Peran Agama dalam Struktural Fungsional

Peran Agama dalam Struktural Fungsional terhadap
Adaptasi Etnik Pendatang
Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor
Oleh: Kelompok 191

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan budaya dan etnik. Etnik
di Indonesia menurut Sjaf (2012) sejumlah 761 etnik, tidak heran Indonesia
disebut bangsa yang heterogen. Pembagian kelompok suku atau etnik di
Indonesia pun tidak mutlak dan tidak jelas akibat perpindahan penduduk dan
percampuran budaya. Sebagai contoh sebagian pihak berpendapat orang Banten
dan Cirebon adalah suku tersendiri dengan dialek yang khusus pula, sedangkan
pihak lainnya berpendapat bahwa mereka hanyalah sub-etnik dari suku Jawa
secara keseluruhan. Demikian pula Suku Baduy yang menganggap mereka
sebagai bagian dari keseluruhan Suku Sunda.
Hampir di seluruh etnik atau kebudayaan tertentu mengenal adanya
stratifikasi, seperti di masyarakat etnik Sunda dan Jawa. Kedua etnik ini cukup
tinggi stratifikasinya, terlihat dari bahasa yang mereka gunakan memiliki
tingkatan-tingkatan tertentu. Hal inilah yang memicu terjadinya pelapisan

masyarakat atau biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Masyarakat terbagi ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat. Perwujudan dari stratifikasi sosial adalah
adanya kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah di dalam masyarakat.
Dasar dan inti lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban, kewajibankewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara
anggota-anggota masyarakat. Adanya etnik minoritas dan mayoritas, turut
mendukung terbentuknya stratifikasi sosial pada masyarakat. Seringkali
stratifikasi sosial yang terjadi ini menimbulkan gesekan-gesekan yang berujung
pada konflik. Meskipun banyak terjadi konflik, namun di daerah-daerah yang
masyarakatnya sudah terbiasa dengan kehidupan masyarakat yang heterogen
kehidupan mereka tetap harmonis. Masing-masing orang berusaha untuk
menghindari konflik meskipun seringkali ada gesekan-gesekan yang sering
terjadi, hal ini digambarkan dalam perubahan sosial sebagai teori struktural
fungsional.
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor menurut Abdurachman (2011)
memiliki sembilan desa, yaitu: Desa Cigombong, Desa Watesjaya, Desa
1

Lidya Agustina (G84100044), Novita Sari (H44120115), Nurul Zafirah (I24120027), Sania Nala
Salma (I24120098), Nur Fitria (I34110108), Amaris Orwin Yahya (I34110123), Mufida Banni A. P.

(I34110136), Nindya Dewinta (I34110137).

1

Tugujaya, Desa Ciburuy, Desa Srogol, Desa Cisalada, Desa Ciadeg, Desa
Ciburayut, dan Desa Pasirjaya dan dengan 21.562 kepala keluarga. Kecamatan
Cigombong memiliki penduduk yang cukup banyak dimana jumlah penduduk
pada akhir desember 2010 adalah sebesar 82.042 jiwa, terdiri dari laki-laki
sebanyak 41.848 jiwa dan perempuan sebanyak 40.194 jiwa. Sedangkan untuk
angkatan kerja penduduk terdiri dari 50.519 jiwa termasuk dalam usia produktif
dan 16.580 jiwa termasuk dalam usia tidak produktif dengan rata-rata kepadatan
penduduk sebesar 1.270,76 Jiwa/Km2 serta rata-rata penyebaran penduduk
sebesar 580 jiwa/km2. Kecamatan Cigombong cukup berkontribusi dalam sektor
tanaman pangan, beberapa desa seperti Desa Ciburuy, Desa Pasir Jaya, dan
Desa Srogol mata pencaharian masyarakatnya masih pertanian. Mayoritas
penduduk di Kecamatan Cigombong bekerja di bidang pertanian yaitu sebanyak
10.680 jiwa yang terdiri dari 4.800 jiwa pemilik tanah, 2.130 petani atau
penggarap, dan 3.750 buruh tani. Penduduk lainnya kebanyakan bekerja sebagai
buruh pabrik, buruh bangunan, pedagang, pengemudi, pengrajin, dan pegawai
negeri sipil. Adanya buruh pabrik yang mengindikasikan mulai menggeliatnya

sektor industri dan kemungkinan adanya pendatang-pendatang sehingga mulai
bercampur baurnya etnik-etnik yang berbeda.
Rumusan Masalah
Indonesia dikenal sebagai bangsa yang heterogen atau bangsa majemuk,
oleh karena itu semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat cocok dengan kondisi yang
ada di negara ini. Biasanya daerah tertentu memiliiki ciri khas sendiri yang
berbeda dengan daerah lain. Sehingga kita perlu mengetahui bagaimana
kondisi umum Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor?
Selain itu biasanya daerah tertentu kental dengan etnik tertentu juga.
Namun berbeda dengan wilayah-wilayah kawasan urban, daerah wisata, daerah
tujuan transmigrasi, daerah penyangga ibukota dan tentunya daerah ibukota
sendiri yang sudah banyak kaum pendatang yang berdatangan. Daerah-daerah
ini biasanya memiliki penduduk dengan etnik yang lebih beragam pula. Salah
satu daerah wisata, tempat pelesiran adalah Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor. Lebih spesifik lagi di Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor, sekilas masih terlihat dominasi etnik sunda, namun kita perlu mengetahui
beberapa hal tentang kondisi etnik yang terdapat di latar belakang tersebut.
Bagaimana karakteristik etnik di Desa Tugu Jaya, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor (jenis-jenis etnik, sejak kapan ada di

wilayah tersebut, latar belakang etnik, dan dominasi etnik)?
Etnik tertentu seringkali juga selalu mencegah terjadinya konflik diantara
etnik itu sendiri maupun antar etnik yang berbeda di suatu wilayah yang mereka
tempati bersama. Teori yang menggambar hubungan yang selalu mencegah
terjadinya konflik adalah struktural fungsional. Oleh karena itu, perlu melihat
bagaimana struktural fungsional yang terjadi dalam satu etnik maupun
yang berbeda etnik di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor?
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan proposal makalah ini adalah:
2

1. Mendeskripsikan keadaan umum Desa Tugu Jaya, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor.
2. Mengidentifikasi etnik-etnik yang berada di Desa Tugu Jaya, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor (jeni-jenis etnik, sejak kapan ada di wilayah
tersebut, latar belakang etnik, dan dominasi etnik).
3. Menganalisis etnik-etnik yang ada di Kecamatan Cigombong dengan teori
struktural fungsional.

METODE PENELITIAN

Metodologi yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui
data primer yang diperoleh dengan pengamatan langsung, wawancara
mendalam terstruktur, serta studi literatur. Selain itu, data juga diperoleh melalui
data sekunder yakni dari berbagai referensi. Pengamatan langsung dilakukan
secara sistematik terhadap aktivitas yang menjadi fokus perhatian tulisan ini.
Pencatatan hasil dilakukan dengan bantuan alat rekam elektronik dan foto.
Wawancara mendalam berstruktur atau wawancara yang menggunakan panduan
pertanyaan secara teratur. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data
sekunder sebagai pendukung dalam penelitian. Studi literatur ini juga dilakukan
untuk memperkuat konsep-konsep yang akan digunakan untuk melihat
fenomena yang ada di lapangan.

PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Tugu Jaya
Desa Tugu Jaya adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Cigombong Kabupaten Bogor. Sebelah utara desa berbatasan dengan Desa
Cisalada dan Desa Pasirjaya, sebelah timur berbatasan dengan Desa Cigombong,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kutajaya, Kecamatan Cicurug,
Kabupaten Sukabumi, dan sebelah barat berbatasan dengan kawasan Gunung
Salak. Desa yang memiliki luas wilayah kurang lebih 505,643 Ha ini disebut3


sebut sebagai desa yang paling luas di antara desa-desa lain yang berada di
Kecamatan Cigombong. Jumlah Rukun Tetangga (RT) desa ini adalah 44 orang
dengan 3.512 rumah tangga. Desa yang memiliki 11 Rukun Warga (RW) ini,
terletak 2 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Cigombong, 60 km dari ibu
kota kabupaten, dan 125 km dari ibu kota provinsi. Desa Tugu Jaya adalah desa
yang sejuk karena belum terlalu banyak kendaraan yang melintas, terlebih lagi
tidak ada angkutan umum yang masuk desa ini, mobilitas di desa hanya
menggunakan ojeg. Suhu rata-rata di desa adalah 25-330C dengan curah hujan
250-550 mm/thn dan terletak di ketinggian 500-700 Mdpl di atas permukaan
laut.
Data kependudukan di desa ini sudah cukup baik, sudah ada data yang
lengkap namun belum diketahui data ini diambil pada tahun berapa. Menurut
data monografi desa jumlah keseluruhan penduduk Desa Tugu Jaya adalah
13.228 orang, dengan didominasi oleh penduduk usia produktif dengan jumlah
mencapai 8.887 jiwa. Selain itu, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari
perempuan yaitu 6.785 jiwa sedangkan perempuan 6.443 jiwa. Menurut data
monografi desa, mata pencaharian warga Desa Tugu Jaya lebih banyak di bidang
peratanian dibandingkan dengan non pertanian. Jumlah warga yang bekerja di
bidang pertanian sejumlah 3.041 jiwa, dengan rincian pemilik tanah sejumlah

1.420 jiwa, petani penggarap 1.234 jiwa, dan buruh tani 387 jiwa. Selanjutnya
pekerjaan kedua terbanyak adalah buruh industri, menurut data monografi
jumlah buruh industri di desa ini ada 1.234 orang. Menurut cerita kepala desa
dan masyarakat setempat, buruh industri ini bekerja di pabrik-pabrik garmen
yang terletak di kampung Benteng yang masih berada di kawasan Desa Tugu
Jaya. Masyarakat yang bekerja di pabrik garmen ini kebanyakan anak-anak muda
dan sebagian ibu-ibu. Sedangkan bapak-bapak di desa ini bekerja serabutan,
mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap. Seperti Bapak Cepi yang rumahnya
kami tempati, bapak ini dapat mengerjakan berbagai macam pekerjaan. Beliau
sering dimintai tolong untuk membenarkan listrik yang konslet ataupun
memasang listrik rumah yang baru selesai dibangun. Selain itu, beliau juga
sering diminta untuk membetulkan barang-barang elektronik yang rusak, seperti
mesin cuci. Selain itu, menurut salah satu ketua RT dan RW bapak-bapak di desa
ini juga banyak yang menjadi kuli bangunan dan buruh di pabrik bata. Pekerjaan
di pabrik bata dapat dilakukan sendiri-sendiri atau dikerjakan kelompok. Jika
dilakukan sendiri, artinya dia menjadi buruh tetap dan dibayar per minggu,
sedangkan jika ia mengerjakan per kelompok bayarannya dihitung per-bata yang
dapat dihasilkan. Dahulu sebelum banyak pabrik garmen, Desa Tugu Jaya dikenal
sebagai penghasil tuak dan aren. Namun, saat ini kondisi desa sudah berubah
banyak para petani aren dan tuak yang beralih profesi menjadi buruh. Hal ini

karena lahan penghasil tuak dan aren ini telah beralih fungsi menjadi perumahan
yang dikelola oleh warga pendatang.
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Tugu Jaya didominasi oleh tamatan
sekolah dasar yaitu sebanyak 6.430 orang, kemudian disusul oleh tamatan SLTP
sebanyak 2.169 orang, SLTA 1.002 orang, dan sisanya tamatan D3 dan S1
masing-masing sebanyak 54 dan 105 orang. Cukup wajar jika tingkat pendidikan
di desa ini masih rendah, hal ini karena di Desa Tugu Jaya hanya terdapat satu
4

sekolah dasar yang bernama SD Cipetir, dan dua buah SMP/ MTs yang bernama
SMP PGRI dan MTs. Miftahul Aziz. Mereka yang melanjutkan pendidikan sampai ke
SMA maupun sampai perguruan tinggi adalah mereka yang pergi merantau.
Kehidupan politik di desa ini cukup baik, masyarakat cenderung tidak apatis.
Pada saat pemilihan kepala desa yang hasilnya memenangkan Bapak Sigit
Sugandi saja, ada tiga orang yang berpartisipasi memperebutkan jabatan kepala
desa. Selain itu dalam ketua RT dan RW di desa ini dipilih melalui pemiihan
dengan menggunakan surat suara kemudian para calon pejabat RT dan RW ini
dipilih oleh seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan yang sudah
memenuhi kriteria pemilih. Ketika penulis berada di desa ini, kebetulan sedang
ada pelantikan RT dan RW baru dengan masa jabatan 2013-2019. Dulunya RT

dan RW yang memiliki masa jabatan selama enam tahun ini, dipegang oleh satu
orang selama beberapa kali periode. Bahkan salah satu mantan ketua RT 04
yaitu Bapak Wawan pernah menjabat selama 13 tahun, tetapi saat ini telah
digantikan oleh salah seorang dari kalangan pemuda. Pada saat pengangkatan
jabatan pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2013 itu ketua RT dan RW
didominasi oleh warga yang berada pada usia produktif.
Secara umum masyarakat di Desa Tugu Jaya cenderung homogen.
Mayoritas penduduk di Desa Tugu Jaya beretnik Sunda, namun ada juga
minoritas etnik Jawa, Padang, dll. Menurut penuturan masyarakat setempat,
pendatang-pendatang ini berasal dari warga desa yang menikah dengan orangorang dari etnik lain tersebut. Mereka yang biasanya menikah dengan etnik lain
adalah mereka yang pergi merantau. Daerah tujuan perantauan masyarakat
Desa Tugu Jaya adalah ke Jakarta, mereka yang merantau ke Jakarta ini
kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik dan sisanya menjadi pedagang,
bekerja di konveksi rumahan, dll. Mereka yang pergi merantau selain mencari
nafkah mereka juga mendapatkan pasangan yang berbeda etnik. Meskipun etnik
selain Sunda adalah kaum minoritas, mereka tidak begitu saja terkucilkan oleh
penduduk asli. Ketika pemilihan kepala desa, salah satu dari tiga calon bukan
masyarakat asli Desa Tugu Jaya beretnik Sunda melainkan berasal dari
Yogyakarta beretnik Jawa yang telah tinggal selama 20 tahun di desa ini.
Menurut informasi dari mantan ketua RT 04 saat ini ada juga salah satu RT atau

RW yang baru dilantik adalah warga pendatang yang beretnik Jawa. Informasi
dari ketua RT 04, sesuai aturan yang ada warga pendatang yang sudah tinggal
minimal selama tiga bulan dapat mencalonkan diri sebagai RT ataupun RW
maupun pejabat-pejabat pemerintah lainnya. Selain dari pejabat pemerintahan,
terdapat salah satu kiai yang juga merupakan seorang pendatang yang juga
beretnik Jawa. Masyarakat Desa Tugu Jaya yang dominan beretnik Sunda ini
cenderung bersikap terbuka terhadap pendatang, mereka tidak pernah
mempermasalahkan masyarakat luar yang akhirnya tinggal di desa mereka.
Selain pada ranah politik, pada bidang ekonomi masyarakat pendatang juga
banyak memiliki sumberdaya yang ada di desa ini. Pabrik-pabrik garmen yang
berada di Kampung Benteng semuanya dimiliki oleh masyarakat pendatang.
Selain pabrik-pabrik garmen yang ada di desa ini, pabrik batako yang juga
terdapat di Kampung Benteng semuanya adalah milik pendatang, namun satu
pabrik yang ada di Kampung Cipetir milik salah satu warga asli Desa Tugu Jaya.
5

Pada Desa Tugu Jaya terdapat salah satu pesantren yang berada di Kampung
Batu Karut yang bernama Pesantren Miftahul Aziz. Pesantren yang sudah berdiri
sejak 2001 ini pemiliknya adalah masyarakat asli yang juga beretnik Sunda. Para
santri yang bersekolah maupun mengaji di pondok pesantren ini dominan

masyarakat pendatang, beberapa daerah asal santri yaitu Jawa Tengah,
Lampung, Bekasi, Depok dan Jakarta. Penduduk asli kebanyakan tidak sekolah di
pesantren ini melainkan pergi keluar desa. Bukti lain yang menunjukkan
dominasi etnik Sunda adalah ketika pengajian berlangsung, ketika itu doa
ataupun shalawat yang disenandungkan diartikan menggunakan Bahasa Sunda
dan terlihat jelas mereka yang mengikuti pengajian tersebut fasih berbahasa
Sunda.
Kehidupan keagamaan di desa ini terasa sangat kental, menurut data
monografi desa penduduk yang beragama Islam sebanyak 13.140 orang,
sedangkan sisanya lima orang beragama katholik dan empat orang beragama
protestan. Mesjid yang ada di desa berjumlah delapan buah, tujuh buah mesjid
kecil dan satu lagi adalah masjid besar yang digunakan untuk tempat salat
Jumat. Mesjid-mesjid kecil ini digunakan untuk pengajian baik ibu-ibu, bapakbapak, maupun anak-anak. Setiap mesjid telah memiliki jadwal tetapnya sendiri
untuk melaksanakan pengajian, bahkan sejak adanya pesantren pada 2001 telah
terbentuk pengajian baru yang dilaksanakan malam hari pada Hari Senin untuk
bapak-bapak dan untuk remaja perempuan dan ibu-ibu dilaksanakan pada
malam Hari Kamis. Pertama kali diadakan pengajian di Desa Tugu Jaya adalah di
Kampung Cipetir, Cibogo, dan Citugu. Namun, seiring berjalannya waktu jumlah
pengajian maupun majlis taklim semakin banyak. Secara umum Desa Tugu Jaya
memiliki banyak kiai dan hasil wawancara dengan para responden dan informan
semuanya mengatakan kiai paling banyak ada di Desa Cipetir, beberapa
diantaranya yang disebutkan adalah Bapak Haji Fahru, Bapak Haji Hilal dan satu
orang lainnya. Namun, tidak jelas berapa sebenarnya jumlah kiai yang ada di
desa ini. Hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat Desa Tugu Jaya
berlandaskan agama Islam, sepanjang penulis berada di desa penulis hampir
tidak pernah terlihat adanya sentuhan tangan antar lawan jenis. Seluruh
masyarakat di desa ini secara otomatis ketika bersalaman tidak pernah
bersentuhan. Selain tidak bersentuhan masyarakat di desa ini cenderung
berpakaian turtutup baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu peran kiai di
desa ini cukup besar, ketika masyarakat ditanyakan siapa sesepuh atau orang
yang paling mengetahui perjalanan desa ini mereka selalu menunjuk kiai-kiai
besar yang ada di desa ini, diantaranya tiga kiai yang telah disebutkan di atas.
Selain dimintai pendapat perihal keagamaan, ketika akan mengadakan acara
pesta atau dangdutan masyarakat pasti meminta izin pada para kiai tersebut.
Terdapat satu kejadian yang cukup unik pada saat pelantikan RT dan RW di
kantor desa, ketika sekretaris desa dan kepala desa berbicara suasana masih
sangat riuh namun ketika kiai melantunkan ayat Al Quran seketika hadirin
tenang. Hal ini menunjukkan masyarakat lebih takut kepada kiai yang
merupakan simbol agama Islam daripada elit-elit desa. Kemudian seorang
informan mengatakan ada beberapa kegiatan agama Islam yang sampai saat ini
masih dipertahankan yaitu shalawatan dan tawasul. Selain itu ada kebiasaan
6

yang unik, sorban yang biasanya hanya digunakan oleh kiai atau ustad di desa
ini digunakan oleh masyarakat biasa, menurut salah seorang yang kami
wawancarai ia memiliki tujuh buah sorban padahal ia bukan merupakan seorang
pemuka agama. Baginya tidak menggunakan sorban ketika ke mesjid bagaikan
petani ke kebun tidak membawa golok. Selain itu keberadaan pesantren yang
telah menjadi yayasan sejak tahun 2008 yaitu Yayasan Miftahul Aziz menambah
kekentalan agama Islam di desa ini, karena berkat adanya pesantren ini anakanak sekitar Kampung Batu Karut yang tadinya kegiatan di sore hari hanya
beramain bola, saat ini beralih menjadi kegiatan mengaji di pesantren. Pesantren
ini terdiri dari dua santri, santri salafi dan santri khalafi. Santri salafi yaitu santri
yang hanya belajar mengaji, sedangkan santri khalafi adalah santri yang belajar
di Madrasah Tsanawiyah (MTs.) sekaligus mengaji. Santri khalafi belajar pelajaran
seperti di sekolah sekaligus belajar agama dan libur seperti siswa-siswi sekolah
pada umumnya, sedangkan santri salafi hanya mempelajari Al Qur’an, tidak ada
hari libur, namun tidak terikat peraturan-peraturan sekolah seperti santri khalafi.
Pada lingkungan pesantren suasana islami sangat terasa antara santri putra dan
putri selalu dipisah, ketika mereka berinteraksi di tempat yang sama pun mereka
mempunyai batasan sendiri agar tidak saling bersentuhan.

Adaptasi Etnik
Interaksi sosial adalah titik awal terjadinya proses sosial. Menurut Gillin dan
Gillin (1954) dalam Soekanto (1990), interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar perorangan,
antar kelompok, atau antara orang perorangan dengan kelompok. Terdapat dua
macam proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial, yaitu proses
asosiatif dan proses disasosiatif. Salah satu bentuk dari proses asosiatif atau
proses yang menyatukan adalah akomodasi. Akomodasi menurut Gillin dan Gillin
(1954) dalam Soekanto (1990) pengertiannya mirip dengan proses adaptasi yang
dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses dimana
makhluk-makhluk hidup menyesuaikan dirinya dengan alam sekitarnya.
Pengertian tersebut dimaksudkan sebagai suatu proses dimana orang
perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang mula-mula saling
bertentangan, saling mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan.
Mayoritas penduduk di Desa Tugu Jaya beretnik Sunda, tapi ada pula
minoritas etnik Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Kalimantan namun
secara umum etniknya cenderung homogen. Pendatang umumnya merupakan
mereka yang menikah dengan warga asli karena warga asli yang pergi merantau
keluar desa. Hubungan pendatang dengan masyarakat asli sangat baik di sini,
tidak pernah terjadi konflik ataupun gesekan-gesekan pemicunya. Masyarakat
asli juga tidak membatasi orang lain untuk tinggal di desa ini. Selain memang
masyarakat asli yang bersifat terbuka, pendatang juga berusaha menyesuaikan
dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat desa ini. Hubungan baik pun terjalin
antara warga asli dengan pendatang. Hal inilah yang menjadi ciri dari teori
adaptasi dimana masyarakat pendatang berusaha menyesuaikan diri dengan
penduduk asli demi menghindari ketegangan-ketegangan.
7

Pada perjalanan politik di Desa Tugu Jaya pernah tercatat adanya pendatang
yang mencalonkan diri sebagai kepala desa. Pendatang asal Yogyakarta beretnik
Jawa ini sebelumnya memang telah tinggal selama kurang lebih 20 tahun di desa
ini. Namun, ini membuktikan meskipun etnik lain selain Sunda adalah etnik
minoritas mereka tetap bisa bersaing dengan berhasil menduduki peringkat
kedua dalam pemilihan kepala desa tersebut. Artinya etnik minoritas ini dapat
beradaptasi dengan masyarakat setempat, sehingga dapat dipercaya dan
mendapat perolehan suara yang cukup banyak meskipun akhirnya kalah. Selain
menjadi kepala desa ada juga etnik Jawa lain yang menjabat ketua RT ataupun
ketua RW. Bentuk adaptasi pendatang atau beda etnik juga terlihat dari adanya
pesantren di Desa Tugu Jaya. Pesantren Miftahul Aziz yang terletak di Kampung
Batu Karut telah berdiri sejak tahun 2001 dan menjadi yayasan resmi 5 tahun
belakangan yaitu tahun 2008. Para santri yang bersekolah dan mengaji di
pesantren ini dominan merupakan pendatang dari Jawa Tengah, Lampung,
Bekasi, Depok, dan Jakarta. Meskipun didominasi oleh kaum pendatang, tetap
saja yang berusaha menyesuaikan diri adalah kaum pendatang dengan santrisantri asli Desa Tugu Jaya.
Etnik Sunda terasa sangat kental di Desa Tugu Jaya. Hal ini terlihat bahwa
bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Sunda. Saat pengajian berlangsung,
pembacaan doa ataupun shalawat yang disenandungkan diartikan menggunakan
Bahasa Sunda dan terlihat jelas mereka yang mengikuti pengajian tersebut fasih
berbahasa Sunda. Namun, kekentalan budaya Sunda tersebut tidak membuat
para pendatang merasa tersingkir, karena walaupun sebagian besar pengajian
menggunakan Bahasa Sunda, pendatang yang berdomisili di sana tetap
mengikuti pengajian rutin. Nilai selanjutnya yang terlihat adalah nilai gotongroyong. Aktivitas gotong-royong masih dapat ditemukan di Desa Tugu Jaya. Hal
ini terlihat saat pembangunan rumah warga. Walaupun pembangunan rumah
tersebut menggunakan jasa tukang bangunan, namun warga setempat tetap
berinisiatif membantu pembangunan tersebut. Selain pembangunan rumah,
gotong-royong pun dilakukan saat pembangunan masjid, perbaikkan jalan,
penyelenggaraan acara selametan atau acara pernikahan, acara keagamaan,
membersihkan jalan, bahkan saat perayaan HUT RI. Semua elemen masyarakat
turun tangan untuk mensukseskan acara tersebut. Mereka cukup memahami
bahwa perbedaan etnis bukan penghalang untuk saling bekerjasama. Hal ini lah
yang menunjukkan bahwa pendatang di Desa Tugu Jaya berusaha berdaptasi,
menyesuaikan budaya-budaya setempat meskipun pada awalnya mungkin
terjadi ketegangan-ketegangan.

Struktural Fungsional
Asumsi dasar teori struktural fungsional menurut Narwoko dan Suyanto
(2011) terletak pada cara pandang yang menyatakan bahwa masyarakat
(sebagai sistem sosial) terintegrasi oleh adanya kesepakatan bersama (collective
consciousness) para warganya mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (general
agreements) yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan
8

kepentingan di antara para warganya. Kebersamaan dan kohesi sosial
dimungkinkan karena adanya hubungan fungsional antarbagian pembentuk
sistem, interdependency. Dengan demikian, kondisi masyarakat akan selalu
dalam keadaan equilibrium atau dynamic eqiulibrium. Seandainya ada
perubahan-perubahan, baik karena faktor internal maupun eksternal, perubahan
itu diyakini tidak akan sampai mengganggu integritas sosial atau keseimbangan
sosial, sebab sifat perubahan yang terjadi lebih bersifat gradual ketimbang
mendasar.
Kedatangan para pendatang ke Desa Tugu Jaya diterima dengan baik oleh
masyarakat desa. Mereka sangat terbuka dengan kehadiran orang-orang baru di
sana. Mereka bahkan bertoleransi dengan kebudayaan dan kebiasaan yang
berbeda. Hal ini bisa pula menjadi salah satu dampak negatif karena warga
masyarakat menerima begitu saja kebudayaan dan kebiasaan yang baik maupun
buruk dari para pendatang. Namun, semua itu menunjukkan dengan jelas
struktural fungsional di desa Tugu Jaya, seperti menurut teori meskipun ada
perubahan-perubahan yang terjadi dengan masuknya pendatang keseimbangan
sosial di desa ini tetap tidak terganggu. Terbukti masyarakat di desa ini tetap
hidup rukun dan saling berdampingan.
Menurut Parson dalam Narwoko dan Suyanto (2011) perkembangan
masyarakat berarti erat dengan perkembangan keempat unsur subsistem
utama: kultural (pendidikan), integrasi, pencapaian tujuan, dan adaptasi. Dalam
konteks ini, kemampuan beradaptasi merupakan tolak ukur yaitu semakin besar
kemampuan masyarakat menyesuaikan diri terhadap lingkungan, semakin maju
pula masyarakat yang bersangkutan. Jadi sistem adaptasi merupakan faktor
penting dalam struktural fungsional karena dapat mengukur maju atau tidaknya
suatu masyarakat di suatu daerah. Pada Desa Tugu Jaya terlihat kemampuan
adaptasi masyarakat pendatang yang berbeda etnik dan memiliki kebudayaan
berbeda tetap hidup berdampingan dengan menyesuaikan diri dengan
kehidupan masyarakat setempat.
Agama selain dijunjung tinggi juga merupakan salah satu penguat struktural
fungsional di Desa Tugu Jaya. Hal-hal seperti pengajian rutin, larangan
bersentuhan saat bersalaman untuk orang-orang yang berbeda jenis kelamin,
penggunaan sorban, dan lain-lain masih tetap ditaati oleh masyarakat sekalipun
nilai-nilai seperti itu sudah jarang ditemuimasyarakat di daerah ini tetap taat
aturan dan tidak berusaha untuk memberontak. Hal inilah yang menunjukkan ciri
struktural fungsional selanjutnya yaitu adanya kesepakatan bersama (collective
consciousness) para warganya mengenai nilai-nilai kemasyarakatan (general
agreements), sehingga mereka tetap menaati aturan tersebut.
Talcon Parson dalam Narwoko dan Suyanto (2011) mengatakan tindakan
manusia ditentukan oleh keempat subsistem: budaya, sosial, kepribadian, dan
organisme. Sistem kultural merupakan sumber ide, pengetahuan, nilai,
kepercayaan, dan simbol-simbol. Dalam hal ini agama termasuk dalam sistem
kultural. Singkatnya, masyarakat sebagai sistem sosial, menerjemahkan
kepercayaan dan pengertian tentang realitas tertinggi ke dalam nilai-nilai
9

kultural. Sedangkan nilai-nilai kultural, pada gilirannya berperan sebagai tiang
penyangga tata kehidupan bermasyarakat dan sebagai pedoman yang
mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat di alam kehidupan fisik yang
nyata. Kyai dan ustadz memiliki peran yang penting sebagai kontrol sosial karena
mereka sangat didengarkan oleh masyarakat. Bahkan, mereka lebih dekat
dengan warga dibandingkan dengan Kepala Desa yang lebih banyak
berhubungan dengan struktur pemerintahan. Para kiai selalu menyebarkan nilainilai agama Islam yang intinya harus menjaga kerukunan antar warga karena
itulah masyarakat Desa Tugu Jaya selalu hidup harmonis. Kyai dan ustadz di sini
berfungsi sebagai penyebar agama Islam dan penjaga equilibrium atau dynamic
equilibrium dalam masyarakat, sehingga hampir tidak pernah terjadi konflik.
Hal ini pun didukung oleh pesantren-pesantren yang ada di desa Tugu Jaya.
Nilai-nilai yang diajarkan di pesantren tersebut menekankan pentingnya
menghormati antara pemeluk agama lain dan larangan untuk berkonflik antara
umat beragama. Hal ini sesuai dengan prinsip Islam yaitu “manusia sama
dihadapan Tuhan, hanya akhlak yang membedakan”. Hal inilah yang membuat
warga selalu rukun, tidak ada konflik dan selalu menjaga keharmonisan.
Struktural fungsional dapat terjaga karena adanya pengaturan perilaku oleh
kaidah sosial hasil konsensus bersama yang mempunyai kekuatan memaksa dan
ini disadari oleh semua anggota masyarakat, bahwa memang seperti itulah
seharusnya (self enforcing). Dalam keadaan seperi ini, sistem nilai itu bersifat
fungsional dan integratif. Sistem nilai itu bersumber pada pola-pola budaya yang
meliputi: believe system, system of expressive, symbolism, dan system of
valueorientation standards. Dengan sistem kepercayaan, sistem simbolik, dan
standar orientasi nilai yang sama memungkinkan berlangsungnya bentuk
hubungan sosial, interaksi sosial, dan proses sosial berjalan lancar. Proses sosial
telah diformat sedemikian rupa oleh sistem budaya dan sistem kepercayaan
yang ada sehingga setiap orang sudah mengerti bagaimana seharusnya
berhubungan dengan orang lain. Setiap anggota masyarakat berusaha
mengintegrasikan diri dengan sistem nilai yang ada melalui proses sosialisasi
dan institusionalisasi tersebut. Kesamaan sikap dan ide dalam merespons orang
lain dalam proses sosial itulah yang oleh W. I. Thomas (dalam Narwoko dan
Suyanto, 2011) disebut sebagai common definition of the situation.

10

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, terdapat keterkaitan antara
adaptasi etnik dengan teori struktural fungsional di Desa Tugu Jaya. Pendatang
yang berbeda etnik melakukan penyesuaian dengan lingkungan desa yang
kental dengan kegiatan keagamaannya. Salah satu bentuk kegiatan keagamaan
di desa ini adalah kegiatan pengajian. Dalam pengajian ini selain menggunakan
bahasa arab, arti dari doa-doa dijabarkan dalam bahasa Sunda. Meskipun
menggunakan bahasa Sunda minoritas etnik yang beragama Islam ini tetap
mengikuti pengajian sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap lingkungan
setempat (Gillin dan Gillin (1954) dalam Soekanto 1990). Dalam teori struktural
fungsional agama merupakan salah satu komponen untuk mencapai mencapai
keseimbangan. Masyarakat Desa Tugu Jaya yang sangat menjunjung nilai-nilai
Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, selalu menerapkan salah satu ajaran
agama Islam yang mengajarkan tentang kedamaian. Kepercayaan dalam hal ini
agama menjadi pedoman perilaku masyarakat sehingga masyarakat desa ini
tetap hidup dalam kerukunan (Talcon Parson dalam Narwoko dan Suyanto 2011).
Hubungan antara etnik dan struktural fungsional adalah pendatang yang
berbeda etnik beradaptasi dengan masyarakat setempat melalui pendekatan
agama. Adaptasi ini adalah salah satu cara untuk mencapai struktural fungsional
karena dengan adanya adaptasi akan menyebabkan terciptanya new dynnamic
equilibrium (Talcon Parson dalam Narwoko dan Suyanto 2011).

Saran
Masalah yang muncul di lapangan adalah pola pikir yang salah karena
masih kentalnya agama Islam di sana. Setiap ada alokasi dana dari pemerintah
untuk pembangun, yang selalu diprioritaskan untuk adalah pembangunan
mesjid. Mereka masih berpikir jika dana pembangunan itu digunakan untuk
pembangunan mesjid, dananya akan lebih berkah. Padahal seperti yang telah
terlihat sekarang dengan semakin banyaknya mesjid, mesjid-mesjid tersebut jadi
tidak terawat dan jarang diisi. Contohnya mushola-mushola yang ada di sana
hanya digunakan untuk pengajian, jika solat berjamaah dilakukan di mesjid.
Dampak lainnya adalah jika aktivitas warga semakin tersebar di banyak mesjid
dan tidak terpusat akan mengurangi kohesivitas antar warga. Solusi dari
kelompok kami adalah dana yang diberikan oleh pemerintah sebaiknya tidak
hanya digunakan untuk pembangunan mesjid, dana tersebut dapat dialokasikan
untuk pemberdayaan masyarakat untuk membuka usaha atau pelatihan
keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Tugu Jaya.
Hal ini karena banyak penduduk di sana yang bekerja serabutan atau tidak
memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Selain itu, jika dana tersebut tidak
hanya digunakan untuk pembangunan mesjid lagi, aktivitas warga akan berpusat
di satu mesjid sehingga kohesivitas antar warga akan tetap terjaga.
Masalah kedua yaitu masih rendahnya tigkat pendidikan masyarakat Desa
Tugu Jaya. Dimana tingkat pendidikan masyarakat Desa Tugu Jaya masih
11

didominasi oleh tamatan sekolah dasar yaitu sebanyak 6.430 orang, kemudian
disusul oleh tamatan SLTP sebanyak 2.169 orang, SLTA 1.002 orang, dan sisanya
tamatan D3 dan S1 masing-masing sebanyak 54 dan 105 orang. Hal ini
disebabkan jumlah sekolah yang ada sangat terbatas karena hanya terdapat
satu sekolah dasar yang bernama SD Cipetir, dan dua buah SMP/ MTs yang
bernama SMP PGRI dan MTs. Miftahul Aziz, sedangkan jika ingin melanjutkan ke
jenjang SMA mereka harus merantau keluar kota. Padahal pendapatan warga
untuk dapat menyekolahkan anaknya keluar kota juga terbatas. Solusi yang
ditawarkan oleh kelompok kami yaitu dengan menggunakan dana bantuan dari
pemerintah untuk pembangunan sekolah dan perbaikan sarana prasarana
pendidikan. Sehingga dana yang diberikan tidak hanya digunakan
untuk
pembangun masjid. Tentunya hal ini juga diimbangi dengan pengalokasian dana
yang akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman GG. 2011. Analisis Sikap dan Kepuasan Petani terhadap Benih Padi
Hibrida. [internet]. [diunduh 17 Desember 2013]. [dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/53150].
Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Rafindo
Persada.
Syaf S. 2012. Pembentukan Identitas Etnik dalam Arena Ekonomi Politik Lokal di
Era Desentralisasi. [Disertasi]. [diunduh pada 11 Desember 2013]. [Dapat
diunduh di http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/61303].

12