RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir)

RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir) SKRIPSI

Oleh: TITIS DWI NUR NUGROHO K4408050 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

commit to user

ii

RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir)

Oleh: TITIS DWI NUR NUGROHO K4408050

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

commit to user

iii

commit to user

iv

commit to user

ABSTRAK

Titis Dwi Nur Nugroho. K44408050. 2012. “RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir)” . Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juni 2012.

Tujuan penelitian ini antara lain: (a) Mengetahui jalannya pemerintahan di Mesir pada masa Hosni Mubarak (b) Mengetahui apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya revolusi di Mesir (c) Mengetahui jalannya revolusi di Mesir.

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode historis ada empat tahap kegiatan, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan adalah sumber tertulis yang meliputi buku-buku, majalah dan koran. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi pustaka. Analisa data yang digunakan adalah analisa historis yaitu analisa yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi fakta sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Pemerintahan Mesir pada masa Hosni Mubarak memberlakukan hukum darurat militer dan mengawasi semua kegiatan politik. Untuk tata negara yang stabil, selama beberapa dekade Mubarak mendapat sokongan legitimasi dari AS. Hosni Mubarak memerintah dengan diktator, sehingga menyebabkan kehidupan rakyat Mesir sengsara, dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, pengangguran dan tindakan yang represif dari polisi (2) Revolusi yang terjadi di Mesir terjadi karena faktor intern dan ekstern. Faktor intern dipengaruhi oleh rakyat Mesir yang menginginkan suatu Negara yang demokratis. Rakyat Mesir menderita karena pemerintahan Mubarak yang korup dan diktator. Sedangkan faktor ekstern yang mempengaruhi terjadinya revolusi di Mesir adalah revolusi Tunisia. Revolusi yang terjadi di Tunisia mampu membangkitkan semangat rakyat Mesir dan menghilangkan rasa takut terhadap pemerintah (3) Rakyat Mesir melakukan demonstrasi secara besar-besaran dan mengumpulkan massa menggunakan akun jejaring sosial facebook dan twitter berkumpul di Tahrir Square. Pemerintah melakukan tindakan yang represif terhadap demonstran, melakukan penculikan, penganiayaan bahkan terhadap jurnalis yang meliput jalannya revolusi.

commit to user

vi

ABSTRACT

Titis Dwi Nur Nugroho. K4408050. 2012. THE COLLAPSE OF HOSNI

MUBARAK’S REGIME IN 2011 (Between Dictatorial and Democracy In

Egypt) . Thesis. Teacher Training and Education, University of Sebelas Maret Surakarta, June, 2012.

The purpose of this research are to know: (a) The course of Hosni Mubarak’s govermental period, (b) The all factor of revolution in Egypt, (c) The course of revolution in Egypt.

This research uses the historical method. The steps taken by the historical method there are four stages of activities: heuristic, criticism, interpretation, and historiography. Data sources used are written sources which books, magazines and newspapers. Data collection techniques used is the technique of literature. Analysis of the data used is the analysis of historical analysis that prioritizes acuity in interpreting the facts of history.

Based on the research done, it can be concluded that: (1) The Egyptian government was applying Emergency Law rule and supervising all political activities at the period of Hosni Mubarak’s presidency. In order to stabilize the condition of the nation, Mubarak was endorsed by legitimacy from United State. He governed Egypt very dictatorial cusing the Egyptian society’ life become insufferable with painful poverty, jobless, and repressive treatment from policy. (2) The revolution was conducted by both internal and external factor. The internal was influenced by the Egyptian society it self who desiring a democratic nation. Their suffering was caused by the corrupt and dictatorial of Hosni Mubarak’s presidency. In the other hand, the external factor was influenced by the revolution thet happened in Tunisia. In fact, it provoke the spirit of Egyptian and eliminated their fear of the Egyptian government. (3) The Egyptian society did a massive demonstration. They colleted mass to come in Tharir Square using social network sites such as facebook and twitter. The government treated the demonstrators respressively. They also kidnapped and tryannized the demonstrator and even the journalists who was reporting the revolution course.

commit to user

vii

MOTTO

Pembangkangan kepada tiran adalah kepatuhan kepada Tuhan. (Thomas Jefferson)

Keberanian itu menular. Ketika seorang pemberani berdiri tegak, yang lain juga menjadi tegak.

(Billy Graham)

Cara terbaik untuk meramalkan masa depan kita adalah dengan menciptakan masa depan itu.

(Stephen R. Covey)

Ketika kita berhenti bermimpi, maka saat itu kita berhenti hidup. (Penulis)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Ibu, Ayah dan kakakku tercinta yang senantiasa memberi do’a dan kasih sayang Tea Limostin yang selalu memberikan motivasi, do’a dan menjadi sumber inspirasiku Keluarga Besar Abal-abal yang telah menjadi keluarga keduaku Saudara-saudaraku Sejarah ’08 Almamater

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt yang senantiasa melimpahkan taufik serta hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“RUNTUHNYA REZIM HOSNI MUBARAK TAHUN 2011 (Antara

Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir)” . Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.

3. Ketua Program Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penelitian kepada penulis.

4. Drs. Tri Yunianto, M.Hum., selaku Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Sri Wahyuni, M.Pd., selaku Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Eni Susilowati, Dwi Ari Nur Rakhmawati, Cesilia Dea Afifah Wulandari, Ari Kurnia, Tea Limostin, Suyono, Doni Setyawan, Tri Pujiyanto, Arif Nur Bakhtiar yang tergabung dalam the big family of abal-abal. Terimakasih atas persahabatan yang kita jalani selama ini.

7. Dr. Mas Heri selaku pembimbing Mata Kuliah Penyederhanaan.

8. Anak-anak kos bu “P”, Mas Heri, Kang Jambul, Mas Boy, Korti, Si Jack.

commit to user

9. Teman-teman Pendidikan Sejarah angkatan 2008 yang telah banyak memberikan motivasi.

10. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Surakarta, Juni 2012

Penulis

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Data Negara Mesir ............................................................................ 38

2. Tabel Daftar Partai Politik Mesir ................................................................ 41

3. Tabel Pendapatan Negara-negara Arab dari Minyak Bumi ........................ 73 Tabel Daftar Negara-negara

Pengguna Faceebook Terbesar Tahun 2011 .......................................... 79 Tabel Daftar Pengguna Facebook di Mesir Tahun 2011 ............................ 80

commit to user

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan

Halaman

Kerangka Pemikiran .................................................................................... 26 Prosedur Penelitian ..................................................................................... 32

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Lampiran 1 : Peta Negara Mesir ................................................................. 94

2. Lampiran 2 : Jurnal Diplomasi .................................................................... 95

3. Lampiran 3 : Koran ..................................................................................... 117

4. Lampiran 4 : Foto-foto ................................................................................ 132

5. Lampiran 5 : Surat Permohonan Izin Penyusunan Skripsi.......................... 140

6. Lampiran 6 : Surat Keputusan Dekan FKIP tentang Izin Penyusunan Skripsi ......................................................................................................... 141

7. Lampiran 7 : Surat Permohonan Izin Penelitian ........................................ 142

8. Lampiran 8 : Surat Permohonan Izin Penelitian dan Observasi ................. 143

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman modern ini yang disebut diktator adalah orang yang melakukan kekuasaan sendiri atas negara. Karakteristik dari sistem diktator adalah tidak ada pertanggungjawaban kekuasaan dan rakyat tidak memiliki wewenang untuk membatasi kekuasaan penguasa. Dalam pemerintahan diktator, kedaulatan merupakan milik penguasa dan digunakan untuk kepentingan kekuasaan penguasa. Dukungan publik diperoleh melalui propaganda dan sistem pendidikan terkontrol secara absolut. Hanya ada satu partai dan memiliki ciri khusus antara lain, 1) mengesampingkan oposisi, 2) memerintah dengan kejam, 3) mengagungkan ras Aria, 4) memasukkan pembangkang ke dalam penjara dan kamp konsentrasi, 5) membentuk polisi rahasia, 6) melakukan indoktrinasi atas masyarakat, 7) mengawasi masyarakat secara ketat (Gregorius Sahdan, 2004 : 16).

Diktator yang pernah memerintah antara lain Miguel Primo de Riviera dan Francisco Franco dari Spanyol, Mustafa Kemal Ataturk dari Turki, Joze Pilsudski dari Polandia, antonio de Oliviera Salazar dari Portugal, Benito Mussolini dari Itali, Adolf Hitler dari Jerman, dan Joseph Stalin dari Uni sovyet. Selain itu diktator yang terkenal di Amerika Latin di antaranya Juan Peron dari Argentina, Fulgencio Batista dari Kuba, Rafael Trujillo dari Republik Dominika, Porfirio Diaz dari Mexica, dan Manuel Antonio Noriega dari Panama. Diktator di Timur Tengah termasuk Sadam Hussein dari Irak, Hafez a-Assad dari Syria, Hosni Mubarak di Mesir dan Muammar Khadafi di Libya (Diunduh dari situs Kompas.com, pada tanggal 27 Desember 2011).

Pemerintahan yang diktator akan semakin sulit untuk menjaga eksistensinya di zaman yang semakin maju, karena warga negara mulai mengenal sistem pemerintahan yang jauh lebih bebas, tanpa pengekangan yaitu sistem demokrasi. Demokrasi sangat mudah mempengaruhi pola pikir politik seseorang karena dalam demokrasi ini mengacu pada kebebasan untuk melakukan apapun. Informasi global tentang proses demokratisasi dapat dengan mudah didapat dan

commit to user

dipelajari, sehingga pengetahuan mengenai demokrasi dapat memicu terjadinya revolusi dalam pemerintahan terutama pemerintahan yang diktator. Rakyat tentu menginginkan perubahan dalam pemerintahan, dari pemerintahan yang diktator, selalu mengekang dalam segala hal, menuju pemerintahan yang bebas dan demokratis.

Gerakan transisi dari rezim diktator menuju demokrasi bisa disebabkan oleh revolusi. Revolusi merupakan suatu wujud perubahan yang terjadi secara besar-besaran. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dilakukan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan. Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Revolusi dipahami sebagai kondisi dan keadan bagaimana konflik antar elit atau kelas frustasi. Kondisi ini yang disebut revolusi dan transformasi sosial. Revolusi yang terjadi di beberapa negara, salah satunya Mesir, merupakan suatu bentuk revolusi dengan penggunaan kekerasan, perjuangan, dan percepatan perubahan yang terjadi (Eisenstadt, 1987 : 49)

Trasnsisi melalui revolusi terjadi karena beberapa hal, 1) rezim tidak melakukan perubahan dan menentang dengan keras segala bentuk tuntutan perubahan dalam rezim, 2) pihak oposisi yang berseberangan dengan rezim menghendaki terjadinya perubahan total dalam rezim sampai ke semua bagian, mulai dari pergantian birokrasi sampai kepada perubahan bentuk rezim diktator menjadi lebih demokratis (pergantian penguasa dalam rezim), 3) baik oposisi maupun pemerintah sama-sama mempertahankan pendiriannya masing-masing, 4) ketidakpuasan di kalangan oposisi membuat kelompok-kelompok extremis dalam oposisi memobilisasi massa untuk menyerang rezim diktator seperti yang terjadi di Mesir (Gregorius Sahdan, 2004 : 44-62).

Proses pendirian demokrasi adalah sebuah proses menginstitusionalkan ketidakpastian, menempatkan semua kepentingan pada ketidakpastian. Dalam rezim diktator, sejumlah kelompok, terutama angkatan bersenjata, memiliki kapasitas untuk mengintervensi hasil konflik apapun yang bertolak belakang

commit to user

dengan program kepentingan pemerintah diktator. Situasi tersebut dapat dilihat sebagai ketidakpastian dari sudut pandang sejumlah kelompok, kelompok yang tersisih dari blok kekuasaan dan yang terpaksa memandang intervensi angkatan bersenjata sebagai yang tidak dapat ditolak. Sejumlah kelompok memiliki kontrol tinggi atas situasi dalam arti suatu kelompok tidak dipaksa untuk menerima hasil- hasil yang diinginkan. Dalam demokrasi, tidak ada satupun kelompok yang mampu untuk mengintervensi ketika hasil-hasil konflik mengancam kepentingan pribadi setiap kelompok. Demokrasi berarti bahwa semua kelompok harus menundukkan kepentingan pada ketidakpastian. Aksi pengasingan kontrol atas hasil konflik ini yang merupakan langkah menentukan kearah demokrasi (Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter & Laurence Whitehead, 1993 : 8- 10).

Dengan beberapa dasar pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak kebal terhadap gelombang sejarah. Ada yang runtuh karena kegagalan politik, menyerah pada perpecahan dari dalam atau dihancurkan oleh invasi asing. Tetapi negara-negara demokratis juga telah memperlihatkan daya tahan luar biasa sepanjang waktu, dan telah menunjukkan bahwa dengan komitmen dan kesadaran pengabdian warga negaranya dapat mengatasi kesulitan ekonomi yang parah, merujukkan perpecahan sosial etnik, dan jika perlu tegar dalam zaman perang.

Kawasan Timur Tengah telah lama menjadi tempat pergolakan pemikiran dan ideologi, terutama dalam menghubungkan antara Islam dan ideologi Barat. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah ideologi Islam kiri yang dipengaruhi oleh pengaruh Marxisme. Sebagai sebuah teori dan ideoligi, sosialisme Islam baru muncul di Timur Tengah pada tahun 1960-an, terutama di Mesir. Kelahiran sosialisme Islam berawal dari pecahnya persatuan Mesir dengan Suriah (Republik Persatuan Arab) pada tahun 1961. Pada waktu itu presiden Mesir Gamal Abdel Nasser mengubah titik berat kebijaksanaannya dari cita-cita persatuan Arab menuju masalah-masalah dalam negeri. Nasser menunjuk sosialisme sebagai cara yang paling efektif untuk mengubah Mesir menjadi Negara industri modern yang menjamin keadilan dan persamaan bagi semua warganya. Nasser menjadikan

commit to user

sosialisme Islam sebagai ideologi resmi Negara Mesir. Mesir mengklaim bahwa sosialisme bertujuan menghapus perbedaan kelas, membebaskan kaum tertindas, serta mengamankan hak-hak mereka (Esposito, dan John O., 1999 : 45).

Di Afrika dan Timur Tengah gerakan menuju demokrasi pada dasawarsa 1980 terbatas. Nigeria bergeser kembali dari pemerintahan militer ke pemerintahan yang dipilih secara demokratis pada tahun 1979, tetapi pemerintahan ini kemudian digulingkan oleh sebuah kudeta militer pada awal tahun 1984. Menjelang tahun 1990 sejumlah liberalisasi telah terjadi di Senegal, Tunisia, Aljazair, Mesir dan Yordania. Pada tahun 1978 pemerintah Afrika Selatan memulai suatu proses yang lambat untuk mengurangi apartheid dan memperluas partisipasi politik bagi minoritas bukan kulit putih, tetapi tidak bagi mayoritas kulit hitam yang sangat besar jumlahnya di negeri itu. Pada tingkatan yang paling sederhana, demokrasi mensyaratkan beberapa hal, antara lain berakhirnya sebuah rezim otoriter, dibangunnya sebuah rezim demokrasi, dan pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Sebuah gelombang demokratisasi adalah sekelompok transisi dari rezim-rezim nondemokratis ke rezim-rezim demokratis, yang terjadi di dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah sebaliknya (Samuel P. Huntington, 1995 : 13-59).

Dalam dasawarsa 1970 banyak rezim otoriter juga menghadapi masalah legitimasi karena pengalaman masa lalu negeri tersebut dengan demokrasi. Sedikit banyak, tubuh politik dalam masyarakat telah terpengaruh demokrasi, sehingga meskipun rezim demokrasi sebelumnya mengalami kegagalan besar, anggapan bahwa pemerintah yang benar-benar absah harus berdasarkan pada praktek- praktek demokrasi tetap bertahan. Dengan demikian para penguasa otoriter terpaksa harus membenarkan rezim diktator dengan menggunakan retorika demokrasi dan mengklaim bahwa rezim diktator benar-benar demokratis atau akan menjadi demokratis pada masa yang akan datang begitu pemerintah berhasil menanggulangi masalah-masalah mendesak yang dihadapi oleh masyarakat.

Revolusi dalam penggulingan rezim sering terjadi di wilayah Arab pada abad ini, misalnya revolusi Tunisia (Ben Ali), Mesir (Hosni Mubarak), dan Libya

commit to user

(Muammar Khadafy). Para penguasa yang digulingkan ini lalai bahwa awalnya para diktator berangkat dari situasi rakyat biasa, kemudian bergabung dengan gerakan yang memanfaatkan rakyat miskin, dan kemudian menjadi pimpinan puncak perubahan (kudeta politik) sampai para diktator berkuasa. Seorang filsuf politik yaitu Lord Acton dalam Soyomukti dan Iqbal (2011) mengatakan, “Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan mutlak akan korup secara mutlak (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely)”.

Berdasarkan pendapat para pakar politik di atas, dapat dikatakan bahwa pada saat diktator berkuasa, kemudian melupakan cita-cita awal untuk merebut kekuasaan untuk menjadikan negara lebih baik untuk memperjuangkan nasib rakyat. Secara umum, negara-negara Arab tersebut memang masih memiliki sistem dan budaya politik yang jauh dari nilai-nilai demokrasi, bahkan sebagian besar masih mempertahankan corak politik tradisional dan feudal (kerajaan) dengan kekuasaan mutlak di tangan penguasa. Sebagian besar memang ada yang memiliki simbol-simbol dan instrument demokrasi yang secara konseptual digunakan untuk membagi kekuasaan agar tidak terpusat. Tetapi yang berjalan dalam kenyataan adalah praktik-praktik politik yang amat jauh dari nilai-nilai demokrasi dan keadilan. Dari banyak Negara di Arab, hanya Libanon, Irak, dan Palestina yang cukup memberikan kebebasan pada rakyat untuk menentukan aspirasinya. Sebagian besar Negara di Arab yang telah berbentuk republik dan memperkenalkan sistem multipartai misalnya Tunisia, Aljazair, Sudan dan Mesir. Tetapi sitem yang berjalan belum dapat memenuhi kehendak rakyat dalam maknanya yang sejati, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara ekonomi, sosial dan kebudayaan. Masih banyak terjadi kemiskinan, penindasan, korupsi dan kesewenang-wenangan oleh rezim penguasa (Nuraini Soyomukti, Muhammad Iqbal, 2011 : 29-31).

Revolusi yang terjadi di Mesir bukanlah revolusi yang pertama kalinya. Tercatat beberapa kali terjadi revolusi sejak era kerajaan. Pada jaman pemerintahan raja Taufiq pada tahun 1882 terjadi revolusi dengan pemberontakan. Ketidakpuasan dan campur tangan asing yaitu Inggris yang mengakibatkan munculnya golongan Nasional yang melakukan revolusi dan dipimpin oleh

commit to user

Ahmad Arabi, seorang kolonel dalam pasukan Mesir, walaupun pada akhirnya Arabi dan kelompoknya dapat dikalahkan oleh tentara Inggris. Setelah Perang Dunia I pada November 1918, di Mesir muncul seorang tokoh pemimpin yang dianggap berjuang dan menuntut kemerdekaan dari Inggris yaitu Sa’ad Zaghlul. Penyebab terjadinya revolusi pada saat itu adalah penangkapan dan pengasingan Sa’ad Zaghlul oleh Inggris. Revolusi terjadi pada 9 Maret 1919 di Cairo dan seluruh wilayah Mesir yang membuat Inggris merubah kebijakan politiknya dan membebaskan Sa’ad Zaghlul, kemudian Sa’ad Zahgul dipilih sebagai perdana menteri pada tahun 1924 (David Akhmad Ricardo, 2011).

Penjajahan Inggris dan campur tangan asing serta perang yang terjadi di Palestina tahun 1948, sistem kerajaan yang menindas rakyat dan tidak adanya demokrasi yang mengakibatkan merosotnya ekonomi serta rusaknya kehidupan sosial, seluruh factor tersebut membuat rakyat Mesir melakukan revolusi. Revolusi dilakukan dengan menguasai pusat-pusat pemerintahan dan sarana- sarana vital serta mengepung istana Abdeen yang pada saat itu Mesir di bawah kekuasaan raja Farouk sejak 1936. Raja dipaksa untuk menyerahkan jabatannya kepada anaknya, Fouad II, namun karena Fouad belum cukup dewasa, maka kekuasaan dipegang junta (dewan pemerintahan) yang dibentuk oleh Dubbath Al- Ahrar, kelompok revolusioner yang dipimpin Gamal Abdel Nasser. Dewan pemerintahan melihat bahwa sistem kerajaan sudah tidak cocok dengan kehidupan rakyat Mesir. Akhirnya dewan pemerintahan mengumumkan berdirinya sistem negara republik pada 18 Juni 1953, dan Jenderal Muhammad Naguib terpilih sebagai presiden pertama sampai 1954.

Pemerintahan Naguib berakhir pada tahun 1954 oleh gerakan yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser dan Nasser menjadi presiden selanjutnya. Gamal Abdel Nasser meninggal akibat penyakit jantung pada tanggal 28 September 1970. Nasser digantikan oleh wakilnya yaitu Anwar Sadat, sebagai presiden Mesir. Pemerintahan Sadat mendapatkan tekanan dan tindakan represif dari dalam negeri khususnya dari kelompok fundamentalis Islam dan pelajar Mesir karena tindakannya yaitu melakukan perjanjian Camp David yang dianggap melakukan hubungan baik dengan Amerika Serikat dan menguntungkan Israel.

commit to user

Pada tanggal 6 Oktober 1981, Anwar Sadat terbunuh oleh kelompok radikal dalam parade militer pada ulang tahun ke-8 perang Yom Kippur. Setelah itu Mesir dipimpin oleh Hosni Mubarak.

Perekonomian Mesir di bawah kepemimpinan Mubarak, secara makro mengalami pertumbuhan yang cukup baik. Mubarak berjuang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi untuk menekan tingkat pengangguran. Ekonomi Mesir secara makro memang relatif masih aman, namun tidak sejalan dengan distribusi kemakmuran. Ketimpangan sosial sangat terlihat di kalangan rakyat kelas bawah. Di bawah kebijakan ekonomi Mubarak yang liberal, bisnis di Mesir mengalami pertumbuhan pesat dalam beberapa tahun terakhir, namun hampir setengah dari total populasi Mesir, yang berjumlah 80 juta jiwa, hidup di dalam garis kemiskinan menurut standar PBB US$2 per hari. Dalam dua tahun terakhir, tingkat kemiskinan di Mesir naik dari 20 persen menjadi 23,4 persen (Diunduh dari situs www.bbc.com, pada tanggal 23 Maret 2012).

Mubarak berjanji akan menciptakan lapangan kerja, sekaligus menekan tingkat pengangguran, namun Mubarak tidak menepati janjinya. Kelompok oposisi Mesir juga menyalahkan rezim Mubarak yang tidak serius memberantas korupsi. Lembaga Global Coalition Against Corruption mencatat Mesir di peringkat 105 dalam daftar negara bersih pada 2006, sejajar dengan dua negara miskin Afrika, Burkina Faso dan Djibouti. Krisis ini bukan semata-mata karena rezim yang represif, namun juga gabungan dari masalah lain, seperti masalah ekonomi dan ketimpangan sosial di kalangan banyak warga (David Akmad Ricardo, 2011 : 128).

Faktor dari dalam negeri yang mendorong terjadinya revolusi di Mesir antara lain pemerintahan diktator Hosni Mubarak, meluasnya kemiskinan, tingginya pengangguran, dan inflasi harga pangan serta penangkapan kelompok oposisi paling besar, Ikwanul Muslimin menjadi faktor utama. Kelompok Ikhwanul Muslimin ditangkap setelah melakukan pemboikotan terhadap proses pemilu karena kecurangan yang dilakukan Mubarak. Ikhwanul Muslimin adalah partai terkuat sebagai lawan politik partai NDP, partai yang diusung Mubarak. Revolusi di Mesir juga terpengaruh faktor dari luar negeri, yaitu krisis politik

commit to user

yang terjadi di Tunisia yang lebih dahulu terjadi revolusi, sehingga memicu rakyat Mesir untuk melakukan revolusi (Soyomukti, dan Iqbal, 2011).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara mendalam tentang pemerintahan di Mesir pada masa kekuasaan Hosni Mubarak dan factor terjadinya revolusi serta jalannya revolusi Mesir dengan judul “Runtuhnya Rezim Hosni Mubarak tahun 2011 (Antara

Diktatorisme dan Demokrasi di Mesir)”.

B. Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan jelas bahasan pokoknya, maka penulis merumuskan pokok permasalahan seperti akan tampak di bawah ini:

1. Bagaimanakah pemerintahan di Mesir pada masa Hosni Mubarak?

2. Apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya revolusi di Mesir?

3. Bagaimanakah jalannya revolusi di Mesir?

C. Tujuan Penelitian

Dengan perumusan masalah diatas maka dapat diperoleh suatu tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui jalannya pemerintahan di Mesir pada masa Hosni Mubarak.

2. Mengetahui apa saja yang menjadi faktor penyebab terjadinya revolusi di Mesir.

3. Mengetahui jalannya revolusi di Mesir.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Mendapatkan data yang sahih mengenai analisis pemerintahan di Mesir masa Hosni Mubarak.

b. Dapat menambah wawasan pembaca khususnya mahasiswa mengenai faktor revolusi dan jalannya revolusi di Mesir.

commit to user

2. Manfaat Praktis

a. Menambah perbendaharaan referensi di Perpustakaan Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Merupakan sumber referensi bagi mahasiswa Program Sejarah FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang akan meneliti lebih lanjut mengenai pemerintahan di Mesir masa Hosni Mubarak.

c. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana kependidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan PIPS Program Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

commit to user

10

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kekuasaan

a. Pengertian Harold D. Laswell (1984 : 9) berpendapat bahwa kekuasaan secara umum berarti ‘’kemampuan pelaku untuk memengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan’’. Sejalan dengan itu, dinyatakan Robert A. Dahl (1978 : 29) bahwa ‘’kekuasaan merujuk pada adanya kemampuan untuk memengaruhi dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu pihak kepada pihak lain’’.

“Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memengaruhi pikiran atau tingkah laku orang atau kelompok orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi itu mau melakukan sesuatu yang sebetulnya orang itu enggan melakukannya. Bagian penting dari pengertian kekuasaan adalah syarat adanya keterpaksaan, yakni keterpaksaan pihak yang dipengaruhi untuk mengikuti pemikiran ataupun tingkah laku pihak yang memengaruhi “(Mochtar Mas’oed dan Nasikun, 1987 : 22). “Kekuasaan merupakan suatu kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk memengaruhi perilaku pihak lain, sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memengaruhi. Dalam pengertian yang lebih sempit, kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan, sehingga keputusan itu menguntungkan dirinya, kelompoknya dan masyarakat pada umumnya” (Ramlan Surbakti, 1992 : 58)

‘’Kekuasaan merupakan penggunaan sejumlah besar sumber daya (aset, kemampuan) untuk mendapat kepatuhan dan tingkah laku menyesuaikan dari orang lain’’ (Charles F. Andrain, 1992 : 130). Kekuasaan pada dasarnya dianggap sebagai suatu hubungan, karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas

commit to user

sejumlah orang lain. Pemegang kekuasaan bisa jadi seseorang individu atau sekelompok orang, demikian juga obyek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu.

Menurut Walter S. Jones (1993 : 3) kekuasaan dapat didefinisikan sebagai berikut :

1) Kekuasaan adalah alat aktor-aktor internasional untuk berhubungan satu dengan lainnya. Itu berarti kepemilikan, atau lebih tepat koleksi kepemilikan untuk menciptakan suatu kepemimpinan; 2) Kekuasaan bukanlah atribut politik alamiah melainkan produk sumber daya material (berwujud) dan tingkah laku (yang tidak berwujud) yang masing-masing menduduki posisi khusus dalam keseluruhan kekuasaan seluruh aktor; 3) Kekuasaan adalah salah satu sarana untuk menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing; dan 4) Penggunaan kekuasaan secara rasional merupakan upaya untuk membentuk hasil dari peristiwa internasional untuk dapat mempertahankan atau menyempurnakan kepuasan aktor dalam lingkungan politik internasional.

Menurut Benedict Anderson (1972 : 48) kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep pemikiran barat dan konsep pemikiran Jawa. Menurutnya kekuasaan dalam konsep pemikiran Barat adalah abstrak, bersifat homogen, tidak ada batasnya, dan dapat dipersoalkan keabsahannya. Sedangkan kekuasaan menurut konsep Jawa adalah konkrit, bersifat homogen, jumlahnya terbatas atau tetap dan tidak mempersoalkan keabsahan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kekuasaan sangat penting kedudukannya dalam masyarakat, dengan kekuasaan suatu kelompok dapat melakukan apa saja yang diinginkan dan dapat memengaruhi perbuatan-perbuatan kelompok lain agar taat dan patuh terhadap pemegang kekuasaan.

b. Cara memperoleh kekuasaan Menurut Haryanto (2005 : 22) kekuasaan dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu : 1)

Dari kedudukan. Kedudukan dapat memberikan kekuasaan kepada seseorang atau sekelompok orang karena yang bersangkutan menduduki posisi tadi. Semakin tinggi kedudukan maka akan semakin besar pula kekuasaan yang berada pada genggaman orang yang menduduki posisi tersebut. 2) Dari kepercayaan. Seseorang atau sekelompok orang dapat memiliki kekuasaan karena yang bersangkutan memang dipercaya untuk memilikinya atas dasar kepercayaan

commit to user

yang dianut masyarakat. Kekuasaan yang bersumber dari kepercayaan hanya muncul di masyarakat di mana anggota-anggotanya mempunyai kepercayaan yang dimiliki pemegang kekuasaan.

“Kekuasaan bisa diperoleh dari kekerasan fisik (misalnya, seorang Polisi dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat); pada kedudukan (misalnya, seorang komandan terhadap bawahannya, seorang atasan dapat memecat pegawainya); pada kekayaan (misalnya seorang pengusaha kaya dapat memengaruhi seorang politikus melalui kekayaannya); atau pada kepercayaan (misalnya, seorang pendeta terhadap umatnya)” (Miriam Budiardjo, 1982 : 36).

c. Cara mempertahankan kekuasaan Kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang atau suatu negara terhadap pihak lain, dapat membuat penguasa tersebut berupaya untuk mencapai apa yang menjadi keinginan dan tujuannya. Cara untuk mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan cara damai, antara lain dengan demokrasi dan mencari dukungan pihak lain, atau dengan kekerasan, antara lain dengan penindasan dan memerangi pihak yang menentang kekuasaannya.

“Dalam masyarakat yang tidak demokratis atau masyarakat yang dipimpin oleh seorang yang diktator, penguasa mempertahankan kekuasaannya dengan paksaan. Di dalam masyarakat yang tidak demokratis, ada kecenderungan penguasa untuk masuk terlalu jauh dalam mengatur kehidupan dan kepercayaan serta pribadi warganya sesuai dengan keinginan penguasa. Dengan paksaan, warga ditujukan untuk patuh pada penguasa” (Haryanto, 2005 : 57).

“Diantara banyak bentuk kekuasaan, kekuasaan politik merupakan hal yang paling penting untuk dipertahankan, karena dengan kekuasaan politik, penguasa dapat memengaruhi kebijakan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan. Kekuasaan politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk mendapat ketaatan warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan

commit to user

untuk memengaruhi tindakan dan aktivitas penguasa di bidang administratif, legislatif dan yudikatif “(Miriam Budiardjo, 1982 : 37).

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan, meskipun dalam mempertahankan kekuasaan ada berbagai macam cara, namun terdapat beberapa persamaan yaitu pihak satu ingin selalu memerintah pihak lain, ingin lebih tinggi dari pihak lain dan menginginkan ketaatan pihak lain.

d. Otoritas penguasa “Penguasa adalah aktor yang memiliki, menguasai aktor lain dan memiliki sumber daya yang berwujud maupun tidak berwujud beserta asetnya untuk memengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi agar sesuai kehendaknya” (Walter S. Jones, 1993 : 3) .‘’Penguasa adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan dan proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain untuk tujuan-tujuan yang ditetapkannya’’ (Ossip K. Flechtheim dalam Miriam Budiarjo, 1982 : 35).

Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa otoritas penguasa adalah hak, kekuasaan dan wewenang yang sah diberikan padanya untuk membuat peraturan yang harus ditaati atau diikuti pihak lain atau kekuasaan dan wewenang yang sah untuk membuat orang atau pihak lain bertindak sesuai dengan yang diinginkan penguasa.

e. Hancurnya Kekuasaan Dalam pemikiran Ibnu Khaldun yang dikutip A. Rahman Zainuddin (1992 : 233) ada beberapa tahapan proses jatuhnya kekuasaan, yaitu :

1) Kekuasaan yang sentralistik, yaitu pemusatan kekuasaan dan kemegahan berada pada seorang atau sekelompok penguasa, 2) Kekuasaan yang mempunyai tata cara dan kebiasaan hidup dalam kemegahan, 3) Kekuasaan yang memiliki pertahanan lemah, tidak mempunyai kekuatan legitimasi. Sehingga tinggal menantikan kehancurannya.

Ibnu Khaldun menambahkan ciri sebuah kekuasaan yang mendekati kehancuran yaitu krisis ekonomi dan krisis moral. “Hancurnya kekuasaan tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dalam kekuasaan itu sendiri, akan tetapi bisa dari faktor eksternal, antara lain karena peperangan yang melibatkan dua

commit to user

negara atau lebih, konflik dan perang saudara, kudeta (penggulingan kekuasaan) baik oleh militer maupun sipil dan aksi-aksi demonstrasi yang memungkinkan pergantian kekuasaan” (Mukhammad Najib, 2001 : 318).

2. Diktatorisme

Diktator berasal dari bahasa latin Dictare, yang menyatakan sebagai perintah, seorang pemegang kekuasaan mutlak dalam menjalankan pemerintahan Negara (Ensiklopedia Indonesia, 1989 : 822). Menurut Franz L. Neuman dalam Jurnal Ilmu Politik (1993 : 39) diktator adalah “pemerintahan oleh seseorang atau kelompok orang yang menyombongkan diri dan memonopoli kekuasaan dalam negara dan melaksanakan kekuasaan tersebut tanpa dibatasi”. Pengertian diktator juga dikemukakan oleh Jules Archer (1985 : 19), diktator adalah seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak tanpa memperhatikan keinginan-keinginan nyata dari rakyatnya. Pengertian dari diktator itu sendiri ada dua macam, yaitu : 1)

Dikatator proletar, di mana antara masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis terdapat suatu masa peralihan dalam suatu transformasi secara revolusioner dan masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis, 2) Diktator militer, yaitu seorang atau segolongan perwira yang menentang tanpa memberi pertanggungjawaban kepada rakyat, sehingga caranya naik ke pemerintahan dengan mengadakan kudeta (Miriam Budiardjo, 1989 : 98).

Jules Archer (1985 : 21) mengatakan bahwa sistem kediktatoran dibedakan menjadi 2 tipe yaitu, “tipe diktator militer, yaitu mendapatkan kekuasaanya melalaui kekuatan militer, dan tipe diktator politik, yaitu mendapatkan kekuasaannya melalui pemilihan umum”.

Ciri-ciri negara Diktator menurut Carl J. Frederick dan Z. Bigriewle Brezinksky dalam Jurnal Ilmu Politik (1993 : 40), adalah sebagai berikut :

1) Suatu ideologi yang menyeluruh yang terdiri dari ajaran-ajaran (doktrin) badan resmi yang meliputi seluruh aspek vital dan pada kehidupan manusia dalam masyarakat yang harus dilakukan dan ditaati oleh setiap anggota masyarakat. Ideologi ini ditujukan untuk membentuk manusia baru paripurna yang berlainan dengan manusia yang sekarang ada dalam masyarakat, 2) Satu partai massa yang

commit to user

dipimpin oleh seorang manusia diktator dengan anggota terdiri dari prosentase yang relatif kecil dari jumlah penduduknya, yang terdiri dari laki-laki dan wanita di mana mengabdikan dirinya secara menyeluruh terhadap ideologi dan bersedia melakukan setiap cara agar supaya diterima oleh umum atau partai tersebut diorganisir lebih tinggi atau sepenuhnya beserta birokrasi pemerintah, 3) Suatu sistem teror baik psikis maupun phisik yang dilaksanakan melalui partai dan pengawasan polisi khusus yang ditujukan terhadap musuh-musuh rezim yang demonstratif

dan

juga terhadap

golongan penduduk yang tidak

menyetujuinya.Teror itu baik yang dilakukan oleh polisi rahasia maupun oleh partai yang ditujukan untuk menindas masyarakat secara sitematis dengan menggunakan ilmu modern.

Abu Daud Busroh (1987 : 67) menyebutkan ciri-ciri negara diktator adalah sebagai berikut : 1) adanya peradilan khusus untuk mengadili orang yang melawan rezim yang berkausa, 2) tidak ada kebebasan berserikat dan berkumpul,

3) tidak ada Pemilihan umum. “Dalam sistem kediktatoran kegiatan warga negara adalah terikat oleh penguasa atas negara, sehingga kebebasan yang melekat pada dirinya adalah memuji sang penguasa” (Soehino, 1980 : 35). Sebagaimana diungkapkan adalah suatu pemerintahan di mana dalam menjalankan kekuasaanya akan selalu berpedoman pada prinsip-prinsip kediktatoran.

Gregorius Sahdan (2004 : 16) menyatakan bahwa karakteristik dari sistem diktator adalah: Tidak ada pertanggungjawaban kekusaan dan rakyat tidak memiliki wewenang

untuk membatasi kekuasaan penguasa. Dalam pemerintahan diktator, kedaulatan merupakan milik penguasa dan digunakan untuk kepentingan kekuasaan penguasa. Dukungan publik diperoleh melalui propaganda dan sistem pendidikan terkontrol secara absolut. Hanya ada satu partai dan memiliki ciri khusus antara lain : a) Mengesampingkan oposisi, b) memerintah dengan kejam, c) memasukkan pembangkang ke dalam penjara dan kamp konsentrasi, d) membentuk polisi rahasia, e) melakukan indoktrinasi atas masyarakat, f) mengawasi masyarakat secara ketat.

Diktatorsime merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dikepalai oleh seorang atau sekelompok kecil orang yang mempunyai kekuasaan mutlak (absolute) dan bahkan tidak dibatasi sedikitpun oleh konstitusi. Beberapa alasan mengenai munculnya pemerintahan diktator antara lain :

commit to user

a. Sejumlah penguasa percaya dan yakin bahwa diktator merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan atau memperkokoh kekuasaan demi terpeliharanya stabilitas nasional.

b. Pemerintahan diktator diciptakan untuk menggantikan pemerintahan yang dinilai tidak mampu menyelamatkan Negara dari keadaan darurat ataupun dari ancaman keamanan.

c. Kediktatoran muncul dari tokoh ambisius yang merasa mampu membangun kejayaan dan kebesaran bangsa dan negara. Kekuasaan ini biasanya didapat melalui ssuatu perebutan kekuasaan (kudeta) pada saat Negara dalam keadaan genting.

d. Pemerintahan diktator juga dapat lahir untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah mengelola negara mengatasi korupsi, gejolak social, kesulitan keuangan, atau karena memudarnya kepercayaan rakyat terhadap keabsahan kewenangan dan lembaga tradisional.

e. Beberapa pemerintahan diktator menyatakan diri atas kehendak mulia.

f. Pemerintahan diktator sering juga muncul sebagai kesimpangsiuran keadaan negara, dari kekacauan yang disebabkan oleh perang atau krisis militer yang tidak dapat diatasi oleh kekuatan militer yang ada, atau dari kemenangan, dalam suatu peperangan.

g. Kediktatoran juga dapat dirancang untuk mengawali usaha perubahan dan modernisasi besar-besaran.

h. Pemerintahan diktator dapat juga diciptakan untuk menghadapi kelompok pembaharu, kaum revolusioner atau kelompok pembangkang. (Ensiklopedia, 2004 : 353).

Dalam Encyclophedia of Social Sciences (1968 : 161) kediktatoran

mengacu pada dominasi negara yang terbatas oleh individu, kelompok, atau kelompok kecil. Contoh diktatorial ditemukan di semua zaman dan semua peradaban. "Diktatur" menandakan tidak hanya prinsip yang mengatur sistem politik tetapi juga ideologi yang mendasari cara hidup dan ekspresi normatif perilaku politik. Beberapa ekspresi telah digunakan untuk mengkarakterisasi fenomena historis diktatorial: tirani, despotisme, otokrasi, Caesarisme,

commit to user

Fiihrerstaat, otoritarianisme dan totalitarianism. Terlepas dari kediktatoran konstitusional menetapkan untuk menangani keadaan darurat pemerintah, semua bentuk kediktatoran dari berbagi segi berikut:

a. Eksklusivitas dan kesewenang-wenangan dalam menjalankan kekuasaan. Kediktatoran dicirikan oleh tidak adanya pembagian kekuasaan, penindasan bersaing, kelompok-kelompok politik dan sosial yang sah dan lembaga, konsentrasi kekuasaan politik di tangan seorang diktator atau seorang group otokratis yang mengatur para pemimpin (elit), dan pemanfaatan suatu alat otokratis dibimbing dan manipulasi penguasa untuk mengembangkan monopoli kekuasaan.

b. Penghapusan atau melonggarkan obligasi yuridis kekuasaan politik. Negara konstitusional dihilangkan, atau revolusioner baru atau kontra hukum dibuat, hanya sebagai instrumen kekuasaan. Terkait dengan segi ini adalah kesulitan atau ketidakmungkinan untuk mengatur suksesi diktator secara sah.

c. Penghapusan atau pembatasan substansial kebebasan sipil. Alih-alih kerjasama sukarela sosial dan politik kelompok-kelompok otonom dan asosiasi dalam pendirian persemakmuran, penekanan ditempatkan pada kewajiban warga untuk melakukan kerja wajib atau jasa kolektif.

d. Bentuk, terutama agresif impulsif pengambilan keputusan. Domestik dan asing untuk kebijakan diikuti oleh diktator dan atau elit politik terkemuka biasanya dibuat secara impulsif dan terinspirasi oleh aktivisme politik yang dinamis, sering didasarkan pada sebuah Messianism ideologis dan bertujuan untuk merubah atau mendisiplinkan masyarakat.

e. Pekerjaan metode politis yang lalim dan kontrol sosial. Metode tersebut berkisar dari intimidasi untuk propaganda, dari pengenaan kewajiban ketaatan kepada metode teror.

Nicolo Machiavelli dalam Ensiclopedia of Social Sciences (1968 : 161) adalah yang pertama kali membedakan antara kediktatoran sebagai lembaga konstitusional republik dan sebagai bentuk pemerintahan despotik, yang direkomendasikan untuk diperbaiki penguasa sebagai sarana untuk memulihkan politik. Monarki absolut umumnya tidak dianggap sebagai diktator, karena

commit to user

pelaksanaan kekuasaan mengenakan legitimasi tradisional. Namun setiap kali berdaulat mutlak sebenarnya aturan politik, melanggar standar adat otoritas monarki, pemerintahannya harus disebut dictator.

3. Demokrasi

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk di suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan.jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat.

Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, pertisipasi alam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Kemudian muncul idiom-idiom demokrasi seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia) (Nuraini Soyomukti, Muhammad Iqbal, 2011 : 77)

Menurut Nurcholis Madjid (2002 : 8) “demokrasi bukanlah kata benda, tetapi lebih merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai proses dinamis. Karena itu demokrasi harus diupayakan. Demokrasi berarti sebuah proses melaksanakan nilai-nilai keadaban (civility) dalam bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah proses menuju dan menjaga civil society yang menghormati dan berupaya merealisasikan nilai-nilai demokrasi”.

Howard Cincotta (1965 : 5) juga berpendapat mengenai demokrasi yang menyatakan bahwa : Semua demokrasi adalah sistem ketika warga negara bebas mengambil keputusan

melalui kekuasaan mayoritas, tetapi kekuasaan oleh mayoritas tidak selalu demokratis: tak seorangpun, misalnya akan menyebut suatu sistem adalah adil atau jujur yang mengijinkan 51 persen penduduknya menindas sisanya yang 49 persen atas nama mayoritas Pemerintah demokratis tidak mengawasi, mendikte atau menilai isi tulisan atau ucapan orang. Demokrasi bergantung pada orang- orang yang berpendidikan dan berpengetahuan. Akses warga negara pada informasi seluas-luasnya memungkinkan untuk berperan penuh pada kehidupan

commit to user