Tinjauan Teori christaller terhadap stru
ANALISIS RELEVANSI TEORI WALTER CHRISTALLER
PADA PELAYANAN KESEHATAN KOTA
BANDARLAMPUNG
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Lokasi Pola Ruang
(TKP 341)
Dosen Pembimbing:
Sri Rahayu, S.Si., M.Si.
Oleh:
Aufa Dirgahayu K
Pandu Farchan J
21040112130087
21040112140121
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
Pendahuluan
Pelayanan
publik
merupakan
unsur
yang
sangat
penting
dalam
sistem
masyarakat modern. Semakin berkembangnya kompleksitas sebuah masyarakat
menuntut adanya keragaman kebutuhan pelayanan publik: pertama, masyarakat
semakin
membutuhkan
pelayanan
publik
tertentu,
seperti
pendidikan
dan
kesehatan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi; kedua, masyarakat juga
membutuhkan pelayanan publik jenis lain seperti perijinan untuk mendorong
aktivitas-aktivitas
yang
lain; dan
ketiga,
masyarakat
atau
daerah
tertentu
membutuhkan pelayanan khusus seperti sektor pertanian karena dianggap penting
untuk mendapatkan perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor tersebut.
Tujuan pelayanan publik adalah untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi
publik atau masyarakat. Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas
pelayanan yang diterima.
Untuk mencapai tujuan tersebut, suatu pelayanan publik harus diletakkan pada
lokasi yang optimal. Dalam penentuan lokasi optimal suatu pelayanan publik salah
satu teori yang digunakan adalah teori Christaller. Christaller mencoba menjelaskan
bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu
wilayah. Dalam teori Christaller pelayanan public itu kemudian disusun berdasarkan
hierarki yang saling berhubungan satu sama lain. Pusat pelayanan public serta
hierarkinya disusun berdasarkan bentuk segienam. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai apakah ada relevansi terhadap penentuan lokasi pusat pelayanan
kesehatan di kota Bandarlampung dengan teori lokasi milik Christaller, serta apakah
pelayanan kesehatan telah menjangkau seluruh wilayah Kota Bandarlampung serta
seluruh penduduknya.
Kajian Teori
Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini
Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di
dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang
diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari
Christaller (Tarigan, 2005).
Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut:
1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh wilayah.
4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau biaya.
Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi.
Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah
pemasaran minimal disebut thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam
ruang threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan
kemudian muncul pengusaha baru.
Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut:
1. Mula-mula terbentuk
2. Areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap
lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas
tersebut.
3. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas
tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
4. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan
sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan
yang tidak lagi tumpang tindih.
5. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri
Gambar: Central Place Theory
Secara hierarki Central Place Theory dibagi menjadi 3 (tiga) menurut jenis-jenis
pusat/ tingkatan pelayanan, yaitu:
1. Hierarki K 3
Tempat sentral yang berhierarkhi 3 adalah pusat pelayanan berupa pasar
yang senantiasa menyediakan barang-barang konsumsi bagi penduduk yang
tinggal di daerah sekitarnya. Hierarki 3 sering disebut sebagai kasus pasar
optimal yang memiliki pengaruh 1/3 bagian dari wilayah tetangga di
sekitarnya yang berbentuk heksagonal, selain memengaruhi itu sendiri.
2. Hierarki K 4
Tempat sentral yang berhierarki 4 dinamakan situasi lalu lintas yang
optimum, artinya di daerah tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya yang
terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan rute
lalu lintas yang paling efisien. Situasi lalu lintas optimum ini memiliki
pengaruh ½ bagian dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya yang berbentuk
segi enam selain mempegaruhi wilayah itu sendiri.
3. Hierarki K 7
Tempat sentral yang berhierarki 7 dinamakan situasi administratif yang
optimum. Tempat sentral ini mempengaruhi seluruh baian (satu bagian)
wilayah-wilayah tetangganya, selain mempengaruhi wilayah itu sendiri.
Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hierarki yang
lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi
darinya. Christaller menyatakan bahwa produsen berbagai jenis barang untuk orde yang sama cenderung
berlokasi pada titik sentral di wilayahnya dan hal ini mendorong terciptannya kota.
Pembahasan
Asumsi
Christaller
yang
tidak
relevan
dengan
kondisi
fisik
di
Kota
Bandarlampung yaitu tentang topografi di suatu daerah yang datar. Di kota
Bandarlampung ini mempunyai topografi yang beragam yaitu datar hingga landai
sekitar 60% luas wilayah, 35% yaitu kemiringan landai hingga curam dan sisanya
kemiringan sangat curam. Akibatnya penempatansarana kesehatan di wilayah ini
tidak bisa membentuk segi enam utuh karena bisa saja suatu sisi segi enam
merupakan tempat yang curam dan tidak bisa didirikan bangunan pelayan
kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit.
Gambaran Umum luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan per
kecamatan
di Kota Bandarlampung
KECAMATAN
Luas(k
Jumlah Penduduk
Kepadatan
Telukbetung
m2)
24,2367
35951
Penduduk
1483,325207
Barat
Tanjungkarang
6
9,10461
56284
6181,91915
Timur
Telukbetung
6
14,4289
62011
4297,68319
Utara
Telukbetung
4
13,5989
49916
3670,587225
Selatan
Kemiling
1
26,9422
81122
3010,962089
Rajabasa
2
10,8111
59658
5518,204117
Tanjung
3
9,44632
54873
5808,928153
Senang
Labuhan Ratu
1
4,14830
60692
14630,56098
Kedaton
Sukarame
3
5,45282
11,8499
72953
73443
13378,94887
6197,737732
Way Halim
7
6,99558
92163
13174,44841
7
Panjang
33,9328
96286
2837,546165
Tanjungkarang
4
18,1007
74157
4096,911116
Barat
Tanjungkarang
1
4,70906
72195
15331,07542
Pusat
Enggal
3
4,43144
40660
9175,340854
Sukabumi
3
7,14047
69621
9750,190323
Total
6
205,330
1051985
118544,369
1
Sumber : BPS,2011
Kepadatan penduduk terbesar di kota Bandarlampung berdasarkan tabel diatas
yaitu berada di kecamatan Sukabumi yang berada pada pinggiran kota dan
merupakan kawasan permukiman baru di Bandarlampung. Sedangkan kepadatan
penduduk terkecil yang ada pada kota Bandarlampung terdapat di kecamatan
Enggal yang ada di pusat kota. Dari penjelasan itu dapat terlihat sekali bahwa
asumsi Christaller dimana jumlah penduduk di suatu daerah tersebar merata itu
tidak relevan lagi di masa sekarang. Ini dikarenakan beberapa alasan yang
mendasar diantaranya topografi pada suatu daerah beragam dan terdapat lahan
yang tidak bisa dijadikan hunian, kemudahan aksesibilitas dan mobilitas disetiap
daerah di kota ini yang berbeda sehingga penduduk lebih memilih bermukim di
tempat yang mempunyai mobilitas dan aksesibilitas tinggi serta adanya perbedaan
dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan pendapatan masyarakat di
suatu daerah berbeda-beda tergantung pada sumberdaya yang ada pada wilayah
tersebut. Selain bergantung kepada sumber daya, investasi adalah hal yang paling
penting dan kembali lagi nilai investasi di suatu daerah berbanding lurus dengan
aksesibilitas, mobiltas, serta tersedianya prasana dan sarana yang mendukung
investasi tersebut. Itu dapat terlihat di kota Bandarlampung yang mempunyai
pendapatan perkapita di setiap daerah yang berbeda-beda.
Skala pelayanan yang mempunyai hierarki serta mempunyai bentuk segienam
pun otomatis tidak konkrit lagi karena terdapat banyak asumsi yang tidak relevan
dengan keadaan di Kota Bandarlampung. Bentuk segienam di kota Bandarlampung
tidak dapat diaplikasikan karena perbedaan topografi yang erat hubungannya
dengan persebaran penduduk yang ingin dilayani oleh suatu fasilitas. Persebaran
fasilitas
pun
puskesmas
tidak
di
merata
pada
Bandarlampung
kota
yang
Bandarlampung.
tidak
merata
Persebaran
ini
fasilitas
disebabkan
oleh
perkembangan waktu. Maksudnya yaitu jika pada awal pembangunan puskesmas
persebaran penduduk hanya tepusat di kecamatan seperti Teluk Betung, Tanjung
Karang, Kedaton, Kemiling yang kemudian muncul permukiman-permukiman baru di
wilayah seperti sukabumi yang tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas
kesehatan seperti puskesmas di kecamatan itu. Otomatis dengan tumbuhnya
permukiman baru tersebut membawa dampak kepada tidak adanya puskesmas
pendukung yang mempunyai hierarki diatas atau dibawah fasilitas puskesmas yang
dibangun di kecamatan yang baru berkembang tersebut.
Untuk
melakukan
perhitungan
jumlah
sarana
kesehatan
yang
dapat
menjangkau seluruh wilayah di kota Bandarlampung agar dapat menjadikan
pelayanan yang maksimal menggunakan rumus sebagai berikut
Jangkauan Pelayanan = Luas Wilayah(m 2)/ Standar Pelayanan (Radius Pencapaian
dalam m2)
Jangkauan Pelayanan Puskesmas Pembantu = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 1500m x 1500m)
= 29 Puskesmas Pembantu
Jangkauan Pelayanan Puskesmas induk = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 3000m x 3000m)
= 205.330.100/28.285.714,29
= 7,26 = 8 Puskesmas Induk
Jangkauan Pelayanan Rumah Sakit = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 5000m x 5000m)
= 2,62 = 3 Rumah sakit
Perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui jumlah fasilitas minimum
puskesmas pembantu, puskesmas induk, dan rumah sakit yang ada di Kota
Bandarlampung agar dapat melayani seluruh penduduk kota Bandarlampung,
melalui rumus berikut:
Jumlah Fasilitas = Jumlah Penduduk di Bandarlampung/ Jumlah Penduduk Standar
Jumlah Puskesmas Pembantu = 1.051.985/30.000
= 35,06 = 35
Jumlah Puskesmas Induk = 1.051.985/120.000
= 8,77 = 9
Jumlah Rumah Sakit = 1.051.985/240.000
= 4.38 = 5
Jumlah Pusat Pelayanan Kesehatan di Kota Bandarlampung Secara
Perhitungan Minimum (Range dan Threshold) dan Secara Eksisting
No
Jenis Pelayanan
Perhitun
Perhitungan
Rata-
Jumlah
Kesehatan
gan
Jumlah
rata
Eksisting
Jangkaua
Penduduk
n
Pendukung
1 Rumah Sakit
3
2 Puskesmas Induk
8
3 Puskesmas Pembantu
29
Sumber : Analisis Jannata dan Kencana ,2013
5
9
35
4
9
32
5
10
17
Perhitungan minimum pelayanan di atas agar setiap kebutuhan pelayanan
kesehatan
melayani
masyarakat
serta
memiliki
hierarki
yang
memberikan
masyarakat pilihan untuk menikmati setiap hierarki dari pusat pelayanan kesehatan
itu. Berdasarkan perhitungan minimum pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk
menjangkau seluruh wilayah di kota Bandarlampung adalah sebanyak 3 buah
rumah sakit, 8 puskesmas induk, dan 29 puskesmas pembantu. Sedangkan untuk
melayani
semua
penduduk
kota
Bandarlampung
adalahsebanyak
35
buah
puskesmas pembantu, 9 puskesmas induk, serta 5 rumah sakit umum. Dari
keduanya maka didapatkan nilai rata-rata yang berupa intersect antara jumlah
sarana kesehatan minimum yang dihitung berdasarkan cakupan pelayanan dan
jumlah penduduk pendukung yaitu 4 rumah sakit, 9 puskesmas induk dan 32
puskesmas pembantu. Secara eksisting kota Bandarlampung mempunyai jumlah
puskesmas induk serta rumah sakit yang dapat dikatakan menjangkau seluruh
penduduk serta cakupan pelayanannya menjangkau seluruh penduduk (jika
ditempatkan di lokasi yang tepat). Namun jumlah eksisting puskesmas pembantu
belum dapat mewakili seluruh penduduk dan cakupan pelayanannya.
Berdasarkan peta jangkauan wilayah di atas dapat dilihat jika masih terdapat
daerah yang belum terjangkau oleh sarana kesehatan di Kota Bandarlampung.
Jangkauan pelayanan kesehatan di Kota Bandarlampung memusat pada bagian
tengah dan timur saja yang notabene wilayah yang perkembangan ekonominya
cepat dan pendapatan penduduk rata-rata tinggi. Penempatan sarana kesehatan
disini
dibentuk
tidak
berdasarkan
hierarki
dan
tidak
berbentuk
segienam.
Contohnya di kecamatan Teluk Betung yang sama sekali tidak ada puskesmas
pembantu dan rumah sakit yang merupakan hierarki dari puskesmas induk.
Kesimpulan
Teori Christaller merupakan teori yang menggunakan bentuk segienam sebagai acuan pelayanan
agar terjadi pelayanan yang merata. Teori ini sebenarnya bagus apabila dapat dipraktikkan, namun
memiliki kelemahan karena menggunakan asumsi-asumsi yang sudah tidak relevan di Indonesia dan di
zaman sekarang. Saat ini setiap orang memiliki daya ekonomi yang berbeda-beda tergantung pada
pendapatan. Selain itu, tiap wilayah di Indonesia memiliki bentuk topografi yang tidak sama.
Penempatan skala pelayanan kesehatan di Bandarlampung menjadi contoh nyata mengapa teori
christaller tidak relevan lagi. Penempatan skala pelayanan kesehatan di Bandarlampung tidak berhierarki
dan berbentuk segienam yang dikatakan Christaller. Penempatan sarana kesehatan di Bandarlampung
memusat di wilayah dengan perkembangan ekonominya cepat dan pendapatan penduduk
rata-rata tinggi. Sehingga range pelayanan kesehatan di Bandarlampung membuat sebagian
wilayah tidak terlayani pelayanan kesehatan, seperti di kecamatan Teluk Betung.
Daftar Pustaka
Bandarlampung dalam angka. 2010
Rahayu, Sri. 2013. “Teori Tempat Pusat”, dalam Mata Kuliah Analisis Lokasi dan
Pola Ruang. Semarang: JPWK UNDIP.
Tarigan, Robinson. 2013. Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Bumi
Aksara.
PADA PELAYANAN KESEHATAN KOTA
BANDARLAMPUNG
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Lokasi Pola Ruang
(TKP 341)
Dosen Pembimbing:
Sri Rahayu, S.Si., M.Si.
Oleh:
Aufa Dirgahayu K
Pandu Farchan J
21040112130087
21040112140121
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
Pendahuluan
Pelayanan
publik
merupakan
unsur
yang
sangat
penting
dalam
sistem
masyarakat modern. Semakin berkembangnya kompleksitas sebuah masyarakat
menuntut adanya keragaman kebutuhan pelayanan publik: pertama, masyarakat
semakin
membutuhkan
pelayanan
publik
tertentu,
seperti
pendidikan
dan
kesehatan sebagai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi; kedua, masyarakat juga
membutuhkan pelayanan publik jenis lain seperti perijinan untuk mendorong
aktivitas-aktivitas
yang
lain; dan
ketiga,
masyarakat
atau
daerah
tertentu
membutuhkan pelayanan khusus seperti sektor pertanian karena dianggap penting
untuk mendapatkan perhatian dan penanganan khusus dari pemerintah guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang bekerja di sektor tersebut.
Tujuan pelayanan publik adalah untuk menyediakan pelayanan yang terbaik bagi
publik atau masyarakat. Pelayanan yang terbaik adalah pelayanan yang memenuhi
apa yang dijanjikan atau apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Pelayanan terbaik akan membawa implikasi terhadap kepuasan publik atas
pelayanan yang diterima.
Untuk mencapai tujuan tersebut, suatu pelayanan publik harus diletakkan pada
lokasi yang optimal. Dalam penentuan lokasi optimal suatu pelayanan publik salah
satu teori yang digunakan adalah teori Christaller. Christaller mencoba menjelaskan
bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu
wilayah. Dalam teori Christaller pelayanan public itu kemudian disusun berdasarkan
hierarki yang saling berhubungan satu sama lain. Pusat pelayanan public serta
hierarkinya disusun berdasarkan bentuk segienam. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai apakah ada relevansi terhadap penentuan lokasi pusat pelayanan
kesehatan di kota Bandarlampung dengan teori lokasi milik Christaller, serta apakah
pelayanan kesehatan telah menjangkau seluruh wilayah Kota Bandarlampung serta
seluruh penduduknya.
Kajian Teori
Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini
Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di
dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang
diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari
Christaller (Tarigan, 2005).
Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut:
1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama.
2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface).
3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada seluruh wilayah.
4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau biaya.
Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi.
Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah
pemasaran minimal disebut thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam
ruang threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan
kemudian muncul pengusaha baru.
Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut:
1. Mula-mula terbentuk
2. Areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaran-lingkaran. Setiap
lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas
tersebut.
3. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas
tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
4. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan
sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan
yang tidak lagi tumpang tindih.
5. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri
Gambar: Central Place Theory
Secara hierarki Central Place Theory dibagi menjadi 3 (tiga) menurut jenis-jenis
pusat/ tingkatan pelayanan, yaitu:
1. Hierarki K 3
Tempat sentral yang berhierarkhi 3 adalah pusat pelayanan berupa pasar
yang senantiasa menyediakan barang-barang konsumsi bagi penduduk yang
tinggal di daerah sekitarnya. Hierarki 3 sering disebut sebagai kasus pasar
optimal yang memiliki pengaruh 1/3 bagian dari wilayah tetangga di
sekitarnya yang berbentuk heksagonal, selain memengaruhi itu sendiri.
2. Hierarki K 4
Tempat sentral yang berhierarki 4 dinamakan situasi lalu lintas yang
optimum, artinya di daerah tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya yang
terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan rute
lalu lintas yang paling efisien. Situasi lalu lintas optimum ini memiliki
pengaruh ½ bagian dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya yang berbentuk
segi enam selain mempegaruhi wilayah itu sendiri.
3. Hierarki K 7
Tempat sentral yang berhierarki 7 dinamakan situasi administratif yang
optimum. Tempat sentral ini mempengaruhi seluruh baian (satu bagian)
wilayah-wilayah tetangganya, selain mempengaruhi wilayah itu sendiri.
Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hierarki yang
lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi
darinya. Christaller menyatakan bahwa produsen berbagai jenis barang untuk orde yang sama cenderung
berlokasi pada titik sentral di wilayahnya dan hal ini mendorong terciptannya kota.
Pembahasan
Asumsi
Christaller
yang
tidak
relevan
dengan
kondisi
fisik
di
Kota
Bandarlampung yaitu tentang topografi di suatu daerah yang datar. Di kota
Bandarlampung ini mempunyai topografi yang beragam yaitu datar hingga landai
sekitar 60% luas wilayah, 35% yaitu kemiringan landai hingga curam dan sisanya
kemiringan sangat curam. Akibatnya penempatansarana kesehatan di wilayah ini
tidak bisa membentuk segi enam utuh karena bisa saja suatu sisi segi enam
merupakan tempat yang curam dan tidak bisa didirikan bangunan pelayan
kesehatan seperti puskesmas ataupun rumah sakit.
Gambaran Umum luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan per
kecamatan
di Kota Bandarlampung
KECAMATAN
Luas(k
Jumlah Penduduk
Kepadatan
Telukbetung
m2)
24,2367
35951
Penduduk
1483,325207
Barat
Tanjungkarang
6
9,10461
56284
6181,91915
Timur
Telukbetung
6
14,4289
62011
4297,68319
Utara
Telukbetung
4
13,5989
49916
3670,587225
Selatan
Kemiling
1
26,9422
81122
3010,962089
Rajabasa
2
10,8111
59658
5518,204117
Tanjung
3
9,44632
54873
5808,928153
Senang
Labuhan Ratu
1
4,14830
60692
14630,56098
Kedaton
Sukarame
3
5,45282
11,8499
72953
73443
13378,94887
6197,737732
Way Halim
7
6,99558
92163
13174,44841
7
Panjang
33,9328
96286
2837,546165
Tanjungkarang
4
18,1007
74157
4096,911116
Barat
Tanjungkarang
1
4,70906
72195
15331,07542
Pusat
Enggal
3
4,43144
40660
9175,340854
Sukabumi
3
7,14047
69621
9750,190323
Total
6
205,330
1051985
118544,369
1
Sumber : BPS,2011
Kepadatan penduduk terbesar di kota Bandarlampung berdasarkan tabel diatas
yaitu berada di kecamatan Sukabumi yang berada pada pinggiran kota dan
merupakan kawasan permukiman baru di Bandarlampung. Sedangkan kepadatan
penduduk terkecil yang ada pada kota Bandarlampung terdapat di kecamatan
Enggal yang ada di pusat kota. Dari penjelasan itu dapat terlihat sekali bahwa
asumsi Christaller dimana jumlah penduduk di suatu daerah tersebar merata itu
tidak relevan lagi di masa sekarang. Ini dikarenakan beberapa alasan yang
mendasar diantaranya topografi pada suatu daerah beragam dan terdapat lahan
yang tidak bisa dijadikan hunian, kemudahan aksesibilitas dan mobilitas disetiap
daerah di kota ini yang berbeda sehingga penduduk lebih memilih bermukim di
tempat yang mempunyai mobilitas dan aksesibilitas tinggi serta adanya perbedaan
dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan pendapatan masyarakat di
suatu daerah berbeda-beda tergantung pada sumberdaya yang ada pada wilayah
tersebut. Selain bergantung kepada sumber daya, investasi adalah hal yang paling
penting dan kembali lagi nilai investasi di suatu daerah berbanding lurus dengan
aksesibilitas, mobiltas, serta tersedianya prasana dan sarana yang mendukung
investasi tersebut. Itu dapat terlihat di kota Bandarlampung yang mempunyai
pendapatan perkapita di setiap daerah yang berbeda-beda.
Skala pelayanan yang mempunyai hierarki serta mempunyai bentuk segienam
pun otomatis tidak konkrit lagi karena terdapat banyak asumsi yang tidak relevan
dengan keadaan di Kota Bandarlampung. Bentuk segienam di kota Bandarlampung
tidak dapat diaplikasikan karena perbedaan topografi yang erat hubungannya
dengan persebaran penduduk yang ingin dilayani oleh suatu fasilitas. Persebaran
fasilitas
pun
puskesmas
tidak
di
merata
pada
Bandarlampung
kota
yang
Bandarlampung.
tidak
merata
Persebaran
ini
fasilitas
disebabkan
oleh
perkembangan waktu. Maksudnya yaitu jika pada awal pembangunan puskesmas
persebaran penduduk hanya tepusat di kecamatan seperti Teluk Betung, Tanjung
Karang, Kedaton, Kemiling yang kemudian muncul permukiman-permukiman baru di
wilayah seperti sukabumi yang tidak diimbangi dengan pembangunan fasilitas
kesehatan seperti puskesmas di kecamatan itu. Otomatis dengan tumbuhnya
permukiman baru tersebut membawa dampak kepada tidak adanya puskesmas
pendukung yang mempunyai hierarki diatas atau dibawah fasilitas puskesmas yang
dibangun di kecamatan yang baru berkembang tersebut.
Untuk
melakukan
perhitungan
jumlah
sarana
kesehatan
yang
dapat
menjangkau seluruh wilayah di kota Bandarlampung agar dapat menjadikan
pelayanan yang maksimal menggunakan rumus sebagai berikut
Jangkauan Pelayanan = Luas Wilayah(m 2)/ Standar Pelayanan (Radius Pencapaian
dalam m2)
Jangkauan Pelayanan Puskesmas Pembantu = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 1500m x 1500m)
= 29 Puskesmas Pembantu
Jangkauan Pelayanan Puskesmas induk = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 3000m x 3000m)
= 205.330.100/28.285.714,29
= 7,26 = 8 Puskesmas Induk
Jangkauan Pelayanan Rumah Sakit = 205.330.100/π.r2
= 205.330.100/(3,14 x 5000m x 5000m)
= 2,62 = 3 Rumah sakit
Perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui jumlah fasilitas minimum
puskesmas pembantu, puskesmas induk, dan rumah sakit yang ada di Kota
Bandarlampung agar dapat melayani seluruh penduduk kota Bandarlampung,
melalui rumus berikut:
Jumlah Fasilitas = Jumlah Penduduk di Bandarlampung/ Jumlah Penduduk Standar
Jumlah Puskesmas Pembantu = 1.051.985/30.000
= 35,06 = 35
Jumlah Puskesmas Induk = 1.051.985/120.000
= 8,77 = 9
Jumlah Rumah Sakit = 1.051.985/240.000
= 4.38 = 5
Jumlah Pusat Pelayanan Kesehatan di Kota Bandarlampung Secara
Perhitungan Minimum (Range dan Threshold) dan Secara Eksisting
No
Jenis Pelayanan
Perhitun
Perhitungan
Rata-
Jumlah
Kesehatan
gan
Jumlah
rata
Eksisting
Jangkaua
Penduduk
n
Pendukung
1 Rumah Sakit
3
2 Puskesmas Induk
8
3 Puskesmas Pembantu
29
Sumber : Analisis Jannata dan Kencana ,2013
5
9
35
4
9
32
5
10
17
Perhitungan minimum pelayanan di atas agar setiap kebutuhan pelayanan
kesehatan
melayani
masyarakat
serta
memiliki
hierarki
yang
memberikan
masyarakat pilihan untuk menikmati setiap hierarki dari pusat pelayanan kesehatan
itu. Berdasarkan perhitungan minimum pelayanan kesehatan yang diperlukan untuk
menjangkau seluruh wilayah di kota Bandarlampung adalah sebanyak 3 buah
rumah sakit, 8 puskesmas induk, dan 29 puskesmas pembantu. Sedangkan untuk
melayani
semua
penduduk
kota
Bandarlampung
adalahsebanyak
35
buah
puskesmas pembantu, 9 puskesmas induk, serta 5 rumah sakit umum. Dari
keduanya maka didapatkan nilai rata-rata yang berupa intersect antara jumlah
sarana kesehatan minimum yang dihitung berdasarkan cakupan pelayanan dan
jumlah penduduk pendukung yaitu 4 rumah sakit, 9 puskesmas induk dan 32
puskesmas pembantu. Secara eksisting kota Bandarlampung mempunyai jumlah
puskesmas induk serta rumah sakit yang dapat dikatakan menjangkau seluruh
penduduk serta cakupan pelayanannya menjangkau seluruh penduduk (jika
ditempatkan di lokasi yang tepat). Namun jumlah eksisting puskesmas pembantu
belum dapat mewakili seluruh penduduk dan cakupan pelayanannya.
Berdasarkan peta jangkauan wilayah di atas dapat dilihat jika masih terdapat
daerah yang belum terjangkau oleh sarana kesehatan di Kota Bandarlampung.
Jangkauan pelayanan kesehatan di Kota Bandarlampung memusat pada bagian
tengah dan timur saja yang notabene wilayah yang perkembangan ekonominya
cepat dan pendapatan penduduk rata-rata tinggi. Penempatan sarana kesehatan
disini
dibentuk
tidak
berdasarkan
hierarki
dan
tidak
berbentuk
segienam.
Contohnya di kecamatan Teluk Betung yang sama sekali tidak ada puskesmas
pembantu dan rumah sakit yang merupakan hierarki dari puskesmas induk.
Kesimpulan
Teori Christaller merupakan teori yang menggunakan bentuk segienam sebagai acuan pelayanan
agar terjadi pelayanan yang merata. Teori ini sebenarnya bagus apabila dapat dipraktikkan, namun
memiliki kelemahan karena menggunakan asumsi-asumsi yang sudah tidak relevan di Indonesia dan di
zaman sekarang. Saat ini setiap orang memiliki daya ekonomi yang berbeda-beda tergantung pada
pendapatan. Selain itu, tiap wilayah di Indonesia memiliki bentuk topografi yang tidak sama.
Penempatan skala pelayanan kesehatan di Bandarlampung menjadi contoh nyata mengapa teori
christaller tidak relevan lagi. Penempatan skala pelayanan kesehatan di Bandarlampung tidak berhierarki
dan berbentuk segienam yang dikatakan Christaller. Penempatan sarana kesehatan di Bandarlampung
memusat di wilayah dengan perkembangan ekonominya cepat dan pendapatan penduduk
rata-rata tinggi. Sehingga range pelayanan kesehatan di Bandarlampung membuat sebagian
wilayah tidak terlayani pelayanan kesehatan, seperti di kecamatan Teluk Betung.
Daftar Pustaka
Bandarlampung dalam angka. 2010
Rahayu, Sri. 2013. “Teori Tempat Pusat”, dalam Mata Kuliah Analisis Lokasi dan
Pola Ruang. Semarang: JPWK UNDIP.
Tarigan, Robinson. 2013. Ekonomi Regional (Teori dan Aplikasi). Jakarta: Bumi
Aksara.