Tinjauan Pelanggaran HAM Berat Terhadap

Tinjauan Pelanggaran HAM Berat Terhadap Etnis Rohingya
dari Aspek Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Oleh:
Dani Bagus Aris Tyawan
Danibagus14@students.unnes.ac.id
Abstrak
Perlindungan terhadap kelompok etnis dan hak atas berkewarganegaraan
sudah cukup banyak pengaturannya dalam hukum internasional. Tetapi dalam
prakteknya masih terdapat banyak pelanggaran. Suku Rohingya adalah etnis
minoritas di negara Myanmar dan mendapatkan perhatian serius karena
mereka diperlakukan secara diskriminatif. Pemerintah Myanmar tidak
memberikan mereka status kewarganegaraan sehingga mereka tidak
mendapat perlindungan nasional atas kekerasan apapun terhadap mereka.
Perlakuan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya di Myanmar mendorong
mereka untuk meninggalkan negara asalnya. Mereka melarikan diri secara
ilegal ke negara lain melalui jalur darat maupun laut. Kedatangan mereka ke
negara tetangga membuat ketakutan negara tujuannya tersebut. Negara
tujuan berasumsi bahwa meningkatnya jumlah etnis Rohingya yang tiba di
negara mereka akan mengganggu stabilitas dan pertahanan nasional negara
mereka. Alasan lainnya adalah menempatkan beban pada negara mereka
karena tidak ada niat baik negara Myanmar untuk mengatasi masalah ini.

Negara tujuan mengambil segala upaya untuk menghindari kedatangan etnis
Rohingya dan mengambil kebijakan yang menghindari kedatangan mereka.
Kepada etnis Rohingya yang tiba di negara tujuan, hak mereka tidak terjamin,
dimana tidak ada relokasi dengan standar kesehatan. Karena itu, perlu upaya
pemerintah internasional untuk menyelesaikan kasus ini. Pemerintah
internasional harus segera mendorong Pemerintah Myanmar untuk segera
menyelesaikan masalah ini, dengan memberikan status kewarganegaraan
kepada setiap etnis Rohingya untuk penyelesaian jangka panjang mengenai
kasus ini. Pemerintah Myanmar harus melakukan tindakan serius terhadap
kejahatan yang dilakukan oleh etnis lain di Myanmar terhadap etnis Rohingya
atau kejahatan oleh tentara Myanmar sendiri terhadap etnis Rohingya.
Kata kunci: Pelanggaran HAM, etnis Rohingya, pengungsi, kewarganegaraan.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 angka
6 memberikan pengertian tentang pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara,
baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi

manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang,
dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh

penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.1
Terdapat banyak sekali jumlah etnis yang ada di dunia ini, banyak juga
etnis minoritas yang tersebar di berbagai negara. Nasib etnis minoritas ini pun
tidak luput dari pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan
oleh penguasa seperti yang terjadi di Myanmar, ratusan ribu warga sipil dari
masyarakat etnis minoritas telah dipaksa untuk meninggalkan desa mereka,
sebagai strategi untuk memotong dukungan kepada kelompok-kelompok
oposisi bersenjata. Seluruh desa telah diratakan dengan tanah, menghilangkan
kepemilikan atas rumah-rumah penduduk dan harta benda mereka. Banyak
korban lain pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah, termasuk
eksekusi diluar hukum dan penyitaan tanah mereka.2
Reaksi yang timbul dari kelompok-kelompok etnis ini pun beragam.
Sebagian ada yang secara keras menunjukkan perlawanan terhadap
pemerintah sehingga terlibat bentrok dengan pemerintah, 3 dan ada yang
melarikan diri ke negara lain untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik
atau untuk menghindari pemindahan paksa dan pelanggaran lain. 4

Suatu negara dapat menolak atau menerima orang asing yang masuk
kedalam wilayahnya setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam situasi
khusus ada kemungkinan seseorang diperkenankan masuk ke wilayah suatu
negara tanpa memiliki dokumen lengkap, misalnya dalam kasus pengungsi
atau pencari suaka.5
1.2 Kronologi Kasus
Minoritas Muslim Rohingya di Myanmar, menjadi suatu masyarakat yang
memiliki nasib terkucilkan di tempat tanah kelahirannnya. 6 Meskipun telah
berabad-abad tinggal di Myanmar, pemerintah junta militer Myanmar
menganggap bahwa Rohingnya termasuk dalam etnis Bengali sehingga
pemerintah junta militer Myanmar tidak mengakui mereka sebagai salah satu
etnis Myanmar.7 Dengan diberlakukannya Burma Citizenship Law 1982,
membuat etnis Rohingya kehilangan kewarganegaraannya.
Etnis Rohingya juga mengalami pelanggaran HAM dalam hal beragama,
diantaranya Junta memprovokasi kerusuhan diantara warga dengan
mengijinkan untuk membagikan buku-buku dan catatan yang menghina Islam;
masjid dan madrasah dihancurkan dan ditutup; pelarangan membangun masjid
dan madrasah yang baru; tidak diizinkan merenovasi masjid dan madrasah.8
1 Pasal 1 angka 6 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2 Nic Dunlop, http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/001/2007/en/196b18ba-d3c511dd-8743-d305bea2b2c7/asa160012007en.pdf.

3 Andi Purwono, “Perlawanan Uigur pada Kekuasaan China”,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/08/71515/Perlawanan-Uighur-padaKekuasaan-China
4 Dunlop, op.cit.
5 Atik Krustiyati, Penanganan Pengungsi di Indonesia, Tinjauan Aspek Hukum Internasional &
nasional, (Surabaya: Brilian Internasional, 2010) hlm i.
6 Jawahir Thontowi, Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya
Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional, (Pandecta, Volume 8, Nomor 1, Januari 2013), hlm.
43.
7 Avyanthi Azis, “Locating The Rohingya in A Difficult World of Nation: A Study in
Statelessness”, (makalah disampaikan pada Orientation and Country Workshop of API
Fellowship, kerjasama antara Nippon Foundation dan LIPI, Depok, 23-24 Maret 2011), hlm 5.
8 Sultan Muhammad Islam, “Nasib Umat Islam Rohingya yang Dilupai”, makalah disampaikan
dalam acara Universal Justice Network Meeting di Penang, Malaysia, pada 1-4 Juli 2011.

Tindakan-tindakan tersebut merupakan mekanisme yang dijalankan junta
militer
Myanmar
dalam
operasi-operasi
militernya

dengan
tujuan
memusnahkan etnis Rohingya dari Myanmar. Operasi militer tersebut antara
lain:
1. Operasi Militer (resimen ke-5) pada November 1948;
2. Operasi Burma Territorial Force pada 1949-1950;
3. Operasi Militer (2nd Emergency Chin regimen) pada 1951-1952;
4. Operasi Mayu Oktober pada 1952-1953;
5. Operasi Mone-thone pada Oktober 1954;
6. Operasi Tentara dan Imigrasi pada Januari 1955;
7. Operasi UMP pada 1955-1958;
8. Operasi Keptan Htin Kyat pada 1959;
9. Operasi Shwe Kyi pada Oktober 1966;
10. Operasi Kyi Gan pada Oktober-Desember 1966;
11. Operasi Ngazinka pada 1967-1969;
12. Operasi Myat Mon pada Februari 1969-1971;
13. Operasi Major Aung pada Februari 1973;
14. Operasi Sabe pada Februari 1974-1978;
15. Operasi Nagamin pada Februari 1978-1980;
16. Operasi Shwe Hintha Ogos pada 1978-1980;

17. Operasi Galone pada 1979;
18. Operasi Pyi Thaya pada 1991-1992;
19. Operasi Na-Sa-Ka sejak 1992 hingga kini.9
1.3

Rumusan Masalah
1. Apa saja bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah
Myanmar terhadap etnis Rohingya ?
2. Bagaimana perlindungan terhadap etnis yang tidak memiliki
kewarganegaraan dalam hukum internasional ?
3. Bagaimana peran negara asal, negara transit, negara tujuan, dan
United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam kasus
pengungsi Rohingya ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM yang Dilakukan Pemerintah
Myanmar terhadap Etnis Rohingya serta Perlindungan Hukum
Internasional
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah

Myanmar terhadap etnis Rohingya antara lain adalah:
2.1.1 Diskriminasi rasial terhadap etnis Rohingya
Dalam Pasal 1 ayat 1 Internatinal Convention on the Elimination of Racial
Discrimination, diskriminasi rasial diartikan sebagai:
“... any distinction, exclusion, restriction or preference based on race,
colour, descent, or national or ethnic origin which has the purpose or
effect of nullifying or impairing the recognition, enjoyment or exercise,
on an equal footing, of human rights and fundamental freeedoms in the
political, economic, social, cultural or any other field of public life.”
9 Ibid.

Dalam kasus Rohingya, pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan
diskriminasi terhadap etnis Rohingya yang didasarkan atas ras, etnis, warna
kulit, dan agama. Pemerintah Myanmar melaksanakan kebijakan “Burmanisasi”
dan “Budhanisasi” yang mengeluarkan dan memarjinalkan warga Muslim
Rohingya di tanahnya sendiri, Arakan.
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination
memberikan
perlindungan

terhadap
kebebasan
dari
diskriminasi. Konvensi ini meminta Negara peserta untuk dapat mengambil
langkah-langkah yang dapat menghilangkan praktik diskriminasi dan
mempromosikan kesetaraan kesempatan dan hubungan baik antara orangorang dari kelompok ras yang berbeda.10
Pasal 27 International Convenant on Civil and Political Rights menjamin
hak atas identitas nasional, etnis, agama, atau bahasa, dan hak untuk
mempertahankan ciri-ciri yang ingin dipelihara dan dikembangkan oleh
kelompok tersebut. Dalam pasal ini tidak dibedakan perlakuan yang diberikan
negara kepada kelompok minoritas yang diakui atau tidak. Sehingga ketentuan
ini berlaku bagi kelompok minoritas yang diakui oleh suatu negara maupun
kelompok minoritas yang tidak mendapat pengakuan resmi negara.11
2.1.2 Tidak diberikan kewarganegaraan (stateless person)
“Setiap orang memiliki hak untuk berwarganegaraan”. Ketentuan ini
terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948. Instrumen
internasional lainnya juga melengkapi ketentuan ini adalah Pasal 5
Internasional Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination, mewajibkan negara untuk menjamin hak setiap orang, salah
satunya adalah hak atas kewarganegaraan (the right to nationality).12

Hak seseorang atas kewarganegaraan tidak dapat dihilangkan. Sehingga
jika alasan Myanmar tidak mau mengakui etnis Rohingnya karena menganggap
etnis Rohingya berkebangsaan Bangladesh, maka alasan ini sangat
diskriminatif dan bertentangan dengan hukum internasional.
Perlindungan
terhadap
orang-orang
yang
tidak
memiliki
kewarganegaraan terdapat dalam Convention Relating to The Status of
Stateless Persons 1954. Konvensi ini menyatakan bahwa orang-orang tanpa
kewarganegaraan dapat mempertahankan hak dan kebebasan mendasar tanpa
diskriminasi.13
2.1.3 Tidak diberikan kebebasan untuk beragama
Sejak awal Juni 2012, hampir semua masjid di ibukota Arakan yaitu
Sittwe/Akyab telah dihancurkan atau dibakar. Pelarangan membangun masjid
dan madrasah yang baru ditetapkan dan tidak diizinkan untuk merenovasi
masjid dan madrasah. Banyak masid dan madrasah serta sekolah di Maungdaw
dan Akyab yang ditutup dang muslim tidak boleh beribadah di dalamnya.14

2.1.4 Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againt humanity)
10 International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination Pasal 2
11 International Convenant on Civil and Political Rights Pasal 27
12 International Convention on the Elimination of All Forms of Radical Discrimination Pasal 5 D
butir (3)
13 Convention Relating to The Status of Stateless Persons 1945 Pasal 3
14 Irma D. Rismayanti, Manusia Perahu Rohingya Tantangan Penegakan HAM di ASEAN.
http://pustakahpi.kemlu.go.id, hlm. 21

Pembantaian terhadap etnis Rohingya telah terjadi sejak berpuluh-puluh
tahun yang lalu. Yang paling tragis berlangsung pada tahun 1945. Sekitar
100.000 orang Rohingya dibantai dan disempitkan ruang gerak dan tempat
tinggalnya menjadi hanya di negeri Arakan bagian utara. Pada 3 Juni 2012
warga Rakhine Buddhist bekerjasama dengan militer Burma, polisi dan
angkatan bersenjata melakukan pembantaian dan kekerasan terhadap 10
muslim Myanmar (non Rohingya). Kekerasan ini adalah bagian dari
perencanaan dan serangan yang sistematis yang di desain untuk
memusnahkan populasi Rohingya yang tersisa di Arakan dan menjadikan
Arakan sebagai “muslim-free region”.15
2.1.5 Kejahatan Genosida (Genocide) atau etnic cleansing

Dalam kasus Rohingya ini, pemerintah Myanmar telah terbukti
melakukan hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 2 Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dan Pasal 5 Statuta
Roma. Dimana pemerintah Myanmar telah melakukan tindakan yang dapat
menyebabkan punahnya sebagian atau keseluruhan anggota etnis Rohingya,
seperti membunuh anggota-anggota Rohingya, dengan sengaja mengakibatkan
penderitaan pada kondisi kehidupan etnis Rohingya yang diperkirakan
menimbulkan kerusakan jasmani seluruhnya atau sebagian.
2.2
Perlindungan
terhadap
etnis
yang
tidak
memiliki
kewarganegaraan
Walaupun negara memiliki hak untuk menentukan siapa yang menjadi
warga negaranya, tetapi penentuan syarat tersebut sesuai dengan konvensi
internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip hukum mengenai
masalah kewarganegaraan yang diakui.16 Dalam Pasal 5 International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination dinyatakan
bahwa tidak boleh ada diskriminasi yang didasarkan atas ras, warna kulit,
kebangsaan atau etnis bagi setiap orang dalam menikmati hak-hak dasar,
salah satunya adalah hak atas kewarganegaraan.
Pemberian kewerganegaraan terhadap individu dalam kelompok etnis
merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap keberadaan etnis itu
sendiri. Dengan adanya kewarganegaraan yang dimiliki individu, anggota
kelompok etnis dapat menikmati hak-hak lain yang dijamin dalam peraturan
nasional.17
Untuk menentukan kewarganegaraannya Myanmar menganut asas ius
sanguinis. Dalam Pasal 5 Burma Citizenship Law 1982 membuat anak-anak
yang lahir dari orang tua etnis Rohingya baik di Myanmar maupun di luar
Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan Myanmar. Pemerintah Bangladesh
pun tidak mau mengakui etnis Rohingnya sebagai warga negaranya karena
etnis Rohingnya secara teritorial berada di wilayah Myanmar.
2.3 Peran Negara Asal, Negara Transit, dan UNHCR dalam Penanganan
Rohingya
15 Rohingya 101, data dan fakta, www.indonesia4rohingya.org, hlm 3
16 Kate Jastram dan Marilyn Achiron, Perlindungan Pengungsi: Buku Petunjuk Hukum Pengungsi
Internasional, [Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law], pent. Enny
Soeprapto dan Rama Slamet, (Uni Antar-Parlemen dan UNHCR, 2004), hlm 32.
17 Philip Vuciri Ramaga, “The Group Concept in Minority Protection”, Human Rights Quarterly,
Vol. 15, No. 3, (Johns Hopkins University Press, Agustus 1993), hlm. 584.

Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional
ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam
setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok yang
tergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat
merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para
pejabat negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama negara
dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antar negara.18
Keterlibatan negara-negara transit dalam penanganan manusia perahu
Rohingya haruslah di dasari oleh pertimbangan kemanusiaan terhadap
penderitaan etnis Rohingya, perlindungan HAM dan solidaritas kesatuan
ASEAN. Penanganan masalah ini harus tuntas namun tidak mencederai
bilateral dan regional (ASEAN). Selain itu, penanganan pencari suaka Rohingya
melibatkan UNHCR sebagai lembaga internasional yang khusus menangani
masalah pengungsi. Sesuai dengan mandat yang diberikan oleh PBB kepada
UNHCR yaitu memimpin dan mengordinasi aksi internasional untuk melindungi
pengungsi dan menyelesaikan masalah pengungsi di seluruh dunia. Tujuan
utama UNHCR adalah untuk melindungi hak-hak dan kesejahteraan
pengungsi.19
Solusi permanen lainnya adalah integrasi lokal, UNHCR dapat
menawarkan pilihan ini kepada negara transit agar pengungsi dapat tinggal
secara permanen di wilayahnya. Sehingga ada kemungkinan naturalisasi
kewarganegaraan pengungsi; dan pemukiman kembali (resettlement)
pengungsi ke negara ketiga. Dalam menjalankan solusi jangka panjang
tersebut, UNHCR memerlukan kerjasama dengan pemerintah-pemerintah
negara transit, negara asal, dan negara ketiga. Bila perlu, UNHCR akan
memberikan bantuan material untuk jangka waktu pendek.20

18 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T.
Alumni, 2013), hlm 13.
19 UNHCR, “Office of the United Nations High Commissioner for Refugess”,
http://www.uhcr.org/pages/49c3646c2.html.
20 Achmad Romsan, Pengantar Hukum Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip
Perlindungan Internasional, (Jakarta: UNHCR, 2003), hlm. 166.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perlindungan terhadap kelompok etnis dan hak atas berkewarganegaraan
sudah cukup banyak pengaturannya dalam hukum internasional. Tetapi dalam
prakteknya masih banyak pelanggaran. UU No 39 tahun 1999 tentang HAM
pada Pasal 1 angka 6 telah menjelaskan bahwa pengertian dari Pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undangundang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku. Etnis Rohingya adalah salah satu contoh kelompok etnis yang
tidak diakui kewarganegaraannya sehingga hak-haknya sering dilanggar,
bahkan mereka sering mendapatkan penganiayaan.
Bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh pemerintah
Myanmar terhadap etnis Rohingya diantaranya adalah diskriminasi rasial
terhadap etnis Rohingya; tidak diberikan kewarganegaraan (stateless
person); tidak diberikan kebebasan untuk beragama; kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); kejahatan genosida
(genocide) atau ethnic cleansing.
Dalam Pasal 5 Internatinal Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination dinyatakan bahwa tidak boleh ada diskriminasi yang di
dasarkan atas ras, warna kulit, kebangsaan, atau etnis bagi setiap orang dalam
menikmati hak-hak dasar, salah satunya adalah hak atas kewarganegaraan.
Pemberian kewarganegaraan terhadap individu dalam kelompok etnis
merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap keberadaan etnis itu
sendiri. Dengan adanya kewarganegaraan yang dimiliki individu, anggota
kelompok etnis dapat menikmati hak-hak lain yang dijamin dalam peraturan
nasional.
Peran negara asal, negara transit, negara tujuan dan organisasiorganisasi internasional dalam pemberian perlindungan masih belum
maksimal. Dimana masih berupa pembahasan-pembahasan formal dan belum
ada tindakan nyata. Oleh karena itu negara Myanmar harus segera ditekan
untuk menghentikan segala bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap etnis
Myanmar.

Daftar Pustaka
Buku
Jastram, Kate dan Marilyn Achiron. Perlindungan Pengungsi: Buku
Petunjuk Hukum Pengungsi Internasional [Refugee Protection: A Guide to
International Refugee Law]. Penr. Enny Soeprapto dan Rama Slamet. Uni AntarParlemen dan UNHCR, 2004.
Krustiyati, Atik. Penanganan Pengungsi di Indonesia, Tinjauan Aspek
Hukum Internasional & Nasional. Surabaya: Brilian Internasional, 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: P.T. alumni, 2013.
Romsan, Achmad. Pengantar Hukum Internasional: Hukum Internasional
dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional. Jakarta: UNHCR, 2003.
Artikel Jurnal
Azis, Avyanthi. “Locating The Rohingya in A Difficult World of Nation: A
Study in Statelessness”. (makalah disampaikan pada Orientation and Country
Workshop of API Fellowship, kerjasama antara Nippon Foundation dan LIPI,
Depok, 23-24 Maret 2011).
Islam, Sultan Muhammad. “Nasib Umat Islam Rohingya yang Dilupai”,
(makalah disampaikan dalam acara Universal Justice Network Meeting di
Penang, Malaysia, pada 1-4 Juli 2011).
Thontowi, Jawahir. Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas
Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional. Pandecta,
Volume 8, Nomor 1, Januari 2013.
Ramaga, Philip Vuciri. “The Group Concept in Minority Protection”,
Human Rights Quarterly, Vol. 15, No. 3. Johns Hopkins University Press. Agustus
1993.
Peraturan Perundang-undangan
Pasal 1 angka 6 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination Pasal 2
International Convenant on Civil and Political Rights Pasal 27
International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination Pasal 5 D butir (3)
Convention Relating to The Status of Stateless Persons 1945 Pasal 3
Internet
Dunlop, Nic. http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/001/2007/en/196b18ba-d3c511dd-8743-d305bea2b2c7/asa160012007en.pdf
Purwono,
Andi.
“Perlawanan
Uigur
pada
Kekuasaan
China”.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/07/08/71515/Perlawanan-Uighur-padaKekuasaan-China
Rismayanti, Irma D. Manusia Perahu Rohingya Tantangan Penegakan HAM di ASEAN.
http://pustakahpi.kemlu.go.id. hlm. 21
Rohingya 101. data dan fakta. www.indonesia4rohingya.org
UNHCR.
“Office
of
the
United
Nations
High
Commissioner
for
Refugess”.
http://www.uhcr.org/pages/49c3646c2.html

Lampiran
Koran Suara Merdeka, edisi Senin, 10 April 2017, halaman 15.