Proses Komunikasi Non Verbal Pasangan Tunawicara (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Non Verbal Pada Pasangan Suami Istri Tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara)

(1)

PROSES KOMUNIKASI NON VERBAL PASANGAN

TUNAWICARA

(Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Non Verbal Pada Pasangan Suami Istri Tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun oleh

:

 

LASMARIA DESPITA TARIGAN

080904129

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini mengambil tema komunikasi yang dilakukan para pasangan suami istri yang mengalami gangguan berbicara atau tunawicara. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui proses komunikasi pasangan suami istri tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara berkomunikasi secara non verbal dan juga untuk mengetahui hambatan apa saja yang terdapat dalam proses komunikasi yang menggunakan bahasa isyarat tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yakni sebuah pendekatan yang berusaha untuk menjabarkan secara rinci mengenai pengalaman dan juga pembahasan yang berbentuk pemaparan dalam sebuah narasi.

Subjek penelitian adalah enam pasangan suami istri tunawicara yang berdomisili di Kota Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Para informan yang diteliti berasal dari latar belakang, suku dan agama yang berbeda sehingga penelitian ini cukup menarik dan menantang untuk dilakukan. Setelah melakukan observasi yang cukup mendalam dan bersifat parsipatoris, maka data serta analisis yang disajikan adalah berupa pengalaman dari para informan.

Melalui penelitian terhadap pasangan suami istri tunawicara ini ditemukan bahwa komunikasi nonverbal yang digunakan dengan menggunakan bahasa isyarat yang fokus pada penggunaan gerak tangan dan juga gerak tubuh. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat ini mereka dapatkan melalui pendidikan formal di tingkatan sekolah luar biasa khusus untuk para difabel tunawicara. Namun, pada beberapa pasangan tunawicara ini, mereka tetap berusaha untuk menggunakan bahasa verbal untuk berkomunikasi dengan pasangan dan juga orang-orang di sekitar mereka terkhusus kepada anak mereka agar anak-anak mereka tidak mengikuti pola komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sedangkan hambatan yang sering kali dialami oleh para pasangan tunawicara yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sikap diri, kepribadian dan juga perbedaan karakter antara pasangan. Penggunaan komunikasi nonverbal berupa gerakan isyarat tangan bukanlah menjadi sebuah hambatan karena mereka sudah mempelajari bahasa ini sejak dari usia dini. Hambatan komunikasi yang timbul umumnya akibat tidak adanya kesamaan ide ataupun pendapat mengenai suatu hal, bukan dikarenakan ketidakmengertian akan simbol-simbol atas gerakan yang digunakan dalam berkomunikasi.

Kata kunci: tunawicara, komunikasi antarpribadi, komunikasi nonverbal, bahasa isyarat

       


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini walaupun banyak rintangan yang dihadapi seperti sakit yang berkepanjangan, tapi penulis sangat berterima kasih kepada Tuhan atas kesehatan yang yang sudah Tuhan berikan kepasa penulis dan keluarga.

Penulisan skripsi yang berjudul “Proses Komunikasi Non Verbal Pasangan Tunawicara” ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam memperoleh gelar Sarjana Ilmu komunikasi (S.ikom) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini merupakan hasil dari pelajaran yang penulis terima selama mengikuti perkuliahaan di Departemen Ilmu Komunikasi fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Dalam proses menyusun skripsi ini, penulis sangat banyak mendapatkan bantuan baik berupa saran, informasi, bimbingan dan arahan baik dalam segi moril dan materi dan juga mendapat dorongan semanagat dari berbagai pihak yang sangat dibutuhkan penulis untuk mendukung penulisan skripsi penulis sehingga menjadi baik.

Secara Khusus penulis mengucapkan sangat berterimakasih kepada orang tua penulis yaitu ibu penulis Ratna br Bukit yang sudah melahirkan penulis dan membesarkan penulis hingga saat ini, terimakasih atas doa dan dukungan, nasehat dan materi yang selalu diberikan ibunda penulis, terimakasih sebesar – besarnya buat kasih sayang yang ibunda penulis berikan sampai sekarang. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada almarhum ayahanda penulis alm Sinar Tarigan atas kasih sayang yang pernah diberikan kepada penulis walaupun tidak lama tapi selamanya akan dikenang, begitu juga kepada abang penulis Jimmy Perdamenta Tarigan terimakasih atas bantuan moril kepada penulis, terimakasih telah menggantikan seorang ayah buat penulis sehingga penulis lebih semangat dalam menyusun skripsi ini walaupun banyak halangan yang dihadapi. Ucapan terimakasih lainnya penulis ingin sampaikan kepada :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis MA selaku Departemen Ilmu Komunikasi. 3. Ibu Dra. Dayana, Msi selaku Skretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas

segala bantuan, informasi, serta dukungan yang diberikan kepada penulis. 4. Ibu Dr.Nurbani, M.Si selaku dosen pembimbing penulis yang telah

memberikan bimbingan, nasehat, dan saran buat penulis selama pengerjaan skripsi ini, dan penulis mengucapkan terimakasih sebesar – besarnya atas kesabaran Ibu membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen dan Staf pengajar yang telah mendidik dan mengajarkan penulis mulai dari semester awal sampai semseter akhir hingga penulis menyelesaikan perkuliahan di kampus.

6. Seluruh Staf kampus terkhusus buat kak Maya yang membantu penulis dalam memproleh informasi mengenai kampus dan skripsi.

7. IMAJINASI FISIP USU terutama pemgurus amgkatan 2008, selaku teman seperjuangan dari awal perkuliahan sampai akhir perkuliahan.

8. Buat sahabat _ sahabat penulis di kampus Sertina Mewati, Sondang Mariana Marpaung, Isabella Simamora, Fany Fadillah Sonia, Duti Marcyola, terimakasih buat persahabatan selama ini, dukungan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini, terimakasih sudah ada buat penulis sampai sekarang.

9. Terimakasih buat sahabat – sahabat penulis Dede, Oma, Tata (Kariza siahaan, Puji adelina siahaan, Romelia Hutajulu) buat semangat yang selalu diberikan buat penulis.

10. Teman – teman yang selalu menemani penulis ke lapangan menemui informan yaitu Yati dan winna. Begitu juga buat teman, Sahabat sekaligus saudara buat penulis Simada Rizky Tarigan yang selalu ada buat penulis baik suka dan duka.

11. Penulis juga mengucapkan terimakasih buat seseorang yang pernah ada diperjalan hidup penulis dan perjalanan perkuliahan sampai penyusunan skripsi penulis yaitu mantan pacar penulis Revanzus pirei Depari. Terimakasih buat dukungan, semangat, doadan segala hal yang pernah


(5)

diberikan buat penulis, terimakasih pernah ada di kehidupan penulis selama tiga tahun.

12. Teman – teman Ilmu Komunkasi berbagai stambuk terutama buat teman – teman seperjuangan yaitu stambuk 2008 yang menjadi teman terbaik penulis. 13. Terimakasih buat seluruh Staf karyawan di Bank Bukopin Pusat di Jakarta,

terutama buat mas chepi selaku pembimbing penulis selama menjalani praktek kerja lapangan di Bank Bukopin. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Retno yang selalu mengajarkan penulis dalam bekerja di lapangan terutama di Bank selaku Public Relation

14. Seluruh Inforaman penulis yang bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan penulis dalam penyusunan skripsi ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua doa dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.Penulis menyadari jauh dari pada sempurna untuk itu saran dan kritik dibutuhkan penulis demi perbaikan skripsi ini, semoga tulisan yang sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 4 februari 2014 Penulis

Lasmaria Despita Tarigan  

           


(6)

DAFTAR ISI

LEMBAR ORISINALITAS LEMBAR PUBLIKASI LEMBAR PERSETUJUAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif/Paradigma kajian ... 6

2.2 Kajian Pustaka ... 8

2.2.1 Teori Komunikasi Antarpribadi ... 8

2.2.1.1 Sifat-sifat Komunikasi Antarpribadi ... 10

2.2.1.2 Komponen dan Proses KAP ... 12

2.2.2 Efektifitas Komunikasi Antarpribadi ... 12

2.2.3 Komunikasi Nonverbal ... 15

2.2.3.1 Fungsi Komunikasi Nonverbal ... 16

2.2.3.2 Klasifikasi Pesan Nonverbal ... 17

2.2.4 Interaksionisme Simbolik ... 24

2.2.5 Defenisi dan Ruang Lingkup Difabel ... 27

2.2.5.1 Kategori Kelompok Difabel ... 30

2.2.5.2 Perlindungan Untuk Kelompok Difabel ... 31

2.2.5.3 Implementasi dalam kehidupan sehari-hari ... 32

2.2.5.4 Tunawicara ... 36

2.2.5.5 Bentuk-bentuk Komunikasi Bahasa Isyarat ... 41


(7)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ... 50

3.2 Objek Penelitian ... 51

3.3 Subjek Penelitian ... 51

3.4 Kerangka Analisis ... 51

3.5 Teknik Pengumpulan Data (Termasuk Waktu Penelitian) ... 52

3.6 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 54

4.1.1 Proses Penelitian ... 54

4.1.2 Deskripsi Identitas Responden ... 56

2.2.5.1 Benny Banta Kurniawan dan Sarah Sebayang 56

2.2.5.2 Bernat Ginting dan Berti Simangunsong ... 57

2.2.5.3 Junaedi Purba dan Lilis br. Silalahi ... 59

2.2.5.4 Jenny Rahmi dan Sudarmanto ... 61

2.2.5.5 Susanto Ginting dan Rosmeri br. Sinulingga ... 63

2.2.5.6 Rio Bravo Sembiring dan Yohana Silalahi ... 64

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian ... 57

4.2.1 Pola Komunikasi yang dilakukan pasangan tunawicara dengan orang terdekat khususnya pasangan hidup ... 67

4.2.2 Awal mempelajari pola komunikasi menggunakan Bahasa isyarat ... 68

4.2.3 Hambatan dalam berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat ... 70

4.2.4 Cara berkomunikasi untuk berhubungan intim ... 71

4.2.5 Berdiskusi menggunakan bahasa isyarat ... 73

4.2.6 Saling meminta maaf dengan pasangan ... 74

4.2.7 Pengalaman suka dan duka menggunakan bahasa isyarat ... 76

4.2.8 Pengalaman unik dengan pasangan menggunakan bahasa isyarat ... 77

4.2.9 Pandangan anak terhadap penggunaan bahasa isyarat pada saat berkomunikasi ... 79

4.2.10 Harapan kedepannya terhadap penggunaan bahasa isyarat ... 80

4.3 Pembahasan ... 82

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 85

5.2 Saran responden penelitian ... 86

5.3 Saran dalam kaitan akademis ... 86

DAFTAR REFERENSI LAMPIRAN


(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Perilaku defense dan suportif dari Jack Gibb 15

4.1 Identitas pasangan pertama 57

4.2 Identitas pasangan kedua 59

4.3 Identitas pasangan ketiga 61

4.4 Identitas pasangan keempat 63

4.5 Identitas pasangan kelima 64

4.6 Identitas pasangan keenam 65

   


(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Ungkapan baik hati 42

2.2 Ungkapan bangga 42

2.3 Ungkapan benci 42

2.4 Ungkapan bimbang 43

2.5 Ungkapan bosan 43

2.6 Ungkapan busuk hati 43

2.7 Ungkapan cemburu 44

2.8 Ungkapan cinta 44

2.9 Ungkapan gembira 44

2.10 Ungkapan geram 45

2.11 Ungkapan kasihan 45

2.12 Ungkapan kesal 45

2.13 Ungkapan lega 46

2.14 Ungkapan lucu 46

2.15 Ungkapan malu 46

2.16 Ungkapan marah 47

2.17 Ungkapan rindu 47

2.18 Ungkapan puas hati 47

2.19 Ungkapan sedih 48

2.20 Ungkapan suka 48

2.21 Ungkapan terkejut 48

3.1 Proses penyusunan kerangka analisis 51  


(10)

ABSTRAK

Fokus penelitian ini mengambil tema komunikasi yang dilakukan para pasangan suami istri yang mengalami gangguan berbicara atau tunawicara. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui proses komunikasi pasangan suami istri tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara berkomunikasi secara non verbal dan juga untuk mengetahui hambatan apa saja yang terdapat dalam proses komunikasi yang menggunakan bahasa isyarat tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yakni sebuah pendekatan yang berusaha untuk menjabarkan secara rinci mengenai pengalaman dan juga pembahasan yang berbentuk pemaparan dalam sebuah narasi.

Subjek penelitian adalah enam pasangan suami istri tunawicara yang berdomisili di Kota Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Para informan yang diteliti berasal dari latar belakang, suku dan agama yang berbeda sehingga penelitian ini cukup menarik dan menantang untuk dilakukan. Setelah melakukan observasi yang cukup mendalam dan bersifat parsipatoris, maka data serta analisis yang disajikan adalah berupa pengalaman dari para informan.

Melalui penelitian terhadap pasangan suami istri tunawicara ini ditemukan bahwa komunikasi nonverbal yang digunakan dengan menggunakan bahasa isyarat yang fokus pada penggunaan gerak tangan dan juga gerak tubuh. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat ini mereka dapatkan melalui pendidikan formal di tingkatan sekolah luar biasa khusus untuk para difabel tunawicara. Namun, pada beberapa pasangan tunawicara ini, mereka tetap berusaha untuk menggunakan bahasa verbal untuk berkomunikasi dengan pasangan dan juga orang-orang di sekitar mereka terkhusus kepada anak mereka agar anak-anak mereka tidak mengikuti pola komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sedangkan hambatan yang sering kali dialami oleh para pasangan tunawicara yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sikap diri, kepribadian dan juga perbedaan karakter antara pasangan. Penggunaan komunikasi nonverbal berupa gerakan isyarat tangan bukanlah menjadi sebuah hambatan karena mereka sudah mempelajari bahasa ini sejak dari usia dini. Hambatan komunikasi yang timbul umumnya akibat tidak adanya kesamaan ide ataupun pendapat mengenai suatu hal, bukan dikarenakan ketidakmengertian akan simbol-simbol atas gerakan yang digunakan dalam berkomunikasi.

Kata kunci: tunawicara, komunikasi antarpribadi, komunikasi nonverbal, bahasa isyarat

       


(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Konteks Masalah

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain.Selain itu dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi yang baik sangat penting untuk berinteraksi antar personal maupun antar masyarakat agar terjadi keserasian dan mencegah konflik dalam lingkungan masyarakat.

Setiap manusia dalam berkomunikasi kerap menggunakan kata-kata atau biasa disebut dengan komunikasi verbal. Komunikasi verbalmerupakan sebuah proses komunikasi yang menggunakan kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk behubungan dengan manusia lain. Namun, tidak semua manusia dapat berkomunikasi secara lisan menggunakan kata-kata.Tuhan juga menciptakan manusia lainnya yang memiliki keterbatasan berupa ketidakmampuan dalam berbicara ataupun mendengar atau yang biasa disebut dengan tunawicara/tunarungu.Walau demikian, tentunya para kaum difabel ini tetap mampu berkomunikasi dengan manusia lainnya dengan menggunakan simbol-simbol ataupun gerakan tangan sebagai media komunikasi yang memudahkan mereka dalam upaya menyampaikan pesan.

Adakalanya seseorang kurang memahami makna dan pengaruh komunikasi non-verbal terhadap suksesnya pembicaraan. Komunikasi Antar Manusia, atau seringkali dalam beberapa literatur disebut Human Communication, merupakan kegiatan penyampaian informasi, berita, pesan, atau amanah dari seseorang kepada orang lain dengan harapan agar hal-hal yang diberitahukan itu dapat diterima, dimengerti, diikuti dan diaplikasikan, bahkan menjadi milik bersama antara sumber dan penerima.


(12)

Kegiatan komunikasi dilaksanakan dengan menggunakan lambang atau kode. Kode yang sebagian besar digunakan dalam komunikasi adalah kode yang diucapkan atau ditulis (kode yang berhubungan dengan penggunaan kata-kata). Tetapi sesungguhnya masih ada kode lain yang sangat penting peranannya dalam komunikasi, yaitu kode non-verbal, atau kode tanpa kata.

Salah satu pilar penting dalam bangunan rumah tangga adalah dengan komunikasi efektif antara pasangan suami dan istri. Pola komunikasi keluarga tentu mempunyai pola tersendiri dan yang terpenting adalah meminimalir terjadinya Misscommunication yang dapat menimbulkan pertengkaran atau kesalahpahaman. Untuk itu setiap pasangan perlu mengenal dengan benar-benar pribadi dan karakter dari pasangannya masing-masin, yang baru menikah, tentulah masih dalam masa-masa penyesuaian dan masih banyak lagi hal-hal yang belum dimengerti oleh pasangan, sehingga mereka bisa menyampaikan segala permasalahan dengan sebaik-baiknya, penuh santun dan tidak melukai perasaan pasangan. Adanya komunikasi yang efektif adalah salah satu hal yang bisa menjadikan pasangan suami isteri menjadi harmonis.

Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah proses komunikasi dan juga hambatan komunikasi yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri Tunawicara. Pasangan difabel mungkin sangat sulit bagi mereka, atau sama sekali tidak bisa untuk berkomunikasi secara verbal. Dilatarbelakangi masalah tersebut, peneliti tertarik dalam meneliti pola komunikasi yang terjalin diantara pasangan difabel tunawicara ini, karena pada sebagian pasangan tunawicara, terjalin proses komunikasi yang efektif yang pada akhirnya membuahkan sebuah hubungan yang harmonis anatara suami dan istri.

Salah satu literatur tertua mengenai tunarungu dan tunawicara tercatat pada abad kelima SM, dalam Plato Cratylus, di mana Socrates berkata: "Jika kami tidak memiliki suara atau lidah, dan ingin mengungkapkan hal-hal yang satu sama lain, tidak akan kami mencoba untuk membuat tanda-tanda dengan menggerakkan tangan, kepala, dan seluruh tubuh kita, seperti orang bodoh lakukan saat ini ?” Disini tampak bahwa orang yang disebut Socrates sebagai orang bodoh adalah sekelompok orang yang tidak bersuara dan tidak berlidah. Terdapat juga literatur pada abad ke-2 Yudea, rekaman dalam traktat Mishnah


(13)

Gittin menyatakan bahwa untuk tujuan transaksi komersial "Seorang tuli-bisu dapat mengadakan percakapan melalui suatu gerakan tertentu (http://kharisma-plbuns2012.blogspot.com/2012/11/tunarungu-dan-tunawicara.html).

Tunawicara (bisu) diakibatkan karena beberapa faktor yang diakibatkan seperti kecelakaan, penyakit ataupun keturunan atau bawaan lahir, dikatakan keturunan tetapi ada kemungkinan anak – anaknya tidak bisu. Dalam proses komunikasi antarpribadi pasangan suami istri akan terjadi berbagai hambatan maupun gangguan – gangguan lainnya. Menurut Shanon dan Weaver, 1949 gangguan komunikasi terjadi jika terdapat intervensi yang mengganggu salah satu elemen komunikasi, sehingga komunikasi tidak dapat berlangsung secara efektif. Terjadinya rintangan karena adanya gangguan sehingga terdapat tujuh jenis gangguan atau rintangan komunikasi, yaitu: gangguan teknis, gangguan psikologis, gangguan semantik, rintangan status, rintangan fisik, rintangan kerangka berpikir dan rintangan budaya. Dalam tujuh jenis tersebut rintangan fisik adalah rintangan yang dihadapi oleh pasangan tunawicara dalam melakukan proses komunikasi antarpribadi. Karena pada dasarnya rintangan fisik adalah tidak berfungsinya salah satu panca indra pada penyampaian maupun penerima pesan (Canggara, 2006:131). Berbagai jenis rintangan yang dihadapi oleh penyandang tunawicara (bisu) ada juga hal – hal yang dapat mendukung proses komunikasi antarpribadi pasangan suami istri seperti menggunakan bahasa non verbal.

Intervensi kepribadian dengan konsistensi menunjukkan bahwa kaum difabel khususnya tunawicara mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada orang-orang yang berpendengaran normal ataupun kemampuan bicara yang jelas. Jika pasangan-pasangan tunawicara yang tanpa masalah-masalah nyata atau sering diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekahasan, egosentrik, tanpa kontrol diri, impulsif dan keras kepala.

Dalam penelitian ini, peneliti akan memilih lokasi penelitian di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Latar belakang pemilihan lokasi tersebut dikarenakan pada saat pra penelitian, peneliti menemukan banyak pasangan suami istri di wilayah tersebut adalah para difabel pada indra pendengaran dan mulut mereka. Pasangan difabel ini ada yang sepasang suami


(14)

istri sama-sama tunawicara dan juga hanya hanya istri atau suaminya saja yang difabel tunawicara. Bahkan para kaum difabel ini memiliki komunitas khusus bagi perkembangan dan juga eksistensi para kaum tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai proses komunikasi non verbal yang terjalin dan juga hambatan-hambatan yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

1.2 Fokus Masalah

Fokus masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan yang hendak dicari jawabannya. Dapat juga dinyatakan bahwa perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah (Pohan, 2012:10).

Tidak semua manusia dapat berkomunikasi secara lisan menggunakan kata-kata.Tuhan juga menciptakan manusia lainnya yang memiliki keterbatasan berupa ketidakmampuan dalam berbicara ataupun mendengar atau yang biasa disebut dengan tunawicara/tunarungu.Intervensi kepribadian dengan konsistensi menunjukkan bahwa kaum difabel, khususnya tunawicara mempunyai lebih banyak masalah penyesuaian daripada orang-orang yang berpendengaran normal ataupun kemampuan bicara yang jelas. Jika pasangan-pasangan tunawicara yang tanpa masalah-masalah nyata atau sering diteliti, mereka ternyata menunjukkan kekahasan, egosentrik, tanpa kontrol diri, impulsif dan keras kepala.

Dalam penelitian ini yang akan diteliti adalah proses komunikasi dan juga hambatan komunikasi yang mungkin terjadi pada pasangan suami istri Tunawicara. Pasangan difabel mungkin sangat sulit bagi mereka, atau sama sekali tidak bisa untuk berkomunikasi secara verbal. Dilatarbelakangi masalah tersebut, peneliti tertarik dalam meneliti proses komunikasi nonverbal yang terjalin diantara pasangan difabel tunawicara ini, karena pada sebagian pasangan tunawicara, terjalin proses komunikasi yang efektif yang pada akhirnya membuahkan sebuah hubungan yang harmonis antara suami dan istri.


(15)

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bagaimana aktivitas komunikasi non verbal pada pasangan difabel tunawicara sehari-harinya. Secara khusus, tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses komunikasi nonverbal pasangan suami istri tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara berkomunikasi secara non verbal.

2. Untuk mengetahui hambatan komunikasi yang terjadi pada pasangan suami istri tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara ketika menggunakan komunikasi non verbal.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memperluas atau menambah khasanah penelitian komunikasi dan menambah penngetahuan dan pengalaman ilmu mahasiswa di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini untuk menerapkan ilmu yang didapat selama menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU serta menambah cakrawala dan wawasan peneliti mengenai bidang komunikasi non verbal. 3. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini, diharapkan bisa memberikan pandangan dan pengetahuan kepada siapa saja mengenai komunikasi non verbal yang dilakukan oleh para kaum difabel tunawicara.

         


(16)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Ilmu bukanlah suatu yang tunggal melainkan plural. Menurut Thomas Kunt, ilmuwan selalu bekerja di bawah satu payung paradigma yang memuat asumsi ontologisme, metodologis, dan struktur nilai (Adian, 2002:25). Definisi paradigma yang ditawarkan oleh Kunt sendiri memiliki tiga rumusan yaitu :

1. Kerangka konseptual untuk mengklarifikasi dan menerangkan objek-objek fisikal alam.

2. Patokan untuk menspesifikasi metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen dalam meneliti objek-objek dalam wilayah yang relevan.

3. Kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah.

Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta.Artinya, tidak ada observasi yang netral.Semua pengalaman perseptual kita selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita gunakan.Misalnya, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus sedang Newton mempersepsinya sebagai gerak pendulum.Hal itu menurut Kuhn disebabkan oleh perbedaan paradigma yang dianut keduanya.Aristoteles dan Newton mengadopsi asumsi ontologis yang berbeda tentang semesta.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan konstruktivis.Pendekatan ini termasuk dalam post-positivisme interpretif, tetapi memiliki kekhususan.Konstruktivis sebagaimana intepretif, menolak objektivitas.Objektvitas sebagaimana dianut oleh positivis mengakui adanya fakta, adanya realitas empirik, sedangkan konstruktivist berpendapat bahwa yang ada adalah pemaknaan kita tentang di luar diri yang kita konstruk, empirical-constructed facts(Adian,2002:27).

Ilmu dan kebenaran itu dibangun, sifatnya pluralistik dan plastis.Disebut pluralistik karena realitas dapat diekspresikan dengan beragam simbol dan beragam sistem bahasa.Disebut plastis karena realitas itu tersebar dan terbentuk sesuai dengan tindakan perilaku manusia yang berkepentingan.Menggantikan teori ilmu, para konstruktivis menawarkan fungsi instrumental dan fungsi praktis


(17)

dalam mengkonstruk pengetahuan.Para konstruktivis adalah anti esensialis, dan mereka berasumsi bahwa self evidence apapun itu merupakan produk praktik diskursus yang sangat kompleks.

Konstruksi personal diatur atau diorganisasi ke dalam skema interpretative yang akan mengindentifikasi suatu objek dan menempatkan objek itu ke dalam suatu kategori. Dengan skema interpretatif ini, kita juga dapat merasakan suatu peristiwa dengan menempatkannya ke dalam kategori yang lebih besar.Skema interpretatif ini berkembang seiring dengan tingkat kedewasaan seseorang, bersifat lebih kompleks dan spesifik.

2.2 Kajian Pustaka

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001:39).Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi, dan proposisiyang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).

Adapun kerangka teori yang relevan dengan penelitian ini adalah Efektivitas Komunikasi Antarpribadi, Komunikasi nonverbal, Teori Interaksionisme Simbolik serta Tunawicara.

2.2.1 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal adalah proses yang dijalani oleh seorang individu atau lebih pada saat menyampaikan isyarat-isyarat nonverbal yang memiliki potensi untuk merangsang makna dalam pikiran individu atau individu-individu lain (Lubis, 2008:35). Untuk merumuskan pengertian komunikasi nonverbal, biasanya ada beberapa defenisi:

 Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

 Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara.


(18)

 Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang yang diberi makna oleh orang lain.

 Komunikasi nonverbal adalah suatu mengenai ekspresi, wajah, sentuhan, waktu, gerak, isyarat, bau, perilaku, mata dan lain-lain.

Biasanya orang-orang yang melakukan bahasa isyarat mengkombinasikannya dengan bentuk tangan, orientasi dan gerak tangan, lengan, dan tubuh, serta ekspresi wajah untuk mengungkapkan pikiran mereka. Pada umumnya ada banyak peranan bahasa isyarat dalam berkomunikasi, diantaranya (http:// www.kompasiana.com/bahasa-isyarat.html):

 Sebagai alat melindungi diri sendiri dengan membuat suatu tanda bagi si pelaku agar mampu melawan musuhnya.

 Sebagai faktor pendukung bagi si pengguna, yang berarti bahasa isyarat yang digunakan dapat mendukung si pengguna dalam berkomunikasi dengan orang lain.

 Sebagai alat komunikasi antara orang-orang tunarungu dan tunawicara.  Sebagai dasar yang fundamen untuk mengajarkan orang-orang yang

kurang normal misalnya bagi tunarungu dan tunawicara.

Bahasa non verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan dalam presentasi, dimana penyampaiannya bukan dengan kata-kata ataupun suara tetapi melalui gerakan-gerakan anggota tubuh yang sering dikenal dengan istilah bahasa isyarat atau body language. Selain itu juga, penggunaan bahasa non verbal dapat melalui kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan pengunaan simbol-simbol.

Menurut Drs. Agus M. Hardjana, M.Sc., Ed dalam Adityawarman (2000) menyatakan bahwa: Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk non verbal, tanpa kata-kata. Menurut Adityawarman (2000) komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa menggunakan kata-kata. Resberry (2004) mengatakan bahwa komunikasi nonverbal adalah tindakan dan perilaku manusia dan makna. Sedangkan menurut Atep Adya Barata mengemukakan bahwa: Komunikasi non verbal yaitu komunikasi yang diungkapkan melalui pakaian dan setiap kategori benda lainnya (the object


(19)

language), komunikasi dengan gerak (gesture) sebagai sinyal (sign language), dan komunikasi dengan tindakan atau gerakan tubuh (action language).

Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara. Para ahli di bidang komunikasi nonverbal biasanya menggunakan definisi "tidak menggunakan kata" dengan ketat, dan tidak menyamakan komunikasi non-verbal dengan komunikasi nonlisan. Contohnya, bahasa isyarat dan tulisan tidak dianggap sebagai komunikasi nonverbal karena menggunakan kata, sedangkan intonasi dan gaya berbicara tergolong sebagai komunikasi nonverbal. Komunikasi nonverbal juga berbeda dengan komunikasi bawah sadar, yang dapat berupa komunikasi verbal ataupun nonverbal. Dalam faktanya penelitian telah menunjukkan bahwa 80% komunikasi antara manusia dilakukan secara non verbal. Banyak interaksi dan komunikasi yang terjadi dalam masyarakat yang berwujud nonverbal. Komunikasi nonverbal ialah menyampaikanarti (pesan) yang meliputi ketidakhadiran simbol-simbol suara atau perwujudan suara. Salah satu komunikasi non verbal ialah gerakan tubuh atau perilaku kinetik, kelompok ini meliputi isyarat dan gerakan serta mimik. Cara seseorang memuntir rambut atau menyentuh hidung, cara seseorang melipat tangan atau menyilangkan kaki, mengungkapkan banyak hal tentang diri seseorang dan orang lain di sekitarnya. Apakah seseorang menggoda kita dari seberang ruangan? Jika demikian kita dapat memberitahu padanya bahwa kita sebagai perempuan tertarik dengan menggerai rambut kita ke belakang atau menggoyangkan kaki. Jika ia mengibaskan jaketnya atau membenarkan mansetnya, ia tertarik pada diri kita.

Di sebuah wawancara kerja, postur tubuh Anda mengatakan lebih banyak hal tentang Anda dibandingkan surat lamaran atau resume itu sendiri. Cara seseorang duduk, tersenyum, dan menggunakan tangan mengatakan banyak hal tentang orang tersebut. Apakah orang tersebut bersikap terbuka atau menyembunyikan sesuatu. Dengan mengetahui apa arti bahasa tubuh, kita dapat


(20)

melihat perasaan seseorang yang sebenarnya, walau pun mereka tidak ingin mengatakannya kepada kita. Bahasa tubuh kedengarannya seperti sebuah kontradiksi. Kita biasanya berbicara melalui mulut. Namun penelitian makin menemukan bahwa bahasa tubuh itu benar-benar sebuah bahasa. Mungkin dapat dibayangkan kata-kata dan kalimat-kalimat yang terdiri dari gerak isyarat tubuh disengaja dan tanda-tanda dari alam bawah sadar yang tidak disadari. Beberapa diantaranya merupakan gerakan-gerakan gugup yang cepat, merupakan tanda-tanda kecil yang hanya dapat ditangkap melalui pengawasan yang cermat. Sebuah gerakan tubuh seperti menjabat tangan seseorang adalah sebuah kata.

Sederetan gerakan tubuh yang berkesinambungan yang sering disebut kelompok, adalah kalimat. Contoh seorang pria yang sedang berhadap-hadapan dengan wanita, pandangannya lurus kepada wanita. Tangannya bergerak-gerak mendekati tangan wanita. Tidak ada keraguan dan rahasia dalam kaliamat yang ia ucapkan : “Saya suka kamu, dan saya ingin dekat dengan kamu”. Bahasa tubuh dapat memberi tekanan atau berlawanan dengan apa yang sedang kita ucapkan. Jika anda harus bersikap sopan terhadap seseorang yang tidak anda sukai mungkin anda mengucapkan kata-kata yang benar, namun tubuh anda memberontak. Mungkin anda menjabat tangan mereka sebentar mungkin, atau mencoba menghindar dari tatapan mata. Disini bahasa tubuh berlawanan dengan bahasa ucapan. Anda mengirimkan 2 macam tanda yang berbeda. Bahasa ucapan mengatakan “saya suka kamu”; bahasa tubuh mengatakan “saya tidak suka kamu”. Jika si penerima mengerti bahasa tubuh, ia tidak akan terkelabui. Kecuali, jika anda seorang pemakai bahasa tubuh yang ulung dan mengetahui bagaimana caranya supaya anda terlihat benar berperasaan positif. Hanya seorang yang ahli sekali dalam bahasa tubuh yang dapat melihat tanda-tanda yang sangat kecil yang mengungkapkan perasaan anda yang sesunggguhnya.

Dalam kehidupan anak misalnya, anak-anak belajar beberapa hal tentang bahasa tubuh pada saat mereka tumbuh dan berkembang. Pada umur sepuluh, mereka tahu bahwa jika mereka berbohong dan tidak ingin mengaku, mereka harus mencoba untuk tidak menunduk dan melihat ke bawah atau tidak menutup bibir dengan tangan mereka. Kita semua memiliki beberapa pemahaman tentang bahasa tubuh, kecuali jika kita buta emosi. Kita tidak perlu mempunyai ijasah


(21)

dalam ilmu psikologi untuk mengetahui bahwa seorang wanita yang memegangi kepalanya dengan tangannya sedang tidak bergembira. Makin akrab situasinya, makin banyak kita membuka diri yang sesungguhnya, makin banyak yang akan diungkapkan melalui bahasa tubuh kita, meskipun sering kali diluar kehendak kita. Kadang, tubuh kita menceritakan kebenaran yang tidak kita ketahui, dan tidak siap kita terima.

Tindakan non-verbal sangat erat kaitannya dengan konteks budaya. Salah mengartikan tindakan non verbal dari orang-orang dengan budaya yang berbeda merupakan hal yang umum terjadi. Misalnya di Irak, jangan pernah berpikir bahwa mengacungkan jempol di Irak berarti wujud ekspresi dari sambutan hangat atau apresiasi positif terhadap seseorang karena di Irak tanda acungan jempol itu sama artinya dengan tanda mengacungkan jari tengah di Amerika dan masih banyak contoh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak komunikasi non-verbal yang sifatnya universal, banyak tindakan non-verbal yang dibentuk oleh budaya.

Dalam terminologinya, komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara. Sejak lahir hingga akhir hayat manusia, komunikasi non verbal merupakan sistem simbol yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bayi mulai memahami kata-kata ketika umur 6 bulan, akan tetapi sebelum usia tersebut sebenarnya ia sudah mengerti komunikasi non verbal. Walaupun komunikasi nonverbal bersifat omnipresent (ada di mana-mana) namun ia merupakan resep penting dalam interaksi manusia.

Komunikasi non verbal meliputi semua stimulus non verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima. Adapun batasan, proses serta peranannya dapat disederhanakan sebagai berikut:


(22)

1. Pesan yang disengaja dan yang tidak disengaja

Terkadang kita mengirimkan pesan non verbal secara tidak sengaja, misalnya mengerutkan dahi karena silaunya matahari, mungkin membuat seseorang salah mengerti bahwa anda marah.

2. Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Komunikasi non verbal merupakan aktivitas multidimensi artinya komunikasi non verbal tidak terjadi sendiri, namun biasanya dengan pesan verbal, misalnya tindakan menggeleng disertai dengan kata-kata tidak dan lain sebagainya.

Karena pembelajaran komunikasi non verbal sudah menjadi bagian dari “budaya popular” maka banyak orang memandang remeh dan menyalahartikan pelajaran yang kompleks ini, sehingga dalam topik ini akan dibahas beberapa masalah penting dan konsep yang potensial tentang komunikasi non verbal ini, yaitu:

1. Komunikasi Nonverbal dapat Bersifat Ambigu

Terkait dengan pesan yang disengaja dan tidak disengaja, kita perlu menyadari bahwa komunikasi nonverbal dapat memiliki derajat ambiguitas/bermakna ganda, dimana tindakan nonverbal yang kita ekpresikan dapat ditafsirkan berbeda oleh orang lain. Sebagian ambiguitas ini terjadi karena komunikasi non verbal berdasarkan konteks.Misalnya ketika kita sedang berjalan dan tiba-tiba seseorang menyenggol kita dari arah belakang dan untuk motifnya kita sendiri tidak bisa langsung mengetahui apakah hal tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal dapat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya: latar belakang budaya, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, gender, usia, dan juga kecenderungan pribadi. Artinya tidak semua orang dalam budaya tertentu melakukan tindakan non verbal yang sama.

3. Komunikasi nonverbal bersifat kontekstual

Situasi atau informasi yang berbeda akan menghasilkan pesan non verbal yang bebeda pula. Misalnya bagaimana kita bertingkah laku ketika


(23)

sedang berada di rumah akan berbeda dengan tindakan yang kita lakukan ketika sedang berada di tempat umum, dan lain sebagainya

Jadi, dengan adanya bahasa isyarat orang-orang yang mempunyai kebutuhan khusus, misalnya orang-orang tunawicara, dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Mereka dapat mengeluarkan perasaannya, pendapatnya, dan sebagainya, dalam bahasa isyarat.

2.2.3.1 Bentuk-bentuk komunikasi nonverbal

Dalam kehidupan sehari-hari penggunaan bahasa non verbal sering digunakan oleh seseorang, seperti menganggukan kepala yang berarti setuju, menggelengkan kepala yang berarti tidak setuju, melambaikan tangan kepada orang lain yang berarti seseorang tersebut sedang memanggilnya untuk datang kemari, menunjukkan jari kepada orang lain diikuti dengan warna muka merah berarti ia sedang marah, gambar pria dan wanita di sebuah toilet berarti seseorang boleh masuk sesuai dengan jenisnya.

Bentuk-bentuk komunikasi non verbal terdiri dari tujuh macam yaitu (Adityawarman, 2000:137):

1. Komunikasi visual

Komunikasi visual merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan berupa gambar-gambar, grafik-grafik, lambang-lambang, atau simbol-simbol.

Dengan menggunakan gambar-gambar yang relevan, dan penggunaan warna yang tepat, serta bentuk yang unik akan membantu mendapat perhatian pendengar. Dibanding dengan hanya mengucapkan kata-kata saja, penggunaan komunikasi visual ini akan lebih cepat dalam pemrosesan informasi kepada para pendengar.

2. Komunikasi sentuhan

Ilmu yang mempelajari tentang sentuhan dalam komunikasi non verbal sering disebut Haptik. Sebagai contoh: bersalaman, pukulan, mengelus-ngelus, sentuhan di punggung dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk komunikasi yang menyampaikan suatu maksud/tujuan tertentu dari orang yang menyentuhnya.


(24)

3. Komunikasi gerakan tubuh

Kinesik atau gerakan tubuh merupakan bentuk komunikasi non verbal, seperti, melakukan kontak mata, ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh. Gerakan tubuh digunakan untuk menggantikan suatu kata yang diucapkan. Dengan gerakan tubuh, seseorang dapat mengetahui informasi yang disampaikan tanpa harus mengucapkan suatu kata. Seperti menganggukan kepala berarti setuju.

4. Komunikasi lingkungan

Lingkungan dapat memiliki pesan tertentu bagi orang yang melihat atau merasakannya. Contoh: jarak, ruang, temperatur dan warna. Ketika seseorang menyebutkan bahwa ”jaraknya sangat jauh”, ”ruangan ini kotor”, ”lingkungannya panas” dan lain-lain, berarti seseorang tersebut menyatakan demikian karena atas dasar penglihatan dan perasaan kepada lingkungan tersebut.

5. Komunikasi penciuman

Komunikasi penciuman merupakan salah satu bentuk komunikasi dimana penyampaian suatu pesan/informasi melalui aroma yang dapat dihirup oleh indera penciuman. Misalnya aroma parfum bulgari, seseorang tidak akan memahami bahwa parfum tersebut termasuk parfum bulgari apabila ia hanya menciumnya sekali.

6. Komunikasi penampilan

Seseorang yang memakai pakaian yang rapi atau dapat dikatakan penampilan yang menarik, sehingga mencerminkan kepribadiannya. Hal ini merupakan bentuk komunikasi yang menyampaikan pesan kepada orang yang melihatnya. Tetapi orang akan menerima pesan berupa tanggapan yang negatif apabila penampilannya buruk (pakaian tidak rapi, kotor dan lain-lain).

7. Komunikasi citarasa

Komunikasi citarasa merupakan salah satu bentuk komunikasi, dimana penyampaian suatu pesan/informasi melalui citrasa dari suatu makanan atau minuman. Seseorang tidak akan mengatakan bahwa suatu makanan/minuman memiliki rasa enak, manis, lezat dan lain-lain, apabila


(25)

makanan tersebut telah memakan/meminumnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa citarasa dari makanan/minuman tadi menyampaiakan suatu maksud atau makna.

Rosenblatt dalam Adityawarman (2000:227) menyatakan bahwa budaya mengajarkan kita tindakan non verbal apa yang ditunjukkan, arti dari tindakan tersebut dan latar belakang kontekstual dari tindakan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam interaksi komunikasi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal, kita tida hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan selama interaksi, namun kita juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan dan nilai yang mendasarinya.

2.2.3.2Fungsi Komunikasi Nonverbal

Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal mempunyai beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal(Mulyana, 2003:315), seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai :

Emblem, gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan “Saya tidak sungguh-sungguh”.

 Ilustrator, pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.

 Regulator, kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan berkomunikasi.

 Penyesuaian, kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan respons yang tidak disadari yang merupakanupaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.

Affect Display, pembesaran manik mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut atau senang.

Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut (Mulyana, 2003:315):


(26)

 Perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal, misalnya anda mengganggukkan kepala ketika mengatakan “ya”, atau menggelengkan kepla ketika mengatakan “tidak”.

 Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal. Misalnya melambaikan tangan seraya mengucapkan “selamat tinggal”.

 Perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal, jadi berdiri sendiri. Misalnya menggantikan kata-kata haru dengan linangan air mata.  Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. Misalnya melirik

kearah jam tangan menjelang kuliah berakhir, sehingga dosen menyadari untuk mengakhiri perkuliahan.

 Perilaku nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal. Misalnya seorang dosen menyatakan kalau dia memiliki waktu untuk berbicara kepada seorang mahasiswa, tetapi matanya berulangkali menatap kearah jam tangannya

2.2.3.3 Klasifikasi Pesan Nonverbal

Berdasarkan analisis Edward T.Hall dan Bridstell, pesan nonverbal digolongkan menjadi empat jenis umum, yaitu kinesik, prosemik danparalinguistik (Liliweri, 2003:193). Pesan nonverbal yang terdapat dalam pola komunikasi di penelitian ini terdiri dari:

1. Kinesik

Bidang yang menelaah bahasa tubuh adalah kinesika (kinesics), suatu istilah yang diciptakan seorang perintis studi bahasa nonverbal, Ray L.Birdwhistell.Ray menggunakan linguistik sebagai model bagi studi kinesik. Istilah popular untuk kinesik adalah bahasa tubuh (body language), dan Birdwhistel membuat daftar tujuh asumsi yang menjadi dasar teorinya mengenai bahasa tubuh (Morissan, 2013: 143):

1. Setiap gerakan tubuh memiliki potensi makna dalam konteks komunikasi. Orang selalu dapat memberikan makna terhadap setiap aktivitas tubuh. 2. Perilaku dapat dianalisis karena perilaku terorganisasi, dan organisasi


(27)

3. Walaupun aktivitas tubuh memiliki keterbatasan biologis, namun penggunaan gerak tubuh dalam interaksi dianggap sebagai bagian dari sistem sosial. Kelompok masyarakat yang berbeda menggunakan gerakan tubuh yang juga berbeda.

4. Orang dipengaruhi oleh gerak tubuh orang lain yang dilihatnya.

5. Cara-cara gerak tubuh yang berfungsi dalam komunikasi dapat dipelajari. 6. Makna yang ditemukan dalam riset bahasa tubuh diperoleh melalui studi

perilaku dan juga metode riset yang digunakan.

7. Gerak tubuh seseorang memiliki keunikan namun ia tetap menjadi bagian dari sistem sosial yang lebih besar yang diterima bersama.

Menurut Ekman dan Friesen, semua perilaku nonverbal dapat dikelompokkan ke dalam satu dari lima tipe tergantung pada sumber perbuatan (origin), penandaan atau koding dan penggunaannya. Kelima tipe itu adalah (Morissan, 2013:146-147):

1. Emblem. Tipe pertama adalah “emblem” yang secara verbal dapat diterjemahkan orang lain dengan makna yang agak tepat. emblem digunakan dengan cara tertentu untuk menyampaikan suatu pesan tertentu. Misalnya menunjukkan jari tangan sehinga membentuk huruf “V” adalah tanda “kemenangan” atau mengacungkan jempol sebagai tanda “bagus”. Emblem yang muncul dari budaya dapat bersifat acak atau memiliki kemiripan dengan objek yang diwakilinya.

2. Ilustrator. Tipe kedua disebut dengan “illustrator” yang akan digunakan untuk menggambarkan apa yang dikatakan secara verbal, bersifat sengaja (intentional) walaupun kita tidak selalu menyadarinya secara langsung. Misalnya menggambarkan bentuk tertentu dengan jari di udara. llustrator dalam penggunaannya dapat bersifat informative dan komunikatif dan terkadang interaktif.

3. Adaptor. Tipe ketiga perilaku nonverbal adalah “adaptor” yang berfungsi untuk membantu meredakan ketegangan tubuh, misalnya: menggaruk kepala atau menggoyangkan kaki. Dalam hal ini terdapat beberapa jenis adaptor yaitu:


(28)

a. Pertama, adaptor yang ditujukan kepada tubuh sendiri (self-adaptor) seperti menggaruk, menepuk, meremas dan menggenggam.

b. Kedua, adaptor pengganti (alter-adaptor) adalah perilaku yang ditujukan kepada tubuh orang lain seperti menepuk punggung seseorang.

c. Ketiga adalah adaptor objek (object-adaptor) yaitu perilaku kepada benda seperti memainkan pena di jari-jari tangan.

Perilaku adaptor dapat bersifat ikonik atau intrinsik namun jarang bersifat disengaja, dan orang terkadang tidak sadar dengan perilakunya sendiri.Walaupun jarang bersifat komunikatif, namun kadang-kadang interaktif dan sering kali informatif.

4. Regulator. Tipe keempat perilaku nonverbal adalah “regulator” yang digunakan untuk mengontrol atau mengoordinasikan interaksi. Misalnya, kita menggunakan kontak mata dalam percakapan untuk menunjukkan perhatian kepada lawan bicara. Regulator utamanya bersifat interaktif, intrinsik dan ikonik serta berasal dari pembelajaran budaya (cultural learning).

5. Penunjukan perasaan. Tipe kelima adalah penunjukan perasaan (affect display) yaitu perilaku menunjukkan perasaan atau emosi. Wajah adalah sumber penunjukkan perasaan yang kaya, namun bagian tubuh lainnya juga memiliki peran penting. Perilaku menunjukkan perasaan bersifat intrinsik, komunikatif, interaktif, dan selalu informatif.

Setiap anggota tubuh seperti wajah (termasuk senyuman dan pandangan mata), tangan, kepala, kaki dan simbolik.Karena kita hidup, semua anggota badan kita senantiasa bergerak. Dalam pelajaran pesan nonverbal dikenal beberapa jenis kinesik yaitu:

 Ekspresi wajah

Berbagai penelitian melaporkan bahwa emosi dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah karena wajah dianggap sangat kuat menampilkan ‘keadaan dalam’ seseorang yang membuat orang lain dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sylvan S.Tomkins menemukan sekurang-kurangnya ada 8 (delapan) dasar emosi wajah yang mencengangkan, yakni emosi yang menyatakan surprise, minat,


(29)

gembira, gusar, takut, jijik atau muak, malu dan kesedihan yang mendalam (Liliweri, 2003:196).

Wajah manusia menyimpan banyak sekali misteri.Para ahli psikologi menyebut wajah dan ekspresi wajah sebagai the organ of emotion. Karena tanda-tanda yang ada di wajah berkaitan dengan perasaan manusia,d an tanda-tanda-tanda-tanda itu dapat diinterpretasikan oleh orang lain di sekeliling kita. Wajah merupakan kekuatan saluran komunikasi nonverbal yang diterjemahkan atau di-encode oleh pengirim dan kemudian di-decode oleh penerima dengan makna yang berlaku dalam suatu konteks sosial atau budaya tertentu.

 Kontak mata dan pandangan

Kontak mata/cara pandang mata merupakan komunikasi nonverbal yang ditampilkan bersama ekspresi wajah. Tak mengherankan kalau banyak orang menggerakkan alis mata ketika mereka bercakap-cakap karena mereka menganggap bahwa kontak mata yang ditampilkan komunikator akan menarik umpan balik dari komunikan.

Berbagai kebudayaan, pandangan mata kerap kali ditafsirkan sebagai pernyataan tingkat keseriusan perhatian, mendengarkan, melihat, mengerti, melamun, menerawang, bingung, marah, cinta, sayu, menggoda, sensual, menguasai, membiarkan, dan masa bodoh yang semuanya harus ditafsir dalam konteks sosial budaya tertentu (Liliweri, 2003:197).

 Isyarat tangan

Kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.Sebagian orang menggunakan tangan mereka dengan leluasa, sebagaian lagi moderat dan sebagian lagi hemat. Untuk memperteguh pesan verbal mereka, orang-orang Prancis, Italia, Spanyol, Mexico dan Arab termasuk orang-orang yang sangat aktif menggunakan tangan mereka, lebih aktif daripada orang Amerika atau orang Inggris, seakan-akan mereka tidak mau diam. Penggunaan isyarat tangan dan maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya (Liliweri, 2003:197).

Adapun isyarat tangan yang digunakan para difabel tunawicara dalam penelitian ini menjadi bagian dari simbol yang memiliki makna tertentu bagi kelompok tunawicara di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.


(30)

 Postur Tubuh

Postur tubuh sering bersifat simbolik.Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri.beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fisik dan karakter atau tempramen.Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan oleh William Sheldon misalnya menunjukkan hubungan antara bentuk tubuh dan tempramen.Sebagian anggapan mengenai bentuk tubuh dan karakter yang dihubungkannya mungkin sekadar stereotip (Liliweri, 2003:197).

2. Sentuhan

Studi tentang sentuh-menyentuh disebut haptika (haptics).Sentuhan seperti foto, adalah suatu perilaku nonverbal yang multimakna, dapat menggantikan seribu kata. Menurut Heslin (Mulyana,2003:336), terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang sangat impersonal hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut:

 Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi bisnis, misalnya pelayan toko membantu pelanggan memilih pakaian.  Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh

pengharapan, aturan dan praktek sosial yang berlaku, msialnya berjabat tangan.

 Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab, msialnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah.

 Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang meyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut; orang yang sepenuhnya memeluk orang lain; dua orang yang “bermain kaki” di bawah meja; orang eskimo yang saling menggosokkan hidung.

 Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.

Seperti makna pesan verbal, makna pesan nonverbal, termasuk sentuhan, bukan hanya bergantung pada budaya, tetapi juga pada konteks.


(31)

3. Parabahasa

Parabahasa, atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, dialek, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita.Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan atau ketakutan. Terkadang kita bosan mendengarkan pembicaraan orang , bukan karena isi pembicaraannya, melainkan karena cara menyampaikannya yang lamban dn monoton (Mulyana, 2003:337).

Mehrabian dan Ferris dalam Mulyana (2003:338) menyebutkan bahwa parabahasa adalah terpenting kedua setelah ekspresi wajah dalam menyampaikan perasaan atau emosi.menurut formula mereka, parabahasa punya andil 38% dari keseluruhan impak pesan. Oleh karena ekspresi wajah punya andil 55% dari keseluruhan impak pesan, lebih dari 90% isi emosionalnya ditentukan secara nonverbal.

4. Penampilan Fisik

Setiap orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya (model, kualitas bahan, warna) dan juga ornamen lain yang dipakainya, seperti kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan sebagainya. Seringkali orang juga memberi makna tertentu pada karakteristik fisik orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan sebagainya.

Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan dan tujuan pencitraan, semua itu mempengaruhi cara kita berdandan. Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang terhadap pakaian mencerminkan kepribadiannya, apakah ia orang yang konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Kita memang cenderung mempersepsi dan memperlaukan orang yang sama dengan cara yang berbeda bila ia mengenakan pakaian yang berbeda.


(32)

5. Bau-Bauan

Bau-bauan terutama yang menyenangkan (wewangian, seperti deodorant, eau de toilette, eau de cologne, dan parfum) telah berabad-abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan, mirip dengan cara yang juga dilakukan hewan. Kebanyakan hewan menggunakan bau-bauan untuk memastikan kehadiran musuh, menandai wilayah mereka, mengidentifikasi keadaan emosional dan menarik lawan jenis.

Mereka yang ahli dalam wewangian dapat membedakan bau parfum laki-laki dengan parfum perempuan, bau parfum yang mahal dengan bau parfum yang murah. Bau parfum yang digunakan seseorang dapat menyampaikan pesan bahwa ia berasal dari kelas tertentu; kau eksekutif, selebritis atau wanita tunasusila, kelas atas atau kelas bawah. Wewangian dapat mengirim pesan sebagai godaan, rayuan, ekspresi feminimitas atau maskulinitas.Dalam bisnis,wewangian melambangkan kesan, citra, status dan bonafiditas.

6. Orientasi Ruang dan Jarak Pribadi

Setiap budaya punya cara khas dalam mengkonseptualiasikan ruang, baik di dalam rumah, di luar rumah ataupun dalam berhubungan dengan orang lain. Edward T.Hall adalah antropolog yang menciptakan istilah proxemics (proksemika) sebagai studi yang menelaah persepsi manusia atas ruang (pribadi dan sosial), cara manusia menggunakan ruang dan pengaruh ruang terhadap komunikasi (Mulyana, 2003:356). Beberapa pakar lainnya memperluas konsep prosemika ini dengan memperhitungkan seluruh lingkungan fisik yang mungkin berpengaruh terhadap proses komunikasi, termasuk iklim (temperatur), pencahayaan dan kepadatan penduduk.

7. Warna

Kita sering menggunakan warna untuk menunjukkan suasana emosional, cita rasa, afiliasi politik dan bahkan mungkin keyakinan agam kita.Dalam tiap budaya terdapat konvensi tidak tertulis mengenai warna pakaian yang layak dipakai ataupun tidak.Hingga derajat tertentu, tampaknya ada hubungan antara warna yang digunakan dengan kondisi fisiologis dan psikologis manusia,


(33)

meskipun kita memerlukan lebih banyak penelitian untuk membuktikan dugaan ini (Mulyana, 2003:356).

8. Artefak

Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dan pakaian dan penampilan yang telah dibahas sebelumnya (Mulyana, 2003:356). Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung makna-makna tertentu.Bidang studi mengenai ini disebut objektika (objectics).

2.2.2 Interaksionisme Simbolik

Teori interaksionimse simbolik memfokuskan perhatiannya pada cara-cara yang digunakan manusia untuk membentuk makna dan struktur masyarakat melalui percakapan. Interaksi simbolis pada awalnya merupakan suatu gerakan pemikiran dalam ilmu sosiologi yang dibangun oleh George Herbert Mead dan karyanya kemudian menjadi inti dari aliran pemikiran yang dinamakan Chicago School. Interaksi simbolis mendasarkan gagasannya atas enam hal yaitu(Morrisan, 2013: 224-226):

1. Manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya.

2. Kehidupan sosial merupakan proses interaksi, kehidupan sosial bukanlah struktur atau bersifat struktural dan karena itu akan terus berubah.

3. Manusia memahami pengalamannya melalui makna dari simbol yang digunakan di lingkungan terdekatnya atau primary group dan bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial.

4. Dunia terdiri dari berbagai objek sosial yang memiliki nama dan makna yang ditentukan secara sosial.

5. Manusia mendasarkan tindakan atas interpretasi mereka, dengan mempertimbangkan dan mendefenisikan objek-objek dan tindakan yang relevan pada situasi saat itu.


(34)

6. Diri sendiri seseorang adalah objek signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya di defenisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Terdapat tiga konsep penting dalam teori yang dikemukakan Mead ini yaitu masyarakat, diri, dan pikiran. Ketiga konsep tersebut memiliki aspek-aspek yang berbeda namun berasal dari proses umum yang sama yang disebut tindakan sosial, yaitu suatu unit tingkah laku lengkap yang tidak dapat dianalisis ke dalam sub bagian tertentu. Suatu tindakan dapat berupa perbuatan singkat dan sederhana seperti mengikat tali sepatu, atau bisa juga panjang dan rumit seperti pemenuhan tujuan hidup. Sejumlah tindakan berhubungan satu dengan lainnya yang dibangun sepanjang hidup manusia. Tindakan dimulai dengan dorongan hati yang melibatkan persepsi dan pemberian makna, latihan mental, pertimbangan alternatif, hingga penyelesaian.

Dalam bentuknya yang paling dasar, suatu tindakan sosial melibatkan hubungan tiga pihak. Pertama adanya isyarat awal dari gerak atau gesture seseorang, dan adanya tanggapan terhadap isyarat itu oleh orang lain dan adanya hasil. Hasil adalah apa makna tindakan bagi komunikator. Makna tidak hanya semata-mata hanya berada pada salah satu dari ketiga hal tersebut tapi berada dalam satu hubungan segitiga yang terdiri atas ketiga hal tersebut (isyarat tubuh, tanggapan dan hasil).

Menurut paham interaksi simbolis, individu berinteraksi dengna individu lainnya sehingga menghasilkan ide tertentu mengenai diri yang berupaya menjawab pertanyaan siapakah anda sebagai manusia? Manford Kuhn menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Menurutnya, rasa diri seseorang merupakan jantung komunikasi. Diri merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi. Seorang anak bersosialisasi melalui interaksi dengan orang tua, saudara, dan masyarakat sekitarnya. Orang memahami dan berhubungan dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial.

Suatu objek dapat berupa aspek tertentu dari realitas individu apakah itu suatu benda, kualitas, peristiwa, situasi, atau keadaan. Satu-satunya syarat agar sesuatu menjadi objek adalah dengan cara memberikannya nama dan menunjukkannya secara simbolis. Dengan demikian suatu objek memiliki nilai sosial sehingga merupakan objek sosial. Menurut pandangan ini, realitas adalah


(35)

totalitas dari objek sosial dari seorang individu. Bagi Kuhn, penamaan objek adalah penting guna menyampaikan makna suatu objek.

Menurut Kuhn, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain, kita berbicara dengan diri kita sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan diantara benda-benda dan orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu akan menciptakan apa yang disebut Kuhn “suatu rencana tindakan” yang dipandu dengan sikap dan pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap mana tindakan itu akan diarahkan (Morrisan, 2013: 112).

Menurut pandangan interaksi simbolis, makna suatu objek sosial serta sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama lain. Seluruh ide paham interaksionisme simbolik menyatakan bahwa makna muncul melalui interaksi. Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti orang tua atau saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat membantu kita dalam belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita terus memiliki sense of self.

Konsep diri merupakan objek sosial pentingnya didefenisikan dan dipahami berdasarkan jangka waktu tertenu selama interaksi kita dengan orang-orang terdekat. Konsep diri anda tidak lebih dari rencana anda terhadap diri anda, identitas anda, ketertarikan, kebencian, tujuan, ideologi, serta evaluasi diri anda. Konsep diri memberikan acuan dalam menilai objek lain. Seluruh rencana tindakan ini berasal dari konsep diri.

2.2.3 Defenisi dan ruang lingkup difabel

Difabel, berasal dari singkatan berbahasa inggris diffable yang merupakan kependekan dari differenly able atau yang juga sering disebut sebagai different ability.Istilah difabel merupakan sebuah wacana upaya pengganti istilah penyandang disabilitas dan penyandang cacat.Wacana penggunaan istilah difabel


(36)

dimaksudkan untuk memberi sikap positif yang menekankan pada perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau kecacatan baik fisik maupun mental.Istilah ini belum disahkan penggunaannya baik secara nasional maupun internasional (http://www.wikipedia.com/difable).

Diskriminasi terhadap penyandang cacat/Disabilitas/ atau lebih tepatnya disebut difabel masih sering terjadi di tengah-tengah kita. Diskriminasi tersebut masih kita lihat dari cara pandangan (paradigma), perlindungan hukum, perlakuan, pengakuan, hak-hak dalam masyarakat maupun fasilitas umum yang digunakan.Hal ini tidak perlu terjadi apabila pemahaman tentang difabel dapat di terima dan dimengerti secara mendalam dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan pemerintah selaku pemegang kebijakan.Penyandang difabel bukan lah manusia yang perlu dikasihani, mereka hanya membutuhkan cara yang berbeda” untuk belajar, Ruang aktualisasi karya dan sedikit perhatian bersama. Sehingga mereka menjadi manusia yang Berdaya dan mampu bersaing layaknya manusia pada umumnya.

Hal yang paling diskriminatif sangat terlihat di masa tumbuh kembang para difabel tersebut, yakni di masa anak-anak saat mereka duduk di bangku pendidikan.Dalam bahasa baku Indonesia kita dapat menyebut anak-anak difabel dengan istilah Anak Berkebutuhan Khusus atau ABK. Kita putar balik terlebih dahulu bahasa sebutan untuk ABK tersebut. Dahulu orang menyebut “mereka” dengan “Anak Cacat” atau Handicap, kemudian sebutan itu berubah menjadi Anak Luar Biasa atau ALB, dan kemudian disempurnakan menjadi Anak Berkebutuhan Khusus atau Children with Special Needs, dan sekarang dapat disebut different ability people. Seorang anak disebut berkebutuhan khusus jika memiliki kebutuhan khusus untuk menyesuaikan program pendidikan. Hal ini disebabkan karena keadaan mereka yang tidak dapat menerima pendidikan dengan cara biasa akibat dari keterbatasan, ketidakmampuan, maupun kelainan yang mereka miliki.

Difabel jika diartikan lebih luas adalah individu yang dalam proses tumbuh kembang secara signifikan mengalami kelainan atau mengalami penyimpangan secara fisik, mental, sosial, emosional dan atau tingkahlaku dibandingkan individu sebayanya sehingga memerlukan pelayanan pendidikan


(37)

khusus. Faktor penyebabnya dapat terjadi saat di dalam kandungan, saat proses melahirkan, maupun setelah kelahiran. Penyebab saat dalam kandungan misalnya karena keturunan, malnutrisi ibu hamil, penyakit ibu, penyakit atau luka di otak janin, gangguan lingkungan kehamilan, dan lain-lain.Penyebab saat kelahiran dapat terjadi seperti kekurangan oksigen pada sistem syaraf pusat, kelahiran yang dihalangi, kelahiran yang dipaksa, penggunaan alat yang salah, prematuritas, dan lain-lain. Penyebab setelah kelahiran contohnya malnutrisi, penyakit, kekurangan oksigen, kecelakaan, bencana alam, dab lain-lain.Penyempurnaan menjadi difabel dipertimbangkan bahwa individu yang dalam pencapaian tujunnya pendidikannya mengalami hambatan karena perbedaan kemampuan (bukan ketidakmampuan seutuhnya) yang signifikan dari kondisi normal sehingga membutuhkan bantuan dan bimbingan.

Kritik terhadap penggunaan kata difabel adalah dengan menggunakan kata difabel maka akan mengingkari pengalaman pribadi sebagai seorang penyandang cacat. Menurut kelompok ini kecacatan adalah symbol ketertindasan.Selama ini para penyandang cacat hidup dengan diliputi stigma atau prasangka negatif dari masyarakat.Kecacatan oleh masyarakat kita masih sering diidentikan dengan ketidakmampuan, ketidakberdayaan, kerusakan, dan bahkan aib yang harus disembunyikan.Mendapatkan perlakuan yang negatif dari masyarakat tentu telah menciptakan pengalaman pribadi dan selanjutnya memberi warna karakter tersendiri bagi mereka yang disebut sebagai penyandang cacat. Kata difabel yang ditafsirkan dengan makna berbeda kemampuan akan mereduksi pengalaman personal tersebut,karena fokus perhatiannya pada kemampuan yang berbeda bukan pada kecacatannya itu sendiri. Sehingga seringkali seorang difabel menjadi individu yang luar biasa atau bahkan dibawah rata – rata orang pada umumnya karena kemampuan yang dimilikinya. Sebagai missal; seorang yang tidak memiliki tangan atau kedua tangannya tidak berfungsi, sehingga ia harus melakukan aktifitas kesehariannya dengan mulut dan kakinya. Maka orang tersebut dipandang oleh masyarakat sebagai individu yang memiliki kemampuan luar biasa.

Selanjutnya kata difabel dihadirkan sebagai kata alternatif untuk menyebutkan orang-orang yang dipandang memiliki kelainan dan kekurangan


(38)

fisik.Meski kata difabel sudah banyak digunakan oleh beberapa golongan, namun kata tersebut belum diakui secara resmi oleh pemerintah.Sehingga dalam penulisan resmi masih menggunakan kata penyandang cacat.Pada tanggal 31 Maret 2010, Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah menyelenggarakan lokakarya untuk menyepakati penggunaan istilah Penyandang Disabilitas sebagai pengganti kata Penyandang Cacat.Lokakarya yang diselenggarakan di Bandung tersebut diikuti oleh 26 peserta dengan 7 peserta dari perwakilan difabel. Kesepakatan penggunaan istilah Penyandang Disabilitas didasarkan pada 15 alasan:

1. Mendeskripsikan secara jelas sujek yang dimaksud dengan istilah 2. Mendeskripsikan fakta nyata

3. Tidak mengandung unsure negative 4. Menumbuhkan semangat pemberdayaan 5. Memberikan inspirasi hal- hal positip

6. Istilah belum digunakan oleh pihak lain mencegah kerancuan istilah 7. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian

8. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara tepat 9. Bersifat representative untuk kepentingan reatifikasi konvensi 10. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional 11. Memperhatikan prespektif linguistik

12. Sesuai prinsip-prinsip Hak Azasi Manusia

13. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis

14. Menggambarkan adanya hak perlakuan khusus 15. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat

Tentunya penggunaan kata penyandang disabilitas layak untuk dikaji ulang khususnya yang menyangkut tentang peran komunitas dalam menentukan istilah tersebut dan juga dampak positif yang timbulkan dari pergantian istilah penyandang cacat menjadi penyandang disabilitas.Mengambil begitu saja istilah dari luar kemudian menyesuaikan dengan kata di Indonesia tanpa mempertimbangkan aspek budaya, sosial, dan psikologis tentu merupakan tindakan yang kurang tepat.Apalagi kata disabilitas, ditingkat internasional juga


(39)

masih mengundang kontroversi, sehingga banyak aktivis difabel international yang mengusulkan istilah yang lebih manusiawi; misalkan people with mobility problem,people with learning difficulties, dan lain sebagainya.

2.2.3.1 Kategori Kelompok Difabel

Bagi mereka yang tidak sepakat dengan penggunaan kata difabel, berpendapat bahwa kata tersebut hanya tak lebih dari sebuah euphemism, tidak kontekstual, dan susah dicerna bagi sebagian masyarakat Indonesia yang masih banyak belum melek huruf. Kata cacat menurut kelompok ini lebih tegas, lugas, dan jelas.Bagi kelompok ini, kata difabel tidak memiliki difinisi dan kreteria yang jelas.Difabel dapat ditafsirkan lebih luas dan juga dapat ditafsirkan menjadi sangat sempit.Kategori difabel sangat luas karena difabel dengan makna orang yang berbeda kemampuan, maka setiap orang memiliki perbedaan entah mereka memiliki kekurangan atau kelainan fisik atau tidak.Karena setiap individu diciptakan dengan karakteristik dan keunikan yang khas antara satu dengan yang lainnya.

Kategori siapa-siapa sajakah mereka yang disebut difabel menurut Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006: 43) dan Pembinaan Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Tunanetra

2. Tunarungu-wicara

3. Tunagrahita (a.l. Down Syndrome) 4. Tunagrahita Ringan (IQ 50-70) 5. Tunagrahita Sedang (IQ 25-50) 6. Tunagrahita Berat (IQ <25) 7. Tunadaksa

8. Tunalaras (Dysruptive) 9. Tunaganda

10. Penderita HIV/AIDS

11. Gifted (Potensi kecerdasan istimewa IQ >125), Talented (Potensi bakat istemewa: multiple intelligences: Language, Logico mathematic,


(40)

Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal, Intrapersonal, Natural, Spiritual)

12. Kesulitan Belajar termasuk diantaranya Hiperaktif, ADHD, dan Berkesulitan Belajar Spesifik – dyslexia/baca, dysgraphia/tulis, dyscalculia/hitung, dysphrasia/bicara, dyspraxia/motorik.

13. Lambat Belajar (underachiever denganIQ 70-90) 14. Autis

15. Penderita penyalahgunaan Narkoba 16. Indigo

2.2.3.2 Perlindungan untuk kelompok difabel

Seperti yang telah dijelaskan di atas, istilah difabel merupakan pengindonesiaan dari kependekan different abilities people(orang dengan kemampuan yang berbeda). Melalui istilah difabel ini, masyarakat diajak untuk merekonstruksi nilai-nilai sebelumnya, yang semula memandang kondisi cacat atau tidak normal sebagai kekurangan atau ketidakmampuan menjadi pemahaman terhadap difabel sebagai manusia dengan kondisi fisik berbeda yang mampu melakukan aktivitas dengan cara dan pencapaian yang berbeda pula.Melalui pemahaman baru ini diharapkan masyarakat tidak lagi memandang para difabel sebagai manusia yang hanya memiliki kekurangan dan ketidakmampuan.Sebaliknya, para difabel, sebagaimana layaknya manusia umumnya, juga memiliki potensi dan sikap positif terhadap lingkungannya.

Menilik dari berbagai permasalahan diskriminasi yang dialami oleh difabel, maka pihak pemerintah Indonesia pun memiliki regulasi ataupun Undang-Undang yang mengatur mengenai hak khusus yang dimiliki oleh kelompok ini, khususnya yang berkaitan dengan bidang pendidikan, yakni:

1. UUD 1945 Pasal 28 C (1)

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”


(41)

2. UUD 1945 Pasal 31 (1)

“Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” 3. Pasal 1 (2) UU Sisdiknas

“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilaiagama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahanzaman”

4. Pasal 4 (1) UU Sisdiknas

“Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidakdiskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilaikultural, dan kemajemukan bangsa”

5. Pasal 5 UU Sisdiknas mengenai Hak dan Kewajiban Warga Negara “(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikanyang bermutu.”

“(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.”

2.2.3.3 Implementasi UU dalam kehidupan sehari – hari

Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi.Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel (different ability). Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan. Hak pendidikan adalah merupakan bagian dari Hak Ekosob (Ekonomi, Sosial, Budaya).Negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk memenuhi (fulfill), menghormati (to respect), dan melindungi (to protect) setiap hak pendidikan yang dimiliki oleh setiap warga negaranya.Termasuk hak pendidikan untuk penyandang cacat. Pada pasal 28 C Undang-undang Dasar 1945 pun dikatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan


(42)

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia, sehingga jelas disini kewajiban generic negara dalam pemenuhan hak pendidikan adalah memfasilitasi (to facilitate), memajukan (to promote), menyediakan (to provide).

UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum.UU No. 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa.Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai model inklusi.Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para difabel dan masyarakat pada umumnya. Sayangnya, belum banyak difabel yang mengakses sekolah model inklusi akibat minimnya informasi mengenai sekolah inklusi, ketiadaan biaya, infrastruktur yang kurang mendukung serta kondisi kultural budaya yang cenderung ‘menyembunyikan’ anak difabel karena dianggap sebagai aib.

2.2.3.4 Layanan Pemenuhan Kebutuhan Difabel Khususnya Anak

Keberadaan difabel sebenarnya telah ada sejak zaman purba yang masih primitif, sampai zaman yang paling mutakhir, yang ditandai dengan kecanggihan teknologi.Pada awalnya, perlakuan terhadap difabel sangat menyedihkan.Perlakuan menyedihkan tersebut seringnya dikarenakan pengaruh mistik dan berbagai kepercayaan.Seringnya yang terjadi adalah difabel dikucilkan, disembunyikan, dipasung, bahkan ada yang dimusnahkan ketika masih bayi.Layanan terhadap difabel dapat ditelusuri mulai abad ke-16 di Spanyol seorang anak tunarungu sejak lahir berhasil dididik.Di Amerika layanan ini baru mulai pada tahun 1817, dan di Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 1901. Penyediaan layanan bagi difabel di Indonesia tidak semaju di negara lain. Namun, tidak dipungkiri masyarakat dan pemerintah mulai mendirikan Sekolah-sekolah


(43)

Luar Biasa dan yayasan-yayasan yang menyediakan layanan akan kebutuhan khusus mereka terutama dalam hal pendidikan. Perkembangan akan jumlah Sekolah Luar Biasa yang dapat menampung difabel agar dapat bersekolah atau mendapat layanan pendidikan memang sangat menggembirakan meskipun peran swasta lebih dominan dalam penyediaan layanan bagi difabel. Menjelang tahun 90-an pemerintah mulai menunjukkan perhatian yang ditujukan untuk membantu difabel yang berada di sekolah biasa. Perhatian ini terwujud dalam berbagai penelitian tentang keberadaan dan prevalensi difabel dan berbagai program pelatihan serta modifikasi kurikulum untuk membantu difabel yang berada di sekolah biasa yang pada saat ini lebih dikenal dengan sekolah inklusi.

Pentingnya layanan pemenuhan kebutuhan difabel sebenarnya tidak terlalu berbelit-belit.Layanan pemenuhan kebutuhan yang diberikan untuk difabel lebih diperuntukkan untuk kemandirian difabel agar mereka dapat bertahan hidup dan memiliki kecakapan hidup setidaknya untuk diri mereka sendiri.Pelayanan bagi difabel pada dasarnya merupakan jasa yang diberikan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan para difabel.Kebutuhan tersebut dapat terdiri dari kebutuhan fisik dan kesehatan, kebutuhan yang berkaitan dengan emosional-sosial, dan kebutuhan pendidikan.Tersedianya pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan difabel merupakan faktor kunci bagi perkembangan difabel.

Kebutuhan fisik dan atau kesehatan berkaitan dengan sarana dan atau fasilitas yang dibutuhkan yang berkaitan dengan kondisi fisik/kesehatan penyandang difabel, seperti tongkat, alat bantu dengar, lift, atau jalan miring sebagai pengganti tangga dan pelayanan kesehatan secara khusus. Kebutuhan sosial emosional berkaitan dengan bantuan yang diperlukan oleh penyandang difabel dalam berinteraksi dengan lingkungan, terutama ketika menghadapi situasi atau keadaan penting dalam hidup, seperti situasi pada masa remaja, masa perkawinan, atau mempunyai bayi.Kebutuhan pendidikan berkaitan dengan bantuan pendidikan khusus (baik secara akademik maupun non akademik dan keterampilan hidup) yang diperlukan sesuai dengan perbedaan kemampuan yang dimiliki penyandang difabel.

Penyandang difabel juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya, yaitu mempunyai hak untuk mendapat pendidikan,


(1)

2. Hambatan yang sering kali dialami oleh para pasangan tunawicara yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sikap diri, kepribadian dan juga perbedaan karakter antara pasangan. Penggunaan pola komunikasi nonverbal berupa gerakan isyarat tangan bukanlah menjadi sebuah hambatan karena mereka sudah mempelajari bahasa ini sejak dari usia dini. Pada pasangan suami istri Bernat Ginting dan Berti Simangunsong, hambatan komunikasi diantara keduanya cukup sering terjadi, dikarenakan sifat Bernat yang temperamental dan Berti yang introvert yang pada akhirnya menimbulkan konflik diantara keduanya. Hambatan komunikasi yang timbul umumnya akibat tidak adanya kesamaan ide ataupun pendapat mengenai suatu hal, bukan dikarenakan ketidakmengertian akan simbol-simbol atas gerakan yang digunakan dalam berkomunikasi. Untuk kelima pasangan lainnya yakni Benny Sinuraya dan Sarah Br. Sebayang, Junaedi Purba dan Lilis br. Silalahi, Jenny Rahmi dan Sudarmanto, Susanto Ginting dan Rosmeri br. Sinulingga serta Rio Bravo Sembiring dan Yohana Silalahi, hambatan yang tercipta diantara mereka tidak terlalu banyak, konflik pun jarang terjadi karena mereka adalah tipekal pasangan yang cukup saling memahami satu sama lainnya. Diantara keenam pasangan, memang hanya satu pasangan saja yang peneliti temui yang mengalami banyak konflik dalam rumah tangga nya yakni Bernat dan Berti.

5.2 Saran responden penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah peneliti peroleh selama melakukan penelitian, para responden mengajukan saran:

1. Agar penggunaan bahasa isyarat ini lebih disosialisasikan kepada masyarakat agar orang-orang yang tidak mengalami gangguan bicara dan mendengar seperti mereka dapat sedikit memahami cara berkomunikasi dengan kelompok difabel tunawicara ini.

2. Lebih banyak lagi sekolah formal yang dibuka untuk kelompok difabel tunawicara di berbagai daerah, tidak hanya di kota-kota besar di Indonesia


(2)

terkhusus pendidikan luar biasa tersebut bersifat gratis sehingga tidak memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan ekonomi. 3. Untuk masyarakat umum diharapkan mau lebih bersosialisasi dan

menerima mereka dengan keterbatasan yang mereka miliki dalam berkomunikasi, karena pada dasarnya kelompok tunawicara sekalipun adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain disekitar mereka.

5.3 Saran dalam kaitan akademis

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah peneliti peroleh selama melakukan penelitian, peneliti mengajukan saran kepada pihak Departemen Ilmu Komunikasi agar memberikan pelatihan khusus kepada mahasiswa yang ingin mendalami berbagai pola komunikasi nonverbal, salah satunya pelatihan cara berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat ini, karena penggunaan gerakan tangan ini masih dalam ranah keilmuan komunikasi secara khusus.

5.4 Saran dalam kaitan praktis

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan yang telah peneliti peroleh selama melakukan penelitian, peneliti mengajukan saran agar pihak pemerintah lebih memperhatikan lagi kehidupan kelompok kaum difabel di daerah-daerah. Akibat tidak meratanya sistem pendidikan dan juga informasi mengenai kelompok difabel tunawicara ini, pada akhirnya kelompok ini menjadi bagian dari masyarakat yang termarginalkan serta rentan untuk dijadikan bahan olok-olokan oleh orang-orang disekitar mereka. Padahal, kelompok difabel tunawicara ini memiliki kelebihan tertentu yang tidak mampu mereka tunjukkan akibat dari diskriminasi tersebut. 

       


(3)

DAFTAR REFERENSI

Adian, DG, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan : Dari David Hume Sampai Thomas Kuhn, Jakarta : Teraju, 2002.

Bunawan, Lani dan C. Susila Yuwati (2000), Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Yayasan Santi Rama, Jakarta

Bungin, Burhan, 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer: PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. , 2006. Sosiologi Komunikasi: Kencana Predana Media Group,

Jakarta.

Canggara, Hafied, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi: Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional (2000), Pengajaran Bina Persepsi Bunyi dan Irama untuk Anak Tunarungu, Jakarta

Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2004), Pedoman Pendidikan Terpadu/Inklusi Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas, Jakarta

Effendy, Onong Uchjana, 2002. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek: Remaja Rosdakarya, Bandung.

___________________, 2004. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi: Citra Aditya, Bandung.

Liliweri, Alo, 2003. Komunikasi Antar Pribadi : Citra Aditya, Bandung. Littlejohn, Stephen W, 1996. Theories of Human Communication: Wadsworth

Publishing Company, USA.

Lubis, Lusiana, 2008. Komunikasi Antar Budaya :USU Press, Medan.

Mangunsong, F, 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar Biasa: LPSP3 UI, Jakarta.

Morissan, 2013. Teori Komunikasi Individu Hingga Massa: Kencana Prenada Group, Jakarta.

Mulyana, Dede, 2003. Ilmu Komunikasi suatu Pengantar: Remaja Rosdakarya, Bandung.


(4)

Nawawi, Hadari, 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial: Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Pohan, Syafruddin dkk, 2012. Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Proposal Penelitian: PT. Grasiondo Monoratama, Medan.

________________, 2001. Psikologi Komunikasi :Remaja Rosdakarya, Bandung. Budi Santoso, Satmoko, 2010. Sekolah Alternatif, Diva press, Jogjakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2005. Metode Penelitian Survei. PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.

 

Sumber via internet:

http://kharisma-plbuns2012.blogspot.com/2012/11/tunarungu-dan-tunawicara.html, akses terakhir: 19 Maret 2013

(http:// www.kompasiana.com/bahasa-isyarat.html), akses terakhir: 10 Januari 2014

(http: www.// Ortopedagogik anak tuna rungu. com), akses terakhir: 15 Januari 2014

(http: //www. Pendidikan anak tuna rungu.com), akses terakhir: 15 Januari 2014 (http://www. sejarah-berkembangnya-kependidikan.html), akses terakhir: 15

Januari 2014

                     


(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Lasmaria Despita Tarigan

NIM : 080904129

Tanda Tangan :

Tanggal : 3 Februari 2014  

                       


(6)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai Civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Lasmaria Despita Tarigan NIM : 080904129

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekslusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

PROSES KOMUNIKASI NON VERBAL PASANGAN TUNAWICARA (Studi KasusTentang Proses Komunikasi Non Verbal Pasangan Suami Istri Tunawicara di Kota Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : 3 Februari 2014 Yang Menyatakan

(Lasmaria Despita Tarigan)