DUKUNGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA UNTUK PENGEM

DUKUNGAN TEKNOLOGI BUDIDAYA
UNTUK PENGEMBANGAN SAMBILOTO
(Andrographis paniculata Nees)
Muchamad Yusron
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
ABSTRAK
Dengan klaim khasiat obat yang cukup
banyak, sambiloto merupakan salah satu
tanaman obat yang banyak dibutuhkan dalam
industri obat tradisional. Badan POM memasukkan tanaman ini sebagai tanaman unggulan untuk dikembangkan dalam industri obat
fitofarmaka. Bahan baku sambiloto harus dipersiapkan dalam bentuk simplisia dan ekstrak
terstandar melalui penerapan teknologi budidaya baku. Teknologi budidaya telah tersedia,
mulai dari bahan tanaman yang bermutu, teknologi pengelolaan tanaman di lapang, sampai
proses pengolahan hasil. Pengembangan sambiloto harus didukung dengan pewilayahan
komoditas, sehingga diperoleh hasil yang optimal dengan mutu yang baik. Upaya meningkatkan pendapatan usahatani sambiloto dilakukan dengan pola tumpangsari dengan jagung.
Pengembangan sambiloto harus dilakukan
dengan mengikutsertakan industri, baik di tingkat lapang dengan petani maupun dalam
penyediaan teknologi prosesing skala komersial.
Kata kunci : Teknologi, budidaya, Andrographis
paniculata Nees, pengembangan


ABSTRACT
Support of Cultivation Technology
on Development of King of Bitter

(Andrographis paniculata Nees)
Andrographis paniculata is one of the
herbal medicinal plants known and used by
traditional medicinal industry. Agency for Drug
and Food Control has put this plant as one of
the priorities in the development of
phytopharmaceutical
drugs.
Therefore
standardized dried and extract raw materials

must be produced through the application good
agricultural practices, including high yield
plant material, crop management and postharvest processing. Development program of
king of bitter should be supported by policies,
such as identification of andrographis growing

area, introducing intercropping system, and
providing commercial scale extraction technology. Development of king bitter include local
industrial sector, and farmers.
Keywords : Technology, cultivation, Andographis
paniculata, development

PENDAHULUAN
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu
tanaman obat herbal yang banyak dibutuhkan dalam industri obat tradisional
di Indonesia. Cukup banyak klaim
yang menunjukkan manfaat sambiloto
dalam pengobatan tradisional, seperti
untuk meningkatkan ketahanan tubuh
terhadap infeksi kuman, anti diare,
gangguan lever, dan anti bakteri. Oleh
karena itu Badan POM memasukkan
tanaman ini sebagai tanaman unggulan
untuk dikembangkan dalam industri
obat fitofarmaka. Dalam industri obat
tradisional Indonesia, sambiloto dimanfaatkan untuk berbagai produk, seperti

jamu anti inflamasi, obat penurun
tekanan darah, dan sebagainya. Hasil
survei serapan tanaman obat untuk
industri obat tradisional di Jawa dan
Bali memperlihatkan bahwa sambiloto

63

digunakan baik oleh Industri Obat Tradisional (IOT) maupun Industri Kecil
Obat Tradisional (IKOT). Jumlah
serapan sambiloto segar per tahun
untuk kedua jenis industri obat tersebut
adalah 471.567 kg dan 385.840 kg,
masing-masing untuk IOT dan IKOT
(Kemala et al., 2004).
Yusron
et
al.
(2004a)
melaporkan bahwa bahan baku sambiloto untuk industri obat tradisional diambil dari tumbuhan liar dengan kondisi lingkungan yang sangat beragam.

Hal ini yang menyebabkan mutu simplisia yang dihasilkan sangat beragam
pula. Mutu simplisia yang dipanen
Kabupaten Karang Anyar, Jawa
Tengah, bahkan tidak memenuhi
standar mutu
Materia
Medica
Indonesia (MMI).
Saat ini sambiloto telah ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan sebagai obat fitofarmaka.
Salah satu syarat obat fitofarmaka adalah bahan yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan secara medis. Untuk itu perlu dukungan ketersediaan
teknologi yang cukup, agar dapat dihasilkan simplisia dan ekstrak terstandar.
Teknologi tersebut harus mencakup
dari penyediaan bibit sampai dengan
pasca panen. Penerapan teknik budidaya yang baku diharapkan dapat
menyediakan bahan baku dalam jumlah yang memadai, mutu sesuai
standar, dan kontinyuitas pasokan
bahan baku dapat dijamin.
Tulisan ini dimaksudkan untuk
menguraikan teknologi yang telah tersedia, teknologi yang masih perlu dikembangkan, dan arah kebijakan


64

pengembangan sambiloto untuk mendukung program industri obat fitofarmaka.
DAERAH PENGEMBANGAN
Secara alami, sambiloto mampu
tumbuh mulai dari dataran pantai sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis
tanah dan iklim beragam. Yusron et al.
(2004a) mengemukakan bahwa sambiloto ditemukan pada tanah pasir pantai
sampai pada ketinggian 900 m dpl pada
tanah Andosol yang subur dan tipe iklim B (Schmidt dan Ferguson, 1951).
Secara umum, sambiloto tumbuh di
alam pada kondisi yang relatif
ternaungi di bawah tegakan hutan.
Namun demikian untuk mendapatkan
hasil yang optimum dengan mutu yang
memenuhi standar MMI, sambiloto
membutuhkan kondisi agro-ekologi
yang sesuai dan optimal. Vanhaelen et
al. (1991) dan Yusron dan Januwati
(2004a) mengemukakan bahwa faktor

agroekologi
sangat
menentukan
pertumbuhan, hasil, dan mutu simplisia
sambiloto. Hasil penelitian Yusron dan
Januwati (2004a) di Jawa Barat
menunjukkan bahwa faktor agroekologi yang mempengaruhi hasil dan
mutu simplisia sambiloto adalah ketinggian tempat dan ketersediaan air
(curah hujan).
Ketinggian tempat sangat erat
hubungannya dengan suhu udara, dimana suhu udara akan mempengaruhi
proses fisiologis tanaman. Pada suhu
dingin proses fisiologis tanaman akan
terganggu, menyebabkan pertumbuhan
terhambat dan hasil tanaman sambiloto
rendah. Sedangkan ketersediaan air

merupakan faktor ekologis yang sangat
menentukan pertumbuhan dan kandungan bahan aktif tanaman sambiloto.
Pertanaman sambiloto yang kekurangan air cenderung berbunga dan

membentuk buah lebih awal, sehingga
menurunkan produksi terna dan
kandungan bahan aktif. Januwati dan
Nurmaslahah (2008) melaporkan
bahwa kebutuhan air sambiloto untuk
menghasilkan produk terna tertinggi
dan mutu memenuhi standar MMI
adalah 5 mm/hari. Apabila ketersediaan
air dalam budidaya sambiloto hanya
mengandalkan pada curah hujan,
kebutuhan air tersebut dapat terpenuhi
pada wilayah dengan tipe iklim C, B
dan A (Schmidt dan Ferguson).
TEKNOLOGI BUDIDAYA
Benih
Saat ini telah diperoleh calon
varietas unggul dengan potensi produksi tinggi dan mutu simplisia yang
baik. Tiga aksesi calon varietas unggul
yang telah dimiliki oleh Balittro adalah
Blali-1, Cmg-1, dan Cmg-2 dengan

rata-rata potensi produksi terna masingmasing adalah 2.682, 2.408, dan 3.568
kg/ha. Potensi produksi dan mutu
simplisia tiga calon varietas unggul
sambiloto tersebut disajikan pada Tabel
1.

Sambiloto dapat diperbanyak secara vegetatif (setek) maupun generatif
(biji). Benih dari setek diambil dari 3
ruas pucuk tanaman dan dipindahkan
ke lapang setelah berumur 21 hari.
Benih dari setek lebih cepat berbunga
dibandingkan benih dari biji.
Perbanyakan secara generatif (biji) dilakukan untuk memperoleh bahan
tanaman lebih cepat dalam jumlah
banyak. Oleh karena itu, untuk mendukung budidaya sambiloto secara luas
diperlukan benih dengan mutu tinggi.
Benih dengan mutu tinggi diperoleh
dengan pemanenan biji pada umur
fisiologis yang tepat. Umur panen berpengaruh terhadap daya dan kecepatan
berkecambah benih sambiloto. Waktu

panen yang paling tepat untuk produksi
benih sambiloto adalah saat polong
mulai berubah warna dari hijau menjadi coklat muda dan keras. Umur
tanaman pada fase tersebut berbeda di
masing-masing daerah, tergantung pada kondisi agroekologi, terutama ketersediaan air. Pada daerah yang relatif
kering, fase tersebut tercapai lebih
cepat dibandingkan pada daerah basah.
Rusmin et al. (2007) melaporkan bahwa benih yang dipanen pada fase tersebut mempunyai daya kecambah sekitar 67%. Panen benih yang dilakukan
sebelum atau sesudah fase tersebut
mengalami penurunan daya kecambah.

65

Tabel 1. Potensi produksi dan mutu simplisia tiga calon varietas unggul sambiloto
Kadar sari larut alkohol (%)
Kadar sari larut air (%)
Kadar andrografolid (%)
Rata-rata produksi terna (kg/ha)

Blali-1

13,77
22,86
1,09
2.682

Cmg-1
13,03
25,82
1,24
2.408

Cmg-2
19,40
23,77
1,68
3.568

Sumber : Januwati dan Nurmaslahah (2008)

Pembenihan dengan biji dilakukan dengan cara merendam biji terlebih

dahulu selama 24 jam dan kemudian
dikeringkan sebelum disemai. Penyemaian dilakukan pada bedeng dengan
media campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 :
1 : 1. Perkecambahan akan terjadi sekitar 7 hari kemudian. Setelah mempunyai 5 helai daun, benih kemudian dipindah ke polibag dengan media tanam
campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang. Benih dapat dipindah ke lapang
setelah 21 hari.
Pemupukan
Ketersediaan unsur hara N, P,
dan K juga menentukan produksi dan
mutu simplisia sambiloto. Sanjutha et
al. (2008) mengemukakan bahwa hasil
dan mutu simplisia sambiloto dipengaruhi oleh komposisi pupuk yang diberikan. Emmyzar et al. (1996) melaporkan bahwa pada pola monokultur hasil
simplisia daun tertinggi diperoleh dari
pemupukan dengan dosis 100 kg Urea
+ 100 kg TSP + 50 kg KCl setiap
hektar pada penggunaan jarak tanam 40
cm x 20 cm.

66

Hasil beberapa penelitian pada
beberapa kondisi agroekologi yang berbeda (Yusron et al., 2006b; Januwati et
al., 2005; Yusron dan Januwati, 2004b)
memperlihatkan bahwa pada pola sambiloto monokultur dengan jarak tanam
30 cm x 40 cm, dosis optimum untuk
menghasilkan produksi dan mutu yang
baik adalah 10 ton pupuk kandang, 200
kg Urea, 200 kg SP36, dan 100 kg KCl.
Pada tanah miskin, kandungan bahan
organik rendah, dan struktur padat,
dosis pupuk kandang perlu ditambahkan sampai 20 ton/ha. Penambahan
pupuk kandang ini dimaksudkan untuk
memperoleh kondisi struktur tanah
menjadi remah dan untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara. Bahan
organik dengan C/N ratio tinggi
berfungsi langsung sebagai pengikat
unsur hara dan penstabil pH tanah; dan
secara tidak langsung mengikat N
melalui imobilisasi yang nantinya
tersedia bagi tanaman (slow release).
Teknologi penggunaan pupuk
alami dapat diterapkan untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan
menghasilkan produk organik. Hasil
penelitian Yusron et al. (2007) memperlihatkan bahwa pada panen pertama
dosis pupuk kimia rekomendasi memberikan produksi simplisia sambiloto

tertinggi. Akan tetapi pada panen kedua
produksi tertinggi diperoleh dengan
menggunakan pupuk bio dan pupuk
alam (pupuk bio, fosfat alam, dan
zeolit). Hasil ini menunjukkan bahwa
sifat pupuk alam seperti fosfat alam,
pupuk bio dan kompos lebih lambat
tersedia bagi tanaman. Unsur hara yang
dilepas baru dapat dimanfaatkan secara
optimal oleh tanaman pada fase panen
kedua. Penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menghasilkan produk organik
dapat dilakukan dengan memanfaatkan
pupuk bio dan pupuk alam dengan
dosis 10 ton kompos + 300 kg fosfat
alam + 60 kg pupuk bio dan 300 kg
zeolit.
Pola tanam
Sampai saat ini sambiloto belum
dibudidayakan secara luas. Rendahnya
produktivitas tanaman dan tingkat pendapatan yang diperoleh dari budidaya
sambiloto secara monokultur menyebabkan petani tidak tertarik untuk
membudidayakan sambiloto. Pembudidayaan sambiloto secara tumpangsari
dengan tanaman pangan merupakan
salah satu cara untuk menarik minat
petani mengembangkan sambiloto.
Sambiloto memungkinkan untuk ditanam secara tumpangsari karena tanaman ini mampu tumbuh dan menghasilkan mutu yang baik pada kondisi
ternaungi. Januwati dan Yusron (2004)
melaporkan bahwa pada tingkat naungan di bawah 30%, produksi sambiloto
tidak jauh berbeda dengan pertanaman
pada kondisi terbuka.
Sambiloto dapat ditanam secara
tumpangsari dengan jagung. Adanya
pertanaman jagung dalam pola tum-

pangsari meningkatkan intensitas
naungan, namun masih di bawah 30%.
Hasil pengamatan lapang menunjukkan
bahwa intensitas cahaya diantara jagung pada jarak baris 150 cm dan 120
cm masing-masing menurun 25 dan
15% dibandingkan pada kondisi terbuka (Yusron et al., 2006a). Dengan
adanya penyisipan jagung, produksi
sambiloto pada pola tumpangsari lebih
rendah dibandingkan dengan pola sambiloto monokultur. Yusron et al.
(2006a) mengemukakan bahwa dengan
adanya penyisipan jagung (jarak tanam
antara 120 – 150 cm) di antara
sambiloto
menurunkan
produksi
sambiloto sebesar 16% diban-dingkan
dengan produksi pada pola sambiloto
monokultur. Penurunan pro-duksi
sambiloto secara ekonomi dapat
digantikan dengan produksi jagung.
Ditinjau dari biaya usahatani, pola tumpangsari sambiloto dengan jagung membutuhkan biaya usahatani
lebih rendah dibandingkan dengan pola
sambiloto monokultur. Hal ini dikarenakan pembelian bibit sambiloto merupakan porsi terbesar dalam usahatani
sambiloto. Pribadi (2007) mengemukakan bahwa pada pola monokultur biaya
pembelian bibit mencapai 66,5% dari
total biaya usahatani, sehingga dengan
penyisipan jagung menekan biaya
usahatani.
Secara finansial, usahatani tumpangsari sambiloto - jagung cukup
menguntungkan dan layak untuk dikembangkan. Dengan asumsi harga
jual simplisia sambiloto sebesar
Rp 5.000,-/kg dan harga jual jagung
kering sebesar Rp 200,-/kg, pendapat-

67

an bersih mencapai Rp 1.188.360,- per
1.000 m2 dan memberikan tambahan
pendapatan
bersih
(keuntungan)
sebesar Rp 51.675,- per 1.000 m2
dibandingkan
pola
monokultur
(Pribadi, 2007). Pola tumpangsari ini
dilaporkan mempunyai daya adaptasi
yang cukup tinggi terhadap perubahan
biaya produksi dan harga produk.
Pengendalian hama dan penyakit
Salah satu kendala dalam budidaya sambiloto adalah hama dan patogen. Ada dua jenis patogen yang dapat
menimbulkan kerugian yang cukup besar dalam budidaya sambiloto, yaitu
jamur Sclerotium sp. (Rahayuningsih
dan Supriadi, 2002) dan nematoda
Aphelenchoides sp. (Djiwanti dan
Supriadi, 2003). Sclerotium sp. adalah
jamur yang menyebabkan pembusukan
pada akar dan batang sambiloto, sedang
Aphelenchoides sp. adalah nematoda
yang menyebabkan daun kering dan
gugur. Jamur patogen ditemukan menyerang sekitar 10% dari populasi tanaman, sedangkan serangan nematoda
Aphelenchoides sp. masih terbatas.
Sclerotium sp. termasuk salah satu jamur patogen yang mempunyai
banyak tanaman inang, dan menurut
Ferreira dan Boley (2006) jamur ini
memiliki lebih dari 500 spesies
tanaman inang. Selain menyerang
sambiloto, jamur ini dapat berkembang
pada glirisidia, cengkeh dan kunyit, dan
pada potongan rimpang jahe, kunyit
dan lengkuas (Rahayuningsih dan
Supriadi, 2002). Supriadi et al. (2006)
melaporkan
bahwa
serangan
Sclerotium sp. terjadi baik pada fase
vegetatif maupun generatif, tetapi

68

tanaman sambiloto lebih rentan
terhadap serangan Sclerotium pada fase
vegetatif.
Pengendalian Sclerotium sp. dapat dilakukan dengan cara rotasi dengan tanaman jagung dan kacang
tanah. Rotasi ini dimaksudkan untuk
menekan perkembangan jamur Sclerotium sp. Selain itu, pengendalian jamur
ini dapat pula dilakukan dengan aplikasi fungisida, baik melalui penyemprotan pada daun maupun perlakuan
benih sebelum tanam (Supriadi et al.,
2006).
Jamur Sclerotium sp. dapat
dikendalikan dengan memanfaatkan
pestisida nabati dan agensia hayati
(Ganesa et al., 2007; Okereke dan
Wokocha, 2006; Singh dan Singh,
2004 dan Gautam dan Kolte, 1979).
Agensia
hayati
Trichoderma
harzianum mampu menekan perkembangan Sclerotium rolfsii pada tomat
(Okereke dan Wokocha, 2006), menta
(Singh dan Singh, 2004), dan kacang
tanah (Ganesa et al., 2007). Sedangkan
pestisida nabati yang mampu menekan
perkembangan S. rolfsii adalah bubuk
jarak, bubuk mimba, dan ekstrak jahe
(Okereke dan Wokocha, 2006; Gautam
dan Kolte, 1979).
Nematoda Aphelenchoides sp.
pertama kali ditemukan pada pertanaman sambiloto monokultur di Cicurug,
Sukabumi (Djiwanti dan Supriadi,
2003) dan di Cimanggu, Bogor
(Djiwanti dan Supriadi, 2008). Selain
pada daun sambiloto, nematoda ini juga
ditemukan pada tumbuhan di sekitar
sambiloto, antara lain babadotan leutik
(Ageratum conyzoides), babadotan

lalaki (Synedrella nodiflora ), pulus
hayam (Achalypa sp.), dan Chorchorus
olitorius L. (Supriadi et al., 2006).
Djiwanti dan Supriadi (2008) mengemukakan bahwa nematoda yang ditemukan ini merupakan nematode endemi dan bukan introduksi dari luar.
Pengendalian nematoda ini dapat
dilakukan dengan aplikasi pestisida
nabati antara lain tepung biji mimba
(15 g/tanaman), ekstrak biji mimba
dengan konsentrai 0,1%, dan larutan
CNSL 0,1%. Pengendalian dapat pula
dilakukan dengan aplikasi carbofuran 2
g/tanaman (Djiwanti dan Supriadi,
2003).
Panen dan pengolahan hasil
Panen merupakan salah satu tahapan dalam proses budidaya tanaman
obat. Dalam budidaya tanaman obat
yang menghendaki mutu produk yang
tinggi, waktu dan cara panen merupakan periode kritis yang menentukan
mutu hasil panen. Dari hasil beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa
waktu panen yang tepat untuk
sambiloto adalah pada umur 3 - 4 bulan
setelah tanam, yakni pada saat 50%
pertanaman mulai berbunga. Waktu
panen ini berhubungan dengan kandungan bahan aktif, dimana diperoleh
kandungan bahan aktif tertinggi pada
saat tanaman mulai berbunga. Pada
umur di bawah 3 bulan, pertanaman
masih dalam tahap pertumbuhan
vegetatif, sedangkan pada umur lebih
dari 4 bulan pertanaman akan membentuk buah, sehingga kandungan
bahan aktifnya rendah.

Pemanenan dilakukan dengan
cara dipangkas sekitar 15 - 20 cm di
atas permukaan tanah. Pada periode
berikutnya pertanaman akan membentuk cabang dan daun baru, sehingga
diperlukan unsur hara dan air yang
cukup. Kekurangan hara dan air akan
menyebabkan hasil pada panen berikutnya sangat rendah.
Hal lain yang perlu diperhatikan
dalam pengolahan hasil adalah waktu
dan
cara
pengangkutan
hasil.
Sembiring (2007) mengemukakan bahwa pengangkutan harus dilakukan
dalam keadaan tertutup (tidak terkena
matahari langsung) dan kering. Adanya
penyinaran matahari langsung akan
menyebabkan terjadinya fermentasi sehingga hasil panen membusuk.
Banyaknya air pada saat pengangkutan
juga menyebabkan pembusukan.
Sebelum dilakukan penggilingan
dan pengolahan, sambiloto harus dikeringkan dengan baik. Tujuan
pengeringan adalah untuk memperoleh
mutu simplisia yang baik dan bahan
dapat disimpan lebih lama (Handerson
dan Pery, 1976). Teknik pengeringan
yang salah akan menyebabkan penurunan mutu dan simplisia tidak bisa
disimpan lama. Oleh karena itu, hal
yang perlu diperhatikan dalam proses
pengeringan adalah suhu dan kadar air
bahan. Suhu yang terlalu tinggi dapat
merusak mutu produk yang dihasilkan.
Penjemuran dan pengeringan
sambiloto dapat dilakukan dengan
menggunakan sinar matahari, oven,
fresh dryer , atau kombinasi dari teknik
tersebut. Rusli et al. (2004) mengemukakan bahwa untuk memperoleh mutu

69

simplisia yang baik, pengeringan sambiloto dilakukan dengan kombinasi
antara sinar matahari dengan pemanas
blower . Dengan cara demikian diperoleh simplisia sambiloto dengan kadar
abu rendah dan kadar sari cukup tinggi.
Dari segi fisik, beberapa aspek mutu
yang sering menjadi acuan antara lain
adalah warna, tekstur, dan flavor.
Simplisia sambiloto yang baik ditandai
dengan warna yang tidak berbeda jauh
dengan warna aslinya.
Sesuai dengan program Badan
POM dalam pengembangan sambiloto,
untuk mendukung industri fitofarmaka
diperlukan sambiloto dalam bentuk
ekstrak. Saat ini telah diperoleh teknik
pengolahan hasil sambiloto dalam bentuk ekstrak kental maupun ekstrak kering. Ekstrak kering merupakan hasil
pengolahan lanjutan dari ekstrak kental,
yakni dengan cara mengeringkan ekstrak kental. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, oven, freeze dryer atau spray
dryer (Sembiring, 2007). Semua teknik
tersebut mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Freeze dryer merupakan
alat yang cukup baik untuk menghasilkan mutu ekstrak kering yang baik
dan higienis, tetapi membutuhkan
waktu yang cukup lama, yakni lebih
dari 15 jam.
Sambiloto dalam bentuk ekstrak
akan memudahkan proses produksi
obat fitofarmaka, yakni lebih praktis
dan dengan dosis yang lebih akurat.
Namun sampai saat ini teknik ekstraksi
yang ada masih dalam skala laboratorium, padahal untuk mendukung
industri obat fitofarmaka diperlukan

70

teknik dengan skala yang lebih besar
dan komersial.
KEBIJAKAN PENDUKUNG
PENGEMBANGAN
SAMBILOTO
Tanaman sambiloto telah ditetapkan menjadi salah satu komoditas tanaman obat yang dikembangkan sebagai obat fitofarmaka. Agar sambiloto
dapat berkembang sesuai dengan program tersebut, diperlukan kebijakan pendukung yang mencakup antara lain :
Penentuan simplisia dan ekstrak terstandar
Agar sambiloto dapat digunakan
sebagai obat (fitofarmaka) yang dapat
dipertanggungjawabkan,
diperlukan
upaya untuk menghasilkan simplisia
dan ekstrak sambiloto terstandar. Hal
ini dapat dilakukan dengan penerapan
teknik budidaya yang baku, sehingga
diharapkan dapat menyediakan bahan
baku dalam jumlah memadai, mutu sesuai standar dan kelangsungan (kontinyuitas) ketersediaan bahan baku dapat
dijamin.
Penentuan wilayah pengembangan
Ketersediaan teknologi budidaya
yang cukup merupakan dukungan awal
pengembangan sambiloto secara lebih
luas. Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah
dengan menyediakan informasi wilayah yang sesuai untuk budidaya sambiloto. Peta pewilayahan yang rinci
akan sangat membantu menentukan
daerah mana saja yang sesuai untuk
pengembangan sambiloto.

Pengenalan pola tumpangsari
Analisis usahatani dan tingkat
keuntungan yang diperoleh dari
usahatani sambiloto merupakan faktor
yang menentukan ketertarikan petani
untuk membudidayakan sambiloto
secara lebih luas. Budidaya sambiloto
secara monokulktur kurang menguntungkan, oleh karena itu tanaman ini
direkomendasikan untuk dibudidayakan secara tumpangsari dengan jagung
atau tanaman pangan lainnya.
Pengembangan teknologi ekstraksi
skala komersial
Saat ini telah diperoleh teknologi
pengolahan hasil untuk mendapatkan
ekstrak kental dan ekstrak kering terstandar. Namun demikian, teknologi
yang ada masih dalam skala laboratorium. Untuk mendukung pengembangan sambiloto sebagai obat fitofarmaka, teknologi ekstraksi tersebut
perlu dikembangkan dalam skala yang
lebih besar dan komersial. Teknologi
ini dapat dikembangkan melalui kerjasama dengan pihak industri.
Pengembangan pola kemitraan
Seperti halnya dengan komoditas
bahan obat lainnya, pasar utama produk
sambiloto adalah industri obat tradisional dan obat fitofarmaka. Oleh karena itu upaya pengembangan ini harus
dilakukan melalui kerjasama saling
menguntungkan antara petani atau kelompok tani dengan industri obat tradisional dan obat fitofarmaka. Melalui
kerjasama ini diharapkan industri memperoleh bahan baku dengan mutu yang
sesuai kebutuhan dan tersedia secara
kontinyu, sedangkan petani memper-

oleh keuntungan dengan harga yang
stabil.
KESIMPULAN
Sambiloto merupakan tanaman
obat yang banyak dibutuhkan dalam industri obat tradisional dan obat fitofarmaka, akan tetapi penyediaan bahan
bakunya masih menggantungkan pada
hasil panen di alam. Di sisi lain teknologi budidaya telah banyak tersedia.
Pembudidayaan sambiloto masih sangat terbatas karena secara ekonomi
kurang menguntungkan. Pengembangan pola tumpangsari sambiloto dengan
jagung atau tanaman pangan lain diharapkan lebih menguntungkan.
Pengembangan sambiloto perlu
didukung dengan peta pewilayahan,
sehingga lebih memudahkan untuk
menentukan daerah yang sesuai untuk
budidaya. Pengembangan ini harus
mengikutsertakan industri, mulai dari
aspek hulu di tingkat petani sampai
pengolahan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Djiwanti, R.S. and Supriadi. 2003. Leaf
blotch disease of Aphelenchoides
sp. on sambiloto (king of bitter) and
its possible control. Proc. of the
International Symposium on Biomedicines. Bogor Agricultural University, 18-19 September 2003 :
169-174.
Djiwanti, R.S. dan Supriadi. 2008. Determinasi
nematoda
parasit
Aphelenchoides sp. penyebab penyakit hawar daun sambiloto

71

(Andrographis paniculata ). Jurnal
Littri 14 (2) : 61-66.
Emmyzar, R. Suryadi, M. Iskandar,
dan Ngadimin. 1996. Pengaruh
dosis pupuk NPK dan umur panen
terhadap
pertumbuhan
dan
produksi terna tanaman Sambiloto.
Bul. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia. Vol III/I : 31-32.
Ferreira, S.A. and R.A. Boley. 2006.
Sclerotium
rolfsii.
http://www.extento.hawaii.edu/kba
se/crop/Type/s rolfs.htm
Ganesa, S., R.G. Kuppusamy, and R.
Sekar. 2007. Integrated management of stem rot disease (Sclerotium rolfsii) of groundnut
(Arachis hypogea L.) using
Rhizobium
and
Trichoderma
harzianum (ITSS – 452). Turk. J.
Agric. For 31 : 103-108.
Gautam, M. and S.J. Kolte. 1979.
Control of Sclerotium of sunflower
through organic amendments of
soil. Plant and Soil 53 : 233-238.
Handerson, S.M. and R.L. Pery. 1976.
Agricultural Process Engineering.
The AVI Publishing Co. Inc.,
Wesport, Connecticut.
Januwati, M. dan Nurmaslahah. 2008.
Pengaruh tingkat pemberian air
pada tiga aksesi sambiloto (Andrographis paniculata Nees) terhadap
mutu dan produksi simplisia. Jurnal
Littri 14 (2) : 54-60.

72

Januwati, M., Supriadi, M. Yusron,
E.R. Pribadi, S. Wahyuni,
Setiawan, dan W.J. Priambodo.
2005. Modifikasi lingkungan mikro
untuk meningkatkan mutu simplisia sambiloto. Laporan Teknis
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 84-94.
Kemala, S., Sudiarto, E.R. Pribadi, JT.
Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi,
M. Rahardjo, B. Waskito, dan H.
Nurhayati. 2004. Studi serapan,
pasokan dan pemanfaatan tanaman
obat di Indonesia. Laporan Teknis
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 187-247.
Okereke, V.C. and R.C. Wokocha.
2006. Effects of some tropical plant
extracts, Trichoderma harzianum
and captan on the damping-off
disease of tomato induced by
Sclerotium rolfsii. Agric. J. 1 (2) :
52-54.
Pribadi, E.R. 2007. Kajian kelayakan
usahatani pola tanam sambiloto
dengan jagung. Jurnal Littri 13 (3) :
98-105.
Rahayuningsih, S. dan Supriadi. 2002.
Penyakit busuk pangkal batang
(Sclerotium sp.) pada sambiloto.
Pros. Seminar dan Pameran Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
XXIII, 25-26 Maret 2003, Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila,
Jakarta.

Rusli, S., Ma’mun, S. Suhirman, dan B.
Br. Sembiring. 2004. Standarisasi
simplisia dan pembuatan ekstrak
pekat terstandar sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Laporan
Teknis Balittro 2004 : 1-9.
Rusmin, D., S. Wahyuni, dan
Sukarman. 2007. Pengaruh umur
panen terhadap viabilitas benih serta hubungannya dengan produksi
terna sambiloto (Andrographis
paniculata Nees). Jurnal Littri 13
(1) : 20-26.
Sanjutha, S., S. Subramaniam, C. Indu
Rani, and J. Maheswari. 2008.
Integrated nurient management in
Andrographis paniculata . Res. J.
Agric. and Biol. Sci. 4 (2) : 141145.
Schmidt, F. H. and J. H. A. Ferguson.
1951. Rainfall Types based on Wet
and Dry Period Ratios for
Indonesia with Western New
Guinea. Djawatan Meteorologi dan
Geofisika. Ver. 42. Jakarta.
Sembiring, B. Br. 2007. Status teknologi pasca panen sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Perkembangan
Teknologi
Tanaman
Rempah dan Obat, XIX (2) : 135145.
Singh, A. and H.B. Singh. 2004. Control of collar rot in mint (Mentha
spp.) caused by Sclerotium rolfsii
using biological means. Current
Sci. 87 (3) : 362-366.

Supriadi, R.S. Djiwanti, S.Y. Hartati,
E. Taufiq, T. Lestari, M.N.
Karyani, L. Udarno, A. Suhenda,
A. Wikanda, Kurniati, Sugiyanto,
dan W. Darmawan. 2006. Ekobiologi dan pengendalian ramah lingkungan penyakit dan hama utama
sambiloto. Laporan Teknis Penelitian 2005. Buku 2 : 38-57.
Vanhaelen, M., J. Lovely, M. Hanocq
and L. Molle. 1991. Climate and
geographical aspects of medicinal
plant constituents. In The Medicinal Plant Industry. CRC press.
Florida, USA. pp : 59-76.
Yusron, M. dan M. Januwati. 2004a.
Pengaruh kondisi agroekologi terhadap produksi dan mutu simplisia
sambiloto (Andrographis paniculata ). Prosiding Seminar Nasional
XXVI Tumbuhan Obat Indonesia,
Padang, 7-8 September 2004 : 211216.
Yusron, M. dan M. Januwati. 2004b.
Pengaruh pemupukan P dan K terhadap produksi dan mutu sambiloto (Andrographis paniculata
Nees). Makalah disampaikan pada
Seminar Indonesian Biopharmaca
Exhibition Congress, Yogyakarta,
24 Agustus 2004. 8 hal.
Yusron, M., Gusmaini, dan M.
Januwati. 2006a. Produksi dan mutu sambiloto pada pola monokultur
dan tumpangsari. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Tanaman Obat Menuju Kemandirian
Masyarakat dalam Pengobatan Keluarga, Jakarta, 7 September 2006.
92-97.

73

Yusron, M., Gusmaini, dan M.
Januwati. 2006b. Pengaruh tingkat
pemupukan terhadap mutu dan produksi sambiloto. Laporan Teknis
Penelitian, Buku 2. Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat. 11-24.
Yusron, M., Gusmaini, dan M.
Januwati. 2007. Pengaruh polatanam sambiloto – jagung serta dosis
pupuk organik dalam alam terhadap produksi dan mutu sambiloto

74

(Andrographis paniculata Nees).
Jurnal Littri 13 (4) : 147-154.
Yusron, M., M. Januwati, dan W.J.
Priambodo. 2004. Keragaan mutu
simplisia sambiloto (Andrographis
paniculata Nees) pada beberapa
kondisi agroekologi. Makalah disampaikan pada Seminar Kelompok Kerja Nasional Tanaman Obat
Indonesia (POKJANAS TOI)
XXV, Tawangmangu, 27-28 April
2004. 8 hal.