BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 - Pemanfaatan RBD-Palm Olein dari Hasil Epoksidasi sebagai Sumber Poliol dalam Pembuatan Poliuretan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Minyak Kelapa Sawit

  Minyak kelapa sawit merupakan salah satu bahan baku utama minyak goreng. Minyak sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarine, dan minyak makan lainnya. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang ikatan molekulnya mudah dipisahkan dengan alkali, sehingga mudah dibentuk menjadi produk untuk berbagai keperluan, seperti untuk pelumas “cold rollet” dalam berbagai proses industri dan “flexing agent” dalam berbagai tekstil. Dengan kandungan kadar karoten yang tinggi, minyak sawit merupakan sumber provitamin A yang murah dibanding dengan bahan baku lainnya ( Awang,B.,1996 ).

  Minyak termasuk golongan lipid (netral) berupa lemak yang berwujud cair

  o

  pada suhu kamar 25

  C. Minyak merupakan trigliserida (triasil gliserol) dari gliserol dan berbagai asam lemak (Winarno,1997).

  2.2 Komposisi kimia minyak kelapa sawit

  Komponen utama minyak dan lemak adalah trigliserida sedangkan komponen non-trigliserida adalah berupa asam lemak bebas, air, kotoran dan komponen lain yang tidak diharapkan. Adapun komposisi dari asam lemak dalam minyak sawit dapat dilihat pada Tabel dibawah ini (Ketaren, 1986).

  Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit

  Asam Lemak Minyak kelapa sawit (%) Minyak inti sawit (%) Asam Kaprilat - 3-4 Asam Kaproat - 3-7 Asam Laurat - 46-52 Asam Miristat 1,1-2,5 14-17 Asam Palmitat 40-46 6,5-9 Asam Stearat 3,6-4,7 1-2,5 Asam Oleat 39-45 13-19 Asam linoleat 7-11 0,5-2

  Sumber: (Ketaren, 1986)

2.3 Minyak goreng

  Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap makin baik minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Minyak yang telah digunakan untuk menggoreng titik aspnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan minyak sebaiknya dilakukan o o

  pada suhu yang tidak terlalu tinggi ( suhu penggorengan 177 C - 221 C ) (F.G Winarno, 2004).

2.3.1 Prose Pengolahan RBD-Palm Olein

  Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) adalah minyak

  sawit yang telah mengalami proses penyulingan pada tahap deodorizing untuk menghilangkan asam lemak bebas serta penjernihan untuk menghilangkan warna dan penghilangan bau. Proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng sawit dimulai dari proses pengolahan tandan buah segar menjadi crude palm oil (CPO).

  Setelah kelapa sawit berubah menjadi CPO, maka proses selanjutnya adalah mengolah CPO menjadi minyak goreng sawit. Secara garis besar proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng sawit, terdiri dari dua tahap yaitu tahap pemurnian (refinery) dan pemisahan (fractionation). Tahap pemurnian terdiri dari penghilangan gum (degumming). Pemucatan (bleaching) dan penghilangan bau (deodorization). Tahap pemisahan terdiri dari proses pengkristalan (crystalization) dan pemisahan fraksi. Pada proses ini terjadi pemanasan CPO untuk mempermudah pemompaan CPO ke tangki berikutnya.. Hasil dari proses ini disebut DPO (Degummed Palm Oil).

  DPO yang dihasilkan dari proses degumming dipompa menuju dryer dengan kondisi vakum. Setelah dari dryer, DPO dipompakan ke reaktor yang terlebih dahulu melewati static mixer kemudian turun ke slurry tank. Di dalam

  slurry tank , terjadi pemanasan lagi sampai temperatur 90-120°Cdan penambahan

  H

  3 PO 4 dan CaCO 3 . Slurry Oil dari slurry tank akan mengalir turun bleacher. Dari bleacher minyak dialirkan dan dipompakan ke niagara filter untuk filtrasi. Hasil dari filtrasi ini adalah DBPO (Degummed Bleached Palm Oil) yang selanjutnya dialirkan ke intermediate tank (tangki siwang) untuk tahap deodorizing.

  DBPO yang berasal dari tangki siwang dialirkan menuju ke deaerator. Dari deaerator, DBPO dipompakan ke Spiral Heat Exchanger (SHE). Dalam proses ini terjadi penambahan panas dengan temperatur 185-200°C. Dari SHE minyak dialirkan ke flash vessel turun ke packed column. Setelah dari packed

  column , minyak dialirkan menuju deodorize. Dalam proses ini terjadi

  penghilangan zat-zat yang dapat menimbulkan bau seperti keton dan aldehid dengan pemanasan pada temperatur 240-265°C. DBPO yang sudah hilang baunya dipompakan kembali ke SHE untuk mengalami pertukaran panas. Dalam hal ini minyak sudah dalam bentuk RBDPO (Refined Bleached Palm Oil). RBDPO kemudian mengalami pertukaran panas lagi dengan CPO pada PHE. Dari PHE, RBDPO dialirkan ke Plate Cooler Water (PCW) selanjutnya RBDPO difiltrasi.

  Kemudian di analisa di laboratorium, jika sesuai dengan spesifikasi maka RBDPO bisa dialirkan langsung ke tangki penampungan atau ke tangki kristalisasi sesuai dengan kualitasnya untuk diproses pada tahap fraksinasi (Iyung, 2008).

2.4 Oleokimia

  Oleokimia pada dasarnya merupakan cabang ilmu kimia yang mempelajari trigliserida yang berasal dari minyak dan lemak menjadi asam lemak dan gliserin serta turunan asam lemak baik dalam bentuk ester, amida, sulfat, sulfonat, alkohol, alkoksi, maupun sabun.

  Pada saat ini industri oleokimia masih berbasis kepada minyak/trigliserida sebagai bahan bakunya. Asam lemak bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam lemak ini mudah dijumpai dalam minyak masak (minyak goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya.

  Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun yang terikat dengan gliserida (Tambun, 2006).

  2.5 Penggunaan Oleokimia Dalam Industri Polimer

  Turunan lemak dan minyak dalam industri polimer dapat dimanfaatkan sebagai monomer pembentuk bahan polimer maupun sebagai bahan tambahan untuk memperbaiki sifat polimer tersebut, termasuk memperbaiki permukaan maupun memperkuat ketahanan polimer. Asam lemak tidak jenuh seperti oleat (C18:1), linoleat (C18:2), maupun risinoleat (C18:1-OH) telah dikembangkan untuk dioksidasi menjadi asam azelat (Reck,1984; Brahmana,1994).

  Demikian juga dari asam lemak tidak jenuh melalui oksidasi dapat dihasilkan senyawa poliol yang banyak digunakan sebagai monomer pembentuk polimer seperti poliester, polieter, dan poliuretan. Sebagai bahan tambahan penggunaan oleokimia dapat digunakan sebagai : slip agent, pelumas, plastisizer dan stabilizer, anti static agent, katalis dan emulsifier (Reck,1984).

  2.6 Polimer

  Polimer yang memiliki kestabilan termal dan oksidasi istimewa, dipakai dalam aplikasi-aplikasi ruang angkasa berkinerja tinggi. Polimer juga digunakan untuk aplikasi medis yang penggunaanya sangat luas, seperti benang jahitan bedah yang dapat terurai dengan mudah dan dalam pembuatan organ-organ buatan. Polimer konduktif merupakan polimer-polimer yang memperlihatkan konduktivitas listrik yang sebanding dengan konduktivitas logam-logam (Steven, 2001).

  Reaksi kimia yang terjadi diantara dua molekul merupakan proses pembentukan atau pemecahan satu atau lebih ikatan kimia yang terdapat pada suatu senyawa kimia. Reaksi polimerisasi berbeda dengan reaksi sintesis pada umumnya, karena pada polimerisasi molekul-molekul yang bereaksi harus mempunyai dua atau lebih gugus fungsi. Pada dasarnya reaksi polimerisasi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu reaksi polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi adisi yang paling dikenal adalah reaksi pada senyawa yang mengandung ikatan karbon rangkap dua (umunya dikenal dengan polimerisasi vinil) polimerisasi adisi dapat dibagi menjadi tiga tahap :

  a. Inisasi (pemicuan)

  BF .H O

  3

  

2

BF + H O

  3

  2 CH CH 3 3 Inisiasi

  • OH) +

  CH + (BF C 2 C CH 3

  3 BF3.H2O + H C H C

  3

  3 b. Propagasi (perambatan)

  • H
  • 3 C C CH 3 CH 2 H 3 C C H CH 2 C C 3 CH 3 CH 3 CH 3 H 2 C C

    +

    CH

    3

    CH

    3

    H

      c. Terminasi (pengakhiran)

    • (BF
      • C H
      • 2 C C CH 3 CH 3 CH 3 CH 3 H 2 C C CH 3 CH 3 C CH 2 CH 3

      • (BF
        • atau BF

      • H

      Gambar 2.6.1 Reaksi polimerisasi adisi

        Karena polimerisasi ini menggunakan bahan baku senyawa ikatan rangkap dua, maka polimerisasi adisi selanjutnya dapat melalui radikal bebas atau melalui ion (kation dan anion).

        Propagasi H 3 C C + CH 3 CH 3 + H 3 C C CH

      3

      CH 2 H 3 C C H CH 2 C C + 3 CH 3 CH 3 CH 3 H 3 C C H CH 2 C C + 3 CH 3 CH 3 CH 3

        3 C C H 2 C C CH 3 CH 3 CH 3 CH 3 H 2 C C + CH 3 CH 3

        3 OH)

        3 OH)

        3 .H

        2 O Polimerisasi kondensasi adalah reaksi yang terjadi antara dua molekul bergugus fungsi dua atau lebih dan menghasilkan satu molekul besar serta molekul kecil seperti air. Sebagai contoh reaksi pembuatan poliester Dacron, reaksi berasal dari polimerisasi antara etilena glikol dan metil terefalat (Riswiyanto, 2009).

        O O C C OCH 3

      • n H CO

      CH CH OH

        3 n HO 2 2 O O

      H O CH CH O C C O CH OH

      2 2 3 + n CH

        3 n

      Gambar 2.6.2 Reaksi sintesis polimer

        Sintesis polimer melalui polimerisasi bertujuan menciptakan polimer baru dengan struktur rantai tertentu sehingga menghasilkan bahan polimer dengan karakteristik dan sifat mekanis yang diinginkan. Penerapan bahan polimer kesegala kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan memerlukan berbagai standart mutu bahan polimer dari polimer komoditas, sampai bahan polimer teknik, dan polimer khusus. Penyediaan berbagai mutu bahan polimer ini tidak dapat dipenuhi bila hanya digunakan cara polimerisasi, lebih lanjut molekul polimer yang terbentuk dapat dimodifikasi menjadi polimer baru melalui reaksi polimer lainnya atau senyawa aditif berbobot molekul rendah (Wirjosentono,dkk,1995).

      2.7 Epoksidasi

        Epoksidasi asam lemak adalah reaksi antara ikatan rangkap karbon-karbon yang terdapat di dalam asam lemak tidak jenuh dengan oksigen aktif. Proses ini menghasilkan penambahan atom oksigen sehingga merubah ikatan rangkap tersebut menjadi cincin epoksi (oksiran).

        Pada umumnya, epoksidasi minyak menggunakan hidrogen peroksida sebagai pereaksi. Sifat hidrogen peroksida sebagai oksidator tidak cukup kuat sehingga ditransformasi ke bentuk yang lebih aktif (asam peroksi) (Guenther et al.,2003).

        O O C O OH H O +

        O 2 R C OH + H

        2

      2 R

        peroksida air asam ferformat Asam karboksilat

        O

      • C C

        C

      • C O OH C R

        O asam ferformat

        H H epoksida Olefin

        O C OH R Asam karboksilat

      Gambar 2.7. Reaksi epoksidasi

        Metoda epoksidasi bervariasi tergantung pada keadaan reaktan dan katalis yang digunakan. Untuk memproduksi epoksida dari tipe molekul yang memiliki ikatan rangkap, metoda yang dapat digunakan diantaranya:

        a. Epoksidasi dengan asam perkarboksilat (Guenther et al.,2003) yang dapat memakai katalis asam atau enzim (Klass dan Warwel,1999; Rios et al.,2005).

        b. Epoksidasi dengan peroksid organik dan anorganik yang menggunakan katalis logam transisi (Sharpless et al., 1983).

        c. Epoksidasi dengan halohidrin dikatalis oleh asam hipohalous (HOX) dan garamnya.

        d. Epoksidasi dengan oksigen molekuler (Guenther et al., 2003).

        Dari empat metoda diatas, epoksidasi dengan asam perkarboksilat banyak dikembangkan untuk dihasilkan proses yang bersih dan efisien (Dinda et al., 2007). Epoksidasi minyak nabati merupakan hal yang penting dan sangat berguna terutama dalam hal sebagai stabilisator dan plastisasi bahan polimer.

        Berdasarkan pada kereaktifan yang tinggi dari cincin oksiran epoksida juga dapat dimanfaatkan sebagai zat antara untuk berbagai jenis bahan kimia yaitu alkohol, glikol, alkanolamin, senyawa karbonil, senyawa olefin, dan polimer seperti poliester, dan poliuretan (goud, dkk, 2002).

        Ester terepoksidasi mempunyai densitas yang lebih tinggi dan volatilitas yang lebih rendah serta lebih tahan terhadap oksidasi. Epoksidasi meningkatkan stabilitas oksidatif termal dan mengurangi laju peningkatan angka asam (Gan L.H. et. al, 1995). o

        Suhu reaksi epoksidasi lebih sering diatur pada 30 dan 140

        C. Reaksi epoksidasi dapat dilakukan secara batch, semi-kontinyu, atau kontinyu (Escrig, Pilar De Frutos et. al, 1998).

      2.8 Poliol

        Poliol merupakan senyawa organik yang memiliki gugus hidroksil lebih dari satu dan dalam industri material sangat luas digunakan baik sebagai bahan pereaksi maupun addtive. Senyawa poliol dapat diperoleh langsung di alam seperti amilum, selulosa, sukrosa, lignin, ataupun olahan industri kimia. Poliol dari minyak nabati telah banyak dikembangkan untuk dapat menggantikan petroleum berbasis poliol dalam pembuatan poliuretan dan poliester, juga telah banyak digunakan sebagai bahan pemelastis dalam matriks polimer untuk menghasilkan suatu material, demikian juga sebagai pelunak maupun pemantap yang bertujuan agar diperoleh kekerasan dan kelunakan tertentu sehingga material tersebut mudah dibentuk ke berbagai jenis barang sesuai kebutuhan (Andreas,dkk.,1990; Narrine,dkk.,2007).

        Sebagai bahan poliol tersebut dari sumber minyak nabati dikembangkan melalui transformasi terhadap ikatan π pada asam lemak tidak jenuh, baik sebagai trigliserida maupun bentuk asam lemak dan juga bentuk alkil asam lemak melalui berbagai proses kimia seperti ozonolisis, epoksidasi, hidroformulasi, dan metatesis (Gua, dkk, 2002).

        Beberapa minyak nabati diupayakan dalam pembuatan poliol dengan memanfaatkan asam lemak tidak jenuh terutama oleat (C18:1), linoleat (C18:2), linolenat (C18:3). Seperti halnya pembuatan poliol dari minyak kacang kedelai yang kaya kandungan oleat, linoleat, dan linolenat melalui proses ozonolisis katalitik dan dihasilkan komposisi gliserida yang baru, yang mana komponen utamanya adalah 2-hidroksi nonanoat dari gugus hidroksil yang baru. Senyawa yang terbentuk dalam trigliserida berupa campuran mono, di dan tri trigliserida yang memiliki gugus hidroksi (Trans,dkk,2005).

        Epoksidasi asam lemak tidak jenuh baik sebagai trigliserida, asam lemak bebas maupun dalam bentuk alkil ester asam lemak yang dilanjutkan hidrolisis juga telah banyak dilakukan untuk menghasilkan senyawa poliol, seperti halnya epoksidasi asam oleat dengan asam ferformat yang dilanjutkan hidrolisis menghasilkan asam 9,10-dihidroksi stearat (Swern,dkk,1982).

        Epoksidasi terhadap minyak kacang kedelai degan asam ferformat yang komposisi utamanya sebagai trigliserida asam oleat, linoleat, dan linolenat dimana epoksida yang terbentuk diikuti hidrolisis untuk membentuk poliol turunan minyak kedelai (Godoy,dkk,2007).

      2.9 Isosianat

        Isosianat merupakan monomer yang utama dalam pembentukan poliuretan. Isosianat memiliki reaktifitas yang sangat tinggi, khususnya dengan reaktan nukleofilik. Reaktifitas gugus sianat (-N=C=O) ditentukan oleh sifat positif dari atom karbon dalam ikatan rangkap komulatif yang terdiri dari N, C, dan O.

        Pada dasarnya kumpulan R-N=C=O mempunyai kemampuan untuk bereaksi dengan berbagai senyawa khususnya yang mengandung gugus nukleofil seperti air, amina, alkohol, dan asam lemak. Isosianat memiliki dua sisireaktif pada atom karbon dan pada atom nitrogen, sehingga monomer ini sangat reaktif dengan senyawa yang mengandung gugus hidroksil baik yang bersifat alifatis, siklik, maupun gugus aromatik.

        Dalam pembentukan poliuretan sangat penting untuk memilih isosianat yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil akhir seperti biuret, urea, uretan, dan alopat. Isosianat dapat bereaksi dengan alkohol membentuk karbamat, dengan air membentuk urea dan gas CO

        2 , dengan

        amina membentuk urea, dengan urean membentuk uretan dengan isosianat sendiri (Hepburn,1991;Randal dan Lee,2002).

        Poliuretan sering disebut poliisosianat, gugus isosianat, -NCO, merupakan gugus yang sangat reaktif dan dapat membentuk uretan dengan alkohol (Gambar 2.9.1):

        O C O OH HN C N R

      • R' R Isosianat Alkohol Uretan OR'

      Gambar 2.9.1 Reaksi pembentukan uretan dari isosianat dan alkohol

        Reaksi yang melibatkan monomer-monomer pada pembentukan poliuretan yaitu gugus sianat N=C=O dan gugus –OH (Gambar 2.2):

        O O R' OH N R H C O C N

        Reaksi dengan mononomer- Poliuretan monomer berikutnya

        O O R' OH N R H C O C N

        

      Monomer poliuretan

      Gambar 2.9.2. Reaksi pembentukan monomer poliuretan Seperti poliamida, poliuretan, dapat mengalami ikatan hidrogen.

        Poliuretan mempunyai sifat yang sama dengan nilon, tetapi karena sukar diwarnai dan titik lelehnya lebih rendah, polimer ini pada awalnya tidak banyak diperdagangkan akan tetapi, terjadi kemajuan pesat pada kimia poliuretan yang menghasilkan busa, elastomer, pelapis permukaan, serat, dan perekat poliuretan.

        Poliuretan yang terbentuk juga dapat berupa foam (busa), walaupun berasal dari berbagai sampel poliol yang berbeda. Poliuretan jenis ini lebih keras dibandingkan dengan poliuretan yang lain. Dengan direaksikan melalui isosianat akan terbentuk banyak uretan, yang kemudian akan diperiksa sifatnya. Salah satu kegunaan poliuretan foam dapat digunakan sebagai busa (Ulrich, 1982).

        Mekanisme reaksi isosianat dengan kumpulan hidroksil ditentukan menurut reaktivitas kumpulan hidroksil itu sendiri. Adapun reaksi secara umum isosianat, yaitu :

        1. Reaksi isosianat dengan poliol O

        H C O O N C

        N R + H

        2 R RNH 2 + CO

        2 Isosianat

        Amina

        OH

        Air Asamkarbamat

        2. Reaksi isosianat dengan air

        O NH C O OH C R N R

      • R' Isosianat Poliol Uretan OR

        3. Reaksi isosianat dengan amina lebih jauh melalui perbandingan reaksi senyawa kandungan hidrogen aktif (Doyle, 1971).

        O H H N C O N C N R' + R

      • C O + RNH R N R

      2 Amina

        Isosianat Uretan

      O

      H N C N R R C

      O

      NH

        R' Biuret

        4. Dengan adanya kelebihan isosianat, atom hidrogen dari uretan akan bereaksi dengan isosianat untuk membentuk suatu rantai alopanat

        O O H H H

        N C N R N C O R R

      • N C N R' R Isosianat Uretan

        HC O NH R'

        Biuret

        (Hepburn,1991)

      Gambar 2.9.3 Reaksi umum isosianat

      2.10 Poliuretan

        Poliuretan umumnya di singkat dengan PU merupakan senyawa polimer yang penyusun rantai utamanya adalah gugus uretan (-NHCOO-). Poliuretan merupakan jenis polimer yang mudah disesuaikan dengan penggunaanya serta sukar disamai polimer lain seperti kekuatan regangan, kekerasan, ketahanan gesekan, dan ketahanan pelarut. Sifat-sifat yang dimiliki oleh poliuretan menjadikan bahan ini sangat berpotensi dalam berbagai industri (Dombrown,1957).

        Poliuretan memiliki kekakuan, kekerasan, serta kepadatan yang amat beragam. Beberapa jenis poliuretan yang diperdagangkan dan sangat sesuai dengan penggunaanya, diantaranya :

        a. Busa fleksibel (fleksible foam), berdensitas (kepadatan) rendah yang digunakan dalam bantalan menahan lenturan.

        b. Busa kaku (rigid foam), berdensitas rendah yang digunakan untuk isolasi termal dan dasboard pada mobil c. Elastomer, bahan padat yang empuk sering digunakan untuk bantalan gel dan penggiling cetakan d. Plastik padat, sering digunakan sebagai bagian struktural dan bahan instrumen elektronik.

        Poliuretan digunakan secara meluas dalam sandaran busa fleksibel berdaya lenting (daya pegas) tinggi, panel isolator busa yang kaku, segel busa mikroseluler, gasket roda, ban yang tahan lama, segel dan lem berkinerja tinggi (Hepburn,1991;Randal dan Lee,2002).

        Umumnya bahan-bahan alam yang dimiliki dua atau lebih gugus hidroksil dapat digunakan sebagai sumber poliol. Baik sebagai inisator yang digunakan sebagai pemuai, serta berat molekulpoliol sangat mempengaruhi keaadan fisik dan sifat fisik polimer poliuretan. Karakteristik poliol yang sangat penting adalah pola struktur molekulnya, berat molekul, persen gugus hidroksi utama, fungsionalitas dan viskositas. Sebagai sumber poliol belakangan ini banyak digunakan dari hasil transformasi minyak nabati dengan memanfaatkan masing-masing asam lemak tidak jenuh yang dikandungnya. Minyak nabati sebagai trigliserida dibentuk menjadi turunannya seperti metil ester asam lemak tidak jenuh dapat diepoksidasi yang dilanjutkan hidrolisis menjadi poliol (Goud, dkk, 2006).

        Secara umum untuk menghasilkan poliuretan dengan isosianat dilakukan melalui tahapan berikut : tahap awal adalah pemanasan dan pengadukan dari senyawa poliol atau poliol dengan bahan aditif dalam kondisi inert (menggunakan N ). Berikutnya adalah pencampuran dengan senyawa diisosianat (jumlah

        2

        pemakaian dihitung berdasarkan rasio OH/NCO) diikuti dengan pengadukan dan pemanasan dimana hasil reaksi yang terbentuk dalam keadaan viskos segera dituangkan kedalam cetakan, yang umum digunakan adalah teflon yang diberi bahan surfaktan seperti silikon. Poliuretan yang terbentuk dikeringkan dalam

        o

        vakum desikator dan pemanasan pada oven dengan suhu 60 – 100 C dilanjutkan penyimpanan hasil pada suhu kamar (Narine,2007).

        Hasil polimerisasi dua jenis monomer pada pembentukan poliuretan (poliol dengan isosianat) dapat dilanjutkan dengan pemberian bahan-bahan pemanjang rantai polimer atau bahan memperkuat ikatan rantai polimer sesuai dengan kriteria kebutuhan yang diinginkan. Demikian juga untuk bahan poliuretan foam, untuk menghasilkan busa pada saat proses diberikan bahan pembentuk busa

        (blowing agent) seperti hidrokloroflorokarbons, hidroflorokarbons, hidrokarbons, dan lain-lain (Randal dan Lee,2002).

      2.11 Spektrofotometri Inframerah

        Spektrofotometri infra-merah adalah sangat penting dalam kimia modern, terutama dalam bidang kimia organik. Ia merupakan alat rutin dalam penemuan gugus fungsional, pengenalan senyawa, dan analisa campuran. Kebanyakan gugus, seperti CH, O-H, C=N, dan C=N, menyebabkan pita absorpsi infra-merah, yang berbeda hanya sedikit dari satu molekul ke yang lain tergantung pada substituen yang lain (Day dan Underwood,1990).

        Pancaran infra-merah pada umumnya mengacu pada bagian spektrum elektromagnet yang terletak di antara daerah tampak dan daerah gelombang mikro. Bagi kimiawan organik, sebagian besar kegunaannya terbatas di antara 4000 cm-1 dan 666 cm-1 (2,5 – 15,0 µm). Akhir-akhir ini muncul perhatian pada daerah infra-merah dekat, 14.290 – 4000 cm-1 (0,7 – 2,5 µm) dan daerah infra- merah jauh, 700 – 200 cm-1 (14,3 – 50 µm) (Silverstein, dkk., 1986).

        Spektrofotometri infra-merah juga digunakan untuk penentuan struktur, khususnya senyawa organik dan juga untuk analisis kuantitatif, seperti analisa kuantitatif pencemaran udara, misalnya karbon monoksida dalam udara dengan teknik non-dispersive (Khopkar, 2003).