BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS 2.1 Tinjauan Pustaka - Subtitle Film Berbahasa Prancis “Comme Un Chef “ Dalam Bahasa Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS

  2.1 Tinjauan Pustaka

  Kerangka teoretis merupakan kajian tentang referensi teoritis dan pendapat para ahli yang dijadikan dasar ilmiah dalam sebuah penelitian. Dalam kerangka teoretis juga dibahas tentang teori yang dianut dan dijadikan alat untuk menganalisis data dalam penelitian ini. Oleh sebab itu dalam bab II ini, peneliti akan menyajikan kajian tentang teori-teori para ahli yang digunakan dalam penelitian ini.

  2.2 Teori tentang Penerjemahan

  Dalam dunia penerjemahan terdapat 3 istilah yang tidak dapat dipisahkan keberadaanya antara satu dengan yang lain. Istilah tersebut adalah, penerjemahan, penerjemah dan terjemahan. Ketiga istilah tersebut akan secara otomatis muncul jika salah satu di antaranya muncul. Hal tersebut selaras dengan pendapat Machali (2009:7): Penerjemahan berasal dari kata terjemah yang jika kata tersebut muncul maka kata penerjemah, terjemahan dan penerjemahan akan secara bersamaan muncul. Untuk mengetahui lebih lanjut, berikut ini akan dijelaskan ketiga istilah tersebut.

  16

2.2.1 Penerjemahan

   Penerjemahan, penerjemah dan terjemahan itu, pada hakekatnya berasal

  dari satu kata dasar verba yakni “terjemah”. Seperti yang tercantumkan dalam buku Livre Blanc de la Traduction yang tercantum pada situs : 2014:2):

  

  " Traduction vient du verbe traduire consiste à faire passer un texte ou un

  discours d'une langue à une autre. Autrement dit, pour traduire un texte, deux éléments sont indispensables : la parfaite compréhension du texte source, et la connaissance de la formulation équivalente dans la langue cible, qui doit être la langue maternelle du traducteur – car la règle d’or

en traduction est que l’on ne traduit que vers sa langue maternelle."

  Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa, penerjemahan berasal dari kata kerja menerjemahkan, yang terdiri atas kegiatan memadankan suatu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain dalam melakukan penerjemahan setidaknya harus ada dua unsur penting yaitu; kesempurnaan pemahaman isi dari teks sumber, dan pengetahuan tentang reformulasi kalimat yang sepadan baik isi maupun tata bahasa ke dalam bahasa sasaran yang sebaiknya merupakan bahasa ibu penerjemah karena itu akan menjadikan terjemahan lazim, berterima dan akurat.

  Hal ini selaras dengan pendapat Larrousse (2014:789): "Traduction est une action de transposer dans une autre

  langue, une énonciation dans une autre langue (ou langue cible) de ce qui a été énoncé dans une langue (la langue source), en conservant les équivalences sémantiques et stylistiques.

  Yang artinya adalah penerjemahan itu adalah suatu aksi dari kata "terjemah", dimana suatu kalimat ditransposisikan ke dalam bahasa lain, yang maksudnya adalah sebuah pernyataan dalam satu bahasa yang disebut bahasa sumber dipandankan ke dalam bahasa lain yang disebut bahasa sasaran dengan tetap menjaga bentuk makna dan gaya bahasa sumbernya. Dalam bahasa Prancis teks atau bahasa sumber disebut dengan "la langue source" dan teks atau bahasa sasaran disebut "la langue cible". Rochard (2014 :13) juga menyatakan hal yang hampir sama dengan Larrousse yakni:

  "La traduction est donc bien un exercice de compréhension et de

  réexpression d’un discours. Cet exercice suppose la mobilisation de connaissances linguistiques et thématiques, mais alors que la compréhension peut être relativement passive, la réexpression nécessite une maîtrise active des discours équivalents (modalités d’expression de la langue d’arrivée, adaptation à la terminologie et à la phraséologie du domaine de travail). C’est la raison pour laquelle on traduit généralement vers sa langue maternelle. "

  Artinya, penerjemahan adalah kegiatan pemahaman dan penuangan kembali ekspresi dalam bahasa sasaran. Kegiatan tersebut membutuhkan pemahaman yang baik mengenai aspek linguistik dan tema teks yang akan diterjemahkan, namun pemahaman tersebut merupakan hal yang mungkin saja bersifat pasif, tetapi hal yang terpenting adalah ketika menuangkan kembali makna yang dikandung bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran penerjemah harus memiliki kemampuan aktif untuk dapat diaplikasikan dalam menemukan dan melakukan pemadanan antara kedua bahasa tersebut (penggunaan modalitas, adaptasi yang tepat pada penggunaan istilah dan perumusan kata dalam kalimat). Hal inilah yang menyebabkan bahwa seorang penerjemah harus melakukan penerjemahan ke dalam bahasa ibunya.

  Pendapat berikutnya, dinyatakan oleh ahli penerjemah yang sangat populer yakni Newmark (1988:30) menyatakan bahwa: “Translation is rendering the

  

meaning of the text into another language in the way that the author intended the

text.” Penerjemahan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan

  maksud pengarang.

  Berkaitan dengan hal ini Nida & Taber (1982:17) juga menyatakan bahwa: “Penerjemahan merupakan penuangan kembali makna kalimat ke dalam bahasa sasaran dengan menggunakan padanan kata yang dirasakan paling berterima dan lazim dengan bahasa sumber agar hasil terjemahan tersebut sempurna, baik dari aspek sintaksis, semantik, gaya bahasa dan pragmatik.”

  Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat diketahui bahwa penerjemahan adalah proses pemadanan makna kata, frasa, klausa atau kalimat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan menggunakan gaya bahasa, unsur sintaksis, dan pragmatik yang disampaikan secara natural, baik, benar dan berterima dalam bahasa sasaran.

2.2.2 Jenis-jenis penerjemahan

  Jenis-jenis penerjemahan yang dikemukakan oleh Jakobson dalam Munday (2001:5): Penerjemahan terdiri atas 3 kategori yaitu: penerjemahan intralingual, interlingual, dan intersemiotika. Penerjemahan intralingual adalah penerjemahan bahasa verbal yang diterjemahkan dengan bahasa verbal dalam bahasa yang sama. Misalnya kata “observer” (mengamati) dalam bahasa Prancis kemudian diterjemahkan menjadi “regarder avec l’intention” masih dalam bahasa yang sama yakni bahasa Prancis yang artinya menjadi melihat sesuatu dengan perhatian penuh. Penerjemahan jenis yang kedua yaitu penerjemahan interlingual yang merupakan penerjemahan satu kata, frasa, kalimat atau teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yakni antara dua atau lebih bahasa yang berbeda misalnya kalimat: Tsu. : "Tu fais pas chier à la décoration ."

   Pron. Verbe Adv. Verbe Inf. Pré Art. Nom

  Tsa1. : "Lupakan dekorasi." Tsa2. : “Forget the decoration.”

  (Comme un Chef: 00:02:24,429 --> 00:02:27,922 ) Pada contoh di atas, teks sumbernya adalah bahasa Prancis yang kemudian diterjemahkan ke dalam dua bahasa sasaran yang berbeda yakni bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Contoh penerjemahan yang dicantumkan pada contoh di atas, merupakan jenis penerjemahan interlingual, yakni, teks yang berasal dari satu bahasa sumber diterjemahkan ke dalam bahasa lain yang merupakan bahasa dari negara yang berbeda dengan negara asal bahasa sumbernya yang dalam hal ini adalah negara Indonesia dan Inggris.

  Selanjutnya penerjemahan jenis yang ketiga adalah penerjemahan intersemiotika yaitu penerjemahan yang berasal dari bahasa non-verbal seperti, warna, gambar, simbol, suara yang bukan berasal dari manusia, atau mimik dan sebagainya. Misalnya: bunga mawar merah biasanya melambang tanda cinta, bendera merah, kuning atau putih biasanya melambangkan kematian. Suara burung gagak biasanya melambangkan akan adanya berita kemalangan dsb.

  Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa jenis penerjemahan itu muncul karena tahapan bagaimana perwujudan proses penerjemahan itu direalisasikan, dan bukan hanya pada bahasa verbal saja tetapi juga pada bahasa non-verbal. Hal ini karena pada hakekatnya bahasa itu bukan hanya yang diucapkan atau yang dituliskan tetapi juga yang disimbolkan melalui gerak-gerik, bentuk, suara dan sebagainya.

  Hal ini selaras dengan pendapat Delatour et Jennepin (2000) : “La langue

  

se divise en 4 grandes parties , la langue orale, langue écrite, langue gestuelle et

langue symbolique." Yang maksudnya adalah bahasa itu dibagi dalam 4 kategori

  yaitu bahasa lisan, tulisan bahasa tubuh dan bahasa simbol.

2.2.3 Prasyarat seorang Penerjemah

  Seorang penerjemah sebaiknya merupakan sosok yang memiliki pengetahuan linguistik, dan budaya yang hampir sempurna dalam dua bahasa yang diterjemahkannya, dan syarat berikutnya adalah penerjemah merupakan sosok yang berwawasan luas dan mengetahui kaedah-kaedah penulisan dalam bahasa yang digelutinya. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Dubois dalam www.a4traduction.com (2014 :1):

  “Les traducteurs sont des professionnels diplômés, spécialisés dans une ou plusieurs disciplines d’un domaine (par exemple, un traducteur médical peut être uniquement spécialisé en cardiologie).

  Yang artinya adalah penerjemah adalah merupakan seorang yang profesional, ahli dalam sebuah atau beberapa bidang ilmu misalnya penerjemah dalam bidang kesehatan bahkan sebaiknya juga mengambil spesialis misalnya khusus penerjemah teks kesehatan yang berhubungan dengan jantung misalnya. Ibrahim dalam kuliah umum tentang Types & Processes of Interpreting menyatakan bahwa (2012:4): “Translators need to be familiar with the rules of written

  

language and be competent writers in the target language”. Artinya adalah

  seorang penerjemah harus memahami dengan baik tatacara dan sistematika penulisan serta menulis teks dalam bahasa sasaran dengan sangat baik.

  Dari uraian di atas, dapat diperoleh intisari bahwa prasyarat seorang penerjemah itu terdiri atas tiga aspek utama yakni seorang ahli yang memiliki kemampuan dan pengetahuan yang mendalam baik pada bidang kebahasaan, budaya, dan keterampilan dalam menulis dalam bahasa yang diterjemahkannya.

2.2.4 Budaya dan Penerjemahan

   Menurut Bell (2012:4): ”Translation is a multilevel; linguistic, cognitive,

social and cultural .” Maksudnya adalah penerjemahan itu meliputi segala aspek

  kebahasaan, kognitif, kehidupan sosial dan kultural. Hal tersebut disampaikan oleh Bell pada saat kuliah umum di Pascasarjana Program Studi Linguistik tanggal 5 oktober 2012 dalam bentuk power point. Jika pendapat ini dijabarkan maka dapat dijelaskan bahwa dalam penerjemahan, keempat aspek tersebut saling terikat antara yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa penerjemahan itu melibatkan unsur yang disebut bahasa dan bahasa berkembang sesuai dengan kehidupan dan perkembangan budaya dimana bahasa itu berada.

  Menurut Newmark (1988:95): penerjemahan yang menyangkut gejala kebudayaan dapat dikategorikan berdasarkan hal-hal berikut ini: a.

  Ekologi misalnya: ‘causse’ yang berarti dataran tinggi batu kapur di selatan Prancis.

  b.

  Benda-benda budaya: Makanan : ‘kolak’, ‘rendang’, ‘blanquette’ (makanan

  • khas Prancis sejenis makanan daging yang sangat populer), ‘fois gras’ (hati angsa) dsb.

  Pakaian : ‘gerita’, ‘blangkon’ ‘saroel’ (celana khas

  • Prancis)…

  : ‘rakit’, ‘getek’, ‘sado’, dan ‘becak’

  • Transportasi

  c. Sosial budaya : Mémé (nenek), opung boru, ‘meresek’, ‘intox’ (April mop), dsb.

  Lebih lanjut akan diberikan contoh ilustrasi berikut ini. Misalnya, untuk mengatakan “topi, pada masyarakat Eropa khususnya memiliki beberapa kata untuk menyebutkan jenis-jenis “topi”. Prancis yang merupakan salah satu negara di benua Eropa yang mengenal 4 musim. Pada umumnya di setiap musim tersebut terdapat perbedaan cuaca yang sangat ekstrim, sehingga, untuk mengatakan topi saja dikenal beberapa istilah yakni: “une toque”, “un bonnet”, un “chapeau”,

  

“une casquette” . Keempat jenis topi ini digunakan dalam suasana yang berbeda.

  Contoh lain yaitu, untuk mengatakan baju hangat, dalam bahasa Prancis baju hangat diucapkan dengan beberapa istilah, misalnya: “un pull", "un blouson”, "un

  impermeable" , dan "un anorak", dan yang lebih kompleksnya lagi, untuk “un pull” masih dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu "un pull over en V", "un

pull ras du coup", et "un pull col rolé". Perbedaan jenis pakaian yang hanya

  dipadankan dengan satu kata dalam bahasa Indonesia ini, dikarenakan perbedaan musim antara Indonesia dan Prancis. "Un bonnet" atau "un toque", serta "un

  

anorak" dan "un pull" biasanya hanya dikenakan pada musim dingin (salju).

  Sementara dalam budaya Indonesia tidak terdapat musim salju sehingga untuk mengatakan “une toque”, “un bonnet”, “un chapeau”, “une casquette”, cukup dengan satu kata saja yaitu topi, dan begitu juga dengan baju hangat tadi. Jika diambil contoh kekayaan budaya Indonesia dapat diperoleh juga contoh yang sama yakni misalnya untuk mengatakan kata "saya" dapat diungkapkan dengan "aku", "hamba", dan "daku" sementara dalam bahasa Prancis kata tersebut hanya dinyatakan dengan satu kata yaitu "Je". Hal ini disebabkan oleh keberadaan bahasa daerah yang memang cukup variatif dan kaya di Indonesia namun dalam bahasa Prancis tidak demikian adanya (Gregoire:1998).

2.3 Teori tentang Metode Penerjemahan

  Terdapat beberapa pendapat ahli tentang metode penerjemahan. Menurut Dryden (2001:25) dalam Munday metode penerjemahan dibagi dalam tiga kategori yaitu:

  “He reduces all translation to three categories: 1.

   ‘Metaphrase’: word-by-word and line by line translation, which corresponds to literal translation;

  2. Paraphrase, translation with latituted, where the author is kept in view by the translator, so as never to be lost, but his words are not so strictly followed as his sense; this involves changing whole phrases and more or less corresponds to faithful or senes-for-sense translation.

  3.

   ‘Imitation’: ‘Forsaking’ both words and sense; this corresponds to

Cowley’s very free translation and is more or less adaptation.”

  Maksud dari teori tersebut adalah pengklasifikasian seluruh metode penerjemahan dibagi ke dalam 3 kategori yaitu: ‘metafrasa’ yakni penerjemahan kata-demi-kata, baris per baris yang menyerupai penerjemahan harafiah yang dalam hal ini kata, atau kalimat dalam bahasa sasaran yang diterjemahkan hanya dengan memindahkan kata tersebut ke dalam bahasa sasaran. Kemudian penerjemahan metode yang kedua yakni parafrasa penerjemahan yang bebas, dimana maksud penulis dalam bahasa sumber tetap dipegang teguh oleh penerjemah, reformulasi kalimatnya tidak persis sama atau dapat berubah bentuk namun makna yang dikandung oleh formulasi kalimat dalam bahasa sasaran tersebut tetap sepadan dengan bahasa sumber. Dan metode yang ketiga yakni penerjemahan imitasi proses penerjemahan dengan adaptasi artinya teks dalam bahasa sumber diterjemahkan sedemikian rupa ke dalam bahasa sasaran. Penerjemahan jenis tersebut hampir menyerupai penerjemahan adaptasi.

  Selanjutnya adalah metode penerjemahan menurut Thrasher (1998:3). Thrasher menyatakan bahwa ada 4 jenis metode penerjemahan. Keempat metode penerjemahan tersebut adalah penerjemahan harafiah atau sangat harafiah (literal

  

or highly literal translation ), pemadanan bentuk, orientasi bentuk dan modifikasi

  harafiah ( Formal Equivalence, Form-Oriented or Modified Literal ), pemadanan fungsi kata, orientasi konteks, idiomatik atau pemadanan dinamis (Functional

  

Equivalence, Context-Oriented, Idiomatic or Dynamic Equivalence ) serta jenis

  keempat adalah (paraphrase or unduly Free). Dari keempat jenis metode penerjemahan yang diutarakan oleh Thrasher tersebut, dapat diketahui bahwa ahli tersebut mencampur baur beberapa jenis metode penerjemahan ke dalam satu jenis metode penerjemahan. Proses pemahaman terhadap teori tersebut sudah dilakukan namun peneliti menganggap bahwa keempat jenis metode penerjemahan tersebut sulit untuk dipahami apa lagi untuk diaplikasikan dalam analisis serta tidak representatif, sehingga tidak dapat menjawab seluruh permasalahan metode penerjemahan yang dikemukakan pada latar belakang penelitian ini.

  Dalam penelitian ini, teori yang dijadikan alat untuk menganalisis data adalah teori dari pakar penerjemahan terkemuka yaitu Newmark. Teori metode penerjemahan menurut Newmark merupakan hal yang tidak asing bagi pembelajar bidang penerjemahan, namun berdasarkan hasil pencarian data dan kajian pustaka yang dilakukan peneliti sampai tanggal 14 Januari 2014 belum ada penelitian yang mengaplikasikan metode tersebut khususnya dalam penelitian subtitle film berbahasa Prancis dalam bahasa Indonesia. Teori Newmark tersebut dianggap paling lengkap, praktis dan dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

  Oleh sebab itu dalam penelitian ini, digunakan teori Peter Newmark karena dianggap paling representatif, sesuai dan tepat untuk menganalisis data dalam yang terdapat pada subtitle film berbahasa Prancis “Comme un Chef” dalam bahasa Indonesia. Menurut Newmark (1988:41-42), metode penerjemahan terdiri dari 8 jenis. Kedelapan jenis metode tersebut adalah penerjemahan kata demi kata (word-for-word translation), penerjemahan harafiah (literal translation), penerjemahan setia (faithful translation), penerjemahan semantik (semantic

  translation ), penerjemahan adaptasi (adaptation translation), penerjemahan bebas

  (free translation), penerjemahan idiomatik (idiomatic translation) dan penerjemahan komunikatif (communicative translation).

2.3.1 Penerjemahan Kata demi Kata (Word-for-word Translation)

  Penerjemahan kata demi kata (Word-for-word translation), yakni penerjemahan yang dilakukan dengan cara menerjemahkan setiap kata yang terdapat dalam teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Unsur linguistik seperti tata bahasa, makna kata masih diterjemahkan apa adanya. Pada penerjemahan jenis tersebut belum terdapat pemadanan budaya. (Machali, 2009:76) Contoh: Tsu.: Bientôt, bientôt tu verras . Adverbe Adverbe Pron.Sujet verbe Segera, segera kau akan lihat Tsa.: Segera, segera kau akan lihat.

  (Comme un Chef : 00:04:34,728 --> 00:04:49,401) Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa teks sumber diterjemahkan apa adanya sesuai dengan aspek bahasa dan urutan kata dalam teks sumbernya. Pada penerjemahan tersebut tidak ditemukan adanya perubahan sintaksis atau kultural. Teks bahasa sumber benar-benar hanya melalui proses pemadanan kata saja. (Hoed, 2006:56).

2.3.2 Penerjemahan Harafiah (Literal Translation)

  Penerjemahan harafiah yakni: penerjemahan yang dilakukan dengan tahapan menerjemahkan setiap kata dalam teks sumber ke dalam teks sasaran namun sudah dilakukan perubahan pada struktur tata bahasanya. Dalam metode ini penerjemahan kata-kata dalam bahasa sumber diganti secara langsung ke dalam bahasa sasaran dan sudah mengikuti tata bahasa dalam bahasa sasaran. (Machali, 2009:78) Contoh: Tsu.: Je me sens aucune émotion

   Sujet Pron Verbe dét Nom

  Saya ku merasa tidak ada emosi Tsa. : Saya merasa tidak ada emosi.

  (Comme un Chef : 00:06:,55 --> 00:07:01,318) Pada teks bahasa sumber ditemukan metode penerjemahan harafiah karena seluruh kata yang terdapat pada teks sumber hanya dialihkan begitu saja ke dalam bahasa sasaran tanpa adanya penyelarasan konteks di mana teks itu terjadi. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa penerjemahan ini adalah penerjemahan harafiah dimana pemdanan kata secara leksikal dan gramatikal benar-benar hanya mengalihkan setiap kata yang terdapat pada bahasa sumber ke dalam bahasa sasarannya.

2.3.3 Penerjemahan Setia (Faithful Translation)

  Penerjemahan setia (faithful translation), dalam metode ini, penerjemahan benar-benar mengacu pada bentuk dan isi teks sumber, setiap kata dan stuktur kalimat yang menyusun teks sumber tetap dipertahankan, namun penerjemahan katanya sudah mempertimbangkan aspek makna. Penerjemahan ini pada umumnya terdapat dalam penerjemahan teks puisi, hukum atau ilmiah yakni dengan cara tetap mempertahankan istilah atau bentuk dalam teks sumbernya.

  (Hoed, 2006:57) Contoh: Tsu.: Donne- moi de la vanille .

   Verbe Pron.Ton Art. Part. Nom

  Berikan aku beberapa vanila Tsa. : Berikan aku vanilanya.

  (Comme un Chef : 00.07.021- 00.07.044) Pada bagian ini diceritakan bahwa chef Alexandre sedang dalam proses penemuan resep terbaiknya. Kemudian dia meminta pada asistennya untuk memberikannya vanila. Jika dianalisis dapat diketahui bahwa tata bahasa sumber yakni kata "donne" yang merupakan mode imperatif. Dalam bahasa Prancis mode

  

impératif adalah salah satu modus verba yang digunakan untuk menyatakan

  perintah atau larangan. Modus verba tersebut ternyata dipadankan juga dengan kalimat perintah dalam bahasa sasarannya, selain itu, susunan kata dan bentuknya juga tetap mengikuti bentuk dan susunan dari bahasa sumber, sehingga dapat dipastikan bahwa metode penerjemahan pada subtitle tersebut adalah metode penerjemahan setia (faithful translation).

2.3.4 Penerjemahan Semantik (Semantic Translation)

  Penerjemahan Semantik (semantic translation) adalah metode penerjemahan pada umumnya dapat ditandai melalui pemadanan kata-kata kunci dan makna penting yang dikandung oleh teks sumber yang diterjemahkan ke dalam teks sasaran. Pada penerjemahan ini tata bahasa sumber sudah disesuaikan dengan tata bahasa sasaran sehingga bahasanya terasa alamiah dalam bahasa sasaran karena tidak ada lagi penggunaan kata-kata yang tidak lazim atau ganjil, namun unsur budaya belum betul-betul diperhatikan dalam penerjemahan jenis ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Machali, 2009 :79: bahwa biasanya jenis penerjemahan ini dapat ditemukan pada penerjemahan idiom dalam bahasa sumber namun menjadi kalimat yang bukan idiom dalam bahasa sasaran.

  Contoh: Tsu.: Les auditeurs baîllent comme une carpe.

   Art. Nom Verbe adverbe Art. Nom Itu pendengar menguap seperti sebuah ikan kerapu.

  Tsa. : Pendengar bosan dan mengantuk.

  (Chollet & Michel Robert, 2010 :49) Pada teks sumber, terdapat idiom yang berkaitan dengan perasaan, yang dalam hal ini adalah rasa bosan yang akhirnya menyebabkan seseorang mengantuk, yang dalam bahasa Prancis dinyatakan dengan idiom "Baîller comme

  

une carpe" . Namun padanan idiom tersebut tidak dapat ditemukan dalam bahasa

  Indonesia karena idiom yang berkaitan dengan rasa kantuk dan bosan tidak ada dalam khasanah bahasa Indonesia. Oleh sebab itu teks sumber tersebut hanya diterjemahkan secara makna saja menjadi “pendengar bosan dan mengantuk”. Oleh sebab itu, metode penerjemahan yang terdapat pada kalimat sasaran di atas adalah metode penerjemahan semantik (semantic translation) di mana idiom dalam teks sumber diterjemahkan menjadi kalimat yang bukan idiom dalam bahasa sasaran. Hal ini selaras dengan pendapat Polili (2014:9) yang diadaptasi dari buku précis d’expressions idiomatiques karya Michel Robert dan Chollet menyatakan bahwa :

  "Penerjemahan idiom merupakan hal yang dianggap selalu berkaitan dengan pemadanan budaya bahasa sumber dan bahasa sasaran. Hal tersebut disebabkan oleh adanya asumsi bahwa idiom dalam suatu bahasa belum tentu sepadanan dengan idiom dalam bahasa sasaran. Atas dasar tersebut penulis ingin membahasa tentang penerjemahan idion bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.”

2.3.5 Penerjemahan Adaptasi (Adaptation Translation)

  Penerjemahan adaptasi (adaptation translation) adalah, penerjemahan yang berorientasi penuh pada teks sasaran artinya penerjemah hanya menerjemahkan makna utama yang dikandung oleh bahasa sumber kemudian dipadankan ke dalam teks sasaran dengan betul-betul memperhatikan tata bahasa, dan budaya bahasa sasaran, (Machali, 2009 :78). Contoh : Tsu.:"Dans ce cas, on va se replier vers l' entrecôte -frites." Pré. Adj. Nom Pron. Verbe Verbe Inf. Pré. Art. Nom Comp. Dalam ini hal, kita pergi melipat kearah steak -kentang goreng Tsa.: “Dalam hal ini, steak dan kentang goreng akan menjadi lebih baik.”

  (Comme un Chef: 00:02:58,530 --> 00:03:02,980) Metode penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan teks di atas adalah metode penerjemahan adaptasi (adaptation translation). Penggunaan metode tersebut dapat dilihat dari penerjemahan yang mengacu pada makna dan budaya yang dimaksudkan oleh teks sumber yang dipadankan ke dalam teks bahasa sasaran dengan mempertimbangkan keberterimaan dan kelaziman dalam teks sasaran. Maksud keberterimaan dan kelaziman dalam hal ini adalah makna kata kerja “va se plier” itu sebenarnya mengandung makna “cocok” atau sesuai karena konteks kalimat pada teks ini adalah pelanggan memadukan menu yang tidak sesuai dengan yang seharusnya sehingga koki Bonnot menggantinya dengan menu steak dan kentang goreng. Kemudian penerjemahan proses adaptasi juga terlihat melalui pemadanan frasa “l'entrecôte-frites” dengan “steak” dan “kentang goreng” yang memang masih terdapat dalam ranah kulinari Indonesia modern.

  Hal ini menunjukkan bahwa budaya Prancis dan budaya Indonesia jauh berbeda sehingga penerjemahan teks antara kedua bahasa tersebut membutuhkan pemikiran, penguasaan dan keahlian khusus baik dalam aspek tata bahasa, gaya bahasa dan budaya (Hoed, 2006: 84).

  2.3.6 Penerjemahan Bebas (Free Translation)

  Penerjemahan bebas (free translation), pada penerjemahan ini, penerjemah biasanya menggunakan kalimat penjelas, atau sebaliknya yakni pemenggalan atau penghilangan unsur bahasa sumbernya (Machali, 2009:81). Artinya dalam metode ini penerjemah dapat lebih mementingkan isi teks sumber dan mengorbankan bentuk teks sumber. Sehingga dalam penerjemahan ini teks dalam bahasa sasaran dapat menjadi lebih luas atau lebih singkat. Misalnya pada pemadanan kata “disgestif” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “minuman alkohol dosis tinggi yang diminum setelah makanan penutup”. Jika 1 kata “disgestif” saja harus diterjemahkan menjadi sebuah kalimat yang terdiri dari 9 kata, maka hal tersebut dapat menggambarkan bahwa penerjemahan istilah atau kata yang berhubungan dengan bidang kulinari membutuhkan bukan hanya penguasaan tata bahasa, tetapi juga penguasaan semantik, dan budaya penerjemah.

  2.3.7 Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

  Penerjemahan idiomatik (idiomatic translation) adalah metode penerjemahan yang biasanya dilakukan untuk menerjemahkan kalimat yang bukan merupakan idiom dalam bahasa sumber tetapi kemudian menjadi idiom dalam bahasa sasaran. Penerjemahan jenis ini merupakan penerjemahan yang berpusat pada budaya (Machali, 2009:82). Dalam tingkat tersebut penerjemah merupakan orang yang benar-benar mengenal betul unsur budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran sehingga mampu menemukan padanan idiomatik yang pada hakekatnya bukan hal yang mudah. Contoh: Tsu.: "Son patron est en colère contre lui à cause de son attitude ." Adj. Nom Verbe Pré Adj. Pré. Pron.Pré. Nom Pré.Adj. Nom Dia majikan adalah di marah melawan dia pada sebab dari dia sikap.

  Tsa.: "Majikannya naik darah karena ulahnya." (Chollet & Michelle Robert, 2009 :17)

  Seperti yang dikemukan sebelumnya bahwa penerjemahan idiomatik adalah penerjemahan kalimat yang bukan merupakan idiom dalam teks sumber tetapi menjadi idiom dalam bahasa sasaran. Dalam teks sumber ditemukan sebuah kalimat yang tidak memiliki idiom, namun ketika dipadankan ke dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut menjadi idiom yakni "être en colère" dipadankan dengan idiom "naik darah".

2.3.8 Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)

  Penerjemahan komunikatif (communicative translation): penerjemahan ini merupakan penerjemahan yang benar-benar telah melalui proses pemadanan makna kontekstualnya baik dari aspek bahasa maupun budaya. Pemilihan kata dan struktur kalimatnya disesuaikan dengan pembacanya apakah anak-anak, remaja, orang dewasa, ilmuan, masyarakat umum, praktisi atau ahli serta juga telah memperhatikan tujuan penerjemahan teks tersebut apakah teks terjemahan tersebut berupa iklan, ajakan, larangan, hiburan dan sebagainya, (Machali, 2009:82). Contoh: Tsu.: "On prenait l’ apéritif lentement. " Pron. Verbe Art. Nom Adv. Kita ambil itu minuman pembuka pelan-pelan. Tsa.: Pada saat itu kami sedang makan makanan pembuka.

  (Khan, 2006:37) Pada contoh di atas kata “l’apéritif" sebenarnya dapat dipadankan dengan

  “appetizer” (dalam bahasa inggris) jika kalimat tersebut ditujukan pada pembaca yang mengenal istilah dalam bidang kulinari. Namun bagi masyarakat yang misalnya berada jauh dari perkotaan istilah "appetizer” tersebut mungkin harus dijelaskan sebagai hidangan pembuka yakni hidangan yang dimakan terlebih dahulu sebelum hidangan utama yang biasanya dapat berupa salad yang beirisi sayu-sayuran atau buah-buahan. Namun dalam budaya Prancis "l’apéritif" bukanlah berupa makanan tetapi berbentuk minuman anggur yang mengandung sedikit alkohol.

  Berdasarkan uraian pendapat ahli di atas dan contoh-contoh yang diberikan dapat diketahui bahwa, metode penerjemahan merupakan faktor kunci dalam proses penerjemahan karena melalui pengaplikasian proses tersebut akhirnya tercipta hasil terjemahan. Kemudian antara metode yang satu dengan metode yang lainnya masing-masing memiliki kelebihan masing-masing tergantung pada siapa khalayak pembaca hasil terjemahan yang dilakukan dan apa tujuan penerjemahan tersebut.

  Secara harafiah kata ’efektif’ bermakna tepat guna, memberikan pengaruh yang sesuai dengan yang diharapkan serta ampuh (French Dictionary, 2014).

  Dalam penelitian ini kata ‘efektif’ tersebut dikhususkan pada konteks penerjemahan. Menurut Livre Blanc de la Traduction yang tercantum pada situs :

  2014:2):

  " Traduction vient du verbe traduire consiste à faire passer un texte ou un

  discours d'une langue à une autre. Autrement dit, pour traduire un texte, deux éléments sont indispensables : la parfaite compréhension du texte source, et la connaissance de la formulation équivalente dans la langue cible, qui doit être la langue maternelle du traducteur – car la règle d’or

en traduction est que l’on ne traduit que vers sa langue maternelle."

  Artinya adalah penerjemahan berasal dari kata kerja menerjemahkan, yang terdiri atas kegiatan memadankan suatu teks dari satu bahasa ke dalam bahasa lainnya. Dengan kata lain, dalam melakukan penerjemahan setidaknya harus ada dua unsur penting yaitu; kesempurnaan pemahaman isi dari teks sumber, dan pengetahuan tentang reformulasi kalimat yang sepadan baik isi maupun tata bahasa ke dalam bahasa sasaran yang sebaiknya merupakan bahasa ibu penerjemah karena itu akan menjadikan terjemahan lazim, berterima dan akurat.

  Dubois juga menambahkan bahwa ; "La traduction est l’expression en une

  

autre langue (la langue d’arrivée) de ce que déjà énoncé de la langue de depart

en tenant compte les équivalences sémantiques et stylistiques." Penerjemahan

  adalah ekspresi yang dinyatakan dalam bahasa sasaran yang merupakan realisasi dari makna semantik dan gaya bahasa yang sepadan dari bahasa sumbernya, secara efektif.

  Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa penerjemahan adalah jika pesan yang ingin disampaikan oleh penulis teks bahasa sasaran, sepadan dengan pesan yang dikandung oleh bahasa sumber. Berdasarkan penjelasan tersebut hal yang akan dianalisis bukanlah kualitas subtitle film berbahasa Prancis “Comme un

  

Chef ”, namun kesepandan makna yang dikandung oleh bahasa sumber dengan

bahasa sasaran.

2.4 Teori tentang Pergeseran (Shifts) dalam Penerjemahan

  Dalam penerjemahan sering ditemukan proses pergeseran (shifts). Proses pergeseran tersebut terjadi pada umumnya dalam aspek kebahasaan dan bukan aspek makna, isi atau pesan yang dikandung teks sumber. Menurut Catford (1965): terdapat dua jenis pergeseran (shifts) dalam penerjemahan. Kedua jenis pergeseran tersebut adalah pergeseran tingkatan yang meliputi aspek tata bahasa (level shifts) dan pergeseran kategori yang meliputi aspek kelas kata (category shift ).

  Alasan diggunakan teori pergeseran penerjemahan (shifts) dari Catford (1965) tersebut adalah karena peneliti menganggap bahwa teori ini lebih sesuai dan lebih representatif dalam menganalisis pergeseran (shifts) yang terjadi dalam penerjemahan, dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia.

2.4.1 Pergeseran Kelas Kata (Category Shifts)

  Dari dahulu sampai sekarang pembagian kelas kata dalam bahasa Prancis tidak mengalami perubahan sama sekali. Semua ahli menyatakan bahwa ada 9 jenis kelas kata. Huysmans (1884:180) menyatakan bahwa:

  “Tous les mots (ou locutions =groupe de mots) appartiennent à une famille, à une catégorie, à ce que l’on pourrait appeler « espèces » pour les animaux... Lorsqu’on les a retirés du texte, on peut plus facilement les identifier."

  Artinya adalah semua kata (gabungan atau kelompok kata) berasal dari sebuah keluarga, kategori yang dikenal dengan istilah jenis kalau dalam dunia hewan dan kelas kata dalam ilmu linguistik. Huysmans (1884:180) juga menambahkan bahwa :

  "La nature de mots se divise en deux ce sont les mots variables et les mots invariables. Les mots variables se divise en nom, adjectif, verbe, determinant, et pronom; les mots invariables se compose d’adverbe, préposition, conjonction et interjection."

  Artinya adalah kelas kata dibagi atas dua kategori besar yakni kata yang bervariasi maksudnya adalah kata yang dapat berubah proformanya misalnya dari satu kata menjadi kumpulan kata atau merupakan kata turunan dari kelas kata yang lain misalnya : nomina, adjektiva, verba, kata sandang, pronomina ; serta kata yang tidak varitif artinya merupakan kata murni yang tidak merupakan turunan dari kata lain atau tidak bisa digabungkan dengan kelas kata yang lain misalnya adevrbia, preposisi, konjungsi dan kata seru.

  Khan (2006:54) dalam buku yang sama juga berpendapat bahwa pergeseran kelas kata adalah pergeseran yang terjadi pada kelas kata misalnya kata kerja dalam bahasa sasaran dapat berubah menjadi kata benda dalam bahasa sasaran.

  Contoh : Tsu. : Aladin l’ entend encore parlera à son oreille.

   Nom Cod. Verbe Adv. Verbe Pré. Adj. Nom

  Aladin, nya mendengar masih berbicara kepada nya telinga Tsa. : ‘Aladin masih mendengar ocehan-ocehan di telinganya’.

  (Khan 2012:76)

  Pada contoh di atas kata “parlera” merupakan verba dalam kala nanti dalam bahasa Prancis, namun ketika diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran, maka verba tersebut mengalami pergeseran kelas kata yakni dari verba menjadi nomina “ocehan-ocehan”.

  Berdasarkan contoh-contoh di atas, dapat diketahui bahwa dalam penerjemahan kata, frasa, klausa atau kalimat dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia, terdapat pergeseran baik pada tingkatan maupun kelas kata.

2.4.2 Pergeseran Tingkatan (Level Shifts)

  Bahasa Prancis merupakan bahasa yang menduduki posisi penting di dunia. Bahasa ini digunakan hampir di 5 benua, yakni benua Asia (Laos, Kamboja dan Vietnam), Amerika (Canada khususnya di Montreal dan Quebec), Australia (Polynesia, New Caledonie, Mayotte, Walles and Futuna..), Eropa (Prancis, Italia, Belgia, Suisse..) dan Afrika (Benin, Gabon, Burkina Faso, Burundi, Mali, Nigeria, dsb). Seperti yang disampaikan oleh Denyer (2011:110): ”Aujourd’hui, le français

  e

est la 9 langue la plus parlée dans le monde. Environ 130 millions de personnes

parlent français sur cinq continents. Yang artinya: Sekarang ini bahasa Prancis

  menduduki peringkat ke-9 di dunia. Sekitar 130 juta orang berbahasa Prancis yang meliputi 5 benua. Berdasarkan fakta ini, mempelajari bahasa Prancis merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dibanding dengan mempelajari bahasa Asing lainnya. Namun karena begitu kompleks dan rumitnya tata bahasa yang dimilikinya, banyak peminat bahasa Prancis yang menemukan kesulitan ketika mempelajari bahasa tersebut. Kesulitan tersebut terutama terletak pada sistem tata bahasa dan pengucapannya yang cukup variatif.

  Penguasaan tata bahasa merupakan kompetensi kunci seorang penerjemah. Oleh sebab itu, sebelum membicarakan pergeseran (shifts) penerjemahan dalam aspek tata bahasa, terlebih dahulu akan disajikan kajian tentang tata bahasa dalam bahasa Prancis dalam penelitian ini akan dianalisis pergeserannya. Seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa bahasa Prancis merupakan salah satu bahasa yang kaya akan aturan tata bahasanya. Kekayaan itu tercermin melalui begitu variatifnya modus dan kala verba (mode et temps verbaux), jenis dan jumlah (genre et nombre) kata sandang, adjektiva dan nominanya.

2.4.2.1 Modus Verba (Modes Verbaux)

  Modus verba (modes verbaux) dalam bahasa Prancis dibagi ke dalam 6 kategori yaitu: modus indikatif (mode indicatif), modus subjonktif (mode

  subjonctif) , modus imperatif (mode imperatif), modus kondisional (mode modus partisip (mode participe) dan modus infinitif (mode infinitf). conditionnel),

  Seperti yang dikatakan oleh Le Mollec dan Erytryasilani (1995 :8) : "Dalam bahasa Prancis, bentuk verba ditetapkan oleh modus dan kala verba yang digunakan. Modus menentukan suasana perasaan yang berhubungan dengan perbuatan menurut tafsiran pembicara mengenai hal yang diungkapkannya.

  Delatour (2000 :6) menambahkan bahwa: " L’indicatif est l’expression de la réalité, le subjonctif est l’expression du

  sentiment, le conditionnel est l’expression d’une eventualité, l’imperatif est l’expression d’un ordre, l’infinitif est se fonctionne comme un nom, et le participe sert à construire un tems sur composé."

  Artinya adalah modus indikatif bermakna realitas, subjonktif bermakna subjektifitas, kondisional bermakna kemungkinan, imperatif bermakna perintah, infinitif berperan seperti kata benda, dan partisip digunakan dalam membentuk kala verba majemuk (sebagai kata bantu).

  Berdasarkan teori di atas dapat diketahui bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Prancis sama-sama memiliki sistem modus yang juga berpusat pada emosi atau suasana hati penutur kalimatnya. Selanjutnya Gregoire (2007:80) menyatakan bahwa: "Chaque mode verbal

  

possède des temps verbaux ." Artinya : setiap modus verba tersebut memiliki kala

  verba. Lebih lanjut Bled (2006:112-144) menyatakan bahwa verba dalam bahasa Prancis dibagi ke dalam 6 modus dan beberapa kala verba antara lain : modus indikatif terdiri atas kala verba lampau, sekarang dan nanti; modus subjonktif terdiri atas kala verba lampau dan sekarang, modus verba kondisional terdiri atas kala verba lampau dan sekarang, modus imperatif, infinitif dan partisip juga terdiri atas kala verba lampau dan sekarang. Contoh : Tsu. : Verser sur le bœuf, saupoudrer de chapelure .

   Verbe. Inf Pré. Art. Nom. Verbe. Inf Art. Nom.

  Menuang di atas itu daging sapi, menaburi beberapa tepung roti. Tsa. : Tuangkan di atas daging sapi, taburkan tepung roti.

  (Comme un Chef : 00:04:37,728 --> 00:04:40,162) Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa, penggunaan modus infinitif mengalami pergeseran modus yaitu berupa bentuk kata dasar dalam bahasa

  Prancis dan menjadi kalimat perintah dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu dapat diperoleh data bahwa dalam menerjemahkan kalimat ini, penerjemah melakukan pergeseran modus verba yakni dari modus infinitif menjadi modus perintah dalam bahasa Indonesia.

2.4.2.2 Pergeseran (shifts) Jenis dan Jumlah Benda (Genre et Nombre du

  Nom)

  Dalam tata bahasa Prancis munculnya istilah jumlah dan jenis ini pada dasarnya disebabkan oleh pembagian jenis (femina atau maskula) dan jumlah nomina (tunggal atau jamak) yang jika digunakan dalam kalimat akan berdampak pada perubahan jenis dan jumlah kata sifat, konjugasi dan kata sandang yang menyertainya. Menurut Delatour (2000:69-93) : Jika suatu nomina digunakan dalam satu kalimat maka setiap adjektiva dan kata sandang maupun kata kerja yang menyertainya akan mengalami perubahan.

  Contoh : Tsu. : "Bonjour. Vous aimez mes petits, oignons confits, madame ." Nom Pron. Verbe Adj. Pos Adj. Nom Nom Nom Pagi. Anda menyukai punyaku kecil Onions Confit Nyonya Tsa. : "Apakah kau suka, "Onions Confit" ku?"

  (Comme un Chef: 00:05:49,408 --> 00:05:53,959) Pada contoh di atas, terlihat penggunaan adjectif possessif "mes" dalam bentuk jamak, adjektiva "petits" yang berarti "kecil" juga dalam bentuk jamak serta nomina "oignons confits" yang dalam bentuk jamak. Bentuk jamak tersebut ditandai dengan akhiran ‘s’. Namun dalam subtitlenya kata-kata jamak tersebut hanya diterjemahkan menjadi “Onions Confit" ku" saja dalam bentuk tunggal. Artinya nomina jamak dalam bahasa sumber yang dalam hal ini bahasa Prancis dipadankan dengan nomina tunggal saja yakni “Onions Confit" ku" dan bukan ku".

  Onions Confit-Onions Confit

  Khan (2006:43) menyatakan bahwa pergeseran tingkatan adalah perubahan tingkatan dalam tingkatan linguistik misalnya dari bentuk tunggal ke jamak, atau sebaliknya. Contoh: Tsu.: ‘Ils ont très faim et les viandes sont très bonnes. ’ Pron. Verbe Adv. Nom Conj. Art. Nom Verbe Adv. Adj.

  Mereka mempunyai sangat kelaparan dan itudaging-daging adalah sangat bagus Tsa. : ‘Mereka sangat lapar dan daging itu sangat lezat’.

  (Khan, 2006:43) Pada contoh di atas dapat dilihat bahwa terjadi pergeseran bentuk jamak nomina "les viandes" yang jika diartikan secara harafiah menjadi “daging-daging" namun ketika diterjemahkan nomina jamak tersebut menjadi bentuk tunggal saja yakni “daging”. Oleh sebab itu dapat dipastikan bahwa dalam penerjemahan kalimat tersebut terjadi pergeseran tingkatan kata dari tunggal menjadi jamak.

2.5 Teori tentang Film

2.5.1 Film

  Menurut Widodo, dkk (2006:196) menyatakan bahwa film adalah sarana menyampaikan pesan kepada khalayak melalui sebuah cerita. Film juga merupakan suatu medium ekspresi artistik sebagai suatu alat bagi para seniman dan insan perfilman dalam rangka mengutarakan gagasan-gagasan dan ide cerita.