Interaksi simbolik dalam tradisi islam

Manusia memiliki kecenderungan untuk alami untuk mengelompokkan dunia sosial kedalam
kategiri (Allport 1954). Pengolahan (mental) berbasis skema ini kemudian membuahkan
kecairan terhadap persepsi, menyederhanakan interpretasi tentang perilaku orang lain, dan
menimbulkan tindakan yang kongkrit dan ter koordinir, disamping meminimalkan pengaruh
dari sumberdaya koognitif (barresi & moore, 1996). Pada penelitian terbaru menyatakan
bahwa respon kooghitif pada dunia sosial pada dasarnya lebih di tentukan faktor-faktor
situasional diluar kesadaran kita daripada pilihan-pilihan sadar yang kita ambil, karena
kemampuan manusia akan pengaturan diri sadar ternyata sangat terbatas (bargh &chartrrand,
1999).
Karena manusia merespon diri (self) dan orang lain (other) sebagai anggota dari kategori
sosial dan karenanya membawa ekpektasi berbasis kategori tak sadar akan perilaku
kontekstual, maka identitaspun menjadi konsep utama dalam memahami konsep aksi,
interaksi, dan kelompok. Kaum sosiologmengunakan terma “identitas”
untuk menyebut
berbagai makna yang di sematkan kedalam suatu individu, baik oleh individu itu sendiri
ataupun orang lain. Konsep identitas mengandung ciri-ciri struktural semisal afiliasi
kelompok, penyandangan peran dan keanggotaan kategori sekaligus ciri-ciri watak yang di
peroleh oleh individu atau yang di alamatkan individu lain kepada yang bersangkutan (lovin,
2007). Meskipun penelitian tentang identitas secara historis terpisah dari penelitian tentang
struktur dan kelompok sosial, penelitian terbaru telah membuahkan perkawinan-silang, di
antara tiga aspek psikologi sosial sosiologis: interaksi simbolik, proses kelompok dan

struktur dan kepribadian sosial (cook, fine & house, 1995) progres-progres identitas semakin
di tonjolkan dalam penelitian dari ketiga-tiga domain sehingga membentuk satu landasan
umum bagi kita untuk memudahkan ilmu pengetahuan.
Alih-alih menyajikan tinjauan terperinci tentang psikologi sosial sosiologis, tema ini lebih
memusatkan bahasan
tentang berbagai perkembangan pada dua bidang tempat
berlangsungnya kemajuan-kemajuan besar sepanjang tiga dasawarsa terakhir, dan tempat
menejemennya kontroversi: (1) teori kontrol interaksi sosial yang baru, telah merombak
tradisi interaksi simbolik, dan (2) dampak struktur kelompok terhadap perkembangan makna,
komitmen, dan identitas kelompok. Pada tahun-tahun belakangan ini, para pakar telah
mengkaji berbagai proses-proses instrumental dan afektif saling berkaitan erat.
Tradisi interaksi simbolik dalam sosiologi berpijak pada tiga prinsip: (1)manusia bertindak
atau menyikapi benda-benda, termasuk kepada sesamanya, berdasarkan makna yang di alami
manusia pada benda-benda tersebut. (2) sumber utama dari makna makna tersebut adalah
interaksi sosial dan (3) makna di peroleh dan di kelola melalui proses interpretatif (show,
2000). Konsep fundamental tentang aktor berupa konsep tentang seorang pencipta makna
(artinya, aktor adalh si pencipta-makna,penj.), yang secara aktif berusaha secara aktif untuk
menterpretasikan peristiwa yang berlangsung di sekitarnya berdasarkan makna-makna yang
terhimpun dari interaksi-interaksi masa lalu, dan secara aktif menciptakan jalur-jalur aksi
baru untuk mempertahankan pandangan yang padu yang bermakna tentang diri dan other.

Karena secara historis dikenal sebagai sebuah perspektif yang sangat koognitif, interaksi
simbolik telah memalingkan pandangannya pada makna efektif dan emosi sepanjang 20
tahun terakhir (mackinnon, 1994).Beberapa dari perhatian utama dari teori interaksionis

simbolik adalah dinamika-dinamika interaksi tatap muka, saling ketergantungan yang erat
antara konsep-diri individu dan pengalaman kelompok kecil, nrgosiasi mengenai normanorma bersama dan peran-peran individu, serta proses-proses lainnya yang mencakup pola
interaksi antar individu dalam skala kecil
Konsep-diri dan organisasi sosial
Definisi-definisi subyek tidak terbatas pada benda-benda dalam lingkungan eksternal. Salah
satu masalah definisiyang paling penting di hadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk
mendefinikan dirinya sendiri, khususnya dalam hubungan orang lain yang mana mereka
terlibat didalamnya. Sesungguhnya konsep-diri seseorang mungkin adalah objek dari refeksi
yang sadar tentang diri lebih daripada satu objek saja dalam lingkungan eksternal, termasuk
orang lain. Demikian pentingnya konsep-diri itu sehingga orang dapat mengorbankan
pemenuhan-pemenuhan kebutuhan lainnya, begitupun dengan pemenuhan kebituhan
fisiologis, dimana dasar untuk bertindak ssuai dengannya.
Meskipun pemusatan konsep-diri ada dalam kesadaran subyektif seseorang, individu tidak
dilahirkan dengan konsep-diri. Secara bertahap dia mendapatkan konsep-diri dari
interaksinya dengan orang lain sebagai bagian yang sama dengan dengan mana pikiran itu
sendiri sendiriI. seperti halnya roses berfikir dimana terdiri dari suatu suatu percakapan

internal, demikian juga konsep-diri itu didasarkan pada individu yang secara tidak kelihatan
merujuk pada dirinya sendiri tentang identitas yang di sematkan dalam interaksi dengan
orang-orang lain terhadap prilaku orang itu sendiri. Proses berfikir meliputi kesadaran-diri,
konsep-diri mencakup kesadaran-diri yang terpusat pada diri sebagai objeknya.
Konsep-diri itu pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaannya “siap aku?”.
Ini tidak hanya sekedar berarti sadar akan badan seseorang atau malah akan pengalamanpengalaman subjek seseorang, perasaan, dan prilakunya II. Seringkali orang membedakan
antara fisik dan konsep-diri. Misalnya secara fisik seseorang mengalami kecacatan, tetapi
secara konsep-diri bukan berarti dia juga mengalami kecacatan atau kerusakan, mereka
mungkin mengalami suatu perasaan yang aneh seperti rasa sakit atau ketakutan, tanpa
perasaan itu menjadi suatu komponen mengenai gambaran atas diri mereka sendiri, atau
mungkin mereka terlibat dalam prilaku yang serampangan seperti menyeret-nyeret kaki tanpa
sadar, namun tidak ada kesadaran-diri yang menyatakan dia melakukan prilaku tersebut.
Mead mengemukakan bahwa konsep-diri terdiri dari kesadaran individu mengenai
keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung
atau dalam komunitas yang terorganisasiIII. Kesadaran-diri ini merupakan hasil suatu proses
reflektif yang tidak kelihatan dimana individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang
bersifat potensial dari titik pandang orang laindengan siapa individu itu berhubungan. Dengan
kata lain, individu menjadi objek dirinya sendiri dengan mengambil posisi orang lain dan
menilai prilakunya sendiri seperti yang mereka inginkan. Penilaian ini meliputi suatu usaha
untuk meramalkan respon orang lain dan meliputi penilaian akan respon itu menurut

implikasinya terhadap identitas individu itu sendiri.
a. “I” dan “Me” sebagai dua dimensi konsep-diri

Konsep-diri tidak terbatas pada persepsi-persepsi orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi
dan definisi-definisi orang lain. Individu juga merupakan subjek yang bertindak. Bagian
diskusi dari mead yang penting adalah hubungan timbal balik antara diri sebagai subjek dan
diri sebagai objek. Diri sebagai objek di tunjukkan mead dengan konsep “Me” sedangkan diri
sebagai subjek yang bertindak di gambarkan dengan konsep “I”. IV “I” merupakan aspek diri
yang bersifat non-reflektif. Dia tidak mencakup ingatan dari tindakan masalalu atau antisipasi
untuk masa yang akan dating. Ia merupakan respon prilaku actual dari individu pada saat
momen eksistensinya sekarang ini terhadap tuntutan situasi yang berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan atau rencana-rencana saat ini. Namun, begitu suatu tindakan tindakan
dilaksanakan, ingatan tentang tindakan itu lalu menjadi bagian dari “Me” dalam konsep diri
itu. Individu memandang kebelakang pada tindakan yang baru di lakukannya dan
memikirkan implikasi pada identitasnya. Dalam proses refleksi ini, individu akan menilai
tindakan yang telah di perbuatnya itu dari titik pandang orang lain sama halnya dengan
merencanakan tindakan-tindakan untuk masa yang akan datang, individu itu memikirkan
bukan yang berhubungan dengan tindakan yang nyata, melainkan antisipasi yang tidak
kelihatan yang di peroleh dari hasil-hasil yang mungkin terjadi. Dalam hal ini adalah
mencakup usaha-usaha untuk mengantisipasi reaksi dari orang lain hubungannya dengan

implikasi untuk konsep-diri. Diri sebagai subjek yang bertindak (“I”) ada hanya dalam masa
sekarang ini.