Sastra Anak Bukan Anak Sastra

http://www.titikoma.com/esai/sastra_anak_bukan_anak_sastra.php

Saya cukup terganggu oleh sebuah pertanyaan yang dilontarkan seorang guru Sekolah Dasar ketika mengikuti workshop penulisan sastra
dalam sebuah acara haul Chairil Anwar di Jogja (acara tersebut dibuka untuk umum), yang isi pertanyaannya kurang lebih menanyakan kiat-kiat
menulis bagi anak. Poin pertanyaan yang mengganggu tersebut terutama mengenai apa yang harus ditulis oleh anak-anak seumuran SD,
bagaimana cara pengajarannya, dan bagaimana implikasinya nanti.

Pemateri nampaknya paham acara haul tersebut, yang di sana diikuti siswa SMU, guru, mahasiswa, dan lulusan kuliahan sehingga materi yang
disampaikan ‘menjadi umum’, dalam artian tidak spesifik disampaikan untuk segmen suatu ‘kelas’ (baca: umur, tingkat intelektual dan
emosional) sehingga nampak agar acara tersebut bisa diikuti semua peserta. Pertanyaannya kemudian adalah, tidakkah apa yang menjadi
keresahan guru SD tersebut berada dalam wilayah literer yang kemudian disebut pengamat sastra sebagai sastra anak?

Sebelum menjawab pertanyaan, pemateri menunjukkan sebuah gambar pemandangan gunung-jalan-pohon kelapa-matahari-burung melintasdan sawah dalam sebuah coretan sederhana di atas kertas. Semua peserta ditanya, adakah dulu ketika sekolah di SD ada yang tidak
menggambar seperti yang sedang diperlihatkan pemateri? Sambil tertawa, semua yang ada di ruangan menjawab iya. Kata pemateri, nyaris di
seluruh wilayah di Indonesia siswa-siswa SD pernah menggambarnya.

Analogi yang disampaikan saya pikir ada benarnya, betapa di Indonesia telah terjadi keseragaman dalam pengajaran (pendidikan) di semua
bidang sehingga apa yang namanya kreativitas jadi terkekang. Saya teringat pemikiran Freire bahwa pendidikan pada dasarnya membebaskan
dirinya dari sesuatu yang mengaturnya sehingga subjektivitas yang ditekankan berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya
sendiri. Artinya, selama ini guru diposisikan sebagai pusat segalanya, siswa adalah gelas yang dituangi begitu saja dan ia tinggal meminumnya.
Maka lumrah jikalau siswa-siswa mengidentifikasikan dirinya seperti gurunya yang harus digugu dan ditiru, harus diteladani dalam segala hal.


Hal tersebut juga terjadi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia (yang di dalamnya diselipi sastra). Pengajaran sastra yang selama ini lebih
ditekankan pada hapalan tentang judul dan pengarang sebuah karya, disusul pada bahasan tema, penokohan, latar dan sejenisnya (prosa),
atau rima, persajakan, tipografi dan sejenisnya (puisi), menganggap aspek-aspek tersebut sebagai sesuatu yang lahir dari ruang vakum dan
berpeluang menjauhkan siswa dari daya apresiasi. Pendidikan semacam ini, meminjam istilah Fromm, hanya akan melahirkan mental manusia
yang hanya mencintai pada sesuatu yang bendawi, tidak memiliki jiwa (nekrofili), bukan sebaliknya, manusia yang memiliki kecintaan pada
segala yang maknawi, yang memiliki jiwa kehidupan (biofili), sebab hanya aspek ‘material’ semata yang diberikan, bukan pada bagaimana
memahami hakekat keberadaan diri dan lingkungannya dengan sikap kritis penuh daya-cipta.

Berbicara mengenai sastra anak, mau tak mau harus disinggung psikologi perkembangan anak. Di dalam fase perkembangan anak, saat itulah
segala pengalaman dan pengetahuan yang diterimanya beserta proses dan pembiasaan akan menjadi bentukan dasar karakter seorang
manusia. Semua input yang diterima dalam memori di masa-masa itu akan lebih awet tersimpan. Maka apabila seorang anak bersentuhan
dengan pembiasaan dan pengenalan-pengenalan, di masa dewasa tidak kerepotan mengingat-memraktekkannya.

Contoh pengalaman adalah masa kecil seorang pakar sastra anak di Indonesia, Murti Bunanta, yang sejak usia anak-anak dikondisikan
menyukai bacaan sastra. Ayahnya seorang guru, sedangkan ibunya, ibu rumah tangga yang kerap mendongenginya dengan merujuki bukubuku cerita karya sastrawan Indonesia, Belanda, maupun Jerman. Menurut doktor sastra anak pertama di Indonesia tersebut, kesukaannya
membaca dikarenakan pembiasaan membaca buku-buku sastra.

Sayangnya, di antara duaratus juta penduduk, tradisi ‘lekat aksara’ hanya dilakukan (dinikmati) segelintir orang saja. Pendidikan yang gagal
dibarengi dengan pemahaman psikologi anak yang keliru menyebabkan budaya baca hampir tak ada. Kekeliruan pemahaman terhadap

psikologi anak misalnya: “anak kecil itu orang dewasa yang kecil”, atau anggapan bahwa anak-anak adalah kumpulan manusia yang mirip dan
serupa satu sama lain dan kehidupannya bersifat statis.

Orang dewasa banyak yang beranggapan bahwa dunia anak merupakan
dunia yang sama dengan masa kecilnya sehingga orang dewasa cenderung
mendikte terhadap anak seolah-olah mereka jauh lebih tahu dari anak
(Purbani, 2003:2).
Kekeliruan pemahaman orang dewasa misalnya, tercermin dengan masih banyaknya anak-anak yang dibiarkan nonton televisi sampai berlarutlarut, atau malah sebaliknya melarang anak-melakukan kegiatan kreatif dengan dalih ‘asal orangtua nyaman, tidak curiga, dan tidak khawatir’.
Pengekangan semacam inilah yang mesti dilawan sebab hidup manusia merupakan proses untuk menjadi diri sendiri secara utuh. Proses
individuasi merupakan salah satu pertumbuhan kekuatan dan integrasi kepribadian individualnya.

Dunia anak-anak tentu sewarna dengan pengalaman dan pengetahuan mereka yang belum menumpuk sehingga masih diperlukan mediasi
untuk mengembangkan daya kreatifnya (Nurgiyantoro). Maka yang paling penting dalam hal ini adalah pemenuhan hak anak. Hal yang
dimaksud adalah proses belajar, menjadi individu yang subjektif, perkembangan pengalaman dan pengetahuan, yang semuanya berada dalam
bingkai dunia anak. Membaca dan menulis misalnya, merupakan hak anak sebab di sana terdapat adanya ‘proses menjadi diri sendiri secara
utuh’, bukan senjadi seperti gurunya, seperti orantuanya, atau seperti orang lain.

Penjelasan mengenai hak membaca bagi anak adalah kebutuhan (bukan kewajiban) saya analogikan dengan fenomena mengenai pulsa
(telepon seluler) yang ada saat ini. Sepuluh tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, pulsa bukanlah kebutuhan masyarakat, ia mewah dan
eksklusif. Lama-kelamaan dengan alasan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, kaum kapitalis kemudian mengondisikan komoditi

(pulsa) tersebut menjadi kebutuhan. Ternyata sukses dengan cepat. Pulsa menawarkan material dan ketergantungan di kemudian hari, tapi
tidak demikian dengan membaca dan menulis yang umurnya lebih tua. Apa sebabnya? Karena pulsa memberikan kekayaan pada segelintir
orang, sedangkan membaca dan menulis hanya akan melahirkan manusia merdeka yang bebas dari ketergantungan (sebagai lawan
kapitalisme). Maka tidak kaget ketika kita mendapati betapa siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum lebih suka membeli pulsa ketimbang
membeli buku.

***

Membaca dan menulis pada mulanya tidak dikondisikan dalam sebuah ruang kebutuhan. Ia yang ‘seolah mewah dan eksklusif’ bermula dari
nihilnya pemenuhan kebutuhan anak akan buku, pembiasaan anak terhadap keberaksaraan. Sebagai bandingan, akan berbeda halnya dengan
tradisi Belanda ketika menjajah Indonesia, mereka sadar akan ‘masa depan melek-aksara’ tersebut. Pada saat itu di Belanda tumbuh kesadaran
mengenai sejarah nasional yang juga tercermin dalam buku-buku bacaan anak Hindia (Indische kinderboeken).

Menengok sejarahnya, buku-buku yang diperuntukkan bagi anak Hindia dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu buku yang berisi keperluan
pengenalan anak-anak Belanda mengenai negara jajahannya dan buku bagi keperluan anak-anak Belanda dan Indo yang tinggal di Hindia
Belanda. Sebagai cikal bakal buku anak-anak di Indonesia tentu saja buku-buku yang kedua. Buku tersebut walaupun ditulis bagi keperluan
anak-anak Belanda dan Indo tetapi tidak menutup kemungkinan dibaca juga oleh anak-anak pribumi yang saat itu memperoleh kesempatan
memasuki sekolah anak-anak Eropa.

Buku yang berjudul Oost-Indische Bloempjes; Gedichtjesvoor de Nederlandsch-Indische Jeugd (Bunga-bunga Kecil Hindia Timur; Syair-syair

untuk Remaja Hindia Belanda) yang ditulis Johannes van Soest pada tahun 1846 merupakan buku pertama bagi anak-anak Belanda dan Indo
yang tinggal di Hindia Belanda. Buku kedua berjudul De Lotgevallen van Djahidin (Pengalaman Djahidin) ditulis J.A Uilkens pada tahun 1873,
bercerita mengenai petualangan anak laki-laki Sunda di pulau Jawa, Singapura, Jepang, dan Papua Nugini. Buku tersebut kemudian
diterjemahkan dalam Bahasa Jawa, Melayu, dan Sunda. Buku ketiga berjudul Indisch Kinderleven (Kehidupan Anak-anak Hindia) ditulis Nittel de
Wolf van Westerrode pada tahun 1920. Buku inilah yang kemudian mengilhami diadakan lomba mengarang bacaan anak-anak oleh Balai
Pustaka. (Bunanta, 1998:37-38).

***

Sastra anak di Indonesia selama ini dianggap ‘bawang kosong’ semata, sebagai ‘bagian kecil’ dari sastra Indonesia. Ia seolah ‘sastra dewasa
yang dianggap kecil’, sastra anak sebagai anak sastra. Sementara, sastra Indonesia yang kentara angker menjadikan dirinya eksklusif dan
makin menjauh dari ruang kebutuhan. Demikian pula sastra anak, yang seharusnya berada dalam keberterimaan, ia tidak diajarkan sesuai
dengan perkembangan anak yang semestinya dulce et utile (Horatius), yaitu yang menyenangkan dan memberikan pencerahan. Artinya, sastra
bagi anak sebenarnya adalah batu loncatan agar mereka terbiasa membaca sehingga ia selanjutnya tidak gagap ketika membaca buku-buku
lain di luar buku sastra, tidak kaget dan gumun ketika mendapati dunia begitu gegap.

Maka dalam kondisi menyenangkan dan tercerahkan, anak akan tumbuh menjadi manusia merdeka yang memungkinkan adanya proses
tumbuhnya kekuatan dan integrasi, penguasaan terhadap alam, akal budi, dan tumbuhnya solidaritas terhadap orang lain (Fromm). Jadi wajar
jikalau seorang guru SD bertanya tentang bagaimana sebenarnya pengajaran sastra kepada anak sebab selama ini pendidikan kita berada
dalam kegagalan. Pendidikan sudah seharusnya merupakan proses yang fungsional, bukan suatu kegiatan teknis mengajarkan kebahasaan,

pesan-pesan mekanis, apalagi muatan kepentingan. Nah, artinya dalam kondisi ‘angker’ tersebut hak-hak anak terampas oleh kepongahan
orangtua sehingga mereka mengalami ‘takut aksara’, tidak bisa menemukan dirinya, sehingga tidak paham bagaimana menuliskan sejarahnya.

http://www.titikoma.com/esai/sastra_anak_bukan_anak_sastra.php
http://arrohman.blogspot.com/2008/12/master-suyatno-jadi-doktor-sastra-anak.html
Diposting oleh ruang baca di PM 04:40
Label: Pendidikan

1 komentar
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/1210/bud2.html
Adakah Hubungan Sastra dan Korupsi?
Oleh
Ngatini Rasdi
MARAKNYA kasus korupsi (juga dekadensi moral lainnya) di Indonesia, agaknya bisa dikaitkan
dengan rendahnya apresiasi sastra (juga karya seni lainnya) di negeri ini. Jika benar ada
hubungan antara sastra dengan korupsi, masalah apresiasi sastralah yang layak dianggap
sebagai penghubungnya.
Marilah kira mencoba membandingkan tingkat apresiasi sastra di negara ini dengan di negaranegara lain. Misalnya saja, betapa siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina dan Thailand
telah akrab dengan novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer dan karya sastrawan-sastrawan
besar dunia lainnya, sedangkan rekan-rekannya di Indonesia hanya sedikit yang mengenal sosok

Pramoedya Ananta Toer.
Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama
berjudul Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear dan Julius Caesar karya William
Shakespeare misalnya, sementara mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui bahwa
William Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima
abad.
Kurikulum
Jika rendahnya tingkat apresiasi sastra di Indonesia memang dapat dikaitkan dengan maraknya
kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya (seperti penebangan liar yang menghancurkan
ekosistem lingkungan), kita harus berani menuduh dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan
yang menjadi biangnya.
Sebab, semua generasi bangsa tidak akan memiliki apresiasi yang tinggi terhadap sastra jika
sejak kecil tidak memperoleh pendidikan yang baik. Dalam hal ini, guru-guru sebagai pendidik di
sekolah tidak bisa dijadikan kambing hitam, karena faktanya, kurikulum pendidikan yang menjadi
pedoman mengajar anak didik sangat kurang memberi peluang untuk menyemai apresiasi sastra
anak.
Sungguh menyedihkan, jika kita memperhatikan soal-soal ujian di sekolah-sekolah menengah di
negeri ini yang berkaitan dengan sastra, Masalah-masalah remeh seperti misalnya di mana
penyair Chairil Anwar dilahirkan dan apa salah satu judul novel karya Marah Rusli selalu
dijadikan soal ujian.

Belum pernah kita menemukan bahan ujian yang mengharuskan murid di sekolah-sekolah kita
menghafal satu bait puisi karya Chairil Anwar atau mengharuskan murid membuat komentar
pendek tentang novel karya sastrawan Indonesia, misalnya. Dalam jeratan kurikulum pendidikan
yang cenderung memperbodoh anak didik di sekolah, khususnya yang berkaitan dengan
apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin spiritualitas, sehingga
mudah melakukan hal-hal nista tanpa rasa bersalah atau malu.
Tanpa bermaksud membesar-besarkan pentingnya sastra bagi kehidupan manusia, jika sejak
kecil anak-anak kurang mendapatkan pendidikan tentang apresiasi sastra, sangat sulit
mengharapkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang memiliki
kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat. Sebab, di dalam karya sastra

terkandung banyak nilai-nilai spiritualitas yang dapat mempengaruhi perilaku kehidupan bangsa,
setelah ajaran agama.
Bagaimana kehidupan berjalan dengan baik, baik hubungan antarmanusia, hubungan manusia
dengan alam, maupun hubungan antarbangsa harus dibentuk, sering berawal dari gagasangagasan sastrawan yang tertuang dalam karya sastra mereka.
Sastra juga banyak memberikan informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah
suatu bangsa yang bisa menjadi spirit hidup dan yang bisa dikembangkan oleh generasi-generasi
selanjutnya di abad-abad berikutnya, dan semua itu hanya bisa dimengerti jika dibaca dengan
seksama.
Oleh karenanya, pendidikan sastra di sekolah-sekolah kita harus ditingkatkan dan difokuskan ke

arah upaya meningkatkan apresiasi sastra, sehingga anak-anak sejak kecil terdorong untuk
bersemangat mengenal karya-karya sastra dengan serius.
Terlalu bebal, jika kurikulum pendidikan dibiarkan cenderung meremehkan upaya meningkatkan
apresiasi sastra, dengan terus menerus meminimalkan kuota pelajaran sastra di sekolah-sekolah
kita, hanya karena menganggap sastra tidak penting bagi pembangunan bangsa.
Sebab, sudah terbukti sejak dulu, bangsa-bangsa yang kini telah maju memiliki kurikulum
pendidikan yang cenderung memposisikan upaya meningkatkan apresiasi sastra sebagai
"primadona" di sekolah-sekolah.
Misalnya, siswa sekolah di negara-negara maju bisa membanggakan orang tua dan gurugurunya jika mampu memerankan tokoh utama dalam pentas drama klasik pada acara
perpisahan di sekolahnya.
Dan mungkin karena itulah, di negara-negara maju tidak banyak siswa sekolah yang berperilaku
barbarian seperti mencorat-coret baju seragamnya setelah dinyatakan lulus. Atau, tidak ada
kasus tawuran antarpelajar di negara-negara maju, karena hampir semua siswa di sekolah sudah
memiliki etika dan budi pekerti yang diserapnya dari karya-karya sastra yang dibacanya.
Layak Ditingkatkan
Ketika agama dan berbagai perangkat hukum sudah layak dianggap gagal mengatur kehidupan
bangsa, dengan bukti semakin maraknya kasus korupsi dan kejahatan lain yang berdampak
buruk dan luas pada masa depan umat manusia di negeri ini, apresiasi sastra sudah selayaknya
ditingkatkan.
Tanpa bermaksud meremehkan agama dan perangkat hukum, kenyataannya berbagai kasus

buruk yang berkaitan dengan ambruknya moral dilakukan oleh semua orang yang mengaku
beragama dan bahkan tampak rajin beribadah.
Dalam hal ini, agama dan perangkat hukum harus dianggap tidak cukup mampu mengatur
kehidupan bangsa, dan karenanya harus didukung spiritualitas sastra sebagai produk peradaban
dan kebudayaan yang bersifat universal.
Setiap karya sastra, dapat dipastikan mengandung nilai-nlai spiritualitas tentang kehidupan yang
bisa dijadikan modal dasar membangun karakter bangsa.
Bahkan, karya-karya sastra yang dikategorikan "berbahaya" seperti novel-novel berdimensi
erotisme tetap mengandung nilai-nilai moral yang layak dikaji dengan sikap apresiatif.
Jika seseorang membaca karya sastra yang memuat deskripsi tentang adanya penyimpangan
seksual misalnya, justru is tidak akan memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Ini karena di
balik deskripsi tersebut secara implisit terdapat rambu-rambu yang menjelaskan dua arah yang
saling berlawanan.

Dalam hal ini, karya sastra seburuk apa pun bisa "mendidik" pembacanya untuk bersikap kritis
dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang ditawarkannya.
Dan untuk lebih amannya, jika memang ada niat baik untuk meningkatkan apreasiasi sastra di
sekolah-sekolah kita, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak
memuat nilai-nilai tentang ajaran moral dan spiritualitas hidup untuk menjadi kajian siswasiswanya.
Dalam hal ini, harus selalu ada pekerjaan rumah berupa tugas membaca karya-karya sastra

sebanyak-banyaknya bagi siswa untuk kemudian direpresentasikan di depan kelas.
Demikianlah, jika kini korupsi dianggap sebagai penyebab robohnya banyak gedung sekolah,
rusaknya jembatan dan jalan-jalan yang baru dibangun serta hancurnya lingkungan hidup di
negeri ini, mungkin ini bisa dikaitkan dengan minimnya pendidikan sastra. Jadi, sudah
selayaknya pendidikan (apresiasi) sastra segera ditingkatkan sebelum negeri ini ambruk oleh
merajalelanya korupsi.
Penulis mengaku dirinya penikmat sastra

NILAI BUDAYA ASING DALAM SASTRA ANAK TERJEMAHAN
Titien Diah Soelistyarini
Edi Dwi Riyanto
Universitas Airlangga
Berbagai cerita anak dalam bentuk dongeng, cerita bergambar, dan cerita pendek telah
banyak diterbitkan di Indonesia baik dalam majalah maupun buku. Sayangnya, sebagian besar
karya sastra anak yang beredar bukanlah merupakan karya asli dari negeri sendiri melainkan
terjemahan dari karya sastra asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa penerbitan sastra anak
terjemahan tersebut dapat mengisi kekosongan akan karya-karya sastra anak yang bermutu di
Indonesia. Akan tetapi, sisi lain yang perlu mendapat perhatian dari keberadaan sastra anak
terjemahan adalah nilai-nilai budaya asing yang turut dibawa dalam karya-karya tersebut
mengingat eratnya kaitan antara karya sastra dan budaya masyarakatnya.

Sebagai sebuah kajian awal, makalah ini dimaksudkan pertama-tama untuk memaparkan
hasil kajian pustaka seputar kandungan nilai budaya dalam sastra anak. Untuk itu, berbagai artikel
jurnal, buku, dan tulisan lain dijadikan sebagai bahan telaah. Selanjutnya, makalah ini juga akan
mengkaji kandungan budaya dalam sejumlah karya sastra anak terjemahan populer dengan
pendekatan intrinsik dan close reading. Diharapkan makalah ini dapat memunculkan cara
pandang yang kritis dalam menyikapi nilai-nilai budaya dalam karya sastra anak terjemahan.
Kata kunci: nilai budaya asing, sastra anak terjemahan
_______________________________
Para orang tua tentunya ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka semenjak
usia dini. Dalam mendidik anak, mereka umumnya juga berupaya untuk menanamkan hal-hal,
kebiasaan, nilai-nilai, dan perilaku yang baik. Banyak orang tua, misalnya, ingin menumbuhkan
minat baca anak dengan membiasakan anak membaca sejak kecil. Agar anak mau membaca
tentunya diperlukan bahan-bahan bacaan yang dapat menjadikan kegiatan membaca
menyenangkan bagi anak. Di sinilah peluang munculnya karya-karya sastra anak yang tidak
hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan akan bahan bacaan bagi anak tetapi juga dapat menjadi
jendela pembuka cakrawala dan dunia imajinasi anak.
Peluang ini disadari betul oleh para penerbit di Indonesia yang berlomba-lomba untuk
menghadirkan berbagai bacaan menarik untuk anak. Namun, jika melihat buku-buku cerita anak
populer yang banyak memenuhi rak-rak toko buku saat ini, sebagian besar adalah karya sastra
terjemahan. Sebut saja mulai dari dongeng-dongeng karya H.C. Andersen, dongeng Cinderella,
Putri Salju, Putri Tidur dan sebagainya yang banyak dipopulerkan Disney, hingga Avatar: The
Legend of Aang, Naruto, dan SpongeBob Squarepants yang diadaptasi dari serial televisi yang
sangat digandrungi anak-anak. Sementara itu, bacaan anak karya asli pengarang Indonesia yang
sempat berjaya di era 1980-an seperti cerita-cerita petualangan karya Djoko Lelono atau
Dwiyanto Setyawan, Soekanto S.A., dan pengarang lainnya tidak lagi dikenal oleh anak-anak
zaman sekarang. Karya-karya asli Indonesia saat ini pun tidak banyak kita temui. Hal ini juga
diakui oleh Dwiyanto. "Pengaruh dari luar negeri, setelah masuknya komik, teks (bacaan anak)

kita agak tergusur. Orientasi pembaca kita suka yang luar negeri," katanya (Februana &
Kurniawan 2008).
Keberadaan bacaan anak terjemahan karya asing khususnya dari Jepang dan Amerika yang
mendominasi penerbitan karya sastra anak di Indonesia ini bisa jadi sangat menguntungkan. Bagi
anak-anak sebagai pembaca, keberadaan karya-karya tersebut dapat memuaskan dahaga mereka

Page 2
Titien Diah +Edi Dwi R, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 2 dari 5
Batu, 12-14 Agustus 2008

akan bahan bacaan anak mengingat terbatasnya jumlah karya-karya asli negeri sendiri. Bagi
penerbit, hal ini tentunya juga menjanjikan mereka keuntungan secara komersial karena anakanak Indonesia memang cenderung lebih menyukai karya-karya terjemahan tersebut yang sedikit
banyak kepopulerannya turut didongkrak oleh media pengusung budaya populer seperti televisi
dan film. Akan tetapi selain keuntungan yang diberikan, satu hal yang perlu kita waspadai adalah
kandungan nilai-nilai budaya asing yang turut terbawa dalam karya-karya terjemahan tersebut.
Memang ada nilai-nilai budaya yang bersifat universal, tetapi tidak jarang banyak nilai-nilai
tipikal budaya tertentu yang mungkin tidak kita temui di dalam budaya kita.
Terkait dengan maraknya sastra anak terjemahan ini dan kekhawatiran akan adanya nilai
budaya asing di dalamnya, kita bisa menyikapi hal ini dengan lebih kritis dan obyektif. H. Lofting
dalam World Friendship and Children s Literature misalnya menganggap bahwa sastra anak
terjemahan merupakan katalisator bagi pemahaman terhadap dunia. Dengan kata lain, sastra anak
terjemahan dapat berperan untuk menumbuhkan rasa saling hormat antar sesama bagi semua
orang di seluruh dunia (Joels 1999, 66). Hal ini dimungkinkan karena dengan adanya karya-karya
sastra anak terjemahan tersebut, misalnya anak-anak Indonesia tidak harus mengalami kendala
bahasa dalam membaca cerita anak dari Jepang sehingga mereka mendapatkan gambaran tentang
kebiasaan dan kehidupan anak-anak Jepang.
Satu hal yang perlu mendapat perhatian dalam penerjemahan karya sastra anak adalah
proses penerjemahan yang bukan merupakan sebuah proses mudah yang dapat berjalan secara
otomatis dan dilakukan secara asal-asalan. Banyak permasalahan yang mungkin timbul akibat
adanya perbedaan dua sistem linguistik dan budaya. Kesulitan terutama muncul apabila karya
yang hendak diterjemahkan diperuntukkan bagi anak-anak yang tidak memiliki banyak
pengetahuan tentang budaya dari teks tersebut berasal (Yamazaki 2002, 53). Alih-alih
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang budaya masyarakat dari bagian dunia lain,
pembaca anak mungkin malah tidak menyadari kekayaan dari keragaman budaya di sekitar
mereka.
Sebenarnya menerjemahkan bukanlah pekerjaan yang tunggal. Pengamatan yang lebih luas
pada sastra anak di Indonesia akan membawa kita pada berbagai variasi terjemahan seperti
terjemahan ,
saduran ,
adaptasi , dan mungkin variasi lainnya. Variasi-variasi tersebut
membawa konsekuensi tersendiri dalam hal perlakuan terhadap teks asli dan hasil berupa teks
berbahasa Indonesia. Isabelle Desmidt (2006) telah melakukan penelitian terkait dengan hal ini
dalam tulisannya yang berjudul A Prototypical Approach within Descriptive Translation Studies?
Colliding Norms in Translated Children's Literature. Desmidt mengupas tentang permasalahan
terjemahan pada sastra anak-anak yang diakuinya diwarnai benturan antara sejumlah aturan
(misalnya sumber teks terkait, kesusastraaan, bisnis, pendidikan, pengajaran, dan masalahmasalah teknis). Selanjutnya, ia menyarankan perlunya penyesuaian dalam penerjemahan sastra
anak-anak.
Gonzales-Cascallana (2006) lebih jauh dalam Translating Cultural Intertextuality in
Children's Literature mengatakan bahwa dimensi budaya terjemahan menjadi penting karena
adanya pengakuan bahwa baik naskah sumber maupun naskah terjemahan bukan sekedar contoh
materi linguistik, tetapi juga terkait dengan jejaring penanda budaya. Bagi penerjemah mengurai
penanda budaya tersebut bisa menjadi lebih sulit dibanding dengan menyelesaikan permasalahan
semantik atau sintak. Permasalahan menjadi semakin rumit ketika penerjemahan tersebut
dilakukan pada teks-teks untuk pembaca anak-anak.
Kerumitan tersebut terkait antara lain dengan peran yang diharapkan dari sastra anak seperti
yang dikemukakan oleh Murti Bunanta, seorang pemerhati dan pakar sastra anak dari Universitas
Indonesia, bahwa lewat sastra, anak-anak bisa lebih mendapatkan bacaan yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan masalah umat manusia pada umumnya, budi pekerti, arti penting
kerja keras, empati, juga artistik (Asrori 2007). Lewat bukulah orang dewasa bisa menanamkan
nilai-nilai luhur secara lebih efektif. Beban yang dipanggul oleh sastra anak dalam beberapa kasus

Page 3
Titien Diah +Edi Dwi R, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 3 dari 5
Batu, 12-14 Agustus 2008

bisa berubah menjadi pedang bermata dua. Pertama, nilai-nilai dari kita sebagai orang tua bisa
disampaikan melalui sastra. Kedua, nilai-nilai orang lain yang termuat pada sastra tersebut bisa
bertabrakan dengan nilai yang kita anut.
Lalu seperti apakah karya sastra anak terjemahan yang beredar dan populer di kalangan
anak-anak Indonesia? Nilai-nilai budaya asing seperti apakah yang turut dibawa dalam karyakarya tersebut? Untuk mengkaji lebih lanjut tentang hal ini, dalam makalah ini dibahas beberapa
contoh karya sastra anak terjemahan beserta nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.

Kemandirian
Sebuah nilai budaya yang sangat menarik yang dapat ditemui dalam karya sastra anak
terjemahan adalah kemandirian. Apakah ini sesuatu yang asing? Terus terang, iya. Kita
harus mengakui bahwa kemandirian bukanlah sebuah nilai dasar dalam budaya
masyarakat kita. Banyak orang tua juga mengakui sulitnya menanamkan kemandirian
pada anak dari hal yang kecil sekalipun karena terutama keluarga kelas menengah
misalnya umumnya memiliki pembantu rumah tangga atau pengasuh anak yang selalu
siap membantu anak melakukan hal-hal yang sebenarnya dapat ia lakukan sendiri.
Kemandirian merupakan salah satu nilai paling mendasar dalam budaya Amerika yang

sangat erat kaitannya dengan nilai lain, yakni kebebasan individu. Menurut Datesman dan
Kearny (2005) seseorang hanya akan mendapatkan kebebasan pribadi ketika ia telah
dapat berdiri di atas kedua kakinya sendiri, atau dengan kata lain memiliki nilai
kemandirian.
Nilai kemandirian ini merupakan salah satu nilai yang dapat ditemukan dalam bacaan
Franklin seri storybooks yang berjudul Franklin dan Anak Besar yang dalam program televisi
merupakan salah satu episode serial Franklin berjudul Franklin Delivers. Baik dalam buku
maupun episode TV tersebut diceritakan bahwa tokoh utama, Franklin si kura-kura, tidak mau
lagi dianggap sebagai anak kecil lagi. Karena ingin diperlakukan sebagai anak yang sudah besar,
maka ia ingin melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh anak besar seperti Jack Rabbit yang
memakai papan luncur ke mana-mana atau mengenakan topi secara terbalik. Itu semua terlihat
keren bagi Franklin. Hal lain dari Jack yang ingin ia tiru adalah menjadi pengantar koran. Sebagai
seorang remaja belasan tahun, Jack memang bekerja paruh waktu di sela-sela waktu luangnya
agar dapat menabung untuk kebutuhannya sendiri.
Jika dibandingkan dengan konteks di Indonesia, anak-anak yang menjadi pengantar koran
umumnya adalah anak-anak putus sekolah atau anak-anak dari keluarga tidak mampu yang
memang harus membantu mencari tambahan penghasilan untuk meringankan beban orang tua.
Hal ini mungkin yang banyak kita pahami dan juga dipahami oleh anak-anak kita. Akan tetapi,
lain halnya dengan di Amerika. Pekerjaan pengantar koran ataupun pekerjaan-pekerjaan paruh
waktu lainnya yang banyak dilakukan oleh anak-anak Amerika sejak usia belasan tahun tidak
ditujukan untuk mencari tambahan penghasilan bagi keluarga, tetapi lebih ditekankan untuk
memberi tanggung jawab dan melatih kemandirian pada anak-anak sejak dini. Hal inilah yang
mungkin nyaris tidak pernah kita temui pada keluarga kelas menengah di Indonesia sehingga
anak-anak yang membaca cerita ini akan memiliki persepsi yang berbeda tentang kemandirian
dan dapat belajar dari cerita yang mereka baca.

Tradisi Valentine dan Halloween
Hal lain yang sering kita temui dalam cerita anak adalah tradisi budaya asing yang tidak
dikenal sebelumnya dalam budaya masyarakat kita. Tradisi tersebut mulai dikenal luas
dan bahkan diikuti oleh sebagian masyarakat setelah turut dipopulerkan oleh berbagai
media, termasuk melalui karya sastra anak terjemahan. Contoh tradisi budaya asing
tersebut antara lain adalah Valentine dan Halloween.
Tradisi Valentine yang merupakan perayaan hari kasih sayang misalnya bisa kita temui
dalam seri komik SpongeBob dan Valentine yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia.

Page 4
Titien Diah +Edi Dwi R, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 4 dari 5
Batu, 12-14 Agustus 2008

Dalam cerita ini, Valentine digambarkan sebagai satu hari dimana semua orang merayakan kasih
sayang dengan mengungkapkan rasa cinta mereka kepada orang yang mereka sayangi. Sebagai
sahabat, SpongeBob dan Patrick juga ingin mengungkapkan perasaan sayang tersebut dengan
saling memberi hadiah.
Sementara, tradisi Halloween dapat kita temui dalam buku cerita Franklin dan Pesta
Helowin yang menceritakan pengalaman Franklin merayakan pesta Halloween bersama temantemannya. Mereka mengenakan kostum yang aneh dan seram sebagaimana kebiasaan masyarakat
Amerika dalam merayakan Halloween. Mereka kemudian berkeliling lingkungan tempat tinggal
mereka dan mengetuk pintu setiap rumah untuk meminta permen atau makanan kecil sembari
berkata, Dikerjain atau kasih makanan. Kata-kata tersebut merupakan terjemahan dari ungkapan
yang memang menjadi ciri khas dalam perayaan Halloween, yakni trick or treat.
Sebagian anak Indonesia yang membaca cerita-cerita tersebut mungkin tidak begitu
mengenal kedua tradisi yang sangat populer di Amerika, khususnya perayaan Halloween yang
memang khas Amerika. Bahkan para orang tua pun belum tentu paham tentang tradisi tersebut.
Cara mengungkapkan kasih sayang dengan bertukar hadiah di hari Valentine dengan orang-orang
yang dikasihi atau merayakan Halloween dengan berkostum seram memang tidak harus dipahami
dengan meniru kebiasaan tersebut. Hal ini bisa disikapi sebagai sebuah perbedaan yang dapat
memperkaya pengetahuan anak.
Ciuman Sang Pangeran
Dongeng-dongeng yang banyak dipopulerkan Disney dari mulai dalam bentuk buku cerita
hingga film layar lebar seperti Cinderella, Snow White and the Seven Dwarfs dan Sleeping Beauty
juga telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan sangat digemari oleh anak-anak.
Meskipun sudah mendunia, dongeng-dongeng tersebut tetap saja membawa nilai-nilai budaya
asalnya. Ketiga dongeng itu, misalnya, diakhiri dengan ciuman cinta sejati dari pangeran impian
yang mengubah hidup Cinderella dari seorang Upik Abu menjadi seorang putri (dalam
Cinderella); membangunkan Putri Salju dari mati suri (dalam Putri Salju dan Tujuh Orang
Kerdil); dan membangunkan Putri Tidur dari tidur panjangnya (dalam Putri Tidur).
Dari kacamata budaya timur berciuman bukanlah hal yang biasa dilakukan, apalagi di
Indonesia. Mencium lawan jenis bagi sebagian orang Indonesia hanya bisa dilakukan pada tempat
dan orang tertentu. Bagi orang tua yang tidak menginginkan anaknya meniru adegan ciuman ini,
tidaklah mudah menjelaskan adegan tersebut. Biasanya ketika terdapat adegan tersebut dalam
program televisi, salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menyuruh anak tersebut menutup
mata agar tidak melihat adegan yang dilarang itu. Namun bagaimana jika hal ini kita temui dalam
buku bacaan anak. Di sinilah diperlukan sensitivitas dalam penerjemahan karya sastra asing,
khususnya yang ditujukan bagi pembaca anak.
Kekerasan
Masalah kekerasan dalam komik anak sudah banyak dibahas. Komik seperti Naruto dan
Dragon Ball berisi tentang pertarungan para jagoan yang tiada habisnya. Kekerasan ini bisa
dikatakan bukan monopoli nilai asing. Maksudnya, kekerasan juga ada di dalam masyarakat kita.
Namun demikian, apabila kita lebih dalam melihat kasus sastra maka ada sejumlah catatan yang
bisa kita simak antara lain: sastra anak klasik seperti dongeng dan cerita rakyat misalnya Putri
Salju, Cinderella, dan Pinokio, pada umumnya tidak terlalu menonjolkan kekerasan; sementara
bacaan anak terbitan era 2000an, terutama dari Jepang, sangat dominan mengusung nilai-nilai
kekerasan. Hal ini perlu diwaspadai karena anak-anak adalah peniru ulung sehingga tidak jarang
mereka menirukan adegan atau perilaku tokoh rekaan dalam cerita yang dibacanya. Dengan
demikian, nilai-nilai kekerasan pun perlahan dapat tertanam pada diri anak.

Page 5
Titien Diah +Edi Dwi R, Konferensi Internasional Kesusastraan XIX / hiski halaman 5 dari 5
Batu, 12-14 Agustus 2008

Kesimpulan
Sebuah karya sastra asing bisa diterjemahkan, disadur, dan diadaptasi ke dalam teks sastra
berbahasa Indonesia. Kandungan nilai dalam karya tersebut bisa jadi berbeda atau bahkan
bertentangan dengan nilai lokal Indonesia. Namun demikian, tidak berarti bahwa kita harus
menentang keberadaan karya-karya tersebut karena tidak semua nilai-nilai budaya asing dalam
karya terjemahan selalu bersifat negatif dan dapat mengikis nilai budaya lokal pada anak-anak
kita. Apabila dikhawatirkan sastra anak terjemahan bisa mengancam nilai-nilai luhur maka
diperlukan sejumlah langkah untuk mengawal anak-anak kita dalam melakukan eksplorasi dunia
sastra. Bagaimanapun nilai-nilai asing yang ada dalam karya sastra bisa memperkaya wawasan
anak. Dengan bimbingan yang benar dari orang tua, guru, maupun masyarakat, maka anak-anak
kita akan belajar tentang keanekaragaman budaya dan toleransi dari sastra anak.
Selain itu, jika kita memang mengkhawatirkan anak-anak kita lebih mengenal budaya asing
daripada budaya mereka sendiri, ada beberapa hal yang dapat kita lakukan. Salah satunya adalah
mendorong tumbuhnya sastra anak karya anak negeri melalui lomba penulisan karya sastra anak
khas Indonesia. Lomba semacam ini akan menjadi tantangan bagi para pengarang untuk
menguasai teknik penulisan cerita anak yang menarik dan jauh dari kesan menggurui sehingga
anak-anak tidak akan kehilangan minat baca. Hal lain yang dapat dilakukan adalah mengajarkan
cara mendongeng atau membaca buku sastra yang baik pada anak dalam pengajaran sastra di
sekolah. Dengan demikian, pembaca anak akan lebih punya banyak pilihan karya-karya sastra
untuk dinikmati dan sekaligus dapat belajar pula tentang nilai-nilai budaya mereka sendiri melalui
karya-karya tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori,
Mohammad.
2007.
Setangkup
Problematika
Sastra
Anak
Indonesia.
http://www.warungfiksi.wordpress.com/2007/11/20/setangkup-problematika-sastra-anakindonesia/
Bourgeois, Paulette dan Brenda Clark. 2002. Franklin dan Pesta Helowin. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
____. 2008. Franklin dan Anak Besar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Datesman, M., J. Crandall, and E.N. Kearny. 2005. American Ways: An Introduction to American
Culture. 3rd Edition. New York: Pearson Education.
Desmidt, Isabelle. 2006. A Prototypical Approach within Descriptive Translation Studies?
Colliding Norms in Translated Children s Literature dalam J.V. Coillie dan W.P.
Verschueren, ed. Children s Literature in Translation:Challenges and Strategies. London:
St.Jerome Publishing Ltd. hal. 79-96.
Februana, Ngarto dan Kurniawan. 2008. Kejayaan Para Anak Petualang dalam Ruang Baca
Edisi Cetak Tempo 5 Februari 2008. Jakarta: Koran Tempo.
Gonzales-Cascallana, B. 2006. Translating Cultural Intertextuality in Children s Literature
dalam J.V. Coillie dan W.P. Verschueren, ed. Children s Literature in
Translation:Challenges and Strategies. London: St.Jerome Publishing Ltd. hal. 97-110.
Joels, Rosie W. 1999. Translations Weaving World Understanding: The Importance of
Translations in International Children's Literature dalam Children s Literature in
Education. Vol. 30. No. 1. hal. 65-83.
Yamazaki, Akiko. 2002. Why Change Names? On Translation of Children s Books dalam
Children s Literature in Education. Vol. 33. No. 1. hal. 53-62.

Page 6
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.