Reorganisasi dan Konflk Sosial di Tanah

Reorganisasi dan Konflk Sosial di Tanah Yogyakarta
Oleh : Jaka Samudri
Keberadaan tanah di Yogyakarta berawal dari adanya perjanjian Giyanti tanggal
13 Februari 1775 antara Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono III yang disaksikan
pihak Belanda, yang menjadi awal hubungan hukum antara keraton dan tanahnya.
Dalam perjanjian Giyanti ini kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yakni Pangeran
Mangkubumi memperoleh bagian Barat wilayah Kasunan Surakarta yakni yang
sekarang disebut Yogyakarta dan beberapa wilayah lainnnya sedangkan Paku Buwono
III memperoleh pusat kerajaan (Surakarta). Setelah perjanjian Giyanti Pangeran
Mangkubumi menjadi raja di Yogyakarta dengan Gelar Hamengku buwono I.
Yogyakarta merupakan daerah kerajaan (vorstenlanden) dan Sultan sebagai
pemilik hak mutlak tanah itu (vorstdomein). Di dalam sebuah kerajaan tradisional yang
bersifat feodal, persoalan yang bernilai strategis secara politik bagi kekuasaan Sultan
adalah masalah agraria, dalam hal ini menyangkut kepemilikan atas tanah-tanah di
Kesultanan Yogyakarta.
Stratifikasi di atas Tanah
Sesuai dengan konsep tradisional jawa, wilayah Kesultanan Yogyakarta dibagi
menjadi Kutagara

atau Kutanegara1


yang kemudian disebut Nagari

merupakan

tempat tinggal atau kediaman raja dan keluarganya. Wilayah di luarnya disebut Negara
Agung2 yang masih merupakan inti kerajaan, ditempat ini terdapat tanah lungguh3 milik
para bangsawan yang tinggal di Kutanegara4.

Kutagara atau Kutanegara merupakan wilayah daerah keratin. Lihat Nur Aini
S. Pergeseran Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesultanan Yogyakarta Pada Awal
Abad XX. Hlm. 29
1

2 Negara Agung merupakan wilayah diluar keraton. Lihat Suhartono. Apanage
dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920. (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.1991). hlm. 65
3 Tanah lungguh adalah tanah jabatan sementara yang diberikan sebagai gaji
seorang bangsawan karena memiliki jabatan dalam pemerintahan kerajaan pada waktu
tertentu.LIhat Ibid.,hlm 8, 27


Di tanah Yogyakarta ini, para kawula dalem atau rakyat jelata dianggap
mempunyai kewajiban memberikan persembahan-persembahan dalam bentuk barang
atau pajak kepada penguasa kerajaan, serta wajib bekerja baginya. Para bekel adalah
orang yang bekerja sebagai petugas lapangan para pemegang tanah lungguh kerajaan
yang mengawasi para kawula dalem. Mereka harus mengawasi agar pajak dibayar tepat
waktu dan kewajiban-kewajiban dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai
imbalannya para kawula dalem pedesaan diperkenankan menempati sebidang tanah. Di
tanah Vorstenlanden, kawula dalem menempati posisi yang sangat menyedihkan karena
selalu tertindas dan tereksploitasi.
Pada awal abad ke-19, di Jawa merupakan periode eksploitasi masyarakat jawa.
Tahun 1830 Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) dimulai, dan tahun 1870 dikeluarkan
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) oleh pemerintah kolonial. Pada mulanya tanah
vorstenlanden ini merupakan hak milik dan kekuasaan raja. Tanah ini tidak memiliki
hukum yang jelas, sehingga tidak ada peraturan yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan, seperti jual beli, sewa-menyewa, hibah, dan sebagainya. Oleh karena itu,
dengan semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan perkebunan di Yogyakarta,
pemerintah Hindia Belanda menginginkan adanya kepastian hukum bagi tanah di
Yogyakarta. Esensi dari UUPA tersebut adalah memberikan kebebasan perusahaan
swasta untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda. Dengan kultur masyarakat
kerajaan yang masih begitu kuat di Yogyakarta, Pemerintah Kolonial Belanda tidak

mudah untuk menerapkan kebijakannya yang ingin menjadikan tanah tradisional
menjadi argo-industri di wilayah Yogyakarta. Munculnya Tanah Apanage5 adalah
sebuah konsekuensi dari masyarakat kerajaan yang feodalistik dan tradisional. Sistem
Apanage ini muncul dari dari suatu konsep bahwa penguasa (raja) adalah pemilik
seluruh tanah di wilayah kerajaan. Untuk menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh

4 Nur Aini S. “Pergeseran Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesultanan
Yogyakarta Pada Awal Abad XX”. hlm 29

5 Apanage adalah gaji yang diberikan oleh raja kepada birokrat kerajaan baik
mereka itu Santana atau narapraja. Dalam pemerintahan kerajaan, sistem uang belum
memperluas sehingga para birokrat itu digaji dengan tanah. Tanah yang diberikan raja
itu adalah tanah gaji atau tanah kedudukan seorang birokrat kerajaan yang disebut
Apanage/lungguh. Lihat Suhartono. Op. cit., hlm 2, 8, 27

seperangkat pejabat kerajaan yaitu patuh6. Dan sebagai imbalannya, patuh mendapatkan
tanah apanage yang terletak di negara agung. Tanah ini merupakan tanah jabatan.
Selain itu, para patuh juga berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagian hasil dari
apanage. Karena patuh ini tinggal di kuthanegara, maka tidak bisa mengerjakan
apanage-nya. Sehingga patuh mengangkat seorang bekel

mengurusi tanah apanagenya

sebagai orang yang

itu. Selain bekel telah menjadi wakil patuh untuk

menebas pajak, bekel juga mendapatkan hasil tanah atau sebagian pajak. Tertib tidaknya
pajak dari petani sangat bergantung dari para bekel. Karena begitu berkuasanya bekel
di tanah apanage, maka memunculkan peran bekel sebagai penguasa desa. Bekel bebas
melakukan apapun terhadap petani. Petani yang hanya sebagai penggarap harus
memenuhi segala apa yang di inginkan oleh bekel.
Kawula dalem yang menjadi penggarap tanah lungguh atau sebagai petani,
mendapatkan 2/5 dari hasil garapannya sebagai imbalan. Selebihnya lagi harus
diserahkan kepada pemegang tanah lungguh itu. Rakyat atau kawula dalem tidak punya
hak lebih atas tanah karena statusnya hanya anggaduh atau menumpang. Tempat
dimana kawula dalem itu bertempat tinggal, maka disitulah dia berkewajiban mematuhi
segala yang diperintahkan pemilik tanah. Sebelum lahirnya perkebunan, petani
Vorstenlanden secara tradisional sudah mendapat beban kerja, pajak, dan berbagai
sumbangan yang harus dibayarkan kepada pemegang lungguh lewat kepala-kepala desa
atau bekel7.

Sebelum Perang diponogoro, para petani menjadi pekerja para patuh-patuh di
tanah lungguh. Menggarap tanah itu dan menanaminya dengan tanaman-tanaman agar
menghasilkan komoditi dan memberikan hasil panennya sebagai pajak. Pada tahun 1830
setelah Perang Diponegoro berakhir, terbuka fase baru bagi para pengusaha perkebunan
untuk mengusahakan komoditas ekspor bagi pasar Eropa. Dalam rangka perluasan ini
banyak tanah apanage disewa dari para patuh atau pemegang hak tanah apanage. Di
dalam masyarakat tradisional, bekel menguasai seluruh tenaga kerja yang ada di tanah
apanage. Akan tetapi setelah tanah tersebut disewa oleh perusahaan perkebunan, hak6 Patuh adalah sebutan untuk orang yang memegang tanah lungguh. Lihat Ibid.,
hlm 2, 32, 69
7

43

Suhartono. Serpihan Budaya Feodal. (Yogyakarta: Aditya Media. 2001). Hlm.

hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan perkebunan. Dengan adanya
perubahan pemegang tanah apanage ini, berubah pula peran bekel itu sendiri. Sejak
berakhir Perang Diponegoro, persewaan tanah banyak terjadi di wilayah kekuasaan
raja-raja Jawa. Salah satu pendorong dari peristiwa ini adalah dominasi politik dan
ekonomi pemerintah kolonial di wilayah pemerintah (gouvernementlanden), seiring

dengan penerapan Cultuurstelsel tahun 1830.
Ketika kekuasaan Hamengkubuwono VII, adanya perubahan sistem pemilikan
tanah yang dilakukan atas kehendak Sultan Hamengkubuwono VII dan Pemerintah
Kolonial Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan reorganisasi agraria itu
dengan alasan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, tetapi sebenarnya untuk
memberlakukan Undang-undang Agraria tahun 1870. Karena dengan berlakunya
Undang-undang tersebut tanah lungguh itu dihapuskan dan menjadi hak milik pribadi,
setelah itu menjadi lebih mudah lah para perusahaan swasta menyewa tanah itu.
Reorganisasi Tanah
Pada kekuasaan Hamengkubuwono VIII, pada 1925 Sultan mengadakan
reorganisasi pemilikan dan penguasaan tanah di wilayah Yogyakarta. Reorganisasi tanah
itu merupakan suatu perubahan status hukum pemilikan tanah dari tanah milik Sultan
Hamengkubuwono VIII, para priyayi serta abdi dalem untuk dialihkan hak
pemilikannya kepada penduduk. Tujuan reorganisasi ini adalah menata kembali sistem
pemilikan dan penguasaan tanah di Kesultanan Yogyakarta yang pada mulanya hak
milik dan kekuasaan raja . Tanah itu tidak memiliki status hukum yang jelas, sehingga
tidak ada peraturan tang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan tanah 8. Dengan
demikian, hak penduduk atas tanah tidak hanya merupakan hak pakai, tetapi sudah
berubah statusnya menjadi hak milik, sehingga penduduk memiliki hak kekuasaan yang
penuh atas tanah itu. Mereka memiliki hak-hak atas tanah yang lebih kuat dan memiliki

wewenang penuh atas tanah yang diberikan itu. Mereka dapat menjual, menyewakannya
kepada orang lain serta dapat pula memberikan pada ahli warisnya. Dengan adanya
pemberian wewenang yang lebih kuat bagi penduduk, maka penduduk memiliki
kepastian hukum yang lebih kuat pula. Oleh karena itu, Sultan tidak dapat bertindak
sewenang-wenang memakai tanah penduduk. Akan tetapi, Sultan dapat melakukan
8

Nur Aini S. Op. cit., hlm.107

pencabutan atas hak tanah-tanah penduduk dengan alasan-alasan yang kuat dan sesuai
ketentuan yang ada.
Setelah merdeka, penduduk di daerah-daerah pedesaan menyatakan bahwa kerja
wajib yang menjadi eksploitasi para petani oleh pemilik tanah tidaklah sesuai dengan
hakekat warga merdeka. Dalam hal ini, sebagian besar lurah dan pejabat pemerintahan
desa secara sukarela memutuskan untuk menghapuskan kewajiban yang selama ini
mengharuskan pemilik tanah bekerja wajib atas tanah yang diserahkan untuk para
pejabat desanya.9
Pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwana IX menyatakan
bahwa Negri Yogyakarta bersifat Kerajaan dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Mulai tahun 1945, jabatan patih ditiadakan, sehingga sejak saat itu

seluruh kekuasaan praktis berada di satu tangan yaitu Sultan. Untuk mengatur urusan
pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan
Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu
yang berhubungan dengan status tanah.
Pada tahun 1950 Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Paku Alaman telah
dibentuk dengan UU No. 3 tahun 1950 menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
kekuasaan untuk mengatur hak atas tanah beralih dari Pemerintah Kasultanan dan paku
Alaman kepada Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai hak asal-usul. Dalam
Undang-Undang tersebut telah ditetapkan urusan Rumah Tangga Daerah yang menjadi
wewenang Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk urusan di bidang pertanahan
(agraria).
Adapun peraturan-peraturan yang dikeluarkan Pemerintah DIY dibidang agraria
adalah: Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 Tentang Hak Atas
Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
10 Tahun 1954 Tentang Pelaksanaan "Putusan" Desa Mengenai Peralihan Hak Milik
Dari Kalurahan dan Hak Anganggo Turun Temurun Atas Tanah dan Perubahan Jenis
Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta; Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
11 Tahun 1954 Tentang Peralihan Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah.
Selo soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas
Bambu. 2009 hlm. 264

9

Serta Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954 Tentang Tanda
Yang Sah Bagi Hak Milik Perseorangan Turun Temurun Atas Tanah. Perda No. 5 Tahun
1954 memberi ketentuan bahwa hak atas tanah dalam Daerah Istimewa Yogyakarta
diatur dengan Peraturan daerah.
Selanjutnya Perda No. 5 Tahun 1954 menentukan bahwa hak atas tanah yang
terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan setempat (beschikkingsrecht),
kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Seperti sudah disinggung dimuka, Perda No. 5 tahun 1954 ini meningkatkan
status hak pakai turun temurun menjadi hak milik perseorangan turun temurun. Setiap
warga negara Indonesia yang memiliki tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus
mempunyai tanda hak milik yang sah.
Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah, dikeluarkanlah
Perda No. 12 Tahun 1954. Pasal 1 Perda No. 12 Tahun 1954 ini mengharuskan agar
tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun temurun atas tanah yang diberikan
oleh Jawatan Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang
ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY. Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu
para pemilik tanah dipungut biaya oleh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5,- dan

sebanyak-banyaknya Rp. 75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya. Dengan
demikian, sejak inilah penduduk atau petani memiliki hak milik tanah dengan memiliki
sertifikasi atas tanahnya sendiri.

Munculnya Konflik sosial di atas Tanah
Sebelum adanya reorganisasi di atas tanah Yogyakarta sudah terbentuknya
stratifikasi sosial yang membagi bahwa tingkat atas yang memiliki tanah adalah sultan
atau raja. Hak penuh atas tanah kerajaan atau vorstenlanden ada ditangan raja dan raja
berhak memberikan sebagian tanahnya kepada para bangsawannya yang menempati
strafitikasi tingkat dua. Sedangkah rakyat jelata yang tidaklain adalah masyarakat yang
sangat banyak berada di tingkat paling bawah yaitu sebagai penumpang tanah raja.

Setelah adanya Reorganisasi, banyak perubahan yang ada. Stratifikasi sosial
yang terbentuk dengan susunan feodal kini hancur dan tanah menjadi milih masyarakat
juga. Namun, disamping pemilikan tanah itu muncul masalah sosial yang baru yaitu
konflik tanah.
Memiliki tanah sendiri menjadi keinginan bagi seluruh rakyat, sehingga saat
reoganisasi dimulai dan beralihnya status kepemilikan maka rakyat berbondong
melakukkan sertifikasi tanah. Namun hal yang menjadi masalah adalah ketika
timbulnya kecemburuan atas pembagian tanah. Disamping kepemilikan tanah pribadi,

muncul masalah baru ketika semakin berkurangnya luas kepemilikan akibat dari
banyaknya anak dan dibagikannya berdasarkan generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Selo Soemardjan. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu. 2009
Suhartono. Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.1991
________________. Serpihan Budaya Feodal. Yogyakarta: Aditya Media. 2001
Nur Aini S. “Pergeseran Pemilikan dan Penguasaan Tanah Kesultanan Yogyakarta Pada
Awal Abad XX”. Laporan penelitian di Universitas Gadjah Mada: 2000

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24