REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUAN (1)

REPRESENTASI PERAN POLITIK BUNDO KANDUANG PADA SISTEM
PEMERINTAHAN NAGARI DALAM UPAYA MEMPERKUAT DEMOKRASI LOKAL DI
SUMATERA BARAT

Oleh :
Amaliatulwalidain
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Pemerintahan Dan Budaya Universitas Indo Global Mandiri
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pasca Sumatera Barat kembali kepada sistem pemerintahan Nagari, praktis terjadi
perubahan pada sistem politik pemerintahan lokal di Minangkabau. Melalui Peraturan
Daerah No 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari,sistem politik
pemerintahan lokal di Sumatera Barat kemudian dilandaskan pada konsep “Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Dalam konsep “Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah penyelenggaran pemerintahan Nagari secara prosedural dilaksanakan
pada konteks demokrasi lokal yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Nagari,
yaitu, keterlibatkan unsur-unsur lokalitas adat, salah satunya yaitu unsur adat Bundo
Kanduang. Bundo Kanduang adalah salah satu unsur adat yang mewakili representasi
kaum perempuan di Nagari. Representasi dan peran politik Bundo Kanduang sebagai
bagian dari penyelenggaraan pemerintahan di Nagari dan kedudukannya secara formal

berada dalam (BAMUS) atau Badan Musyarawah Nagari bersama-sama dengan unsurunsur adat lainnya. Bundo Kanduang, merupakan salah satu instusi adat yang merupakan
representasi dari kaum perempuan di Nagari. Tugas utama dari Bundo Kanduang berperan
penting dalam menjaga kelestarian budaya dan adat istiadat Minangkabau yang
berlandaskan kepada Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Perubahan struktur
sistem pemerintahan lokal di Sumatera Barat, turut menyebabkan perubahan pada
representasi dan peran Bundo Kanduang, apabila sebelumnya kedudukan Bundo Kanduang
hanya sebagai penjaga kelangsungan dan kelestarian adat istiadat saja, melalui amanat dari
Peraturan Daerah No 2 Tahun 2007, secara formal memberikan peran politik Bundo
Kanduang yang termanifestasi melalui representasi Bundo Kanduang pada Badan
Musyawarah (BAMUS) Nagari sebagai penyelanggara pemerintahan Nagari. Maka melalui
tulisan ini, akan memberikan analisis mendalam tentang bagaimana representasi peran
politik Bundo Kanduang dalam penguatan demokrasi lokal di Sumatera Barat. Teori dan
konsep yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian ini menggunakan teori
representasi politik dan teori demokrasi lokal. Metode penelitian menggunakan metodelogi
penelitian kualitatif deskriptif-analitis dengan menggunakan jenis data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara mendalam ((in-depth interview).

Kata Kunci : Representasi Politik, Demokrasi Lokal, Bundo Kanduang, Pemerintahan
Nagari


1

A. LATAR BELAKANG

Sejak Sumatera Barat kembali kepada pemerintahan nagari sesuai dengan
dikeluarkannya Perda No.9 Tahun 2000 dan dipertegas kembali melalui Perda No.2
Tahun 2007 tentang pokok-pokok pemerintahan nagari, terjadi perubahan krusial dalam
tata laksana pemerintahan di Sumatera Barat. Melalui peraturan tersebut menandai
demokrasi lokal di Minangkabau dihidupkan kembali, setelah sekian lama dihilangkan
akibat diberlakukannya Undang-undang No.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa,
yang telah menyebabkan pemisahan secara tajam terhadap unsur adat dan unsur
administrasi pemerintahan.
Kembalinya sistem pemerintahan nagari dalam struktur pemerintahan di Sumatera
Barat, yang tercermin dalam Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No. 2 Tahun 2007
tentang pokok-pokok pemerintahan nagari , secara langsung juga turut mengembalikan
legitimasi kepemimpinan adat dalam mengatur proses politik yang berlangsung di nagari.
Kesempatan besar untuk menghidupkan kembali ruh adat yang berbasis pada adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah tidak hanya menuntut pada representasi dan

peran serta masyarakat nagari, secara khusus juga menuntut keterlibatan perempuan

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.
Amanat untuk melibatkan perempuan atau bundo kanduang secara tegas tertulis
dalam pasal 12 Perda No.2 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa, anggota BAMUS
Nagari (badan musyawarah nagari) terdiri dari unsur Ninik Mamak (tokoh adat /kepala
sukuP) , Alim Ulama (Tokoh Agama), Cadiak Pandai (cendikiawan), Bundo Kanduang
(Tokoh Perempuan) dan komponen masyarakat lainnya yang tumbuh dan berkembang di
Nagari.1
Asumsi yang mendasari pasal 12 tersebut, adalah agar semua kepentingan golongan
masyarakat dapat terwakili terutama dalam perumusun kebijakan di nagari. Dari unsur
tersebut terlihat bahwa pengembangan sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat
menjamin peran serta perempuan dalam kehidupan politik di nagari. Secara yuridis
formal perempuan dalam masyarakat nagari memiliki jaminan akan peran yang sama

1

Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari

2

dalam pembuatan keputusan. Landasan yuridis ini menjadi peluang yang cukup besar

bagi bundo kanduang di nagari untuk terlibat dalam kehidupan politik Nagari.2
Berpijak pada persoalan diatas, maka tulisan ini hendak membahas tentang
bagaimana keterlibatan bundo kanduang sebagai salah satu unsur terpenting dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan di nagari

terutama menyangkut kedudukannya di

BAMUS (badan musyawarah), tentu secara langsung hadirnya bundo kanduang tidak
hanya dilihat sebagai respon tentang penataan ulang relasi kekuasaan yang terjadi di
nagari, melainkan juga pada perubahan representasi dan peran bundo kanduang dalam
upaya merangkai kembali konteks demokrasi lokal yang sesuai pada nilai-nilai adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

B. BUNDO KANDUANG :

REPRESENTASI GENDER & KEKUASAAN DI

MINANGKABAU
Sejak tahun 1970-an studi tentang budaya Minangkabau telah banyak menarik minat
peneliti-peneliti asing dari luar negeri diantaranya dari Belanda, Jerman, Korea, Jepang

dan Amerika Serikat

3

. Ilmuwan-ilmuwan mancanegara tersebut meneliti dan

mengajukan makalah yang tidak hanya banyak membahas mengenai keunikan budaya
Minangkabau tetapi juga mengkaji tentang sruktur politik di Minangkabau. Penggunaan
teori-teori keilmuan oleh para ilmuwan tersebut berasal dari disiplin keilmuan yang
berbeda-beda khususnya sosiologi, antropologi, sejarah, sastra, hingga politik.
Penggunaan teori-teori keilmuan tersebut tidak hanya menambah khazanah literature
tentang “Minangkabau”, melainkan juga secara tidak langsung memperkenalkan budaya
Minangkabau di mata dunia.
Jumlah kajian ilmiah tentang daerah-daerah di Indonesia barangkali hanya Jawa,
Bali dan mungkin Aceh yang bisa menandingi Minangkabau. Karena berbagai fakta
sosial dan sejarah yang telah diketahui secara elementer, mulai dari peristiwa sejarah
sampai dengan sistem kekerabatan matrilineal. Etnis Minangkabau termasuk yang paling
“populer” sebagai sasaran penelitian ilmiah. Hal ini sudah bermula sejak awal abad 20.
Popularitas Minangkabau sebagai sasaran penelitian ilmiah semakin menaik sejak tahun


2

Irawati. Bundo Kanduang dan Tantangan Politik Dalam Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN). Jurnal
DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Tahun 2010, hlm 26-27
3
Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta :
Freedom Institute. 2010.

3

1970 meskipun sempat hampir-hampir terhenti selama dua puluh tahun.4

Hal tersebut

semakin dipertegas oleh J. Kahn, bahwa kajian ilmiah mengenai Etnis Minangkabau
mempunyai daya tarik di kalangan antropologis dalam melihat kehidupan adat yang
berdasarkan pada sistem klan dan garis keturunan matrilineal.5
Sebagian besar kajian ilmiah tentang budaya Minangkabau, umumnya membahas
mengenai tentang sistem kehidupan masyarakat Minangkabau bercorak matrilineal,
dimana secara kultural Sumatera Barat memiliki keunikan dalam menempatkan

perempuan dalam konstelasi kehidupan sosialnya. Simbol dari kehidupan matrilineal di
Minangkabau dibentuk dalam sistem dimana ibu atau wanita tertua mengepalai keluarga
dan keturunan (clans) serta hubungan ditentukan melalui garis keturunan perempuan
termasuk juga dalam aturan pemerintahan adat, wanita tertua (wanita senior) yang disebut
bundo kanduang mempunyai peran signifikan untuk mengendalikan keputusan adat. 6
Bundo kanduang selalu disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang, yang

memiliki status istimewa dan memainkan peran penting dalam kehidupan dan komunitas
sosial di Nagari. Selain sebagai penarik garis keturunan, peran penting Bundo kanduang
lainnya pemilik dari harta pusaka (modal ekonomi) serta sebagai pimpinan dalam
“Rumah Nan Gadang”. Dalam Kaba Cinduo Mato 7atau cerita popular rakyat Minang
dan merupakan cerita sastra klasik Minangkabau, sosok Bundo Kanduang selalu
dinterpretasikan sebagai sosok raja perempuan yang mempunyai legitimasi penuh dalam
mengontrol kekuasaan di dalam istana Pagaruyung. Bundo kanduang diceritakan sebagai
tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, ia

4

Ibid,hlm xxiv
J. S. Kahn. Tradition, Matrialiny, and Change Among The Minangkabau Of Indonesia. The Jurnal Of Asian

Studies Vol 71, No 4 November : The Asossiation For Asian Studies . Tahun 2012, hlm 64
5

Prima Aswirna and Fahmi Reza, Man’s Without Power : Gender Paradigm In West Sumatera. Article AICIS
Tahun 2015, hlm 15.

6

7

Kaba Cindua Mato memiliki posisi khusus di Indonesia Sastra tradisional Minangkabau, terutama cerita-cerita
yang tergambar dalam Kaba Cindo Mato yang mencerminankan nilai-nilai adat serta Islam sebagai nucleus yang
menjadi fondasi cara hidup orang Minangkabau saat itu (Manan, 1967 : 81) Kaba Cinduo Mato ini kemudian
memperkuat deskripsi Minangkabau sebagai suatu masyarakat matrilineal dimana kaum perempuannya memiliki
beberapa hak istimewa dan turut memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat. lihat dalam Mina
Elfira. Bundo Kanduang : A. Powerful Or Powerless Ruler ? Literary Analisysi Of Kaba Cinduo Mato (Hikayat
Nan Muda Tuanku Pagaruyung). Makara : Sosial Humaniora .Vol. 11, No. 1, Juni 2007 ,hlm 30-36

4


mengajar anaknya Dang Tuanku dalam segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan
santun dalam masyarakat, dan cara-cara memerintah.8
De Jong berargumen, bahwa sistem organisasi politik Minangkabau serta
kehidupan politik dan sosial antara posisi matrilineal dan posisi patrilineal saling terkait
satu sama lain dan sudah tergambar jelas dalam cerita Kaba Cindua Mato. Menurut De
Jong, Kaba Cinduo Mato tidak hanya menggambarkan tentang kehidupan bundo
kanduang sebagai penguasa di Minangkabau, tetapi Kaba Cinduo Mato merupakan juga
jawaban bagi pertanyaan apakan mungkin bagi seorang perempuan untuk menjadi
pemimpin pada masyarakat adat di Minangkabau9.
Secara mendasar sosok dan figur Bundo Kanduang dalam ceritera Kaba
Cinduo Mato tersebut, tidak hanya memberikan gambaran tentang representasi gender

dan kekuasaan perempuan di Minangkabau, tetapi juga sebagai petunjuk dan realita,
bahwa pada kenyaataanya perempuan di Minangkabau mengambil peran yang cukup
signifikan dalam urusan politik dan masyarakat. Secara rinci representasi gender dan
kekuasaan Bundo Kanduang dalam kehidupan sosial dan politik di Minangkabau dapat
diamati dalam beberapa periode sebagai berikut :
1. Pra Kolonial
Dalam tataran sistem Matrilineal di Minangkabau, secara normatif, keberadaan
kaum perempuan atau biasa yang disebut dengan Bundo Kanduang, tidak dapat

dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi, budaya maupun politik, karena aspek tersebut
telah memberikan kedudukan dan ruang tersendiri bagi perempuan Minang untuk
berperan dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana
representasi Bundo Kanduang di Ranah Minang dan bagaimana perannya dalam setiap
perubahan sosial dan politik di Minangkabau.10
Evelyn Blackwood, menyatakan bahwa sososk Bundo Kanduang yang
tercermin dalam Kaba Cinduo Mato inilah yang kemudian menjadi figur dianggap
sebagai perempuan kuat, nurture dan bijaksana, yang memiliki kekuatan bahasa politik
8

H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Alua Pasambahan Di
Minangkabau. Bandung : 1980, hlm 161-162.
9
Opcit, Mina Elfira. Bundo Kanduang : A. Powerful Or Powerless Ruler ? Literary Analisysi Of Kaba Cinduo
Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung). Makara : Sosial Humaniora .Vol. 11, No. 1, Juni 2007 ,hlm 31
10
Amaliatulwalidain. Dari Representasi Substantif Menuju Reprentasi Deskriptif (Studi : Dinamikan Peran Politik
Bundo Kanduang Di Nagari Sungai Rimbang ) . Tesis pada Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas
Gadjah Mada. Tahun 2012, hlm 43.


5

tersendiri di Minangkabau, terutama dalam pengaruh terhadap sruktur sosial politik serta
budaya politik masyarakat. Bundo Kanduang dianggap sebagai sosok yang pertama kali
meletakkan sistem matrilineal yang bersandarkan pada adat basandi syarak, yarak
Basandi kitabullah.11 Melalui sosok Bundo Kanduang yang dianggap sebagai perempuan

hebat dan bijakasana, turut memberi andil pada kebanggaan masyarakat Minang terhadap
sistem matrlinealnya, dan pada pencitraan

kaum perempuannya yang perannya dan

posisinya sama halnya dengan Bundo Kanduang di dalam cerita Kaba Cinduo Mato
Sosok dan sifat Bundo Kanduang yang dari awal sudah dipahami memegang
peranan penting dalam sruktur matrilineal, kemudian ikut berpengaruh terhadap beberapa
fungsi dan peranan umum kaum perempuan dalam adat istiadat Minangkabau. Adapun
fungsi dan peran dari Bundo Kanduang berdasarkan pada sifatnya, adalah sebagai berikut
:
a. Manaruik Alua Nan Lurui
Manaruik Alua Nan Lurui dimaksudkan bahwa segala kententuan-ketentuan

yang telah disepakati dan digariskan oleh nenek moyang dari persoalan sosial, ekonomi
hingga hukum harus dipatuhi dan ditaati, termasuk juga pada ketentuan tentang alua
pusako bahwa rumah untuk wanita, sawah ladang dengan segala ketentuannya adalah hak

milik kaum perempuan, ketentuan tersebut sifatnya nyata dan tidak bisa diganti. Wujud
ketaatan bagi kaum perempuan tidak hanya dari segi alua pusako saja, melainkan juga
pada kententuan-ketentuan adat atau alua adat yang telah disepakati dari para pemimpin
dan pemangku adat, berbeda dengan alua pusako, alua adat bisa diganti dengan
ketentuan yang lain yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi.12
b. Manampua Jalan nan Pasa

Jalan nan pasa menurut adat mengandung arti kiasan, bahwa setiap yang

dilalui baik pada jalan dunia maupun jalan akhirat harus kepada tujuan yang baik. Pada
jalan dunia ada empat prinsip yang harus dipegang oleh bundo kanduang yaitu13 :
1). Baadat, didalam hidup bergaul menurut adat Minangkabau adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah dimana tiap-tiap yang disusun menjadi aturan yang

11

Evelyn Blackwood. Representing Women The Politics Adat Writing. The Jurnal Of Asian Studies Vol 60, No 1
Februari : The Asossiation For Asian Studies. Tahun 2001, hlm 126
12
Opcit H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, hlm 95
13
Ibid, hlm 95-96

6

senantiasa berlandaskan pada budi pekerti yang luhur dan harus diamalkan pada
setiap perilaku dan perbuatan.
2).Balimbago, menurut adat adalah suatu perkumpulan manusia yang diikat oleh rasa
kesatuan, kekeluargaan yang mempunyai hubungan baik antara satu dengan yang
lain.
3). Bacupak, merupakan adat minangkabau yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi yang
menjelma men jadi peraturan di dalam masyarakat.
4). Bagantang, artinya setiap orang Minangkabau perlu berketuhanan dan mengetahui
segala sifat yang wajib dan mustahil pada Tuhan Allah Swt, dan sifat wajib dan
mustahil pada Rasul Allahisalam.
Sedangkan pada jalan akhirat ada empat prinsip juga yang disepakati :
1). Beriman, percaya kepada Allah Swt, adalah satu tidak beranak dan tidak dianakkan
dan dia berkuasa atas segala-galanya.
2). Islam, beragama Islam dengan mengerjakan setiap rukun Islam itu, dan mengerjakan
segala suruhan dan meninggalkan segala larangannya, dan bergaul baik sesama
manusia, hornat kepada ibu-bapa, guru yang mengajarkannya.
3). Bertauhid, tidak ada Tuhan selain dari Allah yang satu, dia mempunyai sifat rahim dan
rahman. Dia kekal selama-lamanya yang menguasai langit dan bumi serta menjadikan
nya tidak berserikat pada wujudnya yang esa.
c. Mamaliharo Harato dan Pusako

Harato dan pusako menurut adat Minangkabau adalah sawah, ladang, banda

buatan, sasok jurami, pandam pakuburan, lanuah tapian, karoang kampuang, serta
ulayat lainnya sebagai rumah tangga dan kaum harus dipelihara jangan sampai harta
pusaka ini habis atau berpindah kepada negeri lain, kecuali dipergunakan untuk
kepentingan umum dengan melalui kata mufakat, karena di dalam harto pusako

7

terkandung tanah ulayat yang merupakan daerah tempat hidup dan berkehidupan
anggota kaum laki-laki dan perempuan, terutama untuk pertanian. 14
d. Mamaliharo Anak dan Kemenakan

Memelihara anak dan kemenakan merupakan kewajiban yang paling utama di
dalam kehidupan bundo kanduang (wanita) Minangkabau yang dihimpun dalam suatu
ketentuan adat secara garis besar : manyuruah babuek baik, melarang babuek nan
mungka. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas yang

mencakupi bidang-bidang sebagai berikut :
1). Bundo Kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang.
2). Bundo Kanduang sebagai umbun puruak pegangan kunci.
3). Bundo Kanduang sebagai pusek jalo kumpulan tali
4). Bundo Kanduang sebagai sumarak dalam nagari
5). Bundo Kanduang sebagai nan gadang basa batuah kaundang-undang ka
Madinah, ka payuang panji ka sarugo.
Begitu pun, pada masa sebelum penjajah kolonial datang ke Indonesia,
kehidupan Nagari di Minangkabau sangat kental sekali dengan corak adat. Di masa
itu, dikenal dengan pemerintahan adat tradisional, dengan konsep Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Kitabullau, unsur pimpinan pemerintahan menjalankan adat

sebagai undang-undang yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara adat,
yang berlaku hanya kententuan adat sebagai undang-undang yang merupakan hukum
dalam kehidupan masyarakat Minang waktu itu.15 Dalam membuat produk hukum adat
tersebut, sesuai dengan iklim sistem pemerintahan Nagari tradisional kala itu.16
Segala kebijakan di Nagari, terutama yang terkait dalam proses perumusan
kebijakan terlebih dahulu harus dikonsultasikan kepada para Bundo Kanduang dari
masing-masing

persukuan yang ada, melalui suatu musyawarah adat untuk

menentukan baik dan tidaknya kebijakan tersebut apabila diterapkan di Nagari, karena
kehidupan di Nagari menyangkut kehidupan dari masing-masing suku dan kaum,
14

Ibid, hlm 99
Musyair Zainuddin, Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta : Penerbit Ombak. Tahun
2010, hlm 3.
16
Opcit, Amaliatulwalidain, hlm 50.
15

8

maka segala kebijakan yang menyangkut setiap kaum, muaranya ada pada kebijakan
Bundo Kanduang yang mewakili suku.17
Fungsi dan peranan Bundo kanduang ketika itu, secara ideal telah dijelaskan
dimana terkait dengan representasi mereka, pada setiap kegiatan proses politik di
Nagari tradisional, Bundo Kanduang tidak dapat dipisahkan dengan unsur adat yang
lainnya, karena semua akan saling terhubung satu sama lain, sehingga dikenal dengan
istilah urang empat jinih ( orang empat jenis) yang terdiri dari ( Ninik Mamak, Alim
Ulama, Cerdik Pandai dan Bundo kanduang ).18

Bisa dikatakan peranan Bundo Kanduang di ranah publik dan politik di Nagari
pada masa itu, sangat besar sekali, seperti yang diungkapkan Tenner dan AA Navis 19,
yang mengatakan bahwa, perempuan Minangkabau ditengah keluarga besar
Matrilineal sangat berperan dan bertindak penting dalam proses pengambilan
keputusan, suara perempuan sama dengan suara laki-laki dan setiap masalah wajib
dibicarakan dan dimusyawarahkan secara bersama-sama. Dari hal tersebut sudah
menjelaskan, bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki di Minangkabau,
terkait dalam proses politik20 di Nagari berada dalam posisi yang setara.
2. Masa Kolonial
Kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia, turut juga memberi imbas kepada
posisi dan representasi bundo kanduang di Minangkabau. Melalui rencana politik
pengendalian Belanda di Hinda Timur selama kurun waktu tahun 1800, terhadap
otoritas kekuasaan adat lokal di Minangkabau, telah memberikan fitur baru pada
kekuasaan lokal di Minangkabau. Komodifikasi hukum adat dan hukum Belanda
nyatanya meletakkan perempuan diluar konteks kekuasaan lokal. Representasi Bundo
Kanduang sengaja disetting pada “hanya pemilik harta pusaka” dan urusan domestik
semata. Sedangkan otoritas kekuasaan tunggal dipegang oleh kaum lelaki.21

17

Ibid,hlm 51
Ibid, hlm 52
19
A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press. Tahun
1984, hlm 21
20
Besarnya pengaruh Bundo Kanduang dalam Proses politik di Nagari sangat terkait langsung pada posisi Bundo
Kanduang yang memiliki peran sentral dalam pembuatan keputusan rumah tangga dan produksi ekonomi yang
umumnya menyangkut hajat seluruh klan.
21
Opcit, Evelyn Blackwood. Representing Women The Politics Adat Writing , hlm 131
18

9

Upaya Belanda untuk mengkodifikasi adat Minangkabau menghasilkan
seperangkat aturan statis terutama didaerah jajahan (koloni) mereka, demi
memperlancar kontrol terhadap daerah jajahannya, Belanda sengaja menciptakan
otoritas laki-laki dengan membuat sistem kepemilikan komunal dimana satu orang
laki-laki menjadi perwakilan formal dari sukunya. Laki-laki yang terpilih adalah orang
yang bisa diajak kerja sama dengan Belanda dalam menangani kontrol politik Belanda
di Minangkabau. 22
Kebijakan Belanda terhadap hukum adat dan sistem sosial di Minangkabau
menjadikan laki-laki sebagai penghubung sosial atas kontrol politik yang ciptakan
Belanda terutama di dalam kelompok dan komunitas komunal mereka, tidak hanya
otoritas politik yang diberikan belanda ketangan laki-laki (Mamak), otoritas politik
memberi pengaruh yang signifikan dengan hadirnya kekuasaan baru berupa “otoritas
penuh Mamak dalam garis keturunan”23, dalam posisinya yang baru Mamak secara
khusus bertanggung jawab atas segala yang terjadi di Rumah Gadang, dari mengatur
tingkah laku, menjamin kesejahteraan hingga menjaga harmoni saparuiknya dan yang
paling krusial Mamak juga yang menentukan keputusan tertinggi di Rumah Gadang.24
Fakta bahwa Bundo Kanduang memiliki banyak hak dan tanggung jawab
dalam sistem matrilineal hanya mendapat sedikit perhatian dan
pemerintah kolonial,

deskripsi dari

Bundo Kanduang hanya dideskripsikan sebagai penerus

keturunan dan penentu ahli waris25, sedangkan pengelolaan harta pusaka, jatuh
ketangan Mamak sebagai saudara laki-laki tertua ibu.
Kebijakan Belanda meningkatkan wewenang laki-laki, melegitimasi laki-laki
sebagai satu-satunya kepala garis keturunan. Nyatanya ketika masa kolonial, Bundo
22

Ken Young, Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra. New Haven : Yale
University Southeast Asian Studies. Tahun 1994, hlm 92.
23
Ototitas laki-laki tertua (Mamak) di dalam rumah gadang sangat kontradiksi dengan posisi mereka yang secara
struktural marjinal dari rumah gadang yang dikontrol penuh oleh kaum wanita. Seorang pria Minangkabau "tidak
benar-benar memiliki rumah atau tempat yang bisa dia hubungi sendiri apalagi semenjak keberangkatannya ke
“Surau”. Rumah hanya diperuntukkan untuk ibu dan saudari perempuannya.
24
Tsuyoshi Kato. Matriliny and Migration : Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia. Ithaca : Cornell
University Press. Tahun 1982, hlm 45.
25
Pemerintah kolonial Belanda dengan sengaja menerapkan prinsip kepemilikan Barat yang cenderung melemahkan
hak-hak wanita dan kelompok kerabatnya terhadap harta leluhur. Keputusan Belanda tahun 1953 mengamanatkan
pendaftaran property leluhur atas nama wanita tertua yang masih hidup dari garis keturunan, sedangkan setelah
kematiannya, nama anak perempuan dimasukkan sebagai pemilij baru,. Lihat Benda-Beckmann, "Development,
Law, and Gender-Skewing. Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law. Vol 30-31, Tahun 1990, hlm 87.

10

Kanduang menjadi “bayangan” dirumah mereka sendiri. Dalam sejarah kolonial dan
Penjajah Belanda hanya melihat Perempuan sebagai penghuni "rumah"26. Demikian
yang terjadi di Minangkabau, posisi Bundo Kanduang marjinal dan sengaja tidak
dihadirkan dalam proses politik yang penting. Imbas dari kebijakan Belanda tersebut,
dikemudian hari menjadi standard baku dari representasi perempuan di Minangkabau,
baik dalam kehidupan politik di Nagari atau pun dalam tulisan-tulisan adat dikemudian
hari.
3. Orde Baru
Politik Indonesia mengalami perubahan “radikal” setelah tahun 1965.
Meskipun terjadi perubahan radikal, juga ada berkelanjutan besar. Banyak konsep dan
struktur kelembagaan Orde Baru pada dasarnya sama dengan “Orde Lama” bahkan
kekuasaannya sangat mirip dengan penguasa kolonial Belanda. Representasi dan peran
Bundo Kanduang pada masa Orde Baru, kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi
pada masa Orde Lama atau masa koloial. Sama halnya dengan sistem pemerintahan
kolonial, pemerintah Orde Baru juga sengaja membendung dan memanipulasi
kekuataan kaum perempuan, baik dari segi sosial, politik dan ekonomi, 27
Melalui kebijakan Undang-undang No 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan
desa, yang dibuat pemerintah Orde Baru, kemudia terjadi perubahan besar-besar pada
struktur pemerintahan terendah di Indonesia, pemerintahan berbasis lokalitas adat
seperti Nagari, Huta, Gampong, Marga dan sebagainya kemudian tenggelam seiring
dengan diberlakukan penyeragaman model pemerintahan menjadi “Desa”.28
Menghilangnya pemerintahan nagari dan digantikan dengan pemerintahan
desa, turut juga menyebabkan otoritas kekuasaan adat kemudian melemah, banyak
para penghulu yang kehilangan kekuasaan mereka di nagari, maka guna menstabilkan
kondisi tersebut dan agar tidak terjadi gejolak konflik yang berarti, maka pemerintah
Orde Baru kemudian mengagas pendirian kelembagaan yang bernama Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) pada tahun 1983. LKAAM sendiri
26

Anna Laura Stoler, "Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th-Century
Colonial Cultures. Journal American Ethnologist. Vol 16, Tahun 1989, hlm 634-60.
27
Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Jakarta : Komunitas Bambu,
Tahun 2011, hlm10.
28
Sutoro Eko, „Masa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Depan Otonomi Desa’ : (IRE‟S Working Papers/Eko/III/Februari),
Tahun 2005, hlm 26.

11

dibentuk sebagai lembaga yang mengakomodir semua institusi-institusi adat dalam
satu kesatuan termasuk juga para bundo kanduang, dan secara hirarkies jenjangnya
berada pada

tingkat propinsi hingga kecamatan, yang diorganisir dibawah

pengawasan pemerintah Orde baru. Payung LKAAM29 dijadikan sebagai sarana yang
bertujuan untuk menggabungkan prinsip-prinsip adat menjadi selaras dengan ideologi
Pancasila .30
Seiring dengan tersentralisasinya negara Orde Baru, kekuatan politik negara
Orde Baru kemudian diciptakan melalui sruktur ideologis dan politis bagi masyarakat
di Indonesia, negaralah yang memimpin proses akumulasi kapitalis dan mendifinisikan
suatu ideologi gender untuk kepentingannya sendiri. Melalui aparat dan lembagalembaganya, negara menyebarkan ideologi “ibuisme negara”, yaitu ideologi gender
yang menciptakan stereotip kaku-baku dan bersifat sangat membatasi karena
tujuannya memang untuk mengontrol dan menciptakan suatu tatanan yang hirarkis.
Ideologi gender ini, yang mengandung unsur-unsur “pengiburumahtanggaan” dan
“ibuisme” mengarah pada proses “domestifikasi”, suatu konteks yang tepat untuk
konteks Indonesia. 31
Pada perjalanan selanjutnya justru ideologi negara sangat dominan berperan
dalam pemerintahan di Minangkabau, sebaliknya pemerintah Orde Baru lebih
mengakaomodir dan mengarahkan perangkat adat sebagai basis kekuatan politik Orde
29

Dalam konteks inilah LKAAM didirikan. Ketika Orde Baru mulai mengkonsolidasikan penguasaannya, dua
perwira militer Minangkabau ditunjuk untuk membantu pengembangan asosiasi adat dan agama di Sumatera Barat
yang akan lebih sesuai dengan kebijakan Orde Baru. Kedua perwira tersebut mengadakan sebuah konferensi ahli
adat dan orang-orang yang tercatat di Padang, kota pelabuhan dan ibu kota Sumatera Barat. Orang-orang ini
membentuk LKAAM sebagai organisasi adat dalam struktur korporatis negara yang baru. Meskipun terbuka untuk
semua pria yang terdaftar dari nagari-nagari yang ingin berpartisipasi, sebagian besar pemimpin baru LKAAM
adalah pria berpendidikan dan perkotaan yang memegang jabatan pemerintah sebagai pegawai negeri, hakim, dan
guru. Sebagai anggota sebuah organisasi negara, mereka diharapkan untuk mempertahankan "kesesuaian dan
komitmen total terhadap kebijakan pemerintah". Tujuan yang ditetapkan negara mereka adalah memberikan nasehat
kepada pemerintah Orde Baru dan pengadilan negara bagian dan untuk melaksanakan rencana pemerintah untuk
wilayah tersebut. Proyek adat LKAAM, kemudian, lebih dari sekadar sebuah proyek untuk "melestarikan" adat
untuk generasi mendatang. Sebagai proyek yang disponsori negara, harus menunjukkan bahwa ada kesesuaian
antara adat dan ideologi negara, terutama yang diucapkan dalam Pancasila (Lima Prinsip. Yang telah diangkat ke
status ideologi negara di bawah Orde Baru. Lihat Benda-Beckmann, Keebet Von. "The Third Musyawarah Besar
of the Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau ." Sumatra Research Bulletin 4 (2). Tahun 1975, hlm 67- 75.
Renske Biezeveld. ’Ragam Peran Adat di Sumatera Barat’. Dalam (ed ) James. S. Davidson dkk. Adat Dalam
Politik Indonesia ; Jakarta : Obor, Tahun 2005. hal 224.
31
Opcit, Julia Suryakusuma, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.Jakarta : Komunitas
Bambu, Tahun 2011, hlm15.
30

12

Baru di Ranah Minang. Eksistensi institusi Bundo kanduang setelah dilembagakan,
juga menjadi bidikan politik Orde Baru sebagai sarana dalam memobilisasi kaum
perempuan Minang untuk mendukung program pemerintah, karena dengan
dilembagakannya Bundo kanduang menjadi sebuah institusi dalam satu bendera yang
sama dengan perangkat adat lainnya, didalam naungan LKAAM tentu tidak bisa
dielakkan bahwa tujuannya untuk memuluskan kepentingan pemerintahan.32
Institusi Bundo Kanduang, kemudian disegresikan ke dalam program
pembangunan,dan praktik kebijakan politik Orde Baru. Segregasi ini juga tercermin
dalam program-program yang dikhususkan oleh pemerintah.Institusi Bundo Kanduang
difokuskan dan berperan sama dengan organisasi-organisasi perempuan lainnya yang
sama dan terfokus kepada panca Dharma Wanita. Maka dari kelaziman tersebut,
akhirnya ikut berpengaruh terhadap lahirkan empat peranan dan fungsi pokok Institusi
Bundo Kanduang pada masa Orde Baru. Adapun peranan institusi Bundo Kanduang
yaitu : 33
1. Menghimpun potensi kaum ibu dan generasi Minangkabau dalam memelihara dan
melestarikan nilai-nilai adat di Minangkabau.
2. Meningkatkan kualitas dan kemampuan perempuan dan generasi muda
Minangkabau melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan.
3. Mengembangkan keterampilan dan usaha-usaha ekonomi produktif.
4. Mengembangkan kerja sama dan sebagi mitra usaha organisosial sosial
kemasyarakatan perempuan lainnya, baik di dalam maupun diluar Sumatera Barat.
Pada akhirnya, negara Orde Baru tidak hanya merasuk ke semua sektor
kehidupan masyarakat, tetapi juga memberikan suatu struktur yang memungkinkan
perkembangan ideologi gender tertentu yang memberikan definisi resmi tentang
bagaimana seharusnya kaum perempuan Indonesia.

32
33

Opcit, Amaliatulwalidain, hlm 62
Intan Bundo. Peranan Bundo Kanduang Dalam Masyarakat Di Minangkabau ( Studi Peranan Bundo Kanduang
di Nagari Solok ).Skripsi S1 Pada Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sumatera Utara, Tahun 2005, hlm 52.

13

C. DEMOKRASI

LOKAL

DI

SUMATERA

BARAT

:

KEMBALI

KE

PEMERINTAHAN NAGARI
Dalam pengalaman empiris masa lampau bangsa Indonesia, ketika masyarakat
belum mengenal “Negara”, masyarakat hidup dalam komunitas-komunitas kecil yang
bersifat otonom dan self sustained. Masing-masing komunitas tersebut mempunyai
variasai pemerintahannya sendiri dengan legitimasi politik yang menganut prinsip
“otonomi asli” sebagai perpaduan dari lingkungan dan nilai-nilai budaya tradisional
lokal yang diakui dalam kehidupan masyarakatnya. Prinsip-prinsip “otonomi asli”
tersebut tidak hanya tercermin melalui ritual budaya saja, melainkan juga dari model
pemerintahan politik tradisional yang dijalankan oleh masing-masing komunitas tersebut
di masa lampau. 34
Salah satu dari sistem pemerintahan politik tradisional tersebut, adalah
“Nagari”, yang merupakan pemerintahan pemerintahan tradisional berbasis pada
komunitas adat. Nagari mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis
pada masyarakat (self governing community). Nagari terdiri dari jorong-jorong
(kampung) yang tidak bisa dipisahkan dari entitas adat matrilineal yang direpresentasikan
melalui kepemimpinan elemen adat dan berkomitmen untuk memegang teguh ajaran
agama Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang dijadikan pedoman dan tujuan hidup dalam masyarakat di Nagari. 35

Dalam menjalankan sistem politik pada pemerintahan Nagari tradisional,
otoritas tertinggi berada di tangan masyarakatnya (anak nagari), dimana hakekat
kekuasaan seyogyanya bersumber dari pilihan dan aspirasi masyarakat. Walaupun secara
formal pemerintahan Nagari dijalankan oleh kelembagaan kolektif adat (Limbago Adat)
yang terdiri dari kepemimpinan adat matrilineal lainnya, tidak serta merta menghilangkan
peran masyarakat (anak nagari) dalam menyelesaikan permasalahan di Nagari, semua
masalah selalu dirundingkan dalam permusyawaratan untuk mencapai kata mufakat.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik dari sistem pemerintahan nagari adalah
demokrasi.
Amaliatulwalidain. Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self Governing Community
pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di MInangkabau. Jurnal Pemerintahan & Politik : UIGM. Tahun
2016, Vol 2 No 1 Agustus, hlm 1.
35
Ibid
34

14

Akan tetapi ketika Orde Baru berkuasa, kehidupan demokrasi lokal berbasis
pada nagari kemudian mengalami kemunduran, melalui peraturan No 5 Tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, seketika pemerintahan nagari juga ikut hilang, kewenangan
masyarakat nagari dan kepemimpinan adat atas kehidupan di nagari beralih menjadi
kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Melalui peran negara yang begitu dominan
dan sentralistik, secara signifikan mempengaruhi perubahan politik dan kelangsungan
demokrasi lokal dan otonomi asli di Minangkabau.
Jatuhnya rezim Orde Baru, pada tahun 1998, membawa perubahan besar dalam
sistem pemerintahan di Indonesia, dari sentralistik menuju desentralistik. Pemerintah
kemudian mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999, tentang otonomi daerah yang
memberikan peluang bagi dihidupkannya kembali bentuk pemerintahan terendah asli jika
masyarakat setempat menginginkannya. Desentralisasi yang diimplementasikan dengan
pemberian otonomi kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan
masyarakat karena tersedianya ruang untuk berpartisipasi dan menentukan sendiri model
pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal. 36
Penerapan desentralisasi tentu saja menuntut adanya reorganisasi dari struktur
pemerintahan lokal. Khusus di daerah Minangkabau respon atas Undang-undang No 22
Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan penerapan kembali sistem pemerintahan nagari
dengan semangat Babaliak Ka Nagari (kembali ke Nagari) sebagai unit pemerintahan
terendah yang diatur dengan peraturan daerah (Perda) Propinsi Sumatera Barat No 9
Tahun 2000 tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, yang kemudian diperbaharui
kembali melalui Perda No.2 Tahun 2007 tentang kententuan Pokok Pemerintahan Nagari.
Dalam proses penyelanggaran pemerintahan nagari yang dimaksudkan dalam
Perda No 9 Tahun 2000 dan Perda No 2 Tahun 2007, pemerintahan nagari
diselenggarakan oleh wali nagari dan badan pemerintahan nagari (komunitas masyarakat
nagari) yang dipilih langsung oleh masyarakat sebagai perwakilan dari komunitas
masyarakat nagari

Opcit, Amaliatulwalidain , Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self Governing
Community pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di MInangkabau. Jurnal Pemerintahan & Politik : UIGM.
Tahun 2016, Vol 2 No 1 Agustus, hlm 5

36

15

D. REPRESENTASI

DAN

PERAN

BUNDO

KANDUANG

DALAM

PEMERINTAHAN NAGARI
Latar belakang kembali ke Nagari, yang berawal dari momentum otonomi
daerah yang diawali dengan keluarnya UU No 22 Tahun 1999, dianggap merupakan
kesempatan strategis untuk mewujudkan kembali keinginan tersebut, yang kemudian
terealisasi melalui Perda Propinsi No 9 Tahun 2000 dan Perda Propinsi No 2 Tahun
2007 yang mengatur tentang pemerintahan Nagari sebagai landasan hukum dalam
memperbaharui sistem pemerintahan politik lokal di Sumatera Barat yang bersandar
kepada ideologi rumusan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. 37
Dengan adanya otonomi

tersebut,

berbagai

peluang diciptakan

dan

dimunculkan, terutama untuk kembali memperkuat posisi partisipasi rakyat yang selama
ini telah termarginalkan oleh politik Orde baru, termasuk juga proses penguatan
partisipasi kaum perempuan dalam ranah politik, terkait dengan hal itu, apabila ruang
otonomi dimaknai dalam kacamata gender, maka hal tersebut dapat dikatakan bahwa
‟peluang otonomi‟ merupakan sebentuk bangunan politik dimana posisi partisipasi antara
laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal menjadi setara.
Termasuk juga peluang bagi kaum perempuan untuk ikut andil dalam proses tersebut.38
Seiring berjalannya waktu serta terjadinya perubahan sosial dan politik yang
tidak terelakan di Ranah Minang, khususnya pada fase kepemimpinan politik di masa
Orde Baru, lambat laun membuat otoritas Bundo Kanduang di dalam Nagari semakin
dipersempit, akibat hilangnya pemerintahan Nagari dan berganti dengan pemerintahan
Desa yang bercorak setralistik birokratis, secara umum berdampak terhadap kondisi
kaum perempuan Minang pada masa itu, yang harus kehilangan posisi di Nagari
ditambah lagi kaum perempuan Minang, kemudian kaum perempuan tersebut selanjutnya
dikoordinir dalam institusi Bundo Kanduang sebagai lembaga adat perempuan Minang
bersama perangkat adat lainnya dan berada dalam naungan LKAAM, dilembagakannya
Bundo Kanduang sebenarnya tidak luput dari kepentingan politik pemerintahan Orde
37

Opcit, Amaliatulwalidain. Dari Representasi Substantif Menuju Reprentasi Deskriptif (Studi : Dinamikan Peran
Politik Bundo Kanduang Di Nagari Sungai Rimbang ) . Tesis pada Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan
Universitas Gadjah Mada. Tahun 2012, hlm 68
38
Ibid

16

baru, walaupun lembaga tersebut disinyalir sebagai wadah dari pemerintah terhadap
kepedulian dan perhatian dalam melestarian adat-istiadat Minang, tapi nyatanya
keberadaan institusi Bundo Kanduang selanjutnya hanya dijadikan simbol saja, sehingga
membuat peran sesungguhnya dari Bundo Kanduang semakin marjinal, kenyataanya hal
tersebut berlangsung selama Orde Baru berkuasa.
Ketika Orde Baru, peran-peran Bundo Kanduang semakin tergerus, budaya
politik di Minangkabau yang bercampur dengan kepentingan politik pada periode
tersebut, sudah sulit untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, Bundo Kanduang
tidak bisa lagi leluasa untuk berpraktek dalam adat, baik kedalam sukunya maupun
keluar kaumnya, Seperti yang diungkapkan oleh Lusi Herlina39, bahwa pada masa Orde
Baru representasi perempuan Minang, yang diwujudkan dalam bentuk Institusi Bundo
Kanduang, justru sama sekali menghilangkan fungsi politik mereka yang sebelumnya
ada. Perubahan sruktur dalam hegemoni kekuasaan, menyebabkan lambat laun
penerimaan sebagian besar masyarakat Minang terhadap Institusi Bundo Kanduang
hanya sebagai simbol saja, pada masa inilah, representasi Bundo Kanduang hanya berada
pada tataran deskriptif.
Terkait dengan representasi peran bundo kanduang ketika Orde Baru, secara
mendasar, menurut Ahmad Syamsiah

40

, posisi dan peranan perempuan dalam masyarakat

sangat ditentukan dan tidak terlepas dari ideologi politik dan ideologi budaya. Nilai-nilai
tersebut ikut menentukan sampai mana sruktur-sruktur memberi tempat bagi perempuan
untuk ikut mengambil bagian dari proses-proses pembaharuan tersebut. mereka tentu saja
bisa mengekspresikan keinginan dan kepentingan mereka dengan terlibat secara langsung
dalam setiap proses pembangunan yang secara normatif dijamin oleh undang-undang
maupun peraturan.
Pembaharuan dan perubahan sruktur politik di Minangkabau pasca
Reformasi, merupakan salah satu bentuk proses menuju arah pembentukan karakter
ideologi politik dan ideologi budaya tersebut , tujuannya selain memberikan jalan bagi
keterlibatan dan partisipasi Bundo Kanduang dalam pemerintahan Nagari, tetapi bisa jadi
39

Lusi Herlina, Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau ( Suatu Pengantar ). Jakarta : Ford Foundation,
Tahun 2003.
40
Supini, Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Budaya Masyarakat Terhadap Pengembangan Demokrasi
Masyarakat Desa. Dalam Koleksi Makalah Seminar Internasional ke 2 dengan tema ”Dinamika Politik Lokal di
Indonesia Politik Pemberdayaan. PLOD UGM : Yogyakarta, 2001, hlm 12.

17

sebagai upaya untuk mempertegas kembali bargaining position perempuan Minang, yang
dinyatakan melalui peraturan formal dari Perda Propinsi No 9 Tahun 2000 dan Perda No 2
Tahun 2007, tentang peran Bundo Kanduang sebagai mitra pemerintahan Nagari dalam
mengontrol terbentuknya pemerintahan Nagari yang efektif sesuai dengan rumusan Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.

Sesuai yang diintruksikan di dalam Perda No 2 Tahun 2007 tentang
representasi peran Bundo Kanduang, secara gamblang disebutkan dalam pasal 12 ayat 1
yang menyebutkan bahwa ” Anggota Badan Musyawarah Nagari (BAMUS) terdiri dari
unsur Ninik Mamak / tokoh adat /kepala suku, Alim Ulama / Tokoh Agama, Cadiak Pandai
/cendikiawan, Bundo Kanduang /Tokoh Perempuan dan komponen masyarakat lainnya
yang tumbuh dan berkembang dalam Nagari bersangkutan dengan mempertimbangkan
representasi Jorong yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”.41
Adapun peranan dari Bundo Kanduang secara formal, melalui representasinya
yang berkedudukan di BAMUS sebagai penyelenggara Pemerintahan Nagari, sesuai yang
diatur dalam Perda No 2 Tahun 2007, adalah sebagai berikut :
1. Memproses pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari
2. Mengusulkan pengukuhan, pengangkatan dan pemberhentian Wali Nagari
3. Bersama Wali Nagari menetapkan atau membentuk Peraturan Nagari ;
4. Bersama Wali Nagari menetapkan anggaran pendapatan belanja Nagari ;
5. Bersama dengan Lembaga Kerapatan Adat Nagari mengayomi adat istiadat yang berlaku
dalam Nagari ;
6. Melaksanakan Pengawasan terhadap :
a. Pelaksanaan Peraturan Nagari (PERNA) dan Peraturan perundang-undangan
lainnya
b. Pelaksanaan Keputusan Wali Nagari.
c. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Nagari
d. Kebijakan Pemerintahan Nagari
7. Melaksanakan Kerja sama yang dilakukan oleh Nagari

41

Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari

18

8.Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintahan Daerah terhadap rencana
perjanjian yang akan dilaksanakan apabila menyangkut kepentingan di Nagari
9. Bersama Lembaga Kerapatan Adat Nagari menetapkan fungsi, dan pemanfaatan harta
kekayaan Nagari untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan anak Nagari.
10. Menerima pertanggunga jawaban Wali Nagari
11. Tugas-tugas dan wewenang lainnya di atur dengan keputusan Bupati
12. Dalam situasi dan kondisi yang mendesak, maka Bundo Kanduang dapat menunjuk dan
menetapkan pejabat sementara Wali Nagari dengan masa jabatan selama 6 bulan.
Melalui amanat dari Perda tersebut, jelas sekali Bundo Kanduang sebagai
representasi dari kaum perempuan didalam sistem pemerintahan nagari, mendapatkan
kembali status dan peran

sebagai bagian dari masyarakat adat guna menempatkan

perwakilannya pada BAMUS nagari. Representasi Bundo Kanduang pada BAMUS nagari,
merupakan salah satu contoh konkrit untuk menyampaikan gagasan bahwa sesungguhnya
pemerintahan Nagari memiliki peran besar dalam menciptakan politik kesetaraan dan
meningkatkan partisipasi politik perempuan sebagai salah satu alternatif untuk
pemberdayaan peran politik para Bundo Kanduang

E. KESIMPULAN
Kehadiran Bundo Kanduang kedalam salah satu dari penyelenggaran
pemerintahan di Nagari melalui representasi di dalam BAMUS nagari , merupakan bagian
dari upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih demokratis di dalam Nagari, apabila
dicermati, perbandingan peran Bundo Kanduang baik pada masa sebelum kemerdekaan,
masa Orde Baru bahkan Reformasi memang secara drastis banyak mengalami perubahan
yang mencolok. Peran Bundo Kanduang di setiap dekade mengalami perbedaan seiring
dengan representasi mereka dalam kehidupan politik di Minangkabau. Perubahan politik
yang terjadi di Minangkabau secara besar memberi pengaruh pada wajah Institusi Bundo
Kanduang, hingga Reformasi bergulir pun, keberadaan dan peranan Bundo Kanduang masih
santer dibicarakan dalam menghiasi konstalasi kembali ke politik adat dalam wujud bentuk
pemerintahan Nagari yang baru, sehingga setelah kembali kepada sistem pemerintahan
Nagari, peran bundo kanduang semakin dipertegas dengan fungsi-fungsi politik mereka di
Nagari, yang sebenarnya diharapkan dapat mengembalikan kembali peranan mereka secara
substansial dalam upaya memperkuat demokrasi lokal di Minangkabau.
19

DAFTAR PUSTAKA

Amaliatulwalidain. Dari Representasi Substantif Menuju Reprentasi Deskriptif (Studi :
Dinamikan Peran Politik Bundo Kanduang Di Nagari Sungai Rimbang ) . Tesis pada
Departemen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Tahun 2012
Amaliatulwalidain. Demokrasi Lokal Di Sumatera Barat “Memahami Pendekatan Self
Governing Community pada Sistem Pemerintahan Nagari Moderen di MInangkabau.
Jurnal Pemerintahan & Politik : UIGM. Tahun 2016, Vol 2 No 1 Agustus
Aswirna , Prima & Fahmi Reza, Man’s Without Power : Gender Paradigm In West Sumatera.
Article AICIS Tahun 2015.
Beckmann- Benda-Beckmann, Keebet Von. "The Third Musyawarah Besar of the Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau." Sumatra Research Bulletin 4 (2). Tahun 1975
Beckmann- Benda, "Development, Law, and Gender-Skewing. Journal of Legal Pluralism and
Unofficial Law. Vol 30-31, Tahun 1990
Biezeveld , Renske. ’Ragam Peran Adat di Sumatera Barat’. Dalam (ed ) James. S. Davidson
dkk. Adat Dalam Politik Indonesia ; Jakarta : Obor, Tahun 2005
Blackwood, Evelyn. Representing Women The Politics Adat Writing. The Jurnal Of Asian
Studies Vol 60, No 1 Februari : The Asossiation For Asian Studies. Tahun 2001
Bundo, Intan. Peranan Bundo Kanduang Dalam Masyarakat Di Minangkabau ( Studi Peranan
Bundo Kanduang di Nagari Solok ).Skripsi S1 Pada Jurusan Sosiologi FISIP
Universitas Sumatera Utara, Tahun 2005
Eko, Sutoro, „Ma sa Lalu, Masa Kini, Dan Masa Depan Otonomi Desa’ : (IRE‟S Working
Papers/Eko/III/Februari), Tahun 2005
Elfira, Mina Bundo Kanduang : A. Powerful Or Powerless Ruler ? Literary Analisysi Of Kaba
Cinduo Mato (Hikayat Nan Muda Tuanku Pagaruyung). Makara : Sosial Humaniora
.Vol. 11, No. 1, Juni . Tahun 2007
Hakimy , Idrus Dt. Rajo Penghulu. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Alua
Pasambahan Di Minangkabau. Bandung. Tahun 1980
Hadler, Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme
di Minangkabau. Jakarta : Freedom Institute. Tahun 2010.
Herlina, Lusi. Partisipasi Politik Perempuan di Minangkabau ( Suatu Pengantar ). Jakarta : Ford
Foundation, Tahun 2003

20

Irawati. Bundo Kanduang dan Tantangan Politik Dalam Badan Perwakilan Anak Nagari
(BPAN). Jurnal DEMOKRASI Vol. IX No. 1 Tahun 2010.
Kahn.J.S Tradition, Matrialiny, and Change Among The Minangkabau Of Indonesia. The Jurnal
Of Asian Studies Vol 71, No 4 November : The Asossiation For Asian Studies . Tahun
2012
Kato , Tsuyoshi. Matriliny and Migration : Evolving Minangkabau Traditions in Indonesia.
Ithaca : Cornell University Press. Tahun 1982,
Navis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti
Press. Tahun 1984
Suryakusuma,Julia, Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru.Jakarta :
Komunitas Bambu, Tahun 2011
Supini,

Faktor-faktor Penunjang dan Penghambat Budaya Masyarakat Terhadap
Pengembangan Demokrasi Masyarakat Desa. Dalam Koleksi Makalah Seminar
Internasional ke 2 dengan tema ”Dinamika Politik Lokal di Indonesia Politik
Pemberdayaan.PLOD UGM : Yogyakarta, Tahun 2001

Stoler ,Anna Laura , "Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in
20th-Century Colonial Cultures. Journal American Ethnologist. Vol 16, Tahun 1989
Young,Ken, Islamic Peasants and the State: The 1908 Anti-Tax Rebellion in West Sumatra.
New Haven : Yale University Southeast Asian Studies. Tahun 1994
Zainuddin ,Musyair, Pelestarian Eksistensi Dinamis Adat Minangkabau. Yogyakarta : Penerbit
Ombak. Tahun 2010,

Perda
Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Nagari

21

Curriculum Vitae
A. Identitas Diri :
1

Nama lengkap

Amaliatulwalidain, S.Sos., MA

2

Jenis Kelamin

Perempuan

3

Tempat/Tanggal Lahir

Palembang/ 25 September 1986

4

E-mail

[email protected]

5

No HP

087839405310

6

Alamat Kantor

Universitas Indo Global Mandiri Palembang
Jl. Jend. Sudirman No. 629 Km. 4 Palembang

7

Nomor Telp

087839405310

B. Riwayat Pendidikan :
No

S1

S2

Universitas Sumatera Utara

Universitas Gadjah Mada

2

Nama Perguruan
Tinggi
Bidang Ilmu

Ilmu Politik

Ilmu Politik

3

Tahun Masuk-

2004-2008

2009-2012

1

Lulus

C. Karya Ilmiah dalam 5 Tahun Terakhir
No

Tahun

Judul Penelitian

1

2012

2

2008

3

2014

4

2016

Dari Representasi Substantif ke Representasi Formal Deskriptif
(Dinamika Peran Politik Bundo Kanduang dalam Sistem Pemerintahan
Nagari Modern di Sungai Rimbang)
Partisipasi Elit Lokal Muhammadiyah Pada PILKADA Gubernur
Tahun 2013-2018 Sumatera Selatan
Peran dan Partisipasi Politik Organisasi Nasyiatul Aisyiyah dalam
Menginternalisasikan Kebijakan Berperspektif Gender di Kota
Palembang Tahun 2016
Pemikiran Hanna Arendt Tentang Totalitaris