Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globali

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

KAJIAN TEORITIK TENTANG PENGARUH GLOBALISASI
TERHADAP PROSES DEMOKRATISASI
Joko Susanto

Abstract
This paper is designed to answer a question of how globalization shapes
the processes of democratization. This paper reviews theoretical
foundations of the relationship between globalization and
democratization. Such discussion is necessary for two considerations.
First, as a transition towards democracy, reform movement has its global
dimension that deserves to be explored. Second, debate and discourse on
the influence of globalization towards democratization processes are
basically theoretical. In the early 1990s Huntington only concentrates on
the phenomenon of the globalized democratization rather than on
democratization as the product of globalisation.
Keywords: globalization, democratization, theory of globalization, theory
of democratization.


Merumuskan korelasi teoritik antara
globalisasi dan demokratisasi bukanlah
perkara mudah. Tiga faktor berikut setidaknya ikut berperan di balik kesulitan ini.
Pertama, eksistensi konsep globalisasi sebagai fenomena masa kini (current phenomenon) masih merupakan perdebatan yang belum selesai.
Kedua, kerancuan seringkali terjadi
antara korelasi globalisasi terhadap demokratisasi dengan korelasi globalisasi terhadap demokrasi. Ketiga, korelasi teoritik
yang menghubungkan globalisasi dengan
demokratisasi seringkali tidak terorganisir
secara sistematik melainkan terserak kacau
di antara studi-studi konsekuensi logis
globalisasi dalam hubungannya dengan
satuan-satuan analisis terkait semisal negara
(state), pemerintahan (governance), pasar

(market) atau yang sejenisnya. Dari sini
sebuah tinjauan teoritik yang memberikan
perhatian khusus pada upaya menemukan
‘premis-premis assumsional’ di antara keraguan, kerancuan serta keterserakan globalisasi sebagai konsep yang mandiri atau
konsep yang dipertautkan dengan demokratisasi tentu bermakna signifikan bagi
penelitian ini. Untuk itu tinjauan teoritik di

sini secara khusus memfokuskan diri pada
pembahasan tiga hal. Pertama, ambiguitas
globalisasi
sebagai
konsep
tentang
fenomena. Kedua, kerancuan globalisasi
dalam kaitannya dengan demokrasi dan
demokratisasi. Ketiga, landasan teoritik bagi
konsepsi keterhubungan globalisasi dengan
demokratisasi.

59

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

Globalisasi sebagai Konsep:
Mendefinisikan Ambiguitas
Sebagai konsep tentang fenomena, globalisasi banyak menyimpan perdebatan dalam

kaitannya dengan kontradiksi konseptual
yang melingkupinya. Sebagaimana diungkapkan ilmuwan paling menonjol dalam
studi ini, Anthony Giddens, sebagian besar
aspek globalisasi diperdebatkan tidak hanya
dalam hal bagaimana istilah itu seharusnya
dipahami, tetapi juga apakah istilah itu baru
atau tidak serta konsekuensi-konsekuensi
logis apa yang menyertainya. Sebagaimana
Giddens (1999:32) menulis:
Sebagaian besar aspek globalisasi diperdebatkan; bagaimana istilah itu seharusnya
dipahami, apakah istilah itu baru atau tidak,
dan apa konsekuensinya. Dua pandangan
yang sangat bertentangan muncul, sampai
batas tertentu berkaitan dengan posisi-posisi
politik yang berbeda. Beberapa orang
menyatakan bahwa globalisasi merupakan
mitos, atau paling banter sebuah kelanjutan
dari trend yang telah lama mapan ...
(sementara)… Pada kutub yang lain terdapat
para penulis dan penentu kebijakan yang

mengatakan bahwa globalisasi tidak hanya
real, tetapi juga telah sangat maju perkembangannya.

Dalam kaitannya dengan ini, keraguan Paul Hirst dan Grahame Thompson
terhadap eksisnya proses-proses ekonomi
global dewasa ini mewakili kelompok
pemikiran yang pertama. Dalam bukunya
yang terkenal, Globalization in Question;
the International Economy and the Possibilities of Governance, secara eksplisit Hirst
dan Thompson (1996:1), menyatakan bahwa
bukunya ditulis di antara campuran skeptisismenya tentang proses-proses ekonomi
global serta optimismenya tentang kemungkinan kontrol atas ekonomi internasional

60

dan kemungkinan hidup strategi-strategi
politik nasional.
Dalam
pandangan
Hirst

dan
Thompson (1996:1), sebuah perekonomian
yang benar-benar global dinyatakan telah
muncul, atau dalam proses kemunculan,
bilamana perekonomian-perekonomian nasional yang berbeda dan strategi-strategi
domestik manajemen ekonomi nasional
yang khusus, oleh karenanya, semakin tidak
relevan. Sementara dalam kenyataan keduanya melihat bahwa sebagaian besar perdagangan tetap bersifat regional. Negaranegara Uni Eropa, misalnya, masih berdagang di antara mereka sendiri. Tingkat
ekspor negara-negara Uni Eropa ke negaranegara lain hanya mengalami sedikit peningkatan selama tiga dekade terakhir sementara Amerika (Serikat) menjadi lebih
terbuka dan mengan-dalkan ekspornya pada
periode yang sama.
Perkembangan-perkembangan seperti ini tidak mendukung terciptanya “perekonomian yang sepenuhnya global”. Kemajuan perdagangan di dalam blok dan
antarblok perekonomian yang berbeda semata-mata membawa kita kembali ke akhir
abad kesembilan belas. Pada masa itu, menurut Hirst dan Thompson (Gidden, 1999:
33-4), seperti halnya saat ini, ada liberalisasi
ekonomi perdagangan
Tetapi menurut Giddens (1999:34),
klaim Hirst dan Thompson diatas pada kenyataannya bisa dengan mudah ditentang.
Secara sederhana Giddens berargumentasi
andai periode sekarang hanya merupakan

pengulangan satu abad yang lampau, periode
ini masih sangat berbeda dari era pasca
perang negara kesejahteraan Keynesian.
Perekonomian nasional pada masa itu lebih
tertutup daripada yang ada pada masa sekarang. Giddens lantas mengajukan data-data
bahwa pada tahun 1950 ekspor barang-

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

barang yang dapat diperdagangkan hanya
menyumbang 7 persen dari GDP (Gross
Domestic Product) negara-negara OECD,
dibandingkan 12 persen di tahun 1911.
Level 12 persen itu dicapai lagi menjelang
tahun 1970, dan menjelang 1997 angka itu
naik hingga 17 persen. Selain itu dibandingkan satu abad yang lalu, sekarang terdapat
jauh lebih banyak jenis barang dan jasa yang
dapat diperdagangkan, serta terdapat jauh
lebih banyak negara yang terlibat perjanjian

dagang yang saling menguntungkan.
Namun perubahan paling penting
yang membedakan masa kini dengan masamasa sebelumnya, menurut Giddens, ialah
diperluasnya peran pasar keuangan dunia,
yang beroperasi pada hitungan waktu real.
Lebih dari triliunan dolar per hari di jual
dalam transaksi jual beli mata uang. Mengutip David Held (Giddens, 1999:34), proporsi
keuangan dalam kaitannya dengan perdagangan telah melonjak lima kali lebih besar
selama lima belas tahun terakhir.
Sementara kapital mengambang (disconnected capital) --uang yang dikelola secara institusional tetapi bebas bergerak-telah meningkat 1.100 persen pada skala
dunia 1970 dibandingkan dengan bentukbentuk modal lainnya. Dari sini Giddens
(1999:35) menyimpulkan bahwa: “globalisasi ekonomi adalah nyata, dan tidak hanya
merupakan kelanjutan, atau kebalikan, dari
kecenderungan tahun-tahun sebelumnya.”
Meski begitu, sebagai fenomena globalisasi bagi Giddens bukan hanya --atau
bahkan terutama-- tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi
waktu dan ruang dalam kehidupan kita.
Peristiwa di suatu lokalitas yang jauh, entah
yang berkaitan dengan ekonomi ataukah
tidak, mempengaruhi lokalitas yang lain secara lebih langsung dan lebih segera daripada yang pernah terjadi sebelumnya.


Sebaliknya keputusan yang diambil oleh
individu-individu pada lokalitas seringkali
memiliki implikasi global. Hal ini tak lain
sebagai dampak revolusi komunikasi dan
penyebaran teknologi informasi yang terjadi
dewasa ini.
Konsepsi globalisasi Giddens diatas,
meski diakui memuat dampak-dampak revolusioner, berbeda dengan konsepsi globalisasi Kenichi Ohmae (1995) yang menjadikan dunia tanpa batas, dimana negarabangsa tak lebih dari sekedar “rekaan” dan
dimana politikus kehilangan semua kekuatan
efektifnya. Konsepsi globalisasi Giddens
tidak menjadikan negara-bangsa sebuah
“rekaan” dan pemerintah sebuah “mesin
usang”, tetapi lebih rumit dari itu globalisasi
sedang mengubahnya (Giddens, 1999:36).
Menurut Giddens, globalisasi memang sedang “meninggalkan’ negara-bangsa
dalam artian bahwa kekuatan-kekuatan yang
dulu dimiliki oleh negara termasuk yang
mendasari manajemen ekonomi Keynesiannya telah diperlemah; sedang “menekan ke
bawah” dalam artian menciptakan tuntutantuntutan dan kesempatan-kesempatan baru

untuk meregenerasikan identitas lokal; dan
sedang “mendesak ke samping” manakala ia
menciptakan wilayah ekonomi dan kultural
baru yang kadangkala melintasi batas-batas
negara.
Meski begitu menurut Giddens,
negara-bangsa tidak menghilang dan lingkup
pemerintahan secara keseluruhan justru meluas, bukan menyusut, seiring dengan berjalannya globalisasi. Melalui globalisasi sejumlah negara dalam situasi tertentu --seperti negara-negara Eropa Timur pasca
runtuhnya komunisme-- justru memiliki
kekuatan yang lebih besar daripada yang
pernah mereka miliki sebelumnya. Negaranegara seperti itu menurut Giddens akan
tetap mempertahankan kekuatan pemerin-

61

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

tahan, ekonomi dan kultural atas warga negara mereka dan juga atas arena eksternalnya. Tetapi untuk itu seringkali mereka harus lebih dulu melakukan kolaborasi aktif
dengan negara, wilayah dan lokalitas lain

berikut kelompok maupun asosiasi transnasionalnya.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut, konsep “pemerintah” lantas tidak lagi
sepenuhnya dapat diidentifikasikan sebagai
“sang” pemerintah (suatu) nasional sebagai
akibat pertambahan luas jangkauannya. Demikian pula dengan konsep “pemerintahan”
(governance) yang selanjutnya menjadi
konsep yang lebih relevan untuk merujuk
pada beberapa bentuk kedudukan administratif dan pengawasan, atas suatu kolektivitas dimana badan-badan yang bukan
merupakan bagian pemerintah --organisasiorganisasi non pemerintah-- dan yang tidak
memiliki ciri transnasional turut berperan
serta dalam pemerintahan (Giddens, 1999:
37).
Pembahasan ini dalam banyak hal
mengikuti konsepsi Giddens tentang globalisasi. Pembahasan ini tidak hanya meyakini
keniscayaan globalisasi sebagai fenomena
masa kini tetapi lebih jauh justru berupaya
membuktikan keberadaannya melalui pendeteksian pengaruh-pengaruh yang mungkin
diberikannya terhadap suatu gejala kekinian
yang tidak kalah fenomenalnya yakni demokratisasi. Oleh karena itu globalisasi sebagai konsepsi kompleks tentang transformasi ruang dan waktu dipegang teguh tidak
hanya dalam kaitannya dengan konsekuensi

ekonomi, politik dan sosial yang dibawanya,
tetapi juga dalam kaitannya dengan desakandesakan tiga dimensi (ke atas-ke bawah -ke
samping) yang dibawanya.
Meski berbicara tentang globalisasi
komprehensif, keberadaan negara-bangsa
sebagai unit berdaulat dalam pembahasan ini

62

masih dihargai. Ini artinya, sepakat dengan
Giddens, meski globalisasi memberikan
dampak-dampak yang berat bagi negarabangsa tidak lantas diyakini bahwa ia
mengikis habis eksistensinya. Bahwa
globalisasi mendesak negara-bangsa berikut
pemerintahnya adalah suatu landasan assumsional yang tidak disangkal, tetapi lebih dari
itu perlu dicari tahu apakah assumsi di atas
ope-rasional bagi penyelidikan pengaruh
globalisasi atas proses-proses demokratisasi
suatu negara-bangsa.

Globalisasi, Demokrasi dan
Demokratisasi: Menjelaskan Kerancuan
Konstruksi teoritik yang mempertautkan
globalisasi dengan demokrasi, meski sering
dipertukarkan, berbeda secara mendasar
dengan konstruksi teoritik yang mempertautkan global-isasi dengan demokratisasi. Akar
dari perbedaan ini ialah perbedaan konseptual antara demokrasi dan demokratisasi.
Secara sederhana, Anders Uhlin
(1997:7) mendefinisikan demokratisasi sebagai “proses menuju demokrasi”, sementara demokrasi dalam pemahaman scumpeterian adalah prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk
membuat keputusan melalui perjuangan
kompetitif dalam rangka memperoleh suara
rakyat (Huntington, 1997:4). Demikian pula
jika demokrasi, sebagaimana O’Donnell dan
Schmitter (1993: 9-10), dipahami sebagai
sistem politik di mana berlangsung penerapan prinsip-prinsip kewarganegaraan dalam
segenap kehidupan berbangsa dan bernegara; maka demokratisasi adalah ‘proses
ke arah di mana aturan-aturan dan prosedurprosedur kewarganegaraan dijamin, diterapkan dan diperluas pada sebanyak mungkin

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

lembaga-lembaga politik serta bagi sebanyak mungkin masyarakat’. Dengan demikian, secara konseptual demokrasi lebih merujuk pada substansi sementara demokratisasi lebih merujuk pada proses.

Beyond Left and Right: the Future of
Radical Politics (1996). Formulasi Held dan
Cherny secara singkat dikemukakan berikut
sedangkan formulasi Giddens dikemukakan
lebih lanjut di bagian berikutnya.

Dampak dari perbedaan konseptual
ini ialah bahwa konstruksi teoritik yang
mempertautkan globalisasi dengan demokrasi tidak bisa dipersamakan dengan konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demokratisasi. Konstruksi teoritik pertautan globalisasi dengan demokrasi, selain berbeda secara mendasar, boleh
jadi bertolak belakang dalam kecenderungan
dengan konstruksi teoritik pertautan globalisasi dengan demokratisasi. Di tengah kelangkaan konstruksi teoritik yang satu atas
lainnya perbedaan ini perlu dipertegas guna
menghindari kerancuan pemahamannya.

Held dalam upayanya mengidentifikasi pengaruh globalisasi terhadap eksistensi
negara demokrasi liberal dewasa ini sampai
pada kesimpulan bahwa, dalam konteks
globalisasi makna dan posisi (place) politik
demokratis harus dipikirkan kembali (rethought) dalam kaitannya dengan serangkaian struktur dan proses-proses lokal,
regional dan global yang tumpang tindih
(overlapping).

Konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demokrasi, dengan demikian, tidak bisa dipersamakan
dengan konstruksi teoritik yang mempertautkan globalisasi dengan demokratisasi. Dibandingkan yang terakhir, konstruksi teoritik yang pertama lebih berkonsentrasi pada
bagaimana menjelaskan pengaruh-pengaruh
globalisasi terhadap demokrasi sebagai sistem politik; sementara dibandingkan yang
pertama, konstruksi teoritik yang terakhir
lebih berkonsentrasi pada bagaimana
menjelaskan pengaruh-pengaruh globalisasi
terhadap proses-proses menuju demokrasi.
Salah satu formula teoritik yang
termasuk dalam kategori pertama ialah
kesimpulan Held dalam Democracy and the
Global Order: From the Modern State to
Cosmopolitan Governance (1995), atau
Philip G. Cherny dalam Globalization and
the Erosion of Democracy (1997). Sedangkan contoh dari formulasi teoritik yang
termasuk dalam kategori yang terakhir
adalah pendekatan alternatif Giddens dalam

Dalam hubungannya dengan ini, tiga
elemen perubahan secara essensial diakui.
Pertama, cara di mana proses-proses kesaling-terhubungan militer, politik, hukum
dan ekonomi mengubah hakikat (nature), luas lingkup (scope), dan kapasitas (capacity)
negara-bangsa dari atas sebagaimana ditunjukkan oleh kemampuan regulatorinya
yang terancam dan terreduksi di berbagai
ruang lingkup. Kedua, cara bagaimana kelompok, gerakan dan komunitas etnis etnik
lokal dan regional menimbulkan keraguan
dari bawah eksistensi negara demokrasi
liberal sebagai sistem kekuasaan yang representatitf dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, cara bagaimana kesalingterhubungan global menciptakan mata rantai
keputusan politik yang saling mengunci
(chains of interlocking political decisions)
antara negara dan warganya (Giddens, 1999:
57-83).
Dari sini, Held mengidentifikasi
eksisnya paradox yang patut dicatat dibalik
“kemenangan global demokrasi sebagai
sistem politik dewasa ini. Menurut Held
(1995:21): “[eventhough]..more and more
nations and groups are championing the idea
of ‘the rule of the people’; but they are

63

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

doing so at just that moment when the very
efficacy of democracy as a national form of
political organization appears open to
question.” Di balik pertumbuhan globalnya,
demokrasi dihadapkan eksistensi negarabangsa yang tengah dilanda kesulitan akibat
pertumbuhan substansial aktivitas manusia
yang semakin terorganisir pada level global.
Dalam konteks inilah perenungan kembali
makna, posisi (place) dan muatan-muatan
demokrasi sebagai sistem politik menjadi
sebuah keharusan.
Sejajar dengan Held, dalam riset
Cherny terhadap perkembangan demokrasi
akhir 1980-an dan awal 1990-an sampai pula
pada kesimpulan bahwa, meski mengalami
pertumbuhan pesat dalam hal penyebaran
sepanjang periode akhir 1980-an dan awal
1990-an, kemungkinan bagi tumbuhnya
pemerintahan demokratis sejati (genuine
democratic governance) justru mengalami
penurunan (declining). Terhadap kesimpulan
ini Cherny (1997) mengajukan dua proposisi
pendukung. Pertama, bahwa demokrasi
liberal tumbuh dari proses kon-solidasi
negara-bangsa dan terbenam tanpa bisa
keluar (inextricably embedded) dalam
konteks tersebut. Kedua, dalam dunia yang
terglobalisasi, struktur pemerintahan yang
tumpang tindih (overlapping) dan saling
memintas (cross-cutting), serta prosesproses swastanisasi dan oligarkhi yang terus
meningkat; norma-norma liberal hegemonik
mendelegitimasi secara umum pemerintahan
yang berbasis negara; dan negara demokratis
pun kehilangan kapasitas politik yang diperlukan untuk mentransformasikan secara
demokratis input-input yang masuk menjadi
output otoritatif.
Akibatnya, dihadapkan perubahanperubahan global yang terjadi periode ini,
hambatan-hambatan terjal eksis dan berpotensi untuk membatasi; pelembagaan
kembali ‘mata rantai demokratis’ (demo64

cratic chain) antara prinsip akuntabilitas dan
efektivitas, pengartikulasian kembali karakter multi tugas (the multi-tasking character)
institusi-institusi otoritatif, dan pembaharuan
kapasitas agen-agen otoritatif untuk membuat side payment dan menjalankan pemantauan yang diperlukan untuk mengontrol
para penumpang gelap (free-riding) dan
asimilasi kelompok-kelompok terasing
(alienated groups).
Bertolak belakang dengan kedua
konstruksi teoritik di atas, konstruksi teoritik
Giddens sebagaimana dikemas dalam apa
yang ia sebut sebagai ‘pendekatan alternatif’
terhadap gelombang demokratisasi global
dewasa ini. Menurutnya, penjelasan bagi
marak dan populernya gerakan-gerakan
demokratisasi dewasa ini dapat dicari
penjelasannya dalam eksistensi globalisasi
sebagai perubahan sosial yang paling
mendasar dewasa ini. Meski versi yang lebih
lengkap tentang pendekatan alternatif ini
akan dijelaskan lebih rinci dalam sub bab
setelah ini, sekedar gambaran awal dapatlah
dikemukakan bahwa di mata Giddens, globalisasi adalah penjelasan paling memadai
dibalik gelombang demokratisasi global
dewasa ini. Namun di balik pandangan positipnya dalam melihat pengaruh globalisasi
terhadap pertumbuhan demokratisasi global,
Giddens tetap berpendapat bahwa konsep
demokrasi baru harus segera dipikirkan
mengingat di tengah iklim globalisasi konsep demokrasi yang lama menerima serangkaian tantangan kemunduran serius.
Dari sinilah, Giddens kemudian
mengusulkan konsep ‘demokrasi dialogis’
sebagai alternatif. Sampai di sini Giddens
telah menunjukkan secara tegas bahwa
terdapat pengaruh yang sedemikian berbeda
tatkala globalisasi sebagai perubahan sosial
dipertautkan dengan demokratisasi sebagai
proses atau demokrasi sebagai sistem politik
ideal. Artinya globalisasi sebagai perubahan

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

sosial selain dipahami mampu mendorong
proses-proses demokratisasi, tetapi juga
mengancam stabilitas sistem demokrasi
liberal itu sendiri melalui proses-prosesnya
yang melintasi arena politik (Giddens,
1999:104-33).
Dengan demikian dalam spektrum
pemilahan sederhana tujuan versus proses,
konstruksi teoritik yang pertama lebih
berbicara soal bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap demokrasi sebagai ideal
sistem politik; sementara konstruksi teoritik
yang terakhir lebih berbicara soal bagaimana
globalisasi berpengaruh terhadap demokrasi
sebagai proses.
Dalam kaitannya dengan tipologi
pemerintahan, konstruksi teoritik yang
mempertautkan globalisasi dengan demokrasi lebih banyak membahas bagaimana
globalisasi berpengaruh terhadap masa
depan pemerintahan yang telah demokratis
secara sistem politik; sementara konstruksi
teoritik yang mempertautkan globalisasi
dengan demokratisasi lebih banyak membahas bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap masa depan proses-proses transisi
menuju demokrasi pemerintahan-pemerintahan yang sebelumnya tidak demokratis.

Globalisasi dan Demokratisasi:
Mendasarkan Keterhubungan
Secara teoritik, dasar bagi upaya menghubungkan proses-proses demokratisasi yang
berlangsung dalam kasus reformasi Indonesia dengan proses-proses globalisasi yang
tengah berlangsung dewasa ini ialah dua hal
berikut. Pertama, penjelasan Giddens (1999:
104-43) terhadap gelombang demokratisasi
global dewasa ini. Kedua, pembagian Leslei
Sklair terhadap proses-proses globalisasi ke

dalam tiga area yakni ekonomi, politik dan
ideologi kultural.
Terdapat dua pendekatan dalam melihat fenomena akselerasi gelombang demokratisasi dewasa ini. Sebagaimana dikemukakan Giddens, dua pendekatan tersebut
ialah pendekatan orthodox dan pendekatan
alternatif. Pendekatan orthodox melihat
fenomena maraknya demokratisasi lebih
disebabkan oleh ketiadaan alternatif historis
selain demokrasi.
Demokrasi menjadi populer dan universal dewasa ini dikarenakan ia merupakan
sistem politik terbaik yang pernah dicapai
peradaban manusia. Dibandingkan dengan
fascisme yang telah lama berlalu, komunisme dan pemerintahan militer yang gagal
menciptakan pemerintahan efektif, demokrasi liberal yang berpasangan dengan kapitalisme dalam kancah ekonomi membuktikan diri mampu bertahan dan bahkan semakin berkembang.
Dalam diskursus demokratisasi kontemporer pandangan orthodox ini terwakili
pemikiran Francis Fukuyama. Fukuyama
melalui karyanya yang monumental The End
of History and the Last Man, mengemukakan bahwa demokrasi liberal merupakan
titik akhir dari evolusi ideologi manusia (the
end point of mankind’s ideological evolution) sekaligus bentuk final dari pemerintahan manusia (the final form of human
government).
Fukuyama melihat otoritarianisme
atau pun bentuk-bentuk ideologi non demokrasi lainnya cepat atau lambat akan melemah dan akhir-nya runtuh. Hal ini disebabkan ideologi-ideologi di luar demokrasi liberal tidak cukup mampu mengembangkan legitimasi yang memuaskan atas
kekuasaannya sendiri. Rezim-rezim non
demokratis tidak memiliki pundi-pundi
kebaikan (a fund of goodwill) yang akan
65

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

meringankannya dalam melewati masa-masa
sulit. Pendek kata, dalam kaca mata demokrasi liberal rezim-rezim non-demokratis
sungguh merupakan rezim yang tidak
fleksible.
Dirunut dari sejarahnya pendekatan
orthodox ini sebenarnya bukan hal baru.
Jauh hari Weber sudah menekankan keutamaan demokrasi sebagai sistem politik.
Dalam pandangan Weber demokrasi dengan
pengaku-annya pada hak-hak warga negara
untuk memilih siapa yang seharusnya
mengatur mereka mamberikan kondisi tertentu yang dapat memunculkan pemimpinpemimpin politik yang baik. Dengan cara
begini demokrasi memberikan apa yang
tidak mampu diberikan oleh sistem politik
satu partai per definisi dan juga ekonomiekonomi sosialis vis a vis ekonomi pasar
kapitalis.
Meski memiliki akar pada pemikiran
abad pertengahan, pendekatan orthodox di
sini tidak lagi bisa dikategorikan sebagai
penganut apresiasi demokratik Weber yang
aristokratik. Pandangan orthodox yang berkembang dewasa ini muncul lebih sebagai
“catching up theory of democracy”
(Giddens, 1999:105).
Menurut teori ini berbagai upaya
demokratisasi yang marak dewasa ini lebih
dilandasi oleh alasan untuk memperbaiki
kebangkrutan dan kebobrokan negara serta
mengejar ketertinggalannya dengan negaranegara lain yang sukses secara ekonomi
politik melalui penerapan sistem politik
demokrasi. Gejala ini nampak sekali pada
gelombang demokratisasi yang marak di
Eropa Timur akhir dekade 1980-an. Menurut
teori ini gelombang demokratisasi muncul
selain didasari oleh kesadaran akan tidak
efisiennya sistem komunis secara ekonomi
dan otoritarianismenya secara politik juga
dilandasi keinginan untuk mengejar keter-

66

tinggalannnya dengan rekan-rekan mereka
di Eropa Barat.
Pada tahap ini kesejajaran demokrasi
liberal dengan kapitalisme sebagaimana dikemukakan Fukuyama menemukan konteksnya. Bagi Fukuyama kapitalisme berkait erat
dengan demokrasi karena kapitalisme mampu menyediakan otonomi material yang
memungkinkan terselenggaranya penghormatan timbal balik. Kemajuan ekonomi
yang dihasilkan kapitalisme oleh Fukuyama
dipandang mampu meningkatkan kondisikondisi bagi otonomi individual. Melalui
cara pandang ini kapitalisme dan demokrasi
menemukan titik temunya dalam pemenuhan
hasrat untuk mendapatkan pengakuan -suatu hasrat kemanusiaan yang mendasar
dan universal. Konsekuensinya, ideologiideologi di luar demokrasi liberal karena
ketidakmampuannya untuk memenuhi hasrat
kemanusiaan yang paling mendasar tersebut
diyakini tidak memiliki kemampuan yang
cukup untuk berkembang universal.
Selain pendekatan orthodox di atas,
penjelasan tentang akselerasi demokratis dewasa ini datang dari pendekatan alternatif.
Pendekatan alternatif muncul sebagai reaksi
ketidakpuasan terhadap penjelasan orthodox.
Menurut pendekatan alternatif, pendekatan
orthodox selain mencoba mengukuhkan orthodoksi demokrasi dengan argumentasi
baru tidak banyak menawarkan penjelasan
yang membantu. Pendekatan orthodox dalam melihat fenomena gelombang demokratisasi yang berkembang universal dewasa
ini lebih mendasarkan diri pada perjalanan
dialektika historis yang membuktikan demokrasi liberal memang ideologi dan sistem
politik terbaik sekaligus universal. Terhadap
penjelasan ini pendekatan alternatif mempertanyakan; jika ideologi liberal memang
ideologi terbaik dan universal mengapa gelombang demokratisasi yang universal baru

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

terjadi sekarang padahal revolusi borjuis
yang diakui sebagai tonggak kebangkitan
demokrasi liberal sudah kurang lebih empat
abad berlalu?
Atas dasar ketidakpuasan itulah pendekatan alternatif akhirnya mencoba menawarkan penjelasan yang lebih rasional. Menurut pendekatan alternatif fenomena demokratisasi yang marak dan universal dewasa
ini harus di-pahami dalam kerangka perubahan-perubahan sosial yang mendasari
bukan pada keampuhan demokrasi liberal
sebagai ideologi.
Lebih jauh, berdasarkan pengamatan
terhadap proses-proses demokratisasi yang
melanda Eropa Timur perubahan sosial yang
mendasari tersebut dapat dikenali dengan
sebutan globalisasi --sebuah istilah untuk
revolusi sosial yang terjadi dewasa ini (the
social revolutions of our time). Sebagaimana
di ungkapkan Giddens (1999:110), pelopor
utama pendekatan ini, fenomena Eropa
Timur 1989 secara umum berbeda dengan
revolusi-revolusi yang terjadi di awal abad
XX.
Perbedaan ini bukan saja tentang
tatanan apa yang tengah dihadapi tetap,
lebih penting dari itu, tentang prosesnya
yang berlangsung tanpa kehadiran partai
revolusioner terorganisir sebagai penggerak,
perjalanannya yang damai dan lebih menyerupai peleburan ketimbang penggulingan,
serta --yang terutama-- terdapatnya peran
perangkat komunikasi elektronik yang
nyata. Berbagai rentetan peristiwa yang
bergerak cepat dari satu negara ke negara
lain dalam fenomena Eropa Timur 1989
tidak mungkin terjadi tanpa peran komunikasi elektronik yang notabene salah satu
aspek dari perubahan sosial yang disebut
globalisasi.
Dengan kata lain, gelombang demokratisasi berlangsung lebih marak dan uni-

versal dewasa ini dikarenakan adanya fenomena globalisasi sebagai perubahan sosial
yang mendasari. Globalisasi melalui transformasi-transformasi yang dihadirkannya
mampu meyediakan dasar bagi tekanantekanan demokratisasi yang makin meningkat dewasa ini. Dengan demikian, melemahnya negara otoritarian (the weakness of
strong states) bukan disebabkan oleh cacad
dari dalam melainkan lebih disebabkan oleh
perubahan kondisi pada lingkungan masyarakat global yang lebih besar. Proses-proses
demokratisasi pada konteks ini dikendalikan
oleh ekspansi refleksivitas sosial dan detradisonalisasi. Begitu refleksivitas meningkat tidak banyak yang bisa dilakukan oleh
negara-negara totaliter pada umumnya.
Proses-proses berskala lokal atau pun
global tersebut meski tidak serta merta melemahkan rezim-rezim otoritarian secara
unilateral stidaknya akan mengubah status
domain politik formalnya. Dalam pemahaman pendekatan alternatif perubahan terpenting yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari rakyat dewasa ini tidak lagi
berakar sepenuhnya pada dalam ruang-ruang
politik formal tetapi bisa hanya dalam
beberapa bagian yang terakup olehnya.
Lebih jauh, serangkaian perubahan
di atas dalam perkembangannya membawa
kemunculan revolusi sosial yang tidak hanya
mampu mendorong proses-proses demokratisasi tetapi juga mengancam stabilitas
sistem demokrasi liberal itu sendiri melalui
proses-prosesnya yang melintasi arena politik. Tatanan demokrasi liberal sebagaimana
diketahui memungkinkan individu dan kelompok untuk membebaskan diri dari ruangruang otoritas politik sementara perubahan
sosial dengan refleksivitas sosialnya menyajikan sumber-sumber referensi baru yang
lebih beragam dan melintasi batas-batas politik formal tradisional. Hal ini tentu saja

67

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

akan memperlemah negara-negara dengan
sistem demokrasi liberal di kemudian hari.
Dalam kaitannya dengan persoalan
ini, pendekatan alternatif memandang perlu
memperkenalkan konsep demokrasi baru
yang lebih deliberatif dan transendental
sebagai ‘demokrasi dialogis’ (dialogic
democracy) (Giddens, 1999: 112-24).
Konsep demokrasi dialogis di sini, menurut
Giddens, bukan perluasan (extension) dari
demokrasi liberal atau pun pelengkap
(complement) untuknya.
Konsep demokrasi dialogis secara
lebih jauh berupaya mengetengahkan
bentuk-bentuk pertukaran sosial (social
interchange) yang dapat memberi kontribusi
pada rekonstuksi solidaras sosial dalam
kaitannya dengan otonomi. Dengan begitu
demokrasi dialogis tidak hanya berbicara
tentang proliferasi hak-hak atau pun representasi kepentingan tetapi secara lebih jauh
berupaya mengembangkan kosmopolitanisme kultural sebagai bangunan utama dalam tarik ulur keterhubungan otonomi dan
solidaritas. Dari sini terlihat bahwa demokrasi dialogis tidak lagi dipusatkan pada
negara sebagai unit tetap terbias dalam
empat arena kehidupan di mana globalisasi
dan refleksifitas sosial berlangsung. Keempat arena kehidupan itu ialah: arena
kehidupan pribadi yang makin otonom,
arena kelompok-kelompok swadaya masyarakat dan gerakan sosial yang makin
menjamur (proli-ferated), arena organisasional besar yang makin terdesentralisisasi
serta arena tatanan global yang makin terlembagakan. Hanya melalui cara pandang
kosmopolitanisme kultural seperti ini kaum
alternatif yakin bahwa masa depan demokratisasi demokrasi diyakini akan lebih
terjamin.
Pembahasan ini bertujuan menguji
bagaimana globalisasi berpengaruh terhadap

68

proses-proses demokratisasi dalam kasus
reformasi Indonesia. Artinya, dalam melihat
proses-proses demokratisasi yang berlangsung dalam kasus reformasi Indonesia.
Pembahasan berupaya mencari keterhubungannya dengan proses-proses perubahan
sosial berskala global yang kini berlangsung.
Dengan demikian dalam upayanya
menjelaskan proses-proses demokratisasi
yang ada, pembahasan ini lebih mengikuti
cara
pandang
pendekatan
alternatif
ketimbang pendekatan orthodox. Masalahnya ialah proses-proses globalisasi seperti
apa yang akan dilihat pengaruhnya pada
proses-proses demokratisasi dalam reformasi indonesia? Dengan kata lain setelah
mendapatkan landasan teoritik bagi pengaruh globalisasi terhadap demokratisasi yang
diuji, pembahasan tentang hal ini masih
membutuhkan pemahaman yang memadai
tentang proses-proses globalisasi yang dimaksud.
Meski diyakini sebagai proses yang
sudah lama berlangsung, terdapat ketidaksepakatan yang cukup mendasar tentang apa
yang dimaksud dengan globalisasi (what it
is) serta apa yang terjadi dengannya (what is
taking place) (Clark, 1997:19-20).
Dalam kaitannya dengan kesulitan
ini, klasifikasi sederhana Sklair atas
globalisasi perlu dianut meski dalam hal
rumusan untuk masing-masingnya berbagai
pencomotan sana-sini akan dibuat untuk
melengkapinya. Mengikuti pemilahan Sklair
(1991:1-51) tentang globalisasi dalam
Sociology of the Global System: Social
Change in Global Perspective, globalisasi
sebagai perubahan sosial dapat dibedakan ke
dalam tiga area, yakni: ekonomi, politik dan
ideologi-kultural.
Globalisasi sebagai proses-proses
ekonomi merujuk pada perubahan kualitatif
dari suatu perekonomian yang terinterna-

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

sionalisasi (internationalized) menjadi terglobalisasi (globalized). Dalam ekonomi
yang terinternasionalisir meski terjadi aktivitas antarnegara yang meluas keberadaan
ekonomi nasional sebagai unit yang terpisah
masih dominan dan relatif otonom, sementara dalam ekonomi yang terglobalisasi berbagai unit ekonomi nasional yang berbeda
lebur (subsumed) dan terartikulasi ke dalam
sistem melalui transaksi dan proses-proses
internasional (Hirst and Thompson, 1996:813).
Dalam konteks ini globalisasi dilihat
sebagai bentuk lebih maju dari internasionalisasi dan bentuk yang lebih mutakhir dari
aktivitas ekonomi yang secara tidak langsung mengindikasikan suatu derajat integrasi
fungsional di antara aktivitas-aktivitas ekonomi yang tersebar secara internasional.
Integrasi ini selain merupakan respon dari
juga merupakan katalis bagi konvergensi
pasar dan apa yang oleh kalangan ekonom
dipandang sebagai kemunculan pasar global
bagi produk-produk terstandarisasi.
Di antara gejala-gejala ekonomi yang
ada, dunia finansial yang berjalan beriringan
dengan perkembangan komunikasi instan
merupakan bentuk tertinggi.
Globalisasi sebagai proses-proses
politik meski mengakui keberadaan dorongan-dorongan ekonomi di balik dinamika
globalisasi menganggap bahwa ia bukan
semata-mata persoalan ekonomi. Lebih
lanjut globalisasi lebih merupakan prosesproses politik yakni proses di mana struktur
kebijakan domestik menjadi semakin terhubungkan dengan proses-proses transgovernmental dan transnasional. Berbagai
proses kerjasama intergovernmental --mulai
dari perjanjian dagang hingga negosiasi
lingkungan-- beserta jaringan advokasi dan
kelompok kepentingan yang transnasional
saling jalin-menjalin dengan politik domes-

tik dalam proses pengambilan keputusan
negara-negara. Dalam konteks ini globalisasi dipahami sebagai proses di mana
negara selain tidak lagi otonom dan usang
(obsolete) per se juga menjadi ajang konflik
utama (primary terrain of conflict) antara
kekuatan-kekuatan sosial yang menghendaki
kontrol domestik atas kecenderungan globalisasi (Cherny, 1997).
Terakhir, globalisasi sebagai prosesproses sosio-kultural menghadirkan globalisasi sebagai paket perubahan sosial yang
komprehensif dimana selain membawa
ekses-ekses perubahan pada pola keterhubungan (intercourse) sosial dan kultural juga
menyebarkan idealisme-idealisme tertentu
yang merubah kesadaran. Termasuk dalam
pemahaman jenis ini adalah konsepsi globalisasi sebagai westernisasi sebagaimana
dikemukakan Bull dan Watson atau konsepsi globalisasi sebagai perluasan modernisasi sebagaimana dikemukakan Giddens.
Bagi Bull dan Watson globalisasi tak
lebih dari proses perubahan menuju tatanan
internasional yang di dominasi barat. Sementara bagi Giddens, globalisasi akhirnya
tak lebih sebagai ‘an enlargement of
modernity, from society to the world. It is
modernity on a global scale’.
Terhadap perdebatan di atas, wacana
ini lebih memilih jalan tengah. Dalam
wacana ini globalisasi dipahami sebagai
proses yang multifaset di mana di dalamnya
memuat tidak hanya interkoneksitas dan
kompleksitas ekonomi secara global atau
pun transgovernmentalisasi dan transnasionalisasi proses-proses politik domestik, tetapi
juga pergeseran pola keterhubungan sosio
kultural dan penyebaran ide-ide global.
Pemahaman seperti ini selain menyajikan
kelenturan juga sesuai dengan kompleksitas
globalisasi sendiri sebagai fenomena.

69

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

Sebagaimana deskripsi Hurrel tentang kompleksitas globalisasi: “First, we are
witnessing a dramatic increase in the
‘density’ and ‘depth’ of economic interdependence. Second, information technology and the information revolution are
playing an especially critical role in the
diffusing knowledge, technology and ideas.
Third, these development create the material infrastructure for the strenghtening of
societal interdependence….Fourth, this is
leading to an unprecedented and growing
consciousness of ‘global problems’…..and
of belonging to a single ‘human community’.”
Deskripsi Hurrel, secara tidak langsung, menegaskan bahwa globalisasi bukanlah proses yang monolitik. Sebaliknya,
globalisasi sebagaimana pemilahan Sklair
memuat kompleksitas proses-proses ekonomi, politik maupun ideo-kultural. Yang
menarik, dalam kompleksitas tersebut batas
bagi masing-masing tidak terdefinisikan
secara tegas. Hal ini tentu memungkinkan
bagi pemahaman yang saling bertukar
(interchangeable) di antaranya.
Dengan demikan, dalam kaitannya
dengan transisi demokrasi yang bergulir
dalam apa yang kemudian dikenal sebagai
gerakan reformasi seperti di Indonesia,
pendekatan alternatif yang dikemukakan
Giddens jelas mengemukakan pentingnya
melihat proses-proses demokratisasi yang
menyertainya dalam kerangka pengaruhpengaruh positip perubahan-perubahan berskala global yang dikenal sebagai globalisasi. Sementara dari Sklair serta telaah
sambil lalu beberapa pemikiran terkait
tentang globalisasi, pemilahan globalisasi ke
dalam tiga area analisis: ekonomi, politik
dan ideo-kultural adalah mungkin dan penting. Secara ekonomi integrasi pasar terutama pasar finansial yang semakin meng-

70

global merupakan ciri penting globalisasi
yang dapat dicatat, sementara secara politik
globalisasi secara terutama tercirikan dalam
kesaling terhubungan politik domestik dengan perkembangan global akibat transnasionalisasi dan fasilitasi kemajuan teknologi.
Akhirnya, globalisasi harus pula menyangkut penyebaran ide-ide dan kultur
hegemonik yang semakin mengglobal. Dari
sini apa pun pengidentifikasian terhadap
eksis tidaknya pengaruh-pengaruh globalisasi terhadap suatu kasus transformasi
domestik setidaknya harus pula memuat:
pertama, pengaruh-pengaruh interkoneksitas
pasar terutama pasar finansial yang semakin
meningkat dan terintegrasi. Kedua, pengaruh-pengaruh transformasi global, aktoraktor eksternal dan kemajuan teknologi.
Ketiga, peran ide-ide dan kultur hegemonik
di balik asal-muasal, proses-proses atau pun
muatan-muatan perubahannya.
Atas dasar uraian teoritik tersebut
diperkirakan bahwa proses-proses globalisasi yang berlangsung pada level global
berpengaruh positip terhadap proses-proses
demokratisasi level nasional dalam kasus
reformasi Indonesia. Pengaruh positip globalisasi terhadap demokratisasi tersebut setidaknya berlangsung melalui tiga hal berikut;
pertama, penciptaan peluang-peluang awal
bagi demokratisasi melalui pengikisan keleluasaan negara untuk bergerak otonom,
mula-mula secara ekonomi kemudian secara
politik, oleh tekanan kompleksitas dan
koneksitas kekuatan pasar (uang) lintas
nasional yang bergerak cepat dan global
sehingga berdampak pada rontoknya legitimasi sebuah rezim non demokratis yang
banyak mendasarkan kewenangannya pada
eksploitasi kesuksesan indikator-indikator
ekonomi makro berikut kikisnya kemampuan untuk mengelola basis-basis legitimasi
baru.

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

Kedua, penambahan bobot tekanan
demokratisasi atas rezim non-demokrasi
melalui saling keterhubungan yang makin
spontan antara kecenderungan demokratisasi
yang berlangsung pada level global dengan
proses-proses politik domestik suatu negarabangsa oleh ketersediaan, saling keterhubungan dan peran signifikan pemerintah
maupun aktor non pemerintah lintas
nasional yang makin meningkat serta media
komunikasi yang makin global.
Ketiga, penyediaan wacana global
demokrasi (dalam hal ini civil society) yang
berperan penting bagi proses pengagegrasian
kekuatan-kekuatan penuntut perubahan
kedalam satu spektrum issue yang memiliki
akar transnasional dan berdimensi global.

Daftar Pustaka
Bull, Hedley Bull, and A. Watson, The
Expansion of International Society
(Oxford: Oxford University Press,
1984).
Cherny , Philip G., “Globalization and the
Erosion of Democracy,” makalah
Workshop on Democratization and
the Changing Global Order, the
Eropean Consortium for Political
Research, Bern-Swiss, 27 Februari
s.d. 4 Maret 1997, tidak diterbitkan.
Cherny, Philip G., “Globalization and
Politics: Contribution to a Debate in
the Swiss Political Review,” paper
tak diterbitkan
Giddens, Anthony, Beyond Left and Right
(Cambridge: Polity Press, 1996).

Giddens, Anthony, Jalan Ketiga: Pembaharuan Demokrasi Sosial, terjemahan
Ketut Arya (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999).
Held, David, Democracy and the Global
Order: From the Modern State to
Cosmopolitan Governance (Cambridge: Polity Press, 1995).
Held, David, and Anthony McGrew, “Globalization and the Liberal Democratic State,” dalam Yoshikazu
Sakamoto (ed.), Global Transformation to the State System (Tokyo: UN
University Press, 1994), 57-83.
Hirst, Paul, dan Grahame Thompson, Globalization in Question: The International Economy and the Possibilities of Governance (Cambridge:
Polity Press, 1996).
Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan Asril
Marjohan (Jakarta: Grafiti, 1997).
O’Donnel, Guillermo, dan Philippe C.
Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi:Rangkaian
Kemungknan
dan Ketidak Pastian, terj. Nurul
Agustina (Jakarta: LP3ES, 1993).
Ohmae, Kenichi, The End of Nation State:
The Rise of Regional Economies
(London: Harper-Collins, 1995).
Robertson, Roland, Globalization: Social
Theory and Global Culture (London:
SAGE Publications, 1992).
Sklair, Leslei, Sociology of the Global
System: Social Change in Global

71

Joko Susanto, “Kajian Teoritik tentang Pengaruh Globalisasi terhadap Proses Demokratisasi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Th
XIII, No 2, April 2000, 59-72.

Perspective (Baltimore: The John
Hopkins University Press, 1991).
Uhlin, Anders, “Demokratisasi di Indonesia: Peluang dan Hambatan,”
Wacana, No. 2, 1999, 7.

72