Indonesia di Bawah Ancaman dan Tantangan
Pengantar
Lebih dari setahun silam, atau persisnya dijelang akhir tahun
2010, yaitu setelah kunjungan Presiden AS Barack Obama ke
kawasan Timur Tengah dan Uni Emirat Arab, dunia
internasional menafsirkan kunjungan kenegaraan tersebut
merupakan pertanda mencairnya hubungan diplomatik Amerika
Serikat dengan dunia Islam. Karena sebelum itu, atau tepatnya
pada masa pemerintahan Presiden George Walter Bush,
hubungan Pemerintah Amerika Serikat dengan beberapa negara
di Timur Tengah sempat memanas. Misalnya konflik dengan
Pemerintah Iran, akibat invasi militer ke Negara Irak, serta
sikap keberpihakan Pemerintah AS yang mendukung Negara
Israel dalam konflik di Jalur Gaza, bahkan masih banyak lagi
alasan lainnya yang menunjukkan arogansi Amerika Serikat
sebagai polisi dunia.
Maka tidak disangsikan, kunjungan Presiden Obama
itu seakan membawa angin segar. Terlebih dalam berbagai
pidato selama masa lawatannya , Presiden Obama selalu
menyerukan pentingnya perdamaian dunia. Sangat simpatik
dan mendapat respon positif. Sehingga dunia internasional
ikut berlega hati. Terlebih lagi ketika Presiden Obama
menyatakan janji akan menarik seluruh pasukan Amerika
Serikat dari Negara Irak dan mengurangi peran intervensi
negaranya dalam konflik di Afganistan. Semua itu memang
menjadi pertanda baik.
Namun ternyata, tidak lama setelah kunjungan Presiden
Obama, Menlu AS Hillary Clinton juga melakukan lawatan ke
Timur Tengah. Tapi entah ada hubungannya atau tidak, sejak
lawatan Presiden Obama dan lawatan Menlu Hillary Clinton
2
itu, tiba-tiba saja kawasan Timur Tengah dilanda pergolakan
politik. Isyu reformasi pemerintahan, penegakan demokrasi
dan pemerataan ekonomi, menjadi pemicu aksi unjuk rasa
rakyat di berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Semua
negara yang bergejolak itu menuntut pergantian kepemimpinan
nasional di negaranya.
Presiden Mesir Hosni Mubarak contohnya. Ia didesak
mundur dari kursi kepresidenan Mesir oleh rakyat yang
menentangnya. Dan ketika Presiden Mesir yang telah
berkuasa selama 32 tahun itu mencoba mempertahankan
kekuasaannya, maka pihak militer Mesir pun segera bertindak
mengambil alih kekuasaan demi mencegah terjadinya konflik
berkepanjangan di Negara Mesir.
Tidak berbeda dengan gejolak politik di Mesir, Yaman,
Suriah dan sekitarnya, Negara Libya juga digoncang gejolak
politik yang serupa. Sebagian rakyat Libya yang terhimpun
dalam berbagai suku Arab, meminta agar Presiden Moammar
Khadafi mundur dari jabatannya. Menyikapi tuntutan itu,
Presiden Moammar Khadafi memilih berkonfrontasi dengan
sebagian rakyat yang menentangnya. Maka tidak ada pilihan
lain, Negara Libya pun dilanda perang saudara.
Peduli terhadap kemelut yang berlangsung di Negara
Libya, PBB menyatakan sikap tegasnya. Organisasi bangsabangsa yang bermarkas di New York – Amerika Serikat itu
menilai Presiden Khadafi telah bertindak dzalim dan semenamena kepada rakyat yang menentangnya. Maka ketika
Presiden Khadafi memerintahkan serangan udara terhadap
kelompok oposisi Libya, serta merta pula Dewan Keamanan
PBB menetapkan larangan terbang di wilayah udara Negara
Libya. Kemudian seketika pula militer AS, Perancis dan Itali,
membentuk koalisi yang bertujuan melindungi rakyat Libya
3
yang berkonfrontasi dengan Presiden Moammar Khadafi.
Selanjutnya masih dengan alasan melindungi rakyat Libya
yang beroposisi pada pemerintahan Presiden Khadafi, koalisi
militer itu melakukan serangan terhadap instalasi militer
pemerintah Libya sampai berakhir dengan tewasnya Presiden
Moamar Khadafi. Sungguh tindakan yang tidak wajar
tentunya.
Gambaran aktual di atas, menunjukkan bahwa menapak
abad 21 atau millennium ke tiga, dinamika politik dunia
banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Di
antaranya adalah kompetisi
antarnegara, antarbangsa.
Kompetisi yang memperebutkan pengaruh di tingkat global.
Kompetisi yang bertumpu kepada kemajuan teknologi dan
pertumbuhan ekonomi. Sehingga negara yang paling memiliki
kemajuan pesat di bidang teknologi dan pertumbuhan
ekonomi, akan tampil sebagai Negara yang kuat dan paling
berpengaruh.
Perubahan dinamika politik dunia juga menimbulkan
pengaruh terhadap situasi keamanan global yang kemudian
memunculkan isyu-isyu baru. Bila pada masa lalu isyu
keamanan dunia berhubungan dengan geopolitik, geostrategis
dan kompetisi sistem persenjataan canggih, kini isyu
keamanan dunia makin berkembang. Tidak saja masalah
militer dan sistem persenjataan, tetapi meluas kepada
masalah kejahatan internasional atau jaringan kejahatan lintas
negara. Misalnya aksi terorisme, peredaran narkoba,
perdagangan manusia ( human trafficking ), pencucian uang (
money laundry ), penjualan senjata illegal dan semacamnya.
Semua itu telah menjadi ancaman serius bagi banyak negara
di dunia, termasuk Indonesia tentunya.
4
Seiring perubahan dinamika politik global, negara-negara
di dunia hanya mengenal dua jenis ancaman keamanan dan
pertahanan nasional. Yaitu ancaman tradisional
dan
ancaman non tradisional. Ada pun yang dimaksud
sebagai ancaman tradisional ialah invasi militer dengan
kecanggihan sistem persenjataannya. Sehingga dalam upaya
mengantisipasi ancaman tradisional itu, munculah kekuatan
politik dan militer di dunia yang disebut sebagai Blok Timur
dan Blok Barat ( SEATO dan NATO ). Persaingan yang
menonjol dari kedua blok itu, ialah persaingan kecanggihan
teknologi persenjataan, seperti senjata nuklir, senjata kimia,
serta senjata pemusnah massal lainnya.
Militer Rusia misalnya, mempublikasikan kecanggihan
teknologi persenjataannya melalui aksi invasi ke Republik
Afganistan, kemudian mendukung armada militer Libya,
militer Pakistan dan semacamnya. Di lain pihak, militer
Amerika Serikat juga mempublikasikan satelit mata-mata,
pesawat pengintai tanpa awak, pesawat pengebom yang tidak
bisa dideteksi oleh radar, rudal-rudal jarak jauh, serta sistem
persenjataan lainnya yang belum lama ini dibuktikan melalui
invasi ke Kuwait, Irak dan negara-negara di Timur Tengah,
Afrika dan sebagainya, atau bantuan persenjataan kepada
Israel, Filipina, Korea Selatan serta lainnya. Bahkan sampai
perlombaan menembus galaksi,dengan saling mengunggulkan
berbagai satelit ruang angkasa yang berhasil diproduksi oleh
negara-negara adi daya itu.
Tak kalah penting, Republik India juga mulai
memamerkan kekuatan armada militer dan persenjataannya,
yaitu dengan mulai membuka perseteruan kepada Pakistan,
lalu perseteruan Cina dengan Taiwan, kemudian perseteruan
Korea Utara dengan Korea Selatan, perseteruan Israel dengan
Palestina dan bahkan memaraknya perseteruan antara
5
Malaysia dengan Indonesia. Ancam – mengancam dengan
memamerkan kekuatan sistem persenjataan memang sedang
terus berlangsung.
Paska Perang Dunia II atau paruh abad 20, kompetisi
dalam kancah keamanan tradisional diterjemahkan sebagai
Perang Dingin ( Cold War ). Kalangan militer menyebut
Perang Dingin itu sebagai perang intelijen dan spionase. Maka
pada masa itu lembaga-lembaga intelijen seperti CIA, KGB,
M16, MOSSAD dan sejenisnya merupakan lembaga intelijen
paling kondang di tingkat dunia. Mereka terlibat dalam
kancah perang di balik suasana damai. Sedangkan yang
menarik dari kancah Perang Dingin itu, targetnya bukan
semata-mata penguasaan informasi tetapi juga untuk
perlombaan senjata serta pengaruh internasional. Bahkan
sasaran akhir dari Perang Dingin tersebut ialah menanamkan
pengaruh atas kemajuan teknologi dan penguasaan ekonomi.
Indonesia, negeri terbesar di kawasan Asia Tenggara, juga
pernah menjadi kancah perang dingin itu. Lengsernya
Presiden Soekarno, adalah bagian dari korban perang dingin
tersebut. Konon CIA memiliki andil besar di balik upaya
melengserkan Presiden Soekarno yang dinilai “nyeleneh” dan
terlalu berani “main mata” dengan Rusia atau Cina yang
menganut paham komunis. Di lain pihak, intelijen Rusia juga
masuk dalam kancah perang dingin di Indonesia. Melalui
agen penerbangan Aeroflot yang berkantor di Hotel Sahid
sebagai kantor penyamaran operasi KGB, di antaranya
mencoba membeli dokumen peta perairan Samudra Hindia
dari
seorang
perwira
Angkatan
Laut
yaitu
Let.Kol.AL.Susdaryanto. Dokumen tersebut direncanakan
untuk menjadi pedoman pelayaran kapal selam Rusia. Kedua
hal tadi hanya sebagian contoh kasus kancah perang dingin
yang pernah terjadi di Indonesia.
6
Singkat kata masih banyak kasus lainnya yang sampai saat
ini tetap tersimpan menjadi arsip dokumen rahasia di Badan
Intelijen Negara ( BIN ).
Pada lain pihak, yang tak kalah penting juga tentunya,
ialah ancaman non tradisional atau nir militer yang mulai
berkembang sejak akhir abad 20. Yakni ketika munculnya aksi
terorisme sebagai perjuangan politik dan ideologi. Misalnya
aksi teror yang dilakukan para pejuang pembebasan Irlandia
dari Pemerintah Inggris. Aksi pejuang Libya yang menentang
Raja Kemal Idris ditahun 1960-an serta melawan penetrasi
Pemerintah Amerika Serikat, hingga gerakan pembebasan
Palestina terhadap invasi Israel. Bahkan kini, terorisme yang
membawa isyu pertentangan agama kian menjadi ancaman
non tradisional bagi banyak negara di dunia, khususnya paska
Tragedi 11 September 2002 di kota New York. Meskipun
kemudiannya, ada sejumlah sumber informasi menyebutkan
bahwa isyu pertentangan agama hanyalah sebagai “kedok”
atau manipulasi atas berbagai aksi terorisme . Karena ternyata
aksi-aksi tersebut merupakan produk intelijen Pemerintah
AS untuk menjadi alasan melaksanakan invasi militer kepada
negara-negara di Timur Tengah yang dianggap sebagai
jaringan kegiatan aksi teroris. Kenapa ? Karena negara-negara
di kawasan tersebut merupakan sumber penghasil minyak dan
gas terbesar di dunia.
Selain kegiatan terorisme, ancaman non tradisional
lainnya adalah juga meliputi aksi kejahatan internasional yang
membahayakan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di
antaranya jaringan peredaran narkoba, perdagangan manusia
( human trafficking ), penyelundupan dan perdagangan senjata
illegal, pencucian uang ( money laundry ) serta sejenisnya.
Sehingga dalam peta keamanan dunia, di permulaan abad 21
ini kegiatan ancaman non tradisional tidak lagi semata-mata
7
pertarungan antarnegara, tetapi juga pertarungan para aktor
intelektual yang sangat berpengaruh karena memiliki
dukungan teknologi super canggih serta kekuatan finansial
yang sangat besar. Para aktor intelektual itu umumnya adalah
kalangan pemilik modal yang tujuan utamanya adalah
mencari keuntungan ekonomi yang sebanyak-banyaknya
dengan menghalalkan berbagai cara.
Alhasil kegiatan aksi ancaman non tradisional menjadi
sangat rumit dan sulit dideteksi. Yakni siapa melawan siapa ?
Kenapa dan untuk apa ? Karena antara kepentingan pengaruh
suatu negara terhadap negara lain. menjadi rancu bagai
lingkaran setan dengan kepentingan aktor-aktor intelektual
yang juga memainkan peran di balik kancah ancaman non
tradisional tersebut. Sebagai contoh, ada seorang pedagang
senjata yang cukup kondang di dunia internasional yaitu :
Adnan Kashogi.
Untuk kepentingan berbagai bisnisnya , tokoh yang
bernama Adnan Kashogi tersebut mampu mendanai lahirnya
suatu pemberontakan bersenjata dalam suatu negara,
khususnya negara miskin atau pun negara berkembang.
Saat ini kancah ancaman non tradisional kian
dikendalikan oleh banyak tokoh seperti Adnan Kashogi
tersebut. Tidak saja untuk kegiatan aksi bersenjata, tetapi juga
di bidang politik, teknologi informatika dan telekomunikasi,
industri pertahanan, ekonomi perbankan, industri manufaktur
serta perdagangan umum, sosial budaya dan masih banyak
lagi. Namun inti dari semua itu, tak lain tak bukan ialah
bertujuan untuk penguasaan ekonomi. Baik dari suatu negara
terhadap negara lain, mau pun dari suatu jaringan aktor
intelektual kepada suatu masyarakat atau pun suatu bangsa.
8
Kondisi ancaman non tradisional tersebut – mau tidak
mau – juga berlangsung di Indonesia, negeri yang kita cintai
ini. Sehingga untuk itu perlu digalang dukungan kekuatan
seluruh komponen bangsa demi menunjang pertahanan dan
keamanan nasional yang disebut sebagai Kesadaran Bela
Negara sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 3. Bahwa setiap Warga
Negara Indonesia berhak dan wajib turut serta dalam
kegiatan pembelaan Negara terhadap ancaman dan
serangan musuh, dari dalam mau pun luar negeri.
Agar upaya teknis pembelaan negara tersebut memiliki
formatnya yang jelas serta memiliki payung hukum,
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan R.I. mengajukan
usulan Undang-Undang Komponen Cadangan dan UndangUndang Komponen Pendukung yang saat ini masih dalam
taraf proses perumusan di Komisi I DPR R.I. Seandainya
Undang-Undang Komponen Cadangan dan Undang-Undang
Komponen Pendukung sudah mendapat pengesahan Rapat
Paripurna DPR R.I. dan sudah layak diundangkan serta
ditetapkan Peraturan Pelaksanaannya, maka penjabaran teknis
dari Undang-Undang No.3 / Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara akan semakin jelas dan dapat dilaksanakan optimal.
Karena melalui Undang-Undang No.3/Tahun 2002 dan
Undang-Undang Komponen Cadangan serta Undang-Undang
Komponen Pendukung itu, peran TNI sebagai Komponen
Utama semakin lebih kongkret dan peran serta masyarakat
sebagai Komponen Cadangan juga semakin memiliki
formatnya yang jelas. Hal itu seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No.3 – Tahun 2002,
tentang Pertahanan Negara – Bab I – Pasal 1 yaitu : ”
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang
bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah dan sumber daya nasional
lainnya, serta
dipersiapkan secara dini
oleh
pemerintah
dan
9
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah
dan
berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari
segala ancaman.”
Ada pun tujuan dari penulisan buku ini, tak lain hanya
untuk kembali mengingatkan kepada semua komponen
bangsa Indonesia, agar senantiasa bersatu padu memperkuat
pertahanan negara dari segala bentuk ancaman, baik ancaman
dari luar mau pun ancaman dari dalam negeri sendiri. Karena
bila melihat perkembangan dunia internasional saat ini,
selayaknya
kita mewaspadai segala hal yang sedang
berlangsung di seluruh penjuru dunia.
Di Afrika dan khususnya lagi di kawasan Timur
Tengah, sedang berlangsung gejolak politik. Bahkan gejolak
politik yang terjadi di Libya, justru mengundang keterlibatan
koalisi militer asing terhadap negara Lybia tersebut. Sudah
bisa diterka tentunya, apa kira-kira motivasi koalisi asing turut
serta ambil peran terhadap gejolak politik di negeri Lybia.
Bukan kecurigaan berlebihan kiranya, bila di suatu
waktu Indonesia juga bisa mengalami hal yang sama seperti
di Negara Libya. Karena secara geografis, posisi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan posisi
strategis yang berada di antara dua benua yaitu Benua Asia
dan Benua Australi, serta Samudra Hindia. Memiliki wilayah
kelautan yang luas dan strategis, seperti Selat Malaka, Selat
Kalimantan, Selat Makassar dan Samudera Hindia yang
menjadi sarana lalu-lintas transportasi
perdagangan
antarnegara. Secara geopolitik, merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dan memiliki pengaruh di kawasan Asia
Tenggara. Sedangkan dari sisi sumber daya alam, memiliki
kekayaan aneka ragam sumberdaya alam yang menjadi
10
kebutuhan negara-negara di dunia. Misalnya sumberdaya
minyak bumi, gas alam, emas, batubara, bauksit, mangan,
timah, uranium dan sebagainya. Termasuk juga dari
sumberdaya hasil perkebunan, hutan belantara, kekayaan laut
serta banyak lagi. Sehingga tidak diragukan, banyak negara
kuat atau pun aktor-aktor intelektual di jaringan internasional
yang memiliki banyak kepentingan terhadap negeri kita ini.
Maka sebelum apa yang diperkirakan itu akan terjadi,
selayaknya seluruh komponen bangsa digalang untuk bersatu
padu menghadapi segala kemungkinan buruk yang bisa saja
terjadi menimpa negeri ini. Segala sesuatu yang berpotensi
merongrong dan menodai kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Seperti kata Bung Karno dulu ; “
Bersatu kita kuat, kuat karena bersatu !”. Dan untuk
mencapai persatuan Indonesia, hendaknyalah di antara para
pemimpin bangsa membangun kembali rasa saling percayamempercayai, mengabaikan segala kecurigaan dan
menjauhkan sikap kemaruk terhadap kekuasaan.
Di akhir kata, tidak lupa pula saya sampaikan ucapan
terimakasih sebesar-besarnya kepada para sahabat saya di
Kantor Kementerian Pertahanan R.I. – Direktorat Jenderal
Potensi Pertahanan yang selalu menyediakan waktu untuk
berdiskusi dan bertukar pikiran, yaitu Bapak Brigadir Jenderal
TNI Santoso, Kolonel Inf Iwan Barley, Kolonel TNI AL
Darsono, Kolonel TNI AU Sugeng, Kolonel TNI AL
Hj.Hasnah Cupa dan lain-lain yang tidak dapat saya sebutkan
satu per satu. Kemudian terimakasih pula kepada rekan-rekan
perwira di PUSDIK KOPASSUS Batujajar – Bandung yang
turut memberikan simpati terhadap penyusunan buku ini.
Demikian juga kepada Wulansari Dewi S.IP yang senantiasa
membantu mengupayakan bahan dan referensi dari berbagai
sumber pustaka dan sumber internet, begitu pula kepada
11
Teguh Santosa S.IP. yang juga kerap menjadi teman bertukar
pikiran. Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan yang
telah diberikan selama ini. Amin.
Semoga buku ini akan memberi manfaat dan menggugah
kembali semangat kebangsaan kita, bangsa Indonesia yang
berdaulat.
Bandung, 2011.
Salam penulis :
Yan Daryono
12
DAFTAR ISI
- Pengantar Penulis
- Daftar Isi
- Bergulirnya Reformasi 98
- Kondisi Politik Nasional Paska Reformasi
- Islam Radikal dan Terorisme
- Gerakan Komunisme
- Memahami Neo Liberalisme
- Menyikapi Ancaman dan Tantangan
Abad 21
- Membangun Pertahanan Semesta
13
Bergulirnya Reformasi 98
Saat itu di penghujung tahun 1997, paska PEMILU
yang dimenangkan oleh GOLKAR. Suasana politik masih
dalam eforia kemenangan yang sangat menakjubkan. Program
“kuningisasi nasional” mencapai sukses luar biasa. Konon,
GOLKAR memperoleh hampir 75% suara pemilih. Sangat
fantastis, tapi begitulah adanya. Ketika itu Pak Harto selaku
Ketua Dewan Pembina GOLKAR sangat senang, sementara
Pak Harmoko yang menjabat sebagai Ketua Umum
GOLKAR saat itu mengembangkan senyum kebanggaan di
panggung politik nasional. Kondisi tersebut seakan menjadi
puncak suksesi kepemimpinan Presiden Soeharto selama masa
Orde Baru. Kemenangan GOLKAR dalam PEMILU 1997 juga
akan dijadikan sebagai titik awal program tinggal landas.
Awal krisis reformasi
Namun selang beberapa bulan kemudian, suasana
eforia itu pun berubah. Hutang luar negeri para pengusaha
swasta nasional telah jatuh tempo pembayaran. Jumlahnya
14
diperkirakan mencapai 82,2 milyar dolar Amerika sebagai
pembengkakan hutang yang dibuat sejak tahun 1975.
Di saat bersamaan, dunia dilanda krisis moneter.
Bursa saham di Wallstreet mengalami penurunan, demikian
juga di tempat-tempat penjualan saham lainnya di belahan
dunia ini, termasuk di Indonesia tentunya. Maka secara pelan
dan pasti, Indonesia pun mulai dilanda krisis ekonomi
nasional.
Cadangan dolar AS di pasar uang nasional mau pun di
Bank Sentral menipis. Para pengusaha swasta berlomba-lomba
memburu dolar untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang
luar negeri mereka. Kondisi demikian menjadikan nilai tukar
dolar Amerika terhadap mata uang rupiah bergerak cepat yaitu
dari 2.500 rupiah per satu dolar Amerika, meningkat pesat
menjadi 3.500 rupiah per satu dolar Amerika, terus bergeser
lagi menjadi 6000 rupiah per satu dolar Amerika sampai
akhirnya mencapai puncaknya yaitu 16 ribu rupiah per satu
dolar Amerika. Demikian pula halnya dengan hutang luar
negeri Pemerintah Orde Baru yaitu senilai 65,7 milyar dolar
Amerika untuk hutang bilateral/multilateral dan 972,2 trilyun
rupiah untuk hutang obligasi.
Sejak tahun 1991 sampai 1997, Pemerintah Orde Baru
menyicil hutangnya dengan melakukan privatisasi sejumlah
BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional. Dan
karena modal ditarik untuk pembayaran hutang yang sudah
jatuh tempo itu, maka berbagai kegiatan usaha swasta di
kelompok hulu dan BUMN mulai menyusut. Tidak sedikit
perusahaan manufaktur yang mulai mengurangi kapasitas
produksi, mengurangi karyawan dengan melakukan PHK dan
sebagainya. Bahkan para investor asing juga mulai hengkang
dari republik ini, memindahkan investasinya ke negara lain
15
seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia dan sejenisnya.
Maka aksi PHK pun kian merebak.
Industri
dan
perdagangan, khususnya yang
menyangkut produk ekspor, mengalami kelesuan fatal. Di sisi
lain, cadangan devisa di Bank Indonesia pun kian menipis. Di
saat inilah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,
khususnya dolar Amerika, makin merosot tajam dari waktu ke
waktu. Pada paruh pertengahan tahun 1998 misalnya, ketika
nilai tukar rupiah mencapai 16 ribu rupiah per dolar AS
menjadi puncak krisis ekonomi di Indonesia.
Keterpurukan ekonomi nasional
Tingginya demand dan rendahnya suplay, khususnya
dalam hal pengadaan sembako dan kebutuhan hidup harian
lainnya, menimbulkan kepanikan masyarakat. Biaya hidup
menjadi mahal. Jika sebelumnya dengan uang sepuluhribu
rupiah, masyarakat menengah bawah bisa dua sampai tiga kali
belanja ke warung, maka sekarang dengan uang limapuluh ribu
rupiah hanya bisa satu kali berbelanja ke warung untuk
kebutuhan yang sama. Ya, bayangkan saja harga minyak goreng
curah yang semula hanya tiga ribu rupiah per kilogramnya bisa
melambung menjadi duabelas ribu rupiah per kilogramnya.
Di lain pihak, aktifitas ekonomi dan kehidupan
keseharian yang mengandalkan suku cadang atau bahan baku
impor, untuk barang elektronik dan otomotif, mau tidak mau
juga terkena imbas kondisi ekonomi yang dilanda krisis itu.
Produk suku cadang impor menjadi langka di pasaran dan
harganya pun melambung menyesuaikan diri dengan kenaikan
nilai tukar mata uang dolar AS. Sedangkan ekspor produk
nasional ke luar negeri menurun dikarenakan kondisi ekonomi
nasional yang terpuruk itu. Sangat dilematis.
16
Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk
lagi, ketika IMF ( International Monetary Fund ) mengajukan
usul 50 butir kesepakatan kepada Pemerintah R.I. untuk
mengatasi krisis ekonomi nasional. Karena dari 50 butir
kesepakatan yang diusulkan itu, ternyata sebagian besar
menempatkan posisi Indonesia dalam kondisi yang tidak
menguntungkan dan bahkan makin melemahkan perekonomian
nasional. Di antaranya dengan penghapusan subsidi BBM yang
sekaligus memberi peluang masuknya modal perusahaan
multinasional seperti Shell. Kemudian menekan kebijakan
pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN seperti
Indosat, Telkom, BNI, PT.Tambang Timah, PT.Aneka Tambang
hingga Perusahaan Listrik Negara dan sebagainya,
Akhirnya untuk mengatasi perekonomian nasional yang
kian terpuruk karena ketidak mampuan para pengusaha swasta
nasional di hulu, Pemerintah pun menetapkan kebijakan yang
sangat beresiko tinggi. Melalui Departemen Keuangan,
Pemerintah me-likwidasi 15 bank swasta nasional yang sedang
mengalami krisis keuangan. Masyarakat yang menjadi nasabah
kelimabelas bank swasta nasional tersebut panik. Kepanikan
pun menjalar. Banyak nasabah dari berbagai bank, swasta mau
pun pemerintah, yang mulai menarik simpanannya. Rush terjadi
dimana-mana.
Munculnya gerakan moral
Berawal dari krisis ekonomi tadi, gejolak sosial pun
mulai muncul. Para pekerja mulai melakukan aksi unjuk rasa
karena menjadi korban PHK dan perusahaan tidak mampu
membayar pesangon mereka selayaknya ketentuan UndangUndang Ketenagakerjaan yang berlaku.
Di lain pihak, para petani dan peternak juga tak kalah
sengit. Kenaikan harga pupuk dan pakan ternak, mendorong
17
aksi protes mereka kepada Pemerintah. Sampai akhirnya,
karena krisis yang sudah menjelma menjadi lingkaran setan
itu, gelombang aksi protes kepada Pemerintah datang dari
berbagai penjuru, semakin membesar dan meluas.
Dimulai dari aksi unjuk rasa di dalam kampus, berlanjut
hingga ke luar kampus yaitu ke jalan dan ke tempat publik
lainnya. Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri
mau pun swasta menggalang kekuatan bersama. Aksi unjuk
rasa yang terorganisir makin meluas dan mengancam stabilitas
keamanan nasional. Para investor asing semakin mencemaskan
keadaan sosial dan politik di Indonesia, lalu memutuskan
hengkang dari negeri ini. Demikian pula para nasabah bursa
saham, melepas sahamnya dengan harga murah memilih
mengalihkannya ke negara lain.
Indonesia semakin dilanda berbagai krisis. Krisis ekonomi,
krisis politik dan krisis sosial Bahkan krisis kepercayaan dari
dunia internasional. Banyak warga keturunan dan warga asing
melakukan eksodus besar-besaran karena merasa di Indonesia
sudah tidak aman lagi.
Kepemimpinan Presiden Soeharto menghadapi ujian
yang sangat berat. Sejumlah menteri dari kabinet yang baru
dibentuk, memilih mengundurkan diri. Aksi unjuk rasa
mahasiswa dan masyarakat kian merebak, menggoyahkan
stabilitas nasional.Tindakan aparat keamanan yang semula
lunak, berubah menjadi represif. Konflik horizontal antara
aparat keamanan dengan para pengunjuk rasa mulai
berlangsung di berbagai tempat. Bahkan sejumlah aktifis
mahasiswa mau pun
masyarakat yang menentang
Pemerintah, “diculik” oleh aparat keamanan. Tidak saja di
Jakarta, tapi juga di daerah seperti di kota Yogya, Surabaya
dan sebagainya.
18
Pergantian kepemimpinan nasional
Dinamika sosial yang berlangsung saat itu, mencapai
puncaknya
pada tanggal 12 Mei 1998. Yaitu ketika 4
(empat) orang mahasiswa Universitas Trisakti
tewas
tertembak peluru tajam yang entah dari mana asalnya. Massa
mengamuk dan mulai bertindak anarkhis. Penjarahan terjadi
di berbagai tempat. Pusat perbelanjaan Toko Yogya di
kawasan Klender – Jakarta Timur terbakar dan meminta
banyak korban jiwa. Demikian pula dengan pusat
perbelanjaan di Glodok Plaza serta tempat-tempat publik
lainnya. Massa yang datang bergelombang, makin mengamuk
dan merusak berbagai fasilitas umum mau pun fasilitas sosial.
Beberapa lokasi penting di sekitar kota Jakarta menjadi titik
rawan aksi massa dan menjadi ajang konflik horizontal
dengan aparat keamanan yang makin bersikap represif.
Kondisi demikian nyaris tidak berbeda dengan kondisi di
tahun 1966, ketika para mahasiswa dan masyarakat tidak
mempercayai lagi kepemimpinan Presiden Soekarno.
Sembilan hari kemudian, persisnya tanggal 21 Mei
1998, setelah gagal membentuk Dewan Reformasi, akhirnya
Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari
jabatannya. Inilah puncak gejolak sosial yang berlangsung di
masa proses reformasi tersebut. Kepimpinan nasional diganti
oleh Wakil Presiden BJ.Habibie yang kemudian dilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia, menggantikan Presiden
Soeharto yang mengundurkan diri.
Reformasi sudah bergulir. Kekuasaan Presiden Soeharto
selama 32 tahun, berakhir sudah. Orde Baru berganti menjadi
Orde Reformasi. Dan tampilnya Presiden BJ.Habibie di
panggung kepemimpinan nasional, mengemban amanat
reformasi yang antara lain : 1) Menyelenggarakan Sidang
Istimewa MPR/DPR RI dan, 2) Menyelenggarakan PEMILU
19
ulang. Selain itu Presiden BJ Habibie juga merombak susunan
kabinet yang baru satu tahun berselang dibentuk oleh
Presiden Soeharto sebagai hasil PEMILU 1997.
Namun dari tanggal 23 Mei 1998 sampai bulan Mei1999,
atau selama satu tahun Presiden BJ Habibie menjabat
menggantikan Presiden Soeharto, ternyata ada beberapa
masalah besar yang menyudutkan posisi Presiden BJ Habibie
di masa pemerintahannya itu. Pertama, mengenai korupsi
Dana BULOG yang menyeret Ir.Akbar Tanjung selaku
Mensesneg dan Ketua Umum GOLKAR menjadi tahanan
Kejaksaan Agung R.I. lalu yang ke dua, ialah lepasnya
Propinsi Timor Timur yang kalah dalam jajak pendapat
rakyat Timor Timur. Bahkan pada setahun masa
pemerintahannya, Presiden BJ.Habibie juga melakukan
pinjaman dana internasional yang cukup besar dibanding
pinjaman di masa pemerintahan Presiden Soeharto yang
berlangsung selama 32 tahun. Maka karena sejumlah hal itu
pula yang membuat Laporan Pertanggung Jawaban Presiden
BJ. Habibie dikecam keras oleh anggota MPR/DPR R.I. hasil
PEMILU 1999.
Kemelut politik era reformasi
Sidang MPR/DPR R.I. hasil PEMILU 1999, akhirnya
memilih dan memutuskan Kyai Haji Abdurachman Wahid
sebagai Presiden R.I. menggantikan Prof.DR.Ir BJ.Habibie,
lalu Megawati Soekarnoputri ( Ketua Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ) sebagai Wakil Presiden R.I. Sementara
Prof.DR.H.Amien Rais ( Ketua Partai Amanat Nasional )
menjadi Ketua MPR R.I. dan Haji Matori Abdul Djalil
( Ketua Partai Kebangkitan Bangsa) menjadi Ketua DPR R.I.
Pemerintahan Kyai Haji Abdurahman Wahid ( Gus
Dur ) tidak berjalan mulus. Baru beberapa bulan dilantik
20
menjadi Presiden RI menggantikan Presiden BJ.Habibie, Gus
Dur melikwidasi Departemen Penerangan dan Departemen
Sosial. Kemudian menyusul PT Dirgantara Indonesia dan PT
PAL. Padahal kedua perusahaan BUMN itu dibangun
Presiden Soeharto pada masa pemerintahannya, sebagai
perusahaan industri strategis.
Tindakan Gus Dur mendapat kecaman keras dari
banyak pihak, termasuk dari lembaga legislatif. Demikian
pula dengan kebijakan-kebijakannya yang lain, yang dinilai
kontroversil dan menyimpang dari cita-cita serta tujuan
reformasi.
Akhirnya konflik Gus Dur dengan lembaga legislatif
mencapai puncaknya. Sidang Istimewa MPR RI memutuskan
memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden R.I. lantas
melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI dan
Drs.H.Hamzah Haz ( Partai Persatuan Pembangunan ) sebagai
Wakil Presiden. Pada masa pemerintahannya itu, Departemen
Penerangan yang telah dilikwidasi Gus Dur menjadi Badan
Informasi dan Komunikasi Nasional ( BIKN ), dibentuk
kembali dengan nama Kementerian Komunikasi dan
Informasi. Departemen Sosial diselenggarakan kembali,
demikian pula halnya dengan kegiatan PT. Dirgantara
Indonesia serta PT.PAL, kembali diaktifkan namun
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisinya.
Presiden Megawati Soekarnoputri hanya memerintah
selama 3 (tiga) tahun lebih beberapa bulan. Pada PILPRES
tahun 2004 yang dipilih langsung oleh rakyat, ia tidak terpilih.
Saat ini sosok Jenderal Purnawirawan Soesilo Bambang
Yudhoyono ( SBY ) dan pasangannya Drs.Muhammad Jusuf
Kala ( MJK ), terpilih menjadi Presiden serta Wakil Presiden
R.I.
21
Babak transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi
berakhir di sini. Pasangan SBY dan MJK yang diusung Partai
Demokrat, yang dalam PEMILU 2004 masih berada pada
peringkat ke tujuh, mampu mengusung pasangan tersebut
menjadi Presiden serta Wakil Presiden R.I. Padahal PEMILU
legislatif yang diselenggarakan sebelumnya, menempatkan
Partai GOLKAR dan PDIP pada urutan pertama dan ke dua.
Tetapi baik Partai GOLKAR mau pun PDIP tidak berhasil
mengusung CAPRES dan CAWAPRESnya dalam Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yang baru
pertama kali diselenggarakan di republik ini. Seiring itu pula
dinamika politik nasional di Indonesia telah mengalami
perubahan besar.
***
22
Kondisi Politik Nasional Paska Reformasi
Pembahasan tentang kondisi politik nasional paska reformasi
dibatasi pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2011.
Dalam rentang waktu selama duabelas tahun itu, akan
tergambarkan dengan jelas seperti apa kondisi politik nasional
dan perbandingannya dengan kondisi sebelum reformasi atau
pada masa Orde Baru.
Eforia reformasi politik
Tahun 1999 adalah tahun eforia reformasi. Demokrasi
politik negeri ini, memberi peluang terbentuknya partai-partai
politik baru yang dimasa Pemerintahan Orde Baru hanya
dibatasi menjadi tiga kekuatan sosial politik yaitu sebagai hasil
fusi partai-partai politik warisan Orde Lama. 1) Partai
Persatuan Pembangunan yang merupakan hasil fusi dari
partai-partai politik bernafaskan agama Islam, 2) Golongan
Karya yang bukan berstatus sebagai partai, tetapi organisasi
masyarakat yang juga memiliki kekuatan politik, dan 3) Partai
23
Demokrasi Indonesia sebagai hasil fusi partai-partai yang
berhaluan nasionalis dan non muslim.
Namun pada masa eforia reformasi itu , terbentuk sebanyak
48 partai politik yang menjadi peserta PEMILU tahun 1999.
Partai Demokrasi Indonesia yang mengalami perpecahan
karena konflik antara kubu Drs.Suryadi dengan kubu Megawati
Soekarnoputri yang akhirnya bermuara pada Peristiwa 27 Juli
1997 telah melahirkan tandingannya yaitu Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ( PDIP ) yang dibentuk oleh Megawati
Soekarnoputri bersama para pendukungnya. Di lain pihak,
GOLKAR yang dipimpin oleh Ir.Akbar Tandjung mengubah
formatnya dari organisasi massa menjadi organisasi politik
dengan nama Partai GOLKAR sebagai perwujudan GOLKAR
BARU. Partai Persatuan Pembangunan masih tetap dalam
format sebelumnya walau sempat dilanda konflik
kepemimpinan partai yaitu antara DJ Naro dengan KH.Ismail
Hasan Mentarum. Sementara ormas Islam seperti Nahdlatul
Ulama melahirkan organisasi politik dengan nama Partai
Kebangkitan Bangsa ( PKB ), demikian pula halnya dengan
Muhammadiyah melahirkan organisasi politik dengan nama
Partai Amanat Rakyat ( PAR ) lalu berganti nama menjadi
Partai Amanat Nasional ( PAN ). Singkat kata, banyak sekali
partai politik bermunculan. Bahkan partai-partai politik yang
dimasa pemerintahan Presiden Soeharto telah difusikan, kini
muncul kembali, memisahkan diri dari partai hasil fusi.
Contohnya Partai Nasional Indonesia (PNI), memisahkan
diri dari Partai Demokrasi Indonesia. Partai Syarekat Islam
Indonesia memisahkan diri dari Partai Persatuan Pembangunan
dan banyak lagi. Sungguh tahun yang disemaraki eforia
reformasi.
Apa yang selama masa Orde Baru dilarang di kancah
perpolitikan nasional, di era reformasi ini menjadi boleh. Sebut
saja munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan
24
Budiman Soedjatmiko. Pada awal reformasi ia menjadi aktifis
yang diburu aparat keamanan karena sikap ideologinya yang
kekiri-kirian,
bersama
sejumlah
aktifis
mahasiswa
pendukungnya dengan persepsi ideologi yang sama. Bersamaan
itu muncul pula Partai Keadilan (PK) yang selanjutnya
menjadi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ). Partai politik
yang dibentuk oleh para pemuda aktifis mesjid di kampuskampus seluruh Indonesia itu, menampilkan para intelektual
muda muslim yang kritis dan memiliki persepsi politik Islam
yang modern tapi bukan sekular.
Partai politik di negara mana pun di belahan bumi ini,
adalah suatu lembaga yang menjadi wadah penyalur aspirasi
rakyat dalam kehidupan berdemokrasi, sekaligus sebagai “alat”
untuk mencapai kekuasaan. Oleh karena itu, dalam suatu
negara demokrasi, partai politik memiliki peranan yang sangat
penting. Dan untuk membangun eksistensi suatu partai politik,
dibutuhkan dukungan dari rakyat sebagai para konstituennya.
Tanpa dukungan rakyat, partai politik tidak berarti apa-apa.
Sedangkan dukungan rakyat akan berhasil diperoleh oleh partai
politik, melalui mekanisme demokrasi yang bernama PEMILU.
PEMILU tahun 1999, ramai disemaraki kurang lebih 48
partai politik. Sangat berbeda jauh dengan PEMILU pada
masa Orde Baru yang hanya diikuti oleh 2 (dua) partai politik
dan 1 (satu) golongan karya.
Pada PEMILU di masa Orde Baru sudah bisa dipastikan
Golongan Karya yang akan menang karena memang sudah disetting untuk menang. Sehingga PEMILU di masa Orde Baru
dianggap sebagai PEMILU formalitas untuk melegitimasi
kemenangan Golongan Karya. Dengan kata lain, PEMILU
dimasa Orde Baru hanya untuk menunjukkan kepada dunia
internasional, bahwa Indonesia masih sangat menjunjung
demokrasi. Hampir sebagian besar rakyat Indonesia yang
25
memiliki hak pilih, seakan memang lebih percaya dan memilih
GOLKAR sebagai wadah aspirasi politiknya saat itu.
Sedangkan pada PEMILU tahun 1999, jauh berbeda
dengan PEMILU pada masa Orde Baru. Ada 48 partai politik
ikut ajang PEMILU untuk memperebutkan kursi di legislatif.
Maka tidak salah tentunya, jika pertarungan demokrasi politik
dalam PEMILU 1999 itu disebut sebagai “perang” antar partai
politik. Di sisi lain, eforia reformasi masih kental mewarnai
dinamika politik nasional saat itu.
Masyarakat memang sedang merasakan kebebasan
berdemokrasi. Kebebasan yang tidak dialami di masa Orde
Baru. Tetapi disadari atau tidak disadari, kebebasan itu menjadi
kebablasan. Etika berkampanye mulai diabaikan. Antar kader
dan
jurkam dari masing-masing partai politik peserta
PEMILU, mulai tidak segan atau tidak sungkan mengecam dan
memburuk-burukkan lawan politiknya dengan berbagai
pernyataan kepada publik umum. Mungkin itu yang disebut
sebagai “perang syaraf” ( phsywar ) dalam peperangan
demokrasi politik era reformasi.
Akhirnya PEMILU 1999 dimenangkan oleh PDIP yang
menempati urutan teratas yaitu memperoleh 33,7% suara
pemilih, kemudian Partai GOLKAR menempati urutan ke dua
dengan perolehan suara sebanyak 22,3 %, PKB menempati
urutan ke tiga dengan perolehan suara sebanyak 12,6%,
menyusul PPP di urutan ke empat dengan perolehan suara
10,7% dan PAN pada urutan ke lima dengan jumlah suara
sebanyak 7,2%. Itulah lima partai besar dalam PEMILU 1999.
Mencermati komposisi perolehan suara dari kelima partai
besar itu, nyaris tidak jauh berbeda dengan kondisi pada
PEMILU 1955 yang diikuti oleh 172 partai atau kontestan. Saat
itu Partai Nasional Indonesia ( PNI ) memperoleh dukungan
26
suara sebanyak 22,3%, Masyumi 20,9%, Nahdlatul Ulama
18,4% dan Partai Komunis Indonesia 15,4%. Maka baik pada
PEMILU 1955 yang diikuti 172 partai, dan PEMILU 1999
yang diikuti oleh 48 partai, tidak ada partai yang menunjukkan
kemenangan meyakinkan. Karena pada umumnya, perolehan
suara masih di bawah 50%. Jika menurut kalkulasi politik, hasil
PEMILU 1999 itu menjadi fenomena kondisi politik yang
kurang positif.
Kendati PDIP merupakan partai pemenang PEMILU 1999,
namun pada saat diselenggarakan sidang paripurna MPR/DPR
R.I. memilih Presiden dan Wakil Presiden R.I., ternyata PDIP
tidak mampu mengusung
Ketua Umumnya Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden R.I. Bahkan yang mendapat
dukungan suara lebih banyak adalah K.H.Abdurahman Wahid
yang di lembaga legislatif saat itu duduk di Fraksi Utusan
Golongan.
Konspirasi di legislatif
Kekalahan PDIP dalam sidang paripurna tersebut, karena
kecerdasan Prof.DR.Amien Rais yang memprakarsai
penggalangan suara di legislatif melalui poros tengah, yaitu
partai-partai peserta PEMILU 1999 di luar PDIP dan Partai
GOLKAR, berkoalisi untuk mendukung KH.Abdurahman
Wahid sebagai Presiden R.I. Koalisi partai di legislatif ini
memang terbukti berhasil. Partai pemenang PEMILU yang
memiliki jumlah kursi terbanyak di legislatif, tidak mampu
mengusung Ketua Umumnya sebagai Presiden R.I.
Menolak kekalahan itu, massa PDIP di Jakarta, Solo dan
Medan, melakukan aksi protes yang anarkhis. Sehingga demi
menjaga stabilitas nasional, akhirnya partai-partai di legislatif
itu sepakat mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil
27
Presiden R.I. mendampingi KH.Abdurahman Wahid. Begitulah
yang terjadi dalam ajang demokrasi politik nasional saat itu.
Pada periode tahun 1999 sampai tahun 2004, dinamika
politik nasional masih tetap hangat. Terlebih pada awal Gus
Dur dilantik jadi Presiden R.I., kebijakan sang Kyai Presiden
itu sering mendapat kritik dan cercaan dari para anggota
legislatif. Sampai pada tahun 2001, situasi politik nasional
berada di titik rawan dalam perseteruan antara Presiden Gus
Dur dengan lembaga legislatif. Presiden Gus Dur mengancam
akan melakukan dekrit pembubaran legislatif seperti yang
pernah dilakukan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959,
yaitu dekrit membubarkan konstituante. Namun lembaga
legislatif tidak ambil peduli, bahkan akhirnya mereka
melengserkan Presiden Gus Dur lalu menggantikannya dengan
Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Presiden R.I.
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
berlangsung dari tahun 2001 sampai 2004. Selama rentang
waktu tiga tahun itu, suhu politik nasional tidak sepanas seperti
sebelumnya. Kecuali meningkatnya
masalah korupsi di
lingkungan pemerintahan dan legislatif , aksi teror, kenaikan
BBM sampai tiga tahap, berlanjutnya konflik bersenjata di
Aceh, konflik bersenjata di Papua dan semacamnya.
Korupsi, terorisme, dan bencana alam.
Ada tiga aspek penting yang kemudian menjadi masalah
menonjol di era Pemerintahan Presiden SBY dan MJK yaitu
terorisme, bencana alam, dan korupsi yang merajalela. Ketiga
aspek penting itu sangat mewarnai kondisi politik nasional
paska reformasi, khususnya dari tahun 2004 sampai 2009.
28
Dalam kegiatan kampanye PILPRES 2004, SBY dan
MJK sama-sama mengangkat isyu akan memberantas korupsi
sampai ke akar-akarnya. Untuk itu tidak ada pola tebang pilih,
atau penindakan diskriminatif terhadap pemberantasan korupsi.
Siapa pun yang memang terbukti bersalah, pasti ditindak tanpa
kecuali. Hukum - demikian isyu yang disampaikan saat
kampanye - akan menjadi Panglima Keadilan.
Demi mewujudkan janji kampanye tersebut, Presiden
SBY dan wakilnya JK, mendukung dan memperkuat eksistensi
KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi) suatu lembaga ad hoc
yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Satu demi satu para petinggi dari berbagai
daerah seperti Bupati, Walikota dan Gubernur, mulai diajukan
ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ( TIPIKOR ). Begitu pula
halnya dengan para politisi yang terlibat konspirasi korupsi
dengan pejabat pemerintah dan kalangan pengusaha, satu demi
satu mulai dihadapkan ke Pengadilan TIPIKOR.
Namun demikian, ternyata “penyakit” korupsi belum bisa
diberantas habis seperti yang dijanjikan dalam isyu kampanye.
Tidak sedikit pihak LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan
pengamat yang menilai bahwa pihak KPK masih melakukan
pola tebang pilih dalam melaksanakan perannya. Artinya masih
ada tindak pidana korupsi yang jauh lebih besar dan sangat
merugikan negara, tapi justru belum disentuh oleh lembaga
KPK tersebut. Mungkin karena pengaruh tekanan pihak-pihak
yang berkuasa, atau memang lembaga tersebut tidak memiliki
keberanian karena kesantunan adat Timur.
Pada tahun 2009 misalnya, masalah korupsi yang
menghangat adalah kasus penyuapan para pejabat Bank
Indonesia kepada sejumlah anggota legislatif dalam rangka
mensukseskan Undang-Undang Bank Indonesia. Mantan
Gubernur BI beserta para deputy yang terlibat terkena sanksi
29
hukuman pidana, begitu juga halnya dengan para anggota
legislatif terkait kasus tersebut juga dikenakan sanksi pidana
yang tidak jauh berbeda.
Satu tahun berikutnya, tahun 2010, masalah korupsi yang
menjadi sorotan publik ialah kasus pengadaan alat komunikasi
di Kementerian Kehutanan R.I. yang mengusung nama
Anggoro, pemilik perusahaan PT.MASARO sebagai pengusaha
yang memenangkan tender tidak sah di kementerian tersebut.
Mencuatnya kasus itu karena terungkapnya upaya Anggodo,
adik Anggoro, yang melakukan perbuatan “makelar kasus”
yaitu berupa percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK.
Bahkan pada penghujung tahun 2010, masyarakat
kembali dihebohkan dengan kasus korupsi di Bank Century
serta perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pegawai Ditjen
Pajak yaitu Gayus Tambunan. Hingga awal tahun 2011 ini,
semua kasus tersebut belum kunjung tuntas. Proses penyidikan
masalah kasus-kasus korupsi itu, tidak lagi semata-mata
menjadi fokus ranah hukum tetapi juga sudah menjadi masalah
politik.
Pada awal bulan April 2011, tiba-tiba mencuat kasus
penggelapan dana nasabah Citibank yang dilakukan oleh Inonk
Melinda Dee, supervisi manager gold card Citibank.
Diperkirakan dana yang digelapkan mencapai lebih dari 20
milyar rupiah. Dan uniknya, atas kasus tersebut hanya dua
nasabah yang melaporkan tindakan pidana Melinda Dee.
Selebihnya seperti membungkam seribu bahasa. Karena
ternyata, hubungan nasabah dengan Melinda Dee atau pun
Citibank, diindikasi sebagai aktifitas pencucian uang alias
money laundry.
Selain masalah korupsi, money laundry dan sejenisnya
yang mempengaruhi kondisi politik nasional di era reformasi,
masalah terorisme juga ikut andil memberi pengaruh. Dimulai
30
dari tahun 2001 hingga tahun 2011 ini, aksi teror yang
meresahkan masyarakat tidak kunjung berhenti. Karena
kegiatan terorisme yang melakukan aksi peledakan bom dan
meminta banyak korban luka mau pun tewas, terus saja terjadi.
Nama DR.Azahari, Noordin M Top, Dul Matin, Hambali,
Al-Faruq, Imam Samudra, Amrouzi, Ali Imron, Abu Dujana
dan sebagainya menjadi nama-nama yang dikaitkan dengan
aksi-aksi teror tersebut. Bahkan belakangan ini nama Uztad
Haji Abu Bakar Ba’asyir juga mencuat menjadi tersangka yang
mendukung dan merencanakan berbagai aksi terorisme itu.
Khususnya dalam hal pendanaan pelatihan teroris di Aceh
Besar.
Terlepas dari masalah ideologi yang menjadi
latarbelakang aksi terorisme itu, namun yang terang aksi-aksi
teror tersebut sangat memberi pengaruh besar terhadap kondisi
politik nasional pada paska reformasi. Karena upaya-upaya aksi
teror yang bertujuan menimbulkan keresahan dan kepanikan
masyarakat, telah berhasil mengganggu stabilitas keamanan
mau pun ketahanan nasional. Sehingga pada akhirnya masalah
terorisme itu pun menjadi bahasan ranah politik di lembaga
legislatif atau pun lembaga-lembaga partai politik. Khususnya
ketika
membahas
masalah
anggaran
pembiayaan
penanggulangan masalah terorisme itu.
Terkait kebutuhan anggaran yang terbilang sangat besar
untuk upaya penanggulangan terorisme itu, sementara aksi
teror terus saja terjadi setiap tahun, menimbulkan pandangan
baru dalam kancah perpolitikan nasional. Terlebih akibat
kegiatan terorisme itu masyarakat terus merasa resah dan takut.
Tidak urung dunia usaha pun mengalami kerugian yang cukup
merisaukan, karena ketidak amanan dan ketidak nyamanan
tersebut.
31
Selain masalah korupsi dan terorisme, ternyata musibah
bencana alam juga terus beruntun melanda negeri ini,
menambah daftar panjang pengaruh terhadap kondisi politik
nasional di paska reformasi. Bencana Tsunami di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Nanggro Darussalam, gempa bumi di
berbagai daerah yang menelan korban nyawa dan kerugian
material cukup besar. Misalnya gempa bumi di Sumatera Barat,
banjir bandang di Wasior, tanah longsor, letusan gunung api,
semua menjadi rangkaian bencana yang terus-menerus terjadi
sepanjang tahun 2004 sampai 2010.
Berbagai musibah bencana alam yang melanda negeri
ini, merupakan pengaruh dari perubahan iklim global yang
menjadi perhatian di seluruh dunia. Yaitu terjadinya
peningkatan pemanasan global akibat terjadinya kebocoran di
lapisan ozon, membuat lapisan es di Kutub Utara mencair dan
menimbulkan perubahan iklim di bumi. Kondisi demikian
disebut sebagai pemanasan global ( global warming ).
Perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi bumi, juga
terasa pengaruhnya di Indonesia. Selain bencana alam yang
terus menerus terjadi, gangguan terhadap kelangsungan
pertanian dan peternakan juga menjadi masalah yang serius.
Sehingga mempengaruhi produksi pangan dan ketahanan
pangan nasional. Harga-harga bahan pangan di pasar-pasar di
seluruh Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Harga
cabai misalnya, bisa mencapai 50 ribu hingga 90 ribu rupiah
per kilogramnya. Demikian pula dengan harga beras terendah,
mencapai 7.500 rupiah per kilogramnya. Harga daging ayam,
daging sapi, ikan tawar mau pun ikan laut, juga mengalami
kenaikan yang mengejutkan.
Perubahan iklim, bencana alam dan kenaikan harga bahan
pangan, ternyata juga mempengaruhi kondisi politik nasional di
paska reformasi. Pemerintah, politisi dan pengamat masalah32
masalah ekonomi, juga para pelaku ekonomi tentunya, saling
berpolemik tentang kondisi sosial dan ekonomi yang dilanda
pengaruh perubahan iklim global itu.
Maka setelah mencermati uraian tadi, akhirnya dapat
ditarik kesimpulan bahwa kondisi politik nasional paska
reformasi berlangsung dinamis dan senantiasa diwarnai
konflik di tingkat elit. Sementara di sisi lain, aktifitas terorisme
dan berbagai kejahatan lintas negara lainnya, terus saja terjadi
menimbulkan keresahan dan ketakutan di masyarakat.
Indonesia memang masih gelisah….***
Islam Radikal dan Terorisme
Tanggal 20 Oktober 2004. Jenderal TNI Purnawirawan DR.
Haji Soesilo Bambang Yudhoyono dan Drs. Haji Muhammad
Jusuf Kalla, baru saja dilantik oleh Ketua MPR.R.I. Drs.Haji
Hidayat Nur Wahid, menjadi Presiden dan Wakil Presiden R.I.
hasil PILPRES langsung tahun 2004 yang baru pertama kali
diselenggarakan di Indonesia. Dan selang beberapa bulan
kemudian, DR.Azahari – gembong teroris yang paling dicari di
republik ini – tewas dalam suatu baku tembak dengan aparat
Kepolisian R.I. di Kota Batu – Malang, Jawa Timur.
Petualangan warga Malaysia itu berakhir tragis. Namun
demikian, meskipun sang gembong telah tewas, aksi terorisme
masih saja terus berlangsung hampir di setiap tahun.
Paska berakhirnya era Orde baru memang menjadi
pertanda munculnya liberalisasi. Yaitu setiap individu mau pun
kelompok dapat bebas berekspresi dan menyalurkan aspirasi
sesuai keinginannya. Namun pada sisi lain yang bersamaan,
33
muncul pula fenomena kekerasan yang meng-atasnamakan
agama. Dimulai dari bulan Agustus 2001, terjadi ledakan bom
berdaya ledak besar di depan rumah Duta Besar Filipina.
Kemudian menyusul ledakan bom di Gereja Kathedral –
Jakarta, persis di saat malam Natal ketika para umat Katolik
sedang melaksanakan ibadahnya. Begitulah seterusnya, bom
berdaya ledak besar meletus di berbagai tempat. Di Bali,
Jakarta, Makassar dan sebagainya. Menurut data yang ada,
tercatat sejak tahun 1998 sampai tahun 2004 sudah terjadi 61
kasus ledakan bom teroris di Indonesia.
Masyarakat yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu
dengan ideologi radikal, terpaksa menjadi korban. Ada yang
tewas, luka parah, cacat seumur hidup, dan sebagainya.
Perjuangan mengatas-namakan agama, dengan kekerasan
yang sulit dimaafkan, menumbuhkan keresahan di segenap
warga bangsa ini.
Sebagai agama samawi yang datang dari langit, Islam
tidaklah mengajarkan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Bahkan pada awal kedatangannya di kawasan Nusantara ini,
justru dengan penetrasi damai. Tidak dengan kekerasan atau
pun peperangan. Para sufi, para pedagang dari Persia mau pun
dari India Selatan (Gujarat), memperkenalkan agama Islam
dengan cara-cara yang luwes dan bersahaja. Sehingga
menerbitkan perasaan simpati dari masyarakat saat itu yang
beragama Hindu atau pun Budha, juga bagi yang belum
memiliki agama. Bahkan karena ketertarikan memahami
ajaran Islam yang menawarkan kedamaian serta jalinan
persaudaraan dan gotongroyong, membuat masyarakat
Nusantara mulai menjadi penganut Islam. Dalam situasi
tersebut, politik Islam yang cerdas, menunjukkan sikap
Lebih dari setahun silam, atau persisnya dijelang akhir tahun
2010, yaitu setelah kunjungan Presiden AS Barack Obama ke
kawasan Timur Tengah dan Uni Emirat Arab, dunia
internasional menafsirkan kunjungan kenegaraan tersebut
merupakan pertanda mencairnya hubungan diplomatik Amerika
Serikat dengan dunia Islam. Karena sebelum itu, atau tepatnya
pada masa pemerintahan Presiden George Walter Bush,
hubungan Pemerintah Amerika Serikat dengan beberapa negara
di Timur Tengah sempat memanas. Misalnya konflik dengan
Pemerintah Iran, akibat invasi militer ke Negara Irak, serta
sikap keberpihakan Pemerintah AS yang mendukung Negara
Israel dalam konflik di Jalur Gaza, bahkan masih banyak lagi
alasan lainnya yang menunjukkan arogansi Amerika Serikat
sebagai polisi dunia.
Maka tidak disangsikan, kunjungan Presiden Obama
itu seakan membawa angin segar. Terlebih dalam berbagai
pidato selama masa lawatannya , Presiden Obama selalu
menyerukan pentingnya perdamaian dunia. Sangat simpatik
dan mendapat respon positif. Sehingga dunia internasional
ikut berlega hati. Terlebih lagi ketika Presiden Obama
menyatakan janji akan menarik seluruh pasukan Amerika
Serikat dari Negara Irak dan mengurangi peran intervensi
negaranya dalam konflik di Afganistan. Semua itu memang
menjadi pertanda baik.
Namun ternyata, tidak lama setelah kunjungan Presiden
Obama, Menlu AS Hillary Clinton juga melakukan lawatan ke
Timur Tengah. Tapi entah ada hubungannya atau tidak, sejak
lawatan Presiden Obama dan lawatan Menlu Hillary Clinton
2
itu, tiba-tiba saja kawasan Timur Tengah dilanda pergolakan
politik. Isyu reformasi pemerintahan, penegakan demokrasi
dan pemerataan ekonomi, menjadi pemicu aksi unjuk rasa
rakyat di berbagai negara di kawasan Timur Tengah. Semua
negara yang bergejolak itu menuntut pergantian kepemimpinan
nasional di negaranya.
Presiden Mesir Hosni Mubarak contohnya. Ia didesak
mundur dari kursi kepresidenan Mesir oleh rakyat yang
menentangnya. Dan ketika Presiden Mesir yang telah
berkuasa selama 32 tahun itu mencoba mempertahankan
kekuasaannya, maka pihak militer Mesir pun segera bertindak
mengambil alih kekuasaan demi mencegah terjadinya konflik
berkepanjangan di Negara Mesir.
Tidak berbeda dengan gejolak politik di Mesir, Yaman,
Suriah dan sekitarnya, Negara Libya juga digoncang gejolak
politik yang serupa. Sebagian rakyat Libya yang terhimpun
dalam berbagai suku Arab, meminta agar Presiden Moammar
Khadafi mundur dari jabatannya. Menyikapi tuntutan itu,
Presiden Moammar Khadafi memilih berkonfrontasi dengan
sebagian rakyat yang menentangnya. Maka tidak ada pilihan
lain, Negara Libya pun dilanda perang saudara.
Peduli terhadap kemelut yang berlangsung di Negara
Libya, PBB menyatakan sikap tegasnya. Organisasi bangsabangsa yang bermarkas di New York – Amerika Serikat itu
menilai Presiden Khadafi telah bertindak dzalim dan semenamena kepada rakyat yang menentangnya. Maka ketika
Presiden Khadafi memerintahkan serangan udara terhadap
kelompok oposisi Libya, serta merta pula Dewan Keamanan
PBB menetapkan larangan terbang di wilayah udara Negara
Libya. Kemudian seketika pula militer AS, Perancis dan Itali,
membentuk koalisi yang bertujuan melindungi rakyat Libya
3
yang berkonfrontasi dengan Presiden Moammar Khadafi.
Selanjutnya masih dengan alasan melindungi rakyat Libya
yang beroposisi pada pemerintahan Presiden Khadafi, koalisi
militer itu melakukan serangan terhadap instalasi militer
pemerintah Libya sampai berakhir dengan tewasnya Presiden
Moamar Khadafi. Sungguh tindakan yang tidak wajar
tentunya.
Gambaran aktual di atas, menunjukkan bahwa menapak
abad 21 atau millennium ke tiga, dinamika politik dunia
banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Di
antaranya adalah kompetisi
antarnegara, antarbangsa.
Kompetisi yang memperebutkan pengaruh di tingkat global.
Kompetisi yang bertumpu kepada kemajuan teknologi dan
pertumbuhan ekonomi. Sehingga negara yang paling memiliki
kemajuan pesat di bidang teknologi dan pertumbuhan
ekonomi, akan tampil sebagai Negara yang kuat dan paling
berpengaruh.
Perubahan dinamika politik dunia juga menimbulkan
pengaruh terhadap situasi keamanan global yang kemudian
memunculkan isyu-isyu baru. Bila pada masa lalu isyu
keamanan dunia berhubungan dengan geopolitik, geostrategis
dan kompetisi sistem persenjataan canggih, kini isyu
keamanan dunia makin berkembang. Tidak saja masalah
militer dan sistem persenjataan, tetapi meluas kepada
masalah kejahatan internasional atau jaringan kejahatan lintas
negara. Misalnya aksi terorisme, peredaran narkoba,
perdagangan manusia ( human trafficking ), pencucian uang (
money laundry ), penjualan senjata illegal dan semacamnya.
Semua itu telah menjadi ancaman serius bagi banyak negara
di dunia, termasuk Indonesia tentunya.
4
Seiring perubahan dinamika politik global, negara-negara
di dunia hanya mengenal dua jenis ancaman keamanan dan
pertahanan nasional. Yaitu ancaman tradisional
dan
ancaman non tradisional. Ada pun yang dimaksud
sebagai ancaman tradisional ialah invasi militer dengan
kecanggihan sistem persenjataannya. Sehingga dalam upaya
mengantisipasi ancaman tradisional itu, munculah kekuatan
politik dan militer di dunia yang disebut sebagai Blok Timur
dan Blok Barat ( SEATO dan NATO ). Persaingan yang
menonjol dari kedua blok itu, ialah persaingan kecanggihan
teknologi persenjataan, seperti senjata nuklir, senjata kimia,
serta senjata pemusnah massal lainnya.
Militer Rusia misalnya, mempublikasikan kecanggihan
teknologi persenjataannya melalui aksi invasi ke Republik
Afganistan, kemudian mendukung armada militer Libya,
militer Pakistan dan semacamnya. Di lain pihak, militer
Amerika Serikat juga mempublikasikan satelit mata-mata,
pesawat pengintai tanpa awak, pesawat pengebom yang tidak
bisa dideteksi oleh radar, rudal-rudal jarak jauh, serta sistem
persenjataan lainnya yang belum lama ini dibuktikan melalui
invasi ke Kuwait, Irak dan negara-negara di Timur Tengah,
Afrika dan sebagainya, atau bantuan persenjataan kepada
Israel, Filipina, Korea Selatan serta lainnya. Bahkan sampai
perlombaan menembus galaksi,dengan saling mengunggulkan
berbagai satelit ruang angkasa yang berhasil diproduksi oleh
negara-negara adi daya itu.
Tak kalah penting, Republik India juga mulai
memamerkan kekuatan armada militer dan persenjataannya,
yaitu dengan mulai membuka perseteruan kepada Pakistan,
lalu perseteruan Cina dengan Taiwan, kemudian perseteruan
Korea Utara dengan Korea Selatan, perseteruan Israel dengan
Palestina dan bahkan memaraknya perseteruan antara
5
Malaysia dengan Indonesia. Ancam – mengancam dengan
memamerkan kekuatan sistem persenjataan memang sedang
terus berlangsung.
Paska Perang Dunia II atau paruh abad 20, kompetisi
dalam kancah keamanan tradisional diterjemahkan sebagai
Perang Dingin ( Cold War ). Kalangan militer menyebut
Perang Dingin itu sebagai perang intelijen dan spionase. Maka
pada masa itu lembaga-lembaga intelijen seperti CIA, KGB,
M16, MOSSAD dan sejenisnya merupakan lembaga intelijen
paling kondang di tingkat dunia. Mereka terlibat dalam
kancah perang di balik suasana damai. Sedangkan yang
menarik dari kancah Perang Dingin itu, targetnya bukan
semata-mata penguasaan informasi tetapi juga untuk
perlombaan senjata serta pengaruh internasional. Bahkan
sasaran akhir dari Perang Dingin tersebut ialah menanamkan
pengaruh atas kemajuan teknologi dan penguasaan ekonomi.
Indonesia, negeri terbesar di kawasan Asia Tenggara, juga
pernah menjadi kancah perang dingin itu. Lengsernya
Presiden Soekarno, adalah bagian dari korban perang dingin
tersebut. Konon CIA memiliki andil besar di balik upaya
melengserkan Presiden Soekarno yang dinilai “nyeleneh” dan
terlalu berani “main mata” dengan Rusia atau Cina yang
menganut paham komunis. Di lain pihak, intelijen Rusia juga
masuk dalam kancah perang dingin di Indonesia. Melalui
agen penerbangan Aeroflot yang berkantor di Hotel Sahid
sebagai kantor penyamaran operasi KGB, di antaranya
mencoba membeli dokumen peta perairan Samudra Hindia
dari
seorang
perwira
Angkatan
Laut
yaitu
Let.Kol.AL.Susdaryanto. Dokumen tersebut direncanakan
untuk menjadi pedoman pelayaran kapal selam Rusia. Kedua
hal tadi hanya sebagian contoh kasus kancah perang dingin
yang pernah terjadi di Indonesia.
6
Singkat kata masih banyak kasus lainnya yang sampai saat
ini tetap tersimpan menjadi arsip dokumen rahasia di Badan
Intelijen Negara ( BIN ).
Pada lain pihak, yang tak kalah penting juga tentunya,
ialah ancaman non tradisional atau nir militer yang mulai
berkembang sejak akhir abad 20. Yakni ketika munculnya aksi
terorisme sebagai perjuangan politik dan ideologi. Misalnya
aksi teror yang dilakukan para pejuang pembebasan Irlandia
dari Pemerintah Inggris. Aksi pejuang Libya yang menentang
Raja Kemal Idris ditahun 1960-an serta melawan penetrasi
Pemerintah Amerika Serikat, hingga gerakan pembebasan
Palestina terhadap invasi Israel. Bahkan kini, terorisme yang
membawa isyu pertentangan agama kian menjadi ancaman
non tradisional bagi banyak negara di dunia, khususnya paska
Tragedi 11 September 2002 di kota New York. Meskipun
kemudiannya, ada sejumlah sumber informasi menyebutkan
bahwa isyu pertentangan agama hanyalah sebagai “kedok”
atau manipulasi atas berbagai aksi terorisme . Karena ternyata
aksi-aksi tersebut merupakan produk intelijen Pemerintah
AS untuk menjadi alasan melaksanakan invasi militer kepada
negara-negara di Timur Tengah yang dianggap sebagai
jaringan kegiatan aksi teroris. Kenapa ? Karena negara-negara
di kawasan tersebut merupakan sumber penghasil minyak dan
gas terbesar di dunia.
Selain kegiatan terorisme, ancaman non tradisional
lainnya adalah juga meliputi aksi kejahatan internasional yang
membahayakan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di
antaranya jaringan peredaran narkoba, perdagangan manusia
( human trafficking ), penyelundupan dan perdagangan senjata
illegal, pencucian uang ( money laundry ) serta sejenisnya.
Sehingga dalam peta keamanan dunia, di permulaan abad 21
ini kegiatan ancaman non tradisional tidak lagi semata-mata
7
pertarungan antarnegara, tetapi juga pertarungan para aktor
intelektual yang sangat berpengaruh karena memiliki
dukungan teknologi super canggih serta kekuatan finansial
yang sangat besar. Para aktor intelektual itu umumnya adalah
kalangan pemilik modal yang tujuan utamanya adalah
mencari keuntungan ekonomi yang sebanyak-banyaknya
dengan menghalalkan berbagai cara.
Alhasil kegiatan aksi ancaman non tradisional menjadi
sangat rumit dan sulit dideteksi. Yakni siapa melawan siapa ?
Kenapa dan untuk apa ? Karena antara kepentingan pengaruh
suatu negara terhadap negara lain. menjadi rancu bagai
lingkaran setan dengan kepentingan aktor-aktor intelektual
yang juga memainkan peran di balik kancah ancaman non
tradisional tersebut. Sebagai contoh, ada seorang pedagang
senjata yang cukup kondang di dunia internasional yaitu :
Adnan Kashogi.
Untuk kepentingan berbagai bisnisnya , tokoh yang
bernama Adnan Kashogi tersebut mampu mendanai lahirnya
suatu pemberontakan bersenjata dalam suatu negara,
khususnya negara miskin atau pun negara berkembang.
Saat ini kancah ancaman non tradisional kian
dikendalikan oleh banyak tokoh seperti Adnan Kashogi
tersebut. Tidak saja untuk kegiatan aksi bersenjata, tetapi juga
di bidang politik, teknologi informatika dan telekomunikasi,
industri pertahanan, ekonomi perbankan, industri manufaktur
serta perdagangan umum, sosial budaya dan masih banyak
lagi. Namun inti dari semua itu, tak lain tak bukan ialah
bertujuan untuk penguasaan ekonomi. Baik dari suatu negara
terhadap negara lain, mau pun dari suatu jaringan aktor
intelektual kepada suatu masyarakat atau pun suatu bangsa.
8
Kondisi ancaman non tradisional tersebut – mau tidak
mau – juga berlangsung di Indonesia, negeri yang kita cintai
ini. Sehingga untuk itu perlu digalang dukungan kekuatan
seluruh komponen bangsa demi menunjang pertahanan dan
keamanan nasional yang disebut sebagai Kesadaran Bela
Negara sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 27, Ayat 3. Bahwa setiap Warga
Negara Indonesia berhak dan wajib turut serta dalam
kegiatan pembelaan Negara terhadap ancaman dan
serangan musuh, dari dalam mau pun luar negeri.
Agar upaya teknis pembelaan negara tersebut memiliki
formatnya yang jelas serta memiliki payung hukum,
Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan R.I. mengajukan
usulan Undang-Undang Komponen Cadangan dan UndangUndang Komponen Pendukung yang saat ini masih dalam
taraf proses perumusan di Komisi I DPR R.I. Seandainya
Undang-Undang Komponen Cadangan dan Undang-Undang
Komponen Pendukung sudah mendapat pengesahan Rapat
Paripurna DPR R.I. dan sudah layak diundangkan serta
ditetapkan Peraturan Pelaksanaannya, maka penjabaran teknis
dari Undang-Undang No.3 / Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara akan semakin jelas dan dapat dilaksanakan optimal.
Karena melalui Undang-Undang No.3/Tahun 2002 dan
Undang-Undang Komponen Cadangan serta Undang-Undang
Komponen Pendukung itu, peran TNI sebagai Komponen
Utama semakin lebih kongkret dan peran serta masyarakat
sebagai Komponen Cadangan juga semakin memiliki
formatnya yang jelas. Hal itu seperti yang tercantum dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No.3 – Tahun 2002,
tentang Pertahanan Negara – Bab I – Pasal 1 yaitu : ”
Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang
bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara,
wilayah dan sumber daya nasional
lainnya, serta
dipersiapkan secara dini
oleh
pemerintah
dan
9
diselenggarakan secara total, terpadu, terarah
dan
berlanjut untuk menegakkan
kedaulatan negara,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari
segala ancaman.”
Ada pun tujuan dari penulisan buku ini, tak lain hanya
untuk kembali mengingatkan kepada semua komponen
bangsa Indonesia, agar senantiasa bersatu padu memperkuat
pertahanan negara dari segala bentuk ancaman, baik ancaman
dari luar mau pun ancaman dari dalam negeri sendiri. Karena
bila melihat perkembangan dunia internasional saat ini,
selayaknya
kita mewaspadai segala hal yang sedang
berlangsung di seluruh penjuru dunia.
Di Afrika dan khususnya lagi di kawasan Timur
Tengah, sedang berlangsung gejolak politik. Bahkan gejolak
politik yang terjadi di Libya, justru mengundang keterlibatan
koalisi militer asing terhadap negara Lybia tersebut. Sudah
bisa diterka tentunya, apa kira-kira motivasi koalisi asing turut
serta ambil peran terhadap gejolak politik di negeri Lybia.
Bukan kecurigaan berlebihan kiranya, bila di suatu
waktu Indonesia juga bisa mengalami hal yang sama seperti
di Negara Libya. Karena secara geografis, posisi wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini merupakan posisi
strategis yang berada di antara dua benua yaitu Benua Asia
dan Benua Australi, serta Samudra Hindia. Memiliki wilayah
kelautan yang luas dan strategis, seperti Selat Malaka, Selat
Kalimantan, Selat Makassar dan Samudera Hindia yang
menjadi sarana lalu-lintas transportasi
perdagangan
antarnegara. Secara geopolitik, merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dan memiliki pengaruh di kawasan Asia
Tenggara. Sedangkan dari sisi sumber daya alam, memiliki
kekayaan aneka ragam sumberdaya alam yang menjadi
10
kebutuhan negara-negara di dunia. Misalnya sumberdaya
minyak bumi, gas alam, emas, batubara, bauksit, mangan,
timah, uranium dan sebagainya. Termasuk juga dari
sumberdaya hasil perkebunan, hutan belantara, kekayaan laut
serta banyak lagi. Sehingga tidak diragukan, banyak negara
kuat atau pun aktor-aktor intelektual di jaringan internasional
yang memiliki banyak kepentingan terhadap negeri kita ini.
Maka sebelum apa yang diperkirakan itu akan terjadi,
selayaknya seluruh komponen bangsa digalang untuk bersatu
padu menghadapi segala kemungkinan buruk yang bisa saja
terjadi menimpa negeri ini. Segala sesuatu yang berpotensi
merongrong dan menodai kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Seperti kata Bung Karno dulu ; “
Bersatu kita kuat, kuat karena bersatu !”. Dan untuk
mencapai persatuan Indonesia, hendaknyalah di antara para
pemimpin bangsa membangun kembali rasa saling percayamempercayai, mengabaikan segala kecurigaan dan
menjauhkan sikap kemaruk terhadap kekuasaan.
Di akhir kata, tidak lupa pula saya sampaikan ucapan
terimakasih sebesar-besarnya kepada para sahabat saya di
Kantor Kementerian Pertahanan R.I. – Direktorat Jenderal
Potensi Pertahanan yang selalu menyediakan waktu untuk
berdiskusi dan bertukar pikiran, yaitu Bapak Brigadir Jenderal
TNI Santoso, Kolonel Inf Iwan Barley, Kolonel TNI AL
Darsono, Kolonel TNI AU Sugeng, Kolonel TNI AL
Hj.Hasnah Cupa dan lain-lain yang tidak dapat saya sebutkan
satu per satu. Kemudian terimakasih pula kepada rekan-rekan
perwira di PUSDIK KOPASSUS Batujajar – Bandung yang
turut memberikan simpati terhadap penyusunan buku ini.
Demikian juga kepada Wulansari Dewi S.IP yang senantiasa
membantu mengupayakan bahan dan referensi dari berbagai
sumber pustaka dan sumber internet, begitu pula kepada
11
Teguh Santosa S.IP. yang juga kerap menjadi teman bertukar
pikiran. Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan yang
telah diberikan selama ini. Amin.
Semoga buku ini akan memberi manfaat dan menggugah
kembali semangat kebangsaan kita, bangsa Indonesia yang
berdaulat.
Bandung, 2011.
Salam penulis :
Yan Daryono
12
DAFTAR ISI
- Pengantar Penulis
- Daftar Isi
- Bergulirnya Reformasi 98
- Kondisi Politik Nasional Paska Reformasi
- Islam Radikal dan Terorisme
- Gerakan Komunisme
- Memahami Neo Liberalisme
- Menyikapi Ancaman dan Tantangan
Abad 21
- Membangun Pertahanan Semesta
13
Bergulirnya Reformasi 98
Saat itu di penghujung tahun 1997, paska PEMILU
yang dimenangkan oleh GOLKAR. Suasana politik masih
dalam eforia kemenangan yang sangat menakjubkan. Program
“kuningisasi nasional” mencapai sukses luar biasa. Konon,
GOLKAR memperoleh hampir 75% suara pemilih. Sangat
fantastis, tapi begitulah adanya. Ketika itu Pak Harto selaku
Ketua Dewan Pembina GOLKAR sangat senang, sementara
Pak Harmoko yang menjabat sebagai Ketua Umum
GOLKAR saat itu mengembangkan senyum kebanggaan di
panggung politik nasional. Kondisi tersebut seakan menjadi
puncak suksesi kepemimpinan Presiden Soeharto selama masa
Orde Baru. Kemenangan GOLKAR dalam PEMILU 1997 juga
akan dijadikan sebagai titik awal program tinggal landas.
Awal krisis reformasi
Namun selang beberapa bulan kemudian, suasana
eforia itu pun berubah. Hutang luar negeri para pengusaha
swasta nasional telah jatuh tempo pembayaran. Jumlahnya
14
diperkirakan mencapai 82,2 milyar dolar Amerika sebagai
pembengkakan hutang yang dibuat sejak tahun 1975.
Di saat bersamaan, dunia dilanda krisis moneter.
Bursa saham di Wallstreet mengalami penurunan, demikian
juga di tempat-tempat penjualan saham lainnya di belahan
dunia ini, termasuk di Indonesia tentunya. Maka secara pelan
dan pasti, Indonesia pun mulai dilanda krisis ekonomi
nasional.
Cadangan dolar AS di pasar uang nasional mau pun di
Bank Sentral menipis. Para pengusaha swasta berlomba-lomba
memburu dolar untuk memenuhi kewajiban pembayaran hutang
luar negeri mereka. Kondisi demikian menjadikan nilai tukar
dolar Amerika terhadap mata uang rupiah bergerak cepat yaitu
dari 2.500 rupiah per satu dolar Amerika, meningkat pesat
menjadi 3.500 rupiah per satu dolar Amerika, terus bergeser
lagi menjadi 6000 rupiah per satu dolar Amerika sampai
akhirnya mencapai puncaknya yaitu 16 ribu rupiah per satu
dolar Amerika. Demikian pula halnya dengan hutang luar
negeri Pemerintah Orde Baru yaitu senilai 65,7 milyar dolar
Amerika untuk hutang bilateral/multilateral dan 972,2 trilyun
rupiah untuk hutang obligasi.
Sejak tahun 1991 sampai 1997, Pemerintah Orde Baru
menyicil hutangnya dengan melakukan privatisasi sejumlah
BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional. Dan
karena modal ditarik untuk pembayaran hutang yang sudah
jatuh tempo itu, maka berbagai kegiatan usaha swasta di
kelompok hulu dan BUMN mulai menyusut. Tidak sedikit
perusahaan manufaktur yang mulai mengurangi kapasitas
produksi, mengurangi karyawan dengan melakukan PHK dan
sebagainya. Bahkan para investor asing juga mulai hengkang
dari republik ini, memindahkan investasinya ke negara lain
15
seperti Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia dan sejenisnya.
Maka aksi PHK pun kian merebak.
Industri
dan
perdagangan, khususnya yang
menyangkut produk ekspor, mengalami kelesuan fatal. Di sisi
lain, cadangan devisa di Bank Indonesia pun kian menipis. Di
saat inilah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing,
khususnya dolar Amerika, makin merosot tajam dari waktu ke
waktu. Pada paruh pertengahan tahun 1998 misalnya, ketika
nilai tukar rupiah mencapai 16 ribu rupiah per dolar AS
menjadi puncak krisis ekonomi di Indonesia.
Keterpurukan ekonomi nasional
Tingginya demand dan rendahnya suplay, khususnya
dalam hal pengadaan sembako dan kebutuhan hidup harian
lainnya, menimbulkan kepanikan masyarakat. Biaya hidup
menjadi mahal. Jika sebelumnya dengan uang sepuluhribu
rupiah, masyarakat menengah bawah bisa dua sampai tiga kali
belanja ke warung, maka sekarang dengan uang limapuluh ribu
rupiah hanya bisa satu kali berbelanja ke warung untuk
kebutuhan yang sama. Ya, bayangkan saja harga minyak goreng
curah yang semula hanya tiga ribu rupiah per kilogramnya bisa
melambung menjadi duabelas ribu rupiah per kilogramnya.
Di lain pihak, aktifitas ekonomi dan kehidupan
keseharian yang mengandalkan suku cadang atau bahan baku
impor, untuk barang elektronik dan otomotif, mau tidak mau
juga terkena imbas kondisi ekonomi yang dilanda krisis itu.
Produk suku cadang impor menjadi langka di pasaran dan
harganya pun melambung menyesuaikan diri dengan kenaikan
nilai tukar mata uang dolar AS. Sedangkan ekspor produk
nasional ke luar negeri menurun dikarenakan kondisi ekonomi
nasional yang terpuruk itu. Sangat dilematis.
16
Kondisi perekonomian nasional semakin memburuk
lagi, ketika IMF ( International Monetary Fund ) mengajukan
usul 50 butir kesepakatan kepada Pemerintah R.I. untuk
mengatasi krisis ekonomi nasional. Karena dari 50 butir
kesepakatan yang diusulkan itu, ternyata sebagian besar
menempatkan posisi Indonesia dalam kondisi yang tidak
menguntungkan dan bahkan makin melemahkan perekonomian
nasional. Di antaranya dengan penghapusan subsidi BBM yang
sekaligus memberi peluang masuknya modal perusahaan
multinasional seperti Shell. Kemudian menekan kebijakan
pemerintah untuk melakukan privatisasi BUMN seperti
Indosat, Telkom, BNI, PT.Tambang Timah, PT.Aneka Tambang
hingga Perusahaan Listrik Negara dan sebagainya,
Akhirnya untuk mengatasi perekonomian nasional yang
kian terpuruk karena ketidak mampuan para pengusaha swasta
nasional di hulu, Pemerintah pun menetapkan kebijakan yang
sangat beresiko tinggi. Melalui Departemen Keuangan,
Pemerintah me-likwidasi 15 bank swasta nasional yang sedang
mengalami krisis keuangan. Masyarakat yang menjadi nasabah
kelimabelas bank swasta nasional tersebut panik. Kepanikan
pun menjalar. Banyak nasabah dari berbagai bank, swasta mau
pun pemerintah, yang mulai menarik simpanannya. Rush terjadi
dimana-mana.
Munculnya gerakan moral
Berawal dari krisis ekonomi tadi, gejolak sosial pun
mulai muncul. Para pekerja mulai melakukan aksi unjuk rasa
karena menjadi korban PHK dan perusahaan tidak mampu
membayar pesangon mereka selayaknya ketentuan UndangUndang Ketenagakerjaan yang berlaku.
Di lain pihak, para petani dan peternak juga tak kalah
sengit. Kenaikan harga pupuk dan pakan ternak, mendorong
17
aksi protes mereka kepada Pemerintah. Sampai akhirnya,
karena krisis yang sudah menjelma menjadi lingkaran setan
itu, gelombang aksi protes kepada Pemerintah datang dari
berbagai penjuru, semakin membesar dan meluas.
Dimulai dari aksi unjuk rasa di dalam kampus, berlanjut
hingga ke luar kampus yaitu ke jalan dan ke tempat publik
lainnya. Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri
mau pun swasta menggalang kekuatan bersama. Aksi unjuk
rasa yang terorganisir makin meluas dan mengancam stabilitas
keamanan nasional. Para investor asing semakin mencemaskan
keadaan sosial dan politik di Indonesia, lalu memutuskan
hengkang dari negeri ini. Demikian pula para nasabah bursa
saham, melepas sahamnya dengan harga murah memilih
mengalihkannya ke negara lain.
Indonesia semakin dilanda berbagai krisis. Krisis ekonomi,
krisis politik dan krisis sosial Bahkan krisis kepercayaan dari
dunia internasional. Banyak warga keturunan dan warga asing
melakukan eksodus besar-besaran karena merasa di Indonesia
sudah tidak aman lagi.
Kepemimpinan Presiden Soeharto menghadapi ujian
yang sangat berat. Sejumlah menteri dari kabinet yang baru
dibentuk, memilih mengundurkan diri. Aksi unjuk rasa
mahasiswa dan masyarakat kian merebak, menggoyahkan
stabilitas nasional.Tindakan aparat keamanan yang semula
lunak, berubah menjadi represif. Konflik horizontal antara
aparat keamanan dengan para pengunjuk rasa mulai
berlangsung di berbagai tempat. Bahkan sejumlah aktifis
mahasiswa mau pun
masyarakat yang menentang
Pemerintah, “diculik” oleh aparat keamanan. Tidak saja di
Jakarta, tapi juga di daerah seperti di kota Yogya, Surabaya
dan sebagainya.
18
Pergantian kepemimpinan nasional
Dinamika sosial yang berlangsung saat itu, mencapai
puncaknya
pada tanggal 12 Mei 1998. Yaitu ketika 4
(empat) orang mahasiswa Universitas Trisakti
tewas
tertembak peluru tajam yang entah dari mana asalnya. Massa
mengamuk dan mulai bertindak anarkhis. Penjarahan terjadi
di berbagai tempat. Pusat perbelanjaan Toko Yogya di
kawasan Klender – Jakarta Timur terbakar dan meminta
banyak korban jiwa. Demikian pula dengan pusat
perbelanjaan di Glodok Plaza serta tempat-tempat publik
lainnya. Massa yang datang bergelombang, makin mengamuk
dan merusak berbagai fasilitas umum mau pun fasilitas sosial.
Beberapa lokasi penting di sekitar kota Jakarta menjadi titik
rawan aksi massa dan menjadi ajang konflik horizontal
dengan aparat keamanan yang makin bersikap represif.
Kondisi demikian nyaris tidak berbeda dengan kondisi di
tahun 1966, ketika para mahasiswa dan masyarakat tidak
mempercayai lagi kepemimpinan Presiden Soekarno.
Sembilan hari kemudian, persisnya tanggal 21 Mei
1998, setelah gagal membentuk Dewan Reformasi, akhirnya
Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari
jabatannya. Inilah puncak gejolak sosial yang berlangsung di
masa proses reformasi tersebut. Kepimpinan nasional diganti
oleh Wakil Presiden BJ.Habibie yang kemudian dilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia, menggantikan Presiden
Soeharto yang mengundurkan diri.
Reformasi sudah bergulir. Kekuasaan Presiden Soeharto
selama 32 tahun, berakhir sudah. Orde Baru berganti menjadi
Orde Reformasi. Dan tampilnya Presiden BJ.Habibie di
panggung kepemimpinan nasional, mengemban amanat
reformasi yang antara lain : 1) Menyelenggarakan Sidang
Istimewa MPR/DPR RI dan, 2) Menyelenggarakan PEMILU
19
ulang. Selain itu Presiden BJ Habibie juga merombak susunan
kabinet yang baru satu tahun berselang dibentuk oleh
Presiden Soeharto sebagai hasil PEMILU 1997.
Namun dari tanggal 23 Mei 1998 sampai bulan Mei1999,
atau selama satu tahun Presiden BJ Habibie menjabat
menggantikan Presiden Soeharto, ternyata ada beberapa
masalah besar yang menyudutkan posisi Presiden BJ Habibie
di masa pemerintahannya itu. Pertama, mengenai korupsi
Dana BULOG yang menyeret Ir.Akbar Tanjung selaku
Mensesneg dan Ketua Umum GOLKAR menjadi tahanan
Kejaksaan Agung R.I. lalu yang ke dua, ialah lepasnya
Propinsi Timor Timur yang kalah dalam jajak pendapat
rakyat Timor Timur. Bahkan pada setahun masa
pemerintahannya, Presiden BJ.Habibie juga melakukan
pinjaman dana internasional yang cukup besar dibanding
pinjaman di masa pemerintahan Presiden Soeharto yang
berlangsung selama 32 tahun. Maka karena sejumlah hal itu
pula yang membuat Laporan Pertanggung Jawaban Presiden
BJ. Habibie dikecam keras oleh anggota MPR/DPR R.I. hasil
PEMILU 1999.
Kemelut politik era reformasi
Sidang MPR/DPR R.I. hasil PEMILU 1999, akhirnya
memilih dan memutuskan Kyai Haji Abdurachman Wahid
sebagai Presiden R.I. menggantikan Prof.DR.Ir BJ.Habibie,
lalu Megawati Soekarnoputri ( Ketua Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ) sebagai Wakil Presiden R.I. Sementara
Prof.DR.H.Amien Rais ( Ketua Partai Amanat Nasional )
menjadi Ketua MPR R.I. dan Haji Matori Abdul Djalil
( Ketua Partai Kebangkitan Bangsa) menjadi Ketua DPR R.I.
Pemerintahan Kyai Haji Abdurahman Wahid ( Gus
Dur ) tidak berjalan mulus. Baru beberapa bulan dilantik
20
menjadi Presiden RI menggantikan Presiden BJ.Habibie, Gus
Dur melikwidasi Departemen Penerangan dan Departemen
Sosial. Kemudian menyusul PT Dirgantara Indonesia dan PT
PAL. Padahal kedua perusahaan BUMN itu dibangun
Presiden Soeharto pada masa pemerintahannya, sebagai
perusahaan industri strategis.
Tindakan Gus Dur mendapat kecaman keras dari
banyak pihak, termasuk dari lembaga legislatif. Demikian
pula dengan kebijakan-kebijakannya yang lain, yang dinilai
kontroversil dan menyimpang dari cita-cita serta tujuan
reformasi.
Akhirnya konflik Gus Dur dengan lembaga legislatif
mencapai puncaknya. Sidang Istimewa MPR RI memutuskan
memberhentikan Gus Dur sebagai Presiden R.I. lantas
melantik Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI dan
Drs.H.Hamzah Haz ( Partai Persatuan Pembangunan ) sebagai
Wakil Presiden. Pada masa pemerintahannya itu, Departemen
Penerangan yang telah dilikwidasi Gus Dur menjadi Badan
Informasi dan Komunikasi Nasional ( BIKN ), dibentuk
kembali dengan nama Kementerian Komunikasi dan
Informasi. Departemen Sosial diselenggarakan kembali,
demikian pula halnya dengan kegiatan PT. Dirgantara
Indonesia serta PT.PAL, kembali diaktifkan namun
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisinya.
Presiden Megawati Soekarnoputri hanya memerintah
selama 3 (tiga) tahun lebih beberapa bulan. Pada PILPRES
tahun 2004 yang dipilih langsung oleh rakyat, ia tidak terpilih.
Saat ini sosok Jenderal Purnawirawan Soesilo Bambang
Yudhoyono ( SBY ) dan pasangannya Drs.Muhammad Jusuf
Kala ( MJK ), terpilih menjadi Presiden serta Wakil Presiden
R.I.
21
Babak transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi
berakhir di sini. Pasangan SBY dan MJK yang diusung Partai
Demokrat, yang dalam PEMILU 2004 masih berada pada
peringkat ke tujuh, mampu mengusung pasangan tersebut
menjadi Presiden serta Wakil Presiden R.I. Padahal PEMILU
legislatif yang diselenggarakan sebelumnya, menempatkan
Partai GOLKAR dan PDIP pada urutan pertama dan ke dua.
Tetapi baik Partai GOLKAR mau pun PDIP tidak berhasil
mengusung CAPRES dan CAWAPRESnya dalam Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, yang baru
pertama kali diselenggarakan di republik ini. Seiring itu pula
dinamika politik nasional di Indonesia telah mengalami
perubahan besar.
***
22
Kondisi Politik Nasional Paska Reformasi
Pembahasan tentang kondisi politik nasional paska reformasi
dibatasi pada kurun waktu antara tahun 1999 sampai 2011.
Dalam rentang waktu selama duabelas tahun itu, akan
tergambarkan dengan jelas seperti apa kondisi politik nasional
dan perbandingannya dengan kondisi sebelum reformasi atau
pada masa Orde Baru.
Eforia reformasi politik
Tahun 1999 adalah tahun eforia reformasi. Demokrasi
politik negeri ini, memberi peluang terbentuknya partai-partai
politik baru yang dimasa Pemerintahan Orde Baru hanya
dibatasi menjadi tiga kekuatan sosial politik yaitu sebagai hasil
fusi partai-partai politik warisan Orde Lama. 1) Partai
Persatuan Pembangunan yang merupakan hasil fusi dari
partai-partai politik bernafaskan agama Islam, 2) Golongan
Karya yang bukan berstatus sebagai partai, tetapi organisasi
masyarakat yang juga memiliki kekuatan politik, dan 3) Partai
23
Demokrasi Indonesia sebagai hasil fusi partai-partai yang
berhaluan nasionalis dan non muslim.
Namun pada masa eforia reformasi itu , terbentuk sebanyak
48 partai politik yang menjadi peserta PEMILU tahun 1999.
Partai Demokrasi Indonesia yang mengalami perpecahan
karena konflik antara kubu Drs.Suryadi dengan kubu Megawati
Soekarnoputri yang akhirnya bermuara pada Peristiwa 27 Juli
1997 telah melahirkan tandingannya yaitu Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan ( PDIP ) yang dibentuk oleh Megawati
Soekarnoputri bersama para pendukungnya. Di lain pihak,
GOLKAR yang dipimpin oleh Ir.Akbar Tandjung mengubah
formatnya dari organisasi massa menjadi organisasi politik
dengan nama Partai GOLKAR sebagai perwujudan GOLKAR
BARU. Partai Persatuan Pembangunan masih tetap dalam
format sebelumnya walau sempat dilanda konflik
kepemimpinan partai yaitu antara DJ Naro dengan KH.Ismail
Hasan Mentarum. Sementara ormas Islam seperti Nahdlatul
Ulama melahirkan organisasi politik dengan nama Partai
Kebangkitan Bangsa ( PKB ), demikian pula halnya dengan
Muhammadiyah melahirkan organisasi politik dengan nama
Partai Amanat Rakyat ( PAR ) lalu berganti nama menjadi
Partai Amanat Nasional ( PAN ). Singkat kata, banyak sekali
partai politik bermunculan. Bahkan partai-partai politik yang
dimasa pemerintahan Presiden Soeharto telah difusikan, kini
muncul kembali, memisahkan diri dari partai hasil fusi.
Contohnya Partai Nasional Indonesia (PNI), memisahkan
diri dari Partai Demokrasi Indonesia. Partai Syarekat Islam
Indonesia memisahkan diri dari Partai Persatuan Pembangunan
dan banyak lagi. Sungguh tahun yang disemaraki eforia
reformasi.
Apa yang selama masa Orde Baru dilarang di kancah
perpolitikan nasional, di era reformasi ini menjadi boleh. Sebut
saja munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD) pimpinan
24
Budiman Soedjatmiko. Pada awal reformasi ia menjadi aktifis
yang diburu aparat keamanan karena sikap ideologinya yang
kekiri-kirian,
bersama
sejumlah
aktifis
mahasiswa
pendukungnya dengan persepsi ideologi yang sama. Bersamaan
itu muncul pula Partai Keadilan (PK) yang selanjutnya
menjadi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ). Partai politik
yang dibentuk oleh para pemuda aktifis mesjid di kampuskampus seluruh Indonesia itu, menampilkan para intelektual
muda muslim yang kritis dan memiliki persepsi politik Islam
yang modern tapi bukan sekular.
Partai politik di negara mana pun di belahan bumi ini,
adalah suatu lembaga yang menjadi wadah penyalur aspirasi
rakyat dalam kehidupan berdemokrasi, sekaligus sebagai “alat”
untuk mencapai kekuasaan. Oleh karena itu, dalam suatu
negara demokrasi, partai politik memiliki peranan yang sangat
penting. Dan untuk membangun eksistensi suatu partai politik,
dibutuhkan dukungan dari rakyat sebagai para konstituennya.
Tanpa dukungan rakyat, partai politik tidak berarti apa-apa.
Sedangkan dukungan rakyat akan berhasil diperoleh oleh partai
politik, melalui mekanisme demokrasi yang bernama PEMILU.
PEMILU tahun 1999, ramai disemaraki kurang lebih 48
partai politik. Sangat berbeda jauh dengan PEMILU pada
masa Orde Baru yang hanya diikuti oleh 2 (dua) partai politik
dan 1 (satu) golongan karya.
Pada PEMILU di masa Orde Baru sudah bisa dipastikan
Golongan Karya yang akan menang karena memang sudah disetting untuk menang. Sehingga PEMILU di masa Orde Baru
dianggap sebagai PEMILU formalitas untuk melegitimasi
kemenangan Golongan Karya. Dengan kata lain, PEMILU
dimasa Orde Baru hanya untuk menunjukkan kepada dunia
internasional, bahwa Indonesia masih sangat menjunjung
demokrasi. Hampir sebagian besar rakyat Indonesia yang
25
memiliki hak pilih, seakan memang lebih percaya dan memilih
GOLKAR sebagai wadah aspirasi politiknya saat itu.
Sedangkan pada PEMILU tahun 1999, jauh berbeda
dengan PEMILU pada masa Orde Baru. Ada 48 partai politik
ikut ajang PEMILU untuk memperebutkan kursi di legislatif.
Maka tidak salah tentunya, jika pertarungan demokrasi politik
dalam PEMILU 1999 itu disebut sebagai “perang” antar partai
politik. Di sisi lain, eforia reformasi masih kental mewarnai
dinamika politik nasional saat itu.
Masyarakat memang sedang merasakan kebebasan
berdemokrasi. Kebebasan yang tidak dialami di masa Orde
Baru. Tetapi disadari atau tidak disadari, kebebasan itu menjadi
kebablasan. Etika berkampanye mulai diabaikan. Antar kader
dan
jurkam dari masing-masing partai politik peserta
PEMILU, mulai tidak segan atau tidak sungkan mengecam dan
memburuk-burukkan lawan politiknya dengan berbagai
pernyataan kepada publik umum. Mungkin itu yang disebut
sebagai “perang syaraf” ( phsywar ) dalam peperangan
demokrasi politik era reformasi.
Akhirnya PEMILU 1999 dimenangkan oleh PDIP yang
menempati urutan teratas yaitu memperoleh 33,7% suara
pemilih, kemudian Partai GOLKAR menempati urutan ke dua
dengan perolehan suara sebanyak 22,3 %, PKB menempati
urutan ke tiga dengan perolehan suara sebanyak 12,6%,
menyusul PPP di urutan ke empat dengan perolehan suara
10,7% dan PAN pada urutan ke lima dengan jumlah suara
sebanyak 7,2%. Itulah lima partai besar dalam PEMILU 1999.
Mencermati komposisi perolehan suara dari kelima partai
besar itu, nyaris tidak jauh berbeda dengan kondisi pada
PEMILU 1955 yang diikuti oleh 172 partai atau kontestan. Saat
itu Partai Nasional Indonesia ( PNI ) memperoleh dukungan
26
suara sebanyak 22,3%, Masyumi 20,9%, Nahdlatul Ulama
18,4% dan Partai Komunis Indonesia 15,4%. Maka baik pada
PEMILU 1955 yang diikuti 172 partai, dan PEMILU 1999
yang diikuti oleh 48 partai, tidak ada partai yang menunjukkan
kemenangan meyakinkan. Karena pada umumnya, perolehan
suara masih di bawah 50%. Jika menurut kalkulasi politik, hasil
PEMILU 1999 itu menjadi fenomena kondisi politik yang
kurang positif.
Kendati PDIP merupakan partai pemenang PEMILU 1999,
namun pada saat diselenggarakan sidang paripurna MPR/DPR
R.I. memilih Presiden dan Wakil Presiden R.I., ternyata PDIP
tidak mampu mengusung
Ketua Umumnya Megawati
Soekarnoputri sebagai Presiden R.I. Bahkan yang mendapat
dukungan suara lebih banyak adalah K.H.Abdurahman Wahid
yang di lembaga legislatif saat itu duduk di Fraksi Utusan
Golongan.
Konspirasi di legislatif
Kekalahan PDIP dalam sidang paripurna tersebut, karena
kecerdasan Prof.DR.Amien Rais yang memprakarsai
penggalangan suara di legislatif melalui poros tengah, yaitu
partai-partai peserta PEMILU 1999 di luar PDIP dan Partai
GOLKAR, berkoalisi untuk mendukung KH.Abdurahman
Wahid sebagai Presiden R.I. Koalisi partai di legislatif ini
memang terbukti berhasil. Partai pemenang PEMILU yang
memiliki jumlah kursi terbanyak di legislatif, tidak mampu
mengusung Ketua Umumnya sebagai Presiden R.I.
Menolak kekalahan itu, massa PDIP di Jakarta, Solo dan
Medan, melakukan aksi protes yang anarkhis. Sehingga demi
menjaga stabilitas nasional, akhirnya partai-partai di legislatif
itu sepakat mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil
27
Presiden R.I. mendampingi KH.Abdurahman Wahid. Begitulah
yang terjadi dalam ajang demokrasi politik nasional saat itu.
Pada periode tahun 1999 sampai tahun 2004, dinamika
politik nasional masih tetap hangat. Terlebih pada awal Gus
Dur dilantik jadi Presiden R.I., kebijakan sang Kyai Presiden
itu sering mendapat kritik dan cercaan dari para anggota
legislatif. Sampai pada tahun 2001, situasi politik nasional
berada di titik rawan dalam perseteruan antara Presiden Gus
Dur dengan lembaga legislatif. Presiden Gus Dur mengancam
akan melakukan dekrit pembubaran legislatif seperti yang
pernah dilakukan Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959,
yaitu dekrit membubarkan konstituante. Namun lembaga
legislatif tidak ambil peduli, bahkan akhirnya mereka
melengserkan Presiden Gus Dur lalu menggantikannya dengan
Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Presiden R.I.
Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
berlangsung dari tahun 2001 sampai 2004. Selama rentang
waktu tiga tahun itu, suhu politik nasional tidak sepanas seperti
sebelumnya. Kecuali meningkatnya
masalah korupsi di
lingkungan pemerintahan dan legislatif , aksi teror, kenaikan
BBM sampai tiga tahap, berlanjutnya konflik bersenjata di
Aceh, konflik bersenjata di Papua dan semacamnya.
Korupsi, terorisme, dan bencana alam.
Ada tiga aspek penting yang kemudian menjadi masalah
menonjol di era Pemerintahan Presiden SBY dan MJK yaitu
terorisme, bencana alam, dan korupsi yang merajalela. Ketiga
aspek penting itu sangat mewarnai kondisi politik nasional
paska reformasi, khususnya dari tahun 2004 sampai 2009.
28
Dalam kegiatan kampanye PILPRES 2004, SBY dan
MJK sama-sama mengangkat isyu akan memberantas korupsi
sampai ke akar-akarnya. Untuk itu tidak ada pola tebang pilih,
atau penindakan diskriminatif terhadap pemberantasan korupsi.
Siapa pun yang memang terbukti bersalah, pasti ditindak tanpa
kecuali. Hukum - demikian isyu yang disampaikan saat
kampanye - akan menjadi Panglima Keadilan.
Demi mewujudkan janji kampanye tersebut, Presiden
SBY dan wakilnya JK, mendukung dan memperkuat eksistensi
KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi) suatu lembaga ad hoc
yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Satu demi satu para petinggi dari berbagai
daerah seperti Bupati, Walikota dan Gubernur, mulai diajukan
ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ( TIPIKOR ). Begitu pula
halnya dengan para politisi yang terlibat konspirasi korupsi
dengan pejabat pemerintah dan kalangan pengusaha, satu demi
satu mulai dihadapkan ke Pengadilan TIPIKOR.
Namun demikian, ternyata “penyakit” korupsi belum bisa
diberantas habis seperti yang dijanjikan dalam isyu kampanye.
Tidak sedikit pihak LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan
pengamat yang menilai bahwa pihak KPK masih melakukan
pola tebang pilih dalam melaksanakan perannya. Artinya masih
ada tindak pidana korupsi yang jauh lebih besar dan sangat
merugikan negara, tapi justru belum disentuh oleh lembaga
KPK tersebut. Mungkin karena pengaruh tekanan pihak-pihak
yang berkuasa, atau memang lembaga tersebut tidak memiliki
keberanian karena kesantunan adat Timur.
Pada tahun 2009 misalnya, masalah korupsi yang
menghangat adalah kasus penyuapan para pejabat Bank
Indonesia kepada sejumlah anggota legislatif dalam rangka
mensukseskan Undang-Undang Bank Indonesia. Mantan
Gubernur BI beserta para deputy yang terlibat terkena sanksi
29
hukuman pidana, begitu juga halnya dengan para anggota
legislatif terkait kasus tersebut juga dikenakan sanksi pidana
yang tidak jauh berbeda.
Satu tahun berikutnya, tahun 2010, masalah korupsi yang
menjadi sorotan publik ialah kasus pengadaan alat komunikasi
di Kementerian Kehutanan R.I. yang mengusung nama
Anggoro, pemilik perusahaan PT.MASARO sebagai pengusaha
yang memenangkan tender tidak sah di kementerian tersebut.
Mencuatnya kasus itu karena terungkapnya upaya Anggodo,
adik Anggoro, yang melakukan perbuatan “makelar kasus”
yaitu berupa percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK.
Bahkan pada penghujung tahun 2010, masyarakat
kembali dihebohkan dengan kasus korupsi di Bank Century
serta perbuatan korupsi yang dilakukan oleh pegawai Ditjen
Pajak yaitu Gayus Tambunan. Hingga awal tahun 2011 ini,
semua kasus tersebut belum kunjung tuntas. Proses penyidikan
masalah kasus-kasus korupsi itu, tidak lagi semata-mata
menjadi fokus ranah hukum tetapi juga sudah menjadi masalah
politik.
Pada awal bulan April 2011, tiba-tiba mencuat kasus
penggelapan dana nasabah Citibank yang dilakukan oleh Inonk
Melinda Dee, supervisi manager gold card Citibank.
Diperkirakan dana yang digelapkan mencapai lebih dari 20
milyar rupiah. Dan uniknya, atas kasus tersebut hanya dua
nasabah yang melaporkan tindakan pidana Melinda Dee.
Selebihnya seperti membungkam seribu bahasa. Karena
ternyata, hubungan nasabah dengan Melinda Dee atau pun
Citibank, diindikasi sebagai aktifitas pencucian uang alias
money laundry.
Selain masalah korupsi, money laundry dan sejenisnya
yang mempengaruhi kondisi politik nasional di era reformasi,
masalah terorisme juga ikut andil memberi pengaruh. Dimulai
30
dari tahun 2001 hingga tahun 2011 ini, aksi teror yang
meresahkan masyarakat tidak kunjung berhenti. Karena
kegiatan terorisme yang melakukan aksi peledakan bom dan
meminta banyak korban luka mau pun tewas, terus saja terjadi.
Nama DR.Azahari, Noordin M Top, Dul Matin, Hambali,
Al-Faruq, Imam Samudra, Amrouzi, Ali Imron, Abu Dujana
dan sebagainya menjadi nama-nama yang dikaitkan dengan
aksi-aksi teror tersebut. Bahkan belakangan ini nama Uztad
Haji Abu Bakar Ba’asyir juga mencuat menjadi tersangka yang
mendukung dan merencanakan berbagai aksi terorisme itu.
Khususnya dalam hal pendanaan pelatihan teroris di Aceh
Besar.
Terlepas dari masalah ideologi yang menjadi
latarbelakang aksi terorisme itu, namun yang terang aksi-aksi
teror tersebut sangat memberi pengaruh besar terhadap kondisi
politik nasional pada paska reformasi. Karena upaya-upaya aksi
teror yang bertujuan menimbulkan keresahan dan kepanikan
masyarakat, telah berhasil mengganggu stabilitas keamanan
mau pun ketahanan nasional. Sehingga pada akhirnya masalah
terorisme itu pun menjadi bahasan ranah politik di lembaga
legislatif atau pun lembaga-lembaga partai politik. Khususnya
ketika
membahas
masalah
anggaran
pembiayaan
penanggulangan masalah terorisme itu.
Terkait kebutuhan anggaran yang terbilang sangat besar
untuk upaya penanggulangan terorisme itu, sementara aksi
teror terus saja terjadi setiap tahun, menimbulkan pandangan
baru dalam kancah perpolitikan nasional. Terlebih akibat
kegiatan terorisme itu masyarakat terus merasa resah dan takut.
Tidak urung dunia usaha pun mengalami kerugian yang cukup
merisaukan, karena ketidak amanan dan ketidak nyamanan
tersebut.
31
Selain masalah korupsi dan terorisme, ternyata musibah
bencana alam juga terus beruntun melanda negeri ini,
menambah daftar panjang pengaruh terhadap kondisi politik
nasional di paska reformasi. Bencana Tsunami di Propinsi
Daerah Istimewa Aceh Nanggro Darussalam, gempa bumi di
berbagai daerah yang menelan korban nyawa dan kerugian
material cukup besar. Misalnya gempa bumi di Sumatera Barat,
banjir bandang di Wasior, tanah longsor, letusan gunung api,
semua menjadi rangkaian bencana yang terus-menerus terjadi
sepanjang tahun 2004 sampai 2010.
Berbagai musibah bencana alam yang melanda negeri
ini, merupakan pengaruh dari perubahan iklim global yang
menjadi perhatian di seluruh dunia. Yaitu terjadinya
peningkatan pemanasan global akibat terjadinya kebocoran di
lapisan ozon, membuat lapisan es di Kutub Utara mencair dan
menimbulkan perubahan iklim di bumi. Kondisi demikian
disebut sebagai pemanasan global ( global warming ).
Perubahan iklim yang mempengaruhi kondisi bumi, juga
terasa pengaruhnya di Indonesia. Selain bencana alam yang
terus menerus terjadi, gangguan terhadap kelangsungan
pertanian dan peternakan juga menjadi masalah yang serius.
Sehingga mempengaruhi produksi pangan dan ketahanan
pangan nasional. Harga-harga bahan pangan di pasar-pasar di
seluruh Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan. Harga
cabai misalnya, bisa mencapai 50 ribu hingga 90 ribu rupiah
per kilogramnya. Demikian pula dengan harga beras terendah,
mencapai 7.500 rupiah per kilogramnya. Harga daging ayam,
daging sapi, ikan tawar mau pun ikan laut, juga mengalami
kenaikan yang mengejutkan.
Perubahan iklim, bencana alam dan kenaikan harga bahan
pangan, ternyata juga mempengaruhi kondisi politik nasional di
paska reformasi. Pemerintah, politisi dan pengamat masalah32
masalah ekonomi, juga para pelaku ekonomi tentunya, saling
berpolemik tentang kondisi sosial dan ekonomi yang dilanda
pengaruh perubahan iklim global itu.
Maka setelah mencermati uraian tadi, akhirnya dapat
ditarik kesimpulan bahwa kondisi politik nasional paska
reformasi berlangsung dinamis dan senantiasa diwarnai
konflik di tingkat elit. Sementara di sisi lain, aktifitas terorisme
dan berbagai kejahatan lintas negara lainnya, terus saja terjadi
menimbulkan keresahan dan ketakutan di masyarakat.
Indonesia memang masih gelisah….***
Islam Radikal dan Terorisme
Tanggal 20 Oktober 2004. Jenderal TNI Purnawirawan DR.
Haji Soesilo Bambang Yudhoyono dan Drs. Haji Muhammad
Jusuf Kalla, baru saja dilantik oleh Ketua MPR.R.I. Drs.Haji
Hidayat Nur Wahid, menjadi Presiden dan Wakil Presiden R.I.
hasil PILPRES langsung tahun 2004 yang baru pertama kali
diselenggarakan di Indonesia. Dan selang beberapa bulan
kemudian, DR.Azahari – gembong teroris yang paling dicari di
republik ini – tewas dalam suatu baku tembak dengan aparat
Kepolisian R.I. di Kota Batu – Malang, Jawa Timur.
Petualangan warga Malaysia itu berakhir tragis. Namun
demikian, meskipun sang gembong telah tewas, aksi terorisme
masih saja terus berlangsung hampir di setiap tahun.
Paska berakhirnya era Orde baru memang menjadi
pertanda munculnya liberalisasi. Yaitu setiap individu mau pun
kelompok dapat bebas berekspresi dan menyalurkan aspirasi
sesuai keinginannya. Namun pada sisi lain yang bersamaan,
33
muncul pula fenomena kekerasan yang meng-atasnamakan
agama. Dimulai dari bulan Agustus 2001, terjadi ledakan bom
berdaya ledak besar di depan rumah Duta Besar Filipina.
Kemudian menyusul ledakan bom di Gereja Kathedral –
Jakarta, persis di saat malam Natal ketika para umat Katolik
sedang melaksanakan ibadahnya. Begitulah seterusnya, bom
berdaya ledak besar meletus di berbagai tempat. Di Bali,
Jakarta, Makassar dan sebagainya. Menurut data yang ada,
tercatat sejak tahun 1998 sampai tahun 2004 sudah terjadi 61
kasus ledakan bom teroris di Indonesia.
Masyarakat yang tidak bersalah dan tidak tahu menahu
dengan ideologi radikal, terpaksa menjadi korban. Ada yang
tewas, luka parah, cacat seumur hidup, dan sebagainya.
Perjuangan mengatas-namakan agama, dengan kekerasan
yang sulit dimaafkan, menumbuhkan keresahan di segenap
warga bangsa ini.
Sebagai agama samawi yang datang dari langit, Islam
tidaklah mengajarkan kekerasan untuk mencapai tujuannya.
Bahkan pada awal kedatangannya di kawasan Nusantara ini,
justru dengan penetrasi damai. Tidak dengan kekerasan atau
pun peperangan. Para sufi, para pedagang dari Persia mau pun
dari India Selatan (Gujarat), memperkenalkan agama Islam
dengan cara-cara yang luwes dan bersahaja. Sehingga
menerbitkan perasaan simpati dari masyarakat saat itu yang
beragama Hindu atau pun Budha, juga bagi yang belum
memiliki agama. Bahkan karena ketertarikan memahami
ajaran Islam yang menawarkan kedamaian serta jalinan
persaudaraan dan gotongroyong, membuat masyarakat
Nusantara mulai menjadi penganut Islam. Dalam situasi
tersebut, politik Islam yang cerdas, menunjukkan sikap