Posisi Malang dalam Peta Seni Rupa Indon (1)
Posisi Malang dalam Peta Seni Rupa Indonesia
Oleh: Hariyanto
Jurusan Seni dan Desain
Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak
Seni rupa di Malang sering dianggap tidak ada oleh para pengamat
seni rupa Indonesia. Sebenarnya sejak zaman kolonial aktivitas seni
rupa (lukis) di Malang sudah ada, para pelukis kolonial sering
melukis pemandangan sekitar Malang dan pameran di kota ini.
Setelah kemerdekaan RI, mulai terbentuk perkumpulan seni rupa di
Malang. Sebelum tahun 1968 para pelajar yang ingin kuliah seni
rupa harus ke kota lain. Pembukaan Jurusan Seni Rupa IKIP Malang
mendorong minat masyarakat untuk berprofesi di bidang seni rupa.
Perupa asal Malang dan perupa yang ada di Malang semakin banyak
jumlahnya dan berkembang pula fasilitas pendukung infrastruktur
seni rupa Malang. Makalah ini membahas posisi seni rupa Malang
dalam peta seni rupa Indonesia
Malang Raya yang terdiri dari kota Malang, kota Batu, dan kabupaten Malang
memiliki posisi yang strategis karena berada di tengah dua pusat seni rupa Indonesia yaitu
Bali dan Yogyakarta, serta dekat dengan kota Surabaya yang potensi seni rupanya tidak
sebesar dua pusat itu. Sebagai tujuan pariwisata, potensi Malang juga masih berada di bawah
Bali dan Yogyakarta, Namun demikian kota Malang sebagai kota pendidikan dapat
disetarakan dengan kota Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki akar tradisi budaya
lokal yang masih kuat sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan dan juga para perupa.
Dalam hal akar tradisi lokal, daerah Malang Raya memang berbeda dengan Bali dan
Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki situs budaya yang hidup seperti keraton dan
keluarga bangsawan yang menjadi pewaris nilai yang didukung oleh masyarakat sekitarnya.
Malang Raya memang memiliki situs sejarah seperti Gajayana dan Singasari tetapi kedua
kerajaan itu hanya meninggalkan jejak sejarah berupa candi, sedangkan keturunan atau
pewaris budaya dari kedua kerajaan itu secara riil sudah tidak ada.
Pusat seni rupa modern Indonesia yang lain adalah Jakarta dan Bandung yang
memiliki karakter yang berbeda dengan Bali dan Yogyakarta. Jakarta sebagai ibukota negara
merupakan tempat yang menarik bagi masyarakat Indonesia untuk mengadu nasib dan
mengembangkan karir di bidang apapun. Bandung merupakan kota pendidikan yang
memiliki warisan peninggalan kolonial yang cukup banyak. Fasilitas yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak terdapat di kota Bandung, sehingga karakter
1
kota Bandung cenderung lebih modern seperti halnya Jakarta. Bandung berada di daerah
kebudayaan Sunda dan Jakarta berada di daerah budaya Betawi namun jumlah masyarakat
Betawi relatif sedikit dibanding jumlah masyarakat pendatang. Sebagai pusat seni rupa
modern, Bandung dan Jakarta tidak begitu memiliki beban sejarah seperti yang dialami oleh
Bali dan Yogyakarta.
Daerah atau kota di luar Jawa sejauh ini belum bisa dianggap sebagai pusat
perkembangan seni rupa modern atau kontemporer, karena para pemuda dari luar Jawa yang
ingin belajar seni rupa cenderung memilih pergi ke Jawa dan banyak yang tidak kembali ke
daerahnya. Kondisi yang timpang ini juga diperkuat dengan penulisan sejarah yang
berorientasi Jawa-sentris sehingga kurang memberi perhatian pada potensi yang dimiliki
daerah. Sejarah seni rupa modern Indonesia yang berciri Jawa-sentris ini dapat dilihat pada
karya Claire Holt (1967, 2000) dan Helena Spanjaard (1998).
Kota Malang menurut pemikiran saya memiliki karakteristik yang lebih dekat dengan
kota Bandung yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Kedua kota ini cukup lama
kontak dengan budaya kolonial dan tidak memiliki beban sejarah, karena tradisi lokalnya
relatif sudah tidak berkembang jika dibanding dengan Bali dan Yogyakarta. Berdasarkan
pemikiran di atas maka dalam makalah ini dibahas tentang : latar budaya Malang dari
Singosari ke Singoedan; seni rupa Malang dari masa kolonial hingga tahun 1960-an, seni
rupa Malang tahun 1970-an – 1980-an; dan seni rupa Malang 1990-an hingga kini.
Latar Budaya Malang: dari Kemegahan Singosari ke Fanatisme Singoedan
Daerah Malang Raya memiliki potensi budaya yang cukup bisa dibanggakan,
misalnya situs candi warisan kerajaan Singosari seperti candi Singosari, candi Jago, candi
Kidal dan beberapa candi lainnya. Selain situs candi, di daerah Malang juga dikenal terdapat
seni wayang topeng yang masih hidup yaitu di Kedungmonggo. Candi Singosari adalah candi
yang paling besar dan bangunannya relatif masih utuh. Di candi Singosari terdapat beberapa
arca yang indah seperti Prajnaparamita (Ken Dedes), Durga Mahisasuramardini, Dwarapala,
dan lain-lain. Keindahan arca Kendedes menunjukkan betapa kecantikan Kendedes yang
membuat Ken Arok terpesona sehingga nekad merebutnya dari Tunggul Ametung. Dari Ken
Dedes inilah diturunkan raja-raja Singasari hingga Majapahit. Kisah cinta antara Ken Arok
dan Ken Dedes ini telah menginspirasi para seniman dan penulis hingga jaman kini. SH.
Mintardja menulis cerita bersambung Pelangi di Langit Singasari, Pramodya Ananta Toer
menulis novel Arok Dedes, Harry Roesly membuat opera Ken Arok, sinetron Ken Arok dan
Ken Dedes, sendratari Ken Arok dan lain-lain. Jim Supangkat pada tahun 1975 membuat
karya semacam instalasi berupa patung dada Ken Dedes yang disambung dengan gambar
2
tubuhnya yang memakai celana jin. Karya ini dipresentasikan dalam pameran Gerakan Seni
Rupa Baru yang berlangsung antara 1975-1979 di beberapa kota. (Supangkat, 1979)
Pada masa kolonial, pemerintah kota Malang menggunakan logo bergambar singa dan
bunga teratai yang dikelilingi perisai dan di atasnya terdapat mahkota. Pada kiri-kanan perisai
terdapat gambar singa yang berdiri memegang perisai. Gaya visual dari logo kota Malang itu
nampak sekali gaya khas Eropa. Sekilas nampak dari logo itu singa Jawa yang menjadi
pelindung Ratu Belanda dijaga ketat oleh dua singa Eropa. Logo kota Malang ini
menggambarkan persilangan budaya antara penjajah dan yang dijajah. Kini logo itu tidak lagi
digunakan dan diganti logo baru yang tidak ada unsur kolonialnya.
Pada tahun 1987 klub sepakbola Arema didirikan dengan logo bergambar kepala
singa. Klub sepakbola ini hingga kini masih berjaya dan menjadi kebanggaan warga kota
Malang. Para pemain Arema di lapangan bertarung melawan klub lain diibaratkan singa
melawan musuh-musuhnya sehingga para wartawan sering menjuluki pemain Arema sebagai
Singa Edan atau Singa Gila. Arema saat ini tidak hanya sekedar klub sepakbola tetapi sudah
menjadi simbol dan identitas kota Malang serta sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Simbol singa telah mengalami evolusi dari seni klasik menjadi budaya populer.
Topeng Malang yang menjadi salah satu ikon budaya Malang juga telah mengalami
pergeseran. Pagelaran tari topeng sudah jarang dilakukan jika tidak ada peristiwa penting. Di
Kedungmonggo masih terdapat sanggar tari yang berusaha memperahankan keberadaan
kesenian ini. Topeng Malang kini dikembangkan sebagai souvenir untuk para wisatawan dan
sebagai objek studi bagi pelajar dan mahasiswa.
Seni Rupa Malang dari Masa Kolonial Hingga Tahun 1960-an
Pembangunan prasarana secara besar-besaran di Jawa termasuk Malang baru dimulai
setelah th. 1870. Pada tahun 1876 rel kereta api Surabaya-Malang dibangun sehingga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kota. Kota Malang mengalami perluasan sejak dibentuk
kotamadya pada tahun 1914 yang berkantor dekat stasiun kota (Handinoto, 1996). Handinoto
(1996) menambahkan bahwa pembangunan kota Malang setelah tahun 1914 direncanakan
secara matang oleh walikota pertama yaitu, H.I. Bussemaker (1919-1929) bersama perencana
kota yang terkenal pada waktu itu yaitu: Ir. Herman Thomas Karsten 8. Perencanaan kota Malang
ini oleh Karstens diperuntukan bagi warga kota yang jumlahnya pada saat itu sekitar 80.000
orang. Walikota Malang pertama telah membangun jalan-jalan dan gedung-gedung perkantoran
dan fasilitas umum seperti bank, kantor pos, hotel, stasiun dan lain-lain. Salah satu bangunan
penting bagi perkembangan seni rupa adalah gedung Societeit Concordia yang terletak di dekat
alun-alun. Gedung yang sudah dibongkar dan sekarang menjadi plasa Sarinah ini dulu berfungsi
3
sebagai tempat kegiatan sosial-budaya. Beberapa pelukis Belanda yang ternama pernah pameran
di gedung ini.
Pada akhir abad ke-19 sudah ada seorang pelukis Belanda yang melukis dengan objek
pedesaan di sekitar kota Malang dan pemandangan dengan latarbelakang gunung Semeru.
Maurits van den Kerkhoff (1830-1908) telah beberapa )ali melukis dengan gaya Mooi Indie
dengan mengambil objek di sekitar Malang. Pada karya berjudul, Desa In De Omstreken Van
De Hooftplaats Malang dan View of a Kampong With Possibly The Smeroe in the
Background nampak bahwa pelukis ini mengagumi keindahan pemandangan di sekitar
Malang. (http://www.arcadja.com). Pelukis Eropa lain yang pernah beraktivitas dan tinggal di
kota Malang adalah, Gerard Pieter Adolfs (1898-1968) kelahiran Semarang. Pelukis ini
beberapa kali melukis tentang pemandangan di sekitar Malang seperti misalnya By-road near
Kasri (1929) dan Dessa near Purwosari (1932). Willem van der Does (1889-1966) pada
tahun 1930-an juga melukis objek pemandangan di sekitar Malang, dua karyanya adalah
Passar in het Malangse dan Dinogo bij Batoe (1932).
Gerard Pieter Adolfs pada tahun 1929 mengadakan pameran di kota Malang, tepatnya
di gedung Societeit Concordia dekat alun-alun. Gedung societeit ini sekarang sudah berganti
menjadi plasa Sarinah. Menurut Agus Dermawan T. dua pelukis Belanda itu (Adolfs dan van
der Does) memberi pengaruh terhadap gaya seni lukis Koempoel seorang pelukis kelahiran
Ngawi yang pada tahun 1932 pindah dari Surabaya ke Malang mengikuti ayahnya, kemudian
belajar kepada Does. (Dermawan T., 2004)
Kerkhoff, Adolfs, Does, dan Koempoel merupakan para pelukis yang bergaya Mooi
Indie yang digemari oleh masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Pada tahun 1935
Koempoel menpemroleh sponsor dari seorang dokter bernama dr. Soerodjo untuk berpameran
pertama kalinya di kota Malang. Pada masa revolusi Koempoel terlibat dalam pemb uatan
pamflet dan poster untuk propaganda. Pada tahun 1950-1970 Koempoel sangat produktif
dalam berkarya seni lukis. Karya-karya Koempoel oleh kalangan seni rupa Indonesia kurang
diapresiasi.
Pada masa kolonial di Malang terdapat juga para pelukis dan ilustrator dari
kalangan keturunan Tionghoa seperti Tan Liep Poen (Malang,1906), Liem Kwee Bing,
pelukis yang menjadi pemimpin majalah Liberty yang terbit di Malang sejak masa kolonial.
Tan Liep Poen bersama pelukis Lee Man Fong dengan pelukis-pelukis Tionghoa lainnya yang
berjumlah tujuh orang, pada tahun 1946 mengadakan pameran lukisan di toko buku Kolff di
Batavia (Hoedjin_kwee, 2009). Lee Man Fong bersama para pelukis Tionghoa lainnya pada
tahun 1955 mendirikan perkumpulan Yin Hua. Lim Kwee Bing menjadi salah satu dari
4
anggota Yin Hua, kemudian di Malang ia mendirikan Mung May (Dermawan T., 2004).
Organisasi pelukis Tionghoa Yin Hua pada era Orde Lama mendapat dukungan dari
pemerintah, setelah peristiwa 1965, organisasi ini bubar. Setelah reformasi terdapat pelukis
Tionghoa dari Malang bernama Sidik Martowijojo (Malang, 1937). Pelukis ini
mengembangkan gaya Guo Hua yang berasal dari tradisi seni lukis Tiongkok. Dengan gaya
Guo Hua ini Sidik lebih sering melukis menggunakan cat air di atas kertas.
(http://umiuci.blogspot.com, 2013)
Pada tahun 1960-an di Malang berdiri Sanggar Pelukis Malang yang dimotori oleh
Widagdo, dengan anggota IB. Said, Bramasto, dan Alimaraban. (Dermawan T.,1993 ). IB.
Said kemudian pindah ke Jakarta bekerja sebagai pelukis spesialis kepala negara. Said hingga
kini sudah ratusan kali melukis wajah presiden Republik Indonesia dan wajah presiden
berbagai negara sahabat yang sedang bertamu di istana negara. Pada tahun 1966 Teguh
Santosa seorang pemuda kelahiran Malang 1942 pergi ke Yogyakarta untuk belajar
menggambar dan melukis di Sanggar Bambu. Teguh Santosa lulusan SMA 4 Malang yang
memiliki bakat menggambar sejak kecil. Sepulang dari Yogyakarta, Teguh menjadi pelukis
komik yang sangat produktif. Komik pertama karya Teguh berjudul Paku Wojo dibuat tahun
1964.( agungkepanjen.blogspot.com, 22 Feb. 2014)
Era Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Malang (1970-an-1980-an)
Pada tahun 1968 Jurusan Seni Rupa IKIP Malang dibuka untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan seni rupa. Dosen-dosen pertama yang
mengajar di jurusan seni rupa adalah Bp. Katjik Sutjipto, Ibu Dedy S. Winoto, dan Ibu Nieke
Handrawati. Bp. Katjik Sutjipto lulusan ASRI yang banyak memotivasi mahasiswanya untuk
berkarya seni rupa dan mendorog untuk berpameran. Para mahasiswa seni rupa yang aktif
berkarya termotivasi untuk membentuk sanggar sebagai wadah kreativitas dalam berkarya
seni rupa. Pada tahun 1975 sebagian mahasiswa seni rupa mendirikan Sanggar Arti
Dengan anggota Yon Wahyuono, Imam Muhadjir, Sunari, M. Sattar, Agus Hadisuryo, Antoni
Wibowo, Andi Harisman, dan lain-lain. Tidak lama kemudian berdiri Sanggar Mars dengan
anggota diantaranya adalah Didik Mintadi dan M. Eksan. Mahasiswa seni rupa yang lain juga
terdorong untuk membentuk kelompok yaitu Sanggar Sakti dengan anggota, Didiek
Rahmanadji, Yayit Prabi, Budi Rahardjo, Prayitno Abimanyu, dan lain-lain. (Wawancara
dengan Andi Harisman, 19 Feb. 2014) Hingga tahun 1980-an dari tiga sanggar itu yang masih
aktif adalah Sanggar Arti, bahkan hingga saat ini beberapa anggotanya masih sering
mengikuti pameran.
5
Pada awal 1980-an di IKIP Malang (UM) sudah terdapat unit kegiatan mahasiswa
(UKM) Sanggar Minat, unit kegiatan yang memberi ruang kepada mahasiswa untuk berkreasi
di luar ruang kuliah. Sebagian besar anggota sanggar minat adalah mahasiswa jurusan seni
dan desain. Mahasiswa yang aktif di sanggar minat memiliki pengalaman berkarya dan
pameran yang lebih banyak dibanding mahasiswa lainnya. Beberapa alumni seni rupa IKIP
Malang (UM) yang menjadi aktivis sanggar minat seperti Ojit Budi Sutarno dan Gatot
Pujiarto kini sukses sebagai perupa di tingkat nasional.
Para perupa di Malang sejak tahun 1980-an awal sudah memimpikan perlunya tempat
berkesenian yang ideal di kota Malang. Pada saat itu Dewan Kesenian Malang sudah
terbentuk dan pengurusnya sudah aktif bekerja. Para perupa yang tergabung dalam DKM
mengincar sebuah lahan kosong yaitu Taman Indrokilo yang letaknya di belakang Museum
Brawijaya. Keinginan para perupa Malang untuk memperoleh tempat berkesenian belum
terkabul saat itu, tidak lama kemudian lahan itu berubah menjadi perumahan elite. Akhirnya
di akhir tahun 1980-an pemerintah Kota Malang membangun gedung Dewan Kesenian
Malang di Jalan Majapahit dekat pasar burung.
Pada era tahun 1970-an beberapa perupa kelahiran Malang belajar seni rupa dan
berkarir di kota Yogyakarta. Bonyong Munni Ardhie lahir di Malang 1946, sejak tahun 1968
hingga tahun 1980 belajar di STSRI ASRI (ISI). Pada tahun 1975-1979 Bonyong bergabung
dengan Gerakan Seni Rupa Baru dan juga tergabung pada kelompok Pipa. Ivan Sagito lahir
di Malang tahun 1957 sejak tahun 1975 sudah masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia di
Yogyakarta dan tahun 1979 masuk STSRI ASRI. Ivan Sagito adalah seorang warga keturunan
Tionghoa namun karya-karyanya nampak njawani. (Marianto, 2001). Pada tahun 1979,
Effendi kelahiran Malang 1957 juga masuk STSRI ASRI. Effendi dan Ivan Sagito adalah dua
perupa kelahiran Malang yang pada tahun 1980-an mewarnai dunia seni lukis Indonesia
dengan gaya surealisme Yogyakarta (Marianto, 2001). Hedi Hariyanto kelahiran Malang
1962 pada tahun 1983 kuliah di ISI jurusan Seni Patung. Pada tahun 1992 Hedi ikut berperan
dalam aksi dan pameran Binal Eksperimental yang dilaksanakan bersamaan dengan Biennale
Seni Lukis Yogyakarta.
Dalam dunia kritik seni terdapat nama Adi Wicaksono lahir di Malang tahun 1968,
pernah belajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta. Adi Wicaksono pernah menulis artikel di Kompas dengan judul Yang Keren
dan Terkendali sebagai komentar terhadap pameran Bandung Art Now. Dalam tulisan itu Adi
memuji-muji suasana kehidupan seni rupa dan penampilan mahasiswa di Bandung yang
6
“keren dan gaul” yang dikontraskan dengan suasana seniman dan mahasiswa di Yogyakarta
yang mbentoyong menanggung beban sejarah.( KOMPAS, 11 Januari 2009)
Beberapa nama lain yang belajar seni rupa di luar kota Malang adalah: Nunung WS.
(Malang, 1948) belajar di Aksera Surabaya kemudian menetap di Yogyakarta. Samsul Arifin
(Malang, 1979) dan Dwi Setianto (Malang) belajar di ISI Yogyakarta. Yoyok S. (Malang,
1981) belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Para perupa asal Malang ini
semuanya masih aktif berkarya hingga saat ini. Seorang perupa kelahiran Malang tahun 1960
yaitu Hardiman Radjab pada tahun 1981-1987 belajar di Fakultas Seni Rupa IKJ Jakarta.
Hardiman kini menjadi perupa yang cukup produktif, ia sering menggunakan koper sebagai
medianya.
Seni Rupa Malang dari Tahun 1990-an Hingga Masa Kini
Seiring melemahnya sanggar-sanggar yang dibentuk oleh para mahasiswa dan alumni
Jurusan Seni Rupa IKIP Malang pada tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, di kota Batu
kehidupan seni rupa justru baru mulai tumbuh. Pada tahun 1983 di kota Batu berdiri Pondok
Seni Batu yang dimotori oleh Koeboe Sarawan seorang pelukis surealis jebolan ISI
Yogyakarta. Para anggota yang aktif di Pondok Seni Batu adalah : Koeboe S., Badrie, , Djuari
S., Slamet Henkus, Gusbandi Harioto, Agus Riyanto, Andri Suhelmi, M. Watoni Suid, Anwar,
Bambang BP., Isa Ansori, Herry Poer, Sugiono, dan Fadjar Djunaedi. Hingga saat ini prestasi
yang dicapai oleh para anggota Pondok Seni Batu ini cukup bisa dibanggakan karena di
antara mereka sudah ada yang ikut CP. Biennale, nominator Indonesian Art Award. Kota Batu
didukung oleh lingkungan yang nyaman, banyak objek wisata, hotel dan restoran, dan juga
terdapat galeri Raos.
Pada tahun 1990-an kegiatan seni rupa di kota Malang tidak hanya berlangsung di
galeri DKM tetapi juga berlangsung di berbagai tempat umum seperti di hotel, mall, galeri
swasta, rumah makan dan lain sebagainya. Kelompok alternatif mulai bermunculan di kota
Malang seperti BKJT (Belok Kiri Jalan Terus), Kentjing Andjing, Portal, Insomniun, Rumah
Sakit Seni, Komunitas Seni Asma, Kelompok Studi Seni Lentera, Sanggar Blitz, dan lainlain. (Yulistio dan Yummi, 2013)
Kota Malang yang tidak dianggap sebagai kota seni-budaya ternyata di kota ini ada
juga pecinta seni yang berani membuka galeri swasta. Seorang dokter yaitu dr. Purnomo
Limanto pada tahun 2001 membuka Puri Art Gallery dengan misi ingin mengembangkan
seni rupa di Jawa Timur. Pemilik galeri ini adalah salah satu dari pendiri AGSI Asosiasi
Galeri Seni Indonesia. Puri kini melebarkan sayapnya ke Jakarta, bersama delapan galeri lain
7
anggota AGSI, Puri membuka cabangnya di Jakarta Art District. (www.puriartgallery.com,
20 Feb. 2014).
Tahun 2003 di kota Malang dibuka lagi sebuah galeri seni swasta yaitu Semar Gallery.
Pembukaan galeri baru ini dilakukan oleh dr. Oei Hong Djien dari Magelang. Galeri ini
dikelola oleh seorang warga Malang bernama Christine Ivonella. Misi dari Semar Gallery
adalah menyajikan keberagaman seni terutama seni lokal dan seni Tiongkok. Kurator yang
dipercaya untuk mewujudkan misi itu adalah Djuli Djatiprambudi dari Unesa Surabaya.
(Jakarta Post, 27 Nov. 2003)
Beberapa tahun terakhir masyarakat kota Malang lebih sering menyaksikan pameran
seni rupa dari para perupa Malang maupun dari luar kota di Ruang Pamer Perpustakaan Kota
Malang. Ruang pamer ini sering digunakan pameran seni rupa oleh para mahasiswa maupun
para perupa pemula dari berbagai komunitas seni yang ada di kota Malang. Beberapa sekolah
menengah (SMA) di kota Malang yang memiliki ekstra kurikuler seni rupa juga sering
memanfaatkan ruang pamer perpustakaan ini untuk mempresentasikan karya mereka.
Keberadaan galeri-galeri swasta itu belum secara signifikan memberi kontribusi
terhadap perkembangan seni rupa di Malang. Hanya sedikit sekali perupa lokal yang dapat
bekerjasama dengan galeri-galeri ini. Pada tahun 2009 di Malang berdiri sebuah galeri
dengan nama yang metaforik yaitu Rumah Seni Kemarin Sore. Rumah seni ini dikelola oleh
tiga perupa Malang yaitu Antoe Budiono, Gatot Pujiarto, dan Keo Hariyanto. Visi dari rumah
seni ini adalah memperluas potensi yang dimiliki oleh art world di Malang dengan melalui
mengenalkan, mempromosikan, dan memasarkan karya-karya perupa muda Malang.
Hingga saat ini dapat dikatakan bahwa potensi seni rupa yang dimiliki warga Malang
sebenarnya cukup besar, mereka dapat dikategorikan berdasarkan yang berpendidikan seni
rupa dan yang tidak berpendidikan seni rupa. Salah satu lembaga yang dapat diharapkan
dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan potensi seni rupa yang terdapat di Malang
adalah pendidikan tinggi seni. Lembaga pendidikan yang sudah cukup berperan serta dalam
pengembangan seni rupa di Malang adalah Jurusan Seni Desain Universitas Negeri Malang.
Diakui bahwa lembaga pendidikan di UM ini bukan disiapkan untuk menghasilkan seniman
(perupa), namun fakta di lapangan tidak sedikit alumni dari pendidikan seni rupa ini
berprofesi sebagai perupa.
Para dosen di Jurusan Seni dan Desain tidak seluruhnya aktif berkarya seni, hanya
sebagian kecil saja yang masih berkarya, terutama para dosen yang mengajar matakuliah
praktek seperti seni lukis, seni patung, seni grafis dan kriya. Beberapa dosen yang masih
8
sesekali berkarya adalah Ponimin, Triyono Widodo, Andi Harisman, Agung Arimbawa dan
lain-lain. Ponimin adalah perupa keramik yang sudah memiliki pengalaman internasional.
Beberapa alumni Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang yang saat ini
sudah mencapai posisi di tingkat nasional dan memiliki pengalaman pameran di luar negeri
adalah misalnya : Fadjar Djunaedi dan Isa Ansori dari kota Batu. Toto Kamdani, Ojit Budi
Sutarno, Gatot Pujiarto, dan Yoga Mahendra dari kota Malang. Selain para perupa tersebut
terdapat seorang pelukis pensil yang sudah berhasil di pasar yaitu Iroel Choirul Sabarudin.
Di kota Malang juga terdapat komunitas perupa dari berbagai latarbelakang seperti
Komunitas Malangsuko, Bambang AW, pelukis difabel Sodikin, Asta Citra Perupa Malang
Art, dan lain-lain. Para komunitas dan perupa-perupa kota Malang ini juga aktif mengadakan
berbagai pameran di ruang pamer perpustakaan kota, Bromo Artspace, dan tempat lain. Para
perupa ini juga sering terlibat dalam even seni tahunan di Kampung Celaket kota Malang.
Beberapa perupa asal kota Malang juga ada yang mengembangkan karir seni rupanya
di Bali, mereka adalah Ponco Setyohadi, Yosa, dan Yonas. Ponco adalah perupa jebolan
Jurusan Seni dan Desain UM yang sejak tahun 1992 sudah berada di Bali, pada bulan
Februari ini ia mengadakan pameran tunggal dengan tema Poleng. Yosa adalah perupa asal
kota Malang jebolan ISI Yogyakarta sudah beberapa tahun tinggal di Bali. Yonas juga dari
Malang belajar seni di Universitas Udayana Denpasar. Di Kalimantan tepatnya di kota
Bontang juga terdapat dua perupa asal Malang yaitu Supardi dan Paulus Patiwael. Karena
terbatasnya waktu dalam penulisan sehiungga banyak perupa asal kota Malang yang belum
terekam dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak nama-nama perupa asal Malang ataupun
yang beraktivitas di Malang tetapi karena keterbatasan data maka hanya sebagian saja yang
dapat ditampilkan.
Kesimpulan
Malang sejak zaman kolonial sudah menjadi tempat yang menarik bagi para pelukis
Belanda, Tionghoa dan Jawa untuk berkarya seni. Pada awal kemerdekaan beberapa perupa
membentuk Sanggar Pelukis Malang. Para sarjana seni rupa asal Malang yang belajar di kota
Bandung dan Yogyakarta kembali ke Malang untuk membuka jurusan seni rupa di IKIP
Malang.
Beberapa perupa asal kota Malang memberi kontribusi pada beberapa peristiwa dan
gerakan seni rupa di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Bonyong M. menjadi bagian dari
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1975-1979. Ivan Sagito dan Effendi memberi kontribusi
pada gaya surealisme Yogyakarta tahun 1980-an. Hedi Hariyanto ikut aktif dalam Binal
Eksperimental tahun 1992 untuk mengkritisi Bienale Seni Lukis Yogyakarta.
9
Para perupa di kota Batu yang tergabung dalam Pondok Seni Batu memiliki semangat
yang tangguh sehingga secara bersama-sama dapat meraih sukses. Para perupa di kota
Malang yang memiliki fasilitas lebih banyak tetapi jumlah perupanya yang berhasil kurang
sebanding dengan jumlah penduduknya.
Galeri seni rupa swasta belum maksimal dalam membantu meningkatkan prestasi
perupa. Di kota Malang masih minim kurator dan penulis sehingga informasi tentang seni
rupa dan pengembangan wacana seni rupa di Malang kurang memadai. Perlu dikembangkan
program studi penciptaan seni, pengkajian seni, dan menejemen seni, sehingga lulusan
pendidikan seni ini dapat mempercepat kemajuan seni rupa di kota Malang.
Malang memiliki potensi seni rupa yang dapat diharapkan untuk lebih berkembang di
masa yang akan datang. Art world di Malang belum terlembaga seperti di kota lain, sehingga
semua unsur yang dapat mendukung perkembangan seni rupa di Malang perlu saling
berkomunikasi.
Daftar Rujukan
Dermawan T.,Agus, 1993, “Sanggar Kamboja dan Perkumpulan Seni Rupa di Indonesia”,
Katalog Pameran Lukisan Sanggar Kamboja Bali Ke VII, di Gedung Pameran Seni
Rupa Depdikbud Jakarta 26 Agustus – 2 September 1993.
Dermawan T.,Agus, 2004. Bukit-bukit Perhatian : Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu
sampai Kosmologi Seni Bung Karno, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Handinoto, 1996. “Perkembangan Kota Malang Pada Zaman Kolonial (1914-1940)”, Jurnal
DIMENSI 22/September 1996.
Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di Indonesia
Hoedjin_kwee, 2009. “7 Pelukis Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di
Indonesia”
Holt, Claire 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan RM.
Soedarsono, Bandung:MSPI.
Marianto,Dwi, 2001. Surealisme Yogyakarta, Yogyakarta: Merapi.
Supangkat, Jim (ed) 1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Jakarta:Penerbit PT Gramedia
Yulistio W. dan Yummi,Akbar 2013. “Menilik Dari Sejarah dan Membaca Perkembangan
Seni Rupa: Sebuah catatan singkat pembacaan seni rupa di Malang”,
http://sangchakti.blogspot.com/2013/01/menilik-dari-sejarah-dan-membaca.html
Jakarta Post, 27 Nov. 2003
KOMPAS, 11 Januari 2009
agungkepanjen.blogspot.com, 22 Feb. 2014
10
http://www.arcadja.com
www.puriartgallery.com
http://umiuci.blogspot.com, 2013
Wawancara dengan Andi Harisman (pelukis dan dosen UM), 19 Feb. 2014 di Ruang Dosen
Jurusan Seni dan Desain UM.
11
Oleh: Hariyanto
Jurusan Seni dan Desain
Universitas Negeri Malang
[email protected]
Abstrak
Seni rupa di Malang sering dianggap tidak ada oleh para pengamat
seni rupa Indonesia. Sebenarnya sejak zaman kolonial aktivitas seni
rupa (lukis) di Malang sudah ada, para pelukis kolonial sering
melukis pemandangan sekitar Malang dan pameran di kota ini.
Setelah kemerdekaan RI, mulai terbentuk perkumpulan seni rupa di
Malang. Sebelum tahun 1968 para pelajar yang ingin kuliah seni
rupa harus ke kota lain. Pembukaan Jurusan Seni Rupa IKIP Malang
mendorong minat masyarakat untuk berprofesi di bidang seni rupa.
Perupa asal Malang dan perupa yang ada di Malang semakin banyak
jumlahnya dan berkembang pula fasilitas pendukung infrastruktur
seni rupa Malang. Makalah ini membahas posisi seni rupa Malang
dalam peta seni rupa Indonesia
Malang Raya yang terdiri dari kota Malang, kota Batu, dan kabupaten Malang
memiliki posisi yang strategis karena berada di tengah dua pusat seni rupa Indonesia yaitu
Bali dan Yogyakarta, serta dekat dengan kota Surabaya yang potensi seni rupanya tidak
sebesar dua pusat itu. Sebagai tujuan pariwisata, potensi Malang juga masih berada di bawah
Bali dan Yogyakarta, Namun demikian kota Malang sebagai kota pendidikan dapat
disetarakan dengan kota Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki akar tradisi budaya
lokal yang masih kuat sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan dan juga para perupa.
Dalam hal akar tradisi lokal, daerah Malang Raya memang berbeda dengan Bali dan
Yogyakarta. Bali dan Yogyakarta masih memiliki situs budaya yang hidup seperti keraton dan
keluarga bangsawan yang menjadi pewaris nilai yang didukung oleh masyarakat sekitarnya.
Malang Raya memang memiliki situs sejarah seperti Gajayana dan Singasari tetapi kedua
kerajaan itu hanya meninggalkan jejak sejarah berupa candi, sedangkan keturunan atau
pewaris budaya dari kedua kerajaan itu secara riil sudah tidak ada.
Pusat seni rupa modern Indonesia yang lain adalah Jakarta dan Bandung yang
memiliki karakter yang berbeda dengan Bali dan Yogyakarta. Jakarta sebagai ibukota negara
merupakan tempat yang menarik bagi masyarakat Indonesia untuk mengadu nasib dan
mengembangkan karir di bidang apapun. Bandung merupakan kota pendidikan yang
memiliki warisan peninggalan kolonial yang cukup banyak. Fasilitas yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak terdapat di kota Bandung, sehingga karakter
1
kota Bandung cenderung lebih modern seperti halnya Jakarta. Bandung berada di daerah
kebudayaan Sunda dan Jakarta berada di daerah budaya Betawi namun jumlah masyarakat
Betawi relatif sedikit dibanding jumlah masyarakat pendatang. Sebagai pusat seni rupa
modern, Bandung dan Jakarta tidak begitu memiliki beban sejarah seperti yang dialami oleh
Bali dan Yogyakarta.
Daerah atau kota di luar Jawa sejauh ini belum bisa dianggap sebagai pusat
perkembangan seni rupa modern atau kontemporer, karena para pemuda dari luar Jawa yang
ingin belajar seni rupa cenderung memilih pergi ke Jawa dan banyak yang tidak kembali ke
daerahnya. Kondisi yang timpang ini juga diperkuat dengan penulisan sejarah yang
berorientasi Jawa-sentris sehingga kurang memberi perhatian pada potensi yang dimiliki
daerah. Sejarah seni rupa modern Indonesia yang berciri Jawa-sentris ini dapat dilihat pada
karya Claire Holt (1967, 2000) dan Helena Spanjaard (1998).
Kota Malang menurut pemikiran saya memiliki karakteristik yang lebih dekat dengan
kota Bandung yang dalam beberapa hal memiliki kesamaan. Kedua kota ini cukup lama
kontak dengan budaya kolonial dan tidak memiliki beban sejarah, karena tradisi lokalnya
relatif sudah tidak berkembang jika dibanding dengan Bali dan Yogyakarta. Berdasarkan
pemikiran di atas maka dalam makalah ini dibahas tentang : latar budaya Malang dari
Singosari ke Singoedan; seni rupa Malang dari masa kolonial hingga tahun 1960-an, seni
rupa Malang tahun 1970-an – 1980-an; dan seni rupa Malang 1990-an hingga kini.
Latar Budaya Malang: dari Kemegahan Singosari ke Fanatisme Singoedan
Daerah Malang Raya memiliki potensi budaya yang cukup bisa dibanggakan,
misalnya situs candi warisan kerajaan Singosari seperti candi Singosari, candi Jago, candi
Kidal dan beberapa candi lainnya. Selain situs candi, di daerah Malang juga dikenal terdapat
seni wayang topeng yang masih hidup yaitu di Kedungmonggo. Candi Singosari adalah candi
yang paling besar dan bangunannya relatif masih utuh. Di candi Singosari terdapat beberapa
arca yang indah seperti Prajnaparamita (Ken Dedes), Durga Mahisasuramardini, Dwarapala,
dan lain-lain. Keindahan arca Kendedes menunjukkan betapa kecantikan Kendedes yang
membuat Ken Arok terpesona sehingga nekad merebutnya dari Tunggul Ametung. Dari Ken
Dedes inilah diturunkan raja-raja Singasari hingga Majapahit. Kisah cinta antara Ken Arok
dan Ken Dedes ini telah menginspirasi para seniman dan penulis hingga jaman kini. SH.
Mintardja menulis cerita bersambung Pelangi di Langit Singasari, Pramodya Ananta Toer
menulis novel Arok Dedes, Harry Roesly membuat opera Ken Arok, sinetron Ken Arok dan
Ken Dedes, sendratari Ken Arok dan lain-lain. Jim Supangkat pada tahun 1975 membuat
karya semacam instalasi berupa patung dada Ken Dedes yang disambung dengan gambar
2
tubuhnya yang memakai celana jin. Karya ini dipresentasikan dalam pameran Gerakan Seni
Rupa Baru yang berlangsung antara 1975-1979 di beberapa kota. (Supangkat, 1979)
Pada masa kolonial, pemerintah kota Malang menggunakan logo bergambar singa dan
bunga teratai yang dikelilingi perisai dan di atasnya terdapat mahkota. Pada kiri-kanan perisai
terdapat gambar singa yang berdiri memegang perisai. Gaya visual dari logo kota Malang itu
nampak sekali gaya khas Eropa. Sekilas nampak dari logo itu singa Jawa yang menjadi
pelindung Ratu Belanda dijaga ketat oleh dua singa Eropa. Logo kota Malang ini
menggambarkan persilangan budaya antara penjajah dan yang dijajah. Kini logo itu tidak lagi
digunakan dan diganti logo baru yang tidak ada unsur kolonialnya.
Pada tahun 1987 klub sepakbola Arema didirikan dengan logo bergambar kepala
singa. Klub sepakbola ini hingga kini masih berjaya dan menjadi kebanggaan warga kota
Malang. Para pemain Arema di lapangan bertarung melawan klub lain diibaratkan singa
melawan musuh-musuhnya sehingga para wartawan sering menjuluki pemain Arema sebagai
Singa Edan atau Singa Gila. Arema saat ini tidak hanya sekedar klub sepakbola tetapi sudah
menjadi simbol dan identitas kota Malang serta sebagai peluang bisnis yang menjanjikan.
Simbol singa telah mengalami evolusi dari seni klasik menjadi budaya populer.
Topeng Malang yang menjadi salah satu ikon budaya Malang juga telah mengalami
pergeseran. Pagelaran tari topeng sudah jarang dilakukan jika tidak ada peristiwa penting. Di
Kedungmonggo masih terdapat sanggar tari yang berusaha memperahankan keberadaan
kesenian ini. Topeng Malang kini dikembangkan sebagai souvenir untuk para wisatawan dan
sebagai objek studi bagi pelajar dan mahasiswa.
Seni Rupa Malang dari Masa Kolonial Hingga Tahun 1960-an
Pembangunan prasarana secara besar-besaran di Jawa termasuk Malang baru dimulai
setelah th. 1870. Pada tahun 1876 rel kereta api Surabaya-Malang dibangun sehingga sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kota. Kota Malang mengalami perluasan sejak dibentuk
kotamadya pada tahun 1914 yang berkantor dekat stasiun kota (Handinoto, 1996). Handinoto
(1996) menambahkan bahwa pembangunan kota Malang setelah tahun 1914 direncanakan
secara matang oleh walikota pertama yaitu, H.I. Bussemaker (1919-1929) bersama perencana
kota yang terkenal pada waktu itu yaitu: Ir. Herman Thomas Karsten 8. Perencanaan kota Malang
ini oleh Karstens diperuntukan bagi warga kota yang jumlahnya pada saat itu sekitar 80.000
orang. Walikota Malang pertama telah membangun jalan-jalan dan gedung-gedung perkantoran
dan fasilitas umum seperti bank, kantor pos, hotel, stasiun dan lain-lain. Salah satu bangunan
penting bagi perkembangan seni rupa adalah gedung Societeit Concordia yang terletak di dekat
alun-alun. Gedung yang sudah dibongkar dan sekarang menjadi plasa Sarinah ini dulu berfungsi
3
sebagai tempat kegiatan sosial-budaya. Beberapa pelukis Belanda yang ternama pernah pameran
di gedung ini.
Pada akhir abad ke-19 sudah ada seorang pelukis Belanda yang melukis dengan objek
pedesaan di sekitar kota Malang dan pemandangan dengan latarbelakang gunung Semeru.
Maurits van den Kerkhoff (1830-1908) telah beberapa )ali melukis dengan gaya Mooi Indie
dengan mengambil objek di sekitar Malang. Pada karya berjudul, Desa In De Omstreken Van
De Hooftplaats Malang dan View of a Kampong With Possibly The Smeroe in the
Background nampak bahwa pelukis ini mengagumi keindahan pemandangan di sekitar
Malang. (http://www.arcadja.com). Pelukis Eropa lain yang pernah beraktivitas dan tinggal di
kota Malang adalah, Gerard Pieter Adolfs (1898-1968) kelahiran Semarang. Pelukis ini
beberapa kali melukis tentang pemandangan di sekitar Malang seperti misalnya By-road near
Kasri (1929) dan Dessa near Purwosari (1932). Willem van der Does (1889-1966) pada
tahun 1930-an juga melukis objek pemandangan di sekitar Malang, dua karyanya adalah
Passar in het Malangse dan Dinogo bij Batoe (1932).
Gerard Pieter Adolfs pada tahun 1929 mengadakan pameran di kota Malang, tepatnya
di gedung Societeit Concordia dekat alun-alun. Gedung societeit ini sekarang sudah berganti
menjadi plasa Sarinah. Menurut Agus Dermawan T. dua pelukis Belanda itu (Adolfs dan van
der Does) memberi pengaruh terhadap gaya seni lukis Koempoel seorang pelukis kelahiran
Ngawi yang pada tahun 1932 pindah dari Surabaya ke Malang mengikuti ayahnya, kemudian
belajar kepada Does. (Dermawan T., 2004)
Kerkhoff, Adolfs, Does, dan Koempoel merupakan para pelukis yang bergaya Mooi
Indie yang digemari oleh masyarakat Hindia Belanda pada masa itu. Pada tahun 1935
Koempoel menpemroleh sponsor dari seorang dokter bernama dr. Soerodjo untuk berpameran
pertama kalinya di kota Malang. Pada masa revolusi Koempoel terlibat dalam pemb uatan
pamflet dan poster untuk propaganda. Pada tahun 1950-1970 Koempoel sangat produktif
dalam berkarya seni lukis. Karya-karya Koempoel oleh kalangan seni rupa Indonesia kurang
diapresiasi.
Pada masa kolonial di Malang terdapat juga para pelukis dan ilustrator dari
kalangan keturunan Tionghoa seperti Tan Liep Poen (Malang,1906), Liem Kwee Bing,
pelukis yang menjadi pemimpin majalah Liberty yang terbit di Malang sejak masa kolonial.
Tan Liep Poen bersama pelukis Lee Man Fong dengan pelukis-pelukis Tionghoa lainnya yang
berjumlah tujuh orang, pada tahun 1946 mengadakan pameran lukisan di toko buku Kolff di
Batavia (Hoedjin_kwee, 2009). Lee Man Fong bersama para pelukis Tionghoa lainnya pada
tahun 1955 mendirikan perkumpulan Yin Hua. Lim Kwee Bing menjadi salah satu dari
4
anggota Yin Hua, kemudian di Malang ia mendirikan Mung May (Dermawan T., 2004).
Organisasi pelukis Tionghoa Yin Hua pada era Orde Lama mendapat dukungan dari
pemerintah, setelah peristiwa 1965, organisasi ini bubar. Setelah reformasi terdapat pelukis
Tionghoa dari Malang bernama Sidik Martowijojo (Malang, 1937). Pelukis ini
mengembangkan gaya Guo Hua yang berasal dari tradisi seni lukis Tiongkok. Dengan gaya
Guo Hua ini Sidik lebih sering melukis menggunakan cat air di atas kertas.
(http://umiuci.blogspot.com, 2013)
Pada tahun 1960-an di Malang berdiri Sanggar Pelukis Malang yang dimotori oleh
Widagdo, dengan anggota IB. Said, Bramasto, dan Alimaraban. (Dermawan T.,1993 ). IB.
Said kemudian pindah ke Jakarta bekerja sebagai pelukis spesialis kepala negara. Said hingga
kini sudah ratusan kali melukis wajah presiden Republik Indonesia dan wajah presiden
berbagai negara sahabat yang sedang bertamu di istana negara. Pada tahun 1966 Teguh
Santosa seorang pemuda kelahiran Malang 1942 pergi ke Yogyakarta untuk belajar
menggambar dan melukis di Sanggar Bambu. Teguh Santosa lulusan SMA 4 Malang yang
memiliki bakat menggambar sejak kecil. Sepulang dari Yogyakarta, Teguh menjadi pelukis
komik yang sangat produktif. Komik pertama karya Teguh berjudul Paku Wojo dibuat tahun
1964.( agungkepanjen.blogspot.com, 22 Feb. 2014)
Era Pendidikan Tinggi Seni Rupa di Malang (1970-an-1980-an)
Pada tahun 1968 Jurusan Seni Rupa IKIP Malang dibuka untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan seni rupa. Dosen-dosen pertama yang
mengajar di jurusan seni rupa adalah Bp. Katjik Sutjipto, Ibu Dedy S. Winoto, dan Ibu Nieke
Handrawati. Bp. Katjik Sutjipto lulusan ASRI yang banyak memotivasi mahasiswanya untuk
berkarya seni rupa dan mendorog untuk berpameran. Para mahasiswa seni rupa yang aktif
berkarya termotivasi untuk membentuk sanggar sebagai wadah kreativitas dalam berkarya
seni rupa. Pada tahun 1975 sebagian mahasiswa seni rupa mendirikan Sanggar Arti
Dengan anggota Yon Wahyuono, Imam Muhadjir, Sunari, M. Sattar, Agus Hadisuryo, Antoni
Wibowo, Andi Harisman, dan lain-lain. Tidak lama kemudian berdiri Sanggar Mars dengan
anggota diantaranya adalah Didik Mintadi dan M. Eksan. Mahasiswa seni rupa yang lain juga
terdorong untuk membentuk kelompok yaitu Sanggar Sakti dengan anggota, Didiek
Rahmanadji, Yayit Prabi, Budi Rahardjo, Prayitno Abimanyu, dan lain-lain. (Wawancara
dengan Andi Harisman, 19 Feb. 2014) Hingga tahun 1980-an dari tiga sanggar itu yang masih
aktif adalah Sanggar Arti, bahkan hingga saat ini beberapa anggotanya masih sering
mengikuti pameran.
5
Pada awal 1980-an di IKIP Malang (UM) sudah terdapat unit kegiatan mahasiswa
(UKM) Sanggar Minat, unit kegiatan yang memberi ruang kepada mahasiswa untuk berkreasi
di luar ruang kuliah. Sebagian besar anggota sanggar minat adalah mahasiswa jurusan seni
dan desain. Mahasiswa yang aktif di sanggar minat memiliki pengalaman berkarya dan
pameran yang lebih banyak dibanding mahasiswa lainnya. Beberapa alumni seni rupa IKIP
Malang (UM) yang menjadi aktivis sanggar minat seperti Ojit Budi Sutarno dan Gatot
Pujiarto kini sukses sebagai perupa di tingkat nasional.
Para perupa di Malang sejak tahun 1980-an awal sudah memimpikan perlunya tempat
berkesenian yang ideal di kota Malang. Pada saat itu Dewan Kesenian Malang sudah
terbentuk dan pengurusnya sudah aktif bekerja. Para perupa yang tergabung dalam DKM
mengincar sebuah lahan kosong yaitu Taman Indrokilo yang letaknya di belakang Museum
Brawijaya. Keinginan para perupa Malang untuk memperoleh tempat berkesenian belum
terkabul saat itu, tidak lama kemudian lahan itu berubah menjadi perumahan elite. Akhirnya
di akhir tahun 1980-an pemerintah Kota Malang membangun gedung Dewan Kesenian
Malang di Jalan Majapahit dekat pasar burung.
Pada era tahun 1970-an beberapa perupa kelahiran Malang belajar seni rupa dan
berkarir di kota Yogyakarta. Bonyong Munni Ardhie lahir di Malang 1946, sejak tahun 1968
hingga tahun 1980 belajar di STSRI ASRI (ISI). Pada tahun 1975-1979 Bonyong bergabung
dengan Gerakan Seni Rupa Baru dan juga tergabung pada kelompok Pipa. Ivan Sagito lahir
di Malang tahun 1957 sejak tahun 1975 sudah masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia di
Yogyakarta dan tahun 1979 masuk STSRI ASRI. Ivan Sagito adalah seorang warga keturunan
Tionghoa namun karya-karyanya nampak njawani. (Marianto, 2001). Pada tahun 1979,
Effendi kelahiran Malang 1957 juga masuk STSRI ASRI. Effendi dan Ivan Sagito adalah dua
perupa kelahiran Malang yang pada tahun 1980-an mewarnai dunia seni lukis Indonesia
dengan gaya surealisme Yogyakarta (Marianto, 2001). Hedi Hariyanto kelahiran Malang
1962 pada tahun 1983 kuliah di ISI jurusan Seni Patung. Pada tahun 1992 Hedi ikut berperan
dalam aksi dan pameran Binal Eksperimental yang dilaksanakan bersamaan dengan Biennale
Seni Lukis Yogyakarta.
Dalam dunia kritik seni terdapat nama Adi Wicaksono lahir di Malang tahun 1968,
pernah belajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta. Adi Wicaksono pernah menulis artikel di Kompas dengan judul Yang Keren
dan Terkendali sebagai komentar terhadap pameran Bandung Art Now. Dalam tulisan itu Adi
memuji-muji suasana kehidupan seni rupa dan penampilan mahasiswa di Bandung yang
6
“keren dan gaul” yang dikontraskan dengan suasana seniman dan mahasiswa di Yogyakarta
yang mbentoyong menanggung beban sejarah.( KOMPAS, 11 Januari 2009)
Beberapa nama lain yang belajar seni rupa di luar kota Malang adalah: Nunung WS.
(Malang, 1948) belajar di Aksera Surabaya kemudian menetap di Yogyakarta. Samsul Arifin
(Malang, 1979) dan Dwi Setianto (Malang) belajar di ISI Yogyakarta. Yoyok S. (Malang,
1981) belajar di Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta. Para perupa asal Malang ini
semuanya masih aktif berkarya hingga saat ini. Seorang perupa kelahiran Malang tahun 1960
yaitu Hardiman Radjab pada tahun 1981-1987 belajar di Fakultas Seni Rupa IKJ Jakarta.
Hardiman kini menjadi perupa yang cukup produktif, ia sering menggunakan koper sebagai
medianya.
Seni Rupa Malang dari Tahun 1990-an Hingga Masa Kini
Seiring melemahnya sanggar-sanggar yang dibentuk oleh para mahasiswa dan alumni
Jurusan Seni Rupa IKIP Malang pada tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, di kota Batu
kehidupan seni rupa justru baru mulai tumbuh. Pada tahun 1983 di kota Batu berdiri Pondok
Seni Batu yang dimotori oleh Koeboe Sarawan seorang pelukis surealis jebolan ISI
Yogyakarta. Para anggota yang aktif di Pondok Seni Batu adalah : Koeboe S., Badrie, , Djuari
S., Slamet Henkus, Gusbandi Harioto, Agus Riyanto, Andri Suhelmi, M. Watoni Suid, Anwar,
Bambang BP., Isa Ansori, Herry Poer, Sugiono, dan Fadjar Djunaedi. Hingga saat ini prestasi
yang dicapai oleh para anggota Pondok Seni Batu ini cukup bisa dibanggakan karena di
antara mereka sudah ada yang ikut CP. Biennale, nominator Indonesian Art Award. Kota Batu
didukung oleh lingkungan yang nyaman, banyak objek wisata, hotel dan restoran, dan juga
terdapat galeri Raos.
Pada tahun 1990-an kegiatan seni rupa di kota Malang tidak hanya berlangsung di
galeri DKM tetapi juga berlangsung di berbagai tempat umum seperti di hotel, mall, galeri
swasta, rumah makan dan lain sebagainya. Kelompok alternatif mulai bermunculan di kota
Malang seperti BKJT (Belok Kiri Jalan Terus), Kentjing Andjing, Portal, Insomniun, Rumah
Sakit Seni, Komunitas Seni Asma, Kelompok Studi Seni Lentera, Sanggar Blitz, dan lainlain. (Yulistio dan Yummi, 2013)
Kota Malang yang tidak dianggap sebagai kota seni-budaya ternyata di kota ini ada
juga pecinta seni yang berani membuka galeri swasta. Seorang dokter yaitu dr. Purnomo
Limanto pada tahun 2001 membuka Puri Art Gallery dengan misi ingin mengembangkan
seni rupa di Jawa Timur. Pemilik galeri ini adalah salah satu dari pendiri AGSI Asosiasi
Galeri Seni Indonesia. Puri kini melebarkan sayapnya ke Jakarta, bersama delapan galeri lain
7
anggota AGSI, Puri membuka cabangnya di Jakarta Art District. (www.puriartgallery.com,
20 Feb. 2014).
Tahun 2003 di kota Malang dibuka lagi sebuah galeri seni swasta yaitu Semar Gallery.
Pembukaan galeri baru ini dilakukan oleh dr. Oei Hong Djien dari Magelang. Galeri ini
dikelola oleh seorang warga Malang bernama Christine Ivonella. Misi dari Semar Gallery
adalah menyajikan keberagaman seni terutama seni lokal dan seni Tiongkok. Kurator yang
dipercaya untuk mewujudkan misi itu adalah Djuli Djatiprambudi dari Unesa Surabaya.
(Jakarta Post, 27 Nov. 2003)
Beberapa tahun terakhir masyarakat kota Malang lebih sering menyaksikan pameran
seni rupa dari para perupa Malang maupun dari luar kota di Ruang Pamer Perpustakaan Kota
Malang. Ruang pamer ini sering digunakan pameran seni rupa oleh para mahasiswa maupun
para perupa pemula dari berbagai komunitas seni yang ada di kota Malang. Beberapa sekolah
menengah (SMA) di kota Malang yang memiliki ekstra kurikuler seni rupa juga sering
memanfaatkan ruang pamer perpustakaan ini untuk mempresentasikan karya mereka.
Keberadaan galeri-galeri swasta itu belum secara signifikan memberi kontribusi
terhadap perkembangan seni rupa di Malang. Hanya sedikit sekali perupa lokal yang dapat
bekerjasama dengan galeri-galeri ini. Pada tahun 2009 di Malang berdiri sebuah galeri
dengan nama yang metaforik yaitu Rumah Seni Kemarin Sore. Rumah seni ini dikelola oleh
tiga perupa Malang yaitu Antoe Budiono, Gatot Pujiarto, dan Keo Hariyanto. Visi dari rumah
seni ini adalah memperluas potensi yang dimiliki oleh art world di Malang dengan melalui
mengenalkan, mempromosikan, dan memasarkan karya-karya perupa muda Malang.
Hingga saat ini dapat dikatakan bahwa potensi seni rupa yang dimiliki warga Malang
sebenarnya cukup besar, mereka dapat dikategorikan berdasarkan yang berpendidikan seni
rupa dan yang tidak berpendidikan seni rupa. Salah satu lembaga yang dapat diharapkan
dapat memberi kontribusi dalam meningkatkan potensi seni rupa yang terdapat di Malang
adalah pendidikan tinggi seni. Lembaga pendidikan yang sudah cukup berperan serta dalam
pengembangan seni rupa di Malang adalah Jurusan Seni Desain Universitas Negeri Malang.
Diakui bahwa lembaga pendidikan di UM ini bukan disiapkan untuk menghasilkan seniman
(perupa), namun fakta di lapangan tidak sedikit alumni dari pendidikan seni rupa ini
berprofesi sebagai perupa.
Para dosen di Jurusan Seni dan Desain tidak seluruhnya aktif berkarya seni, hanya
sebagian kecil saja yang masih berkarya, terutama para dosen yang mengajar matakuliah
praktek seperti seni lukis, seni patung, seni grafis dan kriya. Beberapa dosen yang masih
8
sesekali berkarya adalah Ponimin, Triyono Widodo, Andi Harisman, Agung Arimbawa dan
lain-lain. Ponimin adalah perupa keramik yang sudah memiliki pengalaman internasional.
Beberapa alumni Jurusan Seni dan Desain Universitas Negeri Malang yang saat ini
sudah mencapai posisi di tingkat nasional dan memiliki pengalaman pameran di luar negeri
adalah misalnya : Fadjar Djunaedi dan Isa Ansori dari kota Batu. Toto Kamdani, Ojit Budi
Sutarno, Gatot Pujiarto, dan Yoga Mahendra dari kota Malang. Selain para perupa tersebut
terdapat seorang pelukis pensil yang sudah berhasil di pasar yaitu Iroel Choirul Sabarudin.
Di kota Malang juga terdapat komunitas perupa dari berbagai latarbelakang seperti
Komunitas Malangsuko, Bambang AW, pelukis difabel Sodikin, Asta Citra Perupa Malang
Art, dan lain-lain. Para komunitas dan perupa-perupa kota Malang ini juga aktif mengadakan
berbagai pameran di ruang pamer perpustakaan kota, Bromo Artspace, dan tempat lain. Para
perupa ini juga sering terlibat dalam even seni tahunan di Kampung Celaket kota Malang.
Beberapa perupa asal kota Malang juga ada yang mengembangkan karir seni rupanya
di Bali, mereka adalah Ponco Setyohadi, Yosa, dan Yonas. Ponco adalah perupa jebolan
Jurusan Seni dan Desain UM yang sejak tahun 1992 sudah berada di Bali, pada bulan
Februari ini ia mengadakan pameran tunggal dengan tema Poleng. Yosa adalah perupa asal
kota Malang jebolan ISI Yogyakarta sudah beberapa tahun tinggal di Bali. Yonas juga dari
Malang belajar seni di Universitas Udayana Denpasar. Di Kalimantan tepatnya di kota
Bontang juga terdapat dua perupa asal Malang yaitu Supardi dan Paulus Patiwael. Karena
terbatasnya waktu dalam penulisan sehiungga banyak perupa asal kota Malang yang belum
terekam dalam tulisan ini. Sebenarnya masih banyak nama-nama perupa asal Malang ataupun
yang beraktivitas di Malang tetapi karena keterbatasan data maka hanya sebagian saja yang
dapat ditampilkan.
Kesimpulan
Malang sejak zaman kolonial sudah menjadi tempat yang menarik bagi para pelukis
Belanda, Tionghoa dan Jawa untuk berkarya seni. Pada awal kemerdekaan beberapa perupa
membentuk Sanggar Pelukis Malang. Para sarjana seni rupa asal Malang yang belajar di kota
Bandung dan Yogyakarta kembali ke Malang untuk membuka jurusan seni rupa di IKIP
Malang.
Beberapa perupa asal kota Malang memberi kontribusi pada beberapa peristiwa dan
gerakan seni rupa di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Bonyong M. menjadi bagian dari
Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia 1975-1979. Ivan Sagito dan Effendi memberi kontribusi
pada gaya surealisme Yogyakarta tahun 1980-an. Hedi Hariyanto ikut aktif dalam Binal
Eksperimental tahun 1992 untuk mengkritisi Bienale Seni Lukis Yogyakarta.
9
Para perupa di kota Batu yang tergabung dalam Pondok Seni Batu memiliki semangat
yang tangguh sehingga secara bersama-sama dapat meraih sukses. Para perupa di kota
Malang yang memiliki fasilitas lebih banyak tetapi jumlah perupanya yang berhasil kurang
sebanding dengan jumlah penduduknya.
Galeri seni rupa swasta belum maksimal dalam membantu meningkatkan prestasi
perupa. Di kota Malang masih minim kurator dan penulis sehingga informasi tentang seni
rupa dan pengembangan wacana seni rupa di Malang kurang memadai. Perlu dikembangkan
program studi penciptaan seni, pengkajian seni, dan menejemen seni, sehingga lulusan
pendidikan seni ini dapat mempercepat kemajuan seni rupa di kota Malang.
Malang memiliki potensi seni rupa yang dapat diharapkan untuk lebih berkembang di
masa yang akan datang. Art world di Malang belum terlembaga seperti di kota lain, sehingga
semua unsur yang dapat mendukung perkembangan seni rupa di Malang perlu saling
berkomunikasi.
Daftar Rujukan
Dermawan T.,Agus, 1993, “Sanggar Kamboja dan Perkumpulan Seni Rupa di Indonesia”,
Katalog Pameran Lukisan Sanggar Kamboja Bali Ke VII, di Gedung Pameran Seni
Rupa Depdikbud Jakarta 26 Agustus – 2 September 1993.
Dermawan T.,Agus, 2004. Bukit-bukit Perhatian : Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu
sampai Kosmologi Seni Bung Karno, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Handinoto, 1996. “Perkembangan Kota Malang Pada Zaman Kolonial (1914-1940)”, Jurnal
DIMENSI 22/September 1996.
Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di Indonesia
Hoedjin_kwee, 2009. “7 Pelukis Tionghoa bisa dianggep sebage Pionier Seni Lukis di
Indonesia”
Holt, Claire 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan RM.
Soedarsono, Bandung:MSPI.
Marianto,Dwi, 2001. Surealisme Yogyakarta, Yogyakarta: Merapi.
Supangkat, Jim (ed) 1979. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, Jakarta:Penerbit PT Gramedia
Yulistio W. dan Yummi,Akbar 2013. “Menilik Dari Sejarah dan Membaca Perkembangan
Seni Rupa: Sebuah catatan singkat pembacaan seni rupa di Malang”,
http://sangchakti.blogspot.com/2013/01/menilik-dari-sejarah-dan-membaca.html
Jakarta Post, 27 Nov. 2003
KOMPAS, 11 Januari 2009
agungkepanjen.blogspot.com, 22 Feb. 2014
10
http://www.arcadja.com
www.puriartgallery.com
http://umiuci.blogspot.com, 2013
Wawancara dengan Andi Harisman (pelukis dan dosen UM), 19 Feb. 2014 di Ruang Dosen
Jurusan Seni dan Desain UM.
11