PENDEKATAN MAZHAB HUKUM NON POSITIVISTIK

PENDEKATAN MAZHAB HUKUM NON POSITIVISTIK
DALAM BIDANG HUKUM SUMBERDAYA ALAM
Pengalaman di Sumbar, Kalbar, Sulteng, Maluku dan Papua
Oleh: Hedar Laudjeng dan Rikardo Simarmata 1

Mendudukan Posisi Istilah “Mazhab Hukum’
Sebelum memasuki pembahasan substansi pemikiran mazhab hukum yang positivistik
dan non positivistik serta penerapannya terhadap hukum sumberdaya alam, ada baiknya
terlebih dahulu dilakukan semacam pendudukan posisi dan pengklarifikasian istilah
mazhab hukum dalam khasanah disiplin hukum 2. Ini dipandang perlu karena di kalangan
teoritisi hukum sendiri masih terdapat perbedaan dalam memahami dan menggunakan
istilah tersebut.
Untuk memulai penemuan posisi dan klarifikasi tersebut, ada baiknya didahului dengan
pemastian posisi ilmu hukum di dalam klasifikasi ilmu. Sebagai sebuah ilmu, ilmu
hukum tergolong ke dalam kelompok ilmu praktis yang normologis. Kelompok ini sering
juga disebut dengan nama ilmu normatif. Ilmu lain yang masuk ke dalam kelompok ini
diantaranya Etika, Teologi, Ilmu Teknis, Ilmu Kedokteran, Ilmu Manajemen dan Ilmu
Komunikasi. Sebagai warga ilmu praktis, ilmu hukum berfungsi untuk mengubah
keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah konkrit. Dalam memerankan
fungsi tersebut, ia harus terbuka untuk dipengaruhi oleh komunitas di luar ilmu dan nilainilai manusiawi. Ia harus bersedia menjadi medan tempat bertemu dan berinteraksinya
berbagai ilmu untuk melahirkan konvergensi.

Namun, dibandingkan dengan ilmu lain dalam kelompok ilmu praktis, ilmu hukum
memiliki kekhususan yakni, selain karena memiliki sejarah yang panjang sebagai sebuah
ilmu, tetapi juga karena sifatnya yang berdampak langsung pada kehidupan manusia dan
obyek telaahnya. Obyek telaah ilmu hukum berkenaan dengan tuntutan berprilaku
tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh kehendak bebas
melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik.
Dengan kedudukan seperti itu obyek studi hukum tidak terelakkan dari kemungkinan
menjadi ‘rebutan’ berbagai disiplin ilmiah yang menjadikan hukum sebagai pokok
kajiannya. Situasi ini lah yang kemudian mendorong D.H.M. Meuwissen untuk
melakukan sistematisasi terhadap semua disiplin ilmiah yang berobyekan hukum. 3
Hasilnya adalah dua kelompok besar, yakni Ilmu Hukum Praktis dan Ilmu Hukum
1

Hedar Laudjeng adalah Direktur Yayasan Bantuan Hukum (YBH) ‘Bantaya’, Palu dan Rikardo
Simarmata adalah staff pada Program Hukum dan Masyarakat, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM).
2
Istilah ‘ilmu hukum’ sendiri memiliki makna ganda, yaitu Ilmu Hukum dan arti sempit dan Ilmu Hukum
dalam arti luas. Ilmu Hukum dalam arti sempit adalah dogmatika hukum (rechtsdogmatiek, legal
dogmatics). Sedangkan dalam arti luas ia bermakna sebagai setiap ilmu yang obyek telaahnya hukum. Ilmu

hukum dalam arti luas sering juga diistilahkan dengan Disiplin Hukum. Dalam hal ini ilmu hukum yang
dimaksud adalah ilmu hukum dalam pengertian luas.

1

Teoritis. Kelompok Ilmu Hukum Praktis menekuni kegiatan manusia dalam rangka
mewujudkan hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari secara konkrit melalui
pembentukan hukum, penemuan hukum dan bantuan hukum. Sedangkan kelompok
ilmu hukum teoritis menekuni refleksi teoritis terhadap hukum. Selanjutnya, berdasarkan
tataran analisis dan abstraksi, Meuwissen mengelompokkan disiplin hukum tersebut ke
dalam tiga pembagian besar, yakni: 1) kelompok disiplin hukum yang tingkat
abstraksinya paling rendah. Di kelompok ini terdapat Dogmatika Hukum, Sejarah
Hukum, Perbandingan Hukum, Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum. 2) kelompok
disiplin hukum yang lebih abstrak. Satu-satunya disiplin hukum dalam kelompok ini
adalah Teori Hukum. 3) kelompok disiplin hukum yang tataran abstraksinya paling
tinggi. Satu-satunya penghuni kelompok ini adalah Filsafat Hukum. Jadi
pengelompokkan tersebut membedakan antara dogmatika hukum (ilmu hukum dalam
arti sempit), teori hukum dan filsafat hukum.
Kendati sudah ada beberapa usaha untuk mengelompokkan atau mensistematisasi disiplin
ilmu tersebut, namun masih saja berlangsung kekacauan dalam menempatkan posisi

pembeda antara ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Ini dibuktikan dengan
praktek tumpang tindih dan replikasi defenisi dan pemakaian obyek kajian yang
dilakukan oleh ketiga kelompok disiplin hukum tersebut. Antara ilmu hukum (dalam arti
luas) dengan teori hukum misalnya. Ada pemikir yang berkesimpulan bahwa keduanya
bersifat sinonim tetapi ada juga yang melihat hubungan keduanya lebih bersifat
komplementer. Pemikir lain bahkan menyatakan bahwa ilmu hukum dan filsafat hukum
adalah nama-nama untuk untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama. 4
Cara menganut yang dilakukan oleh sejumlah pemikir hukum tersebut, pada akhirnya
mengaburkan batasan obyek antara kajian ilmu hukum, teori hukum dengan filsafat
hukum.5 Barangkali itulah sebabnya, mengapa selama ini pembahasan tentang ketiganya
selalu disatukan dalam literatur yang sama. Literatur tentang Ilmu Hukum seringkali
sekaligus juga berisikan pembahasan tentang Teori Hukum dan Filsafat Hukum.
Demikian juga sebaliknya.
3

Pengelompokkan atau pensistematisan disiplin ilmu yang menjadikan hukum sebagai obyek studi juga
dilakukan oleh beberapa pemikir ilmu hukum lainnya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
misalnya membaginya ke dalam: 1) Politik hukum, Filsafat Hukum, dan 3) ilmu hukum. Ilmu Hukum
sendiri terbagi ke dalam ilmu tentang norma (normwissenschaft), ilmu pengertian hukum
(kamphuysen/begriffenwissenschaft) dan ilmu tentang kenyataan hukum (tatsachenwissenschaft).

Selanjutnya, ilmu tentang kenyataan hukum terbagi atas sejarah hukum, sosiologi hukum, psikologi hukum,
perbandingan hukum dan antropologi hukum. Darji Darmodihardjo, S.H., dan Shidarta,. “Pokok-Pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, PT. Gramedia Pusataka Utama, 1999, h.
18.19, dan H. Ridwan Syahrani, “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Abadi, Bandung,
1999, h. 2-3.
4
Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Alumni, Bandung, 1986, h. 9, 339, dan Lili Rasjidi, “Dasar-Dasar
Filsafat Hukum”, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1990, h. 4.
5
Bukan hanya itu bahkan dalam perkara pemadananannya dengan bahasa Inggris pun berbeda. Satjipto
Rahardjo misalnya memadankan istilah ilmu hukum dengan istilah jursiprudence. Ibid. h. 10. Cara yang
sama diikuti oleh Dardji Darmodihardjo dan Sidharta. Sedangkan Bernard Arief Sidharta memadankan
jurisprudence atau legal theory dengan teori ilmu hukum. Bernard Arief Sidharta, “Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu hukum
sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia”, CV. Mandar Maju, Bandung, 1999, h.
120.

2

Kekacauan tersebut akhirnya melahirkan sejumlah akibat yang tidak terelakkan. Salah

nya adalah dalam soal kategorisasi pemikiran-pemikiran besar mengenai hukum yang
sudah mulai lahir sejak Zaman Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Abad Pencerahan
hingga masa sekarang. Para teoritisi hukum berbeda pendapat dalam soal pengkategorian
ini. Ada yang mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran tersebut masuk sebagai kategori
Teori Hukum6 dan ada juga yang memasukkannya sebagai kategori Filsafat Hukum7,
Paradigma Hukum8 atau Mashab Hukum9. Namun anehnya, kendati para teoritisi hukum
tersebut memakai penamaan yang berbeda akan tetapi muatan dan pembagian yang ada
dalam nama-nama tersebut relatif sama.
Penganut istilah atau kategori Teori Hukum mengartikan teori hukum sebagai disiplin
Ilmu Hukum yang khusus mendalami persoalan hakekat dan hakiki dari hukum. Teori
Hukum memikirkan hukum sampai jauh ke latar belakang hubungannya dengan dengan
konsepsi tentang manusia, hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungannya. Itu sebabnya, Gustav Radbruch mengatakan bahwa teori hukum
menjadikan nilai-nilai dan postulat-postulat hukum sebagai basisnya, bukan peraturanperaturan hukum. Dengan begitu tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai
serta postulat-postulat hukum sampai pada landasan filosofisnya. Teori Hukum juga akan
menjawab sejumlah pertanyaan pokok, yakni: 1) mengapa hukum itu berlaku, apa dasar
kekuatan mengikatnya; 2) bagaimana seharusnya hukum itu difahami; 3) apakah
keadilan, bagaimana hukum yang adil, dan 4) apa yang menjadi tujuan hukum?
Sedangkan penganut istilah filsafat hukum mengatakan bahwa filsafat hukum adalah
kategori disiplin ilmu hukum yang bertugas menjelajahi dan menemukan hakekat hukum

dengan cara mencaritahu jawaban atas sejumlah pertanyaan kunci, yaitu: 1) apakah
hukum itu sebenarnya; 2) apa sebabnya kita menaati hukum, dan 3) apa keadilan yang
menjadi ukuran baik buruknya hukum. Dengan cara menjawab beberapa pertanyaan di
atas, filsafat hukum berusaha membuat dunia etis yang ada di dalam hukum menjadi latar
belakang yang tidak dapat diraba oleh panca indera. Filsafat hukum juga akan
mencarikan sebuah ide hukum yang akan menjadi landasan etis bagi berlakunya hukum
positif nasional.
Dengan penguraian muatan dua istilah itu saja sudah menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan dari istilah-istilah yang berbeda tersebut. Hal yang serupa juga bisa
ditemukan pada pembagian (periodesasi) pemikiran hukum tersebut. Baik pendukung
yang memasukkan pemikiran tersebut sebagai kategori teori, filsafat, mashab atau pun
paradigma sama-sama mengakui bahwa periodesasi pemikiran tersebut terdiri dari: 1)
hukum alam; 2) positivisme hukum; 3) utilitarianisme; 4) mazhab sejarah; 5) sociological
jurisprudence; 6) realisme hukum; dan 7) freirechslehre.10
6

Satjipto Rahardjo, Ibid., 224-246.
Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Ibid., 102-148, Lili Rasjidi, Ibid., 27-54, dan Theo Huijbers, “Filsafat
Hukum”, Kanisius, Yogyakarta, 1991, h. 22.
8

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, “Hukum Sebagai Sutau Sistem”, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993,
h. 63-85.
9
H. Riduan Syahrani, Ibid., 33-59.
10
Semua literatur yang membahas dan membuat pembagian tersebut belum satupun yang memasukkan
Critical Legal Studies (CLS) sebagai salah satu kategori teori, filsafat, mashab atau paradigam hukum. Ini
7

3

Bila mengacu pada penjelasan di atas, maka posisi istilah 'mazhab hukum' adalah sebagai
mata bahasan dalam disiplin filsafat hukum dan teori hukum. Ia diakui sebagai salah satu
aliran pemikiran dalam filsafat hukum dan juga diakui dalam teori hukum. Sebenarnya
ada kelebihan bila menggunakan istilah mashab hukum ketimbang istilah paradigma
hukum, teori hukum atau filsafat hukum. Kalau yang dipakai adalah istilah filsafat
hukum, maka bagi kelompok yang membedakan antara filsafat hukum dengan teori
hukum, pemiran-pemikiran hukum tersebut tidak bisa dipakai sebagai mata bahasan teori
hukum karena obyek bahasan keduanya berbeda. Demikian juga sebaliknya. Misalnya
ada yang mengatakan bahwa filsafat hukum bertugas mempelajari hukum dari segi

keuniversalannya (law as such) atau dengan kata lain bertugas mengungkapkan hakekat
hukum dengan cara menemukan landasan terdalam dari keberadaan hukum. Sedangkan
teori hukum, dari segi asal-usulnya saja, ditampilkan untuk menjawab kelesuan minat
pada filsafat hukum yang dianggap terlalu abstrak dan spekulatif, sementara ilmu hukum
(dogmatika hukum) dinilai terlalu konkrit dan terikat pada waktu dan tempat tertentu.
Dengan demikian, teori hukum (rechtstheorie) berada diantara ilmu hukum dan filsafat
hukum dan bertugas memeriksa unsur-unsur yang sama dalam hal bentuk pada semua
sistem hukum. Masalah tersebut diantaranya mencakup: sifat hukum, hubungan antara
hukum dengan negara dan hubungan antara hukum dengan masyarakat. 11 Pemakaian
istilah ‘filsafat hukum’ baru tidak akan bermasalah bagi pemakai istilah ‘teori hukum’
bila dipandang tidak ada perbedaan antara filsafat hukum dengan teori hukum. Demikian
juga sebaliknya.
Sedangkan bila memakai istilah 'mazhab hukum' akan terhindar dari polemik tersebut.
Bila kata 'mazhab' diartikan sebagai aliran pemikiran maka ia bisa sekaligus masuk ke
dalam mata bahasan filsafat hukum dan teori hukum. Karena ‘aliran pemikiran’ berarti
bisa berupa filsafat maupun teori. Dengan argumen seperti itulah tulisan ini lebih
menyukai memakai istilah ‘mazhab hukum’.
Namun demikian, di tengah kekacauan pemakaian dan pembedaan tiga disiplin ilmu
hukum tersebut harus diakui bahwa kajian terhadap hukum terus saja berkembang.
Perkembangan ini, antara lain, terus didulum oleh dinamika ilmu pengetahuan secara

umum dan krisis yang dialami oleh mazhab hukum sebelumnya (positivisme hukum).
Perkembangan kajian tersebut tanpa disadari telah membahwa dua berkah. Pertama,
kesangsian terhadap sifat keilmiahan ilmu hukum semakin mengecil hingga akhirnya
mendapat pengakuan sebagai ilmu. Kedua, yang lebih penting adalah telah terjadi
pergeseran revolusioner dalam cara memandang hukum. Ini tampak jelas pada
munculnya sejumlah teori, filsafat atau mazhab hukum baru yang melakukan penolakan
terhadap teori, filsafat atau mazhab hukum sebelumnya. Gelombang pembaharuan ini
diperkuat dengan kajian-kajian empirik yang ditawarkan oleh disiplin ilmu sosiologi
agak aneh padahal apa yang dilakukan dan diperkenalkan oleh penganjur CLS serupa dengan apa yang
dilakukan dan diperkenalkan oleh yang terdahulu, terutama dengan kelompok-kelompok yang melontarkan
kritik terhadap faham positivisme hukum. Barangkali ini adalah akibat dari ketidaksepakatan mengenai
pengelompokkan displin ilmu yang mempelajari hukum dan kekisruhan dalam membedakan ilmu hukum,
teori hukum dan filsafat hukum.
11
Ilmu hukum (dogmatika hukum) sendiri bertugas mempelajari hukum positif atau hukum yang sah pada
waktu dan tempat tertentu. Bernard Arief Sidharta, Ibid., 120-121.

4

hukum, antropologi hukum, sejarah hukum dan psikologi hukum. Hingga kini, penolakan

ini masih terus berlangsung di tengah dominannya pengaruh penganjur mazhab
positivisme hukum.
Apa sebenarnya ajaran dasar mazhab postivisme hukum serta kritik substansial apa saja
yang dihujamkan oleh para penolak faham ini dan apa cara pandang baru yang
ditawarkan oleh kaum penolak tersebut. Secara singkat jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut akan dibeberkan pada bagian berikut tulisan ini.12
Gerakan Penolakan Terhadap Mazhab Positivisme Hukum
Pertama-tama yang harus disadari bahwa perkembangan mazhab hukum sangat
dipengaruhi oleh perkembangan Filsafat Ilmu. Hampir semua mazhab hukum bisa
ditemukan induknya pada aliran pemikiran dalam filsafat ilmu. Pandangan Hans Kelsen
dengan Teori Hukum Murni-nya (reine rechtslehre) berinduk kepada Neokantianisme.
Positivisme (Analitik) Hukum oleh John Austin berinduk pada Positivisme Logikal.
Pandangan positivisme hukum dari H.L.A. Hart berkaitan dengan ajaran Rasionalisme
Kritis dari Karl Popper. Dan ajaran Popper ini pula yang mengilhami Hans Albert untuk
mengembangkan Ilmu Hukum Empiris. Demikian juga mashab-mashab hukum yang
lahir belakangan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan Filsafat Ilmu.
Mazhab positivisme hukum lahir sebagai penolakan terhadap mazhab hukum alam.
Dengan menonjolkan-nonjolkan rasio, mazhab ini menuduh mazhab hukum alam terlalu
idealistis. Karena terlalu mengagung-agungkan ide, hasil pemikiran mazhab hukum alam
dituduh tidak memiliki dasar dan merupakan hasil penalaran yang palsu. Dengan
berinduk kepada konsep filsafat positivisme, mazhab positivisme hukum kemudian

merumuskan sejumlah premis dan postulat mengenai hukum. Dari hasil pengindukan
tersebut lahirlah sejumlah pandangan dasar mashab ini, yakni: (1) suatu tata hukum
negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, bukan
juga bersumber pada jiwa bangsa, dan juga bukan karena dasar-dasar hukum
alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari suatu instansi yang
berwenang; (2) hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya.
Dengan demikian ia harus dipisahkan dari bentuk materialnya; (3) isi hukum
(material) diakui ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum karena dapat
merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.13
12

Kaum penolak ini berasal dari berbagai penganut disiplin ilmu hukum. Misalnya para pakar sosiologi
hukum dan politik hukum memperkenalkan konsep hukum represif dan hukum responsif dan para pakar
antropologi hukum memperkenalkan konsep pluralisme hukum (legal pluralism). Konsep pluralisme
hukum mulai berkembang dalam penelitian antropologi hukum pada sekitar dasawarsa 60-an.
Perkembangan konsep ini disusul dengan diperkenalkannya istilah antropologi pluralisme hukum. Prinsip
dasar studi antropologi pluralisme hukum ialah bahwa bentuk hukum manapun sama pentingnya dan harus
diperlakukan sebagai hukum. Pandangan ini agaknya tidak berbeda jauh dengan pendangan terdahulu dari
Cicero, salah seorang pemikir hukum Yunani, yang mengatakan: "Dimana ada masyarakat di situ ada
hukum (Ibi Ius Ubi Societas). Lihat T.O. Ihromi, “Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai", Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1993, h. 6-8. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, marak dan beragamnya
tawaran konsep ini tidak terlepas dari kondisi hukum yang menjadi rebutan kajian bagi beberapa disiplin
hukum.
13
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Ibid., h. 81.

5

H.L.A. Hart, seorang pengikut positivisme hukum, membuat pencirian terhadap mashab
ini, yakni: (1) dari segi asal-usul hukum hanyalah perintah dari penguasa (law is a
command of the lawgivers). Di luar itu bukan merupakan hukum. Bahkan oleh penganut
faham legisme, hukum diidentikkan dengan undang-undang14; (2) tidak ada hubungan
mutlak/penting antara hukum dan moral. Hukum harus dipisahkan dari moral. Hukum
hanya mengurusi hal yang berlaku ada (das sain), sedangkan apa yang seharusnya bukan
urusan hukum, melainkan urusan moral dan etika; (3) analisa tentang konsepsi-konsepsi
hukum harus dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis; dan (4) sistem hukum
harus merupakan sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh dari alatalat logika, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik dan moral.
Mazhab postivisme hukum sendiri bisa dibagi ke dalam dua aliran. Pertama, Aliran
Hukum Positif Analitis (analytical jurisprudence). Aliran ini dipelopori oleh tokoh
utamanya John Austin. Kedua, Aliran Hukum Murni (reine rechtslehre) yang dipelopori
oleh Hans Kelsen. Austin memperkenalkan tiga faham pokok di seputar positivisme
hukum. Pertama, dari segi sumber satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang
tertinggi yang ada dalam suatu negara. Austin sebenarnya masih mengakui sumber lain
yang kedudukannya lebih rendah (subordinate sources). Akan tetapi pada akhirnya
Austin menganggap bahwa sumber yang lebih rendah tersebut bukan merupakan sumber
hukum. Menurut Austin hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat
dalam suatu negara. Hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk
berpikir sedangkan perintah yang membebankan itu dikeluarkan oleh kelompok
pemegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Kedua, dari segi sifat, hukum merupakan
sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system). Sebagai sebuah
obyek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai. Ketiga, dari segi persyaratan,
hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Apabila
tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hukum tetapi
adalah moral positif.
Kelsen selanjutnya menajamkan sejumlah faham yang diperkenalkan oleh Austin dan
penganut Hukum Positif Analitis lainnya. Dalam hal sifat hukum, Kelsen memberikan
aksentuasi tambahan bahwa hukum bukan hanya harus dibersihkan dari anasir-anasir
moral tapi juga dari anasir sosiologi, politik dan lain sebagainya. Menurutnya, hukum
harus dibebaskan dari unsur moral sebagaimana diajarkan oleh mazhab hukum alam dan
juga dari persepsi hukum kebiasaan (unsur sosiologis) dan konsepsi-konsepsi keadilan
sosial (unsur politis). Hukum juga harus bersifat anti ideologis. Ini untuk mencegah
agar tidak ada pencampuradukan antara hukum dengan segala hal yang bersifat 'ideal'
dan 'benar'. Hukum harus menolak setiap kepentingan politik. Karena gagasan Kelsen ini
betul-betul hendak memisahkan unsur non hukum dari hukum, sehingga kemudian diberi
nama dengan Teori Yang Murni Tentang Hukum.15

14

Tokoh-tokoh yang mendukung faham ini adalah Hans Kelsen, Goerge Jellinek dan Paul Laband. Lihat
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Ibid., h. 82.
15
Soerjono Soekanto, "Teori Yang Murni Tentang Hukum", Alumni, Bandung, 1985, 144-145.

6

Kalau mau dibuat penegasan maka para penganut mazhab positivisme hukum melihat
hukum dari segi bentuk adalah undang-undang, dari segi isi adalah perintah penguasa
dan dari segi persyaratan terdiri dari sanksi, perintah, kewajiban dan kedaulatan. Jadi
pembentuk hukum adalah penguasa yang berdaulat yang bentuknya adalah (diidentikkan
dengan) undang-undang serta dikenakan terhadap pihak yang dikuasai.
Dalam perkembangannya mazhab positivisme hukum mendapat dukungan dari mashab
utilitarianisme. Pendukung utama mazhab ini adalah Jeremy Bentham, seorang pemikir
hukum berkebangsaan Inggris. Sampai akhirnya, bermunculan sejumlah mazhab yang
menolak faham mazhab positivisme hukum. Yang pertama kali melakukan kritik terhadap
faham mazhab ini adalah penganut Aliran Sejarah Hukum yang dikomandoi oleh
Friedrich Carl Von Savigny, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman. Pemikiran
Savigny ini kemudian diteruskan oleh salah seorang muridnya yakni Pucta. Di Inggris,
pemikiran Savigny dikembangkan oleh Henry Summer Maine. Kelompok ini mulai
menyerang mazhab positivisme hukum dengan mengatakan bahwa hukum bukan hanya
yang dikeluarkan oleh penguasa publik dalam bentuk undang-undang namun hukum
adalah jiwa bangsa (volkgeist) dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup
masyarakat. Hukum bukan hanya berbentuk undang-undang melainkan juga adat-istiadat
dan doktrin hukum. Kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat yang nota bene
terdiri dari kompleksitas unsur individu dan kelompok-kelompok masyarakat. Jadi dari
segi sumber dan bentuk hukum, terdapat perbedaan yang tajam antara faham mazhab
positivisme hukum dengan Aliran Sejarah.
Ketegangan yang tajam antara dua mazhab ini kemudian diredakan oleh mazhab
Sociological Jurisprudence dengan mencoba mensintesakan faham-faham yang
berkembang pada kedua mazhab tersebut. Tokoh-tokoh yang berada di balik mazhab ini
adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Found. Intisari dari faham yang dikembangkan
mazhab ini menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Rumusan tersebut menunjukkan kompromi
yang cermat antara hukum yang tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
adanya kepastian hukum dengan living law sebagai wujud penghargaan terhadap
pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. 16
Dengan mencoba menemukan hubungan timbal balik antara hukum dengan masyarakat
Pound kemudian menemukan konsep ‘hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat’
(law as a tool of social engineering)17. Berbeda dengan faham Aliran Sejarah yang
mengatakan bahwa hukum bukan diciptakan melainkan ditemukan maka konsep social
16

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Ibid., h. 83.
Tokoh lain pendukung faham ini adalah seorang hakim Amerika ternama bernama Benjamin Nathan
Cardozo. Di Indonesia faham ini dikembangkan dan diperjuangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Kata
Mochtar," Pendayaguaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menurut skenario
kebijakan pemerintah (dalam hal ini eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara yang sedang
berkembang, jauh melebihi kebutuhan yang dirasakan negara-negara industri maju yang telah mapan.
Karena negara-negara industri maju sudah memiliki mekanisme hukum yang telah 'jalan' untuk
mengakomodasikan perubahan-perubahan di dalam masyarakat sedangkan negara-negara yang sedang
berkembang tidaklah demikian." Lihat dalam Soetandyo Wignjosoebroto, "Dari Hukum Kolonial ke
Hukum Nasional Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia", Jakarta, Rajawali
Press, 1994, h. 231.
17

7

engineering by law ini mempercayai bahwa hukum bisa diciptakan untuk mendorong dan
menciptakan perubahan.
Setelah Aliran Sejarah dan mazhab Sociological Jurisprudence, mazhab berikutnya yang
juga menunjukan sikap penolakan terhadap asumsi-asumsi yang dikembangkan oleh
mazhab positivisme ialah mazhab realisme hukum (legal realism). Kendati dituduh lebih
mengutamakan hal-hal praktis ketimbang hal-hal teoritik, namun mazhab ini memiliki
beberapa pandangan dasar yang konseptual. Misalnya, mazhab ini mengatakan bahwa
hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dipraktekkan dalam kenyataan. Hukum
bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang
dipraktekkan oleh para aparat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja
yang melakukan fungsi pelaksana hukum. Seorang hakim agung Amerika, Oliver
Wendell Holmes mengatakan bahwa yang menentukan nasib pelaku kejahatan bukan
rumusan sanksi dalam undang-undang melainkan pertanyaan dan keputusan hakim.
Adalah John Chipman Gray yang selanjutnya memperkuat konsep-konsep mazhab ini
dengan mengatakan bahwa hukum bukanlah yang ada dalam kitab undang-undang
melainkan apa yang berlaku dalam praktek. Ini lah yang kemudian membuat Gray
percaya bahwa hukum bukan lagi closed logical system melainkan open logical system.
Dengan demikian mazhab ini sesungguhnya melanjutkan kritik Aliran Sejarah dan
mazhab Sociological Jurisprudence terhadap mazhab positivisme hukum dengan
mengatakan bahwa sumber hukum satu-satunya bukan pemegang kekuasaan negara
melainkan juga para pelaksana hukum, terutama para hakim. Kekuasaan membuat hukum
bukanlah lagi mutlak ada di tangan pemegang kekuasaan politik namun juga berada di
tangan para pelaksana hukum. Dari segi bentuk, hukum bukan lagi sebatas undangundang namun juga meliputi putusan-putusan hakim dan tindakan-tindakan yang
dilakukan dan diputuskan oleh pelaksana hukum.
Faham yang dikembangkan oleh mazhab realisme hukum kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh penganut faham Ajaran Hukum Bebas (freirechtslehre). Ajaran ini
berkembang pesat di Jerman. Bila mazhab realisme hukum mengakui hakim sebagai
salah satu pelaksana yang potensial menciptakan hukum maka Ajaran Hukum Bebas
mengatakan bahwa tugas hakim adalah menciptakan hukum. Itulah sebabnya hakim
harus diberi hak untuk melakukan penemuan hukum secara bebas. Tugas hakim bukanlah
menerapkan undang-undang tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa
konkrit sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat diciptakan menurut norma yang
diciptakan oleh hakim. Lebih jauh mazhab ini menuntut agar pengadilan berhak untuk
mengubah hukum (peraturan perundangan) apabila ia melahirkan suatu malapetaka
umum. Untuk mencapai itu, kelompok penganut faham ini menganjurkan agar pengadilan
diberi wewenang untuk menguji keabsahan undang-undang (judicial review). Tidak bisa
dipungkiri bahwa dengan rumusan faham yang seperti itu, ajaran ini secara jelas
menunjukkan penentangannya terhadap mazhab postivisme hukum.
Dalam literatur-literatur filsafat hukum dan teori hukum, Ajaran Hukum Bebas diakui
sebagai mazhab terakhir dalam khasanah pemikiran hukum. Penganut mazhab ini sendiri
hidup dari mulai awal hingga akhir paruh pertama dekade 50-an. Belum satupun literaturliteratur tersebut yang mencantumkan CLS sebagai mazhab hukum terbaru dalam

8

khasanah pemikiran hukum. Padahal, sama dengan yang dilakukan oleh mazhab lain
terhadap mazhab positivisme hukum, CLS juga menyerang keras faham yang
dikembangkan oleh mazhab positivisme hukum. Lebih dari itu, kehadiran mereka bukan
hanya untuk menawarkan alternatif baru dalam aliran pemikiran hukum namun juga
menyangkut politik hukum yang pada akhirnya diharapkan bisa mendukung penciptaan
masyarakat alternatif18. Tiga diantara pandangan dasar mazhab positivisme hukum atau
pemikiran hukum liberal (liberal legal thought) yang ditentang habis-habisan oleh CLS
adalah konsep netralitas, kemurnian atau otonomi hukum dan formalisme. Namun
berbeda dengan mazhab-mazhab sebelumnya, CLS menjadikan teori-teori kiri sebagai
bahan inspirasi dengan cara mengembangkan metode berpikir eklektik.
Para pendukung CLS mengecam doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum
dengan mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut tidak lebih dari mitos belaka. Dalam
kenyataannya hukum tidak bekerja di dalam ruang hampa namun secara ketat
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang subyektif. Mereka mengkritik
konsep formalisme yang dituduh terlalu meyakini metode deduktif, mempercayai
impersonalitas dalam pembuatan kebijakan hukum serta menganjurkan metode analisis
yang mengekang diri dari kepentingan politis. Untuk keluar dari jebakan berpikir kaum
positivis tersebut, CLS menawarkan agar pengkajian atau pemahaman terhadap hukum
dilakukan dengan cara menghilangkan pemisahan antara doktrin hukum dengan teori
sosial empiris. Tanpa cara pemahaman seperti itu pemikiran hukum akan terkungkung
dalam permainan analogi-analogi murahan. Bukan hanya itu, cara tersebut juga akan
menyelamatkan pemikiran hukum dari muslihat. Pendukung CLS percaya bahwa doktrindoktrin hukum yang terus mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan
ideologi, dan falsafah politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang carutmarut.19
Demikian paparan singkat gagasan pokok mazhab positivisme hukum serta gagasangagasan pokok mazhab-mazhab yang menentang atau menolaknya. Keseluruh mazhab
hukum yang mentang tersebut mengalamatkan kritiknya tepat ke jantung konstruksi
pemikiran mazhab postivisme hukum, yakni mengenai sumber atau asal hukum,
bentuk hukum dan kaitan hukum dengan anasir-anasir non hukum. Selain untuk
menunjukkan bahwa sumber hukum bukan hanya penguasa politik tertinggi, bentuk
hukum bukan hanya undang-undang dan bahwa hukum tidak bekerja dalam ruang hampa,
mazhab-mazhab hukum tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat atau hakim juga
bisa menjadi sumber hukum. Bagi mereka hukum adat juga bisa dikategorikan sebagai
hukum yang memiliki daya laku di dalam masyarakat.
Namun kendatipun mazhab-mazhab hukum tersebut menyerang hal yang sama pada
mazhab positivisme hukum akan tetapi masing-masing menggunakan landasan teoritis
yang berbeda. Yang tampak jelas perbedaannya adalah CLS, yang menggunakan teoriteori kiri. Perbedaan ini tentu saja akan membawa dua implikasi. Pertama, perbedaan
dalam menemukan kelemahan dan selubung utama mazhab positivisme hukum
(dekonstruksi). Kedua, perbedaan pada solusi yang ditawarkan (rekonstruksi).
18
19

Ifdhal Kasim dalam Roberto M. Unger, Gerakan Studi Hukum Kritis, Jakarta, ELSAM, 1999, h. xi.
Roberto M. Unger, Ibid., h. 8, 16.

9

Pengalaman dalam mempraktekkan mazhab hukum non positivistik, yang akan
dipaparkan dalam tulisan ini, bukan dengan cara memakai konsepsi-konsepsi salah satu
mazhab hukum tersebut melainkan hanya meminjam semangat penolakan yang dipunyai
oleh mazhab-mazhab tersebut. Dengan semangat tersebut dilakukanlah pemeriksaan
terhadap asumsi-asumsi dasar mazhab postivisme hukum, di lapangan. Metode
pemeriksaanya tidak dengan melakukan penelitian murni namun dengan melakukan
diskusi-diskusi kritis hukum di beberapa kampung di lima propinsi di Indonesia. Dengan
demikian penerapan atau pemeriksaan ini dilakukan dengan metode yang berbeda, yakni
dilakukan bersama-sama dengan masyarakat dan kemudian secara bersama-sama pula
memecahkan jalan keluarnya untuk membebaskan masyarakat dari ketertindasan oleh
mashab positivisme hukum. Hal lain yang membedakannya adalah bahwa penerapan dan
pemeriksaan ini dilakukan dalam bidang hukum sumberdaya alam.
Pengalaman dari Sumbar20, Kalbar21, Sulteng22, Maluku23 dan Papua24.
Di seluruh lokasi tersebut telah dilangsungkan pendampingan yang cukup lama dan
intensif. Artinya, para fasilitator diskusi-diskusi kritis tersebut, bukanlah orang baru bagi
penduduk di lokasi-lokasi tersebut. Selama lebih kurang dua bulan masyarakat, dengan
dibantu oleh fasilitator, melangsungkan serangkaian diskusi kritis yang
memperbincangkan beberapa hal, yakni: 1) pengenalan (potensi) konflik pengelolaan dan
pemilikan sumberdaya alam; 2) penggalian hukum adat yang berhubungan dengan
pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam; 3) mendiskusikan secara kritis hukum
positif yang sedang berlaku yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap
20

Lokasi persis yang dimaksud adalah tiga dusun yang terletak di Desa Madobak Kabupaten Mentawai,
Sumatera Barat. Tiga dusun tersebut masing-masing Dusun Rogdog, Dusun Ugai dan Dusun Madobak.
Tempat-tempat ini berada dalam kawasan yang oleh masyarakat setempat dinamai Sarereiket. Seluruh data
yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Zulkifli Jailani: "Perbuatan Melawan Hukum Oleh
Pemerintahan RI pada Masyarakat Adat Mentawai di Pulau Siberut (Studi Partisipatif dengan Orang
Sarereiket)", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.
21
Lokasi persis yang dimaksud adalah Desa Semandang Kiri, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan C.
Kanyan: "Kedudukan Hukum Pengelolaan Sumberdaya Alam pada Masyarakat Dayak Simpang", dalam
Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.
22
Lokasi persis yang dimaksud adalah wilayah yang merupakan hunian Orang Pakava (To Pakava) di
Kecamatan Marawola, Sulawesi Tengah dan Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Selatan. Sedangkan Boya (unit kesatuan komunitas terkecil bagi To Pakava) nya terdiri dari Ngovi, Bamba
Apu, Duria Sulapa, Tosonde, Pangalambori, Pamboi, Kanini, Bavoaya dan Kapaku. Seluruh data yang
dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Hedar Laudjeng dan Ramlah, Mencari Ruang untuk Hak
Adat Orang Pakava", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999.
23
Lokasi persis yang dimaksud adalah beberapa dusun dan desa di Pulau Haruku, Kecamatan Pulau
Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. Dusun tersebut adalah Dusun Pusaka, Dusun Dati, DesaHaruku,
Sameth, Oma, Wasu'u dan Aboru. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber dari tulisan Martje
Palijama: "Dampak Eksplorasi Pertambangan di Pulau Haruku", dalam Kumpulan Tulisan Draft III,
Program Hukum dan Masyarakat- ELSAM, 1999
24
Lokasi persis yang dimaksud adalah beberapa kelompok masyarakat adat di sekitar kawasan Cagar Alam
Dafonsoro/ Cycloop di Kabupaten Jayapura, Papua. Seluruh data yang dipakai dalam tulisan ini bersumber
dari tulisan Edison Robert Giay: "Pengaruh Status Cagar Alam Cycloop terhadap Sistem Pengelolaan
Sumberdaya Alam di Deponsero Utara", dalam Kumpulan Tulisan Draft III, Program Hukum dan
Masyarakat- ELSAM, 1999.

10

wilayah adat mereka, termasuk sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya; 4)
melihat kemungkinan sejumlah peluang dalam hukum positif yang bisa dipakai untuk
memperjuangkan pengakuan hukum, dan 5) menyusun strategi advokasi bersama untuk
memperjuangkan pengakuan hukum. Jadi, kegiatan ini bukan hanya untuk mengajak atau
menyertakan masyarakat sekedar untuk mencoba memahami realitas (hukum) mereka
dan realitas (hukum) di luar mereka, namun juga memikirkan cara untuk mengubah
realitas (hukum) tersebut. Tentu saja dengan terlebih dahulu menemukenali kembali
sistem hukum mereka serta mengenali dan memahami (dengan kritis) sistem hukum
(norma dan kelembagaan) yang diciptakan dan dipelihara oleh negara. Selain di lima
propinsi tersebut, kegiatan paralel juga dilangsungkan di propinsi Jawa Timur, NTT,
Kaltim dan Sulut.
A. Metode dan Proses Diskusi
Kegiatan diskusi ini memakai metode dan proses yang sederhana dengan mengedepankan
pendekatan kritis dan partisipatif. Dalam kegiatan ini tidak ada yang dijadikan obyek dan
tidak ada yang diperlakukan sebagai pemain dominan. Fasilitator bukanlah orang luar
yang bertugas untuk mengeksploitasi informasi dengan membawa sederetan postulat dan
hipotesa. Dalam posisi ini, masyarakat bukanlah laboratorium sosial yang akan diutakatik untuk semata-mata demi perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat dan
fasilitator berposisi setara. Prediket fasilitator hanya sebatas fungsional, bukan
menggambarkan pengkelasan. Dalam fungsi demikian, fasilitator bukan pula menjadi
narasumber dominan melainkan, sama dengan anggota masyarakat lain, orang yang juga
sedang belajar. Fasilitator bukanlah layaknya seorang penyuluh hukum yang berfungsi
menjadi corong atau tukang penyampai hukum negara.25
Dengan demikian informasi dan pengetahuan digali secara bersama-sama. Pemahaman
kopseptual dan sistematis terhadap informasi tersebut juga dilakukan secara bersamasama tanpa berpretensi untuk memaksakan tersusunnya satu pemahaman tunggal. Dalam
diskusi penggalian informasi tersebut fasilitator memiliki peran penting untuk membantu
masyarakat mengingat kembali sistem hukum yang pernah dan sedang dianut dan
dipraktekkan oleh masyarakat dampingan. Tahapan ini penting karena, akibat
pelumpuhan secara hukum, masyarakat kehilangan sistem hukumnya sehingga memaksa
mereka untuk melupakan dan meninggalkannya dan digantikan dengan sistem hukum
yang diperkenalkan dan dipaksakan oleh negara. Setelah berhasil menemukenali sistem
hukum mereka dan sekaligus mengenali dan memahami sistem hukum negara, mereka
selanjutnya merumuskan strategi advokasi untuk memperjuangkan pengakuan. Strategi
advokasi ini menjadi kesepakatan bersama yang juga akan ditanggung dan diperjuangkan
secara bersama-sama.
Kemudian, dengan bantuan fasilitator, semua informasi dan pengetahuan yang didapatkan
dari rangkaian diskusi tersebut dicoba dituliskan.
Setelah selesai, tulisan tersebut
kemudian didikusikan ulang dengan masyarakat dampingan untuk memastikan bahwa
25

Prinsip dan pendekatan tersebut relatif bisa berlangsung baik di beberapa lokasi tersebut karena sudah
lama menjadi wilayah dampingan. Memang tidak ada jaminan bahwa pendampingan akan bisa
mentranformasikan secara radikal atau tuntas ciri feodalisitik (a demokratis) struktur dan hubungan sosial
masyarakat wilayah dampingan, namun pendampingan di lokasi-lokasi tersebut sedikit banyak membawa
perubahan ke arah struktur dan hubungan sosial yang lebih demokratis.

11

tidak ada distorsi dalam tulisan tersebut. Masukan atau koreksi dari hasil diskusi ini
selanjutnya dijadikan bahan untuk menyempurnakan tulisan tersebut. Tulisan hasil
penyempurnaan tersebut, sekali lagi, dikonfermasi ulang kepada masyarakat. Begitu
seterusnya sampai masyarakat mengaggap bahwa tulisan tersebut sudah mencakup
seluruh informasi dan pengetahuan yang muncul di dalam diskusi. Tulisan yang sudah
mendapat persetujuan tersebut akhirnya memiliki dua fungsi, yakni: 1) menjadi dokumen
tertulis yang menginformasikan asal-asul mereka, falsafah hubungan mereka dengan
wilayahnya, sistem pengelolaan dan pemilikan atas sumberdaya alam, hukum positif
yang berdampak kepada wilayah mereka, sejarah dan data konflik pengelolaan dan
pemilikan sumberdaya alam antara mereka dengan pihak luar, pilihan hukum dan strategi
advokasi pengakuan (recognition), dan 3) bahan atau materi untuk kegiatan advokasi
pengakuan. 26
Melalui penggunaan metode dan proses seperti itu ditemukan sejumlah informasi atau
fakta lapangan yang berbeda sama sekali dengan postulat, asumsi atau faham yang
dikembangkan oleh mazhab positivisme. Metode dan proses ini sekaligus menemukan
kepentingan-kepentingan ideologis-politik yang terselubung dalam sistem hukum
(termasuk pelaksanaannya) yang hanya bisa ditemukan dengan menggunakan kajian
kritis. Faham yang paling terbukti melakukan manipulasi adalah yang mengatakan
bahwa satu-satunya sumber hukum adalah penguasa politik (negara) dan satu-satunya
bentuk hukum adalah undang-undang serta yang mempercayai bahwa hukum bersifat
netral dan otonom dari pengaruh anasir-anasir non hukum. Lebih dari itu, kegiatan
diskusi tersebut menemukan landasan falsafati yang dianut oleh masyarakat adat
sehubungan dengan relasinya dengan sumberdaya alam. Landasan falsafati ini mendasari
pembentukan sistem hukum mereka. Boleh dibilang bahwa landasan falsafati ini telah
menjadi norma dasar (grundnorm) yang menjadi pondasi ideologis seluruh bangun sistem
hukum mereka. Bagaimana persisnya falsafah, fakta atau informasi lapangan tersebut,
akan berusaha dijawab oleh bagian berikut tulisan ini.
B. Realitas Tanding dari Sistem Hukum Masyarakat Adat
Dari rangkaian kegiatan diskusi di lokasi-lokasi tersebut didapatkan sejumlah informasi
dan fakta yang dengan jelas menyimpang dari kesimpulan-kesimpulan yang dibuat oleh
mazhab postivisme hukum. Untuk keperluan pensistematisan, tulisan ini hanya
menyajikan fakta dan informasi yang berkaiatan dengan tiga faham utama dalam mazhab
positivisme hukum, yakni: 1) faham yang mengatakan bahwa satu-satunya sumber
hukum adalah kekuasaan politik (negara); 2) faham yang mengidentikan hukum dengan
undang-undang, dan 3) faham yang meyakini bahwa (sistem) hukum (norma,
kelembagaan dan pelaksanaan) terlepas sama sekali dari pengaruh anasir-anasir non
hukum.

26

Nama awal yang diberikan kepada metode dan proses di atas ialah Penelitian Hukum KritisPartisipatif yang memiliki beberapa prinsip, yakni: 1) penelitian haruslah merupakan tindakan bersama
masyarakat tertindas untuk memnbebaskan dirinya dari penindasan; 2) berpihak kepada yang tidak
mendapat keadilan, dan 3) percaya bahwa masyarakat memiliki potensi dalam mengatur dan menyelesaikan
persoalannya sendiri.

12

1. Hukum Itu Berada Dimana-Mana
Hukum ternyata bukan hanya milik penguasa politik (negara). Pada lokasi-lokasi diskusi
tersebut dijumpai sistem hukum, khususnya yang mengatur tentang sumberdaya alam.
Sistem itu, dalam kekuatan keberlakuan yang terbatas, tetap dilaksanakan dan dipatuhi
oleh masyarakanya.27 Bukti bahwa sistem ini masih ada bisa ditunjukkan dengan masih
adanya kelembagaan adat, aturan pemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam serta
aturan mengenai sanksi.
Masyarakat adat Dayak Simpakng misalnya, memiliki struktur pengurus lembaga adat
yang terdiri dari Tamyatn Sasa, Rangkaya, Kanuroh, Patinggi, Pateh, Tamonggokng,
Singa, Ria dan Tantara Anum. Struktur ini masih ada hingga akhir dekade 50-an. Patinggi
memiliki wewenang yang mencakup Kecamatan Simpang Hulu, Pateh memiliki
kewenangan yang mencakup satu kedesaan dan Tamongokng memiliki kewenangan yang
mencakup satu wilayah dusun atau kampung. Dalam prakteknya penyelesaian perkara
adat tidak secara kaku mengikuti garis struktur di atas. Misalnya, seorang Pateh bisa saja
menyelesaikan perkara yang berada di luar dusun kewenangannya.
Masyarakat Dayak Simpakng juga mengenal beberapa cara untuk memperolah hak atas
tanah, yakni Nangarong, Abuh, Tukar-Samek, Pengaseh-Pengajeh dan Upah Laloh.
Selain itu mereka juga mengenal beberapa jenis hak atas tanah, yakni Hak Tungal
Gansal, Hak Tomu Turakng, Hak Buboh Ampboh dan Hak Rama Sadomokng. Hak Tomu
Turankng diperoleh karena perkawinan. Hak Buboh Ampboh adalah hak bersama dalam
satu keturunan (kampong tamawakng buah janah). Sedangkan hak Rama Sadomokng
merupakan hak hak atas tanah atau hutan secara bersama masyarakat (perkuburan, rima
magokng utant torunt-kawasan cadangan).
Masyarakat adat di Serereiket, Mentawai, mengenal unit sosial terkecil yang diberi nama
uma. Di dalam satu uma terdapat struktur lembaga adat yang terdiri atas: 1) sikebubet
uma, yang berfungsi sebagai pemimpin uma; 2) sipangunan, yang berfungsi untuk
melaksanakan putusan keluarga; 3) lalep, yang merupakan unit-unit keluarga inti dari
uma, dan 4) sikauma, yang merupakan kumpulan semua anggota keluarga uma.
Menurut masyarakat Serereiket, tanah yang berada dalam kawasan mereka dibagi habis
dalam kepemilikan uma-uma. Jadi di masyarakat ini tidak dikenal pemilikan atau
penguasaan tanah komunal yang dimiliki bersama oleh beberapa uma. Setiap uma
mengetahui dan menghormati batas wilayah masing-masing. Apabila seorang warga uma
berburu di luar wilayah umanya tanpa seizin pemilik uma tersebut maka ia akan dikenai
denda adat (tulou). Dalam masyarakat ini dikenal beberapa jenis kepemilikan atas tanah,
yakni: 1) Polak Teteu, yakni harta bersama milik uma (keluarga) yang dimiliki oleh uma
berdasarkan sejarah asal-usul keberadaan uma bersangkutan; 2) Lulut
Punuteteu/Penundu, yakni kepemilikan atas tanah yang berasal dari perdamaian karena
adanya sengketa antara dua uma atau lebih; 3) Sinake teteu yakni hak milik atas tanah
yang diperoleh dari pembelian kepela uma untuk kepentingan anggota uma; 4) Alak
27

Dalam khasanah ilmu antropologi hukum bidang sosial yang memiliki kemampuan untuk menghasilkan
aturan-aturan dan kebiasaan namun rentan terhadap aturan-aturan dan keputusan serta kekuatan-kekuatan
lain yang berasal dari luar , dikenal sebagai bidang sosial semi otonomi. Lihat Sally Falk Moore, 'Hukum
dan Perubahan Sosial Semi Otonomi Sebagai Suatu Topik Studi yang Tepat', dalam T.O. Ihromi, Ibid.

13

panuteteu yakni hak milik yang diperoleh dari mas kawin, dan 5) Pangurau, yakni
kepemilikan yang berasal dari pembayaran ganti rugi atas sengketa maupun karena sebab
lain. Kelima jenis hak tersebut dimiliki secara bersama-sama dalam satu uma. Di samping
itu, masyarakat serereiket juga mengenal hak kepemilikan secara pribadi, yakni: 1)
Sineke, yakni hak milik yang diperoleh dari cara pembelian; 2) Tulou, yakni hak milik
yang diperoleh berdasarkan pembayaran denda adat, dan 3) Pasailit, yakni hak milik yang
diperoleh dengan cara pertukaran dari objek hak milik yang sama. Dari keseluruhan jenis
hak kepemilikan tersebut, Polak Teteu adalah kepemilikan yang paling tinggi karena sifat
penguasaanya yang komunal dan sifat kepemilikannya yang asli. Dari segi pengelolaan,
mereka menata penggunaan tanah ke dalam jenis: 1) uma, yakni pusat pemukiman
keluarga yang juga digunakan sebagai kawasan kebun pekarangan terutama untuk sayursayuran, pisang, tanaman obat-obatan, kelapa dan tanaman hias; 2) pugettekat, yakni
kebun yang berada di pinggiran kawasan uma; 3) pusagut, yakni tanah yang
diperuntukkan untuk menanam sagu; 4) Tinuggulu adalah kebun atau peladangan daur
ulang yang selama ini dikenal sebagai sebagai ‘peladang berpindah’. Umumnya kawasan
ini diolah dengan masa perputaran selama 5 sampai 20 tahun untuk sekali putaran dan 5)
Leleu, yakni kawasan yang tidak boleh dijadikan peladangan oleh anggota uma. Kawasan
ini dijadikan oleh seluruh anggota uma untuk sebagai tempat perburuan dan mengambil
kayu.
Menurut Orang Pakava, seluruh sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya adalah
hak Orang Pakava secara kolektif. Oleh sebab itu, pihak lain tidak berhak menguasai dan
mengelola sumberdaya alam tersebut tanpa seizin mereka. Hak perorangan atas tanah
umumnya diperoleh melalui pembukaan hutan yang tidak dihaki oleh seseorang atau
melalui pewarisan. Dalam hal membuka hutan yang belum dihaki seseorang, terlebih
dahulu harus memintai persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang terdekat dari
hutan itu. Dalam segi pengelolaan, Orang Pakava menata penggunaan tanah ke dalam
bentuk: 1) Ova yaitu bekas ladang yang ditumbuhi semak-semak; 2) Oma adalah ova
yang sudah berkembang dan bercampur dengan pohon-pohon besar. Hutan disebut oma,
bila hutan tersebut masih ditumbuhi pisang hutan (pisang monyet); 3) Kaore adalah oma
yang sudah berkembang dan didominasi oleh pohon-pohon besar. Hutan baru bisa disebut
kaore bila tidak lagi ditumbuhi pisang hutan; 4) Pangale adalah hutan yang lebih dekat
dengan kaore. Hutan dapat dikatakan pangale kalau sudah terdapat rotan yang sudah
dewasa (dapat dipanen), dan 5) Vana adalah hutan yang lebih dekat daripada pangale. Di
dalam vana, sudah terdapat pohon-pohon damar yang produktif. Hak perorangan atas
tanah berakhir bila: a) tanah tersebut tidak diolah dalam waktu cukup lama; b) orang yang
berhak atas tanah itu tidak lagi menjadi anggota Boya (keluar) yang menguasai tersebut
dan tinggal di Boya lain atau keluar dari wilayah adat Orang Pakava.
Hampir sama dengan masyarakat lain di Maluku, masyarakat di Pulau Haruku juga
memakai sistem sasi dalam mengelola sumberdaya alamnya. Sedangkan dalam hal
penggunaan atau pengelolaan tanah dibagi ke dalam: 1) Tanah Dati, dan 2) Tanah Pusaka.
Yang diperbolehkan untuk mengelola atau memungut hasil atas segala sesuatu di atas
tanah Dati adalah anak lelaki dan anak perempuan yang tidak menikah. Sedangkan
pengelolaan atas Tanah Pusaka dilakukan secara bersama oleh seluruh keturunan, baik
laki-laki maupun perempuan. Organisasi pengaturan peneglolaan dan penggunaan hasil di

14

dua tanah tersebut dilakukan oleh Kepala Dati dan Kepala Pusaka. Sehingga segala
aktivitas yang berhubungan langsung pada lokasi-lokasi Dati dan Pusaka harus melalui
atas persetujuan dari Kepala Dati dan Kepala Pusaka setelah dirundingkan secara
musyawarah untuk memperoleh suatu penguasaan yang mutlak guna menghindari
pertengkaran-pertengkaran atas pengelolaan sumberdaya alam.
Di Deponsero Utara (Papua) unit persekutuan masyarakat terkecil bernama Seray. Seray
terdiri dari beberapa keluarga yang terbentuk dari keluarga inti yang masih memiliki
hubungan darah yang sangat kuat dan hidup di wilayah adat tertentu.
“Segala peraturan yang mengatur tentang hak-hak azasi tentang perkawinan,
hukum atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, hukum orang dan
keluarga telah terbentuk berdasarkan setiap peristiwa di dalam persekutaun
Seray, sehingga lahirlah kesepakatan yang menjadi nilai dan norma hukum
yang mengatur segala prilaku prilaku masyarakat adat antara orang dengan
orang dan antara orang-orang dengan sumberdaya alam.”28

Dalam hal pengelolaan, Seray membagi tanah dan hutan ke dalam: 1) Yo/Baso yang
merupakan kampung atau tempat pemukiman penduduk; 2) Emiyere/Emiseke yang
difungsikan sebagai ladang buru yang dibuka dan ditinggalkan menjadi bekas ladang dan
berfungsi juga sebagai tempat pembibitan tanaman jangka pendek; 3) Seke adalah
kawasan hutan bekas ladang yang telah ditinggalkan cukup lama, sehingga pepohonan
dan tanaman di dalamnya tumbuh sangat padat sehingga kembali menjadi hutan alam
yang asli; 4) Osena adalah hutan alam yang terletak di puncak pegunungan Deponsero.
Di tempat ini terdapat jenis keanek