Nilai Strategis Indonesia Dalam Geopolit
Nilai Strategis Indonesia Dalam Geopolitik di Kawasan Samudra Hindia
Dr. Muzani.M.Si
Prodi Geografi FIS-UNJ
email: [email protected]
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang juga memiliki posisi
geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari
letak Indonesia yang berada di antara dua samudera (Pasifik dan Hindia )dan dua
benua (Asia dan Australia )sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat
nadi perdagangan internasional. Posisi strategis ini menyebabkan kondisi politik,
ekonomi, dan keamanan ditingkat regional dan global menjadi faktor yang
berpengaruh terhadap kondisi Indonesia. Pada era globalisasi
ini,
perkembangan lingkungan strategis regional dan global lebih besar pengaruhnya
terhadap kondisi nasional karena diterimanya nilai-nilai universal. Salah satu pintu
peran strategis Indonesia berada di Selat Malaka yang memegang peranan yang
sangat penting, tidak hanya bagi negara-negara di sekitarnya, tetapi juga bagi
negara-negara di dunia mengingat keberadaannya sebagai jalur perdagangan laut
tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz. Posisi strategis inilah menjadikan
Selat Malaka sebagai chokepoints of shipping in the world untuk lalu lintas
perdagangan negara-negara di dunia, baik ekspor maupun impor, yang sebagian
besar dilakukan melalui jalur laut. Dengan demikian posisi Indonesia baik secara
geografis maupun geopolitk sangat menentukan dalam pertumbuhan peradaban
maupun secara ekonomi di wilayah ini. Posisi dan kebijakan yang dilakukan
Indonesia akan sangat menentukan perubahan tatanan ekonomi dunia yang
mengarah pada perdagangan bebas.
Katakunci: geopolitik, nilai strategis, samudera hindia
1
PENDAHULUAN
Kalau kita cermati negara-negara yang bermain sebagai “pemain kunci” selain
Indonesia yang memang menjadi Ketua IORA adalah Australia, Afrika Selatan, India,
Malaysia, Srilanka, dan Singapura. Adapun kehadiran Afrika Selatan dan Mozambik,
sangat bisa dimengerti sebagai wakil dari kepentingan negara-negara di Selat
Mozambik di pantai Timur Afrika. Di tengah persaingan global yang semakin
menajam antara Amerika Serikat versus Cina di kawasan Asia Pasifik, formasi
negara-negara tersebut tadi terkesan lebih condong mewakili The British Geopolitics
dan blok Amerika Serikat beserta sekutu-sekutu strategisnya dari NATO. Misal India
dan Srilanka, hingga kini masih terjalin ikatan kerjasama dengan Inggris melalui
Perhimpungan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth) mengingat dulunya
merupakan negara-negara jajahan Inggris di kawasan Asia Selatan. Adapun Malaysia
dan Singapura, juga negara-negara eks jajahan Inggris yang masih terikat dalam
Perhimpunan Negara-Negara persemakmuran, sebagai negara-negara eks jajahan
Inggris di Asia Tenggara.
Makaka itu, menarik mengupas bagaimana menjabarkan salah satu poin penting dari
Jakarta Concord yaitu meneguhkan komitmen untuk memajukan kerjasama di
sektor keamanan dan keselamatan maritim. Dan bagaimana mewujudkan terciptanya
kawasasn Samudra Hindia yang aman dan stabil, di tengah-tengah semakin
menajamnya persaingan global AS dam Inggris di Asia Pasifik saat ini?
Samudra Hindia, Ajang Perebutan Pengaruh Negara-Negara Besar
Kalau kita telisik sejarahnya, Samudra Hindia memang merupakan ajang persaingan
dan bahkan perlombaan senjata antar negara-negara adikuasa sejak berlangsungnya
Perang Dingin antara 1950-1991. Kenapa? Sebab salah satu yang krusial dari
kawasan Samudra Hindia adalah Pulau Diego Garcia, yang secara geografis terletak
di tengah-tengah Samudra Hindia.
2
Pula ketika bicara soal Pulau Diego Garcia, maka harus dibaca bukan semata-mata
soal persaingan strategis maritim antar negara, melainkan juga mencakup unsur
ekonomi, dan pelayaran. Maklumlah, sejak dulu Samudra Hindia merupakan daerah
pertemuan antar berbagai kepentingan negara-negara besar tidak saja di bidang
strategis keamanan melainkan juga perdagangan, agama, kebudayaan, dan diplomasi.
Bahkan sejak abad ke-14, Samudra Hindia sudah menjadi ajang perebutan pengaruh
antar negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Perancis dan Portugis.
Sehingga jalur lautan untuk perdagangan antara Asia dan Eropa bisa diamankan.
Hanya saja sejak abad ke-18 kawasan Samudra Hindia dikuasai kerajaan Inggris
hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Dibandingkan dengan Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik, luas Samudra Hindia
sebenarnya tidak seluas kedua samudra terdahulu. Antara Afrika Timur dan
Indonesia, jaraknya adalah 6 ribu mil. Jika diukur dari utara ke selatan, panjangnya
6500 mil.
Namun, di tengah-tengah Samudra Hindia itulah, terletak Pulau Garcia yang sejak
dahulu kala selalu jadi perebutan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, utamanya
pada saat berlangsungnya Perang Dingin antara awal dekade 1950-an hingga dekade
1990an. Saat ini, Amerika Serikat versus Cina kembali mewarnai perebutan
pengaruh di Samudra Hindia meskipun berbeda isu dan tema sebagai landasan
persaingan kedua negara adikuasa tersebut.
3
Amerika saat ini punya sebuah pangkalan maritim di pulau Garcia. Bagi AS dan
Inggris, Pulau Garcia dinilai strategis berfungsi sebagai fasilitas komunikasi untuk
menghubungkan Ethiopia di Afrika dengan Australia Barat Daya.
Maka itu, terkait dengan hasil KTT IORA saat ini, kepentingan strategis Inggris
mengamankan Pulau Garcia yang terletak di tengah-tengah Samudra Hindia, kiranya
masih tetap jadi sasaran pokok. Apalagi kendali dan pengaruh Inggris terhadap
negara-negara eks jajahannya dulu yang saat ini tergabung dalam Perhimpunan
Negara-Negara Persemakmuran, mata-rantai komunikasinya masih tetap terhubung
melalui Afrika Timur, Pulau Garcia, Pulau Gan, terus menuju Cocos Island ke
Australia.
Melihat sejarahnya, sejak Perang Dingin pada 1967-1968 Inggris praktis kembali
memegang cengkaraman pengaruhnya di Samudra Hindia. Meskipun pada 1968,
bersamaan dengan keputusan Inggris untuk menarik armadanya dari kawasan ini atas
dasar pertimbangan keuangan yang tidak memungkinkan. Namun, AS sebagai sekutu
tradisional Inggris yang perekonomiannya justru sedang berjaya, menggantikan peran
Inggris mengawal Samudra Hindia.
Di sinilah AS kemudian berhadapan dengan pengaruh Uni Soviet, pesaing utamanya
dalam Perang Dingin. Soviet, selain meningkatkan kehadiran kapal-kapal perangnya,
negeri Beruang Merah itu juga mengembangkan fasilitas-fasilitas pelabuhan. Bahkan
melalui kawasan ini, Soviet menjalin kerjasama dengan Maritius (Gambar…) untuk
landing flight penerbangan dan fasilitas pelabuhan.
Gambar. Maritius
Bahkan kerjasama dengan Sri Lanka, Yaman Selatan untuk Pulau Socotra dan Aden,
sedangkan untuk Somali untuk pelabuhan Wudu. Dengan India, untuk penyediaan
4
fasilitas di Visakhapatnam. Dengan demikian, Soviet berhasil membangun strategi
perimbangan kekuatan di kawasan Samudra Hindia. Hanya saja berbeda dengan
Amerika Serikat, sampai berakhirnya Perang Dingin, Soviet belum berhasil
membangun pangkalan maritim.
Bukti nyata betapa strategisnya Samudra Hindia bagi AS dan Soviet, terlihat ketika
AS maupun Soviet sama-sama mengincar perjanjian dengan Mauritius yang letaknya
dekat dengan Pulau Garcia.
Seladar informasi, Mauritius memang agak susah kalau dicari melalui peta dunia.
Namun, negeri berpenduduk 1,2 juta jiwa ini, terletak di Timur daratan Benua Afrika
dan merupakan titik di hamparan luas Samdura Hindia. Mauritius letaknya
dipisahkan oleh Madagaskar. Menariknya, meskipun luas wilayahnya tidak besar,
namun saat ini Mauritius merupakan investor asal Afrika terbesar di Indonesia pada
tahun lalu.
Selain kedua negara adikuasa tersebut memandang penting untuk mengusai fasilitasfasilitas pelabuhan dan penerbangan yang tempat-tempat strategisnya memungkinkan
untuk menguasai Laut Merah, Teluk Aden dan Laut Arab.
Maka tak mengherankan jika Pulau Garcia hingga kini tetap merupakan aspek paling
krusial dalam pertaruhan kepentingan antara AS, Rusia dan Cina dewasa ini. Sebab
dengan menguasai Pulau Garcia yang berada di tengah-tengah Samudra Hindia
melalui penguasaan fasilitas pelabuhan dan pangkalan udara, maka selain dapat
menguasai perairan di Samudra Hindia, juga dapat menguasai daratan Asia dan
Afrika.
Itulah sebabnya hingga kini Samudra Hindia tetap menjadi ajang perebutan
pengaruh antara AS versus Cina, bersamaan dengan semakin memanasnya
ketegangan kedua negara adikuasa tersebut baik Laut Cina Selatan maupun
Semenanjung Korea.
Apalagi ketika memanasnya ketegangan antara AS versus Cina diwarnai dengan
kegiatan pengembangan persenjataan nuklir, seperti terlihat melalui serangkaian uji
coba rudal balistik antar benua (ICBM) yang dilancarkan Korea Utara baru-baru ini,
yang diikuti dengan manuver AS membantu Korea Selatan membangun sistem
pertahanan anti rudal kepada Korea Selatan.
5
Nilai Strategis Indonesia Dalam Geopolitik Samudra Hindia
Lantas, bagaimana dengan aspek geoekonomi yang jadi sasaran perebutan pengaruh
antar negara-negara besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia?
Beberapa negara yang tergabung dalam IORA seperti Indonesia, Malaysia dan Sri
Lanka, masih tetap merupakan negara-negara produsen karet alam. Bagi negaranegara industri maju baik Eropa maupun Jepang, Karet tetap merupakan sumberdaya
alam yang amat vital.
Indonesia dan Australia sendiri termasuk penghasil nikel. Cina, India dan Australia
masih merupakan produsen batubara yang cukup besar. Adapun Timah Indonesia,
Australia dan Thailand masih merupakan produsen andalan.
Namun dari segi geostrategi, Selat Malaka merupakan aspek paling penting dari
Samudra Hindia. Menurut laporan Energy Information Administration sebagaimana
dikutip oleh Untung Suropati, Yohanes Sulaiman dan Ian Montratama dalam bukunya
yang berjudul Arung Samudra Bersama Sang Naga, diperkirakan sebanyak 15,2
juta barel minyak melintas di Selat Malaka setiap harinya. Bearti ini merupakan rute
tersibuk
di
dunia
mengingat
selat
ini
merupakan
rute
terpendek
yang
menghubungkan daratan Asia, Afrika, Timur Tengah dan Eropa.
Maka pada tataran ini posisi silang Indonesia yang berada di antara Samudra Hinda
dan Samudra Pasifik, menjadi sangat strategis. Betapa tidak. Pelayaran dari Eropa
menuju Asia Tenggara dan Asia Timur Tenggara melalui Samudra Hindia, maka
untuk masuk ke Indonesia, harus melalui Selat Malaka
Terkait dengan KTT IORA di Jakaerta minggu ini, ada baiknya pemerintah Indoensia
sebagai negara pantai mulai mempertimbangkan untuk memanfaatkan atau menarik
keuntungan dari padatnya arus pelayaran di Selat Malaka. Apalagi kalau pemerintah
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa Selat Malaka merupakan urat nadi pelayaran
antar negara-negara industri besar dunia baik di Asia Timur seperti Jepang dan Korea
Selatan, maupun Amerika Serikat dengan Timur Tengah dan Afrika.
Sejauh ini justru Singapura yang lebih banyak menarik keuntungan dari jalur ini
karena memiliki fasilitas pelabuhan sehingga berhasil mendominasi pelayanan jasa
pelabuhan kapal-kapal yang melintas di Selat Malaka. Maka dari itu, sudah saatnya
untuk membangun kembali recana lama di era Presiden BJ Habibie dulu, yaitu
6
membangun beberapa pelabuhan seperti di Pulau Sabang dan Batam, sehingga bisa
dikembangkan sebagai Global Transshipment Port seperti yang berhasil dimainkan
oleh Singapura.
Bahkan bukan saja Selat Malaka. Selat Sunda yang terletak antara Jawa dan Sumatra,
bahkan merupakan senjata geopolitik Indonesia ketika suatu saat nanti Selat Malaka
sudah tidak lagi mampu menampung kepadatan dan ukuran kapal yang lebih besar.
Di situlah Selat Sunda berpotensi menjadi jalur pelayaran alternatif utama dunia.
Yaitu sebagai jalur penghubung antara Asia Timur dan Afrika.
Pada aspek strategis, peran Australia yang kebetulan merupakan Ketua IORA
sebelum Indonesia, sudah selayaknya untuk jadi sorotan khusus, Mengingat letaknya
di sebelah Timur Samudra Hindia, selain strategi pertahanannya yang melekat
dengan strategi pertahanan AS di Asia Pasifik.
Namun letak geografis Australia yang sebagai negara litoral Samudra Hindia,
mendorong negara Kanguru ini untuk lebih empati terhadap masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara di kawasan Samudra Hindia.
Begitupun, sarana-sarana strategis Australia masih tetap digunakan untuk strategi
pertahanan negara-negara blok Barat seperti AS dan Inggris seperti fasilitas-fasilitas
di Australia Barat di Cockburn Sound, Indonesia yang terletak di antara Laut Cina
Selatan dan Teluk Persia, sebenarnya mempunyai posisi yang strategis secara
geostrategi. Apalagi ketika persaingan global AS versus Cina di Laut Cina Selatan
belakangan ini semakin memanas.
Atmosfer maritim bakal semakin menarik bersamaan dengan semakin ketatnya
persaingan global antara AS, Cina dan Rusia di Samudra Indonesia dan Selat Malaka
dalam beberapa tahun mendatang.
Nah disinilah Indonesia harus sadar konstalasi geopolitik macam apa yang sedang
dilancarkan Amerika maupun Cina terkait dalam upaya menguasai jalur transportasi
komoditas jalur laut. Pada 2011 lalu, Presiden Obama telah mencanangkan kebijakan
Pivot to the Pacific yang kemudian diperhalus jadi Rebalancing to Asia. Kebijakan
ini tak pelak lagi merupakan respons atas kebangkitan Cina di kawasan Asia Pasifik.
Dengan begitu, maka Indo-Pacific ditetapkan sebagai pusat gravitasi politik dan
ekonomi dunia abad ke-21. Sehingga dalam perencanaan strategis AS politik,
7
ekonomi dan militer merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Hal ini tak lepas dari
arah kebijakan Obama kala itu untuk memainkan peran lebih besar di Asia Pasifik.
Amerika nampaknya menyadari bahwa pusat pertumbuhan ekonomi dunia berada di
Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan yang tadi saya sebut sebagai kawasan
Indo-Pasifik. Tapi bukankah itu tadi masih parallel dengan skema the British
Geopolitics di Samudra Hindia?
Sebaliknya, menyadari bahwa Cina pun mulai terkepung oleh the British Geopolitics
dan manuver AS yang semakin agresif di Asia Pasifik untuk mengimbangi
menguatnya Cina secara ekonomi dan militer, maka Cina pun kemudian meluncurkan
kebijakan Jalur Sutra pada 3 Oktober 2013 lalu. Untuk merealisasikan ambisinya
Cina berkomitmen menyediakan dana sebesar US$ 40-50 miliar untuk pembangunan
infrastruktur terutama laut di berbagai lokasi strategis rute Jalur Sutra Maritim yang
terbentang dari daratan Cina hingga ke Afrika dan Eropa.
Maka itu, hasil-hasil kesepakatan strategis dari KTT IORA 2017 di Jakarta,
hendaknya bisa menjadi landasan awal bagi pemerintah Indonesia, khususnya
Kementerian Luar Negeri, untuk menyusun kebijakan-kebijakan strategis luar negeri
yang benar-benar didasari memanfaatkan dan mendayagunakan keunggulankeunggulan geopolitik Indonesia baik dari segi geoekonomi, geostrategi (geoposisi)
dan geokultural. KTT IORA yang melibatkan 21 negara di kawasan Samudra Hindia,
sudah merupakan titik awal yang cukup bagus.
==============
PEMANFAATAN POSISI STRATEGIS GEOGRAFIS DAN GEOPOLITIK
INDONESIA DAPAT MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING
BIDANG IPTEK
Beberapa indikasi yang menunjukkan belum optimalnya pemanfaatan posisi strategis
ini terlihat pada beberapa indikator perdagangan dan perindustrian. Saat ini, Perjanjian
Perdagangan Bebas ASEAN-China adalah ancaman sekaligus peluang. Untuk
menghadapinya, Indonesia harus membuat kebijakan yang efektif dan kuat agar
industri nasional memiliki daya saing di pasar dunia. Namun karena kebijakan
pemerintah yang berbeda (terutama dalam insentif pajak) ada kekhawatiran produk
Indonesia kalah bersaing di pasar domestik. Pemerintah perlu melihat posisi Indonesia
dalam perdagangan dunia. Dalam data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang
8
50 eksportir teratas dunia 2008, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Padahal,
Singapura, Thailand, dan Malaysia masing-masing di peringkat 14, 29, dan 30[2].
Dalam hal infrastruktur, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai pelabuhan di
Indonesia belum siap dalam menghadapi liberalisasi perdagangan bebas termasuk saat
kerja
sama
perdagangan
bebas
Asean-China
(Asean
China
Free
Trade
Agreement/ACFTA). Ketidaksiapan itu terlihat dari masih sering tersendatnya arus
barang keluar masuk pelabuhan, terbatasnya lapangan penumpukan dan minimnya
investasi peningkatkan infrastruktur di pelabuhan. Kondisi itu diperparah oleh
perbedaan standar pelayanan dan komunikasi yang tidak sama antarpelabuhan. Daya
saing pelabuhan di Indonesia kondisinya terus merosot dibandingkan dengan
pelabuhan di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara merujuk pada data yang
dirilis Global Competitiveness Report 2008—2009. Daya saing pelabuhan di
Indonesia berada pada peringkat ke-104 dari 134 negara yang disurvei[3].
Sisi positif dari pergeseran ekonomi sebagai implikasi CAFTA ini memang terlihat
pada tingkat animo pembelian saham yang terlihat cenderung tumbuh pada tahun 2010
ini. Tahun lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik 87% dan membuat
BEI dinobatkan sebagai bursa berkinerja terbaik di Asia. Sejumlah pelaku pasar
memperkirakan,indeks masih berpeluang naik 20% di tahun 2010 ini. Kenaikan
pendapatan dan laba bersih dari para emiten BEI serta solidnya harga komoditas akan
mendorong laju indeks.Hanya sedikit analis yang khawatir pergerakan indeks akan
terganggu oleh isu-isu politik dan inflasi. Tiga sekuritas papan atas, yaitu Bahana
Securities, Kim Eng Securities, dan Macquarie Securities percaya IHSG adalah salah
satu dari tiga indeks bursa Asia yang bakal naik tahun 2010 ini[4].
Dalam pengembangan teknologi sebagai pendorong knowledge economy, Indonesia
juga belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Rendahnya Kemampuan
Indonesia yang rendah dalam penguasaan teknologi terlihat dalam laporan “Indicators
of Technology-Based Competitiveness” yang disusun oleh National Science
Foundation – USA. Dalam laporan yang dikeluarkan pada tahun 2004, terlihat bahwa
tingkat daya saing teknologi tinggi Indonesia jauh berada di bawah negara Asia lain
seperti Korea, Taiwan, Singapore, dan China. Selain itu, faktor lain yang juga dapat
menjadi ukuran rendahnya kemampuan teknologi Indonesia adalah sedikitnya jumlah
permohonan paten dari Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan data
yang didapat dari Direktorat Paten Direktorat Jenderal HKI, jumlah permohonan paten
9
dalam kurun waktu 1991 hingga 2009 adalah 71.024 permohonan dengan 4.5%
permohonan paten dari dalam negeri[5].
Tulisan ini berusaha mengungkap bagaimana dalam perubahan global di berbagai
aspek, Indonesia dapat memanfaatkan posisi strategis geografis dan geopolitik sebagai
modalitas untuk meningkatkan keunggulan bersaing bidang IPTEK. Beberapa
keunggulan posisi strategis akan dijadikan dasar untuk membangun deferensiasi
unggulan IPTEK.
PEMBAHASAN
Posisi Strategis Geografis dan Geopolitik Indonesia
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah
kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah
negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah
melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut
Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa
Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara.
Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya (Sumardiman, 1982) serta
memperhatikan sejarah dan budaya (Oetama, 2010) sebagai jembatan strategis
peradaban (Pranarka, dkk.;1986) dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan
penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia untuk mencapai
tujuan nasional (Oetama, 2010). Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah
(contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak
adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam wilayah,
bangsa, budaya, ekonomi, dan hankam.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD
1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan
pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional
Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat,
10
dalam “koridor” wasantara. Wawasan Nusantara mempunyai fungsi sebagai pedoman,
motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,
keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan
daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selain fungsi, Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan
nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih
mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok,
golongan, suku bangsa atau daerah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan
kepentingan-kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah.
Kepentingan-kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui dan dipenuhi, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Berbabagai faktor yang terindikasi berpengaruh terhadap kekhasan masalah teritorial
Indonesia tersebut, diantaranya adalah faktor geografi, demografi, sosial, ekonomi dan
politik masyarakat Indonesia. Secara geografi, Indonesia terletak diantara posisi silang
strategik dua benua Asia dan Australia yang dihuni oleh bangsa-bangsa dengan
karakteristiknya masing-masing; demikian juga Indonesia berada di antara dua
samudra (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia) yang menjadi jalur lintas penghubung
berbagai negara di dunia[6]. Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang
duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau
Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara
konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang
disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan geostrategi
Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada
perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka
diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan
defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah
laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim
(maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari
berbagai ancaman.
Berdasarkan teori-teori tentang wawasan, latar belakang falsafah Pancasila, latar
belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial budaya dan aspek kesejarahan,
terbentuklah satu wawasan nasional Indonesia yang disebut dengan Wawasan
11
Nusantara. Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional
dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang
dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau
yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep
politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah,
meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara
di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh
menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan
manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan
Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan
konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda tanggal
13 Desember 1957[7]. Berdasarkan Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang
GBHN, Wawasan Nusantara yang merupakan wawasan nasional yang bersumber pada
Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan
bangsa
serta
kesatuan
wilayah
dalam
menyelengarakan
kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Sebagai bangsa yang majemuk yang telah menegara, bangsa Indonesia dalam
membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada
aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan rakyat semestanya,
selalu mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah. Untuk itu
pembinaan dan dan penyelenmggaraan tata kehidupan bangsa dan negaraIndonesia
disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional,
serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran
tentang kemajemukan dan kebhinekaannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan nasional. Gagasan untuk menjamin persatuan dan kesatuan dalam
kebhinnekaan tersebut dikenal dengan Wasantara, singkatan dari Wawasan Nusantara.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi, air, dan dirgantara di atasnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itu, dengan konsep wawasan
nusantara bangsa Indonesia bertekad mendayagunakan seluruh kekayan alam, sumber
daya serta seluruh potensi nasionalnya berdasarkan kebijaksanaan yang terpadu,
12
seimbang, serasi dan selaras untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah dengan tetap memperhatikan kepentingan daerah
penghasil secara proporsional dalam keadilan.
Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonesia, wawasan Nusantara harus dijadikan
arahan, pedoman, acuan dan tuntunan bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam
membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu, implementasi atau penerapan Wawasan Nusantara harus
tercermin pada pola piker, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan
pribadi atau kelompok sendiri.
Implementasi wawasan nusantara dengan mengedepankan teknologi sebagai tenaga
pendorong kemajuan bangsa tentu tetap pemperhatikan implementasi wawasan
nusantara dalam kehidupan politik yang akan menciptakan iklim penyelenggaraan
Negara yang sehat dan dinamis, kehidupan ekonomi yang akan menciptakan tatanan
ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara merata dan adil, kehidupan sosial budaya yang akan
menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati
segala bentuk perbedaan atau kebhinekaan sebagai kenyataan, dan kehidupan hankam
yang akan menumbuhkembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih
lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara Indonesia.
Dalam memanfaatkan wawasan nusantara yang melihat bahwa geopolitik dan
geografis sebagai satu keunggulan perlu adanya usaha-usaha memanfaatkan
keunggulan ini sebagai modal untuk tumbuhnya kreativitas dalam teknologi yang
terlihat pada tingkat inovasi dan invensi dalam bidang teknologi. Usaha penetrasi
teknologi yang berbasis pada keunggulan lokal Indonesia yang ditopang oleh
keunggulan tiap daerah dapat terjadi ketika ada pendekatan kebijakan yang koheren
dan terintegrasi dalam pengembangan industri berbasis teknologi, koordinasi yang
baik antara kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, pengembangan SDM dan
IPTEK nasional, pengembangan SDM dan IPTEK melalui R&D yang terus menerus
dan harus terintegrasi dengan kebijakan industrialisasi[8].
Keunggulan Lokal untuk Daya Saing Teknologi
Bangsa Indonesia yang secara geografis menempati wilayah yang berada di
persimpangan alur lalu-lintas internasional tentunya memiliki peran penting untuk
13
terlibat aktif dalam berbagai derap langkah pembangunan berskala global yang
dicirikan dengan meningkatnya ketergantungan antar satu bangsa dengan bangsa
lainnya. Hal ini dapat terjadi ketika bangsa Indonesia mampu membangun
kemandirian dalam banyak aspek termasuk teknologi. Hanya dengan kemandirian ini,
bangsa Indonesia dapat mulai berbicara tentang kesalingtergantungan secara sejajar.
Sebagai bangsa yang posisi wilayahnya telah berperan sebagai titik temu berbagai
budaya dan kepentingan antar bangsa, suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk
memberikan peran signifikan dalam pembangunan global. Dalam keadaan ini menjadi
penting untuk membangun keunggulan teknologi berbasis pada keuntungan posisi ini.
Sumberdaya alam di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan ketika
dimanfaatkan secara maksimal untuk memenangkan persaingan global. Selain dari sisi
geografis kedudukan Indonesia merupakan salah satu pasar yang sangat potensial bagi
perkembangan ekonomi dan industri dunia. Situasi ini tentu dapat menjadi pengungkit
bagi pengembangan riset teknologi berbasis potensi lokal. Tuntutan ke depan yang
harus dijawab bersama adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam yang
melimpah serta sumberdaya manusia yang tersedia dengan optimal.
Untuk menuju bangsa dan negara maju dengan kemampuan berbasis Iptek ada
beberapa tahapan yang telah dikembangkan melalui Kementerian Riset dan Teknologi,
yaitu: tahap awal/tahap penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), tahap akselarasi
dan tahap berkelanjutan.
Tahap awal …tahap penguatan sistim inovasi nasional dan pola pembangunan Iptek,
…dalam tahapan proses recovery setelah didera krisis multidemensi dan
perkembangan situasi politik yang sangat dinamis…diperlukan dukungan komitmen
politik yang kuat untuk membangun negara… menjadikan bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang berhasil…kurun waktu 2010-2014…
…tahap akselerasi…perwujudan masyarakat berbasis Iptek…dorongan implementasi
Iptek yang semakin memadai dalam sektor industri… meningkatkan pertumbuhan
sektor jasa… kurun waktu 2015 – 2019…
…tahap keberlanjutan… merupakan perwujudan masyarakat berbasis Iptek…yang
ditandai pencapaian proses industrialisasi yang cepat … dengan memperhatikan
kekuatan ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat… dalam implementasi Visi
– Misi Iptek 2025 dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berbasis Iptek…
indikator yang dapat dipilih untuk menjadi acuan keberhasilan diantaranya ialah
14
Terbentuknya komunitas masyarakat yang membangun Masyarakat berbasis Iptek
dalam berbagai sektor utama…[9]
Pada saat ini persaingan dunia di era globalisasi bukan bertumpu pada kekuatan
sumber daya alam saja melainkan penguasaan teknologi yang handal dari hasil anak
bangsa. Dengan penguasaan teknologi, daerah dapat mengembangkan, meningkatkan
dan memecahkan permasalahan didalam perekonomian daerah menuju kesejahteraan
masyarakat.
Gardner mengemukakan bahwa terdapat sedikitnya dua persoalan yang secara historis
menghambat alih teknologi ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertama, kapasitas teknis dari negara berkembang tersebut tidak memadai untuk
menyerap dan menggunakan teknologi yang dialihkan. Kedua, dalam konteks
perdagangan internasional, penguasaan atas teknologi canggih adalah keunggulan
komparatif dari negara-negara maju; dimana hal tersebut membuat mereka secara
alamiah berusaha mempertahankan keunggulan tersebut dengan membuat mekanisme
alih teknologi yang sarat dengan persyaratan atau pembatasan untuk mencegah negara
yang penerima menguasai teknologi itu sepenuhnya[10]. Untuk itu butuh suatu
breaktrough agar terjadi proses alih teknologi yang menjadikan Indonesia memiliki
keunggulan teknologi yang tidak dimiliki negara maju. Hal ini dapat terjadi dengan
memanfaatkan posisi geografis, geologis, maupun geoastronomi yang khas nusantara.
Terobosan untuk mempercepat penguasaan teknologi harus dilakukan terutama oleh
pemerintah minimal melalui kejelasan dan ketegasan sikap politik, yang diwujudkan
melalui penyusunan kebijakan yang sesuai, alokasi anggaran yang sesuai, dan
diplomasi internasional yang tegas dengan memperhatikan kondisi geografis dan
geopolitik sebagai basis diferensiasi teknologi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, negara-negara maju sebagai produsen
teknologi tinggi secara alamiah ingin mempertahankan keunggulan komparatif
tersebut atas negara-negara lain di dunia. Setiap keputusan pemerintah negara
berkembang yang dapat membuat negara tersebut menguasai teknologi tinggi adalah
sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan negara-negara maju. Pada umumnya
negara-negara maju tersebut akan berusaha secara halus maupun kasar untuk membuat
agar pemerintah negara berkembang membatalkan keputusannya. Apabila bangsa
Indonesia tidak berani berbeda pendapat dengan pemerintah negara-negara maju,
maka kemampuan teknologi Indonesia sulit untuk meningkat secara substansial. Oleh
15
karena itulah, diperlukan keberanian untuk melakukan upaya-upaya yang bersifat
terobosan demi suksesnya kepentingan nasional dengan memperhatikan keunggulan
yang dimiliki agar tidak mudah ditiru oleh pesaing global.
Dengan keuntungan posisi startegis Indonesia, sesungguhnya sangat mungkin
membangun teknologi yang berdaya saing. Untuk membangun teknologi yang
mendukung perekonomian secara signifikan, menurut Lall (1998), ada lima faktor
determinan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sains dan teknologi nasional,
yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas sumber daya manusia, (3) informasi teknologi
dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains dan teknologi sendiri.
Kementerian Negara Riset dan Teknologi mencatat paling tidak delapan masalah yang
menyebabkan rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional. Masalah-masalah
dimaksud yaitu: (1) keterbatasan sumber daya sains dan teknologi, (2) belum
berkembangnya budaya sains dan teknologi, (3) belum optimalnya mekanisme
intermediasi sains dan teknologi, (4) lemahnya sinergi kebijakan sains dan teknologi,
(5) belum maksimalnya kelembagaan litbang, (6) belum terkaitnya kegiatan riset
dengan kebutuhan nyata, (7) rendahnya aktifitas riset di perguruan tinggi, dan (8)
kelemahan aktivitas riset[11].
Salah satu alternatif untuk mengurangi permasalahan yang terjadi adalah dengan
melakukan aliansi strategis antara Academics, Bussiness, dan Government (ABG).
Dengan aliansi strategis ini, masing-masing memiliki posisi sebagai partner yang
memiliki sumber daya dan kapabilitas yang saling komplement untuk memperoleh
daya saing bersama yang lebih efektif[12]. Salah satu hal yang penting diperhatikan
dalam aliansi ini adalah perhatian akan ketersediaan ilmu pengentahuan dan teknologi
yang berlimpah baik di perguruan tinggi, lembaga riset maupun di industri. Dengan
hal ini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat langsung berperan
dalam ekonomi bila ketersediaan teknologi tersedia dalam beragam jenis dan status
yang matang[13].
Untuk dapat memanfaatkan keunggulan unik Indonesia terutama pada tingginya
keanekaragaman hayati perlu sebuah usaha integral antara partner aliansi strategis
baik pada level nasional maupun level daerah. Strategic Cascading[14] dengan
penentuan indikator kunci di tiap level akan dapat memudahkan pengukuran
ketercapaian daya saing teknologi. Beberapa aktivitas yang memungkinkan untuk itu
adalah sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu: (1) mengintegrasikan
sains dan teknologi pada perencanaan pembangunan nasional di semua tingkatan; (2)
16
mengintroduksi sistem inovasi nasional pada sistem produksi dan ekonomi nasional;
(3) mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas dan
pengetahuan lokal; (4) meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas sumber daya
manusia, kelengkapan sarana dan prasarana serta kelembagaan sains dan teknologi
bagi peningkatan daya saing; dan (5) membangun kesadaran tentang perlunya
keterkaitan dan komunikasi di kalangan lembaga sains dan teknologi, pelaku usaha
dan masyarakat. Dengan teknik cascading ini, maka keunggulan tiap daerah dapat
diintegrasi sebagai peningkatan daya saing teknologi secara nasional.
Keunggulan-keunggulan daerah dapat diintegrasi melalui pendekatan industrial
clustering[15] di tiap daerah. Bentang nusantara yang sangat panjang, garis laut
terpanjang di dunia, berimplikasi pada terjadinya penyebaran potensi alamiah di tiap
wilayah dan daerah. Rantai nilai[16] industri yang dikembangkan berdasar kluster
industri akan dapat mengarahkan pada pemilihan fokus pengembangan teknologi di
tiap daerah. Hal ini yang dengan aliansi strategis ABG akan menjadi jalan penjabaran
misi pengembangan teknologi nasional.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Untuk dapat berkembangnya teknologi sebagai basis knowledge economy di
Indonesia, perlu diperhatikan untuk memberikan fokus pada keunggulan berbasis
lokalitas Indonesia. Posisi Indonesia pada silang antar benua dan antar samudera
merupakan keunggulan sebagai daerah transit perdagangan dunia. Keunggulan ini
yang mempertimbangkan posisi strategis baik secara geografis maupun geopolitik
yang memang sangat beragam di Indonesia.
2. Kondisi yang sangat beragam antar wilayah dan daerah di Indonesia memberikan
keunggulan baik dalam sumber daya alam, potensi pasar, sumber daya manusia yang
sangat beragam pula. Perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak
perkembangan teknologi ketika dikembangkan industrial cluster di tiap wilayah
atau daerah tersebut. Secara keseluruhan kluster industri tersebut perlu di
integrasikan sebagai rantai nilai produk teknologi berbasis keunggulan lokal.
Cascading Strategy untuk pencapaian rantai nilai yang efektif dapat tercapai ketika
ada komitmen untuk menumbuhkan aliansi strategis antara academics (university),
business (industry), dan government dengan pendekatan triple helix (reciprocal
collaboration).
17
[1] Lidya Christin Sinaga, Seminar Intern: “Posisi Strategis Selat Malaka bagi
China,
Jepang,
AS
dan
India”,
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/131-seminar-intern-posisistrategis-selat-malaka-bagi-china-jepang-as-dan-india
[2]Disarikan dari Kompas terbitan Rabu, 27 Januari 2010 dengan judul “RI Tidak
Masuk
50
Negara
Eksportir
Teratas
Dunia”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/27/07401793/
RI.Tidak.Masuk.50.Negara.Eksportir.Teratas.Dunia
[3] Disarikan dari Bisnis.com yang diterbitkan Senin, 08/02/2010 dengan judul
Pelabuhan belum siap hadapi perdagangan bebas, http://web.bisnis.com/sektorriil/transportasi/1id159947.html
[4]Disarikan dari Majalah Kontan yang diterbitkan Jumat, 05 Februari 2010 dengan
judul “Sekuritas: Meski Sudah Mahal, Saham-saham Indonesia Masih Menarik”,
diambil dari http://www.kontan.co.id/ index.php/ investasi/news/29551/SekuritasMeski-Sudah-Mahal-Saham-saham-Indonesia-Masih-Menarik
[5] Direktorat Jenderal HKI, Jumlah Permohonan Paten, htpp://www.dgip.go.id,
terakhir kali diakses pada 22 Februari 2010.
[6] Prof. Ir. Mansur Ma’shum, Ph.D. (2009) Pembinaan Teritoria dalam Mendukung
Ketahanan Nasional, Makalah Seminar Nasional “Pemberdayaan Wilayah
Pertahanan Melalui Binter Bersama Seluruh Komponen Bangsa Dalam Rangka
Mendukung Kepentingan Nasional”
[7] Hamengku Buwono X. (2007) Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta:
Gramedia hlm. 66
[8] Disarikan dari makalah yang disampaikan Suharna Surapranata, Kementrian
Riset dan Teknologi pada acara pembukaan PPRA XLIV Lemhannas, 28 Januari
2010 dengan judul Penguasaan, Pemanfaatan, dan Pemajuan IPTEK
[9] Disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata pada rapat
kerja (raker) antara Komisi VII DPR RI dengan Kementerian Riset dan Teknologi
serta Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) Ristek pada tanggal 8
Februari 2010 berjudul Indonesia Menuju Bangsa dan Negara Maju Yang Berbasis
Iptek
[10] Philip L. Gardner, The Globalization Of R&D And International Technology
Transfer In The 21st Century, Makalah dipresentasikan di International Conference
of Management of Innovation and Technology (ICMIT’02 & ISMOT’02),
Hangzhou City, October 18–20 April 2002
[11] Dapat dilihat pada identifikasi masalah penurunan daya saing teknologi di
Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Sains dan Teknologi 2005-2009,
Kementerian Riset dan Teknologi
18
[12] Henry Etzkowitz, 2002, The Triple Helix of University – Industry –
Government: Implications for Policy and Evaluation, Science Policy Institute,
Stockholm, pp. 5-7.
[13] Kusmayanto Kadiman, Nalar Ekonomi dan Nalar Teknologi: Collision Vs
Coalition, Kompasiana.com/2 Desember 2009/humasristek
[14] Strategic Cascading merupakan satu keunggulan dalam Balance Scorecard
sebagai sebuah pendekatan untuk mencapai kinerja terbaik yang berkelanjutan.
Pemilihan perspektif dapat ditentukan sendiri saat melakukan penjabaran visi.
[15] Industrial clustering merupakan konsep untuk pengelompokkan berbagai jenis
aktivitas industri yang sejenis dari produk hilir hingga hulu. Dengan cara ini akan
dapat diperoleh efisiensi dan efektifitas pengelolaan produk.
[16] Rantai nilai (value chain) merupakan aktivitas menghasilkan nilai tambah suatu
produk maupun jasa sejak dari bahan baku hingga layanan purna jual.
19
Dr. Muzani.M.Si
Prodi Geografi FIS-UNJ
email: [email protected]
Abstrak
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang juga memiliki posisi
geografis yang unik sekaligus menjadikannya strategis. Hal ini dapat dilihat dari
letak Indonesia yang berada di antara dua samudera (Pasifik dan Hindia )dan dua
benua (Asia dan Australia )sekaligus memiliki perairan yang menjadi salah satu urat
nadi perdagangan internasional. Posisi strategis ini menyebabkan kondisi politik,
ekonomi, dan keamanan ditingkat regional dan global menjadi faktor yang
berpengaruh terhadap kondisi Indonesia. Pada era globalisasi
ini,
perkembangan lingkungan strategis regional dan global lebih besar pengaruhnya
terhadap kondisi nasional karena diterimanya nilai-nilai universal. Salah satu pintu
peran strategis Indonesia berada di Selat Malaka yang memegang peranan yang
sangat penting, tidak hanya bagi negara-negara di sekitarnya, tetapi juga bagi
negara-negara di dunia mengingat keberadaannya sebagai jalur perdagangan laut
tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz. Posisi strategis inilah menjadikan
Selat Malaka sebagai chokepoints of shipping in the world untuk lalu lintas
perdagangan negara-negara di dunia, baik ekspor maupun impor, yang sebagian
besar dilakukan melalui jalur laut. Dengan demikian posisi Indonesia baik secara
geografis maupun geopolitk sangat menentukan dalam pertumbuhan peradaban
maupun secara ekonomi di wilayah ini. Posisi dan kebijakan yang dilakukan
Indonesia akan sangat menentukan perubahan tatanan ekonomi dunia yang
mengarah pada perdagangan bebas.
Katakunci: geopolitik, nilai strategis, samudera hindia
1
PENDAHULUAN
Kalau kita cermati negara-negara yang bermain sebagai “pemain kunci” selain
Indonesia yang memang menjadi Ketua IORA adalah Australia, Afrika Selatan, India,
Malaysia, Srilanka, dan Singapura. Adapun kehadiran Afrika Selatan dan Mozambik,
sangat bisa dimengerti sebagai wakil dari kepentingan negara-negara di Selat
Mozambik di pantai Timur Afrika. Di tengah persaingan global yang semakin
menajam antara Amerika Serikat versus Cina di kawasan Asia Pasifik, formasi
negara-negara tersebut tadi terkesan lebih condong mewakili The British Geopolitics
dan blok Amerika Serikat beserta sekutu-sekutu strategisnya dari NATO. Misal India
dan Srilanka, hingga kini masih terjalin ikatan kerjasama dengan Inggris melalui
Perhimpungan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth) mengingat dulunya
merupakan negara-negara jajahan Inggris di kawasan Asia Selatan. Adapun Malaysia
dan Singapura, juga negara-negara eks jajahan Inggris yang masih terikat dalam
Perhimpunan Negara-Negara persemakmuran, sebagai negara-negara eks jajahan
Inggris di Asia Tenggara.
Makaka itu, menarik mengupas bagaimana menjabarkan salah satu poin penting dari
Jakarta Concord yaitu meneguhkan komitmen untuk memajukan kerjasama di
sektor keamanan dan keselamatan maritim. Dan bagaimana mewujudkan terciptanya
kawasasn Samudra Hindia yang aman dan stabil, di tengah-tengah semakin
menajamnya persaingan global AS dam Inggris di Asia Pasifik saat ini?
Samudra Hindia, Ajang Perebutan Pengaruh Negara-Negara Besar
Kalau kita telisik sejarahnya, Samudra Hindia memang merupakan ajang persaingan
dan bahkan perlombaan senjata antar negara-negara adikuasa sejak berlangsungnya
Perang Dingin antara 1950-1991. Kenapa? Sebab salah satu yang krusial dari
kawasan Samudra Hindia adalah Pulau Diego Garcia, yang secara geografis terletak
di tengah-tengah Samudra Hindia.
2
Pula ketika bicara soal Pulau Diego Garcia, maka harus dibaca bukan semata-mata
soal persaingan strategis maritim antar negara, melainkan juga mencakup unsur
ekonomi, dan pelayaran. Maklumlah, sejak dulu Samudra Hindia merupakan daerah
pertemuan antar berbagai kepentingan negara-negara besar tidak saja di bidang
strategis keamanan melainkan juga perdagangan, agama, kebudayaan, dan diplomasi.
Bahkan sejak abad ke-14, Samudra Hindia sudah menjadi ajang perebutan pengaruh
antar negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol, Perancis dan Portugis.
Sehingga jalur lautan untuk perdagangan antara Asia dan Eropa bisa diamankan.
Hanya saja sejak abad ke-18 kawasan Samudra Hindia dikuasai kerajaan Inggris
hingga berakhirnya Perang Dunia II.
Dibandingkan dengan Samudra Pasifik dan Samudra Atlantik, luas Samudra Hindia
sebenarnya tidak seluas kedua samudra terdahulu. Antara Afrika Timur dan
Indonesia, jaraknya adalah 6 ribu mil. Jika diukur dari utara ke selatan, panjangnya
6500 mil.
Namun, di tengah-tengah Samudra Hindia itulah, terletak Pulau Garcia yang sejak
dahulu kala selalu jadi perebutan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, utamanya
pada saat berlangsungnya Perang Dingin antara awal dekade 1950-an hingga dekade
1990an. Saat ini, Amerika Serikat versus Cina kembali mewarnai perebutan
pengaruh di Samudra Hindia meskipun berbeda isu dan tema sebagai landasan
persaingan kedua negara adikuasa tersebut.
3
Amerika saat ini punya sebuah pangkalan maritim di pulau Garcia. Bagi AS dan
Inggris, Pulau Garcia dinilai strategis berfungsi sebagai fasilitas komunikasi untuk
menghubungkan Ethiopia di Afrika dengan Australia Barat Daya.
Maka itu, terkait dengan hasil KTT IORA saat ini, kepentingan strategis Inggris
mengamankan Pulau Garcia yang terletak di tengah-tengah Samudra Hindia, kiranya
masih tetap jadi sasaran pokok. Apalagi kendali dan pengaruh Inggris terhadap
negara-negara eks jajahannya dulu yang saat ini tergabung dalam Perhimpunan
Negara-Negara Persemakmuran, mata-rantai komunikasinya masih tetap terhubung
melalui Afrika Timur, Pulau Garcia, Pulau Gan, terus menuju Cocos Island ke
Australia.
Melihat sejarahnya, sejak Perang Dingin pada 1967-1968 Inggris praktis kembali
memegang cengkaraman pengaruhnya di Samudra Hindia. Meskipun pada 1968,
bersamaan dengan keputusan Inggris untuk menarik armadanya dari kawasan ini atas
dasar pertimbangan keuangan yang tidak memungkinkan. Namun, AS sebagai sekutu
tradisional Inggris yang perekonomiannya justru sedang berjaya, menggantikan peran
Inggris mengawal Samudra Hindia.
Di sinilah AS kemudian berhadapan dengan pengaruh Uni Soviet, pesaing utamanya
dalam Perang Dingin. Soviet, selain meningkatkan kehadiran kapal-kapal perangnya,
negeri Beruang Merah itu juga mengembangkan fasilitas-fasilitas pelabuhan. Bahkan
melalui kawasan ini, Soviet menjalin kerjasama dengan Maritius (Gambar…) untuk
landing flight penerbangan dan fasilitas pelabuhan.
Gambar. Maritius
Bahkan kerjasama dengan Sri Lanka, Yaman Selatan untuk Pulau Socotra dan Aden,
sedangkan untuk Somali untuk pelabuhan Wudu. Dengan India, untuk penyediaan
4
fasilitas di Visakhapatnam. Dengan demikian, Soviet berhasil membangun strategi
perimbangan kekuatan di kawasan Samudra Hindia. Hanya saja berbeda dengan
Amerika Serikat, sampai berakhirnya Perang Dingin, Soviet belum berhasil
membangun pangkalan maritim.
Bukti nyata betapa strategisnya Samudra Hindia bagi AS dan Soviet, terlihat ketika
AS maupun Soviet sama-sama mengincar perjanjian dengan Mauritius yang letaknya
dekat dengan Pulau Garcia.
Seladar informasi, Mauritius memang agak susah kalau dicari melalui peta dunia.
Namun, negeri berpenduduk 1,2 juta jiwa ini, terletak di Timur daratan Benua Afrika
dan merupakan titik di hamparan luas Samdura Hindia. Mauritius letaknya
dipisahkan oleh Madagaskar. Menariknya, meskipun luas wilayahnya tidak besar,
namun saat ini Mauritius merupakan investor asal Afrika terbesar di Indonesia pada
tahun lalu.
Selain kedua negara adikuasa tersebut memandang penting untuk mengusai fasilitasfasilitas pelabuhan dan penerbangan yang tempat-tempat strategisnya memungkinkan
untuk menguasai Laut Merah, Teluk Aden dan Laut Arab.
Maka tak mengherankan jika Pulau Garcia hingga kini tetap merupakan aspek paling
krusial dalam pertaruhan kepentingan antara AS, Rusia dan Cina dewasa ini. Sebab
dengan menguasai Pulau Garcia yang berada di tengah-tengah Samudra Hindia
melalui penguasaan fasilitas pelabuhan dan pangkalan udara, maka selain dapat
menguasai perairan di Samudra Hindia, juga dapat menguasai daratan Asia dan
Afrika.
Itulah sebabnya hingga kini Samudra Hindia tetap menjadi ajang perebutan
pengaruh antara AS versus Cina, bersamaan dengan semakin memanasnya
ketegangan kedua negara adikuasa tersebut baik Laut Cina Selatan maupun
Semenanjung Korea.
Apalagi ketika memanasnya ketegangan antara AS versus Cina diwarnai dengan
kegiatan pengembangan persenjataan nuklir, seperti terlihat melalui serangkaian uji
coba rudal balistik antar benua (ICBM) yang dilancarkan Korea Utara baru-baru ini,
yang diikuti dengan manuver AS membantu Korea Selatan membangun sistem
pertahanan anti rudal kepada Korea Selatan.
5
Nilai Strategis Indonesia Dalam Geopolitik Samudra Hindia
Lantas, bagaimana dengan aspek geoekonomi yang jadi sasaran perebutan pengaruh
antar negara-negara besar di negara-negara kawasan Samudra Hindia?
Beberapa negara yang tergabung dalam IORA seperti Indonesia, Malaysia dan Sri
Lanka, masih tetap merupakan negara-negara produsen karet alam. Bagi negaranegara industri maju baik Eropa maupun Jepang, Karet tetap merupakan sumberdaya
alam yang amat vital.
Indonesia dan Australia sendiri termasuk penghasil nikel. Cina, India dan Australia
masih merupakan produsen batubara yang cukup besar. Adapun Timah Indonesia,
Australia dan Thailand masih merupakan produsen andalan.
Namun dari segi geostrategi, Selat Malaka merupakan aspek paling penting dari
Samudra Hindia. Menurut laporan Energy Information Administration sebagaimana
dikutip oleh Untung Suropati, Yohanes Sulaiman dan Ian Montratama dalam bukunya
yang berjudul Arung Samudra Bersama Sang Naga, diperkirakan sebanyak 15,2
juta barel minyak melintas di Selat Malaka setiap harinya. Bearti ini merupakan rute
tersibuk
di
dunia
mengingat
selat
ini
merupakan
rute
terpendek
yang
menghubungkan daratan Asia, Afrika, Timur Tengah dan Eropa.
Maka pada tataran ini posisi silang Indonesia yang berada di antara Samudra Hinda
dan Samudra Pasifik, menjadi sangat strategis. Betapa tidak. Pelayaran dari Eropa
menuju Asia Tenggara dan Asia Timur Tenggara melalui Samudra Hindia, maka
untuk masuk ke Indonesia, harus melalui Selat Malaka
Terkait dengan KTT IORA di Jakaerta minggu ini, ada baiknya pemerintah Indoensia
sebagai negara pantai mulai mempertimbangkan untuk memanfaatkan atau menarik
keuntungan dari padatnya arus pelayaran di Selat Malaka. Apalagi kalau pemerintah
Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa Selat Malaka merupakan urat nadi pelayaran
antar negara-negara industri besar dunia baik di Asia Timur seperti Jepang dan Korea
Selatan, maupun Amerika Serikat dengan Timur Tengah dan Afrika.
Sejauh ini justru Singapura yang lebih banyak menarik keuntungan dari jalur ini
karena memiliki fasilitas pelabuhan sehingga berhasil mendominasi pelayanan jasa
pelabuhan kapal-kapal yang melintas di Selat Malaka. Maka dari itu, sudah saatnya
untuk membangun kembali recana lama di era Presiden BJ Habibie dulu, yaitu
6
membangun beberapa pelabuhan seperti di Pulau Sabang dan Batam, sehingga bisa
dikembangkan sebagai Global Transshipment Port seperti yang berhasil dimainkan
oleh Singapura.
Bahkan bukan saja Selat Malaka. Selat Sunda yang terletak antara Jawa dan Sumatra,
bahkan merupakan senjata geopolitik Indonesia ketika suatu saat nanti Selat Malaka
sudah tidak lagi mampu menampung kepadatan dan ukuran kapal yang lebih besar.
Di situlah Selat Sunda berpotensi menjadi jalur pelayaran alternatif utama dunia.
Yaitu sebagai jalur penghubung antara Asia Timur dan Afrika.
Pada aspek strategis, peran Australia yang kebetulan merupakan Ketua IORA
sebelum Indonesia, sudah selayaknya untuk jadi sorotan khusus, Mengingat letaknya
di sebelah Timur Samudra Hindia, selain strategi pertahanannya yang melekat
dengan strategi pertahanan AS di Asia Pasifik.
Namun letak geografis Australia yang sebagai negara litoral Samudra Hindia,
mendorong negara Kanguru ini untuk lebih empati terhadap masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara di kawasan Samudra Hindia.
Begitupun, sarana-sarana strategis Australia masih tetap digunakan untuk strategi
pertahanan negara-negara blok Barat seperti AS dan Inggris seperti fasilitas-fasilitas
di Australia Barat di Cockburn Sound, Indonesia yang terletak di antara Laut Cina
Selatan dan Teluk Persia, sebenarnya mempunyai posisi yang strategis secara
geostrategi. Apalagi ketika persaingan global AS versus Cina di Laut Cina Selatan
belakangan ini semakin memanas.
Atmosfer maritim bakal semakin menarik bersamaan dengan semakin ketatnya
persaingan global antara AS, Cina dan Rusia di Samudra Indonesia dan Selat Malaka
dalam beberapa tahun mendatang.
Nah disinilah Indonesia harus sadar konstalasi geopolitik macam apa yang sedang
dilancarkan Amerika maupun Cina terkait dalam upaya menguasai jalur transportasi
komoditas jalur laut. Pada 2011 lalu, Presiden Obama telah mencanangkan kebijakan
Pivot to the Pacific yang kemudian diperhalus jadi Rebalancing to Asia. Kebijakan
ini tak pelak lagi merupakan respons atas kebangkitan Cina di kawasan Asia Pasifik.
Dengan begitu, maka Indo-Pacific ditetapkan sebagai pusat gravitasi politik dan
ekonomi dunia abad ke-21. Sehingga dalam perencanaan strategis AS politik,
7
ekonomi dan militer merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Hal ini tak lepas dari
arah kebijakan Obama kala itu untuk memainkan peran lebih besar di Asia Pasifik.
Amerika nampaknya menyadari bahwa pusat pertumbuhan ekonomi dunia berada di
Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia Selatan yang tadi saya sebut sebagai kawasan
Indo-Pasifik. Tapi bukankah itu tadi masih parallel dengan skema the British
Geopolitics di Samudra Hindia?
Sebaliknya, menyadari bahwa Cina pun mulai terkepung oleh the British Geopolitics
dan manuver AS yang semakin agresif di Asia Pasifik untuk mengimbangi
menguatnya Cina secara ekonomi dan militer, maka Cina pun kemudian meluncurkan
kebijakan Jalur Sutra pada 3 Oktober 2013 lalu. Untuk merealisasikan ambisinya
Cina berkomitmen menyediakan dana sebesar US$ 40-50 miliar untuk pembangunan
infrastruktur terutama laut di berbagai lokasi strategis rute Jalur Sutra Maritim yang
terbentang dari daratan Cina hingga ke Afrika dan Eropa.
Maka itu, hasil-hasil kesepakatan strategis dari KTT IORA 2017 di Jakarta,
hendaknya bisa menjadi landasan awal bagi pemerintah Indonesia, khususnya
Kementerian Luar Negeri, untuk menyusun kebijakan-kebijakan strategis luar negeri
yang benar-benar didasari memanfaatkan dan mendayagunakan keunggulankeunggulan geopolitik Indonesia baik dari segi geoekonomi, geostrategi (geoposisi)
dan geokultural. KTT IORA yang melibatkan 21 negara di kawasan Samudra Hindia,
sudah merupakan titik awal yang cukup bagus.
==============
PEMANFAATAN POSISI STRATEGIS GEOGRAFIS DAN GEOPOLITIK
INDONESIA DAPAT MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING
BIDANG IPTEK
Beberapa indikasi yang menunjukkan belum optimalnya pemanfaatan posisi strategis
ini terlihat pada beberapa indikator perdagangan dan perindustrian. Saat ini, Perjanjian
Perdagangan Bebas ASEAN-China adalah ancaman sekaligus peluang. Untuk
menghadapinya, Indonesia harus membuat kebijakan yang efektif dan kuat agar
industri nasional memiliki daya saing di pasar dunia. Namun karena kebijakan
pemerintah yang berbeda (terutama dalam insentif pajak) ada kekhawatiran produk
Indonesia kalah bersaing di pasar domestik. Pemerintah perlu melihat posisi Indonesia
dalam perdagangan dunia. Dalam data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang
8
50 eksportir teratas dunia 2008, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Padahal,
Singapura, Thailand, dan Malaysia masing-masing di peringkat 14, 29, dan 30[2].
Dalam hal infrastruktur, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai pelabuhan di
Indonesia belum siap dalam menghadapi liberalisasi perdagangan bebas termasuk saat
kerja
sama
perdagangan
bebas
Asean-China
(Asean
China
Free
Trade
Agreement/ACFTA). Ketidaksiapan itu terlihat dari masih sering tersendatnya arus
barang keluar masuk pelabuhan, terbatasnya lapangan penumpukan dan minimnya
investasi peningkatkan infrastruktur di pelabuhan. Kondisi itu diperparah oleh
perbedaan standar pelayanan dan komunikasi yang tidak sama antarpelabuhan. Daya
saing pelabuhan di Indonesia kondisinya terus merosot dibandingkan dengan
pelabuhan di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara merujuk pada data yang
dirilis Global Competitiveness Report 2008—2009. Daya saing pelabuhan di
Indonesia berada pada peringkat ke-104 dari 134 negara yang disurvei[3].
Sisi positif dari pergeseran ekonomi sebagai implikasi CAFTA ini memang terlihat
pada tingkat animo pembelian saham yang terlihat cenderung tumbuh pada tahun 2010
ini. Tahun lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah naik 87% dan membuat
BEI dinobatkan sebagai bursa berkinerja terbaik di Asia. Sejumlah pelaku pasar
memperkirakan,indeks masih berpeluang naik 20% di tahun 2010 ini. Kenaikan
pendapatan dan laba bersih dari para emiten BEI serta solidnya harga komoditas akan
mendorong laju indeks.Hanya sedikit analis yang khawatir pergerakan indeks akan
terganggu oleh isu-isu politik dan inflasi. Tiga sekuritas papan atas, yaitu Bahana
Securities, Kim Eng Securities, dan Macquarie Securities percaya IHSG adalah salah
satu dari tiga indeks bursa Asia yang bakal naik tahun 2010 ini[4].
Dalam pengembangan teknologi sebagai pendorong knowledge economy, Indonesia
juga belum menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Rendahnya Kemampuan
Indonesia yang rendah dalam penguasaan teknologi terlihat dalam laporan “Indicators
of Technology-Based Competitiveness” yang disusun oleh National Science
Foundation – USA. Dalam laporan yang dikeluarkan pada tahun 2004, terlihat bahwa
tingkat daya saing teknologi tinggi Indonesia jauh berada di bawah negara Asia lain
seperti Korea, Taiwan, Singapore, dan China. Selain itu, faktor lain yang juga dapat
menjadi ukuran rendahnya kemampuan teknologi Indonesia adalah sedikitnya jumlah
permohonan paten dari Indonesia di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan data
yang didapat dari Direktorat Paten Direktorat Jenderal HKI, jumlah permohonan paten
9
dalam kurun waktu 1991 hingga 2009 adalah 71.024 permohonan dengan 4.5%
permohonan paten dari dalam negeri[5].
Tulisan ini berusaha mengungkap bagaimana dalam perubahan global di berbagai
aspek, Indonesia dapat memanfaatkan posisi strategis geografis dan geopolitik sebagai
modalitas untuk meningkatkan keunggulan bersaing bidang IPTEK. Beberapa
keunggulan posisi strategis akan dijadikan dasar untuk membangun deferensiasi
unggulan IPTEK.
PEMBAHASAN
Posisi Strategis Geografis dan Geopolitik Indonesia
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah
kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah
negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah
melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut
Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa
Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara.
Wasantara ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya (Sumardiman, 1982) serta
memperhatikan sejarah dan budaya (Oetama, 2010) sebagai jembatan strategis
peradaban (Pranarka, dkk.;1986) dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan
penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia untuk mencapai
tujuan nasional (Oetama, 2010). Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah
(contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak
adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam wilayah,
bangsa, budaya, ekonomi, dan hankam.
Jelaslah disini bahwa wasantara adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD
1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan
pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional
Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat,
10
dalam “koridor” wasantara. Wawasan Nusantara mempunyai fungsi sebagai pedoman,
motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan,
keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara Negara di tingkat pusat dan
daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selain fungsi, Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan
nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih
mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok,
golongan, suku bangsa atau daerah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan
kepentingan-kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah.
Kepentingan-kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui dan dipenuhi, selama tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Konsep geopolitik dan geostrategi
Berbabagai faktor yang terindikasi berpengaruh terhadap kekhasan masalah teritorial
Indonesia tersebut, diantaranya adalah faktor geografi, demografi, sosial, ekonomi dan
politik masyarakat Indonesia. Secara geografi, Indonesia terletak diantara posisi silang
strategik dua benua Asia dan Australia yang dihuni oleh bangsa-bangsa dengan
karakteristiknya masing-masing; demikian juga Indonesia berada di antara dua
samudra (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia) yang menjadi jalur lintas penghubung
berbagai negara di dunia[6]. Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang
duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau
Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara
konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang
disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. Sedangkan geostrategi
Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada
perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka
diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan
defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah
laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim
(maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari
berbagai ancaman.
Berdasarkan teori-teori tentang wawasan, latar belakang falsafah Pancasila, latar
belakang pemikiran aspek kewilayahan, aspek sosial budaya dan aspek kesejarahan,
terbentuklah satu wawasan nasional Indonesia yang disebut dengan Wawasan
11
Nusantara. Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep kewilayahan nasional
dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang
dihubungkan oleh laut. Laut yang menghubungkan dan mempersatukan pulau-pulau
yang tersebar di seantero khatulistiwa. Sedangkan Wawasan Nusantara adalah konsep
politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah,
meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara
di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh
menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam.
Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan
manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia telah ditegaskan dalam GBHN dengan
Tap. MPR No.IV tahun 1973. Penetapan ini merupakan tahapan akhir perkembangan
konsepsi negara kepulauan yang telah diperjuangkan sejak Dekrarasi Juanda tanggal
13 Desember 1957[7]. Berdasarkan Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang
GBHN, Wawasan Nusantara yang merupakan wawasan nasional yang bersumber pada
Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa
Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan
bangsa
serta
kesatuan
wilayah
dalam
menyelengarakan
kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Sebagai bangsa yang majemuk yang telah menegara, bangsa Indonesia dalam
membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada
aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan rakyat semestanya,
selalu mengutamakanpersatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah. Untuk itu
pembinaan dan dan penyelenmggaraan tata kehidupan bangsa dan negaraIndonesia
disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah, cita-cita dan tujuan nasional,
serta kondisi sosial budaya dan pengalaman sejarah yang menumbuhkan kesadaran
tentang kemajemukan dan kebhinekaannya dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan nasional. Gagasan untuk menjamin persatuan dan kesatuan dalam
kebhinnekaan tersebut dikenal dengan Wasantara, singkatan dari Wawasan Nusantara.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa bumi, air, dan dirgantara di atasnya serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itu, dengan konsep wawasan
nusantara bangsa Indonesia bertekad mendayagunakan seluruh kekayan alam, sumber
daya serta seluruh potensi nasionalnya berdasarkan kebijaksanaan yang terpadu,
12
seimbang, serasi dan selaras untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah dengan tetap memperhatikan kepentingan daerah
penghasil secara proporsional dalam keadilan.
Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonesia, wawasan Nusantara harus dijadikan
arahan, pedoman, acuan dan tuntunan bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam
membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu, implementasi atau penerapan Wawasan Nusantara harus
tercermin pada pola piker, pola sikap dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan
pribadi atau kelompok sendiri.
Implementasi wawasan nusantara dengan mengedepankan teknologi sebagai tenaga
pendorong kemajuan bangsa tentu tetap pemperhatikan implementasi wawasan
nusantara dalam kehidupan politik yang akan menciptakan iklim penyelenggaraan
Negara yang sehat dan dinamis, kehidupan ekonomi yang akan menciptakan tatanan
ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara merata dan adil, kehidupan sosial budaya yang akan
menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima dan menghormati
segala bentuk perbedaan atau kebhinekaan sebagai kenyataan, dan kehidupan hankam
yang akan menumbuhkembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih
lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara Indonesia.
Dalam memanfaatkan wawasan nusantara yang melihat bahwa geopolitik dan
geografis sebagai satu keunggulan perlu adanya usaha-usaha memanfaatkan
keunggulan ini sebagai modal untuk tumbuhnya kreativitas dalam teknologi yang
terlihat pada tingkat inovasi dan invensi dalam bidang teknologi. Usaha penetrasi
teknologi yang berbasis pada keunggulan lokal Indonesia yang ditopang oleh
keunggulan tiap daerah dapat terjadi ketika ada pendekatan kebijakan yang koheren
dan terintegrasi dalam pengembangan industri berbasis teknologi, koordinasi yang
baik antara kebijakan investasi, kebijakan perdagangan, pengembangan SDM dan
IPTEK nasional, pengembangan SDM dan IPTEK melalui R&D yang terus menerus
dan harus terintegrasi dengan kebijakan industrialisasi[8].
Keunggulan Lokal untuk Daya Saing Teknologi
Bangsa Indonesia yang secara geografis menempati wilayah yang berada di
persimpangan alur lalu-lintas internasional tentunya memiliki peran penting untuk
13
terlibat aktif dalam berbagai derap langkah pembangunan berskala global yang
dicirikan dengan meningkatnya ketergantungan antar satu bangsa dengan bangsa
lainnya. Hal ini dapat terjadi ketika bangsa Indonesia mampu membangun
kemandirian dalam banyak aspek termasuk teknologi. Hanya dengan kemandirian ini,
bangsa Indonesia dapat mulai berbicara tentang kesalingtergantungan secara sejajar.
Sebagai bangsa yang posisi wilayahnya telah berperan sebagai titik temu berbagai
budaya dan kepentingan antar bangsa, suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia untuk
memberikan peran signifikan dalam pembangunan global. Dalam keadaan ini menjadi
penting untuk membangun keunggulan teknologi berbasis pada keuntungan posisi ini.
Sumberdaya alam di Indonesia yang melimpah merupakan kekuatan ketika
dimanfaatkan secara maksimal untuk memenangkan persaingan global. Selain dari sisi
geografis kedudukan Indonesia merupakan salah satu pasar yang sangat potensial bagi
perkembangan ekonomi dan industri dunia. Situasi ini tentu dapat menjadi pengungkit
bagi pengembangan riset teknologi berbasis potensi lokal. Tuntutan ke depan yang
harus dijawab bersama adalah bagaimana memanfaatkan sumberdaya alam yang
melimpah serta sumberdaya manusia yang tersedia dengan optimal.
Untuk menuju bangsa dan negara maju dengan kemampuan berbasis Iptek ada
beberapa tahapan yang telah dikembangkan melalui Kementerian Riset dan Teknologi,
yaitu: tahap awal/tahap penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas), tahap akselarasi
dan tahap berkelanjutan.
Tahap awal …tahap penguatan sistim inovasi nasional dan pola pembangunan Iptek,
…dalam tahapan proses recovery setelah didera krisis multidemensi dan
perkembangan situasi politik yang sangat dinamis…diperlukan dukungan komitmen
politik yang kuat untuk membangun negara… menjadikan bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang berhasil…kurun waktu 2010-2014…
…tahap akselerasi…perwujudan masyarakat berbasis Iptek…dorongan implementasi
Iptek yang semakin memadai dalam sektor industri… meningkatkan pertumbuhan
sektor jasa… kurun waktu 2015 – 2019…
…tahap keberlanjutan… merupakan perwujudan masyarakat berbasis Iptek…yang
ditandai pencapaian proses industrialisasi yang cepat … dengan memperhatikan
kekuatan ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat… dalam implementasi Visi
– Misi Iptek 2025 dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berbasis Iptek…
indikator yang dapat dipilih untuk menjadi acuan keberhasilan diantaranya ialah
14
Terbentuknya komunitas masyarakat yang membangun Masyarakat berbasis Iptek
dalam berbagai sektor utama…[9]
Pada saat ini persaingan dunia di era globalisasi bukan bertumpu pada kekuatan
sumber daya alam saja melainkan penguasaan teknologi yang handal dari hasil anak
bangsa. Dengan penguasaan teknologi, daerah dapat mengembangkan, meningkatkan
dan memecahkan permasalahan didalam perekonomian daerah menuju kesejahteraan
masyarakat.
Gardner mengemukakan bahwa terdapat sedikitnya dua persoalan yang secara historis
menghambat alih teknologi ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Pertama, kapasitas teknis dari negara berkembang tersebut tidak memadai untuk
menyerap dan menggunakan teknologi yang dialihkan. Kedua, dalam konteks
perdagangan internasional, penguasaan atas teknologi canggih adalah keunggulan
komparatif dari negara-negara maju; dimana hal tersebut membuat mereka secara
alamiah berusaha mempertahankan keunggulan tersebut dengan membuat mekanisme
alih teknologi yang sarat dengan persyaratan atau pembatasan untuk mencegah negara
yang penerima menguasai teknologi itu sepenuhnya[10]. Untuk itu butuh suatu
breaktrough agar terjadi proses alih teknologi yang menjadikan Indonesia memiliki
keunggulan teknologi yang tidak dimiliki negara maju. Hal ini dapat terjadi dengan
memanfaatkan posisi geografis, geologis, maupun geoastronomi yang khas nusantara.
Terobosan untuk mempercepat penguasaan teknologi harus dilakukan terutama oleh
pemerintah minimal melalui kejelasan dan ketegasan sikap politik, yang diwujudkan
melalui penyusunan kebijakan yang sesuai, alokasi anggaran yang sesuai, dan
diplomasi internasional yang tegas dengan memperhatikan kondisi geografis dan
geopolitik sebagai basis diferensiasi teknologi.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, negara-negara maju sebagai produsen
teknologi tinggi secara alamiah ingin mempertahankan keunggulan komparatif
tersebut atas negara-negara lain di dunia. Setiap keputusan pemerintah negara
berkembang yang dapat membuat negara tersebut menguasai teknologi tinggi adalah
sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan negara-negara maju. Pada umumnya
negara-negara maju tersebut akan berusaha secara halus maupun kasar untuk membuat
agar pemerintah negara berkembang membatalkan keputusannya. Apabila bangsa
Indonesia tidak berani berbeda pendapat dengan pemerintah negara-negara maju,
maka kemampuan teknologi Indonesia sulit untuk meningkat secara substansial. Oleh
15
karena itulah, diperlukan keberanian untuk melakukan upaya-upaya yang bersifat
terobosan demi suksesnya kepentingan nasional dengan memperhatikan keunggulan
yang dimiliki agar tidak mudah ditiru oleh pesaing global.
Dengan keuntungan posisi startegis Indonesia, sesungguhnya sangat mungkin
membangun teknologi yang berdaya saing. Untuk membangun teknologi yang
mendukung perekonomian secara signifikan, menurut Lall (1998), ada lima faktor
determinan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sains dan teknologi nasional,
yakni (1) sistem insentif, (2) kualitas sumber daya manusia, (3) informasi teknologi
dan pelayanan pendukung, (4) dana, dan (5) kebijakan sains dan teknologi sendiri.
Kementerian Negara Riset dan Teknologi mencatat paling tidak delapan masalah yang
menyebabkan rendahnya daya saing sains dan teknologi nasional. Masalah-masalah
dimaksud yaitu: (1) keterbatasan sumber daya sains dan teknologi, (2) belum
berkembangnya budaya sains dan teknologi, (3) belum optimalnya mekanisme
intermediasi sains dan teknologi, (4) lemahnya sinergi kebijakan sains dan teknologi,
(5) belum maksimalnya kelembagaan litbang, (6) belum terkaitnya kegiatan riset
dengan kebutuhan nyata, (7) rendahnya aktifitas riset di perguruan tinggi, dan (8)
kelemahan aktivitas riset[11].
Salah satu alternatif untuk mengurangi permasalahan yang terjadi adalah dengan
melakukan aliansi strategis antara Academics, Bussiness, dan Government (ABG).
Dengan aliansi strategis ini, masing-masing memiliki posisi sebagai partner yang
memiliki sumber daya dan kapabilitas yang saling komplement untuk memperoleh
daya saing bersama yang lebih efektif[12]. Salah satu hal yang penting diperhatikan
dalam aliansi ini adalah perhatian akan ketersediaan ilmu pengentahuan dan teknologi
yang berlimpah baik di perguruan tinggi, lembaga riset maupun di industri. Dengan
hal ini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat langsung berperan
dalam ekonomi bila ketersediaan teknologi tersedia dalam beragam jenis dan status
yang matang[13].
Untuk dapat memanfaatkan keunggulan unik Indonesia terutama pada tingginya
keanekaragaman hayati perlu sebuah usaha integral antara partner aliansi strategis
baik pada level nasional maupun level daerah. Strategic Cascading[14] dengan
penentuan indikator kunci di tiap level akan dapat memudahkan pengukuran
ketercapaian daya saing teknologi. Beberapa aktivitas yang memungkinkan untuk itu
adalah sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah, yaitu: (1) mengintegrasikan
sains dan teknologi pada perencanaan pembangunan nasional di semua tingkatan; (2)
16
mengintroduksi sistem inovasi nasional pada sistem produksi dan ekonomi nasional;
(3) mendorong terwujudnya iklim yang kondusif bagi berkembangnya kreativitas dan
pengetahuan lokal; (4) meningkatkan kesadaran akan pentingnya kualitas sumber daya
manusia, kelengkapan sarana dan prasarana serta kelembagaan sains dan teknologi
bagi peningkatan daya saing; dan (5) membangun kesadaran tentang perlunya
keterkaitan dan komunikasi di kalangan lembaga sains dan teknologi, pelaku usaha
dan masyarakat. Dengan teknik cascading ini, maka keunggulan tiap daerah dapat
diintegrasi sebagai peningkatan daya saing teknologi secara nasional.
Keunggulan-keunggulan daerah dapat diintegrasi melalui pendekatan industrial
clustering[15] di tiap daerah. Bentang nusantara yang sangat panjang, garis laut
terpanjang di dunia, berimplikasi pada terjadinya penyebaran potensi alamiah di tiap
wilayah dan daerah. Rantai nilai[16] industri yang dikembangkan berdasar kluster
industri akan dapat mengarahkan pada pemilihan fokus pengembangan teknologi di
tiap daerah. Hal ini yang dengan aliansi strategis ABG akan menjadi jalan penjabaran
misi pengembangan teknologi nasional.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Untuk dapat berkembangnya teknologi sebagai basis knowledge economy di
Indonesia, perlu diperhatikan untuk memberikan fokus pada keunggulan berbasis
lokalitas Indonesia. Posisi Indonesia pada silang antar benua dan antar samudera
merupakan keunggulan sebagai daerah transit perdagangan dunia. Keunggulan ini
yang mempertimbangkan posisi strategis baik secara geografis maupun geopolitik
yang memang sangat beragam di Indonesia.
2. Kondisi yang sangat beragam antar wilayah dan daerah di Indonesia memberikan
keunggulan baik dalam sumber daya alam, potensi pasar, sumber daya manusia yang
sangat beragam pula. Perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk mendongkrak
perkembangan teknologi ketika dikembangkan industrial cluster di tiap wilayah
atau daerah tersebut. Secara keseluruhan kluster industri tersebut perlu di
integrasikan sebagai rantai nilai produk teknologi berbasis keunggulan lokal.
Cascading Strategy untuk pencapaian rantai nilai yang efektif dapat tercapai ketika
ada komitmen untuk menumbuhkan aliansi strategis antara academics (university),
business (industry), dan government dengan pendekatan triple helix (reciprocal
collaboration).
17
[1] Lidya Christin Sinaga, Seminar Intern: “Posisi Strategis Selat Malaka bagi
China,
Jepang,
AS
dan
India”,
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kegiatan/131-seminar-intern-posisistrategis-selat-malaka-bagi-china-jepang-as-dan-india
[2]Disarikan dari Kompas terbitan Rabu, 27 Januari 2010 dengan judul “RI Tidak
Masuk
50
Negara
Eksportir
Teratas
Dunia”,
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/27/07401793/
RI.Tidak.Masuk.50.Negara.Eksportir.Teratas.Dunia
[3] Disarikan dari Bisnis.com yang diterbitkan Senin, 08/02/2010 dengan judul
Pelabuhan belum siap hadapi perdagangan bebas, http://web.bisnis.com/sektorriil/transportasi/1id159947.html
[4]Disarikan dari Majalah Kontan yang diterbitkan Jumat, 05 Februari 2010 dengan
judul “Sekuritas: Meski Sudah Mahal, Saham-saham Indonesia Masih Menarik”,
diambil dari http://www.kontan.co.id/ index.php/ investasi/news/29551/SekuritasMeski-Sudah-Mahal-Saham-saham-Indonesia-Masih-Menarik
[5] Direktorat Jenderal HKI, Jumlah Permohonan Paten, htpp://www.dgip.go.id,
terakhir kali diakses pada 22 Februari 2010.
[6] Prof. Ir. Mansur Ma’shum, Ph.D. (2009) Pembinaan Teritoria dalam Mendukung
Ketahanan Nasional, Makalah Seminar Nasional “Pemberdayaan Wilayah
Pertahanan Melalui Binter Bersama Seluruh Komponen Bangsa Dalam Rangka
Mendukung Kepentingan Nasional”
[7] Hamengku Buwono X. (2007) Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Jakarta:
Gramedia hlm. 66
[8] Disarikan dari makalah yang disampaikan Suharna Surapranata, Kementrian
Riset dan Teknologi pada acara pembukaan PPRA XLIV Lemhannas, 28 Januari
2010 dengan judul Penguasaan, Pemanfaatan, dan Pemajuan IPTEK
[9] Disampaikan oleh Menteri Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata pada rapat
kerja (raker) antara Komisi VII DPR RI dengan Kementerian Riset dan Teknologi
serta Lembaga Pemerintahan Non Kementerian (LPNK) Ristek pada tanggal 8
Februari 2010 berjudul Indonesia Menuju Bangsa dan Negara Maju Yang Berbasis
Iptek
[10] Philip L. Gardner, The Globalization Of R&D And International Technology
Transfer In The 21st Century, Makalah dipresentasikan di International Conference
of Management of Innovation and Technology (ICMIT’02 & ISMOT’02),
Hangzhou City, October 18–20 April 2002
[11] Dapat dilihat pada identifikasi masalah penurunan daya saing teknologi di
Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Sains dan Teknologi 2005-2009,
Kementerian Riset dan Teknologi
18
[12] Henry Etzkowitz, 2002, The Triple Helix of University – Industry –
Government: Implications for Policy and Evaluation, Science Policy Institute,
Stockholm, pp. 5-7.
[13] Kusmayanto Kadiman, Nalar Ekonomi dan Nalar Teknologi: Collision Vs
Coalition, Kompasiana.com/2 Desember 2009/humasristek
[14] Strategic Cascading merupakan satu keunggulan dalam Balance Scorecard
sebagai sebuah pendekatan untuk mencapai kinerja terbaik yang berkelanjutan.
Pemilihan perspektif dapat ditentukan sendiri saat melakukan penjabaran visi.
[15] Industrial clustering merupakan konsep untuk pengelompokkan berbagai jenis
aktivitas industri yang sejenis dari produk hilir hingga hulu. Dengan cara ini akan
dapat diperoleh efisiensi dan efektifitas pengelolaan produk.
[16] Rantai nilai (value chain) merupakan aktivitas menghasilkan nilai tambah suatu
produk maupun jasa sejak dari bahan baku hingga layanan purna jual.
19