BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan - Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabili

BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan Independensi merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi

  sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif pihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan

   kekuasaannya dengan baik dan benar.

  Konsep dari independensi peradilan telah banyak dikemukakan oleh para pakar hukum di Indonesia, pembahasan akan dimulai dengan memberikan tujuan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan. Bagir Manan

  

  menyatakan, “Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain.” Sedangkan menurut Efik Yusdiansyah tujuan dasar dari

  

  kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah : a.

  Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di 46 antara badan-badan penyenggara Negara, kekuasaan kehakiman yang 47 Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.

  Hukum Online, “Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan- 48 masyarakat> [diakses pada 27/2/2014] Efik Yusdiansyah, Implikasi keberadaan Mahkamah Konstitusi terhadap pembentukan Hukum merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu; b.

  Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau semena- mena dan menindas; c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan; dan d.

  Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara. Sedangkan untuk dapat menguji apakah tujuan dari indepedensi peradilan

  

  tersebut menurut Erhard Blakenburg dapat dilihat dari dua hal, Ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta- fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik. Dari tujuan keberadaan prinsip independensi peradilan tersebut menunjukan bahwa kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi peradilan, Salman Luthan mencoba mengartikan mendeskripsikan bentuk dari intervensi terhadap independesi tersebut dengan menamakan independesi

  

  struktural dan independensi fungsional, yaitu sebagai berikut : Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan 49 badan peradilan, misalnya bebas dari campur tangan eksekutif, legilatif, Ibid. dan campur tangan kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam pengertian ini termasuk pula pengertian peradilan tertentu bebas dari campur tangan peradilan lain (misalkan peradilan umum beras dari campur tangan peradilan militer), peradilan yang lebih rendah bebas campur tangan dari peradilan yang lebih tinggi kecuali melalui mekanisme upaya hukum dan pembinaan peradilan.

  Melengkapi konsep dari bentuk intervensi ini, selain peradilan harus independen dari intervensi lembaga negara lainya dan kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat, menurut Ansyahrul,

   Dari bentuk intervensi yang telah dibahas maka independensi peradilan

  dapat dilasifikasikan, menurut Richard D. Aldrich membagi kekuasan kehakiman yang merdeka ke dalam dua pengertian, Dalam mengemban tugasnya Hakim harus bebas dari berbagai tekanan kepentingan, baik eksternal (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya), maupun internal dari lingkungan pengaruh-pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara, pihak-pihak yang berkepentingan, serta pengaruh dari kepentingan Hakim itu sendiri.

  

  yaitu : “Kemerdekaan personal (personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent).

  Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya.” Seide dengan pendapat ini Shimon Sheret dalam Judicial Independence : New

  

Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi Independence of

Judiacry menjadi empat hal yaitu

   51 Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, hlm. 179. 52 Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.

  : “Substantive Independence (Independensi

  53 Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa

Depan Komisi Yudisial)” < http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view dalam memutus perkara), Personal Independence (misalnya adanya jaminan kerja dan jabatan), Internal Independence (misalnya Independensi dari atasan dan rekan kerja), dan Collective Independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk penentuan budget pengadilan).” Lebih lanjut berdasarkan doktrin independesi peradilan dari Simon ini, menurut Saldi Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam

   memutus perkara (Substantive Independence).

  Dari sudut pandang lain Salman memberikan indikator perkembangan dari

  

  dan independesi peradilan dalam tataran budaya, seperti berikut : a.

  Independensi Peradilan dalam tataran Normatif Independensi ini terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan.

  b.

  Independensi Peradilan dalam tataran Budaya Independesi ini terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya.

  Melengkapi doktrin-doktrin dari independesi peradilan, Ansyahrul

   menyatakan bahwa independensi peradilan, “harus bebas dari dan bebas untuk”.

  Dari konsep tersebut jika disandingkan berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti :

  1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif; 54 dan-masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5> [diakses 3 Maret 2014] 55 Ibid.

  Salman Luthan, Loc. Cit.. Hlm. 317.

  2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja;

  3. Pihak-pihak yang berperkara;

  4. Kekuatan politik;

  5. Kelompok masyarakat; 6. Media massa.

  7. Kepentingan hakim sendiri. Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari tujuan- tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan

  1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;

  2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum;

  3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya;

  4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan hukum.

B. Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas Peradilan

  Akuntabilitas merupakan prinsip yang dibutuhkan untuk melengkapi independensi, seperti pada independensi peradilan, basis moral dari akuntabilitas adalah kepercayaan dari masyarakat sehingga keduanya menjadi instrumen

  

  penguat kepercayaan dari pemberi kekuasaan kepemegang kekuasaan. Disinilah tujuan dari eksistensi akuntabilitas peradilan memiliki keterkaitan dengan independensi peradilan, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability

58 Mechanism ,

  kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.

  Keberadaan dari akuntabilitas tidak terlepas dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh suatu instansi atau seseorang, keberadaan akuntabilitas menurut

59 Gayus Lumbun,

  Akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah. Pemberi amanah dapat diartikan pihak yang mengangkat, pihak yang dilayani secara langsung maupun kepada pihak masyarakat atau publik, yang merupakan sumber utama dari kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Untuk itu, pemegang amanah diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan, baik dalam bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam 57 pelaksanaan tugas yang diembanya. 58 Suparman Marzuki, “Kekuasaan…” Loc.. Cit. hlm. 302.

  Oce Madril, “Komisi Yudisial dan Akuntabilitas Hakim” 59 [diakses 1 Maret 2014] Gayus Lumbun, “Tetang Pembaruan Pengadilan Khusus dalam Perspektif Mahkamah Agung”,

  Menurut Artidjo Alkostar, akuntabilitas peradilan ditujukan untuk,

  

  “para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.” Sedangkan Romzek menyatakan jenis-jenis dari akuntabilitas antara lain,

61 Ada beberapa pendekatan untuk lebih mamahami konsep dari akuntabilitas

  peradilan menurut J. Djohansjah, antara lain “(1) akuntabilitas hukum, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dengan kontrol eskternal; (2) akuntabilitas politik, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan control eksternal; (3) akuntabilitas hirarki, akuntabilitas professional, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan kontrol internal.”

  

  60 Artidjo Alkostar, “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”, Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012, hlm. 3 61 J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Bekasi : Percetakan KBI, 2008, hlm. 178.

  , Pendekatan pertama adalah pendekatan kultural, yang lebih menekankan pada tanggung jawab personal (personal obligation) dalam akuntabilitas. Dalam pandangan ini, esensi akuntabilitas terletak pada pengembangan komitmen dan moralitas individu, etos kerja, dan etika organisasi yang kondusif bagi pengabdian lembaga kekuasaan kehakiman kepada masyarakat.Pendekatan kedua, lebih menekankan pada aspek-aspek eskternal. Akuntabilitas kekuasaan kehakiman kepada publik sangat ditentukan oleh tekanan-tekanan eksternal yang memaksa dan menkondisikan hakim untuk mengabdi kepada kepentingan publik. Pendekatan ini tidak menjadikan komitmen individu dan nilai-nilai normatif dan dogmatik sebagai basis bagi akuntabilitas kepada publik, sekalipun tidak menolak pentingnya hal tersebut. Menyambung ide pendekatan untuk membahas mengenai akuntabilitas peradilan tersebut, Gayus Lumbun memberikan konsep dari pembenahan prioritas jangka pendek adalah pengembangan akuntabilitas dan tranparansi khususnya

  

  pada aspek kinerja badan peradilan, diuraikan sebagai berikut : Akuntabilitas dan Tranparansi dari aspek Kinerja merupakan aspek krusial yang menyangkut kinerja di lingkungan badan peradilan dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, kegiatan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kompetensi hakim. Akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan diklat sangatlah penting untuk menjamin bahwa kepersetaan dalam diklat relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, dan narasumber yang berkompeten dengan kriteria yang jelas.

  Dari berbagai argumentasi-argumentasi mengenai akuntabilitas peradilan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain, dasar munculnya akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.

C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pengawasan Peradilan

  Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim memiliki sikap berintegritas tinggi, jujur, imparsial, dan profesional dalam menjalankan kewenanganya maupun dalam keseharianya yang akan mempengaruhi tugas yudisialnya. Pengawasan dapat mencegah potensi pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuatan lainya, atau dari masyarakat tertentu. Pengawasan dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas hakim

   berdasarkan kebenaran.

  Urgensi dari adanya sebuah pengawasan menurut Bambang Widjajanto, “Adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat rinci atas hal-hal penting yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan kehakiman, adanya kode etik dan, perilaku yang applicable, tersedianya tata cara dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang-orang yang

  

  memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan.” Dalam bahasa lebih sedehana, pengawasan harus memiliki pengaturan yang jelas dan terperinci untuk dapat mencapai tujuan utama dari adanya pengawasan yaitu menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas sesuai kode etik dan perilaku hakim.

  Untuk meneliti sistem pengawasan terhadap Hakim konstitusi berikut akan 64 disampaikan konsep-konsep dari pengawasan secara umum maupun pengawasan 65 Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101.

  Bambang Widjojanto, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman : Upaya Membangun yang teradapat dalam lembaga peradilan. Paulus Effendi Lotulung memetakan suatu lembaga pengawasan sebagai berikut

   Konsep selanjutnya untuk dapat mengklasifikasikan sistem pengawasan

  2. Kontrol dari segi kemanfaatan, adalah untuk menilai tepat tidaknya tindakan pemerintah dilihat dari segi pertimbangan kemanfaatannya.

  Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan) 66 Ahmad Basuki, “Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya

  c.

  Pengawasan dengan Pendekatan Preventif Dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental.

  b.

  Dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan.

  Pengawasan dengan Pendekatan Preemtif :

   a.

  1. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; dan

  terhadap Hakim Konstitusi, menurut Suparman Marzuki menyatakan ada tiga pendekatan Pengawasan Hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif sebagai pendekatan yang saling melengkapi, sebagai berikut

  c. Ditinjau dari segi obyek yang diawasi

  1. Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pengawasan kepadanya; dan dikeluarkan peraturan perundangan atau sesudah terjadinya tindakan atau peristiwa yang akan dikontrol.

  b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya suatu kontrol

  2. Kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah.

  1. Kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri; dan

  a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol

  :

  dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana”, Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 62.

  Dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya. Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Fadlil Sumadi memberikan gambaran konsep pengawasan terhadap ranah kekuasaan Mahkamah Agung, pengawasan internal dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara dan pengawas tertinggi terhadap pengadilan yang berada dibawahnya

  

  sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan

  

  a. Pengawasan Melekat Merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan.

  b. Pengawasan Fungsional Merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yakni jika di Mahkamah Agung adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.

  Sedangkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial jika kita ingin melihat konsep pengawasanya bisa dilihat dari pernyataan Charles Simabura yang

  

  menyatakan, Kehadiran Komisi Yudisial didasari ide tentang pentingnya pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaannya (institution

  reform ) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental

  (instrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum 68 masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical dan bahkan cultural reform).

  Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta Timur : Setara Press, 69 2001, 180. 70 Ibid.

  

Charles Simabura. Membangun Sinergi dalam Pengawasan Hakim, Jurnal Mahkamah Konstitusi

  Kembali ke pemikiran Ahmad Fadlil melengkapi konsep pengawasan internal, menyatakan ada dua bentuk pengawasan berdasarkan pelaksanaanya,

  

  antara lain :

  a. Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus Proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan reguler maka penyelenggaraan fungsi pengawasan ini memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi menajemen, sehingga terdapat manajemen pengawasan. Pelaksanaan Pengawasan Aktif ini digunakan untuk melaksanakan Pengawasan Internal dengan bentuk Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya.

  b. Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif Proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalanya peradilan dan perilaku hakim yang menjalalankanya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan bersuber dari hak masyarakat dalam mengawasi jalanya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Termasuk ke dalam pengawasan pasif ini adalah penerimaan laporan dari pengadilan atau pimpinan bawahan kepada pengadilan atau pimpinan yang lebih tinggi, baik laporan yang bersifat rutin maupun laporan insidentil ketika terjadi kasus.

  Setelah membahas urgernsi dan klasifikasi dari pengawasan dalam peradilan maka selanjutnya yang akan di sampaikan adalah mengenai objek yang akn menjadi pengawasan dalam peradilan khususnya bagi seorang hakim yaitu etika dan perilaku dari seorang hakim. Ruang lingkup pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini masihlah sangat relevan dengan konsep pengawasan terhadap peradilan secara umum, dengan berbagai alasan menurut Imam Anshori Shaleh berikut

  

  enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, seperti yang tercatum dalam The Bangalore Principle of Judicial Conduct, antara lain

  

  1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum dapat berjalan dengan baik;

  2. Tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk material maupun hukum formal (rechmatigheid), serta maanfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);

  3. Ada pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah diteteapkan;

  4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan.

  

  :

  1. Independensi (Independence Principle) Yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

  2. Ketidakberpihakan (Impartiality Prniciple) Adalah prinisip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya;

  3. Integritas (Integrity Principle) Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatanya;

  4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Priciple) Adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan;

  5. Kesetaraan (Equality Principle)

72 Imam Anshori Shaleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang : Setara Press, 2014, hlm. 128.

  Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa;

  6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligence Principle) Merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercerin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim.

  Dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi dari adanya pengawasan peradilan khususnya terhadap hakim adalah untuk menjamin agar segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman haruslah dapat disesuaikan dengan peraturan yang ada, selain yang sifatnya teknis yudisial melalui adanya pengujian terhadap putusan hakim melalui tingkatan peradilan ataupun non yudusial melalui administratif peradilan, pengawasan terhadap kode etik dan perilaku yang berlaku merupakan hal yang sangat penting khususnya bagi seorang hakim. Ketika pengawasan terhadap etika dan perilaku seorang hakim telah dapat ditegakan maka setidaknya hakim telah mengikuti standard etika dan perilaku seorang yang ideal sesuai Kode Etik dan Perilaku Hakim yang telah disepakati. Pengawasan terhadap etika dan perilaku seorang hakim inilah yang dapat menjaga prinsip independensi dan akuntabilitas peradilan.

  

D. Korelasi Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan

Pengawasan Peradilan

  Dari ketiga komponen pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu independensi peradilan, akuntabilitas peradilan, dan sistem pengawasan peradilan dapat di hasilkan sebuah korelasi yang saling menghubungkan ketiga hal tersebut. Kembali kepada konsep peradilan secara umum, Bagir Manan menyatakan ada 4

  

  (empat) asas peradilan demokratis yaitu : 1.

  Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), hal ini menyebabkan tidak boleh membentuk pendapat umum yang

  2. Larangan peradilan oleh Pers (Trial by press), tidak jarang pengadilan oleh pers ini melanggar hak pribadi dan kematian perdata atau pembunuhan karakter terhadap seseprang bahkan terhadap keluarganya;

  3. Prinsip Fairness, yang mengandung makna tidak saja memuat tanggung jawab hakim untuk berlaku jujur dan tidak memihak, tetapi mengandung makna pula bahwa setiap pihak yang berperkara (termasuk terdakwa) mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara. Keadilan bukan hanya hak publik atau hak korban, tetapi juga hak mereka yang disangkakan bersalah atau sedang diadili; dan

  4. Prinsip kebebasan hakim, kebebasan ini termasuk di dalamnya bebas dari rasa kebimbangan dan rasa takut hakim sebagai akibat dari adanya tekanan publik baik berupa perusakan gedung pengadilan atau penganiayaan yang ditunjukan pada hakim.

  Dari pendapatnya tersebut terlihat konsep independensi peradilan sangat dibutuhkan untuk menciptakan peradilan yang demokratis, lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman

  

  yang merdeka yaitu : 1.

  Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam 74 menyelenggarakan fungsi peradilan atau fungsi yustisial meliputi Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35. memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum;

  2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum; 3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak;

  4. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata- mata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri; 5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan

6. Semua tindakan terhadap hakim samara-mata dilakukan menurut undang-undang.

  Meski demikian, konsep independensi peradilan bukanlah tanpa batasan.

  

Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan , manusia adalah tempat salah dan lupa.

  Pepatah Arab tersebut memiliki korelasi dengan doktrin umum yang diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power, courrupt absolutely.

  Kekuasaan cenderung dikorupsi, kekuasaan mutlak, mutlak dikorupsi. Hal inipun disadari oleh Bagir Manan yang merumuskan bahwa diperlukan batasan-batasan

  

  terhadap independensi kekuasaan kehakiman yaitu : 1.

  Hakim hanya memutus menurut hukum, hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam memutus perkara kongret harus dapat menunjuk secara tegas ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum; 2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan sewenang-wenang;

  3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan atau kebebasannya. Sehingga dibutuhkan suatu konsep lagi untuk dapat mendampingi konsep independensi peradilan yaitu akuntabilitas peradilan.

  Fungsi akuntabilitas peradilan terhadap independensi peradilan ini

  

  menurut Suparman Marzuki, “Keberadaan Akuntabilitas adalah untuk memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik, sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip Independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.” Jadi fungsi dari akuntabilitas peradilan ini akan kekuasaan kehakiman maka segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.

  Pembatasan mengenai independensi peradilan dengan adanya akuntabilitas

  

  peradilan lebih lanjut menurut Suparman Marzuki menyatakan, “Tidak ada independensi tanpa pertanggungjawaban. Indepedensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.” Aspek-aspek inilah yang harus dicapai untuk dapat menciptakan independensi peradilan yang akuntabel.

  Mengkorelasikan antara independensi peradilan dan akuntabilitas 77 peradilan dengan sistem pengawasan peradilan maka pendapat Paulus E Lotolung

  Suparman Marzuki, Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013. Hlm. 101. dalam makalahnya “Streghtening the Independence and Efficiency of Judiciary

  

  berikut dapat dijadikan rujukan , “…perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus dapat terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme tu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjadi akuntabilitas seorang hakim.”

  Menanggapi doktrin tersebut Imam Anshori Shaleh memberikan pandanganya terhadap eksistensi dari pengawasan peradilan terhadap independensi dan

  

  akuntabilitas peradilan, pengawasan diharapkan,

  1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

  2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

  3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif. Dari berbagai pandangan dari ahli hukum diatas maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan dengan pengawasan. Independensi peradilan yang merupakan prinsip dasar untuk terciptanya kekuasaan kehakiman yang professional tidak bisa berjalan dengan sendirinya, disinilah prinsip dari akuntabilitas peradilan melengkapi independensi peradilan untuk menghindari terhadap penyalahgunaan independensi peradilan tersebut.

  Pengejawantahan dari pertemuan konsep independensi dan akuntabilitas peradilan ini yang secara mekanisme terdapat dalam sistem pengawasan 79 peradilan, dengan adanya pengawasan maka hakim khususnya hakim sebagai Imam Anshori Shaleh, Loc. Cit. hlm. 127. pemegang kekuasaan kehakiman dapat dituntut untuk selalu menjaga etika dan perilakunya agar selalu mencerminkan sikap independensi dan akuntabel sehingga hanya mendasarkan setiap berbuatannya baik di dalam dan diluar peradilan berdasarkan hukum dan kebenaran.

Dokumen yang terkait

Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan

0 48 119

Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Bagi Anak (Studi Kasus Pada Sistem Peradilan Pidana di Kota Medan)

1 32 114

MODEL PERADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN ANAK (Kajian tentang Praktik Mediasi Pelaku dan Korban dalam Proses Peradilan Anak di Wilayah Hukum Balai Pemasyarakatan Purwokerto)

0 0 19

Efektifitas Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

0 0 11

Pembahasan Peradilan Umum Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia

0 0 20

Bab 3 Sistem Hukum dan Peradilan Di Indonesia

5 175 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peradilan Adat Suku Dani dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Kabupaten Nabire

1 3 63

BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

0 0 31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Umum Perjanjian - Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Jaminan Berupa Hak Tanggungan Yang Mengalami Force Majeure Dalam Perjanjian Kredit

0 0 25