Peran Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan

Peran Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Islam (Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh
Negara)
Dipublikasi pada Mei 18, 2012 oleh makro4d

Nama

: Siti Qonita Luthfiyah

Nim

: 1110082000149

Judul
: Peran Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal dalam Islam (Zakat dan Relevansi
Pengelolaannya oleh Negara)

Alamat

: Jl. Duren Bangka 002/002 No. 19 Jak-Sel

Jurusan : Akuntansi


Fakultas : Ekonomi dan Bisnis

Universitas: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

A.

Arti Definisi / Pengertian Kebijakan Fiskal (Fiscal Policy)

Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian
untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan

ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih
mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.

Dalam fiskal ekonomi islam, kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat untuk mencapai tujuan
syariah yang di jelaskan oleh Imam Al-Ghazali, termasuk meningkatkan kesejahteraan dengan tetap
menjaga keimanan, kehidupan, intelektualitas, kekayaan, dan kepemilikan. Jadi, bukan hanya untuk
mencapai keberlangsungan (pembagian) ekonomi untuk masyarakat yang paling besar jumlahnya, tapi
juga membantu meningkatkan spiritual dan menyebarkan pesan dan ajaran islam seluas mungkin.


Beberapa hal penting dalam ekonomi islam yang berimplikasi bagi penentuan kebijakan fiskal adalah
sebagai berikut:

a) Mengabaikan keadaan ekonomi dalam ekonomi islam, pemerintah muslim harus menjamin bahwa
zakat dikumpulkan dari orang-orang muslim yang memiliki harta melebihi nisab dan yang digunakan
untuk maksud yang dikhususkan dalam kitab suci Al-Qur’an.

b) Tingkat bunga tidak berperan dalam system ekonomi islam.

c) Ketika semua pinjaman dalam islam adalah bebas bunga, pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari
pengumpulan pajak atau dari bagi hasil.

d)
Ekonomi islam diupayakan untuk membantu ekonomi masyarakat muslim terbelakang dan
menyebarkan pesan-pesan ajaran islam.

e) Negara islam adalah Negara yang sejahtera, kesejahteraan meliputi aspek material dan spiritual.

f) Pada saat perang, islam berharap orang-orang itu memberikan tidak hanya kehidupannya, tapi juga

hartanya untuk menjaga agama.

g) Hak perpajakan dalam islam tidak tak terbatas.

B.

Instrumen kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatanya dalam
merealisasikan tujuan-tujuan ekonomi. Dan kebijakan fiskal ini tersebut memiliki dua instrumen,
pertama: kebijakan pendapatan, kedua: kebijakan belanja.

1. Kebijakan Pendapatan

a) Kebijakan Fiskal Pada masa Nabi Muhammad SAW. Rasulullah menanamkan prinsip saling
membantu terhadap kebutuhan saudaranya selama memimpin di mekah. Setelah Rasulullah dimadinah,
dalam waktu yang singkat Madinah mengalami pertumbuhan yang cepat. Dengan menerapkan prinsipprinsip pemerintahan dan organisasi, membangun intitusi-intitusi, mengarahkan urusan luar negeri,
membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatanya secara penuh.
Sebagai kepala Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau,
seperti (1) membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya;

(2) merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah; (3) menciptakan kedamaian dalam Negara; (4)
mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya; (5) membuat konstitusi Negara; (6) menyusun
system pertahanan madinah; (7) meletakan dasar-dasar sistem keuangan Negara. Bersamaan dengan
persyariatan zakat, pemasukan lainpun mulai terlembagakan, mulai dari ghonimah perang Badar,
kemudian perang-perang berikutnya. Pemasukan lainya yang dilembagakan adalah jizyah, dalam satu
riwayat disebutkan terkumpul sebanyak dua ribu hullah.

Rasulullahpun mengkhususkan area untuk kemaslahatan umum, seperti tempat penggembalaan kudakuda perang, bahkan mementukan beberapa orang petugas untuk menjaga harta kekayaan negara
seperti kekayaan hasil bumi khaibar yang dipercayakan kepada Abdullah bin Rawahah, sedangkan tugas
penjagaan baitul maal dan pendistribusiaanya di amanahkan kepada Abi Rafi’ dan bilal, sementara
ternak
pembayaran zakat diamanahkan kepada salah seorang dari Bani Giffar.

(b) Kebijakan Fiskal Pada masa Khulafaur Rasyidin

Seiring dengan perluasan kekusaan pemerintahan islam, maka pemasukan Ghonimah, fai’,
dan pemasukan lainnya semakin meningkat. Kemudian penetapan pos pemasukan “kharaj” terhadap
tanah iraq dengan bersandar pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap Khaibar, dan atas
keputusan ijma sahabat. Hal tersebut terjadi pada masa pemerintahan umar bin khatab. Untuk pertama
kalinya pemasukan zakat ditransfer ke pemerintahan pusat, hal tersebut terjadi ketika Muadz Bin Jabal

mengirim sepertiga hasil zakat dearah Yaman ke Madinah dan Umar menolaknya. Ditahun berikutnya
Muadz mengirim setengah hasil zakat Yaman. Dan kembali Umar menolaknya sehingga pada tahun
berikutnya Muadz mengirim seluruh hasil zakat dan berkata kepada Umar, bahwa di Yaman sudah tidak
ada lagi Mustahiq zakat, kemudian Umarpun menerima hal tersebut dan selanjutnya Umar mensuplai
hasil surplus zakat suatu dearah ke daerah yang mengalami defisit. Sumber lainnya yang ditetapkan pada
zaman Umar adalah ”al usyur” dari perdagangan import yang di kelola oleh kaum kafir Harbi (orang nonMuslim yan tinggal di negara yang memerangi Islam).

2. Kebijakan Belanja

Kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari Al-Quran dan Assunnah dalam memandu kebijakan belanja
pemerintah. Kaidah-kaidah tersebut, antara lain sebagai berikut:

Timbangan kebijakan pengeluaran atau belanja pemerintah harus senantiasa mengikuti kaidah
maslahah.
Menghindari Masyaqqah kesulitan dan madhorot harus didahulukan ketimbang melakukan
pembenahan.
Madhorot individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madhorot dalam skala umum.
Pengorbanan individu dapat dikorbankan demi menghindarkan kerugian dan pengorbanan dalam
skala umum
Kaidah ”Algiurmu bil gunmi” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang mendapatkan manfaat harus

siap menanggung beban.
Kaidah ”ma la yatimmu Al waajibu illa bihifahua wajib” yaitu kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu
hal yang wajib ditegakan, tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya tidak dapat dibangun, maka
meninggalkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib hukumnya.

Dan adapun tujuan pembelanjaan pemerintah dalam islam adalah sebagai berikut:

Pengeluaran demi memenuhi kebutuhan hajat masyarakat.
Pengeluaran sebagai alat Redistribusi kekayaan.
Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.
Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.
Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.

Secara lebih rinci Pembelanjaan Negara harus didasarkan pada hal-hal berikut ini:

Kebijakan belanja rutin harus sesuai dengan asas maslahat umum, tidak boleh dikaitkan dengan
kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi kemaslahatan pejabat pemerintah.
Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin, yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat
dengan biaya yang semurah-murahnya, dengan sendirinya jauh dari sifat mubazir dan kikir disamping
alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan syariah.

Kaidah yang tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak
pada kelompok miskin.
Kaidah atau prinsip komitmen dengan aturan syariah, maka alokasi belanja Negara hanya boleh pada
hal-hal yang mubah, dan menjauhi yang haram.
Kaidah atau prinsip komitmen dengan skala prioritas syariah, dimulai dari yang wajib, sunnah dan
mubah, atau dhoruroh, hajiyyat dan kamaliyyah.

Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat
dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri
akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli
masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.

Kebijakan Anggaran / Politik Anggaran :

Anggaran Defisit (Defisit Budget) / Kebijakan Fiskal Ekspansif

Anggaran defisit adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan
negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan
ekonomi sedang resesif.


2. Anggaran Surplus (Surplus Budget) / Kebijakan Fiskal Kontraktif

Anggaran surplus adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada
pengeluarannya. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang
ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan.

3. Anggaran Berimbang (Balanced Budget)

Anggaran berimbang terjadi ketika pemerintah menetapkan pengeluaran sama besar dengan
pemasukan. Tujuan politik anggaran berimbang yakni terjadinya kepastian anggaran serta meningkatkan
disiplin.

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang mempengaruhi anggaran pendapatan belanja suatu negara
(APBN). Kebijakan ini bersama kebijakan lainnya seperti: kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan
perdagangan diperlukan untuk mengoreksi gangguan-gangguan yang menghambat jalnnya roda
perekonomian. Maklum sistem ekonomi kapitalis sangat bergantung pada jalannya mekanisme pasar.
Bila terjadi gangguan-gangguan terhadap jalnnya mekasinme pasar, maka diperlukan berbagai macam
usaha untuk mengoreksi jalannya perekonomian, agar mekanisme pasar berjalan dengan sempurna.
Dalam Islam kita mengenal konsep zakat, infaq, shadaqah, wakaf, dan lain-lain (ZISWA). Zakat merupakan

kewajiban untuk mengeluarkan sebagian pendapatan atau harta seseorang yang telah memenuhi syarat
syariah Islam guna diberikan kepada berbagai unsur masyarakat yang telah ditentukan dalam syariah
Islam.

Sementara untuk infaq, shadaqah, dan wakaf merupakan pengeluaran “sukarela” yang sangat dianjurkan
dalam Islam. Dengan demikian ZISWA merupakan unsur-unsur yang terkandung dalam kebijakan fiskal.

Pembagian dalam kegiatan “wajib dan sukarela” ini khas didalam sistem ekonomi Islam, yang
membedakannya dalam sistem ekonomi pasar.

Dalam sistem ekonomi pasar, disana tidak ada sektor sukarela. Tujuan utama dari kegiatan zakat
-berdasarkan sudut pandang sistem ekonomi pasar- adalah menciptakan distribusi pendapatan menjadi
lebih merata. Selain untuk tujuan distribusi, maka analisa kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi pasar
dilakukan untuk melihat bagaimana dampak dari zakat terhadap kegiatan alokasi sumber daya ekonomi
dan stabilisasi kegiatan ekonomi. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan dampak kegiatan zakat
didalam suatu perekonomian dewasa ini belum banyak berkembang. Karena unsur zakat dalam sistem
ekonomi konvensional bukan merupakan suatu variabel utama dalam struktur teori yang ada.

Dalam struktur ekonomi konvenisonal, unsur utama dari kebijakan fiskal adalah unsur-unsur yang berasal
dari berbagai jenis pajak sebagai sumber penerimaan pemerintah dan unsur-unsur yang berkaitan

dengan variabel pengeluaran pemerintah. Tidak ada unsur zakat di dlaam data Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), karena memamng kegitan zakat belum termasuk dalam catatan statistik
resmi pemerintah. Pelaksanaan zakat selama ini lebih merupakan kegiatan masyarakat yang ingin
mensucikan hartanya. Dengan demikian diperlukan berbagai macam penelitian yang berkaitan dengan
dampak alokasi, distribusi serta stabilisasi kegiatan zakat sebagai salah satu unsur kebijakan fiskal dalam
sistem ekonomi. Zakat sendiri bukanlah satu kegiatan yang semata-mata untuk duniawi, seperti distribusi
pendapatan, stabilitas ekonomi dan lainnya, tetapi juga mempunyai implikasi untuk kehidupan di akhirat.
Hal inilah yang membedakan kebajikan fiskal dalam Islam dengan kebajikan fiskal dalam sistem ekonomi
pasar.

Didalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 103 disebutkan:

“Ambillah zakat dari sebagian harta, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka
dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S At-Taubah : 103).

Sementara itu dampak untuk pengeluaran-pengeluaran lainnya seperti shadaqah dan lain-lain juga
termaktub di dalam AL Qur’an :

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah

adalah seperti sebutir benih yang tumbuh tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah

melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha
Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah : 261).

Dlam Qur’an diperkirakan terdapat 30 Ayat yang berkiatn dengan perintah untuk mengeluarkan zakat.
Perintah berzakat sering muncul berdampingan sesudah perintah mendirikan shalat. Hal ini
menunjukkan bahwa betapa pentingnya kegiatan berzakat setingkat dengan pentingnya shalat dalam
Islam.

Kemudian, bukankah salah satu arti dari kata zakat adalah ‘berkembang’ ?? kalu pada saat ini
dampaknya terhadapa kegiatan ekonomi di Indonesia masih kecil, maka ini tentunya disebabkan oleh
beberapa hal. Pengeluaran zakat adalah pengeluaran minimal untuk membuat distribusi pendapatan
menjadi lebih merata tetapi belum optimal. Oleh karena itu diperlukan pengeluaran-pengeluaran lain
yang melengkapi pengeluaran zakat tersebut seperti shadaqah, wakf sedemikian, sehingga dampaknya
terhadap distribusi pendaptan menjadi optimal. Selain itu mengapa dampak ekonomi zakat masih kecil,,
karena zakat selama ini belum dikelola secara baik dan profesional di samping masih rendahnya
kesadaran masyarakat untuk berzakat secara benar.

C.

Zakat dan Relevansi Pengelolaannya oleh Negara

Dalam Islam, altruisme merupakan salah satu alasan bagi perilaku kedermawanan. Dalam surat AlHasyar (59) ayat 9 Allah memuji perilaku kaum Anshar yang lebih menyantuni kaum Muhajirin meskipun
kesulitan yang mereka hadapi tidak jauh berbeda.

Dalam perilaku filantropinya (giving behavior), seorang Muslim mempunyai pilihan dalam mencapai
kepuasaannya (utility function). Kalau ia sudah merasa puas dengan berderma kepada seorang pemintaminta, menyumbang korban bencana alam, memberi santunan bulanan kepada beberapa anak yatim,
atau bentuk-bentuk charity lainnya, maka berarti kurva kepuasaannya sudah mencapai titik maksimum
dengan berinfak secara pribadi dan langsung (direct giving) tersebut.

Namun, apabila ia tidak cukup puas dengan pola berderma seperti itu karena melihat kesejahteraan
kelompok masyarakat miskin yang tidak meningkat, maka mungkin saja pola pengumpulan dan
penyaluran zakat perlu dilakukan oleh negara (indirect giving) agar lebih terorganisir dan mengcover
masyarakat yang lebih luas.

Ada beberapa alasan mengapa negara perlu campur tangan dalam pengelolaan zakat. Pertama, zakat
bukanlah bentuk charity biasa atau bentuk kedermawanan sebagaimana infak, wakaf, dan hibah. Zakat
hukumnya wajib (imperatif) sementara charity atau donasi hukumnya mandub (sunnah). Pemungutan
zakat dapat dipaksakan berdasarkan firman Allah dalam surat al-Tawbah (9) ayat 103. Satu-satunya
lembaga yang mempunyai otoritas untuk melakukan pemaksaan seperti itu dalam sistem demokrasi
adalah negara lewat perangkat pemerintahan, seperti halnya pengumpulan pajak. Apabila hal ini
disepakati, maka zakat akan menjadi salah satu sumber penerimaan negara.

Kedua, potensi zakat yang dapat dikumpulkan dari masyarakat sangat besar. Menurut sebuah sumber,
potensi zakat di Indonesia mencapai hampir 20 triliun per tahun. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan
Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation tahun 2005 mengungkapkan, jumlah potensi
filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp 19,3 triliun. Di antara potensi tersebut, Rp
5,1 triliun berbentuk barang dan Rp 14,2 triliun berbentuk uang. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya
masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun. Salah satu temuan
menarik dari hasil penelitian tersebut adalah bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal
diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah
masjid-masjid. Badan Amil Zakat (BAZ) pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3
persen zakat maal, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) swasta hanya 4 persen zakat maal.

Pada kenyataannya, dana zakat yang berhasil dihimpun dari masyarakat masih jauh dari potensi yang
sebenarnya. Sebagai perbandingan, dana zakat yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga-lembaga
pengumpul zakat baru mencapai beberapa puluh milyar. Itu pun bercampur dengan infak, hibah, dan
wakaf. Potensi yang sangat besar itu akan dapat dicapai dan disalurkan kalau pelaksanaannya dilakukan
oleh negara melalui departemen teknis pelaksana.

Ketiga, zakat mempunyai potensi untuk turut membantu pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Dana zakat yang sangat besar sebenarnya cukup berpotensi untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
jika disalurkan secara terprogram dalam rencana pembangunan nasional. Dalam periode tertentu, suatu
negara membuat rencana pembangunan di berbagai bidang sekaligus perencanaan anggarannya. Potensi
zakat yang cukup besar dan sasaran distribusi zakat yang jelas seharusnya dapat sejalan dengan rencana
pembangunan nasional tersebut.

Keempat, agar dana zakat dapat disalurkan secara tepat, efisien dan efektif sehingga mencapai tujuan
zakat itu sendiri seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pengumpulan dan pendistribusian zakat
yang terpisah-pisah, baik disalurkan sendiri maupun melalui berbagai charity membuat misi zakat agak

tersendat. Harus diakui bahwa berbagai lembaga charity telah berbuat banyak dalam pengumpulan dan
pendistribusian dana zakat dan telah banyak hasil yang dapat dipetik. Namun, hasil itu dapat
ditingkatkan kalau pengumpulan dan pengelolaannya itu dilakukan oleh negara melalui perangkatperangkatnya.

Kelima, memberikan kontrol kepada pengelola negara. Salah satu penyakit yang masih menggerogoti
keuangan Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya adalah korupsi atau penyalahgunaan keuangan
negara. Padahal, sebagian besar pengelola negara ini mengaku beragama Islam. Penyalahgunaan ini
antara lain disebabkan oleh lemahnya iman menghadapi godaan untuk korupsi. Masuknya dana zakat ke
dalam perbendaharaan negara diharapkan akan menyadarkan mereka bahwa di antara uang yang
dikorupsi itu terdapat dana zakat yang tidak sepantasnya dikorupsi juga. Petugas zakat juga tidak mudah
disuap dan wajib zakat juga tidak akan main-main dalam menghitung zakatnya serta tidak akan
melakukan ‘tawar-menawar’ dengan petugas zakat sebagaimana sering ditemui dalam kasus
pemungutan pajak.

Upaya pengintegrasian zakat ke dalam kebijakan fiskal negara adalah dengan melakukan rekonstruksi
sejarah terhadap pelaksanaan zakat pada masa awal Islam. Pada masa awal Islam, zakat merupakan
’pungutan’ wajib yang ditarik dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara pada waktu itu.
Dalam perkembangannya, zakat mengalami kestatisan karena terlanjur dibakukan sehingga tidak dapat
beradaptasi dengan perkembangan perekonomian umat. Akibatnya, untuk pembiayaan kebutuhan
negara ditariklah pajak dari masyarakat karena bersifat dinamis dan dapat diatur pelembagaannya oleh
pemerintah sesuai dengan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi yang telah disusun pemerintah.
Pengembalian zakat ke khittah awalnya ini dapat dilakukan dengan keberanian merumuskan kembali
konsep zakat dalam Islam.

Dengan terintegrasinya zakat ke dalam kebijakan fiskal tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan
kebijakan fiskal yang sama-sama menguntungkan, baik bagi umat Islam maupun bagi negara. Hal ini
pada gilirannya akan menyebabkan pergeseran berbagai ketentuan dalam hukum zakat tradisional.

Pengaruh kebijakan fiskal modern terhadap hukum zakat terjadi pada subyek dan obyek, tarif dan
sasaran pendistribusian zakat. Subyek zakat dalam kebijakan fiskal juga termasuk badan hukum di
samping perorangan. Sedangkan pengaruh kebijakan fiskal terhadap obyek zakat adalah bahwa jenis
kekayaan yang dikeluarkan zakatnya tidak terbatas pada jenis-jenis harta yang telah ditentukan oleh
Rasulullah Saw. dulu saja, tetapi juga meliputi berbagai jenis kekayaan lainnya menurut kebijakan
pemerintah.

Pengaruh kebijakan fiskal lainnya adalah dalam hal tarif atau prosentase (rasio) dan nisab zakat menjadi
tidak tetap (baku). Tarif yang ditetapkan mungkin saja berupa tarif proporsional, tarif agresif, dan trarif
progresif sesuai dengan kebijakan fiskal yang akan dicapai oleh pemerintah. Sedangkan pengaruh
terhadap sasaran pendistribusian zakat adalah perluasan makna asnaf delapan yang telah ditetapkan
dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 60. perluasan makna tersebut bertujuan untuk terpenuhinya
pengeluaran pemerintah dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat.

Dengan demikian, dalam konteks kebijakan fiskal negara, pajak keagamaan (Islam: zakat) dapat
dikenakan kepada seluruh warga negara, tanpa melakukan diskriminasi keagamaan.

dana zakat dapat digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana pertanian sebagai tumpuan
kesejahteraan ekonomi rakyat dan pengerian yang luas, pembangunan sektor industri yang secara
langsung berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat banyak, penyelenggaraan sentra-sentra
pendidikan keterampilan dan kejuruan untuk mengatasi pengangguran, pembangunan pemukiman
rakyat tuna wisma atau gelandangan, jaminan hidup orang-orang yang cacat (defable), jompo, yatim
piatu, dan orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan. Di samping itu, dana zakat juga dapat
digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dasar sampai tinggi untuk setiap warga
yang memerlukan, pengadaan sarana dan prasarana kesehatan bagi rakyat, dan pengadaan sarana dan
prasarana lain yang erat hubungannya dengan usaha menyejahterakan rakyat yang berada pada atau di
bawah garis kemiskinan.

Pada instrumen kebijakan fiskal, mekanisme zakat memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada
tingkat yang minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infaq-shodaqoh dan
instrumen sejenis lainnya mendorong permintaan agregat, karena fungsinya yang membantu ummat
untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Dan aktifitas ekonomi produktif ini bermakna
sumber daya ekonomi berputar pada tingkat yang maksimal.

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Pengaruh Kebijakan Hutang Dan Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Deviden Pada PT. Indosat

8 108 124

Peranan Deposito Sebagai Sumber Dana Pada PT. Bank X,Tbk. Cabang Buah Batu Bandung

3 47 1

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17