Pembelajaran Matematika Realistik

Tugas Individu

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN
MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2011

BAB I
PENDAHULUAN
Matematika merupakan dasar atau pondasi untuk meningkatkan daya
prediksi dan kontrol terhadap ilmu pengetahuan lainnya sehingga pelajaran
Matematika di sekolah merupakan pelajaran yang dipandang sangat penting
dan dipelajari oleh siswa pada setiap jenjang

pendidikan. Misalnya di

“kelompok bermain atau play group” dan di Taman Kanak-Kanak (TK),

matematika informal sudah diberikan sebagai pengenalan awal terhadap
matematika kemudian pada jenjang sekolah dasar (SD) atau Madrasah
Ibtidaiyah (MI) siswa mulai diarahkan pada pelajaran matematika formal.
Begitu besarnya peranan matematika dalam kehidupan sehingga ada
pepatah yang mengatakan bahwa “Siapa yang menguasai matematika maka
ia akan menguasai dunia”. Peran penting matematika juga diakui oleh
Cockcroft (1986:1): “It would be very difficult – perhaps impossible – to
live a normal life in very many parts of the world in the twentieth
century without making use of mathematics of some kind.” Cockcroft
menyatakan bahwa akan

sangat

sulit

atau

tidaklah

mungkin bagi


seseorang untuk hidup di bagian bumi ini pada abad ke-20 ini tanpa
sedikitpun memanfaatkan matematika (sinaja4math.blogspot.com)
Oleh karena peranan matematika yang sangat besar, terutama
terhadap

kemajuan

matematikawan

di

teknologi

dunia

negara-negara

sehingga


maju

untuk

memotivasi
terus

para

melakukan

pengembangan terhadap pembelajaran matematika sekolah. Pengembangan
pembelajaran matematika sekolah tersebut dilakukan dengan melakukan
penyesuaian pembelajaran matematika dengan perubahan teknologi.
Sekitar tahun 1970 pembelajaran matematika realistik / Realistic
Mathematics

Education

(RME)


mulai

dikembangkan,

perkembangan

pembelajaran ini didorong oleh gerakan reformasi pendidikan matematika di
sekolah dasar pada tahun 1968 yang dikenal sebagai proyek Wiskobas yang

diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffree. Pembelajaran matematika realistik
hadir sebagai reaksi terhadap gerakan “New Math” dari Amerika yang
membanjiri dunia pada tahun 1970an. Saat ini pembelajaran matematika
realistik di Belanda banyak dikembangkan oleh Freudenthal Institute. Hans
Freudenthal dan rekan-rekannya di bekas IOWO meletakan dasar bagi
Freudenthal

Institute.

matematikawan


yang

Hans

Freudenthal

menolak

‘new

merupakan

math’

salah

sebagai

satu


pendekatan

pembelajaran, di Belanda dikenal dengan sebutan ‘pendidikan matematika
mekanistik’. Kemudian pada tahun 1970an beliau mengajukan gagasan apa
yang dikenal sekarang sebagai pendekatan matematika realistik.
Pembelajaran matematika realistic yang berkembang saat ini dilandasi oleh
pemikiran Freudenthal bahwa matematika sebagai aktivitas manusia (human
activity). Dalam pembelajarannya, matematika harus dihubungkan dengan
kenyataan (realitas), dekat dengan pengalaman anak-anak dan relevan bagi
masyarakat,

agar matematika

bernilai

bagi

manusia


(human

value).

Matematika bukanlah suatu subyek yang harus diteruskan (ditransmisikan)
oleh guru kepada siswa. Dalam pembelajaran matematika siswa harus
diberikan panduan (dipandu) agar mendapatkan kesempatan melakukan
‘penemuan kembali matematika’ dengan cara melakukannya. Siswa tidak
dapat dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Ini
berarti bahwa dalam pendidikan matematika, titik fokus tidak pada
matematika sebagai sebuah sistem tertutup, tetapi pada kegiatan atau
proses matematisasi (Freudenthal, 1968 dalam Van den Heuvel-Panhuizen,
2000).
Terkait dengan pembahasan diatas, penulis bermaksud untuk mengkaji
lebih dalam mengenai pembelajaran matematika realistik yang berkembang
di Indonesia. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran matematika realistik ?,
Bagaimana strategi belajar yang digunakan ?

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.PENGERTIAN MATEMATIKA

Secara etimologi, matematika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu
μάθημα (máthēma), yang berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu, yang
ruang lingkupnya menyempit.
Matematika sudah ada sejak zaman prasejarah. manusia prasejarah
mengenali cara mencacah besaran abstrak, seperti hari, musim, dan
tahun. Bangsa inca misalnya menggunakan tali atau dawai bersimpul yang
disebut

quipu

untuk

menyimpan

data

numerik.


Penerapan

ilmu

matematika mula-mula digunakan dalam bidang perdagangan (barter),

pengukutan tanah, pelukisan dan berbagai pola hiasan atau tenunan.
Sebelum tahun 3000 SM, matematika tidak pernah berkembang luas. Baru
kemudian

orang

Babylonia

dan

Mesir

Kuno


mulai

menggunakan

matematika untuk perhitungan pajak negara dan urusan keuangan
lainnya. Penggunaan matematika yang lebih sistematis dimulai pada
zaman Yunani Kuno pada sekitar tahun 300 SM. Matematika sejak saat itu
segera berkembang luas, dan terdapat interaksi bermanfaat antara
matematika dan sains, menguntungkan kedua belah pihak. Penemuanpenemuan matematika dibuat sepanjang sejarah dan berlanjut hingga
sekarang. (Wikipedia.org)
Dalam pandangan formal, matematika adalah penelaahan struktur
abstrak yang didefinisikan secara aksioma dengan menggunakan logika
simbolik dan notasi matematika. Pembelajaran Matematika berkaitan
dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkis
dan saling berkaitan erat satu sama lain. Dalam belajar matematika harus
bertahap dan berurutan secara sistematis serta harus didasarkan pada
pengalaman belajar sebelumnya. Seseorang akan mampu mempelajari
matematika yang baru apabila didasarkan kepada pengetahuan yang
telah dipelajari. Pengajaran yang lalu akan mempengaruhi proses belajar
materi matematika berikutnya.

Ernest

(1991)

menyatakan

bahwa

pengetahuan

matematika

merupakan suatu konstruksi sosial yang mengakui matematika sebagai
bahasa, aturan dan kesepakatan manusia yang memainkan peran sebagai
peran kunci dalam menetapkan dan menjustifikasi kebenaran matematika.
Hal ini mengimplikasikan bahwa program matematika di tingkat yang lebih
tinggi

mengarah

kepada

(Sinaja4math.blogspot.com)

matematika

formal

yang

terstruktur.

B.PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan
matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun
1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan
bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas
manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa
(Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalanpersoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi
pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan
kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses
penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan
vertikal.

Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan

penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia
real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubunganhubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan modelmodel yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Van den Heuvel-Panhuizen,
2000) .
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam
pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Kedua jenis matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak
diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya

pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu
konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan
yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas
matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi
konsep-konsep matematika.
2.2 Karakteristik RME
Karakteristik RME adalah menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan
konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (Treffers,1991; Van den HeuvelPanhuizen,1998).

2.2.1. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”

Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus di mana
“dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat
untuk mengaplikasikan kembali matematika.

Gambar 1 Konsep Matematisasi (De Lange,1987)
Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”),
sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan
oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan
formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa
dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata

(applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi
pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan
matematikan dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000).

2.2.2 Menggunakan Model-model (Matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan
oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke
matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan
masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for
masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

2.2.3

Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa
terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam
proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan
masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran
lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.

2.2.4

Menggunakan Interaktif

Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara
eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran,
setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal
dari bentuk-bentuk informal siswa.

2.2.5

Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam
pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan
berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya
diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau
geometri tetapi juga bidang lain.

3. Pembahasan

3.1. Matematika Realistik (MR)

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsepkonsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran MR di kelas
berorientasi pada karakteristik-karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan
untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika
formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-konsep matematika
untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Pembelajaran ini
sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi
kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan
masalah-masalah.

Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak
pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontektual atau sesuai
dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara
informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa
digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan
melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan
matematika formal).

3.2

Pembelajaran Matematika Realistik (MR) Menurut Pandangan Konstruktivis

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan
kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai
fasilitator. Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika
berorientasi pada: (1) pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau
akomodasi, (2) dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,
(3) informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu
kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan
pengalamannya, dan (4) pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang
mereka katakan atau tulis.

Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi
suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky
disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher &
Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan
jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian
sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding merupakan
bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan
tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang
memungkinkan siswa itu belajar mandiri.

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut
pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran
matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari
pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia (Ernest, 1991).
Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan
konstruktivisme sosio (socio-constructivism). Siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa
lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi
untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini
sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scaffolding dalam pendekatan
konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran MR disebut dengan penemuan kembali terbimbing
(guided reinvention). Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini

mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan
keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang
bersifat umum, sedangkan pembelajaran MR merupakan pendekatan khusus yaitu hanya
dalam pembelajaran matematika.

3.3

Bagaimana Implementasi Pembelajaran MR?
Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa dibawa
ke “situasi” informal. Misalnya, pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian
menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan
pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika
formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan
istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan MR) di mana
siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.

Jadi, pembelajaran MR diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru
diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu,
diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain (lihat gambar 02).

Gambar 2 Penemuan dan Pengkonstruksian konsep
(Diadopsi dari Van Reeuwijk,1995)

3.4 Kaitan antara Pembelajaran MR dengan Pengertian
Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajar matematika senantiasa terlontar kata
“bagaimana, apa mengerti ?” Siswa pun biasanya buru-buru menjawab mengerti atau sudah.
Siswa sering mengeluh seperti berikut, “Pak ... pada saat di kelas saya mengerti penjelasan
Bapak, tetapi begitu sampai di rumah saya lupa”, atau “Pak ... pada saat di kelas saya mengerti
contoh yang Bapak berikan , tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan” .

Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi di atas menunjukkan bahwa siswa belum mengerti
atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti konsep atau mempunyai
pengetahuan konseptual dapat menemukan kembali konsep yang mereka lupakan.

Mitzel (1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh
pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja
guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan
jaringan representasi maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan
pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak
dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Dengan kata lain, matematika
dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hiebert dan
Carpenter , 1992).

Umumnya, sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalamannya
dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya
tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran dsb. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika
secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang ke sekolah bukanlah dengan kepala
“kosong” yang siap diisi dengan apa saja. Pembelajaran di sekolah akan menjadi lebih bermakna
bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak.

Pengertian siswa tentang ide matematik dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara
aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka. Hanna dan Yackel (NCTM, 2000) mengatakan
bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas. Percakapan kelas
dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan
mengorganisasikan pengetahuan kembali.

Pembelajaran MR memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan
mengkonstruksi konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan
oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunakan cara-cara
informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi
siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan pengkonstruksian konsep. Hal
ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema (jaringan
representasi) anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat
sehingga pengertian siswa tentang konsep yang mereka konstruksi sendiri menjadi kuat. Dengan
demikian, pembelajaran MR akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian
siswa.

BAB III

KESIMPULAN
Pembelajaran matematika modern dimulai setelah adanya kurikulum
1975. Pembelajaran matematika modern ini muncul karena adanya
kemajuan teknologi sehingga mendorong munculnya pembaharuan
pembelajaran matematika. Selain itu penemuan-penemuan teori belajar
mengajar oleh J. Piaget, W Brownell, J.P Guilford, J.S Bruner dll.
Pelaksanaannya pembelajaran matematika modern didukung oleh
teori belajar

konstruktivisme. Siswa belajar dengan mendekati setiap

persoalan baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki (prior
knowledge), mengasimilasi informasi baru, dan membangun pengertian
sendiri. Konstruksi pengetahuan adalah suatu proses perubahan meliputi
penambahan, penciptaan, modifikasi, penghalusan, restrukrisasi, dan
penolakan.

Siswa

membangun

pengertian

dan

memperoleh

pengetahuan baru melalui konstruksi untuk dirinya sendiri dan membagi
pengertian satu sama lain melalui proses negosiasi, re-konseptualisasi
struktur pengetahuan awal.
Dalam pembelajaran matematika modern, guru mengajarkan siswanya
dengan cara guru menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar,
membantu dan mendorong siswa untuk belajar, bagaimana menyusun
pertanyaan, bagaimana membicarakan dan menemukan jawaban-jawaban
persoalan. Adapun tujuan dari mengajarkan matematika modern agar
siswa dapat belajar berpartisipasi aktif dan kreatif, yaitu;
1. Agar siswa diberikan kesempatan berfikir bebas
2. Agar siswa diberi kesempatan untuk mencari aturan dan pola
matematika
3. Agar siswa memperoleh latihan-latihan keterampilan yang diperlukan.

Karakteristik matematika modern yang dituliskan pada buku
Strategi Belajar Mengajar Matematika (Erman Suherman dan Udin S.
Winataputra, 1992/1993: 201) yang menuliskan bahwa matematika
modern memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menekankan pada pengertian dan penemuan.
2. Matematika Modern memuat materi baru.
3. Pendekatan materi dalam matematika modern adalah matematika
deduktif.
4. Dalam matematika modern ketepatan bahasa sangat diperhatikan.
5. Matematika modern sangat menekankan pada struktur.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif . http://rochmadunes.blogspot.com. . Diakses pada tanggal 20 Maret 2011.
Anonim. 2010. Sejarah Matematika Modern . http://Fadlianita.blogspot.com. .
Diakses pada tanggal 20 Maret 2011.

Anonim.
2011.
Perkembangan
Matematika.
http://sinaja4math.blogspot.com. Diakses pada tanggal 20 maret 2011.

Anonim.
2011.
Perkembangan
Pembelajaran
Matematika.
http://jokobando.tripod.com. Diakses pada tanggal 27 Pebruari 2011.

Anonim. 2011.Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. .
http://wikipwdia.org. Diakses pada tanggal 20 maret 2011.

Mulyana, Endang. 2003. Matematika Modern VS Matematika Realistik.
http://upi.edu.ac.id. Diakses pada tanggal 20 maret 2011.