BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja - Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Medik Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Kerja

  Kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk didalamnya masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi psikologis (Sudarmo, 1997). Kenyataan menunjukkan bahwa orang mau bekerja bukan hanya mencari dan mendapatkan upah saja, akan tetapi dengan bekerja dia mengharapkan akan mendapatkan kepuasan kerja.

  Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau sikap umum terhadap perbedaan yang diterima dan yang seharusnya diterima serta terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja. Kepuasan kerja merupakan sikap seseorang terhadap pekerjaanya. Dengan kata lain, kepuasan kerja merupakan respon afektif seseorang terhadap pekerjaan. Pandangan tentang kepuasaan kerja adalah bahwa individu menghitung sejauh mana pekerjaan itu menghasilkan hasil bernilai. Diasumsikan bahwa individu memiliki sejumlah penilaian tentang berapa banyak mereka menghargai hasil tertentu serta gaji, kondisi lingkungan kerja, promosi yang baik. Kepuasan kerja adalah hal penting dalam teori dan praktek karena memengaruhi kapasitas kerja agar menghasilkan kinerja yang efisien dan dapat memenuhi pekerjaan dengan sukses (Amstrong dan Murlis, 2004).

  Organisasi yang memiliki lebih banyak karyawan yang puas cenderung menjadi lebih efektif dibandingkan dengan organisasi-organisasi yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas. Seorang karyawan akan memberikan pelayanan dengan sepenuh hatinya kepada organisasi sangat tergantung pada apa yang dirasakan karyawan itu terhadap pekerjaan rekan kerja, dan supervisor. Perasaan dan kepuasan karyawan memengaruhi perkembangan pola interaksi rutin. Kepuasaan dan sikap karyawan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkah laku dan respon mereka terhadap pekerjaan dan melalui tingkah laku serta respon inilah dapat dicapai efektifitas organisasional.

  Robbins (1996) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, dimana dalam pekerjaan tersebut seseorang dituntut untuk berinteraksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijaksaan organisasi, memenuhi standar kinerja.

  Menurut Cherington dalam Darmawan (2008) kepuasan kerja terutama ditentukan oleh jenis, jumlah dan harapan penghargaan. Berbagai karakteristik yang a. Karakteristik pekerjaan

  Karakteristik yang memengaruhi kepuasan kerja adalah kejelasan peran, keluasaan dalam kerja dan penghargaan intrinsik. Kejelasan peran menyebabkan individu mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya. Individu akan lebih berhasil dalam pekerjaan apabila ia mengetahui apa yang diharapkan dan memahami tujuan tugas dengan jelas. Keleluasaan dalam kerja menekankan perhatian pada otonomi, variasi tugas, tanggung jawab dan umpan balik dari pekerjaan. Penghargaan intrinsik memiliki dampak kuat untuk timbulnya kepuasan kerja. Penghargaan intrinsik berkaitan dengan psikis atau perasaan individu yang merupakan akibat dari kinerjanya.

  Faktor–faktor pekerjaan yang memberi sumbangan terhadap kepuasan kerja diantaranya adalah manajemen, supervisi langsung, lingkungan sosial, komunikasi, keamanan, pekerjaan yang monoton, penghasilan.

  b. Karakteristik organisasi Pada karakteristik organisasi terdapat dua variabel yang berhubungan dengan kepuasan kerja yaitu keterlibatan dalam pembuatan keputusan organisasi dan tingkatan pekerjaan. Individu yang dilibatkan dalam pembuatan keputusan organisasi mendapatkan kepuasan kerja lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang tidak terlibat.

  c. Karakteristik individu Karakterisitk individu yang berhubungan dengan kepuasan kerja adalah usia,

2.2 Jasa Medik bagi Petugas Rumah Sakit

2.2.1 Pengertian

  Jasa medik atau imbalan jasa (compensation) mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada upah atau gaji. Imbalan mencakup semua pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pekerja dan diterima atau dinikmati oleh pekerja, baik secara langsung (rutin) atau tidak langsung (Ruky, 2001). Wingrove (2003) menyatakan bahwa imbalan jasa merupakan penghasilan yang pemberiannya didasarkan pada berat ringannya tugas yang dilakukan. Imbalan jasa dari perusahaan yang diberikan kepada para pegawainya dalam bentuk uang atau faslitas yang dapat disesuaikan dengan nilai uang sesuai dengan kinerja pegawai dalam pencapaian tujuan perusahaan.

  Handoko (2003) mengartikan kompensasi sebagai segala sesuatu yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Melalui kompensasi inilah suatu lembaga meningkatkan prestasi kerja, motivasi dan kepuasan kerja karyawan. Kompensasi sebagai pengaturan keseluruhan pemberian balas jasa bagi pegawai dan para manajer baik berupa finansial maupun barang jasa pelayanan yang diterima oleh setiap karyawan.

  Menurut Hasibuan (2007), kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang atau barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Pada dasarnya manusia

  

itulah seorang karyawan mulai menghargai kerja keras dan semakin menunjukkan

loyalitas terhadap perusahaan dan karena itulah perusahaan memberikan penghargaan

terhadap prestasi kerja karyawan yaitu dengan jalan memberikan imbalan jasa.

2.2.2 Tujuan Pemberian Imbalan Jasa

  Manajemen imbalan tidak dibatasi pada pemberian imbalan finansial misalnya: upah atau gaji, bonus, komisi dan pembagian laba, namun juga yang berkaitan dengan imbalan non finansial yang memuaskan kebutuhan psikologis karyawan akan variasi dan tantangan pekerjaan, prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kesempatan untuk memperoleh pengembangan keterampilan dan karir, dan pelaksanaan pengaruh yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Untuk mempertahankan dan menjaga tingkat prestasi kerja, maka motivasi dan komitmen perlu ditingkatkan (Sofyandi, 2008).

  Ruky (2001) menyatakan bahwa tujuan utama dari kebijakan dan sistem penggajian perusahaan pada dasarnya adalah untuk memenuhi kewajiban yang bersifat normatif seperti yang dimuat dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri yang berlaku. Pada dasarnya ada empat tujuan utama yang dapat dicapai oleh perusahaan, yaitu:

  1. Mampu menarik tenaga kerja yang berkualitas baik dan mempertahankan mereka agar tidak pindah ke perusahaan lain. Perusahaan bukan hanya merasa perlu memenuhi kewajiban normatifnya, tetapi sekaligus ingin agar tenaga profesional yang baik yang mereka butuhkan untuk menjalankan perusahaan tertarik untuk

  2. Memotivasi tenaga kerja untuk berprestasi. Tenaga kerja harus memberikan kinerja yang baik kepada perusahaan sesuai kemampuan mereka. Untuk itu kebijakan dan sistem imbalan harus dirancang sedemikian rupa agar mampu merangsang motivasi kerja.

  3. Mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia, perusahaan secara bertahap melakukan pergantian teknologi dan memperbaharui proses dan sistem operasinya karena itu kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan ke standar tertentu.

  4. Membantu mengendalikan biaya imbalan tenaga kerja (labor cost). Pimpinan perusahaan akan memantau perkembangan peningkatan imbalan tenaga kerja (labor cost), menilai efektivitasnya berdasarkan tujuan dan mengevaluasi apakah perkembangan biaya seimbang dengan peningkatan produktivitas yang diharapkan.

  Sofyandi (2008) menyatakan bahwa tujuan diadakannya pemberian imbalan adalah untuk menjalin ikatan kerjasama antara pimpinan dengan karyawan, artinya bahwa dengan terjalinnya kerjasama secara formal akan terbentuk komitmen yang jelas mengenai hak dan kewajiban yang harus dipikul masing-masing, memberikan kepuasan kepada karyawan karena melalui kepuasan yang dirasakan para karyawan, maka karyawan akan memberikan prestasinya yang terbaik, untuk memotivasi karyawan dalam bekerja, agar karyawan bersemangat dalam bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya, dan untuk menciptakan disiplin kerja bagi karyawan.

  Setiap pemberian imbalan (compensation) harus mampu mendorong Sofyandi, 2008) bahwa orang mau bekerja karena adanya empat faktor, yaitu the

  

desire to live artinya orang mempunyai keinginan untuk hidup merupakan keinginan

  yang utama. Orang bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan tetap mampu untuk bertahan hidup. The desire for possession artinya keinginan untuk memiliki sesuatu merupakan kebutuhan berikutnya yang menyebabkan mengapa orang mau bekerja.

  

The desire for power artinya adanya keinginan untuk memiliki kekuasaan, dan the

  

desire for recognition artinya adanya keinginan untuk mendapat pengakuan dari

pihak lain.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Besarnya Imbalan

  Sofyandi (2008) menyatakan bahwa organisasi atau perusahaan dalam menentukan besarnya imbalan sangat dipengaruhi oleh:

  1. Adanya permintaan dan penawaran tenaga kerja Permintaan tenaga kerja artinya pihak perusahaan sangat membutuhkan tenaga kerja, maka secara otomatis imbalan relatif tinggi. Penawaran tenaga kerja artinya pihak individu yang membutuhkan pekerjaan, maka tingkat imbalan relatif lebih rendah. Mengacu pada hukum ekonomi pasar bebas, kondisi dimana penawaran

  

(supply) tenaga kerja lebih dari permintaan (demand) akan menyebabkan

  rendahnya imbalan yang diberikan. Sebaiknya bila kondisi pasar kerja menunjukkan besarnya jumlah permintaan tenaga kerja sementara penawaran hanya sedikit, maka imbalan yang diberikan akan besar. Besarnya nilai imbalan yang ditawarkan suatu organisasi merupakan daya tarik calon pegawai untuk besar dari lapangan kerja yang tersedia, besarnya imbalan sedikit banyak menjadi terabaikan.

  2. Kemampuan dan kesediaan perusahaan membayar Bahwa ukuran besar-kecilnya imbalan yang akan diberikan kepada karyawan akan sangat tergantung kepada kemampuan finansial yang dimiliki perusahaan dan seberapa besar kesediaan dan kesanggupan perusahaan menentukan besarnya imbalan untuk karyawannya. Kemampuan organisasi untuk melaksanakan imbalan tergantung pada dana yang terhimpun untuk keperluan tersebut. Terhimpunnya dana tentunya sebagai akibat prestasi-prestasi kerja yang telah ditujukan oleh karyawan. Makin besarnya prestasi kerja maka makin besar pula keuntungan organisasi/perusahaan. Besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan akan memperbesar himpunan dana untuk imbalan, maka pelaksanaan imbalan akan semakin baik.

  3. Serikat atau organisasi karyawan Karyawan akan membentuk suatu ikatan dalam rangka perlindungan terhadap kemungkinan ketidakadilan pimpinan dalam memberdayakan karyawan. Dalam hal ini muncul rasa yang menyatakan bahwa perusahaan tidak akan bisa mencapai tujuannya tanpa ada karyawan sehingga para karyawan yang ikut bergabung dalam serikat dapat memengaruhi pelaksanaan atau penetapan imbalan dalam suatu perusahaan. Serikat tenaga kerja dapat menjadi simbol kekuatan karyawan dalam menuntut kesejahteraan dari perusahaan. Keberadaan serikat perlu mendapatkan

  4. Produktivitas kerja/prestasi kerja karyawan Kemampuan karyawan dalam menghasilkan prestasi kerja akan sangat memengaruhi besarnya imbalan yang akan diterima karyawan. Produktivitas kerja dipengaruhi oleh prestasi kerja. Prestasi kerja merupakan faktor yang diperhitungkan dalam menetapkan imbalan. Pengaruh ini memungkinkan karyawan pada posisi dan jabatan yang sama mendapatkan imbalan yang berbeda.

  Pemberian imbalan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan.

  5. Biaya hidup (cost of living) Besarnya imbalan terutama upah/gaji harus disesuaikan dengan besarnya biaya hidup (cost of living). Yang dimaksud biaya hidup disini adalah biaya hidup minimal. Paling tidak imbalan yang diberikan harus sama dengan atau di atas biaya hidup minimal. Jika imbalan yang diberikan lebih rendah dari biaya hidup minimal, maka yang terjadi adalah proses pemiskinan. Misalnya tingkat upah di daerah atau kota terpencil akan lebih kecil dibandingkan dengan tingkat upah di kota-kota besar.

  6. Posisi atau jabatan karyawan Tingkat jabatan yang dipegang karyawan akan menentukan besar-kecilnya imbalan yang akan diterima, juga berat ringannya beban dan tanggung jawab suatu pekerjaan.Posisi dan jabatan berbeda berimplikasi pada perbedaan besarnya imbalan. Semakin tinggi posisi dan jabatan seseorang dalam organisasi, semakin Hal tersebut berlaku sebaliknya.

  7. Tingkat pendidikan dan pengalaman kerja Pendidikan dan pengalaman berperan dalam menentukan besarnya imbalan.

  Semakin tinggi pendidikan dan semakin banyak pengalaman kerja, maka semakin tinggi pula imbalan yang diterima. Pertimbangan faktor ini merupakan wujud penghargaan organisasi pada keprofesionalan seseorang. Pertimbangan ini juga dapat memacu karyawan untuk meningkatkan pengetahuannya.

  8. Sektor pemerintah Dalam kaitannya dengan imbalan, pemerintah menentukan upah minimum, jam kerja/hari, untuk pria dan wanita, pada batas umur tertentu. Dengan peraturan tersebut pemerintah menjamin berlangsungnya proses pemakmuran bangsa hingga dapat mencegah praktek-praktek organisasi yang dapat memiskinkan bangsa.

  Pemerintah sebagai pelindung masyarakat berkewajiban untuk menertibkan sistem imbalan yang ditetapkan perusahaan/organisasi, serta instansi-instansi lainnya, agar karyawan mendapatkan imbalan yang adil dan layak, seperti dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam hal pemberian upah minimum.

2.2.4 Sistem Pembagian Jasa Medik

  Salah satu bagian penting dalam keseluruhan proses pengelolaan sumber daya manusia dalam setiap organisasi adalah tercipta dan terpeliharanya sistem imbalan yang baik. Menurut Schuler dalam Nofrinaldi dkk. (2006) prinsip sistem pemberian pembayarannya transparan berdasarkan alat yang akurat dan senantiasa berkelanjutan (konsisten) dan diperbaharui. Sistem imbalan yang baik adalah suatu sistem pemberian balas jasa kepada para pegawai yang didasarkan pada paling sedikit empat prinsip, yaitu:

  1. Prinsip Keadilan, yaitu imbalan yang diberikan kepada para pegawai sudah memperhitungkan alat-alat pembanding yang digunakan oleh para pegawai dalam organisasi yang bersangkutan. Alat pembanding pertama, diri sendiri, berarti bahwa setiap pegawai baru membawa serta harapan tertentu mengenai berbagai hal, termasuk imbalan, yang menurut persepsinya layak diterimanya. Dengan pendidikan atau pelatihan yang pernah ditempuh dan diselesaikan, pengetahuan, keterampilan, bakat dan pengalaman yang dibawanya ke dalam organisasi, ia berharap menerima sejumlah imbalan. Alat pembanding kedua, orang lain dalam organisasi yang sama, dan alat pembanding ketiag adalah orang lain dalam organisasi yang berbeda. Sedangkan Alat pembanding ketiga adalah imbalan yang diterima oleh orang lain di organisasi lain tetapi dengan sifat pekerjaan, tingkat jabatan, kedudukan dan pangkat yang sama. Dalam lingkungan pemerintahan hal ini tidak merupakan persoalan karena, sistem imbalan bagi para pegawai pemerintah sudah diatur secara nasional.

  Menurut Handoko (2001) perusahaan harus memperhatikan prinsip keadilan dalam kompensasi dari perusahaan, persepsi keadilan dipengaruhi oleh dua faktor : a. Rasio kompensasi dengan masukan-masukan (input) seseorang yang berupa tenaga, pendidikan, pengalaman, latihan, daya tahan dan lain sebagainya b. Perbandingan rasio tersebut dengan rasio-rasio yang diterima orang lain dengan siapa kontak langsung selalu terjadi.

  Keadilan biasanya ada bila seorang karyawan memandang rasio penghasilannya terhadap masukan-masukan adalah seimbang, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan karyawan lain. Teori Keadilan yang didasarkan pada asumsi bahwa faktor utama dalam motivasi pekerjaan adalah evaluasi individu/penghargaan yang diterima. Individu akan termotivasi kalau mereka mengalami kepuasan dan mereka terima dari upaya dalam proporsi dan dengan usaha yang mereka pergunakan. Keadilan atau konsistensi internal berarti bahwa besarnya kompensasi harus dikaitkan dengan nilai relatif pekerjaan-pekerjaan.

  Keadilan atau konsistensi eksternal mengangkat pembayaran kepada para karyawan pada tingkat yang layak atau sama dengan pembayaran yang diterima para karyawan yang serupa di perusahaan-perusahaan lain. Ketidakpuasan sebagian besar karyawan terhadap besarnya kompensasi sering diakibatkan adanya perasaan tidak diperlakukan dengan adil dan layak dalam pembayaran mereka. Pada umumnya karyawan akan menerima perbedaan-perbedaan kompensasi yang berdasarkan pada perbedaan tanggungjawab, kemampuan, pengetahuan, ras, kelompok etnis, atau jenis kelamin, dilarang oleh hukum dan kebijaksanaan umum.

  2. Prinsip Kewajaran; Pegawai yang bekerja pada instansi pemerintah tidak berdasarkan motivasi mencari nafkah, melainkan karena pengabdian kepada bangsa dan negara, tetap ingin memuaskan berbagai kebutuhan secara wajar. Imbalan yang diberikan oleh pemerintah kepada para pegawainya relatif sama dengan imbalan yang diberikan oleh organisasi-organisasi lain dalam masyarakat, walaupun terdapat perbedaan yang tidak terlalu menonjol. Penerapan prinsip ini menjadi lebih penting lagi apabila diingat bahwa sebagai manusia biasa, para pegawai pemerintah tidak kebal terhadap godaan materi betapapun besarnya rasa pengabdiannya kepada pemerintah, bangsa dan negaranya.

  3. Prinsip Transparansi; Schuler dalam Nofrinaldi dkk. (2006) menyatakan bahwa masalah transparansi sangat penting sebab uang akan menimbulkan kepuasan dan motivasi kerja apabila transparan dalam pembayarannya, karena bila pekerja menerima imbalan/insentif yang tidak disertai perincian yang jelas hal semacam ini menimbulkan kecurigaan dan berakibat pada ketidakpuasan. Keterbukaan pimpinan dalam pengelolaan keuangan organisasi akan meningkatkan rasa kebersamaan staf dalam melaksanakan tugasnya.

  4. Prinsip Konsistensi; konsistensi berarti waktu pemberian dilakukan pada waktu yang telah ditetapkan pada setiap pemberian imbalan serta disesuaikan kebutuhan petugas.

  Imbalan dapat dipakai sebagai dorongan atau motivasi pada suatu tingkat perilaku dan prestasi, dan dorongan pemilihan organisasi sebagai tempat bekerja.

  Imbalan dapat memenuhi kebutuhan hubungan kerja, memuaskan kebutuhan, mengarahkan pada proses pembelajaran perilaku baru, dan mengarahkan seseorang pada pemilihan perilaku alternatif. Sistem imbalan yang dirancang oleh suatu organisasi harus mampu memacu motivasi kerja dari anggota organisasi agar dapat berprestasi pada tingkat yang tinggi. Dalam pemberian imbalan, harus diperhatikan faktor-faktor seperti keadilan, kemampuan organisasi, mengaitkan dengan prestasi, peraturan pemerintah, dan bersifat kompetitif (Ardana, Mujiati dan Sriathi, 2008).

  Imbalan jasa dapat dilihat sebagai sarana pemenuhan berbagai kebutuhan hidupnya karena kebutuhan pegawai terus berkembang dan dari sisi pandang lain para pegawai juga menyadari bahwa perusahaan mampu memproduksi sesuatu disebabkan oleh keberadaan serta karya nyata karyawan. Ketidakpuasan pegawai akan penghasilan yang diterima pada gilirannya memengaruhi produktivitas perusahaan secara umum, seperti penurunan prestasi kerja, tingginya absensi, keluh kesah, pemogokan dan bahkan juga keluarnya atu pindahnya karyawan ke perusahaan lain sampai harus ditutupnya kegiatan operasional perusahaan (Wingrove, 2003).

  Menurut Swansburg (2001), perawat pelaksana bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan aspirasinya dan tentunya menginginkan penghargaan ekonomis, peningkatan kedudukan, kekuatan, dan status. Penghargaan sekecil apapun yang diterima perawat pelaksana dapat menjadi motivasi dalam meningkatkan kinerjanya. prestasi kerja yang tinggi dalam menunaikan kewajibannya dalam pekerjaan dan jabatan yang dipangkunya sekarang, sekaligus sebagai pengakuan atas kemampuan potensi yang bersangkutan dalam menduduki posisi yang lebih tinggi di suatu organisasi.

  Dalam membahas remunerasi atau yang dikenal dengan istilah jasa medis dalam rumah sakit, perlu dipahami makna dan tujuan secara umumnya, yaitu : (1) memperoleh SDM yang qualified, (2) mempertahankan karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, (3) mendapatkan keunggulan kompetitif, (4) memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan, (5) menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan prestasi kerja, (6) mengendalikan biaya, (7) sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis rumah sakit, dan (8) memenuhi peraturan pemerintah.

  Pemahaman definisi jasa medis pada dasarnya adalah : besaran nilai jumlah uang yang harus diterima oleh tenaga medis sebagai kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya. Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan langsung) dan insentif (bonus, bagi hasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah dilakukan.

  Menurut Flippo (1997) remunerasi sesungguhnya adalah ”harga untuk jasa- jasa medis merupakan bentuk kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah diberikan/ dilakukan tenaga medis pada pasiennya, dan untuk memudahkan dalam pendistribusian maka remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal. Jasa medis yang dilakukan oleh tenaga medis pada hakikatnya berkaitan dengan layanan medis dokter terhadap pasiennya didalam rumah sakit, layanan tersebut dapat dilakukan dengan dukungan unit-unit penunjang lain baik unit penunjang langsung (rekam medik, radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi dan lain-lain) maupun unit penunjang tidak langsung (unit manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran, kebersihan dan lain-lain). Dari penjelasan diatas mudah dipahami bahwa layanan rumah sakit (hospital services ) merupakan hasil dari satu kerjasama berbagai unit/layanan bersama, dengan berbagai proporsi, kerja, risiko dan tanggung jawab. Beberapa unit penunjang langsung juga merupakan sumber pendapatan rumah sakit, oleh karenanya bentuk jasa layanan yang dilakukan tadi disebut sebagai jasa pelayanan rumah sakit.

  Terdapat berbagai cara dalam melakukan perhitungan untuk mendapatkan besaran nilai remunerasi jasa pelayanan, berikut dibawah ini adalah pedoman yang dapat digunakan dalam melakukan proses remunerasi:

  1. Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa sistem penggajian Pegawai Negeri Sipil adalah berdasarkan merit yang disebutkan dalam pasal. 7

  • Ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.

  2. Remunerasi harus dapat memacu pegawai untuk menggunakan dan memanfaatkan waktunya lebih banyak di rumah sakit dalam upaya melaksanakan optimalisasi pekerjaannya.

  3. Remunerasi harus memenuhi prinsip equity yang dikaitkan dikaitkan dengan kompetensi, prestasi dan besaran risiko yang dihadapi.

  4. Menggunakan pendekatan yang menitik-beratkan pada kombinasi Sistem Penilaian berdasar pada kemampuan pencapaian hasil/penyelesaikan tugas dan Penilaian berdasar pada keterampilan pelaksanaan tugas (performance based pay sistem and skill based pay system ).

2.2.6 Remunerasi Tenaga Keperawatan

  Tugas pelayanan kesehatan ( health care ) perawat dalam melakukan asuhan keperawatan akan menyebabkan dirinya berada pada posisi paling depan yang juga berisiko tinggi. Keberhasilan pada tiap asuhan medis akan sangat bergantung pada keberhasilan asuhan keperawatan, sulit sekali atau bahkan hampir tidak pernah ada asuhan medis di rumah sakit yang dilakukan tanpa dukungan asuhan keperawatan. Oleh karena itu secara umum remunerasi tenaga paramedis akan selalu mengikuti (congruence ) remunerasi tenaga medis dengan prosentase tertentu yang disepakati melalui pertimbangan besaran risiko, kesulitan kerja dan jenjang pendidikan.

  Disebabkan jasa pelayanan congruent dengan pelayanan aktif kepada masyarakat maka remunerasi tenaga lain dilakukan pertama-tama dengan selalu fungsi pelayanan (hospital services) yang dilakukan seseorang maka makin besar bobot yang diberikan kepadanya, makin kurang kaitannya (fungsi) seseorang dengan pelayanan maka makin berkurang pembobotannya. Pembobotan berikutnya adalah dengan perhatian terhadap jabatan, jenis ketenagaan (dalam fungsi yang sama tenaga PNS bobotnya lebih besar dibanding non PNS). Selanjutnya jenjang pendidikan, lama kerja dan prestasi kerja..

  Bagaimanapun metode dan cara yang ditempuh itu bukanlah masalah, yang terpenting pada akhir proses akan tercapai hasil yang berkesesuaian dan menjiwai semangat dari tujuan remunerasi itu sendiri. Salah satu kriteria yang menunjukkan bahwa tujuan remunerasi yang dilakukan telah tercapai adalah, bila hasil rumusan tersebut diaplikasikan dalam perhitungan jasa pelayanan akan menghasilkan personifikasi.

  Secara umum ketentuan tentang remunerasi mengacu kepada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa : (1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

  (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.

  (3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2.3 Jasa Medik di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

  Sebagai dasar dalam menata proses pemberian jasa medik, diperlukan sedikit pengetahuan dasar mengenai sistem dan azas dasar dari usaha “bisnis” rumah sakit.

  Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang berbeda dari layanan usaha jasa lain, karena selain memberikan jasa layanan sosial di bidang medis (pada masa lampau dikenal sangat lekat dengan nuansa sosial kemasyarakatan ketimbang profit

  

oriented ), pengelola rumah sakit harus tetap mampu menjaga kelangsungan bisnis rumah sakit (terutama bagi rumah sakit swasta). Dalam pengelolaan rumah sakit dapat saja terjadi konflik kepentingan berbagai pihak, yang dapat bersumber dari situasi eksternal rumah sakit (pengaruh pemilik, situasi politik, ekonomi, keamanan, kebijakan yang tidak kondusifl) ataupun pengaruh keadaan internal rumah sakit sendiri, seperti: (a) klasifikasi organisasi atau “status” rumah sakit masih masih belum jelas, (b) belum ada aturan dasar rumah sakit (hospital bylaws) yang berfungsi mengawasi pimpinan rumah sakit dan menjadi acuan bagi pimpinan rumah sakit dalam pengelolaan rumah sakit, (c) deviasi dari visi, misi dan tujuan rumah sakit yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja, (d) ketidakmampuan atau ketidakkompetenan (lack of skill or improper ) pimpinan RS, manajemen RS atau seluruh unsur rumah sakit dalam mengelola pelayanan (Depkes RI, 2001).

  Berkaitan dengan kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber daya (sumber daya finansial dan non finansial). Tuntutan

  

services ) membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan

  terhadap kualitas jasa layanan rumah sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok (Depkes RI, 2001).

2.4 Rumah Sakit

2.4.1 Definisi Rumah Sakit

  Rumah sakit merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan dua jenis pelayanan untuk masyarakat yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan administrasi. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit rawat inap, pelayanan kesehatan di rumah sakit saat ini tidak saja bersifat kuratif, tetapi juga (rehabilitative) pemulihan kesehatan, kuduanya dilakukan secara terpadu melalui upaya promotif dan preventif dengan demikian (Aditama, 2004). Rumah sakit merupakan suatu organisai pelayanan kesehatan yang paripurna, bukan hanya melayani individu yang sakit tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat agar kesehatan tetap terjaga seoptimal mungkin (Depkes RI, 2009).

  Rumah sakit merupakan institusi yang integral dari organisasi kesehatan dan organisasi sosial, berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan lengkap, baik kuratif maupun preventif bagi pasien rawat jalan dan rawat inap melalui kegiatan pelayanan kesehatan (Azwar, 2002)

  Rumah sakit memfasilitasi penyelenggaraan perawatan rawat inap, pelayanan observasi, diagnosa dan pengobatan aktif untuk individu dengan keadaan medis, bedah, kebidanan, penyakit kronis dan rehabilitasi ynag memerlukan pengarahan dan pengawasan dokter setiap hari serta perawatan kesehatan pribadi dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara efektif untuk kepentingan masyarakat (Wijono, 1999) Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan bersifat dasar, spesialitik dan sub spesialistik. Rumah sakit umum mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat. Rumah sakit umum mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan yang efektif dan efisien, mengutamakan penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien secara serasi dan terpadu. Untuk upaya tersebut fungsi praktis rumah sakit umum menyelenggarakan : pelayanan medis, pelayanan penunjang medis, pelayanan keperawatan ,pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, administrasi dan keuangan (Irawan, 2002).

  Organisasi rumah sakit mempunyai bentuk yang unik dan berbeda dengan organisasi lain. Rumah sakit mempunyai kekhususan yang lahir dari adanya hubungan yang terjadi antara medical staff beserta tenaga fungsional lain dan pihak yang direpresentasikan oleh manajemen harus mampu mengakomodasi otoritas keilmuan dan keahlian yang dimiliki oleh kelompok dokter dan perawat, dimana secara historis mereka memegang peran yang sangat besar menjamin berjalannya roda sistem pelayanan kesehatan yang dijalankan (Soedarmo, 2002).

2.5 Landasan Teori

  Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.

  Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi dilingkungan kerjanya. Robbins (1996) menyatakan kepuasan kerja tergantung kepada kesesuaian atau keseimbangan (equity) antara yang diharapkan dengan kenyataan yang diterima atau dirasakan. Indikasi kepuasan kerja biasanya dikaitkan dengan tingkat absensi, tingkat perputaran tenaga kerja, disiplin kerja, loyalitas dan konflik di lingkungan kerja.

  Misener et al (1996) menyatakan kepuasan kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersumber dari dalam diri pekerja itu sendiri, dari organisasi serta dari lingkungan seperti pada skema berikut ini.

  Petugas

Gambar 2.1 Kepuasan Kerja dan Faktor yang Memengaruhinya

  Sumber : diadopsi dari Misener et al. (1996)

  Menurut Misener et al. (1996) hubungan antara kepuasan dengan imbalan uang akan positif bila dipenuhi tiga dimensi yaitu : a. Keadilan pembayaran

  Keadilan pembayaran mengacu pada persepsi karyawan sejauh mana imbalan yang diterima merupakan jumlah yang sesuai jika dibandingkan dengan karyawan lainnya. Imbalan dianggap adil apabila sesuai dengan apa yang diberikan untuk organisasi.

  b. Tingkat kewajaran pembayaran Tingkat kewajaran pembayaran mengacu pada perbandingan jumlah imbalan yang mereka terima dengan keyakinannya seberapa besar yang seharusnya mereka terima. Apabila tidak sesuai dengan keyakinannya maka dianggap tidak wajar.

  c. Praktek administrasi pembayaran Praktek administrasi pembayaran mempunyai 5 langkah untuk praktek pemberian imbalan yaitu : (1) imbalan gaji yang diberikan agar sama dengan gaji karyawan organisasi sejenis, (2) senantiasa melakukan evaluasi pekerjaan untuk menentukan didukung oleh alat ukur yang akurat, (4) pelaksanaan pemberian kompensasi senantiasa diperbaharui, (5) pelaksanaan yang konsisten dan terbuka dapat membangkitkan kepercayaan karyawan. Dari langkah dalam praktek administrasi pembayaran terdapat 2 aspek yang perlu diperhatikan yaitu: transparansi dan konsistensi.

2.6 Kerangka Konsep

  Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, maka kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen

  Sistem Pembagian Jasa Medik Kepuasan Kerja Perawat

  • Keadilan

  Pelaksana

  • Kewajaran

  (Y)

  • Transparansi - Konsistensi

Dokumen yang terkait

Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Petugas Sistem Manajemen Kesehatan Lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2014

4 72 174

Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Medik Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana di RSUD dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan

2 59 93

Pengaruh Sistem Pembagian Jasa Medik Terhadap Kepuasan Kerja Perawat Pelaksana Di Rsud Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan

10 49 93

Pengaruh Sarana dan Prasarana Serta Kontak Personal terhadap Kepercayaan Pasien di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan

5 43 112

Pengaruh Pelatihan Dan Supervisi Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan

13 100 124

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja - Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Disiplin Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada Pt. Sumbetri Megah Medan

0 0 33

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Supervisi 2.1.1 Pengertian Supervisi - Efektivitas Pelatihan Supervisi Klinik Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD dr.H.Yuliddin Away Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan

0 0 20

a. Nama - Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Petugas Sistem Manajemen Kesehatan Lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2014

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit 2.1.1 Pengertian Rumah Sakit - Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Petugas Sistem Manajemen Kesehatan Lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2014

0 1 50

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Komitmen terhadap Kinerja Petugas Sistem Manajemen Kesehatan Lingkungan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2014

0 0 8