Pola Kellèghãn dan Teknik Vokal Kèjhungan Representasi Ekspresi Budaya Madura dan Pengalaman Estetiknya

Pola Kellèghãn dan Teknik Vokal Kèjhungan Representasi Ekspresi Budaya Madura dan Pengalaman Estetiknya

Zulkarnain Mistortoify 1

Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Surakarta Timbul Haryono, Victor Ganap, dan G.R. Lono L. Simatupang

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK

Kèjhungan adalah gaya nyanyian Madura yang memiliki ciri-ciri kontur melodi dengan didominasi nada-nada tinggi, penuh dengan ketegangan suara (nyaring), ekspresif, dan terpola. Kèjhungan seringkali dianalogikan sebagai sebuah bentuk ekspresi “keluh-kesah” semata. Kelantangan suara, ketinggian nada, dan pengolahan melodi yang penuh melismatis mengesankan nyanyian ini seperti orang yang sedang berteriak, membentak, dan merintih-rintih. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap hubungan antara karakteristik kèjhungan dengan dunia pengalaman manusia pemiliknya. Oleh karenanya, aspek yang dikaji tidak hanya melihat aspek materi nyanyian itu sendiri, melainkan melihat pula perilaku menyanyikannya. Melalui analisis struktural-hermeneutik dan pendekatan etnoestetik, ditemukan bahwa kellèghãn (pola-pola kalimat lagu) menjadi karakteristik pokok dari bentuk kèjhungan dan teknik vokalnya yang bertumpu pada capaian ekspresi yang “menggebu-gebu”. Ide dan konsep yang tergali dibalik itu menunjukkan adanya relasi antara kebiasaan menyanyi orang Madura dengan pengalaman sejarah sosial-budayanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nyanyian Madura secara fenomenologis memberikan petunjuk yang sangat jelas sebagai representasi dari ekspresi budaya dan pengalaman estetik, khususnya pada sub kultur barat Madura.

Kata kunci: kellèghãn, teknik vokal, ekspresi budaya, pengalaman estetik

ABSTRACT

Kellèghãn Pattern and Kèjhungan Vocal Technique, the Representation of Madurese Cultural

Expression and Aesthetic Experience. Kèjhungan is a singing style specific to Madurese. It features the patterned melodic contour dominated by high pitch vocal, expressiveness, and full of vocal intensity. Madurese kèjhungan is often misperceived only as a form of “moaning” due to its piercing sound, high pitch note, and melismatic melody. Kèjhungan gives an impression of a person shrieking and moaning at the same time. The study of kèjhungan was conducted to reveal the relationship between the singing characteristic and human experiences. Therefore, kèjhungan aspects should not only focus on the singing material itself, but it should also include a study on how people sing it. Using the structural-hermeneutic analysis and ethno aesthetic approach, the kellèghãn (patterns of musical phrase) and vocal techniques that rest upon volatile expression are the basic characteristics of kèjhungan. The idea and concept behind those techniques show a connection between Madurese singing practice and the chronicle of their socio-cultural experience. Finally, this research shows that in phenomenological aspect it gives a very clear clue on the representation of the Madurese culture expression and aesthetic experience, especially the sub-culture of West Madura.

Keywords: kellèghãn, vocal techniques, culture expression, aesthetic experience

Pendahuluan

mencerminkan karakteristik local genius yang kuat. Demikianlah pandangan utama yang muncul dari

Gaya nyanyian Madura atau dikenal de- banyak kalangan yang telah mengenalinya. Pelaku ngan sebutan kèjhungan, memiliki kekhasan yang

kèjhungan (tokang kèjhung) dikenal memiliki cara

1 Alamat korespondensi: Jln. Ki Hajar Dewantara 19, Kentingan, Surakarta, 57126. HP: 081329224066. Email: mistortoify@yahoo.com dan zoelmis@gmail.com

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura pengekspresian yang menggebu, terkesan spontan, terbatas dan komitmen yang lemah dari pihak yang

dan menyukai permainan nada-nada tinggi yang berwenang. Pentingnya topik ini bagi kebudayaan kemudian membentuk pola-pola melodi yang dise- Madura bahwa gaya nyanyian lokalnya sebetulnya but kellèghãn. Karakteristik kèjhungan yang relatif

dapat berbicara banyak mengenai pemahaman berbeda dengan kultur nyanyian daerah lainnya, karakteristik ekspresi estetik masyarakat pemiliknya menyebabkan timbulnya penilaian terhadapnya. dan jatidiri budayanya. Kèjhungan sebagai ekspresi Kèjhungan seringkali dianalogikan sebagai sebuah gaya nyanyian dapat menerangkan sejumlah bentuk ekspresi “keluh-kesah” semata. Kelantangan pengalaman terdalam manusia, menghantarkan suara dengan sajian nada-nada tinggi dikesankan imajinasi atau persepsi masyarakat pemiliknya ke seperti orang yang sedang berteriak, membentak, arah pengalaman tertentu. Sebagaimana Bruner bahkan seperti merintih-rintih atau mengeluh. Se- (1986: 5-6) ungkapkan bahwa relasi ekspresi seni jumlah kesan umum di atas setidaknya merupakan dan pengalaman manusia merupakan hubungan gambaran awal tentang ekspresi nyanyian orang dialektis. Ketika “pengalaman menstruktur Madura.

ekspresi”, maka “ekspresi juga dapat menstruktur Nyanyian merupakan tindakan komunikasi

pengalaman”.

yang spesifik karena berhubungan dengan perilaku Objek material penelitian ini adalah nyanyian menyanyi. Lomax (1976: 11) menyebut perilaku yang dikaitkan dengan gejala-gejala lain yang khas semacam itu sebagai gaya. Mempelajari gaya melingkupinya. Sementara, objek formalnya nyanyian sama halnya mempelajari teknik dan ke- menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan biasaan menyanyi, dan bukan terletak pada ma- struktural-hermeneutik untuk menjelaskan struk- teri nyanyian itu sendiri. Jika demikian, kèjhungan tur dan teknik nyanyiannya, serta pendekatan seharusnya dilihat tidak hanya aspek bentuknya etno-estetika untuk mengungkap persoalan saja, melainkan harus dilihat pula dari perilaku konsep-konsep lokal (idealistik dan estetik) yang menyanyikannya (teknik atau cara kerjanya). Jika mendasari kèjhungan, serta pemaknaan-pemaknaan kèjhungan diasumsikan telah dimaknai secara yang muncul dari persepsi tineliti dan dalam sistim komunal, maka studi ini selayaknya tidak hanya

pengetahuan mereka. Berdasarkan topiknya, pe- mencermati wujud dan teknik nyanyiannya saja, nelitian ini memerlukan keterlibatan peneliti da- melainkan mengungkapkan nilai-nilai yang me- lam metode pengumpulan datanya, sebab hal itu latarbelakanginya. Pengungkapan atas suatu gaya merupakan metode kerja lapangan yang menjadi nyanyian ibarat sebuah “pintu masuk” untuk me- syarat mutlak untuk lebih memahami tentang ngetahui “isi ruangan” (nilai-nilai) yang hanya ada perilaku dan pikiran subjek yang diteliti. Sementara, dalam dunia ide, konsep, keyakinan, dan peng- secara kombinatif penggunaan metode analisis alaman manusianya.

musikologis, etnografis, dan interpretatif sangat Penelitian ini selain mengungkap sisi bentuk- dimungkinkan di dalam pendekatan “struktural- struktur kèjhungan dan cara-cara penyanyiannya,

hermeneutik” dan pendekatan etno-estetik. juga mengungkap hal-hal penting atas fenomena musikal kèjhungan melalui upaya penggalian

Kèjhungan sebagai Nyanyian Bergaya Khas konsep estetik dalam budaya musik orang Madura. Madura

Topik spesifik ini dipilih penulis karena termotivasi Kata kèjhungan berasal dari kata kèjhung untuk menggalinya lebih dalam mengenai yang menunjuk pada arti tembang atau lagunya, keberadaan sebuah gaya nyanyian leluhur Madura sedangkan imbuhan “an” menunjuk pada arti yang dulunya eksis dan menyeluruh, tetapi saat gaya atau langgam suatu nyanyian. Pengertian ini hanya hidup di komunitas tertentu yang di masyarakat, kèjhungan bisa bermakna sangat masih mempertahankan artikulasi kemaduraan umum, yaitu “sebuah nyanyian” saja, atau segala secara adat. Amat disayangkan bahwa perhatian hasil aktivitas orang menyanyi. Kèjhungan dapat terhadap aset karya estetik ini masih dipandang berarti pula sebagai “nyanyian ala Madura” rendah hanya karena disebabkan pengetahuan yang yang berkonotasi sebagai sebuah genre. Apabila

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

kèjhungan diartikan sebagai nyanyian bergaya khas disebut sebagai “ kèjhungan gending”. Artinya, Madura, maka pengertian kèjhungan mencakup

format penyajian kèjhungan berorientasi pada pula makna kepemilikan, yaitu nyanyian rakyat

bentuk gending. Selain itu, kèjhungan gending yang diwariskan secara lisan dan memiliki implikasi

mengacu pada konsep “ padhang-ulihan” [Jawa], terhadap seperangkat nilai yang mencerminkan

yaitu sebuah gejala musikal yang muncul ketika pengalaman, pengetahuan, cara-cara pengungkapan

nyanyian tersebut memiliki alur antesedent (frase atau modus ekspresi tertentu. Pengertian terakhir

tanya) dan consequent (frase jawab) pada frase-frase inilah yang kemudian dipakai dalam mendudukkan

musikalnya.

kèjhungan pada topik tulisan ini. Beberapa informan mengatakan bahwa Apabila istilah kèjhungan dikembalikan pada

munculnya struktur “ kèjhungan gending” Madura konteks fenomena bahasa, maka menurut perkiraan

sa-ngat dipengaruhi oleh struktur kidungan Pigeaud secara morfologi dan semantik, istilah

jawatimuran, karena sebelumnya kèjhungan kèjhungan memiliki kesetaraan dengan kidungan

hanyalah sebuah fenomena bersenandung diri jawatimuran. Menurut Hutomo (Supriyanto, 1994:

yang tumbuh dari curahan hati seseorang yang 1), pengertian “ kidungan” adalah bentuk nyanyian

barangkali orientasi musikalnya tidak diketahui yang digerakkan dari fenomena “pembacaan” puisi

dengan pasti. Tatkala kemudian kèjhungan sastra Jawa yang di dalamnya telah terdapat aturan

menunjukkan orientasinya pada struktur tertentu. Aturan tertentu yang dimaksud dalam

gending, maka “kepastian” konvensinya mulai puisi sastra Jawa mempunyai ciri tertentu pada

dapat dibaca. Dalam konteks sajian gending, jumlah baris, jumlah suku kata, dan rima akhir

kèjhungan tidak lagi lepas dari gamelan sebagai kalimat dalam suatu jenis kidungan tertentu.

pengiringnya. Acuan dasar kèjhungan adalah Pengertian kidungan yang berkembang di

struktur atau kerangka gending itu sendiri, satuan lingkungan rakyat awam justru dipahami lebih

irama, serta fungsi nada (modus/ pathêt [jw]) yang dinamis dan bahkan disederhanakan. Kidungan

mengoperasikannya. Salah satu contoh penting dari menjadi identik dengan pantun yang di dalamnya

penempatan kèjhungan dalam struktur gending memuat aturan “sampiran” dan “isi”, yaitu bagian

adalah pengadopsian struktur gending Jula-Juli awalan dan inti. Menurut Endraswara (2005: 59),

jawatimuran ke dalam kèjhungan. Kèjhungan bãrã’ “sampiran” merupakan ancang-ancang melakukan

atau kèjhungan yang berkembang di wilayah sub sesuatu atau sekedar bunga-bunga yang membu- kultur barat Madura, mengadopsi gending Jula-Juli tuhkan penyelesaian dan jawaban untuk memben- tersebut menjadi gending Yang-Layang di Madura. tuk rangkaian isinya, sedangkan “isi” merupakan

Kata “layang” berarti pesan atau nasehat. “Yang- kandungan dari inti parikan yang bisa disebut pula

layang” merupakan sekumpulan pitutur tentang sebagai buahnya. Setidaknya di Jawa Timur (ter- pesan moral yang disenandungkan ( èkèjhungaghi) masuk Madura), kidungan di lingkungan rakyat

agar pesannya lebih berkesan. merupakan puisi berbentuk pantun atau parikan

Praktik kèjhungan dalam konteks keseharian yang berkembang secara dinamis (Supriyanto,

(sering disebut jhung-kèjhungan) dimaknai sebagai 1994: 1). Pengertian ini sekaligus membedakan

bentuk aktivitas menyanyi yang dilakukan secara dengan definisi Hutomo tentang puisi kidungan

spontanitas, tidak terencana, sangat tergantung di atas yang masih mempertimbangkan aturan

pada suasana hati, serta hanya dilakukan oleh secara ketat.

orang-orang yang sudah memiliki apresiasi yang Kèjhungan, dalam aspek penggunaannya

mendalam terhadap dunia kèjhungan. Praktik memiliki dua pengertian, yaitu kèjhungan dalam

jhung-kèjhungan secara riil tanpa diiringi gamelan, konteks sajian formal dan konteks keseharian.

tetapi bukan berarti si pelaku tidak memiliki Kèjhungan dalam konteks sajian formal merupakan

acuan terhadap ide struktur musikal. Setidaknya, kegiatan (praktik) menyanyi yang mengacu pada

mereka tetap memiliki ancangan terhadap imajinasi “norma” struktur gending yang diiringi oleh

padhang-ulihan sebagai fenomena paling mendasar gamelan. Kèjhungan sajian formal itu umumnya

atas perilaku musikal mereka. Bouvier (2002: 286)

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura mengidentifikasi kèjhungan atau lalongèdhãn bahwa

domain dari yang umum menuju domain terpenting ketika seseorang sudah menghiasi (memperindah) atau inti. Skala taksonomi dibuat dalam lingkup kalimat lagunya dengan cara-cara yang khas, yaitu kecil yang dibatasi pada kisaran bentuk-bentuk seperti “meliuk-liukkan” melodi nyanyian secara nyanyian lokal berbasis kèjhungan bãrã’ sebagai melismatis (beberapa nada yang dimainkan dalam sebuah genre nyanyian yang eksis di sub kultur satu suku kata) dan memberi ornamen-ornamen Madura Barat. Sementara, fenomena nyanyian yang tertentu, maka sesungguhnya orang itu sudah berada di luar skala pengertian tersebut dianggap

melakukan “nyanyian yang sebenarnya”. bukan sasaran yang akan dijabarkan dalam domain “Kèjhungan gending” juga perlu dibedakan

ini. Contohnya, gaya-gaya nyanyian yang hidup di dengan lagu-lagu rakyat yang “tidak diperindah” Madura Barat tetapi di luar pengertian kèjhungan (meminjam pengertian Bouvier di atas) seperti bãrã’, seperti: gaya nyanyian berbasis budaya Arab, lagu dolanan rakyat Madura atau istilah lokalnya

budaya diatonis musik Barat/musik pop; kèjhungan kèjhung èn-maènan (permainan/dolalan [Jw], tèmor, genre nyanyian sub kultur Madura Timur; dan “main-main”/ tidak serius/ sekadarnya). serta budaya kidungan jawatimuran (terutama gaya Lagu rakyat Madura sebagian besar terkategori Surabaya) . Ketiga budaya nyanyian ini realitasnya sebagai lagu dolanan (lihat pula Pawitra, 2003).

hidup berdampingan dengan nyanyian lokal yang Keberadaannya memang tidak dirancang untuk berbasis kèjhungan bãrã’. dibawakan dalam orientasi gending, melainkan

Penulis menemukan beberapa domain yang menekankan pada pemaparan lirik dengan melodi dapat menuntun ke arah domain inti. Ada empat yang lugas. Melodi nyanyiannya sederhana dan domain yang harus dilalui untuk sampai pada mengabaikan detail ornamennya. Kebanyakan lagu domain inti, yaitu pola kellèghãn. Pembacaannya rakyat dimainkan tanpa iringan gamelan, tetapi bahwa “domain inti adalah bagian dari domain nampak menggairahkan apabila diiringi orkes yang lebih besar”, demikian seterusnya hingga tabuhan ritmis.

domain yang paling umum atau besar. Batasan domain yang paling besar adalah bentuk-bentuk

Mencari Inti Kèjhungan

nyanyian lokal yang berbasis pada kèjhungan bãrã’ Apa yang paling penting dari kèjhungan

(area kewilayahan sub kultur Madura Barat). Madura? Hal mendasar yang perlu diketahui Gambar 1 adalah bentuk ilustrasi dari pemikiran terlebih dahulu adalah ketika seseorang melakukan di atas. kèjhungan. Penulis pada akhirnya menemukan

Domain pertama, meliputi berbagai bentuk jawaban tentang sesuatu yang sangat diperhatikan “ kèjhungan” dalam skala nyanyian lokal Madura oleh pemilik kèjhungan ketika mereka berbicara

Barat. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, tentang aspek material kèjhungan dan teknik (cara) kèjhungan gending merupakan kèjhungan yang menyanyikan. Dalam artikel ini ini, penulis perlu mengacu dan dipraktikkan dalam gending- mempersingkat penjelasan atas temuan tentang gending Madura. Jhung-kèjhungan adalah bentuk objek material tekstual (musikologis) ini dengan sebuah cara pemaparan secara taksonomis.

Ragam nyanyian lokal berbasis kèjhungan Madura Barat: 1. kèjhungan gending, 2.jhung-kèjhungan,

Taksonomi sebagai sebuah cara untuk melihat

3. kèjhungan èn-maènan, 4.mamaca

posisi domain utama diantara berbagai domain

Kèjhungan gending/formal

yang melingkupinya. Apabila melihat kembali

(mengacu pada gegendingan Madura)

pikiran Lomax di atas, sesungguhnya implikasi atas temuan ini akan berlanjut hingga pada pertanyaan Kèjhungan lè-kalèllèan

ideal, yaitu mengapa material (pola kellèghãn)

Kèjhungan Yang-

dalam kèjhungan beserta tekniknya itu dianggap

Taksonomi digunakan untuk menjelaskan

kellèghãn

tingkatan domain yang ada serta hubungan antar

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

aktivitas bersenandung diri yang dilakukan secara melodi spesifik dan konsisten. Tipikal kontur melo- spontanitas, tidak terencana, tergantung pada

dinya memiliki pola dasar dari permainan nada- suasana hati sang pelaku kapan dan di manapun

nada tinggi yang membentuk pola kellèghãn lalu ia meng-inginkannya. Kèjhung èn-maènan adalah

secara tiba-tiba konturnya menurun tajam pada praktik nyanyian dari lagu-lagu dolanan rakyat

permainan level nada-nada sedang ke nada-nada Madura yang umumnya dibawakan tanpa

rendah hingga akhir frase (kalimat lagu). Kèjhungan teknik dan gaya yang khas (“tidak diperindah”

Yang-Layang yang kemudian diformalkan menjadi sebagaimana dalam kèjhungan gending). Mamaca

sebuah gending, merupakan satu-satu kèjhungan (seni resitasi), dalam hal ini digolongkan dalam

gending dan kèjhungan jenis lè-kalèllèan yang pa- domain kèjhungan karena alasan musikologis.

ling mengakomodasi struktur nyanyian yang syarat Artinya, orientasi musikalnya memiliki kesamaan

dengan pola-pola kellèghãn. dengan karakteristik vokalisasi kèjhungan, seperti

Domain lima, mengarah pada inti kèjhungan memiliki atmosfir kontur melodi nyanyian yang

yaitu kellèghan. Kellèg adalah kata dasar dari kel- banyak didominasi nada-nada tinggi, terdapat

lèghãn, dan mengarah pada pengertian intonasi penggunaan gejala “ kellèghãn”, serta teknik vokal

atau nada-nada tinggi. Sementara, kellèghãn sendiri yang pada bagian tertentu memiliki kesamaan.

lebih dimaknai sebagai pola permainan vokal nada- Perbedaannya terletak pada bentuk dan struktur

nada tinggi yang diolah secara ornamentik dan nyanyian, konsep penyanyian, serta cengkok dasar

melismatik. Umumnya, kellèghan membentuk mamaca berada di luar “norma” cengkok kèjhungan

pola-pola yang kemudian menjadi bagian dari awal pada umumnya.

setiap kalimat lagu (frase musikal). Kata “ kellèg” Domain kedua, mengarah pada kèjhungan

secara etimologi memiliki kedekatan bentuk kata yang mengacu dan dipraktikkan dalam gending- dengan kata “ ngelik” dalam istilah karawitan Jawa, gending Madura. Kèjhungan gending berada dalam

serta kedekatan semantik dengan makna ngelik itu kendali tema balungan gending, terutama meng- sendiri yang berarti suara meninggi. Perbedaannya, acu pada nada seleh (kadens) di setiap tabuhan

menurut Sumarsam (2003: 350), ngelik merupakan Kenong (frase musikal). Di Madura Barat, ada

bagian kedua dari suatu gending yang biasanya beberapa gending pokok yang sering dimainkan

dimulai dengan lagu berwilayah nada-nada tinggi. antara lain: gending Yang-Layang (Jula-Juli [Jw]),

Sementara dalam kèjhungan, kellèg umumnya be- Cokro (Cokronegoro [Jw]), Blandaran, Celeng

rada di bagian awal setiap kalimat lagu. Mogok, Sabrang atau Potongan (Sabrang Wetan

Hasil riset menunjukkan bahwa kèjhungan [Jw]), Samira, dan sebagainya. Kèjhungan gen- yang syarat dengan sifat lè-kalèllèan dan pola kel- ding merupakan “pintu masuk” menuju domain- lèghãn tersebut sangat menonjol penggunaannya domain yang lebih spesifik.

pada kèjhungan gending Yang-Layang. Akibat dari Domain tiga, mengarah pada bentuk kontur

dominasinya itu, gending Yang-Layang dianggap melodi kèjhungan yang memiliki sifat-sifat yang

sebagai “pusat” atas ciri gaya nyanyian Madura dan disebut lè-kalèllèan, yaitu ekspresi pergerakan

sekaligus dinilai istimewa. Gending ini dijadikan melodi nyanyian yang seperti mengayun, menyeret,

sebagai “wadah” untuk mengukur atau menguji biasanya begitu menonjol dalam permainan nada- kualitas kèjhungan seseorang. Tidak mengherankan nada tinggi dan ketegangan suara yang santa’

jika akhirnya Yang-Layang menjadi gending yang (nyaring/bertenaga atau powerfull). Sifat lè-kalèllèan

wajib “dilakukan” oleh seorang tokang kèjhung (juru ini umumnya ditemukan dalam jenis kèjhungan

kidung), dan Yang-Layang menjadi gending yang gending, walaupun tidak semua kèjhungan gending

paling sering dimainkan dan diperdengarkan. Gen- selalu demikian. Sifat lè-kalèllèan dinilai paling

ding yang sarat dengan cengkok khas ini akan selalu representatif terdapat pada kèjhungan (gending)

terdengar dalam setiap pementasan kesenian rakyat Yang-Layang.

Madura yang berbasis tabuhan gamelan, khususnya Domain empat, mengarah pada kèjhungan

dalam kesenian Sandur (seni pertunjukan teater gending Yang-Layang yang memiliki pola kontur

rakyat Madura) . Sebagaimana diakui oleh Mudrick

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura (seniman), Sumbri, Muhammad, Ghaib (dari ka- ian yang penuh ornamentik dan ekspresif. Dalam

langan blatèr pecinta kèjhungan), serta Abdurrach- pandangan Silverberg (2010: iii, 41), sesungguh- man dan Adrian Pawitra (dari kalangan pemerhati

nya ornamen itu ditampilkan sebagai sebuah entri kèjhungan), bahwa performa paling mendasar dari (jalan masuk) ke dalam dunia subjektivitas. Oleh penggambaran musikal kèjhungan adalah kellèghãn karenanya, sudah seharusnya proses ornamentasi itu sendiri.

akan sangat membantu ekspresi dan sentimen si penyanyi itu sendiri, dan bukan sebaliknya.

Pola Kellèghãn di dalam Bentuk dan Struktur

Gambar 2 adalah gambaran mengenai pola

Kèjhungan

kellèghãn yang berada dalam bentuk dan struktur Instrumen analisis untuk mengkaji suatu gaya

kèjhungan (gending) Yang-Layang. Konsep dasar nyanyian umumnya menggunakan instrumen ana- dari bentuk kontur melodi kèjhungan dalam setiap

lisis yang hampir sama, yaitu berkisar mengenai frasenya bersifat descending (kontur menurun). sistim nada, metrik ritem, bentuk dan struktur

Frase atau kalimat lagu pada bagian awal diisi nyanyian, frase lagu, ornamen nyanyian, timbre, oleh tatanan nada-nada tinggi yang diolah dengan

ambitus, artikulasi, ekspresi, suasana nyanyian, motif-motif melismatis dan membentuk pola-pola lirik dan maknanya, serta konteks yang melatar- kellèghãn. Bagian awal frase ini merupakan area belakangi (gaya) nyanyian tersebut. Sebagaimana kellèghãn yang penting. Kontur melodi sebelum Zanten (1989), penulis pun melihat kèjhungan dari menuju ke bagian tengah memperlihatkan bentuk persoalan bentuk dan struktur nyanyian, kontur kontur yang menurun secara ekstrim, bahkan melodi nyanyian, ornamentasi, dan sebagainya. menyerupai “patahan”. “Garis putus-putus” Aspek teknik dilihat dari cara-cara pelaku mem- itu menunjukkan kontur terjal yang umumnya produksi nyanyiannya dengan capaian kriteria ter- berjarak sekitar satu oktaf. Kesannya seperti tentu. Aspek karakterisasi berkaitan dengan konsep “lompatan” dari nada tinggi langsung terjun ke emik yang membentuk karakter khas nyanyian.

nada rendah, sehingga secara faktual seringkali Kèjhungan jenis lè-kalèllèan, jauh lebih mem- lompatan nada tersebut terkesan seperti suara

perhatikan peran pola-pola ornamentik melodi teriakan atau bentakan. nyanyian dari pada keberadaan liriknya itu sendiri.

Bagian tengah kalimat lagu umumnya Hal ini dapat terjadi karena tuntutan atas aspek menampilkan motif-motif silabis (satu nada untuk

melodik yang dominan, sehingga keindahan la- satu suku kata), namun bagian ini tidak berarti gunya mengalahkan atau mengesampingkan aspek terbebas dari munculnya motif-motif melismatis. (pesan) liriknya. Terbukti bahwa keragaman lirik- Sebab, di bagian ini dapat dikatakan sebagai area lirik kèjhungan sampai saat ini boleh dikatakan

yang relatif terbuka, dalam arti tidak menutup tidak berkembang. Perhatian orang justru lebih ter- kemungkinan adanya kontur melodi silabis yang

sita atau terpesona terhadap penggunaan ornamen naik dan turun, motif melismatis yang pendek, isen-isen (kata-kata hias) daripada lirik pokoknya. atau kontur melodi yang mendatar. Bagian akhir Isen-isen menjadi terasa menonjol ketika dilapisi frase/kalimat lagu dapat disebut bagian penutup oleh ekspresi melodik yang penuh ornamen melis- atau “ekor”, mengingat arah konturnya yang matik dalam permainan kellèghãn (Mistortoifi,

mengisyaratkan sebuah akhir dari suatu kalimat. 2010: 7) . Sekilas kèjhungan merupakan gaya nyany- Ujungnya berupa nada seleh (kadens) yang

umumnya tidak lagi menunjukkan pergerakan

Area kellèghãn yang didominasi motif melismatis

nada yang berarti, melainkan dibawakan secara

Area silabis yang

Area seleh

mendatar dalam tataran nada rendah.

didominasi motif silabis

(Kadens)

Contoh kongkrit dari pola kellèghãn yang muncul dalam setiap frase (kalimat lagu) dapat

Bagian Awal Bagian Tengah

Bagian Akhir

diamati dari kèjhungan binè’ (“wanita”) yang

Gambar 2. Kontur melodi dasar kèjhungan

diperankan pria dewasa dan kèjhungan lakè’ (pria)

frase (kalimat lagu)

berikut ini:

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

Dalam hal membaca “keindahan” cengkok kèjhungan, sebuah kellèghãn dapat dinilai berbeda kriterianya antara kellèghãn binè’ (wanita) dan lakè’ (pria). Karakteristik kellèghãn binè’ lebih disarankan mampu mengolah melodi yang memperlihatkan liggu’ atau ènggo’ yang lebih banyak dan jelas nadanya. Liggu’/ ènggo’ dapat disepadankan dengan pengertian cengkok dalam konteks teknik nyanyian Jawa yang mencakup subtil gregel, luk, dan wiled. Sementara, kellèghãn lakè’ lebih disarankan pada capaian kemantapan ketegangan suara dan greget yang lebih ditampakkan secara fisik. Oleh karenanya, greget yang menghentak-hentak pada kèjhungan lakè’ seringkali memperlihatkan olah nada yang tidak banyak liggu’, gerakan nadanya lebih banyak menggayut (membentuk seperti luk atau glissendo dalam musik Barat) yang ekstrim sehingga rawan terhadap ketidakjelasan nadanya ( pitch).

Pola dan ketinggian nada kellèghãn, kontur descending yang curam (menyerupai patahan), pitch nada yang cenderung tidak tetap (tidak stabil), bahkan ada pula gejala suara aombã’ (menggelombang) yang muncul pada bagian tertentu, merupakan representasi dari kontur melodi utama dari tradisi kèjhungan. Kontur utama ini mendasari terabadikannya kèjhungan Yang- Layang dalam sebuah gending. Dã’i (wawancara, 19 Agustus 2012) memberi kiasan penting, “ kèjhungan

Setiap kalimat lagu kèjhungan dalam satu Yang-Layang merupakan tulang punggung dari periode (2 gong-an) menunjukkan alur kontur

semua kèjhungan dan gending kèjhungan yang ada”. yang hampir sama pada setiap perulangannya.

Sementara itu, gending-gending lain di luar Yang- Keragamannya terletak pada setiap individu yang

Layang, kontur utama ( kellèghãn) tersebut tidak menginterpretasi kalimat lagu kèjhungan Yang-

dapat dilakukan secara leluasa atau tidak selalu Layang ini. Di sinilah faktor karakteristik individu

muncul dalam keadaan utuh dalam satu frase. berperan penting dalam memunculkan keragaman.

Para tokang kèjhung, dalam hal ketegangan Meskipun demikian, di satu sisi keragaman terjadi

suara, membutuhkan tenaga suara yang powerfull pada setiap pelaku kèjhungan, tetapi di sisi yang

agar mendapatkan kualitas suara yang tennyeng lain mereka umumnya enggan mengembangkan

(tegang/kuat/mantap). Kellèghãn walaupun pola kalimat lagu kèjhungan lebih lanjut. Mereka

dianggap paling sulit, memeras tenaga, dan cenderung “mempertahankan” pola kèjhungan dari

menuntut rasa percaya diri saat dinyanyikan, frase-frase (kalimat lagu) yang telah dibuatnya, wa- namun bagi pelaku kèjhungan, hal itu adalah laupun hal itu harus dibawakan berkali-kali dalam

bagian terpenting dari kèjhungan yang harus kurun waktu yang lama. Lirik-lirik lagu (parikan/ dikuasai . Mereka menganggap bahwa kellèghãn pantun) yang digunakan boleh saja terus berganti,

ibarat “ moanna kèjhung” (“wajah” atau bagian tetapi pola kalimat lagunya tetap dipertahankan

paling kelihatan dari praktik nyanyian Madura). oleh setiap individu sebagai bagian dari jatidirinya.

Darinya, orang dapat menilai terhadap kemampuan

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura seseorang melakukan kèjhungan. Masyarakat tineliti suara tokang kèjhung berada dalam wilayah yang

memiliki pandangan bahwa semakin tinggi nada ideal untuk jenis suara contratenor. Kèjhungan yang yang dicapai ( nyenthèg) yang dimainkan dalam dinyanyikan oleh para laki-laki dewasa terbukti kellèghãn, maka semakin ideal kèjhungan-nya. Para telah melampaui wilayah suara laki-laki normalnya tokang kèjhung yang mengolah kellèghãn hingga (tertinggi nada ≥ C5 atau bersuara tenor). Tidak mencapai nada lu (3) tinggi dari laras slendro,

mengherankan jika nada tertinggi Sadun (C5+) maka ia dikatakan telah mencapai nada yang itu kemudian oleh beberapa pengamat kèjhungan nyenthèg (puncak). Meskipun demikian, hal yang masih dianggap kurang nyenthèg (tinggi). Berbeda harus dicermati adalah apakah nada tertinggi itu halnya dengan jangkauan suara Misdali, Tabi’i, dicapainya dengan suara mantap ( tennyeng), dan

Matingwar, Marsaid, yang dinilai memiliki suara tidak dicapai dengan cara ngoyo (memaksakan diri).

ideal ( nyenthèg) dengan capaian nada tertinggi D#5 Hal yang dapat digambarkan terhadap area

hingga G5.

nada-nada tinggi kellèghãn jika diukur dalam skala Praktik-praktik bernyanyi semacam kèjhungan Hertz, maka kisarannya berada dalam 1.800 hingga umumnya menghasilkan suara yang memberi efek 2.600 Hertz atau berada dalam kategori frekuensi gema (resonansi) di kepala sang penyanyinya. menengah-tinggi ( Mid-Hi atau antara 1.000 Hz

Dalam dunia pedagogi vokal, jangkauan suara – 6.000 Hz). Hasil pengukuran nada terendah kèjhungan dapat diidentifikasi dalam register dan tertinggi para tokang kèjhung saat melakukan

suara tertinggi (register suara kepala), atau juga kèjhungan Yang-Layang apabila diterjemahkan disebut head voice. Clippinger ( 2006: 9-10) dalam posisi nada diatonis, maka dihasilkan seperti menggambarkan bahwa head voice merupakan pada Tabel 1.

suara yang tergolong unik, penuh kebebasan, Dalam dunia musik vokal klasik Barat, suara

luwes, imajinatif, dan penuh pesona. Namun dengan batas ambitus nada E3 hingga F5 dikenal untuk dapat melakukan penyuaraan head voice dengan istilah countertenor atau contratenor altus

yang optimal, dibutuhkan kekuatan suara yang (Arnold, 1983: 484) . Jika dibandingkan interval

penuh dan intensitas emosional yang memadai. contratenor tersebut, maka interval nada para tokang Kèjhungan, dalam gambaran yang ideal, juga kèjhung berkisar A3 hingga G5. Artinya, jangkauan menunjukkan kebutuhan atau tuntutan seperti

Jangkauan Nada No

Nama

Karakter Peran Suara

Terendah - Tertinggi

1. Sadun

Binè’ (“perempuan”)

F4[+] --- C5[+]

2. Matingwar

Binè’ (“perempuan”)

A3[+] --- F5

3. # Marsaid Binè’ (“perempuan”) A 3[-] --- F5[-]

4. Suja’i/Marju

Binè’ (“perempuan”)

A3[+] --- F5 (falsetto)

5. Grup “Bintang Remaja” Binè’ (“perempuan”) A3 --- F5[-]

6. Grup “Panca Rukun”

Binè’ (“perempuan”)

B3 --- G5[-]

7. # Matsiru Lakè’ (laki-laki) G 4[-] --- C5

8. Misdali

Lakè’ (laki-laki)

G3 --- D # 5

9. Tabi’i

Lakè’ (laki-laki)

A3 --- F5[-]

10. Grup “Panca Rukun”

Lakè’ (laki-laki)

B3 --- G5[-]

Tabel 1. Jangkauan nada tokang kèjhung Keterangan: Nada yang dicetak tebal adalah nada nyenthèg

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

yang digambarkan Clippinger tersebut. Tuntutan tapan suara yang ideal bagi tokang kèjhung, selain tersebut menjadi nampak jelas di dalam teknik- dituntut bersuara tinggi dan bertenaga, juga harus teknik vokalisasi kèjhungan dan konsep-konsep

memiliki karakter suara yang lepas dan lantang yang ideal untuk melahirkan karakteristik nyanyian

(bahkan cenderung berteriak), barulah kèjhungan ala Madura tersebut.

itu dikatakan mantap dari segi kualitas suara. Na- mun, hal itu belum bisa dikatakan sempurna atau

Teknik Vokal Kèjhungan

memiliki “nyawa” jika tidak ada unsur penjiwaan/ Kèjhungan esensinya adalah hasil kebiasaan

emosi yang mana di Madura dikenal dengan is- menyanyi orang Madura yang kemudian sangat

tilah ghregghedhãn atau geregetan. Ghregghedhãn, penting untuk diketahui konsep dan praktik

barangkali juga setara dengan istilah lainnya yaitu teknik menyanyikannya. Menurut Lomax (1976:

ngaret [Mdr]. Keduanya bermakna geram, gemas, 20), ada sejumlah aspek musikal pembentuk

perasaan jengkel, tidak sabar, bernafsu, keinginan suatu gaya nyanyian, yaitu aspek melodi, ritem,

memuncak yang tertahan. Ghregghedhãn dan nga- ornamentasi, tingkat ketegangan, energi ( power,

ret dua kosakata yang paling sering diketengahkan stressing), kapasitas artikulasi, serta hubungan

ketika menilai kualitas emosi suatu kèjhungan. Ke- nyanyian dengan organisasi orkestrasi musiknya.

dua istilah itu sedikit berbeda arti dan maknanya Masyarakat tineliti (pelaku dan pengamat

dengan istilah greget /grêgêt [Jw], yang bermakna kèjhungan) mengacu pada dua aspek pokok yang

daya hidup, gejolak, dinamika, dan sebagainya. berkaitan dengan teknik vokal kèjhungan, yaitu

Sementara, ghregghedhãn/ngaret merupakan emosi aspek keindahan lagu dan aspek kemantapan gre- personal yang lebih fisikal (nampak). Tekanan yang get melakukan kèjhungan. Aspek keindahan lagu

meletup-letup ( nyendhãl [Mdr]) dan dinamika bertumpu pada penguasaan vokabuler dan daya in- ketegangan suara merupakan efek dari pengelo- terpretasi atas perannya (berkarakter kèjhungan lakè’

laan ekspresi yang menggebu, penjiwaan terhadap atau kèjhungan binè’). Sementara, aspek pencapaian

sesuatu yang dibayangkannya. Meskipun demikian, kemantapan greget ngèjhung bertumpu pada ban- antara ghregghedhãn dengan greget pada pembi- yak hal, seperti bertumpu pada kualitas nyendhãl

caraan yang umum akan dianggap sama, sebab atau gejala menyanyi yang terkesan menghentak- memiliki basis makna yang sama, yaitu daya emosi. hentak; berkaitan dengan ekspresi emosional yang

Konsep-konsep ideal tentang kualitas kèjhung- ditampakkan secara fisik saat menyanyi ( geregetan);

an dan teknik vokal kèjhungan yang ditemukan tennyeng (ketegangan suara), nyenthèg (capaian nada

penulis dalam penelitian ini, yaitu antara lain: tertinggi), dan santa’ (nyaring).

1. Teknik nyendhãl (menghentak)

pengartikulasian dengan tidak membedakan antara teknik kèjhungan lakè’

Teknik vokal kèjhungan Madura sebetulnya

Teknik

memberikan tekanan pada kata-kata (lirik dan binè’, sebab parameter terhadap cara-cara yang

lagu) dengan cara dihentak-hentakkan atau digunakan bertujuan untuk mencapai target yang

digemas-gemaskan. Turi (wawancara 10 Maret sama, yaitu kemantapan “suara lepas” (tidak di-

2010) me-ngatakan bahwa pada teknik ini tahan), ketegangan suara yang optimal ( powerfull)

menekankan agar ekspresi yang ditampakkan khususnya pada permainan nada-nada tinggi, serta

dalam gerakan melodi itu seharusnya bertenaga kemantapan greget melalui pengelolaan ekspresi

dan memberi daya gedor yang signifikan. Dalam yang optimal. Meskipun demikian, diantara kedua

posisi seperti itu, sulit kiranya seseorang dapat karakter gender itu tetap saja ada batas “fitrah”

memperta-hankan kejelasan lafal (artikulasi) yang membedakannya, yaitu karakteristik dasar

kata-katanya. Sebab, emosi ghregghedhãn- perempuan yang tetap menyiratkan sifat-sifat ke-

ngaret yang menggebu-gebu itu membawa feminimannya, dan laki-laki dengan sifat masku-

konsekuensi terhadap kontrol pitch pelaku linitasnya.

kèjhungan yang tidak stabil, atau kurang tepat Mudrick (wawancara, 10 Oktober 2010) me-

laras/ titinada. Penggunaan teknik nyendhãl ini negaskan bahwa secara umum pencapaian keman-

dipandang mampu meng-akomodasi emosi

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura

ghregghedhãn-ngaret dalam kèjhungan. Bagi suara yang keluar agar bertenaga. Tokang kèjhung tokang kèjhung yang mampu menampakkan

senantiasa dituntut memiliki stamina suara yang emosi semacam itu dalam kèjhungan-nya akan

prima untuk memperoleh vitalitas suara yang jauh lebih dihargai dan mendapat tempat

kuat dan konsisten.

istimewa, daripada kèjhungan yang kurang Teknik yang mengkonsentrasikan diri pada memiliki emosi ghregghedhãn-ngaret, sekalipun

tindakan “mendorong” suara ini kenyataannya pitch nadanya tergolong “tepat” (tidak rosak

menghasilkan dua karakter, yaitu suara lepas [Mdr]; tidak blero [Jw]).

( sowara lowar) dan suara yang ditahan (sowara

2. Teknik nyèrèt (menyeret)

kènè’). Hal ini sangat tergantung kebiasaan Teknik ini berlawanan sifatnya dengan

yang dimiliki masing-masing tokang kèjhung. teknik nyendhãl, karena teknik ini bertumpu

Karakter sowara lowar kebanyakan disukai oleh pada satu suku kata tertentu untuk kemudian

tokang kèjhung lakè’ karena terasa lebih “lepas” dikembangkan (“diseret”) secara melodis hingga

(tidak ditahan di kerongkongan). Karakter membentuk sebuah gejala melismatik ( aliggu’

semacam ini dianggap lebih merepresentasikan [meliuk] atau aonjan [mengayun]). Dengan

maskulinitas. Berbeda halnya dengan karakter teknik ini, efek yang dicapai adalah pergerakan

sowara kènè’ yang lebih disukai oleh tokang melodi nyanyian yang terkesan meliuk dan

kèjhung binè’ (meskipun tidak selalu demikian) mengayun. Teknik nyèrèt banyak terpaparkan

karena terkesan lebih terasa feminin dan dalam praktik-praktik kellèghãn yang penuh

“tajam”. Teknik ajjhen dengan sowara kènè’ dengan olah ornamen melodi yang melismatis

menggunakan teknik makènè’ sowara, yaitu dan didukung oleh penggunaan isen-isen atau

dengan cara menahan arus suara di tenggorokan kata-kata hias. Seperti banyak diakui para

( throat). Hal ini dilakukan agar kualitas suara tokang kèjhung, teknik nyèrèt seringkali lebih

yang keluar dari tokang kèjhung binè’ menjadi dipahami sebagai kemampuan daya hayat

lebih “tajam” (memiliki clearity), terkesan ringan individu. Sebagaimana dijelaskan di awal,

(bahkan cempreng). Melalui teknik menahan kèjhungan memiliki dua sifat dasar yang seakan

suara di tenggorokan, tokang kèjhung binè’ akan kontradiktif dalam satu kesatuan karakter

lebih mudah menjangkau nada-nada tinggi, penyanyian, yaitu sifat garang dan sedih. Jika

lebih lincah dalam mengolah cengkok dan dalam teknik nyendhãl mengakomodasi karakter

ornamen-ornamen kèjhungan dengan leluasa. lantang/nyaring, menghentak, dan menggebu,

4. Teknik pengaturan posisi rahang (belum

sedangkan dalam teknik nyèrèt mengakomodasi

diketahui istilah lokalnya)

kebutuhan ekspresi yang bernuansa rassa mellas Teknik ini bertumpu pada pengaturan atau rintihan/kepiluan.

posisi rahang yang mengolah keluaran suara

3. Teknik ajjhen (mendorong/menekan,

dengan cara menggerakkan rahang bagian

ngêddhên [Jw])

bawah untuk mengatur besar bukaan mulut. Teknik ini merupakan praktik head voice

Gerakan rahang dan perbedaan ukuran bukaan yang menimbulkan efek resonansi kuat pada diri

tersebut merupakan upaya tokang kèjhung untuk pelakunya, bahkan efek itu memberi daya rambat

membantu pengaturan perpindahan dari nada suara yang terdengar hingga jauh. Teknik ajjhen

satu ke nada lainnya, selain memunculkan efek digunakan untuk mencapai tingkat ketegangan

suara tertentu. Sebagian pelaku kèjhungan, suara kèjhungan yang optimal, yaitu nyenthèg

ada juga yang masih perlu menggerakkan (nada yang melengking) , tennyeng (kemantapan

kepalanya secara reflek (seperti sedikit terhadap ketegangan suara), dan santa’ (volume

mengguncang-guncangkan kepala) sebagai yang nyaring/keras). Ketiga konsep musikal itu

upaya memperlancar perpindahan dari nada senantiasa harus tercapai untuk mendukung

satu ke nada lainnya. Teknik-teknik seperti itu terwujudnya kellèghãn yang memadai. Teknik

relatif membantu mereka dalam mengeluarkan ajjhen pada dasarnya bertujuan “mendorong”

suara vokal yang diharapkan.

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

Meskipun “permainan” gerakan rahang bagi setiap tokang kèjhung untuk “menemukan” tersebut lebih diakui sebagai reflek tubuh

dan “menentukan” gaya kèjhungan-nya. dalam menjiwai kèjhungan daripada sebagai

Praktik kèjhungan dapat pula memaparkan sebuah teknik, tetapi kenyataannya cara-cara

perbedaan implementasi teknik vokal yang lebih itu dipelajari bersamaan dengan teknik ajjhen

spesifik, yaitu interpretasi peran. Hal ini disebab- yang menggunakan teknik makènè’ sowara, yaitu

kan adanya kesadaran peran untuk karakteristik dengan cara menahan arus suara di tenggorokan.

lãkè’ (maskulin) dan binè’ (feminin). Perbedaan Kelincahan mengolah nada-nada tinggi dalam

itu nampak pada pola kellèghãn pada karakter kellèghãn akan terbantu dengan permainan

lakè’ yang menunjukkan gejala melismatik yang (pengaturan) rahang tersebut. Cara paling

relatif lebih tegas, menghentak (meletup-letup), praktis dari pengaturan posisi rahang ini adalah

dan kasar. Oleh sebab itu, greget yang menggebu dengan sedikit memundurkan posisi kepala

( ghregghedhãn/ngaret) paling sering terjadi pada to- ke belakang atau rahang bawah didekatkan

kang kèjhung lakè’ yang lebih ekspresif (bebas dan tenggorokan dengan posisi leher tetap tegak.

berani). Sementara, pola kellèghãn karakter binè’ Pengolahan suara dengan teknik ini lebih

lebih dibatasi karena jika dilakukan seperti karakter diminati oleh tokang kèjhung lakè’ karena hasil

laki-laki akan terkesan melampaui kepantasannya suara yang dihasilkan terkesan lebih tegas dan

sebagai kèjhungan yang feminin. Kesadaran peran- secara visual si pelakunya akan nampak lebih

nya sebagai “wanita” menyebabkan aspek greget ekspresif karena gerakan otot-otot rahang dan

tokang kèjhung binè’ tidak terlalu bertumpu pada guncangan kepalanya. Berbeda halnya dengan

teknik nyendhãl, melainkan pada teknik-teknik sikap tokang kèjhung binè’ yang lebih tenang dan

yang lainnya. Kèjhungan binè’ memiliki ruang yang selalu menutupi mulutnya dengan bentangan

dinamis untuk memberi banyak isian ornamen selendang atau saputangan ketika ia sedang

melodi di sepanjang pergerakan kontur melodinya. ngèjhung (berdendang) di arena pentas. Dalam rangka pencapaian kualitas suara yang

Pola Kellèghãn dan Teknik Kèjhungan

diprasyaratkan, tokang kèjhung tidak hanya mem-

sebagai Representasi Ekspresi Budaya dan

beri perhatian pada hal teknis semata, tetapi juga

Pengalaman Estetik

menempuh praktik “perawatan suara” lewat upaya medis dengan cara aghurã (melakukan gurah) se-

Apabila kita memperhatikan kembali cara berkala, yaitu cara tradisional untuk menge- karakteristik kèjhungan dan teknik vokalnya, luarkan lendir dari dalam tubuh terutama kotoran

maka petunjuk pentingnya terdapat pada gejala di saluran pernapasan dengan meneteskan ramuan

kontur melodi descending yang khas; pusat herbal ke mulut atau lubang hidung. Praktik “pen- pengolahan nyanyian yang bertumpu pada nada- jagaan suara” juga ditempuh melalui upaya mistik

nada tinggi dan diolah secara melismatis; tingkat dengan cara praktik atau laku [Jw] spiritual.

ketegangan suara yang optimal; ekspresi vokal yang Teknik-teknik vokal kèjhungan yang mene- menggebu-gebu, menghentak, dan dibawakan kankan pada kekuatan, ketegangan suara, dan

secara emosional. Kèjhungan bãrã’ (kèjhungan ala pencapaian kemantapan greget, tentu akan kering

Madura Barat) ibarat seperti orang yang sedang jika tidak didukung oleh penguasaan vokabuler

berteriak, membentak, mengomel, bahkan di saat dan daya interpretasi si pelakunya dalam membuat

yang sama terkesan seperti merintih, mengeluh, “isian” (ornamen) pada “draft” setiap frase kalimat

meratap, dan sebagainya.

lagu sebagai wadahnya. Oleh karena itu, interpretasi Melalui proses hermeneutik yang relatif lama terhadap materi kalimat lagu dan lirik yang diambil

dan berliku, penulis akhirnya menemukan adanya dari parikan/pantun Madura itu akan melengkapi

nilai-nilai penting dalam kèjhungan berupa dua kesatuan bentuk kèjhungan secara utuh. Kèjhungan

konsep dasar yang sebetulnya berasal dari dua kosa Yang-Layang, sebagai contohnya, sejatinya dari

kata yang sering diucapkan atau disandangkan awal telah memberikan ruang tafsir yang luas

ketika orang mendengar suatu kèjhungan. Dua

Zulkarnain Mistortoify, dkk. Kellèghãn dan Vokal Kèjhungan Masyarakat Madura kosa kata adalah ong-kalaongan (teriakan, sesuatu

yang) dan lè-kalèllèan (meleleh, luluh, berkesan melas/sedih) yang nampaknya tidak disadari sebagai dasar estetik yang tertanam sebagai konsep dasar atas karakter kèjhungan itu sendiri. Kedua konsep tersebut nampak mewakili sifat- sifat yang berlawanan, yaitu antara “kegarangan”, “ketegangan” dan sifat-sifat “kepiluan”, “kesedihan”, sekaligus “keindahan”. Kedua konsep inilah yang kemudian menghantarkan pada sebuah temuan pemahaman tentang konsep estetika kèjhungan yang komprehensif.

Ong-kalaongan secara harafiah adalah teriakan dari kejauhan, suara yang lantang-melengking, se- padan dengan istilah rag-oraghãn, tha’-karatha’an. Ong-kalaongan berkaitan dengan kualitas kete- gangan suara tokang kèjhung yang dituntut untuk mampu melontarkan suaranya hingga terdengar dari jarak yang jauh. Sementara, lè-kalèllèan berasal dari kata alèllè, artinya meleleh atau luluh. Istilah lè- kalèllèan secara harafiah adalah sesuatu yang mele- leh, berderai, bertetesan, dan meluruh. Masyarakat tineliti sering mengucapkan kedua istilah tersebut manakala ingin mengungkapkan kesan tentang kèjhungan yang bercirikan permainan nada-nada tinggi yang didominasi oleh motif-motif melodi nyanyian melismatis yang dikatakan “indah” (perna [Mdr]). Kesan tersebut merupakan sebuah indikasi yang mengarah pada pemahaman genetika lokal gaya nyanyian yang khas, berkonotasi sebagai kel- antangan lantunan nyanyian yang “indah” ( perna) atau “manis” (manès). Bagi penulis, konsep estetik tersebut sangat penting keberadaannya, sebab hal itu akan menjadi penghubung dengan dunia ide atau dunia pengalaman (referensial) yang sangat luas.

Barangkali yang perlu ditelusuri adalah gagasan-gagasan utamanya atau ide dasar yang melandasi lahirnya konsep estetik tersebut. Lantas dari mana datangnya sumber gagasan atau ide dasar tersebut? Secara teoritis, kita sering mendengar bahwa keberadaan suatu gaya nyanyian merupakan cerminan karakteristik orangnya atau budayanya. Demikian pula tentang perilaku budaya seseorang atau masyarakat sangat dibentuk oleh lingkungan dan budaya tradisinya itu sendiri, yaitu alam, perwatakan manusianya, sistem sosial

yang dijalankan, sejarah yang telah dilaluinya, dan keyakinan masyarakatnya.

Penulis merefleksikan relasi antara kèjhungan (bentuk, prilaku [teknik], konsep, dan maknanya) dengan konteks budaya yang lebih luas. Dimensi yang paling penting untuk dilihat adalah faktor- faktor karakteristik manusianya atau perwatakan dan sifat khas perilaku sebagai agen yang menentukan “standart” selera estetikanya. Tentu saja karakteristik seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor lainnya (dalam ranah yang lebih luas) yaitu sesuatu yang turut menyebabkan mengapa orang Madura tumbuh dengan karakteristik seperti itu. Ranah ini sangat luas isinya karena ditopang oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor sejarah sosial, faktor ideologis (keyakinan/mitos), faktor tipologi geografis (geo-budaya/politik/ekonomi), dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung turut memberi andil terhadap suasana mental masyarakat Madura (Lihat De Jonge, 1989a, 1990, 2012).

Banyak tulisan yang telah berusaha menjelaskan karakteristik masyarakat Madura dari berbagai sudut pandang, seperti penggalian karakteristik melalui citra peribahasanya (Mien Rifai, 2007), melalui perspektif kajian antropologi- ekonomi (Huub De Jonge, 1989b), kajian sejarah sosial (Kuntowijoyo, 1993 dan 2002), kajian sosial-politik (Abdur Rozaki, 2004), serta topik- topik mengenai fenomena citra kekerasan yang banyak ditulis oleh sarjana luar negeri maupun dalam negeri, seperti Elly Touwen-Bouwsma, Kees van Dijk, Petebang-Sutrisno, Latief Wiyata, dan sebagainya. Penggambaran karakteristik budaya Madura melalui kajian-kajian ilmu sosial tersebut hampir selalu dibayangi oleh berbagai stereotip yang berkembang hingga kini. Stereotip merupakan penilaian generalistik yang selalu diliputi prasangka (negatif ), diperbandingkan, dan menonjolkan sisi-sisi buruk, tetapi di satu sisi stereotip masih mempunyai makna yang menuntun pikiran dan tindak-tanduk manusianya.

Dalam ikhtisar singkat ini, penulis tidak akan mengupas secara menyeluruh mengenai karakteristik orang Madura yang sedemikian banyak itu, baik yang diangkat dari kancah stereotip maupun dari orang Madura di dalam memandang

Vol. 15 No. 1, Juni 2014

dirinya sendiri. Penulis akan memilih beberapa pada sisi kekukuhannya dalam mempertahankan karakter yang memiliki hubungan dengan topik

prinsip dan keyakinannya terhadap sesuatu yang tulisan ini. Karakter yang relevan dan umum adalah

dianggap baik, benar, dan nyaman bagi dirinya. karakter orang Madura yang tempramental, gaya