MAKNA UNGKAPAN DALAM ADAT PROSESI PENGISLAMAN (PATOBA) PADA MASYARAKAT BAJO DI DESA BONTU- BONTU KECAMATAN TOWEA KABUPATEN MUNA

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

MAKNA UNGKAPAN DALAM ADAT PROSESI PENGISLAMAN
(PATOBA) PADA MASYARAKAT BAJO DI DESA BONTUBONTU KECAMATAN TOWEA KABUPATEN MUNA
WA ODE NARTI

WaodeNarti92@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini mengenai makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi
pengislaman pada masyarakat Bajo. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada
masyarakat Bajo Di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan dan menganalisis makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi
pengislaman pada masyarakat Bajo. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif
kualitatif. Data yang digunakan adalah data lisan. Sumber data yaitu informan dari tokoh adat
yang mengetahui ungkapan adat pengislaman (dipatoba) pada masyarakat Bajo Di Desa
Bontu-bontu Kecamatan Towea. Teknik pengumpulan data adalah teknik wawancara
(interview), dan teknik simak catat. Teknik analisis data adalah teknik deskriptif kualitatif
dengan menggunakan pendekatan semiotik. Hasil penelitian dalam pembahasan makna

ungkapan pengislaman (dipatoba) pada masyarakat Bajo misalnya (1) Kata daruana dinda
yang memiliki arti orang tua perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad Saw dan
Kata daruana pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah
Swt. kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba)
untuk tunduk, patuh, dan takut terhadap orang tua perempuan dan orang tua laki-laki (ayah)
karena mereka telah merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. (2) Kata daruana malaika
yang memiliki arti pengganti malaikat dan Kata daruana mukmin yang memiliki arti
pengganti mukmin kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam
pengislaman (patoba) seorang adik harus senantiasa menghargai, menghormati, serta
menuruti perintah kakaknya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia menghormati dan
mengakui malaikat ciptaan Allah SWT. begitupun juga dengan kakak harus menyayangi dan
menghormati adik atau yang seusia dengan adik. Dan selalu bertingkah laku yang baik
dimata keluarga maupun dimata masyarakat sehingga dalam pergaulannya tidak melakukan
hal-hal yang dapat merugikan diri sendiri keluarga bahkan dilingkunngan masyarakat. serta
akan mematuhi segala aturan-aturan yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala
larangan-Nya dan tidak ada yang lain disembah selain kepada Allah Swt.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang tersebar diseluruh nusantara.

Yang masing-masing daerah memiliki kebudayaannya tersendiri. Untuk mengenal
kebudayaan suatu daerah dapat ditempuh dengan berbagai cara. Salah satu
diantaranya adalah dengan mempelajari bahasa dan sastranya. Sastra daerah pada
dasarnya meliputi (1) sastra lisan dan (2) sastra tulisan. Sastra lisan dikenal sebagai
salah satu warisan budaya daerah yang turun temurun berkembang dalam masyarakat

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

pendukungnya secara lisan, sedangkan sastra tulisan disampaikan melalui tulisan
sebagai lanjutan dari sastra lisan (Rusyana dalam Harudin dkk, 2007:341).
Pelaksanaan tradisi patoba (pengislaman) dipandang sangat penting. Melalui
upacara prosesi patoba anak-anak dinasehatkan agar memiliki sopan santun dan
akhlak yang mulia berdasarkan norma-norma agama islam. Karena tradisi ini sangat
berkaitan erat dengan ajaran nasihat yang ada dalam kehidupan manusia baik didunia
maupun diakhirat. Karena itu, patoba ini merupakan suatu upaya untuk melakukan
beberapa perintah yang sangat penting. Dengan melalui ajaran dan doa yang

diharapkan kelak dapat memberikan petunjuk kejalan yang benar demi keselamatan
dunia akhirat. Maka dari itu, patoba berfungsi sebagai alat pendidikan dalam rangka
mencapai kedewasaan.
Masyarakat di Desa Bontu-bontu Kecamata Towea Kabupaten Muna,
sebagian besar menggunakan bahasa Bajo. Masyarakat Bajo yang pada kenyataanya
memiliki budaya yang tercipta dari budaya sebelumnya namun, memiliki budaya
berbeda dengan daerah lain yang ada di Nusantara. Masyarakat Bajo merupakan
suatu masyarakat yang hidup dengan mendasarkan pada nilai-nilai adat istiadat, yang
diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka, diman nilai-nilai itu
dipatuhi oleh seluruh masyarakat baik dalam kehidupan social budayanya maupun
dalam pengelolaan sumber daya alam.
Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah makna ungkapan yang
terdapat dalam adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo Di Desa Bontu-bontu
Kecamatan Towea ?
Tujuan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan
menganalisis makna ungkapan yang terdapat dalam adat prosesi pengislaman
masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea.
KAJIAN PUSTAKA

Konsep Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata buddhayah dalam bahasa sansekerta berarti
akal, kemudian menjadi kata buddhi, (tunggal) atau budhaya (majemuk), sehingga
kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. kebudayaan berasal
dari kata budi dan daya. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam
kebudayaan sedangkan daya berarti perbuatan atau ikhtiar sebagai unsur jasmani
sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtiar manusia.
Konsep Foklor
Istilah foklor diambil dari folklore paduan dari bentuk asal folk dan lore. Folk
dapat diartikan ‘rakyat’, ‘bangsa’, atau ‘kelompok orang yang memiliki ciri pengenal
fisik, sosial, dan kebudayaan’. Tegasnya, penanda ini dapat berupa kesamaan bahasa,
mata pencarian, kepercayaan, warna kulit, dan bentuk rambut. Ciri yang terpenting
dan terutama adalah bahwa mereka mempunyai tradisi yang dirasakan sebagai milik
bersama. Kesadaran bersama akan identitas sendiri juga termaksud ciri khas

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO


kelompok masyarakat itu. Lore adalah adat dan khazanah pengetahuan yang
diwariskan turun-temurun lewat tutur kata, melalui contoh, atau perbuatan. Dengan
kata lain, secara umum foklor dapat diberi makna ‘bagian kebudayaan yang tersebar
dan diadatkan turun-temurun dengan cara lisan atau dalam bentuk perbuatan’. Dalam
karya sastra, tradisi lisan itu antara lain berupa peribahasa, teka-teki, dan cerita rakyat
(mitos, legenda, dan dongeng). (Sugono, 2003: 169).
Konsep Tradisi Lisan
Pembicaraan tradisi lisan dimulai dari konsep folklor. Tradisi lisan dapat
diartikan sebagai kebiasaan atau adat berkembang dalam suatu komunitas masyarakat
yang direkam dan diwariskan dari generasi kegenarasi melalui bahasa lisan. Dalam
tradisi lisan terkandung kejadian-kejadian sejarah, adat istiadat, cerita dongeng,
pribahasa, lagu, mantra, nilai moral, dan nilai keagamaan. Dalam tradisi lisan,
peranan orang yang dituakan seperti kepala suku atau ketua adat sangat penting.
Mereka diberi kepercayaan oleh kelompoknya untuk memelihara dan menjaga tradisi
yang diwariskan secara turun-temurun.
Menurut Sibarani (2012-123) tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional
suatu masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu
generasi ke generasi yang lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal)
maupun tradisi lisan yang bukan lisan. (non verbal). Didalam hubungan penulisan

sejarah, yang dimaksud dengan tradisi lisan secara umum adalah segala macam
keterangan lisan dalam bentuk laporan tentang sesuatu hal yang terjadi pada masa
lampau (Vasina dalam Hutomo, 1991: 19).
Konsep Sastra
Secara etimologi atau asal usulnya, istilah kesusastraan berasal dari bahasa
sansekerta, yakni susastra. Su berarti ‘bagus’ atau ‘indah’. Sastra berarti ‘buku’,
‘tulisan’, atau ‘huruf’. Dengan demikian, susastra tulisan yang bagus atau tulisan
yang indah. Adapun imbuhan ke – an pada kata kesusastraan berarti, segala sesuatu
yang berhubungan dengan (tulisan yang indah). Istilah kesusastraan kemudian
diartikan sebagai tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang
ditulis dalam bahasa indah (Kokasih, 2012: 1).
Secara umum sastra dibangun oleh dua unsur yang paling mendasar yaitu
unsur etik dan estetik. Karena adanya kedua unsur inilah, sastra menjadi sebuah
bentuk yang bernilai rasa tinggi. sastra terbentuk dari manusia dan kepada manusia
pulalah hasil dari sebuah karya sastra akan dikembalikan untuk dinilai, dinikmati,
dirasakan, diapresiasikan, dan lain sebagainya.
Konsep Sastra Lisan
Pengertian Sastra Lisan
Istilah sastra lisan merupakan terjemahan dari bahasa Inggris oral literatur.
Sastra lisan adalah kesusatraan yang mencakup ekspresi kesusatraan warga suatu

kebudayaan yang disebarkan dari mulut ke mulut (Danandjaja dalam Rahmawati,
2014: 9). Sastra lisan tersebar dari mulut ke mulut, anonim, dan menggambarkan
kehidupan masyarakat pada masa lampau. Pendapat ini senada dengan pendapat
Teew (dalam Rahmawati, 2014: 10). Yang memberikan pemahaman bahwa karya

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

sastra lisan tersebut berkembang dari mulut ke mulut. Hal ini berarti bahwa karya
tersebut berkembang melalu komunikasi. Sastra lisan adalah kesusastraan yang
mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dari mulut
ke mulut Danandjaja (dalam Murniah dkk, 2008: 340).
Jenis Sastra Lisan
Sastra lisan sebagai hasil kesusastraan masyarakat yang telah hadir ditengahtengah masyarakat sejak zaman lampau secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu :
a.
Sastra lisan yang murni, yaitu sastra lisan yang benar-benar dituturkan secara

lisan. Hal ini terdapat pada sastra lisan yang berbentuk prosa murni seperti
dongeng, cerita rakyat dan lain-lain.selain itu, ada juga yang berbentuk prosa
liris yang penyampaiannya dinyanyikan atau dilagukan. Dalam puisi
berwujud nyanyian rakyat seperti pantun, syair, tembang anak-anak, ungkapan
tradisional, teka-teki berirama, dan lain-lain.
b.
Sastra lisan yang setengah lisan, yaitu sastra lisan yang penuturannya
dibentuk-bentuk seni lain, misalnya sastra ludruk, sastra ketoprak, sastra
wayang, dan lain-lain. Hutomo (dalam Safitri dkk, 2007: 232).
Fungsi Sastra Lisan
Menurut Horace (dalam Uniawati. 2006: 9) merumuskan fungsi sastra dengan
ungkapan padat yaitu dulce it utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Sifat
menyenangkan dalam karya sastra dimaksudkan bahwa karya sastra itu menarik
minat dan perhatian serta tidak menimbulkan kejenuan dan rasa bosan pada diri
penikmatnya. Sifat berguna diartikan, bahwa karya sastra itu memiliki fungsi dan
dapat memberikan manfaat bagi pemenuhan kebutuhan batin penikmatnya dan bukan
hanya sekedar pengisi waktu senggang.
Ciri- Ciri Sastra Lisan
Selain memiliki fungsi, untuk mengetahui ciri-ciri sastra lisan, diperlukan
pemahaman khusus. Menurut Rahmawati (2014: 12) sastra lisan memiliki ciri-ciri

sebagai berikut :
a.
Penyebarannya dari mulut kemulut, maksudnya ekspresi budaya yang
disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang;
b.
Lahir didalam masyarakat yang masih bercorak desa;
c.
Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu
merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi
menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial);
d.
Tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu ia menjadi milik
masyarakat;
e.
Bercorak puitis, teratur dan berulang;
f.
Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek
khayalan yang tidak diterima masyarakat moderen;
g.
Terdiri dari berbagai versi.

Konsep Makna

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Kridalaksana (2008: 128) menjelaskan bahwa makna adalah (a) maksud
pembicara, (b) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku
manusia atau kelompok manusia, (c) hubungan dalam arti kesepadanan atau
ketidaksepadanan antara bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukan,
(d) cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Odgen dan Richards (dalam Rahmawati, 2014: 19) memberikan definisi
mengenai makna sebagai berikut:
(1) suatu sifat intrinsik, (2) suatu hubungan yang khas yang tidak teranalisis dengan
hal-hal atau benda-benda lain, (3) konotasi suatu kata, (4) suatu esensi, intisari atau
pokok, (5) suatu kegiatan yang diproyeksikan kedalam suatu obyek, (6) emosi yang
ditimbulkan oleh sesuatu, (7) tempat atau wadah sesuatu dalam suatu sistem, (8)
konsekuensi-konsekuensi praktis suatu hal atau benda dalam pengetahuan masa

depan kita, (9) konsekuensi-konsekuensi teoretis yang terlibat atau terkandung dalam
suatu pernyataan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
makna adalah maksud atau pengertian yang disampaikan oleh penutur kepada penutur
melalui seperangkat bunyi atau simbol sebuah bahasa sesuai dengan aturan dan
kesepakatan kebahasaan.
Konsep Ungkapan
Pengertian Ungkapan
Ungkapan merupakan perkataan yang dikenal oleh masyarakat secara turuntemurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya. (Rahmawati 2014:
2). Menurut Kridalaksana (dalam Murniah dkk, 2008: 342) yang dimaksud dengan
ungkapan adalah aspek fonologis/grafemis dari unsur bahasa yang mengandung
makna. pengertian ini disamakan dengan idiom yaitu konstruksi dari unsur-unsur
yang saling memilih dan masing-masing anggota mempunyai makna hanya karena
bersama yang lain.
Menurut Alwi (dalam Murniah dkk, 2008: 168) ungkapan adalah kelompok
kata atau gabungan kata yang menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya
seringkali dikaburkan) dan tradisional adalah sikap dan cara berfikir yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. Dari
beberapa pengertian ungkapan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa dilihat dari
segi bentuknya ungkapan dapat berupa kata, kelompok kata, atau kalimat; sedangkan
dari segi isinya ungkapan mengandung makna kiasan.
Pengertian Ungkapan Tradisional
Ungkapan tradisional yang dikenal oleh masyarakat merupakan simbolsimbol yang dipahami oleh masyarakat pemakainya. Pengertian lebih lengkap
mengenai ungkapan tradisional
ini dikemukakan oleh beberapa orang ahli antara lain, Athaillah (dalam Rahmawati
2014: 13) yang mengemukakan bahwa ungkapan tradisional adalah ungkapan yang
dikenal oleh masyarakat pendukungnya. ungkapan tersebut telah berkembang secara
turun-temurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya bersifat tetap
dan hakikat artinya diinterpretasikan sama waktu yang lalu hingga sekarang. Lebih

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

lanjut Gaffar (dalam Rahmawati 2014: 13) mengemukakan bahwa ungkapan
tradisional adalah kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat pendek dan menjadi
buah bibir orang banyak.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa ungkapan
tradisional adalah perkataan atau sekelompok kata yang dikenal masyarakat secara
turun-temurun dengan makna dan simbol yang terkandung didalamnya dengan versi
yang berbeda-beda, baik dalam bentuk tutur kata maupun yang disertai contoh
perbuatan.
Gambaran Umum Tentang Patoba (Pengislaman)
Dalam tradisi masyarakat Bajo, pengislaman disebut dengan Patoba. Dalam
masyarakat Muna pengislaman disebut dengan Katoba. Patoba dan Katoba memiliki
arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu Pengislaman. Dalam tradisi masyarakat
Muna, katoba merupakan bagian dari prosesi pengislaman bagi anak-anak (laki-laki
dan perempuan) yang baru beranjak usia dewasa (7-10 tahun). Menurut riwayatnya,
tradisi ini telah dimulai sejak zaman pemerintahan raja Muna ke-16 bernama La Ode
Abdul Rahman menerima tradisi ini dari salah seorang sufi keturunan Arab bernama
Syarif Muhammad yang biasa dikenal pula dengan nama Saidhi Raba (La Niampe,
2008: 1).
La Fariki (2010: 3-4) mengatakan bahwa ‘’toba’’ diangkat dari bahasa Arab
yang diterjemahkan sebagai ‘’penyesalan’’, yaitu menyesali perbuatan dosa atau
perbuatan yang telah merugikan orang lain atau merusak lingkungan alam. Falsafah
toba dibangun di atas pemikiran bahwa masyrakat butuh keteraturan. Toba disusun
dari serangkaian norma-norma, doktrin-doktrin dan hukum-hukum oleh para ahli
hukum secara turun-temurun untuk mengatur pola dan interaksi kehidupan masyrakat
mulai dari anak dengan orang tua, dengan sesama dan bahkan dengan lingkungan
alam (La Fariki, 2010: 4).
Upacara Patoba pada Masyrakat Bajo dilaksanakan secara perseorangan dan
dapat pula dilaksanakan secara kolektif (antar keluarga dalam satu rumpun),
tergantung dari hasil kesepakatan dan kemampuan ekonomi orang tua atau rumpun
keluarga tersebut. Upacara Patoba dapat dilaksanakan semeriah mungkin, namun
dapat pula dilaksanakan sesederhana mungkin.Yang terpenting adalah hadirnya
empat unsur pokok; tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur patoba), anak yang
dipatoba (objek tuturan), dan keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi
pelaksanaan prosesi patoba.
Patoba merupakan salah satu tradisi pada masyrakat Bajo. Tradisi ini
merupakan persiapan mental seorang anak yang akan memasuki usia menjelang
dewasa. Mereka anak yang dipatoba yang diberikan bekal dan pengetahuan
bagaimana memperlakukan orang tua, dan saudara-saudaranya serta perilaku dalam
lingkungannya sebagai pengalaman ajaran agama. Disamping itu, juga yaitu
diberikan petuah-petuah atau nasihat bagaimana menjauhi larangan-larangan menurut
agama. Semua itu dilakukan dalam upaya menjadikan anak menjadi manusia berguna
dan tidak menjadi manusia yang sia-sia.

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Dalam prosesi patoba pula, seorang anak mendapatkan perlakuan yang sama
dan diberikan keistimewaan dalam pakaian adat yang paling bagus tergantung dari
kesepakatan atau kemampuan ekonomi keluarga anak tersebut. Setelah melalui
prosesi ini barulah dinyatakan sah memeluk agama Islam terutama belajar membaca
kitab suci Al-Qur’an dan belajar melaksanakan sholat wajib serta belajar adat
terutama diawali dengan mendengarkan nasihat atau ajaran dari kedua orang tua.
Upacara adat patoba pada masyarakat Bajo dapat dilaksanakan oleh sebuah
rumah tangga dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif (antar keluarga dalam satu
rumpun), tergantung hasil kesepakatan dan kemampuan ekonomi orang tua mungkin
dengan menggunakan berbagai macam peralatan modern sebagai hiburan kepada
segenap tamu undangan. Peralatan modern yang dimaksudkan disini misalnya,
elekton, band, dan CD/DVD paket dengan TV. Akan tetapi, terlepas dari meriah atau
sederhananya suatu upacara yang terpenting adalah hadirnya empat unsur pokok;
tokoh agama merangkap tokoh adat (penutur patoba), anak yang patoba (objek
tuturan), dan keluarga terdekat yang bertindak sebagai saksi pelaksanaan prosesi
patoba.
Pendekatan Semiotik dalam Menelusuri Sebuah Karya Sastra
Untuk memahami makna dalam pengislaman adat Bajo dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan semiotik. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani
semeion yang berarti ‘’tanda’’.Semiotik (semiotika) adalah cabang ilmu yang
berurusan dengan pengkajian tentang tanda-tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia.
Artinya semua yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus diberikan makna. Semiotika adalah ilmu yang memfokuskan
kajiannya pada penggunaan simbol-simbol dan maknanya Leech (dalam Aderlaepe,
dkk 2006: 8).Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain-lain.
Konsep Pembelajaran Sastra
karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai
mediumnya (Jabrohim, 2012). Sastra merupakan cermin kehidupan masyarakat
pendukungnya, bahkan sastra menjadi ciri identitas suatu bangsa (Anderlaepe, 2006).
Karya sastra adalah bentuk kreatifitas dalam bahasa yang indah berisi sederetan
pengalaman batin dan imajinasi yang berasaal dari penghayatan realitas sosial
pengarang. Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya
adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Pada hakikatnya pengajaran sastra adalah menciptakan situasi siswa
membaca dan merespon karya sastra serta membicarakan secara bersama dalam kelas
(Dirgantara, 2012: 48). inilah yang perlu menjadi bahan renungan sebagai dasar untuk
mempersiapkan pembelajaran sastra di kelas. Pembelajaran sastra adalah
pembelajaran apresiasi.
Metode dan Jenis Penelitian
Metode Penelitian

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Dikatakan deskriptif karena dalam penelitian ini
mendeskripsikan data berdasarkan kenyataan-kenyataan secara objektif sesuai data
yang ditemukan. Dikatakan kualitatif karena dalam menjelaskan konsep-konsep yang
berkaitan satu sama lain dengan mengguakan kata-kata atau kalimat bukan
menggunakan angka-angka statistik.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan. Sebagaimana peneliti lapangan
itu adalah suatu bentuk penelitian yang dilakukan dengan cara peneliti turun langsung
di lapangan untuk mendapatkan data yang valid mengenai makna ungkapan
tradisional dalam adat prosesi pengislaman (patoba) pada masyarakat Bajo.

Data dan Sumber Data
Data
Data dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk bahasa lisan yang
berupa tuturan yang dituturkan langsung oleh tokoh adat atau masyarakat Bajo yang
mengetahui dan memahami secara detail mengenai ungkapan yang terdapat dalam
adat prosesi pengislaman pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan
Towea Kabupaten Muna.
Sumber Data
Data dalam proposal ini bersumber dari informan, yaitu masyarakat atau
tokoh adat yang mengetahui yngkapan adat prosesi patoba (pengislaman). Peneliti
memilih informan dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Tokoh adat serta penutur asli bahasa Bajo.
2.
Msyarakat Bajo yang masih meyakini kebenaran adat prosesi patoba dalam
kehidupan sehari-hari.
Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara studi lapangan (Field Study), yaitu pengumpulan data secara langsung pada
obyek atau lokasi penelitian. Untuk memperoleh data di lapangan digunakan teknikteknik sebagai berikut:
a.
Wawancara (interview) yaitu dengan mengadakan tanya jawab secara
terstruktur kepada informan terpilih.
b.
Teknik simak catat yaitu teknik yang dilakukan guna memperoleh data
dengan cara memperhatikan, kemudian mencatat pembicaraan atau informasi
dari informan sebagai data dalam penelitian.
Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data menggunakan pendekatan
semiotik. Kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu data yang
terkumpul dalam bentuk wawancara, dan simak catat. Selanjutnya guna melakukan

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

transkrip yaitu memindahkan dengan menyalin data lisan menjadi data tertulis dengan
menggunakan huruf latin.
Selain data transkrip menjadi data tulis, kemudian data diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia untuk proses analisis. Terjemahan dilakukan secara bebas dengan
menyesuaikan arti dan makna yang sesuai dan mengerti dari data tersebut.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
hasil penelitian terhadap makna ungkapan dalam adat prosesi pengislaman
(patoba) pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea yaitu :
Data 1
: Pamapporahta aku ma bunda’ang ta memong tikkana ne battuna
para anna’ itu nadi patoba.
‘saya minta maaf dihadapan kita sekalian, sekarang sudah tiba
saatnya anak- anak untuk patoba’
Maksud kalimat tersebut adalah seorang tokoh adat (imam) meminta
dihadapan hadirin (saksi) bahwa anak-anak sudah saatnya untuk diislamkan
(patoba). kata Pamapporahta yang artinya maaf merupakan ungkapan yang
dituturkan oleh imam atau tokoh adat sebagai kata pembuka dalam acara patoba
(pengislaman ). karena kata Pamapporahta yang artinya maaf sebagai kata pembuka
bahwa imam atau tokoh adat itu meminta izin dan meminta maaf dengan penuh
hormat kepada hadirin agar acara patoba akan segera dimulai.
Data 2
: Kame’ simemongna aha’ toadi.
( kami ini adalah orang tuamu).
Maksud kalimat yang diucapkan oleh imam atau tokoh adat pada kalimat
tersebut yaitu memberitahukan kepada anak-anak yang patoba bahwa semua orang
tua yang hadir ditempat ini adalah orang tuamu. Kata kame’ yang artinya kami
merupakan ungkapan yang dituturkan oleh imam atau tokoh. Tokoh adat menuturkan
kata kame’ (kami) bukan kata saya karena kata kame’ menunjukan semua orang tua
yang hadir di tempat ini anggaplah sebagai orang tuamu. Sedangkan jika imam atau
tokoh adat menggunakan kata saya menunjukan bahwa hanyadialah (tokoh adat)
yang dianggap orang tuanya.
Data 3
: Angga di aha toadi mangajampangi kaang, apa’na ahatoai di
lilla daruana papu baka ahatoadi dinda daruana nabitta.
( hormatilah kedua orang tua (ayah dan ibu) karena kedua orang
tua kalianlah yang bekerja keras yang memberikan kehidupan serta
merawat kita sejak kecil sampai dewasa. Karena orang tua laki-laki
(Ayah) ibarat pengganti Allah SWT, dan orang tua perempuan
(Ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad SAW.
Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang
patoba harus selalu menghormati kedua orang tua (Ayah dan Ibu) karena merekalah
yang bekerja keras, memberikan kehidupan kepada kalian, membesarkan serta
merawat kalian dari sejak kecil sampai kalian dewasa. Kata daruana dinda yang
memiliki arti orang tua perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kata kalimat tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman
(patoba) untuk bersikap sopan santun dan selalu menghormati kedua orang tua

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

terutama orang tua perempuan (Ibu) karena dia telah mengandung, melahirkan,
menyusui, mengasuh, dan merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. Sangat
berdosa jika ada anak yang tidak menghargai atau tidak menghormati ibunya. oleh
karena itu, seyogyanya seorang anak harus senantiasa menghargai, menghormati,
serta menuruti nasehat ibunya sebab hal itu merupakan pencerminan jika ia
menghormati dan mengikuti sunnah Rasullullah Muhammad Saw. Seperti nasihat
kepada sang anak dari tokoh adat yang ditunjukan kepada orang tuanya yaitu dimulai
dari lingkungan keluarga. Anak-anak dinasihati agar takut pada semua larangan dan
patuh pada semua perintah ibu kandung. Didalam keluarga kedudukan ibu diibaratkan
sebagai penggannti Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tidak ada yang dapat
menggantikan peran seorang ibu dalam sebuah rumah tangga.
Kata daruana pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat
pengganti Allah SWT. Dilingkungan keluarga ayah merupakan penguasa tertinggi.
Karena itu, sebagai seorang anak sepantasnya takut kepada larangannya, patuh dan
tunduk terhadap segala perintahnya, dan wajib menghormatinya. Oleh karena itu
kedudukan orang tua laki-laki dimata sang anak adalah sama dengan kedudukan
Allah SWT. dalam pemahaman masyarakat Bajo, yang namanya orang tua terlebih itu
orang tua kandung (ayah) haruslah dihormati, dihargai, dan didengar amanatnya. Hal
ini menunjukkan bahwa hubungan orang tua dan anak merupakan ikatan yang tidak
dapat dihapus atau dihilangkan begitu saja. Oleh karena itu, seorang anak harus tahu
posisinya sebagai anak agar tidak melakukan hal-hal yang dapat melukai hati dan
perasaan orang tuanya.
Seorang anak yang tidak lagi menghormati, tidak menghargai dan tidak
mendengar nasihat orang tuanya maka ia dapat disebut sebagai anak durhaka dan
tidak berterima kasih. Seorang ayalah yang berusaha mencari nafkah hidup keluarga
dan keberlangsungan jalannya rumah tangga. Oleh karena itu, seorang anak wajib
takut kepada ayah sebab takut kepada ayah itu merupakan gambaran sang anak takut
dan patuh kepada Allah SWT dengan segala kuasa dan kebesaran-Nya. Kebiasaan
takut dan taat kepada kedua orang tua kandung dalam lingkungan keluarga kemudian
diwajibkan bagi sang anak untuk diperhatikan dalam kehidupan lingkungan
masyarakat, bukan saja bapak kandung yang harus ditakuti larangannya tetapi berlaku
bagi semua laki-laki yang telah berstatus sebagai orang tua. kedua kata tersebut
merupakan perumpamaan sebagaimana kita patuh kepada kedua orang tua seperti kita
takut kepada Allah SWT. Jadi kita tidak memandang kedua orang tua tersebut sebagai
Allah SWT dan Nabi hanya sebagai perbandingan.
Data 4
: Dahakang padorake Daha baong ah lamong disoho, lamong
dipalao nyanggo’ iya. Apa’na aha toa nema manyalamat kita
mallou dampurina.
( tidak boleh lagi bertingkah kurang ajar dan keras kepala kepada
orang tua kalian, jangan berkata ah kalau disuruh dan kalau
dipanggil menjawab iya. Karena orang tualah yang memberikan
keselamatan kepada kita dihari akhir).

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang
patoba bahwa tidak boleh kurang ajar dan keras kepala kepada kedua orang tua, tidak
boleh berkata ah jika disuruh dan jika dipanggil harus menjawab dengan kata iya.
Karena kedua orang tualah yang memberikan keselamatan kita di dunia dan akhirat.
Kata Dahakang padorake yang memiliki arti keras kepala. Kalimat tersebut
merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam adat pengislaman tidak boleh
membantah kata-kata kedua orang tua, dan tidak boleh bersikap kasar kepada orang
tua, dan jika dipanggil harus menjawab dengan kata iya tidak boleh menjawab kata
ah karena itu adalah perbuatan dosa besar.
Data 5
: Anggadi danakang di apa’na kka di nema nganjagaang baka
manuloh
kaang, kka di daruana malaika.
(Hormatilah kakak kandungmu karena kakak kandungmulah yang
akan menjaga dan suka menolong kalian. Karena kakak kandung
ibaratkan pengganti malaikat).
Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang
patoba harus selalu menghormati kakak kandung mereka karena kakak kandunglah
yang menjaga dan melindungi kita. dan kakak kandung ibaratkan pengganti malaikat.
Kata di daruana malaika yang memiliki arti pengganti malaikat. Kata pengganti
malaikat memiliki makna dalam patoba bahwa seorang kakak, terlebih kakak lakilaki pada dasarnya berperan menggantikan posisi ayah dan ibu jika kedua orang tua
meninggalkan rumah atau telah tiada. Oleh karena itu, sepatutnya seorang adik harus
senantiasa menghargai, menghormati, serta menuruti perintah kakaknya sebab hal itu
merupakan pencerminan jika ia menghormati dan mengakui malaikat ciptaan Allah
SWT. Kurang lebih dengan apa yang dipaparkan di atas dimana bukan saja kakak
kandung yang harus ditakuti, dihargai, ditaati dan dihormati. Tetapi berlaku bagi
semua kakak yang usianya melampaui umur anak yang patoba tersebut. Hal ini
merupakan sesuatu yang sangat penting demi terwujudnya kasih sayang dan
kedamaian antara adik dan kakak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Jadi, anak yang patoba diajarkan untuk mematuhi segala perintahnya, hormat,
dan taat dalam menjalankan kebaikan yang disampaikannya. Dalam lingkungan
masyarakat Bajo, pemahaman terhadap kakak tidak harus kakak kandung sendiri
siapa saja yang lebih tua umurnya dari kita, itulah yang disebut kakak. Mereka itu
dianggap sebagai malaikat yang selalu menyampaikan kebaikan.
Data 6
: Karimanang di ndi did aha samata lamba’ dilamong marummusya
dibaraang pakiala’, apa’na ndi daruana mukmin.
Sayangilah adik kandungmu, jangan sering memukulnya, jika dia nakal
jangan
dimarahi maka nasehatilah dia baik-baik karena adik kandung
ibaratkan
pengganti mukmin.
Maksud kalimat tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang
patoba harus selalu menyayangi adik kandungnya, tidak boleh diganggu dan
dipukul, jika adik salah nasehatilah dengan baik-baik karena adik kandung pengganti
mukmin. Kata daruana mukmin yang memiliki arti pengganti mukmin. Kata
pengganti mukmin tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam adat

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

pengislaman adalah dalam lingkungan keluarga pada maasyarakat Bajo, khususnya
dalam pergaulan yang namanya adik kandung ataupun yang bukan adik kandung
selayaknya disayangi dan dipelihara. sebagai kakak harus mampu memberikan
contoh yang baik kepada adiknya karena seorang adik tentu akan menjadikan kakak
sebagai contoh bagi dirinya apabila dimata kakaknya diperlakukan sangat baik.
Begitu pula sebaliknya, apabila kakak tidak memberikan contoh yang baik kepada
adiknya dan menganggap enteng, dan menumbuhkan rasa kebencian karena merasa
diri sebagai kakak, maka adik yang bersangkutan akan menaruh rasa dendam, benci,
jengkel, dan tidak bersahabat. Sehingga akan menimbulkan kehidupan yang tidak
harmonis, baik dilingkungan keluarga maupun dilingkungan masyarakat. Hubungan
keduanya akan menentukan keharmonisan sesama anggota keluarga secara khusus
dan sesama anggota masyarakat secara umum. Dalam sebuah keluarga sering terjadi
ketidak cocokan antara kakak dan adik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan
dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, dibutuhkan saling pengertian dan
saling memahami antara kakak dan adik agar tidak terjadi perselisihan yang dapat
menimbulkan perpecahan antara keduanya. Diharapkan kakak dan adik dapat hidup
saling menyayangi, saling menghormati, dan saling menghargai. Menghargai yang
adik berarti telah memberi kasih memelihara harga diri kaum mukmin karena adik itu
sama statusnya dengan kaum mukmin.
Data 7
: Lamong palabas ma bundaang aha baong tabe.
( kalau lewat dihadapan orang harus berkata permisi )
Maksud ungkapan tersebut adalah imam mengajarkan kepada anak-anak yang
patoba bahwa lewat dihadapan orang harus mengucapkan kata permisi. Kata tabe
yang memiliki arti permisi. Kata tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna
dalam adat pengislaman mengucapkan permisi setiap lewat dihadapan orang.
Misalnya ada orang banyak yang sedang berkumpul tiba-tiba kita lewat dihadapanya
maka harus mengucapkan kata tabe atau permisi. Jika kita tidak mengucapkan kata
tersebut berarti kita dianggap tidak memiliki sopan santun dan berarti anak tersebut
dikatakan belum memahami tuturan patobanya.
Relevansi Hasil Penelitian dengan Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pengajaran sastra adalah sebuah sistem yang keberhasilannya ditentukan oleh
banyak faktor, seperti kurikulum, guru, buku sumber pembelajaran serta sarana dan
prasarana yang terlibat didalamnya. Pembelajaran sastra disekolah pada dasarnya
bertujuan agar siswa memiliki rasa peka terhadap karya sastra, sehingga mereka
terdorong dan tertarik untuk mengetahui isi, makna, dan fungsi karya sastra itu
sendiri.

PENUTUP

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa makna ungkapan pengislaman
(dipatoba) pada masyarakat Bajo di Desa Bontu-bontu Kecamatan Towea adalah
sebagai Berikut: misalnya (1) Kata daruana dinda yang memiliki arti orang tua
perempuan (ibu) ibaratkan pengganti Nabi Muhammad Saw dan Kata daruana
pappu yang memiliki arti orang tua laki-laki (Ayah) ibarat pengganti Allah Swt. kata
tersebut merupakan ungkapan yang memiliki makna dalam pengislaman (patoba)
untuk tunduk, patuh, dan takut terhadap orang tua perempuan dan orang tua laki-laki
(ayah) karena mereka telah merawat kita dari sejak kecil sampai dewasa. (2) Kata di
daruana malaika yang memiliki arti pengganti malaikat dan Kata daruana mukmin
yang memiliki arti pengganti mukmin kata tersebut merupakan ungkapan yang
memiliki makna dalam pengislaman (patoba) seorang adik harus senantiasa
menghargai, menghormati, serta menuruti perintah kakaknya sebab hal itu merupakan
pencerminan jika ia menghormati dan mengakui malaikat ciptaan Allah SWT.
begitupun juga dengan kakak harus menyayangi dan menghormati adik atau yang
seusia dengan adik. Dan selalu bertingkah laku yang baik dimata keluarga maupun
dimata masyarakat sehingga dalam pergaulannya tidak melakukan hal-hal yang dapat
merugikan diri sendiri keluarga bahkan dilingkunngan masyarakat. serta akan
mematuhi segala aturan-aturan
yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya dan tidak ada
yang lain disembah selain kepada Allah Swt.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti menyarankan agar penelitian ini
ditindaklanjuti dan menjadi salah satu bahan bacaan generasi muda, mengingat
daerah kita saat ini telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman. Selain itu,
perilaku generasi muda yang semakin tidak terkendali, hal tersebut tentunya dapat
diatasi dengan menumbuhkembangkan kebudayaan daerah misalnya, makna
ungkapan pengislaman.

57

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Amir, Adriyetti. 2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: ANDI.
Anderlaepe, dkk. 2006. Analisis Semiotik Atas Lirik Kantola Sastra Lisan Derah
Muna. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Dirgantara, Agus Yuana. 2012. Pelangi Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia
Kumpulan Apresiasi dan Tanggapan. Garudhawaca.
Haruddin, dkk. 2007. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa Dan Sastra Kendari:
Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Http:// www. Artikata. Com/arti-365995-pengislaman. Html
Jabrohim. 2012. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kridalaksana, Harimurti.2008. Kamus Linguistik. Edisi IV. Jakarta: Gramedia
Pustaka Umum.
La Fariki. 2010. Sistem Pendidikan ‘’Toba’’ pada Masyarakat Buton dan Muna
Sulawesi Tenggara. Kendari: Komunika.
La Niampe. 2008. Tuturan Tentang Katoba dalam Tradisi Lisan Muna. Deskripsi
Nilai dan Fungsi (Makalah: Disajikan dalam Seminar Internasional Lisan VI
Wakatobi). Kendari : Universitas Haluoleo.
Murniah,dkk.2008. Bunga Rampai Hasil Penelitian Kesastraan. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahmawati, 2014. Ungkapan Tradisional Muna. Kendari: Kantor Bahasa
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Safitri, Sandra dkk. 2007. Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra .
Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sugono, Dendy. 2003. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Supriyanto, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara.
Kendari : Kantor Wilayah Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara.
Uniawati. 2006. Fungsi Mantra Melaut Pada Masyarakat Suku Bajo Di Sulawesi
Tenggara. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara.

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875

Jurnal Bastra (Bahasa dan Sastra) E-ISSN: 2503-3875
E-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FKIP UHO

Uniawati. 2012. Mantra Melaut Suku Bajo Analisis Semiotik. Kendari: Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar: Cv.Berkah Utami.
Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Garudhawaca.

Jurnal Bastra Vol. 2 No. 1, Juli 2016/ E-ISSN 2503-3875