BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peradilan Adat Suku Dani dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas di Kabupaten Nabire
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejalan dengan permasalahan yang diteliti, maka dalam tinjauan pustaka penulis
mengetengahkan konsep-konsep yang menjadi kerangka acuan dalam pembahasan secara ilmiah dan sistematis terhadap permasalahan penelitian, konsep-konsep yang dipaparkan dalam bagian ini adalah konsep-konsep yang berkembang dari konsep dasar tentang hukum adat. Konsep-konsep yang dimaksud mencangkup : Pengertian Hukum Adat, Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menutut Hukum Adat, Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di Papua, Peradilan Adat Suku Dani di Nabire, Pembentukan Organisasi, Susunan Pengurus dan Struktur Organisasi LPM-D3N (Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak) Kabupaten Nabire, Tata Cara Penyelesaian Konflik Dan Perkara Yang di Tangani Oleh LPM-D3N, serta Hasil Penelitian dan Analisis. Karena permasalahan yang diteliti berkaitan juga dengan keberadaan pranata hukum adat di Papua yang memiliki karakteristik khusus dari segi administrasi, paparan bab ini akan diawali dengan uraian tentang Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus.
A. Papua Sebagai Daerah Otonomi Khusus
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
23 berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
Kelahiran UU Otsus Papua pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di mana keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otonomi Khusus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi hak-hak penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai penerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua.
Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah : “Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan. Kedua, pengaturan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar, Ketiga, mewujudkan penyelenggaran pemerintahan yang baik yang berciri :
a) Partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b)
Pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip
23
dikunjungi pada tanggal 7 November 2017 hari selasa Pukul 20:35 wib. pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan c)
Penyelenggaran pemerintah dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.” Sebagaimana dikemukakan dalam UU Otsus Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan khusus yang lebih luas bagi rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kewenangan ini berarti pula kesempatan untuk memberdayakan potensi sosial- budaya dan perekonomian masyarakat adat di Papua, termaksud memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan
24
keragaman kehidupan masyarakat Papua, dan adanya pengakuan terhadap keluhuran jati diri orang Papua dan nilai-nilai yang mereka anut. Ada pernyataan tentang jaminan konstitusi Republik Indonesia bagi keberagaman. Ada pengakuan tentang kekhasan orang-orang asli dan kebudayaan Papua. Ada pengakuan bahwa pemerintah selama ini kurang sekali berpihak kepada rakyat Papua termasuk tidak memberikan penghormatan dan perlindungan yang layak terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)
24 Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, Peradilan Adat Pergeseran Politik Hukum, Perspektif Undang- undang Otonomi Khusus Papua, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, h. 49.
orang-orang asli Papua. Ada pula pengakuan terhadap keunggulan cara-cara damai
25 yang ditempuh oleh orang Papua dalam memperjuangkan hak-haknya.
Salah satu pasal dalam UU Otsus Papua yang membicarakan tentang hak-hak orang Papua yaitu dalam Pasal 43, terdapat jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat, hak-hak tersebut antara lain :
(1)
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati,
melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak
masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan
hukum yang berlaku; (2)
Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak
ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (3)
Pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih
ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan
menghormati penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh
pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan;(4)
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga
masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan
melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga
yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai
penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya;(5)
Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif
dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak
perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai
kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan.Dalam penjelasan Pasal 43 ayat (5) UU Otsus Papua dijelaskan bahwa pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai instansi yang paling mengetahui 25 hal-ihwal sengketa yang terjadi di wilayahnya berkewajiban melakukan mediasi aktif
Agus Sumule, Satu Setengah Tahun Otsus Papua Refleksi dan Prospek, Yayasan ToPanG, Manokwari,2003, h. 6. dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang timbul di antara masyarakat hukum adat atau warganya dengan pihak luar. Sengketa antara para warga masyarakat hukum adat sendiri diselesaikan melalui peradilan adat sebagaimana dimaksud dalam undang- undang. Jika dilihat dari rumusan pasal ini maka penyelesaian sengketa dapat diselesaikan lewat mediasi ataupun melalui peradilan adat.
Salah satu hal fenomenal yang diatur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 UU Otsus Papua adalah adanya pengakuan terhadap Kekuasaan Pengadilan, Pasal 50 menyatakan :
(1) Kekuasaan kehakiman di Provinsi Papua dilaksanakan oleh badan peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Di samping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat
hukum adat tertentu.Selanjutnya dalam pasal 51 ayat (1), (2), dan (3) mengatakan :
(1) Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan
masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan;(2) Peradilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan; (3)
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili sengketa perdata
adat dan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.Peradilan adat ini kemudian diatur secara lebih spesifik lagi dalam Perdasus Papua Nomor 20 tahun 2008, kemudian memberikan definisi secara jelas mengenai pengadilan adat maupun peradilan adat, yakni : Peradilan adat adalah suatu sistem penyelesaian perkara yang hidup dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua sedangkan pengadilan adat adalah lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat dalam masyarakat hukum adat tertentu di Papua dan pengadilan adat ini berkedudukan di lingkungan masyarakat adat Papua serta dengan kewenangan yang
26 telah diatur dalam peraturan ini.
Adapun tujuan dari peradilan adat ini berdasarkan Perdasus Papua adalah “Pertama, sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat Papua; kedua, memperkokoh kedudukan peradilan adat; ketiga, menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan; keempat, menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; dan kelima, membantu Pemerintah dalam penegakan hukum”.
B. Pengertian Hukum Adat
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Apabila kebiasan pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi, kebiasan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dan orang yang lain di dalam kesatuan masyarakat ikut pula melakukan kebiasaan itu. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasan tersebut
, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi,“adat” dari masyarakat itu. Sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi, hukum adat. Maka
di kunjungi pada tanggal 27 Februari 2018 hari Selasa pukul 13.53 wib. dalam hal ini hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam
27 masyarakat yang bersangkutan.
1) Pengertian Hukum Adat Menurut Beberapa Ahli
Menurut Prof. Mr. C. Van Vollenhoven, memberikan pengertian tentang hukum adat yaitu “aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan “hukum”) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan “adat”).
Selanjutnya maka dikatakan hukum dikarenakan yang dimaksud adalah adat yang mempunyai sanksi, yaitu adat yang mengandung perintah dan larangan dan apabila dilanggar maka pelanggar akan mendapat ancaman dari masyarakat adat. Kemudian dikatakan adat dikarenakan tidak dikodifikasikan, artinya tidak dihimpun dalam suatu kitab perundang-undangan yang teratur menurut sistem hukum barat.
Sedangkan menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, memberikan pengertian tentang hukum adat yang kemudian terkenal dengan ajaran keputusan (beslissingen-
leer
), dimana hukum adat dikatakan sebagai “keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan penuh hati.
Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan 27 fungsionaris hukum ialah seperti kepala adat, para hakim, rapat desa, wali-tanah,
Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H, Intisari hukum adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), Alfabeta, Bandung, 2013, h. 1. pejabat agama dan para pejabat desa, yang memberikan keputusan di dalam dan di luar sengketa yang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum masyarakat, yang diterima dan dipatuhi karena sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Jadi, hukum adat itu ada, karena adanya masyarakat adat.
Secara hukum dibagian lain Prof. Mr. Dr. Hazairin, mengemukakan bahwa “adat itu adalah renapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah- kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu ”.
Sedangkan Prof. Soediman Kartohadiprodjo S.H., mengatakan bahwa hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis dan tertentu serta mempunyai dasar pemikiran yang khas, yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya.
Dengan adanya pendapat dari beberapa parah ahli tersebut di atas dapat dilihat bahwa hukum adat yaitu anturan-aturan serta keputusan-keputusan yang di buat serta
28 hukum tidak tertulis atau tidak dikodefikasikan.
2) Sistem Hukum Adat
Suatu sistem adalah keseluruhan yang tersusun dari berbagai bagian dimana antara bagian yang satu dan bagian yang lain saling bertautan satu sama lain. Hukum adalah suatu sistem yang merupakan suatu kesatuan dari berbagai kaidah yang saling bertautan dan merupakan suatu kebulatan dari alam fikiran yang hidup dalam 28 masyarakat.
Hilman Hadikusumah S.H, Poko-Poko Pengertian Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1980, h. 26-42.
Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang berasal dari alam fikiran bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yaitu alam fikiran yang percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak membeda-bedakan manusia, yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepetingan pribadi atau golongan, dan yang menyadari adanya hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan
29 sosial.
3) Sumber Hukum Adat
Sumber hukum adat di Indonesia berdasarkan pandangan para pakar hukum adat (1993) adalah kebiasaan dan adat istiadat yang berkaitan dengan tradisi rakyat (Cornelis Van Vollenhoven), uger-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kultural orang Indonesia asli (Djojodiguno), rasa keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat (Soepomo) atau budaya tradisonal rakyat Indonesia (Barend Ter Haar).
4) Sejarah Hukum Adat
Sejarah hukum adat adalah sejarah panjang tentang perjalanan bangsa Indonesia yang jauh menjangkau masa-masa kejayaan bangsa nusantara yang memiliki masa pasang dan masa surut sebuah gugus bangsa dan sebagainnya adalah karena datangnya bangsa Eropa (terutama Belanda, Portugis dan Inggris) yang pada awalnya bermotif dagang serta petualangan, karena semangat zaman pada masa kedatangan mereka adalah mencari benua baru di belahan timur dunia ini, akan tetapi 29 bermuara pada penjajahan (pembentukan koloni).
Ibid. h. 52.
Sejarah hukum adat ditandai oleh dua lintasan sejarah, yakni sejarah penemuan hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum yang berlaku serta sejarah politik atau kebijakan hukum adat yang berlaku di Indonesia dari masa ke masa, antara lain : a.
Sejarah Penemuan Hukum Adat
Sejarah penemuan hukum adat sebagai ilmu dan sistem hukum dibagai dalam tahap-tahap, antara lain : (a)
Zaman Sebelum VOC Datang ke Nusantara Zaman atau masa ini ditandai oleh kedudukan hukum adat sebagai hukum positif, yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditata oleh rakyat di berbagai kerajaan yang hidup dan berkembang di kepulauan yang berserakan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Naskah hukum adat yang lahir pada waktu itu antar lain dibuat pada Raja Dharmawangsa, tahun 1000 Masehi, berupa Kitab Ciwakasoma, pada masa kerajaan Majapahit berupa kitab Hukum Gadjahmada (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih kanaka (1413-1430). Di Bali ditemukan Kitab Hukum Kutara nanawa .
Zaman setelah orang barat atau asing itu ada, meliputi beberapa zaman antara lain : Zaman VOC (tahun 1602-1800) Zaman ini ditandai oleh perhatian orang asing (barat) terhadap hukum adat, baik karena tugas jabatannya maupun karena kehendak pribadi untuk memahami keberadaan hukum adat. Melihat tulisan mereka pada masa itu mayoritas bersifat catatan perjalanan dan bersifat perorangan, misalnya
Robert Padtbrugger tentang adat istiadat Minahasa (1679), Francois Valentijn berjudul Oudennieuw Oost Inien (1666-1727). Beberapa tulisan bersifat usaha kodifikasi hukum adat, yang ditulis oleh praktisi, yakni : a) Kitab Hukum Mogharraer (1750) yang memuat hukum pidana Islam yang terjadi di Landraad Semarang. b) Kitab Bosschenar Jan Dirk Van Clootswijck, tentang hukum adat di kerajaan Bone dan Goa (1755). c) Kitab hukum PC Hasselaer yang berisi tentang hukum adat di Cirebon “Papakem Cirebon” beberapa tulisan hukum adat lain yang ditulis oleh penulis-penulis barat yang menggambarkan perhatian terhadap hukum adat. Zaman Perintis (tahun 1783-1865) Zaman ini ditandai oleh metode penulisan hukum adat yang didahului atau disertai dengan penyelidikan terhadap hukum adat, sehingga bobot tulisannya lebih bernilai ilmiah, Perintis metode penulisan dengan penyelidikan pada masa ini antara lain : a.
William Marsden (1836), seorang pegawai pamong praja Inggris yang melakukan penelitian hukum adat dengan hasil penelitiannya yang ternal The History of Sumatera.
b.
Thomas Stanford Raffles (1816) yang berhasil menulis buku The .
History of Java c.
John Crawford (1868) yang menulis The History of Indian Archipelago . d.
Daendels, yang memiliki perhatian terhadap hukum acara adat dan pidana Islam, terutama di pesisir utara Jawa serta berbagai penulis lain yang memberikan perhatian terhadap hukum adat Indonesia. Zaman Penemuan Hukum Adat (1865-1926) Masa ini ditandai oleh perhatian terhadap hukum adat secara lebih mendalam melalui perhatian, peninjauan dan penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik kalangan pamong praja, parlemen ataupun ahli dan praktisi hukum dengan pendalaman pada bidang-bidang hukum adat yang beraneka. Kalangan pamong praja berminat terutama pada masalah organisasi masyarakat desa dan tata negara adat, kalangan parlemen mempunyai perhatian terhadap soal agrarian, kalangan ahli hukum memiliki perhatian terhadap hukum kekayaan, hukum perjanjian dan hukum pidana adat, sementara kalangan misionaris berperhatian pada masalah hukum keluargaan dan hukum waris. Dalam sejarah perjalanan hukum adat, terdapat beberapa hal yang perlu ditelusuri, yakni sejarah politik hukum adat.
b. Sejarah Politik Hukum Adat
Sejarah politik hukum adat di Indonesia, menurut Ilhami Bisri, S.H., M.Pd yang di kutip oleh Soepomo dibagi atas 5 tahap dan Bushar Muhammad ditambah 2 periode lagi, yakni : 1.
Masa VOC atau Masa Kompeni Masa ini ditandai oleh kebijakan kompeni terhadap hukum adat dengan cara saing menghormati. Pada awalnya kompeni hanya menggunakan hukum barat
(Belanda) untuk daerah pusat pemerintahan kompeni, sedangkan pada daerah yang belum dikuasai, dipersilahkan bagi pendudukan untuk menggunakan hukum adat mereka, atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda, diperbolehkan. Namun jika mereka akan melakukan hubungan hukum dengan kompeni, mereka harus menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain, politik hukum kompeni bersifat oportunistis.
2. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811) Pada masa ini Daendels mengambil sikap jalan tengah atau kompromistis.
Artinya, hukum adat masih diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera, dengan syarat sebagai berikut : (a)
Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum; (b)
Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan (dalam ukuran barat); (c)
Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum. Dengan persyaratan tersebut tampak bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedudukan hukum adat dibanding hukum Belanda.
3. Masa Pemerintahan Raffles (1811-16) Raffles menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan pribumi, untuk menarik simpati dan ini merupakan sikap politik Inggris yang humanistis.
4. Masa tahun 1816-1848 Pada masa ini kedudukan hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya. Dengan catatan bahwa terjadi pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumi putera. Secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda, akan tetapi dalam praksis pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dengan hukum barat.
5. Masa tahun 1848-1928
Tahun 1848 menetukan bagi sejarah hukum Indonesia, karena melalui suatu komisi hukum yang diketuai oleh CJ Scholten van Oud Harlem telah berhasil tersusun suatu kodifikasi hukum yang mengancam keberadaan hukum adat sebagai hukum positif, berupa :
(a) Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (dikenal dengan singkatan AB), setingkat dengan UUD Hindia Belanda pada waktu itu;
(b) Burgerlijk Wetboek voor Nederlands Indie (BW atau KUH Perdata
Hindia Belanda); (c)
Reglement op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in
Nederlands Indie (Peraturan Umum tentang Peradilan Hindia Belanda);
serta (d)
Reglement op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging
en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen (Peraturan Umum tentang acara perdata dan pidana bagi Bumi Putera).
6. Masa tahun 1928-1945 Masa ini adalah masa penting bagi hukum adat, karena peradilan adat (Adat Kamer) dibuka pada tanggal 1 Januari 1938 pada Raad van Justitie di Batavia, yang memiliki tingkat kewenangan mengadili perkara-perkara hukum perdata adat pada tingkat banding untuk daerah: Jawa, Palembang, Jambi, Bangka, Belitung, Bali, dan Kalimantan. Pada masa ini pula dihasilkan beberapa peraturan yang secara implisit memberi tempat dalam hukum adat baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang peradilan umum dan agama.
7. Masa 1945- sekarang.
Pada masa ini hukum adat diakui secara konstitusional melalui Undang-Undang Dasar dengan persyaratan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, sebuah persyaratan yang syarat dengan nuansa politis. Artinya hukum adat ditempatkan pada posisi sejajar dengan hukum lain, akan tetapi dalam tataran praksis sering dipinggirkan apabila kepentingan-kepentingan lain yang
30 mendesak harus didahulukan.
5) Unsur dan Sifat Hukum Adat
Dalam rangka untuk dapat lebih memberikan gambaran yang jelas mengenai hukum adat, kiranya perlu disajikan suatu uraian yang menyangkut unsur-unsur dan sifat dari hukum adat. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan bahwa :
30 Ilhami Bisri, S.H., M.Pd, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2011, h. 112-122.
a.
Sifat Hukum Adat Bersifat tidak tertulis, artinya tidak akan dijumpai bahan-bahan hukum yang bersifat tertulis. Apabila dijumpai hal-hal yang ditulis sifatnya, misalnya sebagaimana dikonstatir oleh Van Dijk, maka adalah lebih baik dinyatakan sebagai hukum adat tercatat. Sehubungan dengan sifat hukum adat yang tidak tertulis ini, maka hukum adat mempunyai sifat yang mudah untuk menyesuaikan diri, sehingga hukum adat itu akan mengalami perubahan. Perubahan itu akan terjadi karena pengaruh dari situasi-situasi tertentu dalam proses kehidupan masyarakat. Karena terjadi perubahan dalam cara berfikir masyarakat yang disebabkan karena antara lain situasi- situasi tertentu dalam proses kehidupan masyarakat itu.
b.
Unsur Hukum Adat Terwujudnya hukum adat, dipengaruhi oleh unsur agama, memberi corak
31 terhadap pola-pola perlakuan dari masyarakat yang bersangkutan.
C. Peradilan Adat dan Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat
Dominasi Negara ini menjadikan semua institut hukum mengutamakan bentuk, seperti pengadilan yang harus berbentuk pengadilan negeri. Hanya pengadilan negerilah yang diakui oleh negara. Sementara itu, sosiologi hukum itu lebih melihat pada fungsi, dimana apabila hukum moderen hanya mengakui kehadiran pengadilan 31 negeri, maka sosiologi hukum melihat bahwa pengadilan itu dapat hadir di mana-
Soleman Biasane Taneko, S.H, Dasar-Dasar Hukum Adat & Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1981, h. 23-25. mana, tidak terikat pada bentuknya. Yang diutamakan adalah apakah suatu institut menjalankan fungsi pengadilan. Apabila suatu institut itu menjalanankan suatu
32
pengadilan, jadilah ia sebagai badan pengadilan. Demikian sampai sejauh mana ruang lingkup peradilan adat, dapat dibahas sebagai berikut :
Luas Lingkup Peradilan Adat
Istilah Peradilan (Rechtspraak) pada dasarnya berarti pembicaran tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan perkara diluar pengadilan atau dimuka pengadilan. Apabila pembicaraan itu berdasarkan hukum adat maka disebut peradilan hukum adat atau peradilan adat saja.
Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan suatu perkara dan atau untuk menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Proses pelaksanaan tentang penyelesaian dan penetapan keputusan perkara dimaksud disebut Peradilan Adat.
Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masayarakat secara perorangan, oleh keluarga atau oleh tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (hakim adat), kepala desa (hakim desa) atau oleh pengurus perkumpulan organisasi sebagaimana telah dikemukakan di muka dalam penyelesaian delik adat secara
33 32 damai untuk mengembalikan keseimbagan masyarakat yang terganggu. Dalam 33 Atjipto Rahrdjo, Penegakan Hukum progresif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, h.4.
Tolib Setiady, Op.Cit hal. 367. suatu penyelesaian, hukum adat tidak mengadakan perpisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan perdata. Oleh karenanya, sistem hukum adat hanya mengenal satu prosedur dalam hal penuntutan; satu macam prosedur baik untuk penuntutan secara perdata maupun untuk penuntutan secara kriminal. Dapat berupa sebuah tindakan saja tetapi kadang- kadang mengingat sifatnya pelanggaran perlu diambil beberapa tindakan. Namun petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif sendiri untuk menindak si pelanggar hukum. Terhadap beberapa pelanggaran hukum, petugas hukum hanya akan bertindak, apabila diminta oleh orang yang terkena. Petugas hukum wajib bertindak, apabila kepentingan umum (kepentingan masyarakat) langsung terkena oleh sesuatu
34 pelanggaran hukum.
D. Masyarakat Adat Di Papua dan Sistem Pemerintahan Adat di Papua 1). Masyarakat Adat Di Papua
Membicarakan tentang peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang masyarakat hukum adat itu sendiri, karena keberadaan peradilan adat sesungguhunya inheren dengan keberadaan masyarakat hukum adat.
34 Surojo Wignjodipuro, S.H. Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, PT Gunung Agung, Jakarta 1984, h.
229-230.
Di dalam UU Otsus Papua terdapat dua penyebutan istilah yang memiliki makna hampir sama yaitu masyarakat adat dan masyarakat hukum adat. Pasal 1 huruf p UU Otsus Papua menyatakan :
Masyarakat adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara dara anggotanya.
Sementara itu Pasal 1 huruf r UU Otsus Papua Menyatakan :
Masyarakat hukum adat adalah masyarakat asli Papua sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.
Memperhatikan dua peristilahan dan pengertian yang diberikan dalam Pasal- pasal tersebut diketahui bahwa yang membedakan antara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat adalah pada pengertian msyarakat hukum adat ada penambahan frasa atau kata “sejak kelahirannya’’, “tertentu’’, dan “hukum”. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat adat memiliki persyaratan yang lebih fleksibel dibandingkan masyarakat hukum adat, karena masyarakat hukum adat mensyaratkan untuk dapat disebut masyarakat hukum adat Papua haruslah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya (bukan pendatang) hidup dalam wilayah tertentu (teritorial) dan tunduk serta terikat kepada hukum adat tertentu, jadi bukan hanya terikat kepada adat.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan sifat masyarakat hukum adat di Papua tidak hanya berdasarkan keturunan atau hubungan ras tetapi lebih merupakan gabungan antara genealogis (hubungan darah) dan teritorial (wilayah), hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945, Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut antara lain sebagai berikut : “kesatuan masyarakat hukum adat dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat: (a) genealogis, yang ditentukan berdasarkan kriteria hubungan keturunan darah; (b) fungsional, yang didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah; dan (c) teritorial, yang bertumpu pada wilayah tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan tanah, air, hutan dan sebagainya”.
Dalam penjelasan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaanya, jika menurut kenyataanya memenuhi unsur-unsur antara lain : a.
Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtge-menschap); b.
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. Ada wilayah hukum adat yang jelas; d.
Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; e.
Masih mengadakan pengumutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagaimana telah dijelaskan di atas maka masyarakat hukum adat dapat dikonsepkan sebagai sekelompok orang yang hidup berama karena ikatan yang bersifat fungsional, tinggal dalam satu kawasan tertentu yang jelas batas-batasnya menurut konsep batas masyarakat hukum adat itu, mempunyai kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat (pemerintah adat) tersendiri dilengkapi dengan lembaga penyelesaian sengketanya (peradilan adat), memiliki perangkat norma-norma hukum adat, dan memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda
35 adat materiil maupun inmaterial.
2). Sistem Pemerintahan Adat di Papua
Dewasa ini pada masyarakat adat di Papua terdata dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan formal berupa pemerintahan desa yang dibentuk dari atas oleh Negara (top down) dan sisten non formal yang tumbuh secara asli dari bawah (bottom up) yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan desa yang oleh Undang- undang Otsus Papua disebut “kampung” merupakan pemerintahan paling rendah dalam sistem pemerintahan NKRI yang berada di bawah pemerintahan kecamatan atau distrik. Pemerintahan adat merupakan pemerintahan asli suku bangsa setempat yang sudah ada sejak jaman dahulu secara turun temurun, sehingga sistem pemerintahan adat sangat lekat dengan
36 struktur sosial dan sistem kepemimpinan tradisonal masing-masing suku.
35 36 Dr. Mohammad Jamin, S.H., M.Hum, Op.Cit., h. 66-68.
Op.Cit., h. 74.
Sistem kepemimpinan (politik) tradisonal di Papua penting untuk diketahui, karena hal ini akan sekaligus menggambarkan sistem pemerintahan adat masyarakat yang bersangkutan, yang sekaligus melekat di dalamnya dengan fungsi peradilan adat yang dijalankan. Sisitem politik tradisonal adalah suatu bentuk sisitem pemerintahan adat yang mengatur kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum dalam kehidupan masyarakat adat orang asli Papua yang berdiam di daerah kebudayaannya.
Berbicara tentang kepemimpianan pada masyarakat hukum adat di Papua menunjukan adanya perbedaan antara satu dengan yang lain. Menurut Mientje
De Roembiak, sebelum kontak kebudayaan dengan dunia luar, sesungguhnya
bentuk yang ada (asli) terdiri atas : a) Pemimpin perang; b) Pemimpin adat yang mengatur kesejahteraan masyarkat; c) Pemimpin ritual; dan d) wakil dalam setiap clan. Selanjutnya menurut Mientje De Roembiak kepemimpinan pada masyarakat tradisonal Papua memiliki lima pola, yaitu :
1. Tokoh Chiefman tokoh chiefman, dikenal hanya di dalam kalangan suku- suku disekitar jayapura teluk Jos Sudarso, Danau Sentani, Pemimpin ini disebut ondoafi atau ondofolo (di sekitar daerah sentani), dan charsori (di sekitar teluk jotefa, Injros-Tobati). Jabatan ini bersifat tertutup bagi suku lain; lebih bersifat kepemimpinan yang diwariskan, atau jabatan yang dipegang dari turun temurun. Ondoafi atau charsori di damping oleh tokoh lain yang disebut Koselo, kemudian tokoh/pemimpin-pemimpin clan dan masyarakat biasa.
2. Bingman Trade, dikenal pada kelompok etnik pegunungan Jayawijaya, khususnya daerah Paniai pada suku Ekari (me) yang disebut tonawi. Para
tonawi adalah pemimpin federasi klen-klen kecil yang telah memperoleh
kekuatan politis dari pengeloloaan sumber alam (perdagangan tradisonal) serta mendapat dukungan dari warganya.
3. Sistem Raja, merupakan salah satu bentuk dari pengaruh kesultanan Tidore dan ternate di abat XV dan XVI sebagai kaibta hubungan dan kontak yang terjadi pada waktu itu. Daerah-daerah pengaruh itu berada di Fak-Fak, sebagian Teluk Bintuni, sebagian pulau-pulau Raja Ampat.
4. Sistem Bigman War, satu sistem yang berpola pada pimpinan orang besar yang merupakan tokoh/pimpinan perang model ini di jumpai pada kelompok entik Dani dan suku di sekitar pegunungan Jayawijaya. Toko ini disebut nagawan perang dan upacara pesta babi merupakan etos budaya penduduknya yang berada di lembah Baliem, Dani, Yali dan suku lainnya.
Nagawan merupakan pimpinan federasi.
5. Sistem Campuran, sistem ini ditemukan dikalangan suku-suku diteluk
Sairera/ Cendrawasih, antara lain suku Biak Numfor. Kedudukan individu dalam setiap klen juga dalam keluarga pada tiap-tiap klen sangat otonom.
Masyarakat taat dan tunduk pada seorang mambri (pahlawan perang) dan
37 tokoh mampapok sebagai pengurus kehidupan sehari-hari.
37 Op. cip., h. 63.
E. Peradilan Adat Suku Dani Di Nabire
Papua juga terkenal akan adat istiadat dan budaya. Orang Papua dengan ciri fisik yang menonjol adalah kulit hitam dan berambut keriting. Ciri lain yang dapat dilihat berdasarkan ciri budayanya, tampak pada kesenian, sistem religi, organisasi sosial, sistem teknologi tradisional dan bahasa. Ada stigma umum di kalangan non Papua bahwa, orang Papua semuanya sama. Seperti halnya Papua yang tidak tahu Jawa secara utuh, mengatakan orang Jawa semua sama. Orang Papua juga terbagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok masyarakat gunung dan kelompok masyarakat pantai. Masyarakat adat suku Dani merupakan komunitas masyarakat yang mendiami daerah lembah baliem pegunungan tengah dan mereka bukan penduduk asli Nabire dan mereka di Kabupaten Nabire akibat adanya urbanisasi.
Kabupaten Nabire merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Papua dengan luas 12.075,00 , dan garis pantai 473 , serta luas lautan 914.056,96 Ha, serta berada pada kawasan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik, dan diatas 3 (tiga) lempengan bumi, yang secara geografis berada diantara : Bujur Barat
56” LS. Adapun batas 33”- 15” BT, dan Lintang Utara 28”- wilayah Kabupaten Nabire adalah : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten
Kepulauan Yapen, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Dogiyai, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Waropen dan Kabupaten Paniai, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Teluk Wondama dan Kabupaten Kaimana (Papua Barat).
Kabupaten Nabire memiliki topografi yang bervariasi yaitu wilayah datar diperkirakan 47% dari luas yang tersebar di sepanjang wilayah pantai dan wilayah perbukitan kira-kira 53% tersebar di daerah pedalaman (pegunungan).
3
13 Dipa 838,63 5 -
12 Yaro 830,00 6 -
11 Siriwo 1.203,00 6 -
10 Wapoga 1.040,00 5 -
9 Makimi 1.321,00 6 -
8 Napan 446.00 8 -
7 Teluk Kimi 279,15 5 -
9
6 Nabire 345,00
Mengenai luas wilayah Kabupaten Nabire secara administratif terbagi menjadi
5 Nabire Barat 1.179,00 5 -
4 Wanggar 246,00 5 -
3 Teluk Umar 611,00 4 -
2 Yaur 609,63 4 -
1 Uwapa 1.808,96 6 -
2
) Kampung KelurahanTabel 1. Luas Wilayah Kabupaten Nabire No Distrik Luas (Km
15 Distrik, 72 Kampung, dan 9 Kelurahan, yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
14 Menouw 1.316,63 4 -
Lanjutan Tabel 1.
2 No Distrik Luas (Km ) Kampung Kelurahan
15 Moora
Jumlah Total 12.075,00
72 38
9
Sumber Data
Pembagian Distrik ke dalam wilayah administratif di provinsi Papua dan Papua Barat, dibawah kabupaten atau kota. Dengan diterapkannya UU Otsus Papua, Pasal 1 huruf (k), Distrik merupakan perangkat Daerah Kabupaten atau Kota di Papua yang mempunyai wilayah kerja tertentu yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik, Distrik dibagi lagi menjadi sejumlah kampung, atau dengan nama lain sesuai dengan adat istiadat setempat. Selain itu dalam UU Otsus Papua Pasal 1 huruf (i), tersebut memberikan definisi tentang kampung menjelaskan bahwa kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah
39 Kabupaten/Kota.
Kelurahan dan Kampung adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi Papua dibawah distrik. Istilah "Kampung" menggantikan "Desa".
Sedangkan Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
38
dikunjungi pada tanggal 9 September 2017 hari sabtu pukul
39 14.52 wib.Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
penduduk dan mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah
40 camat dan letaknya di lingkungan perkotaan.
Masyarakat suku Dani yang berada di Kabupaten Nabire, kebanyakan berasal dari daerah pedalaman Nabire yaitu berasal dari daerah Illu, Mulia, Ilaga, dan Wamena yang punya kebiasaan adat secara turun-temurun. Bahkan masyarakat adat suku Dani mempunyai latar belakang budaya yang berbeda dengan suku-suku Papua lainnya yang berada di Provinsi Papua. Kebiasaan adat suku Dani sangat mengikat dan mempunyai norma-norma adat yang harus dipatuhi dan dijalankan dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka selalu berhati-hati untuk beradaptasi dengan kemajuan jaman, dimana dalam hubungan kekerabatan dengan suku lain, mereka selalu mempertahankan jati dirinya sebagai orang Dani yang memiliki adat-istiadat yang harus diakui orang lain, termasuk sistem pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala suku. Dan pengambilan keputusan itu dianggap sah dan mutlak harus dilaksanakan dan tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan adat-istiadat yang dianutnya, termasuk keputusan dalam peradilan adat.
Di daerah Kabupaten Nabire bagian pegunungan yang mengkoordinir, memfasilitasi, mengatur dan memelihara tatanan adat adalah Lembaga Pengembangan Masyarakat Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak (LPM-D3N), biasanya dilakukan di
Honai adat yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat. Untuk lebih
jelasnya tentang lokasi honai adat tersebut, dapat dilihat pada gambar foto di bawah 40 ini :
dikunjungi pada tanggal 17 September hari Minggu pukul 10.13 wib.
Gambar 2.
KANTOR HONAI ADAT LPM-D3N KABUPATEN NABIRE
Foto Dokumentasi (Tanggal, 23 Januari 2018).Penjelasan gambar foto honai adat diatas, adalah merupakan Kantor Adat LPM-D3N yang berlokasi di Kampung Kalisemen Distrik Nabire Barat Kabupaten Nabire, dan biasanya atau di sinilah masyarakat adat suku Dani, Damal, Daugwa, dan Nayak (D3N) mengadakan peradilan adat, di mana masyarakat berkumpul di halaman
honai adat untuk mengikuti dan menyaksikan peradilan adat yang dilaksanakan oleh
kepala adat selaku hakim adat. Selain itu pula, areal honai adat biasanya juga digunakan untuk pertemuan-pertemuan adat yang membicarakan tentang pengembangan organisasi LPM-D3N yang dilaksanakan oleh para kepala-kepala suku D3N secara struktural bersama Dewan Adat Suku (DAS) yang dihadiri masyarakat D3N yang berdomilisir di kota Nabire dan sekitarnya.
Pengertian “HONAI” adalah penyebutan atau panggilan nama untuk rumah adat masyarakat yang berada dan hidup di daerah pegunungan (Pedalaman). Honai merupakan salah satu rumah tradisional suku asli Papua yang berada di wilayah pegunungan. Honai terbentuk dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang ditumpuk menggunakan jerami atau ilalang kering diatasnya. Berbeda dengan rumah tradisional lainnya. Honai tidak memiliki jendela karena bertujuan agar menahan hawa dingin di daerah pengunungan Papua.