Pentingnya Komunikasi Non Verbal Saat Pustakawan Melayani Pemustaka

  MENYUARAKAN PEMBAHARUAN DAN KEMAJUAN BULETIN SANGKAKALA SANGKAKALA Pentingnya Komunikasi

Non Verbal Saat Pustakawan

  Melayani Pemustaka Serat Suryaraja Kekayaan Budaya Yogyakarta

  Tata Cara dan Teknik Kliping Dalam Rangka Penyelamatan Informasi

  Edisi Kedelapan Tahun 2010 Jogja Library For All (JLA) “Yang Semestinya Dan

ISSN 0216-3609

  Senyatanya” Hak Cipta Pada Perpustakaan

  Digital Di Indonesia

DAFTAR ISI

  HAK CIPTA PADA PERPUSTAKAAN

  4 DIGITAL DI INDONESIA SANGKAKALA STT : 605/SK/Ditjend PPG/SPT/1979

  PENTINGNYA KOMUNIKASI

  ISSN 0216 - 3609

  10 NONVERBAL SAAT PUSTAKAWAN

  MELAYANI PEMUSTAKA

  Diterbitkan oleh : Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY

  Penanggung Jawab

  HaPe, Sang Biangkerok !

  Dra. Kristiana Swasti, M.Si

  15 Pemimpin Redaksi Dra. Monika Nur Lastiyani, MM

  JOGJA LIBRARY for ALL (JLA)

  Sekretaris Redaksi

  “YANG SEMESTINYA DAN

  16 Sulistyadi Anggota Redaksi SENYATANYA”

  Drs. J Budihartono A.Tuti Wahyuni, SH

  RESENSI BUKU

  Drs. Burhanudin, DR

  19 Penyunting Agung Nugroho, SIP

  GEGURITAN

  Drs. Y Agustirto S

  21 Rini Handayani, SE, M.Si Meiranti Nurani, SH

  Lay Out

  TATA CARA DAN TEKNIK KLIPING

  M. Rosyid Budiman, SSi

  24 DALAM RANGKA Wiwik Tarmini, SIP Fauziah Yulianti, SS PENYELAMATAN INFORMASI

  FM Sari Astuti, SH Alamat Redaksi

  Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi DIY

  JOGJA LIBRARY CENTER BPAD DIY

  Jl. Tentara Rakyat Mataram No. 29

  30 Yogyakarta

  SEBAGAI PUSAT PERPUSTAKAAN DI YOGYA

  Redaksi menerima sumbangan naskah dari pihak manapun, dengan catatan ditulis dalam bahasa yang mudah dimengerti, 1 1/2 spasi, besar huruf panjang maksimal 6 lembar

  DIDAKTIK DALAM

  folio, lebih baik disertakan foto atau ilustrasi. Redaksi berhak

  SERAT SANGU GESANG

  34 mengedit naskah sesuai dengan yang dibutuhkan dan naskah

  Memaknai Hidup Melalui Pustaka Lama

  yang masuk menjadi milik redaksi, keputusan pemuatan ada pada redaksi.

  Sampul depan luar : Serat Suryaraja Grafis oleh ndellz

  36 Kekayaan Budaya Yogyakarta Sampul belakang : ndellz Salam Redaksi

BUKU DAN KEHIDUPAN

  Kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan manusia adalah pangan, sandang, dan papan. Artinya apabila ketiga hal tersebut terpenuhi orang dapat melangsungkan kehidupannya. Hidup dalam artian biologis !

  Tidak demikian untuk dapat diartikan hidup yang sehidup-hidupnya. Apalah artinya hidup secara biologis tetapi tidak memberi arti bagi perjalanan hidupnya?

  Berangkat dari konsep bahwa hidup tidak sekedar meniti napas dari pagi hingga petang, maka melebarlah kebutuhan hidup manusia. Bukan sekedar untuk mangan, nyandang, dan mapan. Kalaupun orang nrima untuk mengejar pangan, sandang, dan papan berarti dapat diartikan mereka sebagai manusia yang sekedar hidup. Atau lebih sederhana lagi sebagai orang yang numpang hidup. Maka sebenarnya tak usah kagum pada mereka yang suka pesta, pamer pakaian, atau pamer kepemilikan rumah, sebab hakekatnya mereka adalah manusia sederhana yang hanya terkungkung oleh konsep hidup yang paling mendasar.

  Untuk dapat memberi arti bagi kehidupannya sudah tentu orang mesti menyesuaikan dirinya dengan konteks jamannya. Pada masyarakat primitif yang harus mengangkat pedang untuk membangun kekuasaan, maka orang yang lihai memainkan pedangnya, dialah orang yang berusaha memberi arti hidup. Sudah tentu, berbeda bagi orang yang hidup di era global. Konsep mengangkat pedang menjadi sesuatu yang out of date ! Termasuk pamer kekayaan, hura-hura, atau unjuk kekuasaan, bukan merupakan konsep yang memberi makna hidup yang sesungguhnya. Di era yang ditandai dengan derasnya arus informasi ini adalah mereka yang menguasai informasilah yang dapat diartikan orang yang hidup dengan sesungguhnya. Mereka yang haus informasilah sesungguhnya orang yang memberi makna bagi hidupnya.

  Pertanyaannya adalah sejauh mana informasi

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  3

  menjadi kebutuhan hidup kita? Kalau toh kita termasuk orang yang masih bangga sering gonta-ganti kendaraan, atau tv, jangan sebut sebagai orang modern. Atau suka ganti hape mewah sekedar untuk prestise, sesungguhnya orang seperti ini termasuk mereka yang mengalami

  culture shocks ! Akan tetapi apabila kita senantiasa

  penasaran mencari buku-buku terbitan terbaru, itulah sesungguhnya langkah tepat untuk menjadikan hidup menjadi berarti. Dengan kata lain, untuk mengukur sejauh mana hidup memiliki arti adalah apabila menjadikan buku sebagai salah satu kebutuhan hidup. Buku dalam bentuk apapun dan media apapun! Karena buku adalah salah satu sumber informasi. Buku menjadi jendela untuk menatap cakrawala. Buku yang menjadikan seseorang berilmu. Buku yang menuntun kaki kita melangkah maju!

  Dalam setiap edisi SANGKAKALA senantiasa mendorong untuk menjadikan hidup kita bukan sekedar ‘numpang hidup’ tetapi hidup yang memiliki makna dengan menjadikan membaca sebagai budaya, serta menjadikan buku sebagai kebutuhan hidup.

  Beberapa artikel pada edisi ini membahas mengenai dunia perpustakaan dengan segala romatikanya. Juga tentang ‘mimpi’ jaringan perpustakaan yang tak jua menjadi kenyataan.

  Hal yang perlu ditegaskan adalah bahwa SANGKAKALA bukan hakim. Segenap sajian yang ada bukan berarti statemen final tetapi lebih sebagai stumulus untuk mendapatkan sintesa bagi upaya memajukan dunia perpustakaan. Kalaupun banyak sajian yang sebenarnya di ‘bawah’ nilai kepantasan, jangan berkomentar “ah cuma kayak gitu”. Ubahlah komentar tersebut menjadi statemen manis “....

  untung masih ada yang mau menulis!” Syukur anda

  termasuk yang tergerak untuk berpartisipasi pada edisi selanjutnya! (HAN)

  

HAK CIPTA PADA PERPUSTAKAAN DIGITAL

DI INDONESIA :

Suatu tinjauan singkat

  Suwardi

  (Pustakawan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta) Salah satu pilihan jawaban tempat tanpa ada halangan batas e r k e m b a n g a n atas tantangan ini adalah geografis. teknologi pada satu

  Perpustakaan Digital. Secara bidang selalu akan

  P

  sepintas perpustakaan digital

  Definisi dan Pengertian

  berpengaruh kepada bidang yang Sampai saat ini belum lain, salah satu yang paling besar ada definisi yang seragam pengaruhnya adalah kemajuan tentang perpustakaan digital, pada teknologi komputer dan banyak ahli maupun institusi informasi. Perpustakaan yang mendefinisikan yang semula sebagai perpustakaan digital bidang ilmu yang menurut cara pandang berdiri sendiri, masing-masing. Beberapa kemudian digabung definisi perpustakaan dengan bidang digital: informasi menjadi

  The Digital Library ilmu perpustakaan dan Federation mendefinisikan informasi, meskipun sebagai berikut: masih menjadi perdebatan.

  “Organizations that provide the

  Pengaruh ini tidak hanya sebatas

  resource, including the specialized

  pada definisi bidang ilmu, namun

  staff, to select, structure, offer

  pengaruh yang sesungguhnya yaitu

  intellectual access to, interpret,

  menghadirkan kemudahan akses distribute, preserve the integrity of, pada pekerjaan riil perpustakaan.

  and ensure the persistence over time

  informasi bagi para pengguna Hal ini menghadirkan tantangan

  of collections of digital works so that

  perpustakaan. Kemajuan & bagi perpustakaan, bagaimana

  they are readily and economically

  perkembangan teknologi komputer memanfaatkan teknologi

  available for use by a defined

  dan jaringan memperkuat asumsi community or set of communities” tersebut untuk memilih bentuk (Walters dalam Setiarso, ). ini, hal ini karena teknologi tersebut yang tepat dalam memberikan telah memudahkan transfer/ kemudahan akses informasi bagi

  T. B. Rajashekar mendefinikan

  aliran data/informasi ke berbagai penggunanya. sebagai berikut:

  4 “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  “a managed collection of information, with associated services, where the information is stored in digital formats and accessible over a network”.

  John Millard mendefinisikan

  sebagai berikut:

  “libraries that are distinguished from information retrieval systems because they include more type of media, provide additional functionally and services, and include other stages of the information life cycle, from creation through use. Digital libraries can be viewed as a new form of information institution or as an extension of services libraries currently provide”.

  Wikipedia Indonesia mendefinisikan sebagai berikut:

  “perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan buku tercetak, film mikro, atapun kaset audio, video dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara local, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer”.

  Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa perpustakaan digital belum didefinisikan secara jelas untuk dapat dijadikan standar atau acuan dalam dunia pendidikan. Istilah-istilah lain seperti “Electronic Library” atau “Virtual Library” masih dianggap sebagai sinonimnya dan sering juga digunakan. Karen Drabenstott menawarkan 14 definisi yang dipublikasikan antara tahun 1987 sampai 1993 dan berdasarkan ke 14 definisi tersebut Assotiation of Research Library secara umum menjelaskan bahwa adanya perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan oleh:

  Perpustakaan digital bukan a. merupakan suatu entitas tunggal Perpustakaan digital b. memerlukan teknologi untuk menghubungkan banyak sumberdaya, perpustakaan dan pelayanan informasi Hubungan beberapa c. Perpustakaan Digital dan pelayanan informasi adalah transparan kepada pengguna akhir Tujuannya adalah akses secara d. universal dan pelayanan informasi Koleksi Perpustakaan Digital e. adalah tidak terbatas terhadap dokumen, tetapi berkembang pada digital artifacts yang tidak dapat disajikan atau didistribusikan dalam format tercetak.

  Pada dasarnya perpustakaan digital itu sama dengan perpustakaan biasa, satu hal yang membedakannya adalah prosedur kerja berbasis komputer dan sumber informasinya digital.

  Perpustakaan digital tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan sumber-sumber lain dan pelayanan informasinya terbuka bagi pengguna di seluruh dunia. Koleksi perpustakaan digital tidak terbatas pada dokumen elektronik pengganti bentuk cetak saja, ruang lingkup koleksinya malah sampai pada artefak digital yang tidak bisa digantikan dalam bentuk tercetak. Koleksinya menekankan pada isi informasi, jenisnya dari dokumen tradisional sampai hasil penelusuran.

  Pengembangan Perpustakaan Digital ‘Cikal bakal’ perpustakaan

  digital menurut Sulistyo Basuki dan Winy Purtini digagas pertama kali oleh Vannenar Bush pada awal tahun 1940-an (dalam Arif, 2005: 6). Sebagai penasehat Presiden Roosevelt bidang ilmu pengetahuan, dia menghadapi masalah banyaknya informasi (ledakan informasi) dan masih disimpan dalam bentuk analog. Keadaan ini menyulitkan dalam akses informasi khususnya hasil penelitian yang sudah dipublikasikan. Berangkat dari

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  5 keadaan ini dia menggagas

  ‘thinking machine’ dan sebuah ‘device’ (kemudian disebut MemEx) yang memungkinkan

  seseorang menyimpan buku,

  record dan komunikasinya. MemEx

  kemudian dimekanisasi sehingga memungkinkan konsultasi informasi yang cepat dan luwes.

  Keterbukaan akses terhadap koleksi perpustakaan telah diusahakan oleh para pustakawan, peneliti dan pihak- pihak lain pada era 1950-an sampai 1960-an tetapi dengan teknologi yang masih sangat terbatas. Baru pada awal tahun 1980-an beberapa perpustakaan besar melaksanakan otomasi fungsi-fungsi perpustakaan karena masih mahalnya harga perangkat komputer. Pada dasawarsa 90- an hampir semua fungsi-fungsi perpustakaan telah diotomasi, serta berkembangnya komunikasi data antar perpustakaan secara elektronik.

  Tahun 1991 delapan universitas yaitu: Carnegie Mellon University, Cornell University, GIT, MIT, University of California, University of Tennesee, University of Qashington, Virginia Polytechnic dan State University bersama Elsevier Science mengadakan kesepakatan kerjasama pengembangan perpustakaan digital yang kemudian dikenal sebagai TULIP (The University Licensing Project)(dalam

  

Wahono). Tahun 1994, Library of

Congress mengeluarkan rancangan

National Digital Library dengan

  menggunakan penyimpanan, penelusuran dan tampilan teks dokumen secara elektronik. Kemudian tahun 1995 enam universitas di Amerika Serikat yaitu: Carnegie Mellon University, University of Michigan, University of Illinois at Havana, University of California at Barkeley, Stanford University dan University of California at Santa Barbara atas dana dari NSF/DARPA /NASA juga mengadakan penelitian tentang perpustakaan digital. Tetapi upaya nyata mendigitalisasi dokumen kemudian menyebarluaskannya telah dilakukan oleh Michael Hart (ketika masih menjadi mahasiswa Illinois University) dengan cara mendirikan Proyek Gutenberg (PG) tahun 1971 (Gatra, 2005: 34), maka Proyek Gutenberg dapat disebut s e b a g a i l e m b a g a p e r t a m a d a l a m digitalisasi dokumen.

  P e n g e m b a n g a n perpustakaan digital tidak dapat dilakukan secara serampangan, tetapi perlu suatu formulasi yang terencana dengan rapi. Pengembangan ini menyangkut banyak aspek yang ada pada suatu perpustakaan. Formulasi dimaksud adalah adanya suatu perencanaan secara menyeluruh terhadap berbagai aspek yang melingkupi suatu perpustakaan. Perencanaan ini diperlukan untuk mentransformasikan system dari system perpustakaan konvensional/tradisional berbasis koleksi analog ke perpustakaan digital. Transformasi yang diperlukan meliputi formulasi kebijakan, perencanaan strategis secara holistic termasuk

  aspek hukum (copyrights),

  standarisasi, pengembangan koleksi, infrastruktur jaringan, metoda akses, pendanaan, kolaborasi, kontrol bibliografi, pelestarian dan sebagainya untuk memandu keberhasilan mengintegrasikan tradisional ke format digital.

  S e c a r a t e k n i k a l p e r p u s t a k a a n digital dibagi dalam tiga lapisan

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  6 dari tampilan sampai ke lapisan dalam yaitu: lapisan portal, lapisan aplikasi, dan lapisan sumber daya. Lapisan portal adalah tampilan untuk memudahkan pengguna mengoptimalkan sumber informasi dalam perpustakaan digital dan sekaligus pelayanan permintaan dan pengiriman informasi/pengetahuan melalui RSS atau e-mail. Lapisan aplikasi meliputi Open URL linking server,

  cross-databases Meta-search engine, OAI service providers that can integrated those resource into a universal knowledge platform. Sedang sumber daya

  informasi berisi berbagai macam databases, seperti:

  artificial intelligent databases, full-text databases, citation databases, dan sebagainya.

  Hak Cipta pada Perpustakaan Digital

  Hak kekayaan intelektual (HaKI) mempunyai beberapa jenis (ragam), yaitu hak cipta, paten, merk dagang, rahasia dagang, service merk, desain industri dan desain tata letak. Hak Cipta (Copyright) menurut UU No 19 Tahun 2002 adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta memberi hak kepada pencipta untuk membuat salinan dari ciptaannya tersebut, membuat produk derivatif dan menyerahkan hak-hak tersebut ke pihak lain (lisensi) dan berlaku seketika setelah ciptaan tersebut dibuat. Hak cipta tetap dilindungi oleh hukum meskipun tidak didaftarkan ke Ditjen HAKI.

  Di Indonesia, HaKI dalam Perangkat Lunak dimasukkan dalam kategori Hak Cipta (Copyright). Di negara lain, selain Hak Cipta, perangkat lunak juga bisa dipatenkan, meskipun sebenarnya yang dipatenkan adalah ide alias business modelnya (Business Model Patent), contohnya Amazon dengan 1-Click Patent (Wahono, 2008).

  Digitalisasi sumber informasi dari sumber-sumber tercetak (buku, jurnal, majalah dsb) dan terekam (pita magnetic, audio, video) menjadi dokumen digital secara teknis dapat dikatakan tidak ada hambatan. Ketersediaan teknologi yang diperlukan untuk proses tersebut telah banyak beredar di pasar. Salah satu hambatan non teknis yang ada saat ini adalah masalah hukum, khususnya tentang hak cipta (copyright) pada dokumen/ konten. Masalah ini menurut Romi Satrio Wahono terbagi menjadi dua, yaitu:

  Hak cipta pada dokumen 1. yang didigitalkan, termasuk

  di dalamnya adalah merubah dokumen ke digital dokumen, memasukkan digital dokumen ke databases, merubah digital dokumen ke hypertext dokumen.

  Hak cipta pada dokumen 2. di communication network.

  Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen melalui computer network belum didefinisikan dengan jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang hak menyebarkan, hak meminjamkan, hak memperbanyak, hak menyalurkan baik kepada masyarakat umum atau pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer termasuk didalamnya internet, intranet dan sebagainya (Wahono, 1999: 3)

  Satu contoh yang telah menjadi perdebatan seru adalah antara Google melawan AAUP (The Association of American University Presses) atau antara Google melawan Uni Eropa. Kerja sama antara Google dengan lima

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  7

  • . Untuk mengatasi masalah ini salah satu solusi yang mungkin adalah menggunakan open source

  Berdasarkan diagram tersebut maka perangkat lunak dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori seperti berikut ini:

  lunak yang tidak bebas, tapi mengijinkan setiap orang untuk menggunakan, penyalin, mendistribusikan, dan memodifikasinya (termasuk distribusi dari versi yang telah dimodifikasi) untuk tujuan tertentu. Perangkat semi- bebas lebih baik dari perangkat lunak berpemilik, tetapi tidak

  Perangkat Lunak Semi- 3. Bebas; adalah perangkat

  adalah perangkat lunak yang dikembangkan oleh kalangan bisnis/vendor untuk memperoleh keuntungan dari penggunaannya. Kebanyakan perangkat lunak komersial adalah berpemilik, tapi ada perangkat lunak bebas komersial, dan ada perangkat lunak tidak bebas dan tidak komersial.

  Perangkat Lunak Komersial 2. ;

  adalah perangkat lunak yang tidak bebas ataupun semi- bebas. Seseorang dapat dilarang, atau harus meminta ijin terlebih dulu, atau dikenakan pembatasan tertentu jika menggunakan, mengedarkan dan atau memodifikasinya.

  Perangkat Lunak Berpemilik 1. ;

  di dalam masyarakat ternyata banyak ragamnya, dan sering kali dapat membingungkan orang awam. Untuk lebih memahami dan memperjelas berbagai kategori software yang ada terlebih dulu perlu dicermati diagram Chao-Kuei berikut :

  perpustakaan terbesar di Amerika Serikat (Universitas Harvard, Stanford, Oxford, Michigan dan New York Public Library) dalam digitalisasi koleksi menurut Givler (Direktur Eksekutif AAUP) akan melanggar undang-undang hak cipta (Gatra, 2005: 34). Sedangkan perdebatan antara Google dengan Uni Eropa lebih merupakan perdebatan masalah budaya.

  Software yang tersebar

  lisensi tetapi mempunyai jenis- jenis yang benar-benar bebas/ gratis.

  

software, meskipun open source

software tidak sepenuhnya tanpa

  Selain masalah hak cipta pada dokumen/konten, pada perpustakaan digital juga memerlukan adanya software yang digunakan untuk pengoperasian dan sebagaimana diketahui bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan angka pembajakan software tertinggi di dunia –tahun 2004 peringkat ke 4 (Rachmawati, 2004), tahun 2006 peringkat ke 8 dan tahun 2007 menjadi peringkat ke 12 (Mardoto, 2008)

  digitalisasi buku yang sudah lewat hak ciptanya (setelah 50 tahun) dan naskah-naskah nusan- tara kuno yang telah berusia 800 tahun bahkan ada yang berusia 1.200 tahun (Kurnia, 2008).

  Untuk mengatasi masalah hak cipta dari dokumen yang digitalisasi telah dilakukan penelitian, yaitu bagaimana mengembangkan manajemen hak cipta secara elektronik. Jalan keluar yang lain misalnya mendigitalkan koleksi yang masa perlindungan hak ciptanya telah habis, seperti yang dilakukan oleh Jepang. Menurut Undang-undang Hak Cipta Jepang, masa perlindungan hak cipta berlaku hingga 50 tahun setelah penulis meninggal dunia. Tetapi langkah ini hanya dapat menjangkau koleksi/informasi yang telah usang. Indonesia (dalam hal ini Perpustakaan Nasional) mengadopsi cara Jepang dalam mendigitalisasi buku, yakni

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010 dapat digunakan pada system operasi yang bebas.

  Perangkat Lunak Bebas 4. (Free Software); adalah

  9. Copylefted;

  9

  bersambung ke Hal. 28 “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  sistem serupa Unix yang seutuhnya bebas.

  Sistem GNU 12. ; merupakan

  (General Public License) merupakan sebuah ketentuan pendistribusian tertentu untuk meng-copyleft-kan sebuah program. Proyek GNU menggu- nakannya sebagai perjanjian distribusi untuk sebagian besar perangkat lunak GNU.

  11. GPL-covered;

  Perangkat Lunak

  lunak yang dibuat dengan mengijinkan orang lain untuk mendistribusikan dan memodifikasi, dan untuk menambah- kan batasa-batasan tambahan didalamnya.

  Non-Copylefted; perangkat

  Perangkat Lunak Bebas 10.

  merupakan perangkat lunak bebas yang ketentuan pendistribusiannya tidak memperbolehkan untuk menambah batasan-batasan tambahan, artinya setiap salinan dari perangkat lunak (walaupun telah dimodifikasi) haruslah tetap merupakan perangkat lunak bebas.

  Perangkat Lunak

  perangkat lunak yang mengijinkan siapapun untuk menggunakan, menyalin, dan mendistribusikan, baik dimodifikasi atau pun tidak, secara gratis ataupun dengan biaya. Dalam free software ini harus disertakan kode sumber dari program tersebut. Perangkat lunak bebas mengacu pada kebebasan para penggunanya untuk menjalankan, menggandakan, m e n y e b a r l u a s k a n , mempelajari, mengubah dan meningkatkan kinerjanya. Kebebasan dalam free software memiliki derajat yang berbeda, yaitu:

  lunak yang mengijinkan orang- orang untuk meredistribusikan salinannya, tetapi mereka yang terus menggunakannya diminta untuk membayar biaya lisensi.

  Shareware

8. ; adalah perangkat

  ; belum terdefinisi secara jelas, tetapi biasanya digunakan untuk paket-paket yang mengijinkan redistribusi tetapi bukan pemodifikasian (dan kode programnya tidak tersedia).

  Freeware 7.

  perangkat lunak yang tanpa hak cipta. “Public Domain” merupakan istilah hukum yang artinya tidak memiliki hak cipta. Sebuah karya adalah public domain jika pemilik hak cipta menghendaki demikian.

  Public Domain

6. ; adalah

  beberapa pihak mengartikan sama dengan dengan perangkat lunak bebas.

  Perangkat Lunak

  Kebebasan 3: d. kebebasan untuk meningkatkan kinerja program, dan dapat menyebarkannya kepada masyarakat umum.

5. Open Source;

  Kebebasan 2: c. kebebasan untuk menyebarluaskan kembali hasil salinan perangkat lunak tersebut sehingga dapat membantu pengguna yang lain.

  Kebebasan 0 : a. kebebasan menjalankan programnya untuk tujuan apa saja. Kebebasan 1: b. kebebasan untuk mempelajari bagaimana program itu bekerja serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, syaratnya kode program disertakan dalam suatu paket program.

  Pentingnya Komunikasi Nonverbal Saat Pustakawan Melayani Pemustaka Oleh: Endang Fatmawati *) Seandainya kita adalah pemakai perpustakaan (pemustaka) datang ke perpusta- kaan, lalu kita disapa oleh pustakawan, misalnya “Selamat pagi Ibu?’ (pustakawan tersebut menyapa sambil mengangkat wajah, menganggukkan kepala, melihat, dan tersenyum kepada kita). Kira-kira kita sebagai pemustaka senang tidak? Hal ini tentu sangat berbeda jika pustakawan tersebut tetap menyapa namun dengan kepala menunduk ke keyboard atau layar komputer tanpa sama sekali melihat kita yang datang. engan latar belakang inilah, saya menulis ten- tang pentingnya komunikasi nonverbal dalam

  D melengkapi komunikasi verbal pustakawaan saat melayani pemustaka. Sepertinya sepele dan tidak penting, namun saya berani menegaskan bahwa

  Layanan Pemustaka komunikasi nonverbal sangat penting sekali bagi pustakawan di bagian layanan. Alasannya adalah

  Apa beda pelayanan di perpustakaan dan di bank- bahwa pemustaka untuk memahami suatu pesan itu bank? Saya rasa pasti jawaban pembaca beraneka tidak hanya melibatkan dengan mendengarkan kata- ragam. Dalam tulisan ini saya hanya ingin membatasi kata yang diucapkan saja. pada petugas layanannya saja, yaitu pustakawannya. Saat ini di bank-bank banyak menggunakan tenaga Namun demikian adanya suatu isyarat nonverbal outsourching yang notabene masih muda-muda, can- pustakawan juga akan menambah kejelasan dari tik, ganteng, cekatan, enerjik, dan sebutan lainnya pesan yang disampaikan. Selain itu juga akan mem- yang membuat pengunjung ketagihan datang lagi. bawa makna tersendiri bagi pemustaka, kepuasan Bisakah petugas di bagian layanan perpustakaan batin, seperti suatu bentuk penghargaan terhadap juga bisa seperti petugas bank? diri pemustaka dan kepuasan layanan. Walaupun sebenarnya isyarat-isyarat komunikasi nonverbal akan membawa makna yang berbeda pada kebu- dayaan yang berbeda. Jadi agar tidak rancu, maka saya fokuskan pembahasan isyarat komunikasi non- verbal ini pada hal umum yang terjadi di budaya dan

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010 masyarakat kita. Bisa! Kenapa? Pustakawan di bagian layanan juga bisa bersikap seperti layaknya petugas bank. Bahkan tidak harus outsourching. Bayangkan pada saat kita sebagai nasabah datang ke bank, sudah dengan sigap petugasnya menya- pa dengan ramah sambil bangkit dari duduk, berdiri, membungkuk- kan badan, dan menganggukkan kepala. “Selamat pagi Ibu...ada yang bisa saya bantu?“ Coba kita rasakan, senang kan kita sebagai nasabah diperlakukan seperti itu.

  Bagaimana jika di perpustakaan? Saya rasa juga tidak apa-apa perilaku pustakawan di bagian layanan melakukan seperti itu, na- mun sepertinya masih canggung jika dilakukan, karena sepertinya tidak biasa. Langkah awalnya tidak harus zakelijk seperti itu, namun bisa dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya: berbicara dengan pemustaka dengan melihat, se- nyum, menambah gerakan tangan saat menunjukkan buku, ataupun ekspresi nonverbal lainnya. Saya rasa pemustaka akan lebih nya- man diperlakukan dengan sikap demikian, daripada hanya dengan kata-kata saja. Biar kesannya tidak seperti “robot berjalan“, maka pustakawan di bagian layanan harus berperilaku dinamis, luwes, ekspresif, dan atraktif.

  Pembaca, pernahkah mendengar keluhan pemustaka yang tidak mau ke perpustakaan lagi karena petugasnya galak, judes, tidak ramah, njelehi, ngayelke, kaku, dan hal-hal jelek lainnya? Kalau saya pernah mendengar keluhan itu, dan akhirnya saya hanya bisa “mengelus dada“ sambil beris- tighfar. Sungguh memprihatinkan bukan, jika memang begini kuali- tas pustakawan kita. Wah tapi itu 1:1000 kali ya? he...he...

  Komunikasi Nonverbal Pustakawan

  Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata, tapi dikemas dengan bahasa tubuh (body language), tanda (sign), tindakan/perbuatan (action) atau obyek. Komunikasi nonverbal akan memberikan arti pada komunikasi verbal. Beberapa contoh yang termasuk komunikasi nonverbal yang dapat dilakukan oleh pustakawan saat melayani pemustaka adalah seba- gai berikut:

  a. Gerak isyarat/isyarat badaniah (gestures).

  Menggunakan gerak isyarat dari pustakawan dapat mem- pertegas pembicaraan dan merupakan bagian dari total komunikasi pustakawan kepada pemustaka. Pustakawan hen- daknya membiasakan dengan menunjukkan siap membantu dengan “telapak tangan ter- buka“. Misalnya: Mengetuk-ngetuk- kan kaki atau menggerakkan tangan selama berbicara da- pat menunjukkan situasi dan kondisi pustakawan saat itu. Pada saat pustakawan jengkel dengan pemustaka ataupun senang, maka sebagai upaya untuk mempertegas dapat melakukan gerak isyarat ter- tentu.

  b. Bahasa tubuh (body language).

  Bahasa tubuh dicirikan dengan adanya gerakan tubuh (kinesik). Adanya gerakan tubuh dapat menghilangkan grogi pus- takawan saat berbicara. Gera- kan tubuh pustakawan bisa digunakan untuk menggantikan suatu kata atau frase, misalnya: mengangguk untuk mengata- kan ‘ya’, untuk mengilustrasi- kan atau menjelaskan sesuatu, ataupun menunjukkan peras- aan setuju. Kemudian ‘memu- kul meja’ untuk menunjukkan kemarahan, untuk mengatur atau mengendalikan jalannya percakapan, atau untuk me- lepaskan ketegangan. Contoh bahasa tubuh yang lain, misalnya: Berjabat tangan & salam, kontak mata, ekspresi wajah, posisi tangan, posisi berdiri, posisi duduk, ataupun cara berjalan.

  c. Kontak mata (eye contact).

  Mata sering disebut sebagai ‘jendela hati‘, karena sebagai prediktor paling akurat ten- tang perasaan dan sikap hati dari pustakawan yang berbi- cara tersebut. Kontak mata merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Kontak mata diartikan melihat lawan bicara yang tujuannya untuk memperhatikan dan bukan sekedar mendengarkan saja. Pustakawan sebaiknya menjaga kontak mata langsung dengan pemustaka, tetapi jangan sam- pai berlebihan/terlalu lama.

  Misalnya: Apabila pustakawan melakukan kontak mata dengan pemustaka, berarti pustakawan tersebut kesannya memperha- tikan dan menghargai pemus- taka.

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  11 d. Ekspresi wajah (facial expres- sions).

  Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah mencerminkan suasana emosi pustakawan. Bahkan para peneliti pernah memperkirakan bahwa wajah manusia itu dapat menampilkan lebih dari 250.000 ekspresi yang berbeda. Semua ekspresi wajah baik itu disengaja dilakukan oleh pustakawan atau tidak disengaja itu dapat melengkapi atau sep- enuhnya menggantikan verbal.

  Misalnya: Menaikkan atau menurunkan alis mata, menger- lingkan mata, menelan ludah, mengeraskan rahang, terse- nyum lebar.

  e. Sikap/postur tubuh (posture).

  Sikap pustakawan yang cen- derung tegak akan mengirim- kan pesan percaya diri, menun- jukkan kompetensi, kerajinan, dan kekuatan. Cara seorang pustakawan berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperli- hatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan mere- fleksikan emosi, konsep diri, dan juga tingkat kesehatan pustakawan. Misalnya: Sebagai wu- jud ketertarikan dan perhatian, maka pustakawan dapat mencondong- kan badan ke arah pemustaka pada saat menyapa; untuk memban- gun hubungan akrab de- ngan pe- mustaka, maka pustakawan da- pat menggunakan sebuah gerak telapak kanan ke atas dengan memulai untuk jabat tangan.

  f. Sentuhan (touch).

  Sentuhan pustakawan meru- pakan bentuk komunikasi personal, karena sentuhan lebih bersifat spontan daripada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau simpati dapat dilakukan melalui sentuhan. Misalnya: Pustakawan membe- rikan sentuhan tepukan pung- gung kepada pemustaka yang bingung mencari buku di rak, sambil berkata “Sabar ya Pak, saya bantu nyari ya mudah- mudahan bisa ditemukan“. Cara seperti ini merupakan bentuk perhatian pustakawan dan akan lebih menenangkan kondisi pemustaka saat itu.

  g. Komunikasi objek (object com- munication).

  Komunikasi objek yang paling umum bagi pustakawan ada- lah terkait dengan pe- nampilan, seperti: penggunaan pakaian seragam, bros, pin, potongan rambut, simbol- simbol, sandi, ataupun warna. Bagaimanapun pemustaka yang dilayani akan lebih menyukai pustakawan yang cara berpakai- annya sopan, serasi, sederhana, sesuai, dan menarik. Misalnya: Pustakawan harus

  good appearance dalam me-

  layani pemustaka. Hal ini salah satunya adalah nampak dari seragam yang digunakan, seper- ti kerapian baju, pin, dan kartu pengenal yang dikenakan.

  h. Dokumen perpustakaan (library document).

  Maksudnya bahwa tampilan keseluruhan dokumen yang ada di perpustakaan juga dapat mengungkapkan pesan nonver- bal. Pustakawan harus dapat menghasilkan pesan yang ditulis dengan penuh ketelitian, rapi, profesional, dan teratur dengan baik.

  Misalnya: Pustakawan yang menyetempel kartu anggota perpustakaan, namun tinta cap- nya miring, mengenai muka pas foto, atau terbalik tulisannya. Hal seperti ini dapat mengan- dung pesan nonverbal negatif dari pemustakanya. i. Suara (sound).

  Suara rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu ungkapan perasaan dan pikiran pus- takawan yang dapat di- jadikan komunikasi. Bila dikombinasikan dengan se- mua bentuk komunikasi nonverbal

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  12 lainnya sampai desis atau suara, maka dapat menjadi pesan yang sangat jelas. Misalnya: Pustakawan dalam layanan bercerita (story telling), maka agar pesan dapat diterima anak-anak dengan mudah, pustakawan dapat melakukan- nya dengan penuh ekspresif, seperti: menirukan suara ayam berkokok (petok-petok); saat pemustaka berisik, maka pus- takawan dapat mendesis ’ssstt... ssstt‘. j. Vokalik (paralanguage).

  Vokalik adalah unsur nonver- bal dalam suatu ucapan, yaitu bagaimana cara berbicara pus- takawan. Misalnya: keras atau lemahnya suara (intonasi), penekanan nada/kualitas suara, gaya emosi, gaya berbicara, kecepatan berbicara pustakawan, penggu- naan suara-suara pengisi seperti “um”, “mm”, “e”, “i”, “o”, dan lain sebagainya pada saat pus- takawan berbicara. k. Ruang (room).

  Cara pengaturan ruangan bagi pustakawan di tempat kerja da- pat mengirim pesan nonverbal tentang seberapa tingkat keter- bukaan pustakawannya. Selain itu juga kondisi ruang kerja yang berantakan, kotor, dokumen berserakan, semrawut, juga menunjukkan makna tersendiri bagi pemustaka yang melihat. Intinya pustakawan harus dapat menjaga kerapian dan fungsi tempat kerja. Misalnya: Pustakawan yang me- layani pemustaka dalam ruang sirkulasi sistem tertutup (closed

  access), maka pesan yang di-

  tangkap pemustaka juga seper- tinya layanannya harus sistem tunggu informasi, sehingga pesan yang muncul di benak pemustaka adalah kemungkinan pelayanannya lama. l. Wilayah (zone).

  Setiap pustakawan pasti mem- punyai wilayah sendiri agar merasa nyaman. Begitu juga para pemustakanya. Namun justru yang jadi masalah adalah bahwa jarak antara pustakawan dan pemustaka saat berkomu- nikasi terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda. Fungsi dari wilayah ini adalah agar tercipta kedekatan emosional antara pustakawan dan pe- mustaka, untuk menunjukkan kehangatan, dan mengurangi perbedaan status. Misalnya: Pustakawan yang menyampaikan pesan tentang cara menelusur melalui OPAC, namun pustakawan tersebut tetap berada di dalam counter petugas dan hanya berbicara verbal saja. Sehingga jarak antar pemustaka dan pustakawan terkesan jauh. Nah dalam kasus ini akan lebih baik apabila pus- takawan mendekat ke pemus- taka dan memraktekkan lang- sung di OPAC ditambah dengan komunikasi nonverbal tentang bagaimana cara menelusurnya. m.Waktu (time).

  Bagaimana pustakawan meng- atur dan menggunakan waktu untuk melayani pemustaka akan menunjukkan kepribadian dan sikap pustakawan. Saat me- layani pemustaka, pustakawan dituntut bisa menggunakan waktu secara tepat dan bijak- sana. Misalnya: Pustakawan yang melayani pemustaka dengan ketulusan hati sampai memban- tu menemukan informasi yang dibutuhkan pemustaka dalam waktu yang lama, maka hal ini dapat memberikan isyarat ke- sungguhan pustakawan dalam melayani pemustaka. Menurut Hanna and Wilson (1998: 129) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) fungsi dari kegunaan komunikasi nonverbal, yaitu:

  reinforcement, modification, sub- stitution, dan regulation. Apabila

  diterapkan oleh pustakawan saat melayani pemustaka di bagian layanan, maka dapat saya jabar- kan sebagai berikut:

  1.Reinforcement Maksudnya adalah penguatan dari pesan yang disampaikan pustakawan. Misalnya: pus- takawan perempuan yang sudah lama tidak bertemu seorang Ibu (pemustaka), maka saat bertemu pustakawan tersebut mengatakan verbal “Gimana Ibu kabarnya?” (sambil memeluk Ibu tersebut).

  2.Modification Maksudnya adalah untuk pe- rubahan/modifikasi dari pesan yang disampaikan pustakawan sebelumnya. Misalnya: saat pustakawan menjelaskan tata tertib secara verbal, namun karena pemustaka belum pa- ham, maka pustakawan dapat mengambil brosur tata tertib sambil menunjukkan dengan tangan hal-hal yang penting yang perlu ditekankan dari tata tertib tersebut.

  3.Substitution Maksudnya adalah sebagai penggantian dari komunikasi

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  13 verbal pustakawan. Misalnya: “ya” secara verbal, tetapi kemu- suara yang tinggi agar terkesan perkataan ”iya bisa” tidak harus dian juga menunjukkan komu- tegas. Sementara bisa dengan diucapkan, namun pustakawan nikasi nonverbal dengan meng- suara pelan pada saat memberi- bisa cuma mengangguk saja; garuk kepala atau menggigit kan pesan yang sifat- membolehkan jari. Inilah salah satu contoh nya rahasia. masuk tidak ha- bentuk untuk menyangkal dan

  3.Untuk mengubah rus “silahkan”, menunjukkan pesan sepertinya dan menggantikan. tapi bisa dengan keberatan untuk mengatakan

  Banyak isyarat bisa menggerakkan ”ya”. digunakan untuk telapak tangan ke menggantikan kata- depan. kata yang diucap-

  Penutup

  4.Regulation kan. Pustakawan Maksudnya adalah dapat menaruh jari Pustakawan perlu memahami bahwa komunikasi komunikasi nonverbal agar tidak telunjuk di depan nonverbal tertentu mulut untuk menggantikan terjadi ketidakkonsistenan antara dapat digunakan sebagai bentuk kata “jangan ramai”; mengang- komunikasi verbal dengan komu- peraturan dari sebuah proses nikasi nonverbal. Intinya komu- kat bahu untuk menggantikan komunikasi atara pustakawan

  ‘tidak tahu’. nikasi nonverbal penting untuk dan pemustaka. Misalnya: “di- dilakukan pustakawan dalam

  4.Untuk mengendalikan dan me- larang merokok” dalam ruang ngatur. melayani pemustaka sebagai pe- perpustakaan (hanya dengan

  Pesan nonverbal merupakan lengkap dari komunikasi verbal. menempelkan poster gambar

  Adanya komunikasi nonverbal pengatur yang penting dalam rokok diberi tanda silang). percakapan. Pustakawan pada tersebut diharapkan pesan yang disampaikan oleh pustakawan saat berbicara dengan dengan

  Selanjutnya menurut Guffey pemustaka dapat memberikan akan lebih mudah diterima oleh (2006: 106) mengemukakan bah- komunikasi nonverbal dengan pemustaka. Jadi komunikasi non- wa komunikasi nonverbal dalam verbal sangat penting dilakukan tujuan untuk meneruskan, membantu menyampaikan pe- mengulangi, merinci, bergegas, oleh pustakawan di bagian layan- san mempunyai berbagai fungsi, an agar pemustaka merasa puas atau menyelesaikan. Misalnya: antara lain: perubahan kontak mata, gera- dengan layanan pustakawan.

  1.Untuk melengkapi dan meng- kan kepala yang ringan, peruba- gambarkan. han sikap badan, menaikkan

  Daftar Pustaka

  Pesan nonverbal dapat men- alis mata, mengernyitkan dahi, jelaskan, memodifikasi, atau ataupun perubahan nada suara. Guffey, Mary Ellen. 2006. Komu- memberikan rincian untuk

  5.Untuk menyangkal. nikasi Bisnis: Proses & Produk sebuah pesan verbal. Sebagai Pesan yang disampaikan ber- (terjemahan). Jilid 1. Edisi 4. contoh pustakawan dalam lawanan dengan kata atau Jakarta: Salemba Empat. menggambarkan ukuran sebuah tindakan. Misalnya pada saat Hanna, Michael S. and Wilson, buku, dapat menggunakan jari- pemustaka masih sibuk men- Gerald L. Wilson. 1998. Com- jarinya untuk membuat jarak 24 cari buku yang mau dipinjam, municating in Business and cm. namun waktu layanan perpusta-

  Professional Settings. Fourth

  2.Untuk memperkuat dan mene- kaan sudah saatnya tutup. Lalu Edition. New York: McGraw kankan. pemustaka meminta perpanjan- Hill. Pustakawan dalam menyam- gan waktu kepada pustakawan

  • *) Kepala Perpustakaan FE UNDIP & Dosen LB

  paikan pesan penting berupa untuk tidak ditutup dulu. Nah

  Program (D3 KS-FE, D3 APS-FISIP, S1 Ilmu

  teguran atau peringatan kepada dalam kondisi seperti ini pus-

  Perpustakaan FIB UNDIP).

  pemustaka bisa dengan nada takawan mungkin menjawab

  “SANGKAKALA”, Edisi Kedelapan 2010

  14

  D

  gumunan ini tidak mendorong

  HaPe, Sang Biangkerok !

Oleh : Burhanudin DR

bersambung ke Hal. 33

  Tidak berhenti sampai di situ. Efek berantai dari kekonyolan inipun muncul. Kejahatan seks lewat facebook dan yang sejenisnya adalah menu yang senantiasa dapat dinikmati dalam tayangan berita. Atau berapa besar uang orang tua yang hilang sia-sia hanya untuk sekedar hura- hura. Bahkan kerugian sosial serta kultural yang diderita generasi muda kita yang terbuai dalam

  dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi yang bermanfaat akhirnya menjadi bagian dari asesoris yang harus dikenakan dalam penampilan remaja kita. Prestise! Itulah yang sekedar ingin digapai oleh sebagian besar masyarakat kita.

  Handphone yang semestinya

  melihat iklan di media massa yang cenderung konsumeristik. Rasa ingin dianggap moderen, gaul, trendy atau sebutan lain akhirnya mendorong remaja kita untuk bergaya dengan teknologi tanpa kemanfaatan yang jelas.

  gumunan ini juga muncul ketika

  kreatifitas untuk menciptakan tetapi memberikan rangsangan untuk sekadar menggunakan. Lebih mengerikan lagi, sikap

  Penggunaan HP oleh sebagian remaja kita sebenarnya bukan didasarkan pada azas kemanfaatan tetapi lebih banyak berangkat dari sikap gumunan. Sayangnya, sikap

  i tengah hiruk pikuk pengumuman ujian nasional

  bahwa perkembangan teknologi, termasuk teknologi komunikasi, wajib untuk diikuti. Akan tetapi kesiapan kita secara kultural yang belum siap. Kiranya pesan dari para pendahulu yang mengatakan : ”Aja gumunan lan aja kagetan,” masih menemukan relevansi untuk konteks masa kini.

  shocks. Tidak dapat dipungkiri

  Terlepas dari tudingan HP sebagai biang kerok penurunan prestasi ujian nasional, yang jelas masyarakat Indonesia, tidak kecuali kaum terpelajar saat ini, terjangkit fenomena culture

  ketika mengikuti pelajaran atau berkendara pun asyik berhape. Masalah ada korelasi dengan penurunan prestasi ujian nasional atau tidak, perlu data yang dapat dipertanggungjawabkan.

  ngobrol, bahkan