LAPORAN BULAN II COP UNFCCC

LAPORAN BULAN II
11/1/2015

PENGEMBANGAN KERJA SAMA LUAR
NEGERI MENDUKUNG AGENDA
GLOBAL COP-UNFCCC

OLEH :
MENTARI KHAIRITA UTAMI, S.T, M.T.
TENAGA AHLI TEKNIK LINGKUNGAN

BIDANG RENCANA STRATEGIS DAN ANALISA MANFAAT
BADAN PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR WILAYAH

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas aktif yang bertujuan untuk
mengabdi pada kepentingan nasional, terutama kepentingan stabilitas dan

kelancaran pembangunan di segala bidang termasuk di dalamnya infrastruktur.
Kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan
antara satu negara dengan negara lain tidak sama. Untuk itu antar negara dapat
melakukan sebuah kerjasama untuk melakukan pertukaran teknologi dan
informasi di berbagai bidang.
Disamping menyukseskan berbagai agenda kegiatan nasional dan sebagai bagian
dari masyarakat global, Indonesia turut terlibat aktif, baik dengan meratifikasi
serta menyepakati, berbagai agenda global, seperti EAROPH, COP UNFCCC, UN
HABITAT, WUF AMPCHUD, Infrastructure Ministerial Forum, Infrastructure
Summit, APEC, dan lain sebagainya.
Hasil ratifikasi serta kesepakatan tersebut memberi konsekuensi pada Indonesia
untuk harus turut aktif dalam mennyukseskan berbagai tujuan yang disepakati
bersama dalam forum-forum internasional tersebut. Adapun diantara forum-forum
tersebut adalah sebagai berikut.
Conference of the Parties United Nations Framework Convention on Climate
Change (COP UNFCCC), merupakan forum yang menyepakati pencapaianpencapaian dalam upaya mengurangi efek gas “rumah kaca” ke tahap yang tidak
membahayakan sistem iklim yang ada.
Secara garis besar agenda-agenda global tersebut bertujuan untuk percepatan
pembangunan suatu negara yang ditinjau dari berbagai bidang, oleh karena itu
diperlukan sebuah pengembangan kerja sama luar negeri untuk mendukunng

agenda global agar dapat berpengaruh dalam peningkatan pembangunan di
Indonesia. Dalam upaya mendukung berbagai kegiatan global tersebut, diperlukan
suatu mekanisme yang menunjang keterlibatan Kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat melalui

“Fasilitasi Kegiatan Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat dalam Mendukung Agenda Kegiatan yang
Berskala Global.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud:
Melakukan pengembangan kerja sama dengan luar negeri untuk mendukung
agenda global yang berhubungan dengan infrastruktur PU PERA.
Tujuan:
a. Mengumpulkan informasi dan isu strategis dalam kerja sama agenda
global dalam bentuk COP UNFCCC untuk berkontribusi dalam rencana
pembangunan nasional.
b. Melakukan perumusan konsep pengembangan kerja sama luar negeri yang
mendukung agenda global COP UNFCCC.

I.3 Ruang Lingkup
Kegiatan ini dilaksanakan dengan ruang lingkup tahapan pekerjaan sebagai
berikut:
a. Melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait
kerja sama luar negeri;
b. Membangun baseline yang dapat digunakan sebagai database dan sistem
informasi terkait pengembangan kerja sama luar negeri mendukung
agenda global;
c. Melakukan kajian terhadap capaian kerja sama luar negeri mendukung
agenda global yang telah dilakukan di lingkungan PU PERA, beserta
perubahan lingkungan strategis/isu strategis lintas sektoral seperti
ekonomi, sosial budaya maupun isu politik menuju terwujudnya
pembangunan yang berkelanjutan;
d. Merumuskan konsep pengembangan kerja sama luar negeri yang
mendukung agenda global;
e. Menyelenggarakan dan mengikuti agenda global dalam lingkupan COPUNFCCC.

f. Menyusun rumusan konsep – konsep dan isu strategis dalam agenda global
yang diikuti untuk mendukung rencana pembangunan nasional ke depan.


BAB II

Bulan 1
Bulan 2
Bulan 3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Tahapan
I. Persiapan
Pemantapan Rencana Kerja
Pemahaman hal-hal terkait agenda
global
II. Pengumpulan data dan Analisis
Inventarisasi peraturan terkait agenda
global
Inventarisasi data-data terkait
UNFCCC
Studi literatur peluang kerjasama luar
negeri di bidang PUPR
Analisis kebutuhan dan peluang

kerjasama
Analisis pengembangan kerja sama
luar negeri
III. Tahap Pelaporan
Penyerahan Laporan Pendahuluan
Penyerahan Laporan Akhir

JADWAL RENCANA KERJA

Kegiatan Pengembangan Kerjasama Luar Negeri Mendukung Agenda Global
COP-UNFCCC Tahun 2015 dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan terhitung
bulan Februari 2015 hingga November 2015. Lingkup kegiatan meliputi persiapan
awal berupa pemahaman kerangka kerja dan hal-hal terkait agenda global,
inventarisasi data-data sekunder terkait, pembahasan pengembangan kegiatan
kerjasama yang mungkin dilakukan, menghadiri kegiatan-kegiatan terkait agenda
global, serta penyusunan laporan yang terdiri atas Laporan Pendahuluan dan
Laporan Akhir.
Jadwal rencana kerja kegiatan secara rinci dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

BAB III

PROGRES PELAKSANAAN KEGIATAN

III.1 INVENTARISASI PERATURAN TERKAIT
Inventarisasi peraturan dilakukan untuk meninjau peraturan-peraturan yang
berlaku di Republik Indonesia terkait dengan kerja sama luar negeri. Dengan
adanya inventarisasi, diharapkan rencana pengembangan kerja sama luar negeri
yang akan dilakukan tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku di Republik
Indonesia.
UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri
Pasal 1 ayat 1 : Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut
aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat
dan daerah atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi
politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau warga negara.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
Pasal 10 ayat 3 : Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah daerah
meliputi politik luar negeri, pertahanan, kemanan, yustisi, monteter dan fiskal
nasional dan agama.
Pasal 164 ayat 2 : Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan
berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari Pemerintah, masyarakat, dan
badan usaha dalam negeri atau luar negeri.

Pasal 170 ayat 1 : Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari
penerusan pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama
Pernerintah setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional

Pasal 4 ayat 1 : Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk
melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
Pasal 4 ayat 2 : Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik
Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip
persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

III.2 KERJASAMA LUAR NEGERI
Kerja sama luar negeri adalah kerja sama yang dilakukan satu negara dengan
negara lain atau dengan beberapa negara lain sekaligus. Berdasarkan bentuknya,
kerja sama internasional dapat dibagi kedalam beberapa bentuk sebagai berikut :
a. Kerja sama bilateral

Kerja sama bilateral adalah kerja sama yang dilakukan antara dua negara. Kerja
sama ini biasanya dalam bentuk hubungan diplomatik, perdagangan, pendidikan,
dan kebudayaan.
b. Kerja sama regional
Kerja sama regional adalah kerja sama yang dilakukan oleh beberapa negara
dalam suatu kawasan atau wilayah. Kerja sama ini biasanya dilakukan karena
adanya kepentingan bersama baik dalam bidang politik, ekonomi, dan pertahanan.
Contoh kerja sama regional antara lain ASEAN dan Liga Arab.
c. Kerja sama multilateral
Kerja sama multilateral adalah kerja sama yang dilakukan beberapa negara.
Contoh kerja sama ini antara lain Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d. Kerja sama internasional

Kerja sama internasional adalah kerja sama antara negara-negara diseluruh dunia.
Sedangkan bentuk kerja sama dibidang lain, seperti :






Kerja sama dibidang ekonomi, misalnya FAO, IMF, IBRD, UNCTAD.
Kerja sama dibidang sosial, misalnya ILO, IRO, UNICEF, WHO.
Kerja sama dibidang kebudayaan, misalnya pendidikan, IPTEK.
Kerja sama dibidang pertahanan, misalnya SEATO, ANZUS, NATO,
CENTO.

Hubungan kerjasama antar negara (internasional) di dunia diperlukan guna
memenuhi kebutuhan hidup dan eksistensi keberadaan suatu negara dalam tata
pergaulan internasional,

di samping

demi

terciptanya

perdamaian dan

kesejahteraan hidup yang merupakan dambaan setiap manusia dan negara di
dunia. Setiap negara tentu memiliki kelebihan, kekurangan dan kepentingan yang

berbeda. Hal-hal inilah yang mendorong dilakukannya hubungan dan kerjasama
internasional. Kerjasama antar bangsa di dunia didasari atas sikap saling
menghormati dan saling menguntungkan.
III.3. COP-UNFCCC
COP-UNFCCC

(Conference

of

The

Parties-United

Nation

Framework

Convention on Climate Change). COP merupakan badan pengambil keputusan
dari UNFCCC. Perwakilan dari semua negara yang mengikuti UNFCCC

mengutus satu perwakilan untuk COP yang nantinya akan bertugas untuk
meninjau kembali penerapan hasil konvensi dan mengambil keputusan agar hasil
konvensi dapat diterapkan secara efektif di semua negara anggota.
UNFCCC setiap tahunnya mengadakan konferensi tahunan dalam bentuk
pertemuan formal dari COP untuk saling bertukar informasi mengenai perubahan
iklim.

III.3.1 TUJUAN COP-UNFCCC

Tujuan utama konvensi ini adalah untuk mencapai stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada level yang mencegah gangguan antropogenik
berbahaya pada system iklim. Level tersebut harus dicapai dalam suatu batas
waktu sehingga ekosistem mampu beradaptasi dengan perubahan iklim untuk
memastikan produksi pangan tidak terancam dan memungkinkan perkembangan
ekonomi yang berkelanjutan.
III.3.2 PRINSIP UNFCCC
Dalam mencapai tujuan konvensi dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang telah
dibuat, anggota konvensi harus disertai beberapa prinsip berikut:
1. Anggota konvensi harus memproteksi system iklim untuk kebaikan
generasi sekarang dan yang akan dating dengan basis keadilan dan dengan
tanggung jawab dan kemampuan masing-masing. Anggota yang berupa
Negara maju harus memimpin aksi melawan perubahan iklim dan efeknya.
2. Negara-negara yang sedang berkembang terutama yang akan terkena
dampak bahaya dari perubahan iklim harus diberikan perhatian penuh.
3. Anggota harus mempersiapkan rencana mitigasi untuk mencegah atau
meminimalisir efek perubahan iklim.
4. Anggota memiliki hak dan kewajiban untuk mempromosikan sustainable
development.
5. Anggota harus bekerjasama untuk system ekonomi internasional yang
terbuka dan sportif yang akan berujung pada pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan di semua Negara anggota termasuk Negara berkembang.

III.3.3 KOMITMEN ANGGOTA UNFCCC
Setiap anggota dengan mempertimbangkan kewajiban dan prioritas pembangunan
nasional seharusnya :
a. Mengembangkan,

memperbarui

secara

periodik,

mempublikasikan

inventarisasi nasional mengenai gas rumah kaca yang tidak terkontrol oleh
Montreal Protocol menggunakan metodologi yang komprehensif yang
disetujui bersama.
b. Membentuk program nasional untuk mitigasi efek gas rumah kaca.

c. Bekerjasama dalam pengembangan dan penerapan teknologi baru untuk
mengurangi dan mencegah emisi gas rumah kaca dari setiap sektor
termasuk energi, transportasi, industri, pertanian, kehutanan dan sektor
pengolahan limbah.
d. Mempromosikan manajemen

berkelanjutan

dan

kerjasama

dalam

konservasi sumber gas rumah kaca termasuk biomassa, hutan, laut dan
ekosistem lainnya.
e. Bekerjasama dalam mempersiapkan adaptasi dengan dampak perubahan
iklim.
f. Memasukkan perubahan iklim dalam rencana sosial, ekonomi, dan
kebijakan lingkungan.
g. Mengembangkan penelitian dalam bidang sains, teknologi, teknik dan
ekonomi-sosial dalam mencegah dan mengurangi efek gas rumah kaca.
h. Mengembangkan kerjasama dalam bidang pendidikan dan pelatihan
mengenai perubahan iklim.
i. Mengkomunikasikan dengan

anggota

lain

tentang

perkembangan

implementasi konvensi di negara anggota.
III.3.4 PELAKSANAAN UNFCCC
Berikut merupakan beberapa COP yang telah dilakukan UNFCCC:


COP 1 di Berlin, Jerman (1995)
Menyuarakan kekhawatiran tentang kemampuan negara untuk memenuhi
komitmen di bawah Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA)







dan Subsidiary Body for Implementation (SBI).
COP 2, Jenewa, Swiss (1996)
Menentukan target jangka menengah COP-UNFCCC
COP 3, Protokol Kyoto tentang Perubahan Iklim (1997)
Negosiasi intensif untuk mengadopsi Protokol Kyoto, yang menguraikan
kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca untuk negara-negara Annex I.
COP 4, Buenos Aires, Argentina (1998)
Masalah yang tersisa yang belum terselesaikan di Kyoto akan diselesaikan
pada pertemuan ini. Dirancang pula "Rencana Aksi 2 Tahun" untuk
merancang mekanisme untuk melaksanakan Protokol Kyoto dan akan selesai
pada tahun 2000. Argentina dan Kazakhstan menyatakan komitmen mereka

untuk mengambil kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca, kedua



negara non-Annex pertama yang melakukannya.
COP 5, Bonn, Jerman (1999)
Hanya berupa pertemuan teknis.
COP 6, The Hague, Belanda (2000)
Diskusi berkembang pesat menjadi negosiasi tingkat tinggi di atas isu-isu
politik besar. Dibahas pula usulan AS untuk menerapkan kredit terhadap
pengurangan emisi karbon.
Perjanjian termasuk:
Mekanisme fleksibel dari Amerika Serikat telah sangat disukai ketika
Protokol awalnya disatukan, termasuk perdagangan emisi, implementasi
bersama (JI), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) yang
memungkinkan negara-negara industri untuk mendanai kegiatan pengurangan
emisi di negara-negara berkembang sebagai alternatif untuk pengurangan



emisi domestik.
COP 7, Marrakech, Maroko (2001)
KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan yang diadakan AgustusSeptember 2002 diajukan sebagai target untuk Protokol Kyoto. The World
Summit

on

Sustainable

Development

(WSSD)

akan

diadakan

di

Johannesburg, Afrika Selatan.
Keputusan utama pada COP 7 termasuk aturan operasional untuk
perdagangan emisi internasional antara pihak Protokol dan untuk CDM dan
implementasi bersama.


COP 8, New Delhi, India (2002)
Menyerukan upaya oleh negara-negara maju untuk mentransfer teknologi dan
meminimalkan



dampak

perubahan

iklim

terhadap

negara-negara

berkembang.
COP 9, Milan, Italia (2003)
Para pihak setuju untuk menggunakan Dana Adaptasi yang didirikan pada
tahun 2001 dalam mendukung negara-negara berkembang agar lebih
beradaptasi dengan perubahan iklim. Dana tersebut juga akan digunakan
untuk peningkatan kapasitas melalui transfer teknologi. Pada COP 9, para
pihak juga sepakat untuk meninjau laporan nasional pertama yang diajukan



oleh 110 negara non-Annex I.
COP 10, Buenos Aires, Argentina (2004)

COP 10 membahas kemajuan yang dibuat sejak Konferensi COP sepuluh
tahun yang lalu dan tantangan masa depan, dengan penekanan khusus pada
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Para pihak juga mulai membahas
mekanisme pasca-Kyoto yaitu bagaimana mengalokasikan kewajiban


pengurangan emisi.
COP 11 Montreal, Kanada (2005)
Konferensi ini merupakan salah satu konferensi antar pemerintah terbesar
tentang perubahan iklim yang pernah ada. Disepakati rencana aksi Montreal
yang merupakan kesepakatan untuk memperpanjang umur Protokol Kyoto



dan bernegosiasi untuk lebih mengurangi emisi gas rumah kaca.
COP 12 Nairobi, Kenya (2006)
Para pihak mengadopsi rencana lima tahun kerja untuk mendukung adaptasi
perubahan iklim oleh negara-negara berkembang, dan menyetujui prosedur
dan modalitas untuk Adaptation Fund. Mereka juga sepakat untuk



meningkatkan proyek-proyek untuk mekanisme pembangunan bersih.
COP 13 Bali, Indonesia (2007)
Kesepakatan mengenai waktu dan negosiasi terstruktur pada kerangka pasca
kyoto protocol.



COP 14 / CMP 4, Poznań, Polandia (2008)
Para delegasi sepakat pada prinsip-prinsip untuk pembiayaan dana untuk
membantu negara-negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim dan
mereka menyetujui mekanisme untuk menggabungkan perlindungan hutan ke



dalam upaya masyarakat internasional untuk memerangi perubahan iklim.
COP 15 / CMP 5, Copenhagen, Denmark (2009)
Tujuan keseluruhan adalah untuk membuat kesepakatan iklim global yang
untuk periode 2012 ketika periode komitmen pertama di bawah Protokol
Kyoto berakhir. Konferensi ini tidak mencapai kesepakatan yang mengikat



untuk tindakan jangka panjang.
COP 16 Cancún, Meksiko (2010)
Hasil KTT ini berupa kesepakatan yang diadopsi oleh pihak negara-negara
yang disebut "Dana Iklim Hijau". Namun dana dari Dana Iklim Hijau tidak
disepakati. Komitmen untuk periode kedua Protokol Kyoto juga belum
disepakati, tapi disimpulkan potensi pemanasan global harus yang disediakan
oleh IPCC.

Semua pihak "Menyadari bahwa perubahan iklim merupakan ancaman
mendesak dan berpotensi ireversibel ke manusia dan bumi, dan dengan


demikian hal ini butuh untuk segera ditangani oleh semua pihak
COP 17 Durban, Afrika Selatan (2011)
Konferensi ini menyetujui kesepakatan yang mengikat secara hukum, akan
disiapkan pada tahun 2015, dan akan berlaku pada tahun 2020. Ada juga
kemajuan mengenai pembentukan Dana Iklim Hijau (GCF) untuk
mendistribusikan US $ 100 miliar per tahun untuk membantu negara-negara



miskin beradaptasi dengan dampak iklim.
COP 18 Doha, Qatar (2012)
Konferensi ini menghasilkan paket dokumen kolektif berjudul The Doha
Climate Gateway. Dokumen-dokumen kolektif yang terkandung adalah
Amandemen Protokol Kyoto (untuk disahkan sebelum memasuki berlaku)
menampilkan sebuah periode komitmen kedua berjalan dari tahun 2012
sampai tahun 2020 dibatasi dalam ruang lingkup 15% dari emisi karbon
dioksida global karena kurangnya komitmen dari Jepang, Rusia, Belarus,
Ukraina, Selandia Baru (maupun Amerika Serikat dan Kanada, yang tidak
pihak dalam Protokol di masa itu) dan karena fakta bahwa negara-negara
berkembang seperti China (emitor terbesar di dunia), India dan Brasil tidak





tunduk pada pengurangan emisi di bawah Protokol Kyoto
COP 19 Warsawa, Polandia (2013)
COP 20 Lima, Peru (2014)
COP 21 Paris, Prancis (2015)

III.4.

PERKEMBANGAN

ADAPTASI

PERUBAHAN

IKLIM

DI

INDONESIA
Sejak tahun 2007, perkembangan perubahan iklim di Indonesia mencapai
momentum yang signifikan ketika Indonesia menjadi tuan rumah COP 13
UNFCCC di Bali. Indonesia kemudian mendirikan lembaga dan memberlakukan
beberapa dokumen kebijakan dan peraturan terkait dengan perubahan iklim.
Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada tahun 2008 dan bertugas
sebagai focal point isu-isu perubahan iklim dalam forum internasional.
Upaya berikutnya, pemerintah Indonesia mengarusutamakan aktivitas perubahan
iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

2009-2014 dan membentuk sebuah lembaga dana perwalian nasional/Indonesia
Climate Change Trust Fund (ICCTF) untuk mendanai kegiatan yang berkaitan
dengan perubahan iklim. Pada akhir 2009, Indonesia mengumumkan komitmen
sukarelanya secara global untuk aksi mitigasi yang diikuti dengan penetapan
Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RANGRK. Sebagai tindak lanjut
dari komitmen di atas, RAN-GRK disusun dan dilengkapi dengan kerangka
kebijakan untuk periode 2010-2020 yang ditujukan bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lain untuk
melakukan aksi yang terkait langsung maupun tidak langsung.
Pada tingkat pemerintah pusat, kerangka kebijakan tersebut merujuk kepada visi
dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 dan
dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2015-2019
pemerintah juga telah menetapkan prioritas pengendalian perubahan iklim dengan
sasaran meningkatnya penanganan perubahan iklim, baik berupa kegiatan mitigasi
untuk menurunkan emisi GRK sebesar mendekati 26 persen sampai tahun 2020 di
lima sektor prioritas, yaitu: kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan
transportasi, industri dan limbah, maupun kegiatan adaptasi untuk meningkatkan
ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim di daerah rentan. Visi
dan prioritas tersebut kemudian akan diterjemahkan dalam setiap Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) sebagai payung kebijakan perubahan iklim di Indonesia.
Sedangkan pada tingkat daerah, kebijakan pelaksanaan perubahan iklim
dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Daerah, baik jangka menengah
maupun rencana tahunan. Pelaksanaan mitigasi di daerah dituangkan dalam
Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) yang
ditetapkan dengan Peraturan Gubernur oleh seluruh provinsi pada tahun 2012
(tidak termasuk Provinsi Kalimantan Utara yang baru dimekarkan pada 25
Oktober 2012).
Untuk menyeimbangkan aksi mitigasi, pada sejak 2013 dimulai penyusunan
Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) yang bertujuan
untuk menghimpun langkah adaptasi yang perlu dilakukan dan meningkatkan

kapasitas adaptasi, terutama bagi petani, nelayan, dan masyarakat sekitar pesisir
yang rentan terhadap perubahan iklim.
RAN-API tersebut akhirnya ditetapkan pada Februari 2014. Pelaksanaan
RAN/RAD-GRK di Indonesia dikembangkan menggunakan sistem inventarisasi
dan instrumen MRV yang merupakan bagian penting guna memastikan
transparansi dalam aksi mitigasi. MRV tidak hanya diperuntukkan bagi aksi
mitigasi saja, tetapi juga dapat digunakan untuk memperkirakan, memantau, dan
melakukan quality control atas emisi GRK dan bantuan pendanaan, teknologi,
serta peningkatan kapasitas yang diterima.
MRV telah diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Peraturan Presiden tersebut secara
spesifik mengamanatkan dilakukannya verifikasi atas proses dan hasil
inventarisasi GRK, termasuk pencapaian penurunan emisi dari aksi-aksi mitigasi.
Hingga saat ini Indonesia telah melakukan percontohan implementasi (pilot
implementation) dari MRV di beberapa provinsi mengikuti format yang telah
ditetapkan dalam Permenhut No. 15 Tahun 2013 tentang Pengukuran, Pelaporan,
dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim.
III.5 ANALISA KEBUTUHAN DAN PELUANG KERJASAMA
Mengingat perkembangan pengarusutamaan masalah perubahan iklim di
Indonesia yang menggembirakan seperti yang dijelaskan di atas, persiapan diri
menghadapi COP 21 Paris akhir tahun ini bukan menjadi hal yang sulit bagi
Indonesia. Terlebih Indonesia melalui berbagai forum perubahan iklim
internasional telah mendapatkan apresiasi terkait beberapa hal, salah satunya
adalah keberadaan ICCTF sebagai salah satu lembaga dana perwalian nasional
pertama di dunia yang dikelola langsung oleh negara berkembang. Secara praktis,
Indonesia hanya tinggal menurunkan dan memperbaiki saja dari apa yang telah
terbangun selama ini dalam rangka menyampaikan INDC pada COP 21 Paris
mendatang. Akan tetapi, pada kenyataannya implementasi komitmen tersebut
masih akan menghadapi banyak tantangan.

Salah satu tantangan utama tersebut menyangkut kajian atas dampak kebijakan
mitigasi GRK. Hingga saat ini Indonesia belum melakukan kajian atas dampak
kebijakan ysng dimaksud. Padahal sering sekali dampak kebijakan sulit untuk
dikuantifikasi sehingga dibutuhkan kesepakatan antar kementerian/lembaga atas
cakupan dari kebijakan mitigasi yang dikaji dampaknya. Sebagai contoh, Jerman
melakukan kajian kebijakan mitigasi GRK melalui konsorsium besar yang
melibatkan universitas, para ahli, konsultan, dan kementerian. Konsorsium ini
secara konsisten mengkaji dampak dari kebijakan mitigasi GRK nasional,
termasuk dampak ekonomi seperti lapangan pekerjaan dan biaya yang
ditimbulkan sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan.
Meskipun tidak menyisakan waktu yang banyak, persiapan Indonesia menuju
COP 21 Paris harus didasari oleh kajian yang matang dan realistis terhadap
kondisi Indonesia terkini. INDC yang akan disampaikan Indonesia dalam COP 21
Paris harus berorientasi kepada kebutuhan pembangunan nasional Indonesia.
Dengan fokus pembangunan saat ini yang dititikberatkan pada sektor maritim,
ketahanan energi, dan ketahanan pangan, sudah sebaiknya Indonesia meraih
manfaat yang seluas-luasnya dalam forum COP kali ini. INDC harus dipandang
sebagai peluang untuk memastikan kontribusi internasional pada upaya bersama
dalam menghadapi perubahan iklim. Namun demikian, penyiapan kontribusi
Indonesia seharusnya tidak menjadi beban tambahan yang berlebihan dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, seiring dengan perekonomian dalam negeri
yang dalam kurun waktu setahun terakhir mengalami perlambatan.
Tantangan lain yang harus tetap menjadi perhatian Indonesia terkait dengan isu
pengembangan

kapasitas

dan

kesadartahuan,

peningkatan

koordinasi

antarlembaga, pengembangan sistem inventarisasi dan MRV, peningkatan kualitas
dan manajemen data, serta pengembangan sistem database. Tidak berlebihan
karena semua hal di atas masih dalam tahapan pengembangan dan evaluasi.
III.6 ANALISA RENCANA PENGEMBANGAN KERJASAMA GLOBAL
Rencana kerjasama yang akan dilakukan dan bentuk peran yang dapat diberikan
oleh kementerian PUPR untuk agenda global Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Pertukaran teknologi dengan negara yang lebih maju untuk menciptakan
emisi bersih, membangun green infrastructure, membangun saranaprasarana pengolahan limbah dan produksi bersih yang nantinya akan
berdampak dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
b. Pengembangan rencana mitigasi menanggulangi dampak lingkungan
akibat perubahan iklim, seperti rencana penanggulangan pasang-surut,
kelangkaan pangan dan lainnya.
c. Turut serta mengikuti agenda-agenda UNFCCC sehingga menambah
pengetahuan mengenai perubahan iklim dan usaha-usaha adaptasi yang
dilakukan di negara lain yang nantinya diharapkan dapat memberi
masukan dalam pengembangan infrastruktur.
d. Melakukan kajian kebijakan mitigasi gas rumah kaca (GRK) melalui

konsorsium besar yang melibatkan universitas, para ahli, konsultan, dan
kementerian baik dalam dan luar negeri.