Etnis Tionghoa, Tahu dan Kota (Terbangunnya Identitas Kota Kediri)

ETNIS TIONGHOA, TAHU DAN KOTA (Terbangunnya Identitas Kota Kediri)

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Program Studi Sosiologi

oleh : WIDA AYU PUSPITOSARI

NIM. D0308009

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

ABSTRAK

Wida Ayu Puspitosari, Etnis Tionghoa, Tahu dan Kota (Terbanggunnya

Identitas Kota Kediri). Skripsi, Surakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012.

Dalam penelitian ini, penulis hendak mentautkan etnis Tionghoa, Tahu dan Kota sebagai suatu perjalanan identitas kota yang mengandung sejarah. Tujuan dari penelitian ini adalah untu mendapatkan (1) sebuah gambaran meneganai proses srukturasi melalui transformasi tradisi makan tahu keluarga Tionghoa menjadi komoditas, (2) deskripsi kontribusi etnis Tionghoa dalam mebentuk identitas kota dan (3) gambaran akan relevansi teori yang digunakan dalam peneltian ini.

Penelitian in menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Sumber data dalam penelitian ini yaitu; (1) informan atau narasumber, yaitu etnis Tionghoa yang mendirikan perusahaan Tahu, pekerja dan tokoh masyrakat, (2) berbagai dokumen terkait. Teknik pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara (interviewing) dan observasi secara langsung. Sedangkan untuk data sekunder menggunakan teknik kepustakaan dan literatur terkait. Teknik analisis data yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif yang meliputi empat komponen yaitu pengumpulan data, reduksi data (reduction), sajian data (display) dan penarikan kesimpulan serta verifikasinya. Adapun teknik pengembangan pen validitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah trianggulasi data (trianggulasi sumber), trianggulasi metode dan review informan.

Bedasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Tradisi makan Tahu keluraga Tionghoa di Kediri merupakan kebudayaan yang mampu ditransformasikan menjadi komoditas dengan dukungan dari keterlibatan masyarakat yang dirangkum dalam interaksi intens dalam kajian ruang dan waktu. Karena ruang dan waktu akan memungkinkan seorang agen (Bah Kacung, etnis Tionghoa yang mengakomodir tradisi kuliner Tahu) memberikan pengaruh bagi tatanan sosial yang ada disekitar lingkungan mereka. Kajian ruang dan waktu merupakan pengaruh daripada upaya pelanggengan diri yang dibingkai dalam karakteristik yang khas sehingga praktek-praktek sosial secara sadar diterima oleh lingkungan di sekitar Bah Kacug dan (2) tradisi makan Tahu yang telah ditransformasikan agen (etnis Tionghoa) sebagai komoditas menjadi bagian dari perjalanan peradaban kota Kediri yang tidak bisa dipisahkan. Ini merupakan politik identitas yang diproyeksikan oleh etnis Tionghoa sebagai pengaktualisasian sumber daya yang dimilikinya. Sehingga, alokasi sumber daya yang dimiliki mampu membangun suatu tatanan ruang sosial yang khas, tak terkecuali dengan ruang kota Kediri yang dikenal sebagai kota Tahu.

commit to user

ABSTRACT

Wida Ayu Puspitosari, Chinese, Tofu and the City (The Construction of

Kediri’s Identity). Thesis, Surakarta: Faculty of Social and Political Sciences. Sebelas Maret University, Surakarta 2012.

In this study, the author wants to make a linkage of Chinese, Tofu and the City as a escapade of the city's identity contains very deep history. The objective of this study is to get (1) an overview of structuration process through the transformation of Chinese family tradition of Tofu into a commodity, (2) description of the contribution of Chinese for city's identity and (3) an overview of the relevance of theory used in this research.

This study uses a qualitative method with phenomenology approach. Sources of data in this study are: (1) informants, the Chinese who founded Tofu company, employees and the community leaders, (2) a variety of related documents. Primary data collection technique used in this study is interviewing and direct observation. As for the secondary data using the techniques of related literature. Data analysis techniques used in this study is an interactive analytical model that includes four components, namely data collection, data reduction, data presentation (display) and the inference and verification. As for the technical development of validity of the data used in this study is the triangulation of data (source triangulation), triangulation of methods and informants review.

Based on the research results can be concluded: (1) The tradition of eating Tofu of Chinese family is a culture that can be transformed into a commodity with the support of community involvement are summarized in intense interaction in the study of space and time. Due to space and time will allow an agent (Bah Kacung, Chinese that accommodate Tofu as culinary traditions) gives effect to the existing social order around their neighborhood. Time and space study is the effect of self attempt framed in a distinctive characteristic of social practices that consciously accepted by the environment around Bah Kacug and (2) the tradition of eating Tofu that has been transformed by agents (Chinese) as a commodity to

be part of Kediri’s civilization, can not be separated. This is an identity politics that is projected by the Chinese as actualizing their resources. Thus, the allocation of applicable resources is able to establish an order of a typical social space, no exception Kediri space as the City of Tofu.

commit to user

MOTTO

I am enough of an artist to draw freely upon my imagination

(Albert Einstein)

vi

commit to user

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada: lelaki, perempuan dan anak-anak kampung Pandean

commit to user

KATA PENGANTAR

Perkotaan di Indonesia saat ini tengah menjadi ruang publik yang mengalami transformasi luar biasa. Transformasi ini tak hanya menyandarkan kiprahnya dalam praktek-praktek hegemoni, kekuasaan serta negara saja. Bila diumpamakan, ruang kota merupakan suatu reinkarnasi baik kultural, politik, sosial dan ekonomi berlangsung tanpa disengaja. Di mana praktek-praktek sosial yang dibingkai dalam rutinitas sehari-hari mengontruksi sebuah konsensus hidup yang menciptakan kesadaran kolektif. Kediri sebagai gambaran sebuah kota juga tak luput mengalami riwayatnya.

Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mentautkan antara etnis Tionghoa, Tahu dan kota dalam kontribusinya sebagai pembentuk identitas kota Kediri yang dibingkai dalam sejarah panjang, sehingga kini melegenda sebagai produk kota. Sebagaimana yang telah disadur di atas, kota menjadi bagian utama dalam kajian transformasi baik kultural, politik, ekonomi serta kekuasaan. Yang mana, dalam penelitian ini peneliti menyandarkan pemaparannya melalui pemikiran para penganut pasca strukturalisme.

Untuk itu, seusai penelitian ini penulis mengucap beribu terimakasih kepada Yang Maha Kasih untuk segala curahan cintanya. Terimakasih saya haturkan pula kepada bapak dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prof. Pawito, Ph. D, bapak Dr. Bagus Haryono, M. Si selaku kepala jurusan Sosiologi, bapak Drs. Jefta Leibo, SU, ibu Dra. Sri Hilmi Pujihartati, M.Si selaku penguji yang banyak memberikan ilmunya, serta staf pengajar jurusan Sosiologi yang telah banyak membantu.

commit to user

Tak lupa, penulis mengarahkan terimakasihnya pada bapak Prof. Dr. RB. Soemanto, MA selaku pembimbing akademik, bapak Dr. Drajat Tri Kartono, M. Si selaku pembimbing yang sangat mengarahkan dan mendukung minat penulis, teman-teman Sosiologi 2008 atas semangatnya, kepala Kelurahan Setono Pande, Jagalan dan Kauman, Segenap informan yang membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian ini dan yang terakhir untuk ayah, ibu dan adik atas doanya.

Demikian penulis mengharapkan kritik serta saran untuk kebaikan penelitian ini. Penulis berharap pula agar penelitian ini bisa bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Juli, 2012 Penulis

commit to user

Jaringan ......................................................................... 124

D. Politik Identitas Keetnisan untuk Ruang Kota ... .......................... 131 Identitas Etnis Sebagai Proyek; Isu di Kediri ....................... 133 Kota Kediri yang Terbangun Identitasnya ........................... 136

E. Menalar Teori Stukturasi Giddens .... ................................................ 137 Agen dan Struktur ......................................................................... 138 Ruang dan Waktu .......................................................................... 139 Matriks Hasil Penelitian ................................................................. 142

4. Kerangka Hasil Penelitian .................................................... 151 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ................................. 152

A. Kesimpulan .................................................................................. 152 B. Implikasi ........................................................................................ 153

C. Saran .............................................................................................. 154

BAB I

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu bangsa yang terkomposisi atas berbagai etnis, ras dan budaya yang tersebar di berbagai pulau di seluruh nusantara. Keberagaman etnis dan adat-istiadat tersebut membuat bangsa Indonesia sangat kaya akan kebudayaannya. Dengan latar belakang keberagaman yang dimiliki di atas cenderung menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang terbuka terhadap pendatang dan perubahan. Mulai dari rintisan inilah politik jati diri atau identitas bangsa sangat kental mewarnai dinamika kehidupan berbangsa. Masyarakat Indonesia yang tersebar di seluruh pelosok tanah air terdiri atas masyarakat primubumi yang telah menghuni ribuan tahun sampai pada akhirnya datanglah masyarakat imigran yang disebut dengan masyarakat timur asing yaitu keturunan Arab dan keturunan Tionghoa atau Cina.

Masyarakat Tionghoa dianggap sebagai imigran karena mereka mulai mendatangi kepulauan nusantara diperkirakan pada awal abad ke 9 Masehi. Etnis Tionghoa yang hadir di Indonesia dianggap sebagai pembawa perubahan terutama pada sistem teknologi pertanian dan perdagangan. Hal ini disebabkan karena peradaban Tionghoa merupakan peradaban yang tinggi dan salah satu peradaban tertua di dunia yang penuh dengan jati diri yang arif. Etnis Tionghoa hidup dan berkembang sebagaimana etnis pribumi lainnya di nusantara. Tidak ada daerah Indonesia yang tidak dihuni etnis Tionghoa. Mereka mula-mula menduduki teritori yang berada dekat dearah pesisir, karena pada saat iru

commit to user

transportasi klasik utamanya ialah perahu atau kapal. Sehingga kemudian mereka bemigrasi atau menduduki tempat-tempat lainnya di bumi nusantara. Hidup dan berkembangnya etnis serta kebudayaan Tinghoa di Indonesia tidak terlepas dari falsafah hidup mereka yaitu menyesuaikan diri dengan lingkungan alam dan sekitarnya tanpa melupakan identitas mereka. Interaksi antar etnis pribumi dengan etnis pendatang Tionghoa berlangsung harmonis sekaligus walaupun pada situasi lainnya tak jarang terjadi konflik yang tidak diperkirakan sebelumya (Usman, 2009:1).

Masyrakat Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang asal dari satu dearah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia ialah bahasa Hokkien, teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tak dapat dimengerti pembicara yang lain (Koentjaraningrat, 1993:353).

Etnis Tionghoa merupakan masyrakat yang dikenal suka merantau. Kebiasaan merantau ini disebabkan oleh latar belakang kehidupan ekonomi yang sulit di negeri leluhurnya. Orang Tionghoa paling banyak berhijrah ke Asia Tenggara dan Indonesia meruapakan salah satu tujuan dari persinggahan Tionghoa Daratan. Orang Tionghoa datanag ke Indonesia secara besar-besaran sekitar abad 25 Masehi. Salah satu bahariwan dan pendakwah terkenal ialah

commit to user

Ceng Ho. Pada tahun 1415 armada Ceng Ho melakukan kunjungan muhibah ke Aceh yaitu Samudra Pasai (Yuanzhi, 2009:97). Interaksi antara orang Indonesia dengan orang Tiongha terlihat jelas sejak lancarnya transportasi laut pada awal peradaban dan perkembangn kebudayaan di Indonesia. Kontak budaya anatara etnis Tionghoa dengan masyarakat Indonesia sudah berlangsung ratusan tahun sehingga kehadiran etnis Tionghoa di nusantara berpengaruh pada peradaban Indonesia itu sendiri, terutama di bidang ekonomi.

Ranah ekonomi merupakan latar menarik yang bisa dikaji dari Etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa pada umunya ialah pekerja keras, rajin dan hemat sehingga mereka cepat berhasil dan berkembang terutama di bidang bisnis dan perdagangan. Keberhasilan mereka dimotivasi oleh sistem kepercayaan dan budaya Cina yang disebut dengan konfusianisme. Dengan prinsip saling percaya ini mengarahkan mereka kepada aktualisasi diri melalui pasar dengan proses-proses konsensus ekonomi yang bisa diterima satu sama lain. Setelah mereka berhasil, kebiasaan hidup mereka berkelompok dan berinteraksi mampu digunakan sebagai pemertahan budayanya sendiri di tengah-tengah penduduk pribumi dengan menjadi ikon perubahan dalam bidang perekonomian. Tak jarang juga taraf hidup mereka bisa dikatakan lebih mumpuni bila dibandingkan dengan orang-orang pribumi.

Budaya yang disebut di atas berupa aspek-aspek yang kompleks yang mampu mereka maintain dengan sangat baik dan tidak menghilangkan sifat- sifat khasnya. Etnis Tionghoa memang paling arif dalam membawa

commit to user

identitasnya. Kekayaan jati diri tak pernah pudar walau akulturasi yang melibatkan adaptasi lintas budaya seperti halnya di ranah politik, ekonomi, bahasa dan sosial dengan warga di mana mereka berimigrasi. Demikian halnya dengan kebudayaan makan Tahunya. Etnis Tionghoa dan Tahu merupakan suatu bagian yang integral yang mencerminkan bagaimana salah satu ranah ekonomi ditilik, yaitu mengenai pola konsumsi yang khas.

Lalu siapa dari kita yang tidak kenal Tahu? Makanan yang bercita rasa khas ini tanpa kita sadari merupakan bentuk fisik proses akulturasi dua budaya di Indonesia yang tentu saja melalui proses-proses penerimaan yang tidak sebentar. Bermula dari tradisi keluarga yang kemudian bisa diadopsi oleh masyarakat pribumi Indonesia secara luas dan tak jarang juga menjadi politik identitas sebuah kota yang sebelumnya dibawa oleh agen, yakni etnis Tionghoa itu sendiri melalui berbagai macam kegiatan kebudayaan.

Dalam proses kebudayaan, sistem pewarisan dan interaksi manusia dengan lingkungan itu selalu saling berhadapan. Keduanya bertemu dalam proses dialektika secara terus menerus. Proses seperti itu tidak pernah berhenti dan berlangsung terus dalam kehidupan masyarakat. Gagasan-gagasan baru yang muncul sebagai hasil dialektika itulah yang kemudian menjadi milik masyarakat, dan hal inilah yang kemudian menjadi pengarah dan pedoman bagi sikap dan perilaku warga masyarakat pendukung kebudayaan itu (Sairin, 2002:6).

Tak menutup kemungkinan bilamana dalam proses kebudayaan dalam

commit to user

suatu ruang mampu menciptakan sebuah tatanan yang ciri khas, tak terkecuali dengan gejala peradaban ruang kota. Gejala peradaban merupakan jalinan berbagai aspek kehidupan manusia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hanya dengan cara mengintegrasikan semuanya itu kita dapat memahaminya secara kompleks dan lengkap. Di samping itu, peradaban juga merupakan suatu gejala yang universal sehingga masalah yang rumit akan dihadapi bila subjek yang sangat luas ini dipilih sebagai sasaran kajian. Tidak terkecuali memahami bagaimana peradaban sebuah kota melangkah.

Dalam memaknai sebuah peradaban struktur kota di Indonesia sedikit banyak akan ditemukan berbagai karakteristik masing-masing yang mewarnai beberapa wilayah tertentu. Kendati demikian kota sendiri merupakan gambaran di mana reinkarnasi interaksi sosial di dalamnya tercermin lewat berbagai macam produk kota yang bertemakan struktur khas penduduknya. Hal ini merupakan suatu keniscayaan dari sebuah legenda yang dikemas secara utuh dalam bingkai konstruksi wajah-wajah kota yang berjalan seiring dengan jamannya dengan membentuk identitas yang bercirikhas.

Demikan halnya dengan kota Kediri, propinsi Jawa Timur yang terletak sekitar 40 kilometer dari kota Blitar. Kota Kediri sangat terkenal dengan makanan khasnya yaitu Tahu-Takwa. Dan berita semacam ini sudah tidak asing lagi di telinga kita semua. Tahu, seperti halnya yang telah dijelaskan di atas merupakan makanan khas etnis Tionghoa yang kemudian mampu diterima oleh warga Indonesaia melalui proses-proses tertentu. Pusat oleh-oleh kota

commit to user

Kediri, Tahu terletak di sepanjang jalan Pattimura yang kemudian dibatas- akhiri dengan palang rel kereta api di sisi timurnya. Dan pada umumnya para penjual oleh-oleh ini ialah etnis Tiongoa keturunan. Bisnis tahu yang diperkitakan dirintis pada tahun 1900an ini merupakan hasil dari tradisi salah satu keluarga yang melihat wilayah Pandean (yang masih termasuk Jalan Pattimura) sebagai pasar. Berbagai pertanyaan mengenai alasan mereka melakukan ini memang patut kita sandarkan.

Tahu dan takwa memang telah bertahun-tahun lamanya menjadi ikon kota Kediri yang tentu saja hal ini tidak terlepas dari turut campurnya etnis Tionghoa dalam mengakomodirnya. Tak berhenti sampai di situ, pengenalan perjalanan kudapan Tahu yang melegenda sebagai produk khas dari kota Kediri ini dirasa kurang dekat dengan masyarakat kota Kediri yang menganggapnya biasa-biasa saja. Dari sinilah minat peneliti untuk meneliti dengan menggunakan tema etnisitas sebagai grand theme-nya. Sehingga peneliti memfokuskan kajian penelitiannya pada bagaimana transformasi tradisi makan tahu salah satu keluarga etnis Tionghoa (agen) menjadi komersil atau komoditas yang kemudian melihat pasar serta bagaimana komoditas tersebut mampu menjadi citra identitas kota Kediri sehingga membentuk sebuah struktur ruang kota yang baru yang kaya akan identitas.

B. Rumusan Masalah

commit to user

Bedasarkan latar belakang penulis merumuskan permasalahan sebabagai berikut :

1. Bagaimanakah proses strukturasi melalui tradisi makan Tahu keluarga Tionghoa Kediri ditransformasikan sebagai komoditas?

2. Bagaimakah kemudian, komoditas tersebut mampu membentuk identitas kota Kediri?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memenuhi tujuan akan:

1. Sebuah gambaran mengenai transformasi tradisi makan Tahu keluarga Tionghoa Kediri menjadi komoditas.

2. Deskripsi kontribusi etnis Tionghoa dalam mebentuk identitas kota Kediri.

3. Gambaran akan relevansi teori yang digunakan dalam peneltian ini.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan pemahaman atas proses strukturasi melalui transformasi tradisi keluarga yang berkontribusi sebagai pembentuk identitas kota dengan kajian pustaka dan metode penelitian yang sesuai.

2. Manfaat Praktis

commit to user

Diharapkan bisa digunakan sebagai acuan untuk melakukan studi etnisitas lanjut baik itu mengenai Etnis Tionghoa yang khas dengan karakteristiknya hingga etnis-etnis lain beserta aspek-aspek universal yang menyertainya.

BAB II

commit to user

KAJIAN PUSTAKA

Sebagai suatu pribadi kita tidak akan terlepas dari proses-proses sosial yang menciptakan kita sebagai subjek untuk diri kita dan orang lain. Konsepsi yang kita yakini tentang identitas dapat kita sebut tentang gambaran diri, sementara itu harapan dan pendapat orang lain membentuk identitas sosial. Keduanya merupakan gabungan yang menyerupai cerita.

Identitas merupakan produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Jadi identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin representatif di luar bayang-bayang kultural dan akulturasi. Tidak ada suatu kebudayaan yang tidak memiliki konsepsi mengenai identitas. Membicarakan identitas tak luput dari perhatian Giddens atas teori strukturasi dengan berbagai aspek yang melengkapinya. Berikut penulis sajikan kajian teori selengkapnya .

A. Definisi Konsep

1. Etnisitas

Pembicaraan tentang etnisitas tidak terlepas dari pembicaraan tentang identitas-identitas yang telah berkembang dan saling berhubungan satu sama lain. Kata etnisitas sering terdengar pada tahun 1990-an terutama di Bosnia, Albania dan akhir-akhir ini di Indonesia. Istilah etnis telah menjadi populer di media cetak ataupun media elektronik. Istilah etnis biasanya dimunculkan oleh media massa setelah adanya konflik seperti di Bosnia dan Albania serta Kalimantan.

Etnis merupakan suatu kelompok masyarakat yang membedakan

commit to user

anatara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Etnis ditandai dengan kriteria, bahasa, organisasi politik, teritorial tempat tinggal. Diantara unsur- unsur yang membedakan tersebut tidak persis sama, hal ini sangat tergantung pada para ahli yang memberi batasan tentang etnis, Misalnya, secara kultural dua kelompok berbudaya sama, tetapi secara ras mungkin sangat berbeda. Adanya etnisitas tentunya telah mempunyai saling keterkaitan atara satu kelompok dengan kelompok yang berlainan saling berhubungan (Usman, 2009:50).

Menurut Yelvington (Yelvington, 1991), etnisitas adalah satu aspek hubungan sosial di antara agen-agen yang masing-masing menganggap dirinya berbeda dari anggota kelompok lainnya dengan siapa mereka memiliki interaksi minimun secara teratur. Oleh karena itu, juga dapat didefinisikan sebagai suatu identitas sosial (bedasarkan perbedaan antara satu sama lainnya) yang ditandai dengan persaudaraan metaphorik atau fiktif (Eriksen, 1993:12).

Apabila ada perbedaan budaya secara reguler sekaligus menimbulkan suatu perbedaan dalam interaksi diantara anggota kelompok, maka hubungan sosial tersebut akan memiliki suatu unsur etnis. Etnisitas menunjukkan pada aspek untung atau rugi, namun bisa juga positif atau negatif dalam berinteraksi, dan juga menunjukkan pada aspek makna penciptaan identitas. Dengan kata lain, etnisitas memiliki unsur politik, organisasi dan aspek simbolis.

Identitas etnis ditandai dengan simbol-simbol budaya, bahasa,

commit to user

organisasi serta ideologi. Setiap etnis memiliki identitas yang harus dipatuhi oleh masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Kekhasan etnis secara kultural membuat manusia unik dalam berkomunikasi sekaligus menjadi kajian tersendiri dari para intelektual. Di balik itu semua, kekhasan etnisitas dalam masyarakat jika tidak saling memahami ideologi, simbol dan bahasa tertentu dimungkinkan akan terjadi kesalahpahaman. Simbol etnis menentukan apabila seseorang yang ingin berinteraksi dengan etnisnya sendiri maupun dengan etnis yang lainnya. Menurut Eriksen (1993), etnis terdiri atas:

a. Etnis Urban Minoritas (Urban Ethnic Minorities). Etnis Urban Minoritas adalah etnis yang bermigrasi pada suatu negara. Etnis ini mencakup para imigran non-Eropa di kota-kota Eropa dan

Hispanik di Amerika Serikat, dan juga para imigran kota-kota idustri di Afrika dan di negara-negara lain. Umumnya Etnis Urban Minoritas mempunyai kepentingan politik namun jarang menuntut kemerdekaan politik. Mereka dituntut berintegrasi dengan sistem kapitalis.

b. Orang Pribumi (Indigenous People). Perkataan ini merupakan suatau istilah yang mencakup seluruh penghuni (penduduk)

Aboriginal dari suatu teritorial yang secara politis relatif tidak berdaya dan hanya secara persial terintegrasi dengan nation- state yang dominan. Orang-orang pribumi terasosiasi dengan model produksi nonindustri dan sistem politik tanpa negara

commit to user

(stateless). Orang-orang Basque dari Bay of Biscay dan Welsh dari Inggris Raya tidak dianggap sebagai penduduk pribumi, walaupun jika kita berbicara secara teknis jelas mereka adalah pribumi, sama halnya dengan Sami di kawasan Skandinavia atau Jivaro dari Amazon Basin.

c. Proto-Nations juga diesbut sebagai gerakan ethonationalist. Kelompok-kelompok ini meliputi suku Kurdi, Sikh, Palestina

dan Tamil dari Sri Lanka. Kelompok ini memiliki pemimpin politik yang mengklaim bahwa mereka berhak atas negara- bangsa mereka dan tidak boleh diperintah orang lain. Etnis ini selain tidak memiliki negara-bangsa tetapi memiliki karakteristik yang lebih substansial mirip dengan bangsa- bangsa. Dibandingkan dengan minoritas urban atau orang pribumi, kelompok ini mungkin sebagai bangsa tanpa negara.

d. Kelompok-kelompok etnis dalam masyarakat plural (ethnic group in plural societies). Istilah masyarakat plural biasanya menunjukkan negara-negara yang diciptakan oleh kolonial

dengan penduduk yang heterogen secara kultural (Furnivall, 1948; M. G. Smith, 1965). Masyarakat yang khas adalah Kenya, Indonesia dan Jamaika. Kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat plural, walaupun didorong untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi dan politik, biasanya dianggap sangat berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat

commit to user

plural, masing-masing etnis cenderung diartikulasikan sebagai persaingan kelompok (Eriksen, 1993:13-14).

Melihat kelompok-kelompok etnis tersebut di atas sangat berbeda satu sama lain, maka seseorang intelektual tentunya dimungkinkan untuk mengkaji aspek-aspek tertentu guna kelancaran analisisnya. Misalnya saja urban minoritas, umunya mereka tidak berpengaruh pada politik kelompok dominan. Di lain pihak, sebagai etnis mereka juga membutuhkan pengembangan keunikannya dan kekhasannya masing-masing.

Di samping itu, orang-orang pribumi yang minoritas sering tidak diperhatikan oleh elite penguasa sekaligus sering dianggap sangat ketinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketertinggalan mereka dalam pembangunan boleh jadi disebabkan dipaksakan oleh kelompok yang dominan. Secara politik mereka memang tidak berdaya, namun mereka berhak mendapatkan kesempatan apapun sesuai dengan kemampuan mereka. Sebagaimana kita lihat kelompok-kelompok pribumi ini di Kalimantan, orang Dayak, mereka kadang-kadang dicemooh oleh sebagian pendatang dan menganggap mereka kampungan dan tidak berdaya (Petebang, Sutrisno, 2000:38).

Demikian juga dengan kelompok Proto-nations, mereka adalah suatu kelompok yang mempunyai pemimpin yang kharismatik sekaligus mempunyai ideologi , tetapi mereka tidak mempunyai negara namun mengklaim mempunyai wilaya serta berhak mengatur diri sendiri. Kelompok ini juga memerlukan perhatian khusus terutama dalam

commit to user

menjembatani antara kelompok yang dominan atau penguasa dengan para pemimpin etnis pinggiran. Etnis tersebut membutuhkan perhatian para intelektual guna menganalisis keberadaan mereka (Usman, 2009:52).

Terakhir merupakan masyarakat plural. Masyarakat plural adalah masyarakat majemuk yang terdiri atas berbagai etnis dan subetnis dalam suatu negara-bangsa. Masyarakat plural disatukan dengan bahasa nasional dan ideologi politik yang baku. Perbedaan pandangan bukan lagi hal yang aneh dalam masyarakay plural dengan keanekaragamannya. Namun keanekaragaman budaya, bahasa daerah dan asal-usul mereka membuat masyarakat itu berbeda pandangan dan cara bertindak dalam masyarakat. Dengan demikian, para pemimpin negara harus secara srif melaksanakan kebijakan publik ataupun negara.

Jelas bahwa etnisitas memiliki identitas, yang di dalam masyarakat mungkin dianggap sangat penting. Akan tetapi perbedaan etnis di suatu masyarakat majemuk menjadi kajian yang sangat menarik bagi para intelektual yang tertarik dengan tema etnisitas. Kenyataan tersebut dalam masyarakat multibudaya masing-masing etnis saling menjaga eksistensinya. Disamping itu etnis yang dominan menjadi penentu dalam kebijakan dan strategi pembangunan, sehingga pihak minoritas dirugikan secara kultural. Etnisitas merupakan suatu kelompok masyarakat yang hidup bersama masyarakat lainnya, tetapi mereka berbeda secara budaya, bahasa dan ras serta sistem organisasi (Usman, 2009:53).

2. Kota

commit to user

Kompleksitas pertanyaan “apa itu kota?” dalam bahasa Indonesia telah disarankan sejakan di tingkat semantik. Hal ini disebabkan karena khasanah bahasa Indonesia hanya mengenal dikotomi desa dan kota. Dalam bahasa Inggris pengertian kota lebih jelas. Mereka mempunyai tiga kata menunjukkan pada pengertian kota yaitu town, city dan urban. Town dan city menunjukkan batasan teritorial yang bercirikan kota sedangkan urban menunjuk pada ciri dan cara hidup yang khas memiliki suasana kehidupan dan penghidupan modern dapat disebut sebagai perkotaan. Town dan city dibedakan atas dasar besarannya, di mana city (kota besar) lebih besar dari town (kota kecil). Sedangkan urban menunjuk pada ciri dan cara hidup yang khas memiliki suasana keidupan dan penghidupan modern dapat disebut daerah perkotaan (Kartono, 2010:1.3).

Kota Jakarta dianggap sebagai kota metropolitan masih sering disebut sebagai the big village karena lalu lintas yang tidak teratur dan dibalik bangunan megah masih tampak pemukiman kumuh yang menyerupai suatu perkampungan yang besar. Akan tetapi, suatu kota kecil yang lalu lintasnya teratur dengan beberapa pusat industrinya dapat disebut sebagai the small city. Penyebutan the big village dan the small city tampak menurut pada masalah lingkungan (sosial, alam dan fisik) suatu kota sehingga sulitlah memberikan definisi kota secara tepat (Hariyono, 2007:15).

Namun, kota dan ciri yang tampak (tangible) ditandai oleh jumlah penduduk yang tidak boleh kurang dari 2.500 (menurut patokan resmi) di

commit to user

Amerika Serikat). Northam (1975) secara lebih detail menyajikan kriteria jumlah penduduk kota sebagai berikut:

a. Kota kecil

: 2.500-25.000 penduduk

b. Kota medium : 25.000-100.000 penduduk

c. Kota besar

: 100.000-800.000 penduduk

d. Metropolis

: 800.000 penduduk lebih

e. Megapolis

: sekurang-kurangnya beberapa juta

f. Ecumenopolis : sekurang-kurangnya beberapa puluh juta Ciri tampak (tangible) lain dari kota adalah dilihat dari penampilan fungsinya. Penampilan fungsi ini dapat dibedakan seperti halnya kota untuk fungsi politik di mana terlihat berpusatnya gedung-gedung pemerintahan (negara), seperti kota di Indonesia (di mana ada Kantor Kecamatan disebut kota Kecamatan dan di mana ada kantor Kabupaten disebut kota Kabupaten dan sebagainya) atau kota-kota kuno zaman kerajaan yang dibatasi tembok untuk memisahkan dengan wilayah luar kota raya. Fungsi lain dari kota adalah ekonomi seperti kota pelabuhan yang ditandai dengan keberadaan pelabuhan untuk persinggahan kapal besar yang melakukan transportasi perdagangan. Di samping itu, kota perdagangan karena di sana ada tempat berupa pasar dan sebagaimana. Ciri fungsi ekonomi yang bukan menunjukkan kota biasanya dikaitkan dengan keberadaan usaha sektor pertanian (Kartono, 2010:1.5).

Ciri tidak tampak (intangible) dari kota atau city adalah kekhasan cara-cara hidupnya. Cara hidup ini dapat berupa cara mengatur tempat

commit to user

tinggal, cara mengatur interaksi sosial, cara mengatur gaya hidup dan sebagainya. Dalam istilah Bardo (1982) disebut sebagai ciri organisasi sosialnya. Contoh kota dalam pandangan ini adalah analisa L. Wirth (1938) yang melihat kota sebagai cara hidup (Urban as Way of Life). Di mana jumlah penduduk, kepadatan dan heterogenitas kota menyebabkan cara hidup orang kota yang nonpribadi, datar, sepintas lalu, segregatif (terkotak- kotak) atau yang dalam istilah Tonnies disebut dengan ciri gesselschaft. Ciri-ciri tak tampak yang berupa cara hidup urban ini tidak saja membedakan kota dengan desa, tetapi satu kota dengan kota lain. Hal ini dapat terjadi karena pola urbanisme di satu kota dengan kota lain dapat berbeda. Di New York misalnya, hubungan sosial masih banyak didasarkan oleh pencampuran antara hubungan pekerjaan dan kedaerahan. Bedasarkan contoh tersebut, maka dua kota yang menurut ciri tampak (misalnya dari jumlah penduduknya) dapat dikategorikan sama namun dari ciri tak tampak selalu akan menunjukkan perbedaan (Kartono, 2010:1.6).

Lebih lanjut, Max Weber melihat kota adalah kumpulan tempat tinggal yang terpisah namun dalam satu pemukiman yang tertutup. Dalam ruang yang tertutup inilah, tercampur aspek kekuasaan besenjata atau militeristik sebuah kota (kota sebagai benteng) dan aspek pasar di mana berbagai komoditas dipertukarkan. Ruang kota memiliki sejarah dengan proses pembentukannya yang dapat dilacak dan dianalisa secara jelas. Ruang-ruang dalam kota inilah yang mempengaruhi keberadaan kota karena karena memiliki makna yang terbentuk dari proses sosial yang

commit to user

berubah dari masa ke masa. Hal ini dapat mencerminkan adanya perbedaan dan penentu bentuk relasi sosial antar warga kota (Kartono, 2010:1.21).

Sejalan dengan itu Liou Cao dan Hugo Priemus menyisipkan pemaknaan kota dalam jurnalnya sebagai, As the European Union becomes more of an economic

reality and major global cities engage in economic restructuring, the Netherlands finds itself in a turbulent transition on many fronts, not least its housing markets. For a long time the Dutch housing market has been known for stringent and effective state regulation, mainly through the housing and spatial planning policy (Cao dan Priemus, 2007:362, European Urban and Regional Studies) .

Dalam paparan di atas dijelaskan bahwa salah satu ruang yang penting dalam perkembangan kota adalah pasar yang berfungsi untuk mengembangkan ekonomi warga kota. Lebih lanjut, Weber menekankan bahwa karakteristik yang menonjol pada suatu kota adalah aktivitas pasarnya. Dalam kaitan ini, masyarakat kota umumnya hidup dari perdagangan da perusahaan. Fungsi pasar dalam suatu kota sangat menonjol dan menjadi barometer perkembangan kota. Frekuensi arus barang dan komoditas yang masuk dan keluar dari pasar, kelompok sosial yang terlibat dan sebagainya menggambarkan kondisi riil dari aktivitas masyarakat kota. Oleh karena itu, kegiatan dan kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi karena adanya pasar (Kartono, 2010:1.21).

B. Penelitian Terkait

1. Strukturasi

commit to user

Dalam kajian mengenai teori strukturasi, banyak ditemukan penelitian- penelitian yang mengaplikasikan teori ini di berbagai kasus. Sunarto (2009) dalam penelitiannya berjudul Televisi, Kekerasan dan Perempuan mengidentifikasikan strukturasi sebagai proses di mana struktur terbentuk dengan agen manusia.struktur juga dibentuk oleh agen yang pada saat bersamaan struktur tersebut juga bertindak sebagai medium yang membentuk agen tersebut. Hasil dari strukturasi ialah serangkaian relasi sosial dan proses kekuasaan yang diorganisasikan di sekitar kelas gender, ras dan gerakan sosial yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian ketika ekonomi-politik memberi perhatian pada agensi, proses dan praktek sosial ia cenderung memfokuskan perhatian pada kelas sosial.

Terdapat alasan baik untuk mempertimbangkan strukturasi kelas menjadi pusat jalan masuk untuk menangani kehidupan sosial. Akan tetapi terdapat dimensi lain dari strukturasi yang melengkapi dan bertentangan dengan gender, ras dan gerakan sosial yang didasarkan pada persoalan- persoalan publik semacam lingkungan yang bersama-sama kelas membentuk banyak dari relasi sosial dari komunikasi.

Sehingga Sunarto (2009) menyimpulkan bahwa dari pemikiran semacam itu, masyarakat bisa dipahami dari serangkaian penstrukturan tindakan-tindakan yang dimulai oleh agen-agen secara bersama-sama membentuk relasi-relasi kelas, gender, ras dan gerakan sosial. Fokus pada relasi-relasi kelas, gender, ras dan gerakan sosial tidak dimaksudkan untuk

commit to user

menyarankan bahwa hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang lebih esensial disbanding yang lainnya. Akan tetapi formlasi semacam itu merupakan pintu masuk penting bagi analisis strukturasi. Proses strukturasi ini kian menjadi penting ketika mempunyai pengaruh signifikan pada terbentuknya hegemoni. Hegemoni dalam hal ini didefinsikan sebagai cara berfikir yang dinaturalisasikan, masuk akal dan diterima sebagai suatu yang diberi (given) mengenai dunia yang termasuk di dalamnya segala sesuatu, mulai dari kosmologi melalui etika serta praktik sosial yang dilekatkan dan dipertanggung jawabkan dalam kehidupan sehari-hari. Hegemoni merupakan sebuah jaringan yang dilekatkan serta dihidupkan dari pembentukan makna dan nilai yang bersama-sama dialami sebagai praktik dan sebagai pembenar.

Bagaimanapun juga satu karakteristik penting dari teori strukturasi ialah melihat perubahan sosial sebagai sebuah proses yang ada di mana- mana yang bagaimana struktur diproduksi dan direproduksi oleh agen manusia yang bertindak melalui struktur itu sendiri.

Agensi sebagai sebuah konsep sosial mendasar yang digunakan sebagai teori srukturisasi, menurut Mosco (1996: 215), agensi mengacu pada individu-individu sebagai aktor-aktor sosial yang perilakunya dibentuk oleh matriks dari relasi dan posisi sosial yang melibatkan kelas, ras dan gender. Akan tetapi, meskipun strukturasi mengarahkan agen-agen sebagai sosial, bukan individual (aktor-aktor), teori ini mengakui arti penting proses sosial dari individuasi (social process of individuation). Karenanya, strukturasi

commit to user

menjadi jalan masuk untuk meneliti pemebentukan struktur dan agensi secara bersama-sama dalam ekonomi-politik.

B. Landasan Teori

Teori strukturasi merupakan teori yang menepis dualisme (pertentangan) dan mencoba mencari likage atau pertautan setelah terjadi pertentangan tajam antara struktur fungsional dengan konstruksionisme- fenomenologis . Giddens tidak puas dengan teori pandangan yang dikemukakan oleh struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontengensi dari aktivitas agen. Tetapi Giddens juga tidak sependapat dengan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperalisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.

Giddens menyelesaikan debat antara dua teori yang menyatakan atau berpegang bahwa tindakan manusia disebabkan oleh dorongan eksternal dengan mereka yang menganjurkan tentang tujuan dari tindakan manusia Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifatnya yang otonom serta memiliki andil untuk mengontrol struktur itu sendiri.

Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan

commit to user

kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur sistem sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali aktor- aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori- teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitas- ativitasnya bisa merealisasikan sistem-sistem itu.

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan-tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulang- ulang.

Tidak menutup kemungkinan alasan yang diuraikan oleh manusia secara berulang-ulang tersebut memiliki tujuan-tujuan yang didasarkan atas apa yang hendak ia perlukan pada dimensi ruang dan waktu yang berbeda- beda. Bisa dikatakan tindakan dari seorang agen tak jarang pula untuk mempengaruhi struktur di mana mereka tengah menjalankan kiprahnya.

Aktivitas-aktivitas sosial manusia ini bersifat rekursif dengan tujuan agar aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dilaksanakan oleh pelaku-pelaku sosial tetapi diciptakan untuk mengekspresikan dirinya sebagai aktor atau pelaku secara terus menerus dengan mendayagunakan seluruh sumberdaya yang dimilikinya. Pada dan melalui akivitas-aktivitasnya, agen-agen mereproduksi

commit to user

kondisi-kondisi yang memungkinkan dilakukannya aktivitas-aktivitas itu. Tindakan manusia diibaratkan sebagai suatu arus perilaku yang terus menerus seperti kognisi, mendukung atau bahkan mematahkan selama akal masih dianugerahkan padanya (Giddens, 2011:4).

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Kasus yang mendukung konsepsi subjek sebagai agen aktif dan mengetahui banyak hal secara konsisten telah dikemukakan Giddens, yang merupakan serang kritikus Foucault yang paling lantang karena ia menghapus agen dari dari retetan sejarah. Giddens mengambil pandangan Garfinkel (1967), berpendapat bahwa tatanan sosial dibangun di dalam dan melalui aktivitas-aktivitas sehari-hari dan memberikan penjelasan (dalam bahasa) tentang aktor atau anggota masyarakat yang ahli dan berpengalaman. Sumber daya yang diambil oleh sang aktor, dan dibangun olehnya adalah karaker sosial, dan memang struktur sosial (atau pola aktivitas teratur) menyebarkan sumber daya dan kompetensi secara sosial, yang berbeda dengan menjadi subjek aksi dengan segala macam individu, beroperasi untuk menstrukturkan apa itu aktor. Sebagai contoh, pola-pola harapan tentang apa yang dimaksud dengan menjadi key person, dan praktik yang terkait dengan etnisitas,

commit to user

mengkonstuksi seaorang key person sebgai subjek yang sepenuhnya berbeda. Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas pada gilirannnya memberdayakan kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu. Sejalan dengan itu, masalah-masalah mengenai bagaimana seorang aktor bisa memperngaruhi keadaan atau bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.

Sekadar untuk menekankan saja bahwa teori strukturasi terpusat pada cara agen memproduksi dan mereproduksi struktur sosial melalui tindakan mereka sendiri. Aktivitas-aktivitas manusia yang teratur tidak diwujudkan oleh aktor-aktor individual, melainkan terus-menerus diciptakan dan diulang oleh mereka melalui cara mereka mengekspresikan diri sebagai aktor. Jadi, di dalam dan melalui aktivitas, agen mereproduksi sejumlah kondisi yang memungkinkan aktivitas-aktivitas semacam itu. Setelah dibentuk sebagai seorang key person oleh sejumlah harapan dan praktik yang dipadukan dengan kesadaran bersama, setelah belajar dan menginternalisasikan nilai serta aturan, maka kita bertindak sesuai dengan aturan-aturan itu, mereproduksi aturan itu lagi. Di mana aturan yang mengikat tersebut kembali menjadikan masyarakat di sekitarnya turut melembagakan kekangan walaupun pada akhirnya munculnya kuasa mampu menembus peraturan yang mereka buat sendiri.

1. Mengklarifikasi Ranah Agen, Agensi

Konsep agensi umunya diasosiasikan dengan kebebasan, kehendak bebas, tindakan kreativitas, orisinilitas dan kemungkinan perubahan melalui

commit to user

aksi agen bebas. Bagaimanapun juga kita perlu membedakan antara istilah metafisis atau mistis agensi bebas di mana agen membentuk dirinya sendiri (yaitu mewujudkan dirinya sendiri dari ketiadaan) dengan konsep agensi sebagai sesuatu yang diproduksi secara sosial dan diberdayakan oleh sumber daya sosial yang disebarkan secara bervariasi, yang memunculkan berbagai tingkat kemampuan untuk bertindak pada ruang-ruang tertentu. Sebagai contoh, identitas suatu kaum terikat dengan struktur yang mewarnainya yang didahului oleh hasil nilai dan diskursus sosial yang memungkinkannya melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai seorang agen. Kemudian ada perbedaan antara konsepsi di mana tindakan diciptakan oleh agen yang bebas karena tidak ditentukan dengan agensi sebagai suatu kapasitas untuk bertindak yang dibentuk secara sosial. Kebebasan yang mengarah pada kekuaasan subjektif dikaji secara khas.

Pandangan bahwa agen itu bebas dalam arti tidak ditentukan tidak dapat dipertahankan akrena dua alasan:

a. Terdiri dari apa saja tindakan manusia yang tidak ditentukan atau tidak dipengaruhi? Tindakan seperti ini ialah sesuatu yang

diciptakan secara spontan dari ketiadaan suatu bentuk metafisis dan mistis ciptaan orisinal.

b. Subjek ditentukan, dipengaruhi dan diproduksi, oleh kekuatan sosial yang ada di luar dirinya sendiri sebagai individu. Giddens menyebutnya sebagai Dualitas Struktur (Barker, 2011: 191).

Hambar rasanya bila menjadi seorang agen tidak memiliki pantauan

Konsekuensi atas tindakan

yang tak

Kondisi tindakan yang tidak

commit to user

akan suatu lingkungan yang didasarkan akan sifatnya yang aktif. Untuk menunjangnya Giddens mencoba memaparkan Model straitifikasi agen atau pelaku yang digambarkan pada skema berikut (Giddens, 2011:6)