, semua perbuatan asosial bersumberkan dari kerja tidak


(55)

sempurna kelenjar-kelenjar endokrin, dan sebab itu memandang hukum pidana sebagai a system on ignorance.

3). Keberatan Sosial

Keberatan ini mempertanyakan kewenangan negara untuk menghukum, karena negara sendiri yang secara langsung maupun tidak menetapkan syarat-syarat atau batasan kriminalitas. Lacassagne, salah satu pendukung aliran sosiologis Perancis menyatakan: tout le monde est coupable du crime, excepte le criminel (tiap orang sanggup melakukan delik atau dinyatakan bersalah, terkecuali si penjahat).

1). Sebelum berlakunya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba.

Pada awalnya, Narkoba digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, peruntukan Narkoba mengalami perluasan hingga kepada hal-hal yang negatif. Didunia kedokteran, Narkoba banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi, mengingat di dalam Narkoba terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran serta kesadaran pasien. Oleh karena itu, agar penggunaan Narkoba dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya harus diawasi secara ketat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkoba, yang menyebutkan: Pengaturan Narkoba bertujuan untuk:45

1). Menjamin ketersediaan Narkoba untuk kepentingan

45


(56)

pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu penegtahuan; 2). Mencegah terjadinya penyalahgunaan Narkoba;

3). Memberantas peredaran gelap Narkoba.

Pentingnya peredaran Narkoba diawasi secara ketat dikarenakan saat ni pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu, melalui p erkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran Narkoba s udah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh peredaran Narkoba lambat laun berubah menjadi sentra peredaran Narkoba. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk dilepaskan ketergantungannya.

Harus diakui bersama, masalah penyalahgunaan Narkoba merupakan salah satu persoalan yang tidak mudah untuk ditemukan solusinya. Kondisi ini tidak hanya ditemukan dinegara berkembang seperti Indonesia. tetapi juga di negara-negara maju seperti, Amerika Serikat, Australia dan negara-negara di benua Eropa. Peredaran Narkoba secara illegal harus segera ditanggulangi mengingat efek negatif yang akan ditimbulkan tidak saja pada penggunanya tetapi juga bagi keluarga, komunitas hingga bangsa dan negara.

Sebelum lahirnya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba, , Narkoba diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1966 tentang Narkoba (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36,


(57)

Tambahan Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3086), namun undang - undang ini tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya karena adanya perkembangan kualitas kejahatan Narkoba yang sudah menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia. Pengguna Narkoba sangat beragam dan menjangkau semua lapisan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, orang awam hingga artis bahkan hingga pejabat publik.

Penanganan penyalahgunaan Narkoba dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional. Pemberian perlindungan kepada korban Narkoba, tentu tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada pemerintah, peran serta masyarakat pun diharapkan ada salah satunya diterimanya kembali mantan para pengguna dalam lingkungannya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya diskriminatif bahkan dengan memposisikan mereka sebagai warga kelas dua yang harus dijauhi.

2). Setelah berlakunya UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkoba.

UU Narkoba yang disahkan pada 14 September 2009 (Undang-undang No. 35 tahun 2009) merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang Narkoba. Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak dapat mencegah tindak pidana Narkoba yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Adapun strategi implementasi UU No.35 tahun 2009 tentang Narkoba antara lain:46

46

http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_release &id=68&mn=2&smn=e


(58)

1. Bersama instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa ,dan Negara melaksanakan pencegahan, pemberdayaan masyarakat,pemberantasan,rehabilitasi,hukum dan kerjasama dibidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba,psikotropika,precursor dan bahan asiktif lainnya.

2. Peningkatan daya tangkal (Imunitas) masyarakat terhadap bahaya penyalahgunaan Narkoba.

3. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.

4. Peningkatan angka pemulihan penyalahguna dan/atau pecandu Narkoba dan pengurangan angka relapse.

5. Peningkatan pemberantasan sindikat jaringan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.

6. Peningkatan Kualitas produk hukum dan kerjasama dibidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba.

7. Peningkatan akuntabilitas kinerja dan keuangan Badan Narkoba Nasional (BNN).

Namun secara substansial, UU Narkoba yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar. 47


(59)

Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan Narkoba untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat menyulitkan pengguna Narkoba yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna Narkoba untuk mendapatkan narktotika secara ilegal.

b. Pengobatan dan Rehabiltasi.

Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkoba yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah . Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan Narkoba tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. 48

UU No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu Narkoba untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh

48


(60)

instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri. Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial?

c. Kewenangan BNN dan Penyelidikan.

UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor Narkoba. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan Narkoba dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan Narkoba, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran Narkoba, dan prekusor Narkoba beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.

Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana Narkoba dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN?


(61)

Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.49

d. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkoba.

Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu Narkoba, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna Narkoba baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana Narkoba untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan:

 Apakah penggunaan kata “dapat” menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu Narkoba menjalani proses rehabilitasi?

 Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?

e. Peran Serta Masyarakat.

49


(62)

Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Narkoba. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu Narkoba.

Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan Narkoba tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.

f. Ketentuan Pidana

UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan Narkoba. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan Narkoba. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang


(63)

berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana Narkoba.

Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut:

1). Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana Narkoba .

Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana Narkoba, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.

2). Penggunaan sistem pidana minimal.

Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan Narkoba. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.


(64)

3). Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat

UU No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan

anaknya yang menggunakan Narkoba untuk mendapatkan

rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah Narkoba.

UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana Narkoba. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana Narkoba. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna Narkoba. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana Narkoba. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu Narkoba. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan Narkoba atau peredaran gelap Narkoba. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil.


(1)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi.

5. Bapak M.Eka Putra, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi.

6. Bapak / Ibu Dosen dan seluruh Staff Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh teman – teman ekstension Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2008 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk memperluas cakrawala berfikir kita semua.

Medan, Desember 2010 Penulis


(2)

TINJAUAN KRIMINOLOGIS DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA AKIBAT PENGARUH NARKOBA SUNTIK DI KOTA MEDAN

(STUDI DI POLRESTA MEDAN) * Eddy Purwono

** Nurmalawaty, SH, M.Hum *** M. Eka Putra, SH, M.Hum

Masalah Penggunaan Narkoba Suntik (IDU’s) menurut asumsi umum serta beberapa hasil pengamatan menunjukan sebab terjadinya tindakan kriminalitas,masalah ini merupakan realita sosial yang selalu menarik dan menuntut perhatian yang serius dari para orang tua maupun pihak Kepolisian dalam rangka menciptakan suasana keamanan dan ketertiban di masyarakat yang kondusif. Sebenarnya Narkotika,Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) bukanlah barang baru bagi umat manusia,sejak jaman dulu manusia sudah mengenal NAPZA yang digunakan untuk penghilang rasa sakit (anastesi) ataupun untuk keperluan pengobatan (Kedokteran) lainnya.

Di Indonesia telah ada Undang-Undang yang mengatur tentang penggunaan NAPZA (Undang Undang No.5 Tahun 1997) ,dimana penggunaan NAPZA diluar yang telah ditentukan adalah dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana. Karena penggunaan NAPZA khususnya yang digunakan dengan cara disuntikkan kedalam tubuh baik bagi anak-anak maupun orang dewasa dapat menimbulkan adiksi (ketagihan) dan dependensi (ketergantungan). Penyalahgunaan jenis NAPZA ini dapat berakibat fatal,dimana kefatalan dalam penyalahgunaan NAPZA jenis suntik (IDU’s) akan menimbulkan gangguan mental organik yang disebabkan langsung oleh NAPZA jenis suntik (IDU’s) pada


(3)

neuro transmitter sel-sel saraf pusat (otak) dan lama kelamaan seseorang akan merasa ketagihan dan tanpa disadari akan bertambah dosis,sampai pada dosis keracunan,mabuk dan katagihan (Sakaw). Keadaan Sakaw tersebut yang sering kali memicu dilakukannya tindakan pidana untuk memenuhi kebutuhan akan NAPZA.

Pada tingkat kecanduan inilah akan muncul berbagai macam permasalahan,khususnya yang disebabkan oleh perilaku pengguna Narkoba suntik untuk memenuhi kebutuhannya akan Narkoba. Tidak jarang mereka melakukan tindak pidana berupa pencurian,penipuan dan kejahatan lain untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk membeli narkoba. Skripsi ini bertujuan untuk membahas permasalahan yang timbul,antara lain:

1. Bagaimanakah kajian hukum pidana (secara kriminologis) terhadap pelaku

tindak pidana yang disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik ditinjau dari UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan kaitannya dengan SEMA No.4 Tahun 2010.

2. Bagaimana peranan Kepolisian dalan menangani tindak pidana yang

disebabkan penggunaan Narkoba suntik,khususnya yang berada diwilayah hukum Kepolisian Resort Kota Medan.

Penulis mencoba mengangkat persoalan tersebut diatas dengan mengadakan penelitian di Polresta Medan.Dari penelitian tersebut akan didapatkan beberapa kesimpulan antara lain dari faktor intern terdiri dari individu dan keluarga,termasuk faktor ekstern berupa pengaruh lingkungan sekitar tempat tinggal yang sangat besar peranannya membentuk perilaku,serta peranan pihak


(4)

Kepolisian dalam upaya penanggulangan penggunaan NAPZA jenis suntik (IDU’s). Karena banyaknya kasus tindak pidana yang dilakukan oleh pengguna Narkotika jenis suntik (IDU’s),sehingga ditemukan pengguna Narkoba jenis Suntik yang dipidana bukan karena yang bersangkutan pengguna Narkoba,tapi karena telah melakukan tindak pidana lain untuk memenuhi kebutuhannya akan Narkoba jenis suntik tersebut.

* Penulis

** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ………...……….…. i

KATA PENGANTAR ………. iv

ABSTRAKSI ... v

DAFTAR ISI ………... vi BAB I : PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang. ... B. Permasalahan ... C. Tujuan dan manfaat Penulisan... D. Keaslian Penulisan ... E. Tinjauan Kepustakaan ...

1. Pengertian Kriminologi ... 2. Pengertian Narkoba dan Jenis-jenis Narkoba... 3. Teori-teori Kriminologi ... 4. Latar belakang penggunaan Narkoba Suntik... 5. Akibat Penggunaan Narkoba Suntik... F. Metode Penelitian ... G. Sistematika Penulisan ... BAB II : TINJAUAN KRIMINOLOGIS DAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA SUNTIK (IDU’s) ...

A. Pandangan Kriminologi ... 1) Faktor-faktor yang mendorong kejahatan...


(6)

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik. ... 3) Beberapa tindak pidana akibat pengaruh Narkoba Suntik...

B. Pengaturan Hukum yang berkaitan dengan pelaku Tindak

Pidana Narkoba Suntik...

1) Sebelum berlakunya Undang - Undang No.35

Tahun 2009 Tentang Narkotika... 2) Setelah berlakunya Undang - Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika...

3) Dalam SEMA No.4 Tahun 2010 ……….

BAB III : PERANAN KEPOLISIAN DALAM MENANGANI PELAKU TINDAK PIDANA NARKOBA SUNTIK (IDU’s) ……….

1) Tinjauan Satuan Narkoba di Polresta Medan. …………

2) Jenis - Jenis Kegiatan yang dilakukan Satuan Narkoba Polresta Medan……… 3) Hambatan yang ditemui dalam menangani pelaku tindak Pidana Narkoba Suntik. ... BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... A. KESIMPULAN ... B. SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...