ANALISIS KASUS KDRT YANG DIALAMI IBU KAR

ANALISIS KASUS KDRT YANG DIALAMI IBU KARSIWEN
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM
SERTA PEMENUHAN DAN PERLINDUNGAN ATAS HAK-HAKNYA
Vina Ainin Salfi Yanti
[email protected]
Abstrak
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang biasa disingkat KDRT yang
marak terjadi tidak hanya dalam kalangan ekonomi menengah ke bawah,
namun juga dari kalangan ekonomi atas.Nampaknya tidak memandang dari
segi situasi ekonomi. Seorang perempuan sebagai korban kekerasan yang
mendapat perlakuan kasar dari suaminya harus menanggung sakit yang
diakibatkan perbuatan suaminya sendiri. Seorang perempuan dalam berumah
tangga juga memiliki hak-hak yang harus dilindungi. Dalam konteks
perlindungan HAM, sebagai manusia, perempuan juga memiliki hak yang sama
dengan manusia lainnya dimuka bumi ini, yakni hak-hak yang
melekat(inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu perempuan
tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Dalam konteks yang lebih
sempit, kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga karena faktor
dukungan sosial dan kultur(budaya) dimana istri dipersepsikan orang nomor
dua sehingga bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Melihat kekerasan
terhadap perempuaan yang banyak terjadi mematahkan asumsi yang berlaku

selama ini bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan. Melalui
Komnas Perempuan, diharapkan adanya pencegahan, penanggulangan, dan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan dalam
rumah tangga. Seorang perempuan korban kekerasan juga memiliki
pemenuhan dan perlindungan atas hak-haknya, karena dalam hal ini korban
kekerasan menjadi korban ganda yang jika tidak adanya penanggulangan
secara baik akan semakin membuat buruknya keadaan si korban atas apa
yang dialaminya.
Kata kunci : KDRT,rumah tangga, keluarga, Komnas Perempuan
PENDAHULUAN
Latar belakang
Keluarga sebagai lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia,
dimana dalam keluarga manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang
lain. Oleh karena itulah umumnya orang banyak menghabiskan waktunya
dalam lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial
yang ideal guna menumbuhkembangkan potensi yang ada pada setiap
individu. Namun dalam kenyataannya, keluarga sering kali menjadi wadah bagi
munculnya berbagai kasus kekerasan. Kekerasan merupakan isu utama
diseluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti
Indonesia. Dan bisa dikatakan, kekerasan terhadap perempuan memiliki tren

yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini tindakan yang banyak

dibicarakan masyarakat ialah tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Sebenarnya tindakan kekerasan tidak hanya terjadi pada kaum wanita, tetapi
pada laki-laki juga. Namun, tindakan kekerasan pada perempuan sangat rentan
terjadi. Hal ini dikarenakan posisinya yang lemah, atau sengaja dilemahkan,
baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kata kekerasan sepadan dengan
kata “violence” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau
invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang 1.
Maksudnya ialah kekerasan tidak hanya bersifat fisik seperti pemukulan,
pengeroyokan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan fisik lainnya, tetapi juga
pada sikap yang melecehkan dan melontarkan kata-kata yang tidak senonoh
atau menyakitkan hati, itu juga termasuk pada tindakan kekerasan juga.
Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh
karena itu, kekerasan merupakan kejahatan 2. Kekerasan dalam rumah tangga,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT), adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. UU PDKRT memberikan pemahaman yang lebih variatif
tentang jenis-jenis kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga
kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga 3. Pemaknaan jenis
kekerasan ini mengakomodasi pengalaman perempuan yang mengalami
kekerasan dan sejalan dengan definisi kekerasan dalam pasal 1 Deklarasi
Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yakni, setiap
perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau
psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di
depan umum maupun kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan
adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan
kenikmatan dan pengabaian hak asasi wanita atas dasar gender, sehingga
dapat menghambat tercapainya kesetaraan, kemajuan dan perdamaian. Setiap
bentuk kekerasan didefinisikan secara luas sehingga dapat mengakomodasi
berbagai penderitaan. Berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita dalam
rumah tangga terdiri atas empat jenis, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan
psikis/psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan di

dalam rumah tangga timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik dalam
rumah maupun di luar rumah. Satu kekerasan akan berbuntut pada kekerasan
lainnya. Kekerasan terhadap istri biasanya akan berlanjut pada kekerasan lain,
terhadap anak dan anggota keluarga lainnya. Kekerasan yang terjadi, yang
dilakukan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, jika ditelusuri dengan
saksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses pembelajaran dalam
1 Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia cetakan XII, Jakarta : Gramedia, 1983, hlm. 630
2 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi cetakan I, Bandung : PT. Eresco,
1992, hlm. 55
3 Lihat pasal 5 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PDKRT)

rumah tangga. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang
penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Kekerasan dalam rumah
tangga juga merupakan hal yang kompleks, tidak seperti halnya kejahatan
lainnya, dimana korban dan pelaku berada dalam hubungan personal, legal,
institusional serta berimplikasi sosial4. Secara keseluruhan, hadirnya budaya
patriarki yang berkembang di masyarakat dan kemudian mempengaruhi
pemahaman masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam menyikapi
dan memandang relasi keluarga yang terjadi sehingga menimbulkan

ketimpangan relasi bahwa suami mempunyai kuasa terhadap perempuan dan
anak, dan juga dalam memutuskan kebijakan keluarga. Budaya patriarki,
budaya yang dipengaruhi agama yang meletakkan perempuan sebagai warga
kelas dua, adat, dan tata nilai, hukum yang mendiskriminasikan perempuan
dengan laki-laki dan tak menghukum lelaki yang melakukan kekerasan
terhadap istrinya, dan sebagai kebiasaan dimana seperti melihat KDRT lebih
sebagai urusan rumah tangga yang tak boleh dicampuri.
Kronologi kasus
Pasangan suami istri yang bernama Karsiwen, seorang ibu rumah tangga
berumur 42 tahun yang beralamat di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu
Kulon, Kecamatan Genuk, Semarang dan suaminya, Kasmijan yang berumur 43
tahun. Pada awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan baik. Namun
sejak 14 tahun akhir, hubungan keduanya sudah tidak harmonis lagi. Setiap
kali pulang ke rumah, mereka selalu bertengkar dan dampaknya mereka tidak
lagi tinggal serumah. Puncaknya, pada Sabtu, 12 November 2011 sekitar pukul
08:15 WIB. Kasmijan mendatangi Karsiwen dengan marah-marah dan langsung
melakukan penganiayaan. Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu,
menendang dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban
hingga tak berdaya, Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Karsiwen. Akibat
penganiayaan tersebut, Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat

pinggul, wajah, dan kaki memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing
karena dibenturkan ke lantai. Atas kejadian ini, Karsiwen melaporkan Kasmijan
ke Polrestabes Semarang lantaran kekerasan rumah tangga yang dialaminya.
Kepada Mapolrestabes Karsiwen mengatakan bahwa dirinya sering dianiaya
dan mendapatkan berbagai siksaan serta pukulan dari suaminya jika sedang
marah. Karena itu, Karsiwen tak jarang mengalami luka-luka akibat dianiaya
suaminya itu.
Rumusan masalah
1. Bagaimana Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
menyikapi kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami Ibu
Karsiwen?
2. Bagaimana pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak Ibu Karsiwen
yang telah dirampas oleh suaminya?
3. Bagaimana perspektif hukum dan HAM terhadap kasus yang menimpa
Ibu Karsiwen?
4 Kathleen J. Ferraro, Woman Battering : More than Family Problem dalam Women, Crime and
Criminal Justice, Ed, Claire Renzetti, Roxburry Publishing Company, LA California, 2001, hlm.
135

PEMBAHASAN

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam menyikapi
kasus kekerasan seperti yang dialami Ibu Karsiwen
Sejumlah pengaduan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang
diterima oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tak jarang perempuan
menjadi korban KDRT, seperti halnya yang terjadi dan dialami Ibu Karsiwen,
melihat maraknya kekerasan tersebut Komnas Perempuan melakukan berbagai
hal, diantaranya: mengajak semua pihak meningkatkan perlindungan dan
layanan kepada korban KDRT yang berpusat pada korban dengan berbasis
pada hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas
tidakberulangnya kekerasan. Mengajak pemuka agama dan tokoh-tokoh
masyarakat untuk terus mensosialisasikan KDRT sebagai tindakan yang harus
dihentikan, dan memperbaiki tradisi ataupun praktik-praktik budaya yang
masih menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, selain itu
mendorong
pemerintah
dan
aparat
penegak
hukum
agar

dapat
mengimplementasikan UU PDKRT mendasarkan pada mandat UU No. 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW) untuk menghapuskan diskriminasi dan
mengakui ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan (suami dan istri)
sebagai akar masalah KDRT. Mendorong pemerintah untuk segera melakukan
review terhadap PP No. 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Pemulihan dan
mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana lainnya, agar UU No. 23 tahun
2004 Tentang Penghapusan KDRT dapat diimplementasikan secara optimal.
Perlu juga dipahami bahwa UU dan peraturan-peraturan itu seharusnnya bisa
mendorong masyarakat untuk memahami tentang hak-hak perempuan dan
hak-hak korban KDRT.
Komnas Perempuan, dengan independensinya dan posisinya diantara
LSM, pemerintah dan masyarakat bisa menjadi penghubung dan jembatan bagi
masyarakat dan pemerintah untuk mengupayakan pencegahan kekerasan
terhadap perempuan dan kalau bisa tidak hanya di tataran kebijakan nasional,
tapi ikut terlibat mendengar dan memfasilitasi teman-teman daerah untuk
berhubungan dengan nasional, misalnya terkait advokasi perda-perda yang
diskriminatif, bisa dinasionalkan oleh Komnas Perempuan untuk menjadi isu
dan kepentingan nasional di mana Komnas Perempuan bisa berhubungan

dengan Depdagri, Depag, dan KPP5
Pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak Ibu Karsiwen yang
dirampas suaminya
Pada dasarnya, perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga atau yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini
bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat
memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana 6. Selain itu
seorang korban seperti Ibu Karsiwen ini juga akan mendapatkan hak-hak
5 Estoe Rakhmi Fanani, dalam wawancara “Penting Membangun Perspektif Gender di kalangan
penegak Hukum”, 1 Juli 2009
6 Lihat pasal 4 UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

tertentu seperti yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014
tentang perubahan atas UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Seperti diketahui kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam
UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ketentuan UU tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang dapat
terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan demikian dalam hal ini terkait korban
dalam tindak pidana KDRT berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam
ketentuan pasal 5,6, dan pasal 7 dalam UU No. 31 tahun 2014, dan tentunya

berhak mendapat perlindungan dari LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan
Korban). Selain itu juga dalam UU No. 23 tahun 2004 pasal 10 dijelaskan hakhak korban KDRT yang terdiri atas lima macam hak, diantaranya : perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan
korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan per-uu-an, dan
pelayanan bimbingan rohani.
Pada dasarnya, kita dapat berkaca dengan melihat beberapa putusan
dibeberapa pengadilan negeri mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga
yang serupa dialami oleh Ibu Karsiwen, salah satunya dalam suatu putusan
hakim7, tidak ditemukan adanya pemberian hak-hak korban baik berupa ganti
rugi atau kompensasi dalam bentuk materi kepada korban atas harm yang
mereka alami. Berkaitan dengan masalah kompensasi ini victimologi melihat
salah satu tujuan pengaturan ganti kerugian adalah mengembangkan keadilan
kesejahteraan mereka yang menjadi korban, menderita mental, fisik, sosial.
Pada seharusnya pelaksanaan peraturan ganti kerugian yang baik itu
memberikan kemungkinan kepada pihak korban untuk secara leluasa ikut serta
menyatakan pendapatnya. Menurut Angkasa, restitusi perlu diintegrasikan ke

dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dengan pertimbangan bahwa restitusi
merupakan lembaga pidana yang dapat memberikan manfaat bagi korban,
pelaku, negara, dan masyarakat8 sebagai penggantian kerugian finansial,
perbaikan, dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun penderitaan
psikologis sebagai korban tindak pidana yang telah menimpanya. Restitusi ini
akan sangat berarti utamanya seperti yang dialami Ibu Karsiwen karena korban
tindak pidana ini cenderung menjadi korban ganda, pertama, menjadi korban
atas kekerasan yang dilakukan suaminya, dan kedua, menjadi korban ketika
memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih berorientasi
terhadap pelaku. Menurut Schreider,9 prosedur restitusi ada 5 (lima) cara :
Pertama, model basic restitution dengan prosedur pelaku membayar kepada
pengadilan, dan pengadilan kemudian memberikan uang tersebut kepada
korban, Kedua, model expanded basic restitution dengan prosedur pelaku
dicarikan pekerjaan (bagi pelaku yang berpenghasilan rendah dan berusia
muda), Ketiga, model victim assistance dengan prosedur pelaku diberi
7 Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tapaktuan Nomor: 19/Pid.B/2005/PN.TTN
8 Angkasa, “Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana”, Disertasi Program Ilmu Hukum
UNDIP Semarang, 2003, hlm.244
9 Andrew Karmen, Crime Victim An Introduction to Victimology,
Books/Cole Publishing
Company Montercy, california, 1984, hlm. 182

kesempatan membantu korban sehingga korban dapat menerima ganti rugi
secara penuh, Keempat, model victim assistance-offender accountability demi
penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak, dilakukan dengan negosiasi
dan kadang-kadang dengan mempertemukan kedua belah pihak, Kelima,
model
community accountability-deterrence dengan prosedur permintaan
ganti rugi dimintakan oleh sekelompok orang sebagai wakil dari masyarakat.
Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan yang harus dilakukan, maupun
jadwal pembayaran ganti rugi.
Namun, model basic restitution tampaknya yang paling selaras dan tepat
untuk dipakai putusan hakim perkara KDRT, dengan membayar melalui
pengadilan akan lebih terkontrol dalam arti menghindarkan dari pengingkaran
kewajiban pelaku untuk membayar restitusi, serta lebih memudahkan dalam
penegakan hukumnya apabila terdapat pihak-pihak yang menyalahi.
Perspektif hukum dan HAM terhadap kasus yang menimpa Ibu
Karsiwen
Sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai yang tertinggi, negara
wajib melindungi setiap warga negaranya dari segala bentuk kekerasan dan
pelanggaran hak-haknya. Pasal 28G (1) UUD 1945 menyatakan “bahwa setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari rasa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan
“setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan”. Selain menjadi tanggung jawab negara, hal tersebut juga
menjadi kewajiban masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan
dalam rumah tangga seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini, sehingga nantinya
tidak akan muncul korban-korban kekerasan selanjutnya.
Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusi terhadap hak
asasi manusia itu sangat penting dan merupakan salah satu ciri pokok prinsip
negara hukum, dimana sudah seharusnya negara bertanggung jawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia,
utamanya kekerasan terhadap perempuan. Namun, selain hak-hak asasi
manusia, harus dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan
tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang dimanapun ia berada
harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat bersama, setiap orang dimanapun
ia berada, ia wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana
mestinya. Kasus kekerasan terhadap Ibu Karsiwen merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo10, setidaknya ada perspektif untuk
memandang tindak kekerasan dari segi pemahamannya. Pertama adalah
perspektif yang sempit, yang merumuskan tindak kekerasan sebagai suatu
kekerasan yang bersifat fisik, jasmaniah belaka, sehingga pembuktiannya juga
10 Harkristuti Harkrisnowo, Strategi Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan
Terhadap Wanita Suatu Tanggapan Atas Makalah Utama, dalam Himpunan Hasil Diskusi Panel
tentang Langkah Penanggulangan dan Pencegahan Tindak Kekerasan Terhadap Wanita,
Diselenggarakan oleh Ditjen Badan Peradilan Umum dan TUN Dep. Kehakiman bekerjasama
denga Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Jakarta, 1997, hlm. 74

mempunyai karakteristik yang bersifat materi belaka. Perspektif kedua
memandang tindak kekerasan dalam arti yang lebih luas mencakup tidak
hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis dan ekonomis. Hal ini
didasari pada pemikiran bahwa perilaku- perilaku kekerasan non fisik
mempunyai dampak yang tidak lebih kecil dibanding kekerasan fisik. Melihat
kasus yang dialami Ibu Karsiwen, dimana Ibu Karsiwen mengalami luka-luka di
bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki memar, perut sakit, serta
kepalanya sering pusing, maka kasus yang dialaminya merupakan kasus
kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat11,hal ini dari segi pemahaman perspektif sempit.
Untuk menentukan adanya tindak kekerasan, dalam norma hukum
pidana diatur tentang kejahatan terhadap tubuh dan jiwa yang terdapat dalam
Buku 1 KUHP pasal 90 tentang pengertian luka berat, yaitu penyakit atau luka
yang tidak dapat diharapkan akan dapat sembuh secara sempurna, atau yang
karenanya
menimbulkan
bahaya
bagi
jiwa,
ketidakcakapan
untuk
melaksanakan kegiatan jabatan atau pekerjaan secara terus menerus,
kehilangan kegunaan dari suatu panca indra, cacat, lumpuh, terganggunya akal
sehat selama waktu lebih dari empat minggu, keguguran atau matinya janin
seorang wanita.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan mengesahkan UU No. 7 tahun
1984 tentang Pengesahan Konvensi Forms of Discrimination Against
Women/CEDAW. Konvensi tersebut pada dasarnya mewajibkan setiap pihak
negara untuk melakukan langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan
undang-undang dalam segala bidang, menjamin perkembangan dan kemajuan
perempuan. Seperti kasus yang terjadi pada Ibu Karsiwen ini, terjadi
diskriminasi terhadap perempuan, padahal sudah seharusnya seorang
perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama. Bahwa berkaitan
dengan hak-hak perempuan dalam memperoleh perlindungan dari tindak
kekerasan rumah tangga ini dapat dilihat dipasal 45, 50, 51 (1) UU HAM12.
KESIMPULAN
Pada hakikatnya hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok
yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang merupakan fundamental
sejak ia dilahirkan kedunia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada
hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri
manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa
hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan
secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada
diri manusia tersebut, Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan
kewajiban membina dan menyempurnakannya. Dengan demikian, hakikat
penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan
eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Dimana laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama dan tidak bisa diperlakukan dengan
perbedaan berdasarkan gender. Pada umumnya, kodrat perempuan sebagai
11 Lihat pasal 6 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
12 Lihat UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

makhluk yang lemah seharusnya mendapat perlindungan atas hak-haknya.
Maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berumah tangga dapat
disimpulkan bahwa keluarga belum menjadi jaminan bahwa hak-hak
perempuan dapat terlindungi didalamnya. Mengenai maraknya kekerasan
terhadap perempuan ini, banyak hal yang dilakukan oleh Komnas Perempuan
dalam rangka melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan
terhadap kekerasan. Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi para
perempuan di Indonesia. Para korban kekerasan biasanya mengalami
goncangan jiwa yang dapat memperburuk kondisinya jika tidak segera
ditanggulangi dengan baik, oleh karena hak-hak atas korban KDRT juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen HAM lainnya, sehingga
dapat memberi pengaruh positif terhadap dirinya atas apa yang telah
dialaminya.

DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli.1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi cetakan I.
Bandung : PT. Eresco
Ferraro, Kathleen J..2001.Woman Battering : More than Family Problem dalam
Women, Crime and Criminal Justice, Ed.California: Claire Renzetti,
Roxburry Publishing Company.
Helmi, Muhammad Ishar. 2012. Gagasan pengadilan Khsuus KDRT. Yogyakarta :
CV Budi Utama
Kurniawan, Lely Setyawati.2015.Refleksi Diri Terhadap Korban dan Pelaku
KDRT. Yogyakarta: CV. Andi Offset
Prayudi, Guse. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana KDRT. Yogyakarta: Merkid
Press
Shadily, Hasan.1983. Kamus Inggris-Indonesia cetakan XII. Jakarta : Gramedia
Subhan, Zaitunnah. 2004. Kekerasan Terhadap Perempuan.Yogyakarta: Pustaka
Pesantren
Sujatmoko, Andrey.2015. Hukum HAM dan Hukum Humaniter.Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Hamidah
Abdurrachman.2010.Perlindungan
Hukum
Terhadap
Korban
kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri
Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban.Unnes Law Jurnal.Vol.17, Nomor
3, Juli 2010
Hasyim Hasanah. 2013.Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam
Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media.Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9,
Nomor 1, Oktober 2013
John Dirk Pasalbessy. 2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak Serta Solusinya. Jurnal Hukum. Vol. 16, Nomor 3, JuliSeptember 2010
Republik Indonesia. 1998. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181
tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan. Jakarta

Republik Indonesia.1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No.
165. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU
PDKRT). Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 95. Sekretariat Negara.
Jakarta
Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaran Negara RI
Tahun 2006, No. 64. Sekretariat Negara. Jakarta
Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun
2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi
dan Korban. Lembaran Negara RI Tahun 2014, No. 293. Sekretariat
Negara. Jakarta