Feminisme Dialektika antara Agama Tradis (1)

Feminisme;
Dialektika antara Agama, Tradisi, dan Peradaban
M. Abdul Rouf [1]
Tak disangsikan, ketika kita mendengar kata „feminisme‟ maka kesan yang
timbul dalam ruas kesadaran imajinasi kita adalah sebuah upaya penyamaan total
antara hak laki-laki dan perempuan dalam berbagai aspek kehidupannya. Sehingga apa
yang menjadi batas primordial yang dititahkan Tuhan kepada kedua makluk tersebut
seolah tak memiliki damarkasi yang jelas. Akibatnya, perbedaan antara kodrat dan
gender dalam diskurus filsafat kehidupan manusia tak memiliki arti penting dalam
setiap aktifitas kehidupan. Postulat-postulat negatif seperti menyesatkan, kafir,
penjajahan budaya dan lain sebagainya, menjadi slogan utama dalam menolak konsepkonsep yang ditawarkan oleh wacana feminisme itu.
Asumsi demikian wajar terjadi lantaran mula-mula munculnya gagasan
feminisme itu sendiri tak berangkat dari rahim asli kebudayaan kita: Islam. Melainkan
ia lahir dan tumbuh berkembang dari kebudayaan liyan: Barat. Sebuah kebudayaan
yang tentunya asing dan berbeda dengan kita baik dalam hal tradisi, peradaban,
maupun paradigma berfikir. Bisa jadi, seraya bersikap sinis kita pun diperbolehkan
menghujatnya secara serampangan demi menolak segala apa yang pernah
dihasilkannya tanpa menimbang implikasi sosial yang akan ditimbulkannya.
Saya pun sepenuhnya sadar bahwa sebenarnya kita juga kesulitan untuk keluar
dari kerangka ortodoksi kesinisan: „ke-Aku-an‟, dalam memandang yang lain: „keKamu-an‟ itu. Bahkan tanpa kita sadari kita seringkali menempatkan sikap Ke-Aku-an
tersebut secara elitis sebagai neraca absah guna mendistilasi segala kemungkinan atas

apa yang hendak terjadi yang disebabkan oleh ke-Kamu-an itu. Segala apapun yang tak
ada dalam preseden tradisi ke-Aku-an itu dianggap sebagai hal yang menjijikkan dan
tak pantas dipakai, dan oleh karenanya, layak dibuang bak kotoran sampah.
Keangkuhan pandangan semacam ini kalau kita afirmasi secara jujur sejatinya
hadir secara apriori dari endapan-endapan pengalaman ideologis keagamaan yang
sedemikian kental kita warisi bersama semenjak kita lahir. Seolah sabda masyhur
mengenai awal mula keber-agama-an manusia yang termaktub dalam hadits Nabi
“setiap manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan suci dan yang menentukan
apakah ia masuk dalam agama Yahudi ataupun Nasrani adalah orang tua” itu telah
membius kesadaran rasional manusia secara total. Padahal, kita tahu beragama tanpa
rasionalitas sama halnya dengan beragama tanpa Tuhan. Atau meminjam bahasanya
Nasr Hamid Abu Zaid, salah seorang pemikir kontroversial Mesir yang masyhur itu,
“saya berfikir maka saya pun menjadi seorang Muslim”.
Barangkali, tak berlebihan seandainya kita katakan bahwa endapan pengalaman
apriori keagamaan tanpa proporsi rasionalitas tersebut pada kenyataannya dapat juga
mengaburkan mata hati kita untuk mengapresiasi capaian-capaian peradaban liyan itu.
Pada akhirnya, memandang entitas lain „the Other‟ yang didasarkan pada sikap
fanatisme ideologis agama itu tak kalah bahayanya dengan sikap beragama secara
heretik dan heterodok. Oleh Sebab itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk memandang
hasil cipta Barat tersebut termasuk di dalamnya „feminisme‟, mula-mula kita tempatkan

[1]

Alumni MAWH 2006, Pon. Pes. Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Saat ini sedang nyantri di salah
satu Universitas tertua Islam, Al-Azhar dan Program Pascasarjana di Institut Islamic Studies, Cairo,
Mesir.

1

sebagai peristiwa-peristiwa diskursif wacana bukan sebagai peristiwa diskursif ideologi
agama.
Pembedaan pembacaan dalam dua kategori tersebut, hemat saya, pada
gilirannya akan mengantarkan terma feminisme masuk dalam domain epistemifikasi
diskursif yang „bebas nilai‟, di samping kita akan dapat menemukan karakter
hamparan feminisme antara dua peradaban besar: Islam dan Barat. Meski saya sadari
bahwa ia lahir bukanlah dari asumsi yang lugu akan tetapi berdasarkan pada suatu
peristiwa yang panjang dan kompleks. Dengan demikian, tak terlalu dini seandainya
kita katakan bahwa feminisme itu adalah fenomena universal yang dimiliki oleh setiap
peradaban manusia dengan tingkat, titik tolak, dan gerakan yang berbeda-beda.

-IKita juga tahu bahwa munculnya gerakan feminisme dalam sudut sejarahnya tak

bisa kita patok secara pasti kapan ia muncul. Kalaupun bisa, hal itu bagi saya malah
mereduksi atau bisa jadi dianggap pemaksaan terhadap terjadinya sebuah peristiwa
wacana. Tersebab patokan-patokan final mengenai kapan pastinya ia muncul itu dalam
riuk wacana diskursif tak menuai kata sepakat di antara para pengkaji feminisme baik
Islam maupun Barat. Hal ini terjadi lantaran masing-masing pengkaji memiliki sudut
pandang tersendiri dalam memandang sebuah terjadinya peristiwa sejarah.
Dalam studi filsafat sejarah, misalnya, hal demikian dimaklumi karena narasi
sejarah itu pada hakikatnya diciptakan oleh para sejarawan. Jadi, tak ada kajian yang
betul-betul objektif sesuai dengan fakta sejarah yang telah lewat kecuali bila tingkat
keobjektifan tersebut dibentuk melalui kesepakatan-kesepakatan ilmiah di antara para
pengkaji. Oleh karenanya, barangkali dengan menampilkan gejala-gejala umum sebagai
„penanda‟ lahirnya wacana feminisme tersebut setidaknya dapat menggambarkan
kepada kita mula-mula identifikasi kesadaran akan pemberontakan kaum perempuan
dalam tradisi kesarjanaan kaum intelektual Barat dan Islam.
Demikian pula, kita pun maklum bahwa abad ke-18 M. adalah penanda baik
bagi laku dinamika peradaban Barat: sebuah laku peradaban yang menjadi titik tolak
kesadaran umat manusia untuk keluar dari segala penghambaan palsu atas kebodohan
dan kepandiran diri dalam berbudaya dan bersikap—atau bahkan dalam ihwal
beragama sekalipun. Abad ini akrab kita dengar dengan sebutan abad pencerahan
„renaissance‟. Dalam abad ini segala bentuk tingkah laku, tradisi, pranata sosial,

paradigma berfikir, dan seabrek hal-hal kemanusiaan lainnya yang telah sedemikian
mapan dijalani berabad-abad sebelumnya, kini mendapatkan koreksi total. Akibatnya,
munculnya ragam aliran filsafat, agama, dan ideologi adalah sebuah peritiwa yang tak
mungkin terelakkan. Tak terkecuali, lahirnya embrio feminisme itu pun juga imbas
langsung dari nilai-nilai yang dihembuskan oleh nalar „renaissance‟ itu. Nama-nama
semisal, Lady Mary dan Marquis de Condoret yang memperjuangkan dunia
pendidikan bagi kaum perempuan itu seolah tak asing lagi bagi kalangan pejuang
feminisme setelahnya; terlebih bagi generasi abad 19 Masehi—abad di mana era
kejayaan feminisme Barat mencapai posisi teratas dalam diskursus kebangkitan
peradaban. Nama-nama itu bak nabi-nabi pembebasan yang harus dikenang sepanjang
masa, laiknya seorang Nabi Muhammad dalam agama Islam.
Muara gagasan feminisme itu bertolak dari kesadaran atas marginalisasi peran
kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan. Sebagaimana halnya posisi kaum
perempuan pra-pencerahan, perempuan seolah ditempatkan nomor dua dalam ihwal
wacana publik dan menjadi subordinat bila dibandingkan dengan posisi kaum laki-laki.
2

Hak berpolitik, berpendidikan, berekonomi dan hak-hak sipil lainnya kerap
dimonopoli oleh budaya patriarkial. Jadinya, perempuan hanya sekadar menjadi hiasan
rumah dan objek eksploitasi gender kaum laki-laki. Penuntutan ekualitas hak dan

kebebasan dalam ranah publik kemudian muncul dan menjadi slogan utama dari khas
gerakan kaum ini.
Pengekangan perempuan dalam dunia Barat dalam kilas sejarahnya, tak
terlepaskan dari asumsi-asumsi doktrinal agama yang menjadi kepercayaan mereka.
Ilustrasi doktrinal ini setidaknya dapat kita teliti dalam tradisi kesejarahan cerita-cerita
agama mereka. Hal ini sebagaimana telah dipotret oleh Nasr Hamid Abu Zaid secara
tipikal dalam salah satu karyanya „Dawâir al-Khauf; Qirâah fi Khitâb al-Mar‟ah‟. Dalam
tradisi kepercayaan Yahudi disebutkan, misalnya, para perempuan dikonsepsikan
sebagai sumber malapetaka bagi kehidupan kaum laki-laki. Turunnya Adam dari surga
dinilai sebagai akibat dari rayuan Hawa agar memakan buah Khuldi yang diharamkan
oleh Tuhan. Oleh sebab itu, sebagai hukuman atas rayuan tersebut, Hawa kemudian
dibalas dengan munculnya darah haid setiap bulan hingga hukuman tersebut berlanjut
sampai anak turunnya. Secara tak langsung, kisah itu juga mengafirmasikan kepada
kita bahwa nalar seorang perempuan itu lebih cenderung ke arah sensifitas penggoda,
dan oleh karenanya, tingkat kejernihan berfikirnya pun lemah ketimbang laki-laki.
Kenyataan demikian diperparah dengan media informasi yang turut mendiskreditkan
kisah-kisah perempuan yang tak proporsional secara terus menerus dalam setiap
perannya.
Tak hanya itu, fenomena semacam itu kemudian digeneralisir oleh para
pembesar-pembesar agama Kristen maupun Yahudi di Barat. Bahkan, konon hanya

orang laki-laki saja yang dapat memegang Kitab ajaran-ajaran agama mereka. Bentuk
monopoli penafsiran agama dalam perspektif maskulin kemudian kian merebak dan
tak bisa terbendung. Diskursus gender yang pada hakikatnya adalah konstruksi sosial
dan bersifat partikularistik kemudian dibawa ke arah yang siapa pun tak bisa
menyentuhnya atau bahkan mengobrak-abrik konseptualnya kecuali mereka-mereka
yang memiliki otoritas tertinggi: Atau dalam bahasa ringkasnya telah terjadi apa yang
dinamakan dengan „Teologisasi Gender‟.
Fenomena penyudutan peran kaum perempuan dalam bentangan sejarahnya
tersebut pada akhirnya melahirkan beragam aliran feminisme sesuai dengan tingkat
tradisi di mana mereka hidup. Sekadar menyebut semisal, feminisme radikal, liberal,
eksistensialis, sosialis, postkolonialis, dan masih banyak ragam aliran-aliran lainnya.
Keragaman tersebut seolah menegaskan perefleksian atas ragamnya aliran pemikiran
maskulin yang juga hidup di mana kelompok feminisme itu hidup. Hingga dalam batas
ini, kita pun dapat mengatakan bahwa keragaman aliran tersebut sejatinya tidak serta
merta menimbulkan pertarungan sengit antar aliran, sebagaimana halnya pertarungan
berdarah yang pernah terjadi dalam sejarah aliran-aliran teologi atau madzhab dalam
Islam. Melainkan berbagai aliran feminisnme itu justru saling memperkokoh satu sama
lain. Saling pengokohan tersebut setidaknya dapat kita pandang sebagai akibat adanya
kesamaan misi sosial yang sama-sama mereka emban: untuk membebaskan kaum
perempuan dari segala jerat kultural, dominasi maskulin, pengkebiran hak-hak, dan

mendorong kaum perempuan untuk lebih jauh mengembangkan kreativitas dan
potensi yang dimiliknya dalam segala aspek kehidupan.
-IISebagai fenomena universal tiap peradaban, tentu mainstream gerakan
feminisme itu tak hanya berdiam diri dalam—dan hanya dimiliki oleh—satu entitas
3

peradaban saja. Melainkan ada semacam proses ta‟sîr wa taatsur diskursif antar
peradaban. Proses ta‟sîr wa taatsur tersebut dapat kita jumpai dalam berbagai serial
pemikiran para tokoh-tokoh feminis Islam abad pencerahan. Tokoh-tokoh pencerahan
awal Islam semisal, Rifa‟at Thahtawi, Jamaludin Afgani, Muhamad Abduh adalah
sederet nama-nama yang terilhami oleh ide-ide pencerahan di Barat. Bahkan dalam
suatu kesempatan kunjungannya ke Barat, Tahtawi mengatakan „Saya menemukan
Islam di Barat (Prancis), dan tak menemukan Islam di Timur (Mesir)‟. Dalam
pengertian lain, Thatawi lebih menemukan nilai dan kultur Islam secara esensial
diterapkan di Barat ketimbang di dunia Islam itu sendiri.
Kendati demikian, proses ta‟sîr wa taatsur itu tak serta merta membuat para
tokoh pencerahan itu memutuskan secara total pemikirannya dari pijakan kultural
tradisinya. Inilah yang saya kira yang membedakan antara identitas kultur Barat dan
Islam. Barangkali betul apa yang dikatakan Hasan Hanafi terkait dua peradaban ini. Ia
menyatakan: bila Barat bisa maju lurus ke depan namun ketika ia jatuh tak memiliki

tempat kembali. Berbeda dengan Islam, ia bisa maju lurus dan seandainya jatuh pun ia
masih memiliki tradisi sebagai tempat kembali dan berpijak guna merumuskan strategi
geraknya.
Oleh sebab itu, wajar bila gagasan-gagasan feminisme para tokoh ini tak terlepas
dari warisan kebudayaan mereka: teks-teks primer agama dan turâts Islam. Artinya,
mereka berupaya merumuskan dan melakukan pembacaan ulang atas teks-teks
keagamaan dan warisan turâts yang mereka nilai kurang memiliki karakter luhur yang
betul-betul diajarkan oleh Islam perdana. Tersebab, pembacaan yang dilakukan oleh
ulama klasik dalam sudut pandang mereka belumlah final dan tentu saja sangat
bersifat partikularistik sesuai dengan konteks situasi di mana mereka melakukan
pembacaan dan pemahaman itu. Pembacaan baru atas teks agama dan warisan turâts
seolah harga mati bagi para tokoh pencerahan ini.
Rifa‟ah Thahtawi yang dijuluki bapak pencerahan Islam, misalnya, melakukan
pembacaan atas turâts Islam yang kemudian ia tuangkan dalam salah satu serial
bukunya yang berjudul “al-Mursyid al-Amîn Li al-Banât wa al-Banîn”. Meski pada
awalnya, buku ini hanya diperuntukkan bagi warga negaranya; masyarakat Mesir,
namun pesan-pesan yang disampaikannya pun justru mewakili dunia Islam secara
keseluruhan di mana keduanya sama-sama dirundung nalar kemunduran. Ia sampai
pada sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam hal memperoleh pendidikan. Al-Qur‟an pun juga sering menyatakan

pentingnya berfikir dan berbudaya bagi setiap insan Tuhan baik laki-laki ataupun
perempuan—atau bahkan waria sekalipun. Hematnya, dengan pendidikan kaum
perempuan pada gilirannya dapat mengokohkan eksistensi mereka sebagai sama-sama
makhluk Tuhan yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk melestarikan bumi.
Sehingga postulat-postulat ciptaan ulama klasik maupun konsepsi masyarakat umum
yang cenderung mendiskriditkan kaum perempuan pada akhirnya nanti akan dapat
terelaminisir atau bahkan ditumbangkan sama sekali.
Tak ada perbedaannya antara kaum laki-laki dan perempuan diperkuat oleh
kenyataan sejarah bahwa Hafshah binti „Umar dan Aisyah bintu Abi Bakar selain
berstatus sebagai istri Nabi namun juga dikenal sebagai tokoh-tokoh pendidik yang
pandai baca dan tulis. Gagasan senada pun juga diafirmasi dan diperkuat oleh
Muhammad Abduh. Hemat Abduh, nilai manfaat pendidikan bagi kaum perempuan
tak hanya dapat meningkatkan kualitas hidup keluarga. Akan tetapi, jauh lebih dari itu,
ia akan mengangkat harkat dan martabat sebuah peradaban. Tersebab, di tangan para
perempuan terdidik inilah pada akhirnya akan melahirkan generasi-generasi yang

4

pintar. Oleh sebab itu, pengisolasian kaum perempuan dari dunia pendidikan tak lain
adalah bentuk kriminalitas atas sejarah kebangiktan umat Islam.

Adalah Qasim Amin yang turut serta mengembangkan gagasan-gagasan para
tokoh pendahulunya. Sebagai bapak feminisme Arab, ia menyuarakan pentingnya
peran perempuan tak hanya dalam hal pendidikan saja. Namun lebih dari itu, ia
menghendaki supaya kaum perempuan lebih berperan dalam sektor publik: politik.
Tersebab baginya, kecakapan politik itu tak diukur oleh semangat gender melainkan ia
ditentukan oleh emosi kecerdasan dan tingkat kemampuan seorang insan dalam
memimpin rakyatnya.
Pada abad-abad sekarangpun semangat feminisme itu kian mencapai titik
klimaksnya. Di tangan tokoh-tokoh abad ini gagasan feminisme menggeliat sedemikian
rupa tanpa tapal batas. Kita mengenal nama-nama Nawal al-Saadawi dari Mesir,
Fatima Mernisi dari Maroko, Aminah Wadud dari Amerika, Taslima Nasren dari
Bangladesh, Riffat Hasan dari Pakistan, Zainah Anwar dari Malaysia, Siti Musdah
Mulia dari Indonesia dan tentu masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya. Kita pun tau,
karakter dari pemikiran para tokoh ini adalah keharusan melakukan interpretasi atas
ayat-ayat misiogonis yang dianggapnya merugikan bagi pihak kaum perempuan. Bagi
para tokoh ini, sudah seharusnya kaum perempuan saat ini melakukan interpretasi
teks-teks agama tersendiri sesuai dengan sudut naluri keperempuanannya. Apa yang
pernah dihasilkan oleh ulama klasik yang notabene adalah kaum laki-laki yang tak
membela kepentingan perempuan harus ditolak. Sehingga dalam batas-batas tertentu,
fenomena lesbian adalah sesuatu hal yang alami dan tak bertentangan dengan

semangat ajaran Islam itu sendiri.
Meski demikian, sebagai seorang muslim yang berfikir dan berbudaya, kita pun
tak seyogyanya serta merta menolak gagasan-gagasan para tokoh feminisme dengan
ragam alirannya itu baik dari Barat maupun Islam secara membabi buta. Simbol-simbol
haram, kafir, jahiliyah tentu tak harus menjadi pengalaman ideologis kita dalam
menyikapi berbagai hal yang bersumber dari luar. Tersebab bagaimanapun juga ide-ide
tersebut adalah salah satu penghantar bagi kita untuk memahami dan sekaligus
menggali ulang pesan-pesan Islam secara subtantif dalam kerangka kekinian. Oleh
sebab itu, dialog pemikiran secara sehat adalah ciri khas seorang muslim yang taat
pada agamanya. Bukankah Islam juga mengajarkan kepada kita mengenai sikap
semacam ini?

5