pandangan postmodernisme terhadap nuklir ir

Program Nuklir Negara Bangsa (Iran)
dalam padangan Posmodernisme
penyusun:

Fransisca Evita
M.Arif Muliawan
Novie Lucky A

Latar Belakang Program Nuklir Iran
Program nuklir Iran mulai dirintis sejak dekade 1950-an pada masa pemerintahan
Shah Reza Pahlevi. Program ini dirintis dengan dukungan penuh serta inisiatif dari Amerika
Serikat sebagai upaya untuk membendung pengaruh Uni Soviet ke Timur Tengah dengan
memperkuat militer Iran. Program nuklir Iran ini sendiri dijalankan pada masa Perang Dingin
sebagai salah satu arena persaingan dan perebutan pengaruh antara Uni Soviet dengan
Amerika Serikat di Timur Tengah. Bantuan dari Amerika Serikat dalam program nuklir Iran
ini dinamakan Atoms for Peace Program. Pada tahun 1968 program ini masuk dalam bagian
dari Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT).
Selama dekade 1970-an, setelah Iran mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat pada
program nuklir Iran serta Iran telah tergabung dalam NPT, Iran kembali melanjutkan
programnya dengan pengayaan uranium yang juga dibantu atau dipasok oleh negara-negara
Eropa seperti Prancis, Spanyol, Belgia, dan Swedia, yang tergabung dalam Eurodif, dengan

Prancis sebagai markasnya. Bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa ini makin
memperkuat dan meningkatkan perkembangan serta kemajuan program nuklir Iran.
Terlepas dari segala perkembangan dan kemajuan program nuklir Iran tersebut,
program nuklir Iran ini sempat terhenti akibat dari Revolusi Islam Iran pada tahun 1979.
Program ini dihentikan oleh pimpinan tertinggi Iran pada saat itu, Ayatullah Khomeini,
dengan alasan program ini tidak sesuai dengan ajaran Islam karena nuklir atau atom memiliki
sifat yang destruktif atau merusak dan dapat menimbulkan benacana yang berkepanjangan.
Respon dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sendiri setelah menyaksikan revolusi
yang terjadi di Iran pada saat itu langsung memberlakukan embargo terhadap Iran, terutama
dalam hal persenjataan dan khususnya terhadap program nuklir Iran setelah kelompk
revolusioner menggulingkan pemerintahan yang pro terhadap Amerika Serikat, Shah Reza
Pahlevi.
Pada dekade 1980-an setelah terjadinya revolusi, pemerintahan Iran secara resmi
menyatakan bahwa program nuklir yang sempat terhenti harus dilanjutkan. Kelanjutan dari
program ini sempat mengalami kendala karena Iran kekurangan bahan-bahan yang

dibutuhkan akibat embargo dari negara-negara Eurodif dan Amerika Seikat. Kendala ini
berupaya diatasi oleh pemerintahan Iran dengan membuka kerjasama dengan International
Atomic Energy Agency (IAEA) pada tahun 1983 dan Argentina pada tahun 1987 untuk
melanjutkan kembali program nuklirnya. Berbeda dengan program nuklir yang dibantu oleh

Eurodif dan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Shah Reza Pahlevi, pengembangan
program nuklir yang dijalankan pada masa setelah revolusi ini lebih diarahkan untuk
mengembangkan

energi

alternatif

untuk

kepentingan

masyarakat

sipil

daripada

mengembangkan nuklir sebagai senjata pemusnah masal untuk kepentingan militer atau
pertahanan dan keamanan.

Pada dekade 1990-an, setelah era Perang Dingin usai, hubungan Russia dengan Iran
memasuki babak baru, dimana kedua negara ini membangun hubungan yang erat hingga
sekarang. Awal dari pembaruan hubungan ini salah satunya ditandai dengan kerjasama
pengembangan program nuklir Iran yang didukung oleh presiden Boris Yeltsin pada saat itu.
Selain Russia, Prancis pun mulai melakukan normalisasi hubungan dengan Iran pada masa
tersebut dengan memberi pasokan uranium kembali pada Iran. Pada sisi yang lain Argentina
justru menghentikan bantuannya terhadap Iran pada masa tersebut akibat tekanan dari
Amerika Serikat yang masih memusuhi Iran.
Pada dekade 2000-an, atau dengan kata lain setelah memasuki abad 21, barulah
kontroversi tentang program nuklir Iran mengemuka menjadi isu penting di dunia
internasional. Pada dekade atau abad ini Amerika Serikat mulai melancarkan isu War on
Terror, dimana perang ini sebagai bentuk atau upaya mereka untuk memerangi kelompok
yang disebut political Islam, sebagai musuh atau pesaing mereka pada era ini, dan Iran
mereka anggap sebagai salah satu representasi pemerintahan Islam pada abad ini. Terlepas
dari pandangan AS tersebut, pada dasarnya sejak dekade 1980-an program nuklir Iran tidak
lagi dikembangkan sebagai senjata pemusnah masal, tetapi sebagai energi alternatif di masa
mendatang untuk mengatasi kelangkaan energi berbasis fosil yang semakin berkurang.
Namun sayangnya, program nuklir yang dilanjutkan oleh Iran sejauh ini masih sering
mengalami kendala mengingat penentangan dari AS seringkali mempengaruhi kebijakan
negara-negara lain atau organisasi internasional. Akibat dari pengaruh AS di dunia

internasional, memang tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh besar tersebut menyebabkan
tekanan-tekanan dan posisi politik mereka seringkali mempengaruhi kebijakan-kebijakan
PBB dan IAEA dalam menjalankan sanksi nuklir terhadap Iran termasuk pada negara-negara
seperti Iran, Cina, dan beberapa negara Eropa mengenai bantuan atau kerjasama mereka

dengan Iran mengenai program nuklirnya yang mengakibatkan kebijakan beberapa negara ini
acapkali berubah-ubah.
Analisis Pembahasan
Kebenaran adalah subjektif, yang dibentuk oleh proses sejarah yang panjang. Sejarah
yang membentuk kebenaran ini secara genealogi disisipi oleh nilai-nilai kekuasaan,
kepentingan, dan intimidasi. Genealogi dalam pengkajian posmodernisme merupakan sebuah
proses pengkajian “asal usul” sejarah dengan jalan melacak bagaimana sebuah pengetahuan
berkembang dari dulu hingga saat ini, bagaimana sebuah kekuatan mampu mempengaruhi
perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Foucault (dalam Ritzer, 2008: 80)
mengartikan genealogi sebagai analisis hubungan historis antara kekuasaan dan
diskursus, meskipun kritisisme diarahkan pada proses yang terdapat pada kontrol
diskursus. Postmodernisme mengakui bahwa kekuasaan mampu menghasilkan ilmu

pengetahuan. Oleh karenanya dapat disimpulkan secara sederhana bahwa
kekuasaan bukan hanya berotasi pada represi fisik semata namun juga bahwa

manusia berupaya mengakses kekuasaan melalui wacana ilmu pengetahuan.

Adanya hubungan antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan menyebabkan hegemoni
sebuah negara dapat membentuk sebuah perspektif yang pada akhirnya membentuk sebuah
ilmu pengetahuan pada negara tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan biasanya akan lebih
condong terhadap pemaparan fakta dari seseorang (resources of history) yang memiliki
kekuatan tersebut. Akibatnya, nilai-nilai kebenaran yang dipaparkan dalam sebuah teks bisa
menjadi multi-interpretasi sehingga diperlukan dekonstruksi dan pembacaan ganda untuk
meninjau ulang fakta kebenaran yang tertulis di dalam teks tersebut.
Dalam teks, ada regime of truth yang sangat berkuasa untuk menciptakan kebenaran
(truth/knowledge) atau memproduksi wacana (discourse). Kita tidak bisa mendefinisikan
siapa yang membuat atau memberikan klaim universalitas sebagai sebuah klaim kebenaran,
namun dalam hal ini, wacana klaim terhadap berbagai Program Nuklir Iran sebagai sesuatu
yang diangap benar oleh Iran atau sesuatu yang dianggap tidak benar oleh Negara-negara
yang menentangnya, dalam hal ini Amerika beserta sekutunya. Perbedaan sudut pandang
tentang program nuklir Iran diciptakan oleh setiap negara untuk memenuhi kepentingannya.
Seperti yang dipercayai oleh Foucault, bahwa beberapa kelompok mempunyai kekuasaan
untuk membuat klaim atas nama “seluruh umat manusia”. Dan menekankan sisi positif
“otherness” yang menghargai perbedaan dari pengalaman manusia dan beragamnya
perbedaan yang ada antara satu orang dengan yang lain. Disini Iran dengan melihat asal-usul


sejarah perkembangan program nuklirnya, mencoba untuk membongkar kebenaran kekuatan
atau mendekontruksi tentang klaim bahwa program nuklir yang mereka bangun adalah untuk
tujuan damai, bukan untuk menciptakan senjata pemusnah masal. Klaim kebenaran ini oleh
Mahmoud Ahmadinejad, Mantan Presiden Iran telah mendorongnya membangun sebuah
perspesi konstruksi teks dalam pidatonya, bahwa “Jika nuklir ini dinilai jelek dan kami tidak
boleh menguasai dan memilikinya, mengapa kalian (Amerika Serikat) sebagai adikuasa
memilikinya? Sebaliknya, jika teknonuklir ini baik bagi kalian, mengapa kami (Iran) tidak
boleh juga memakainya?”
Klaim program nuklir Iran bertujuan untuk damai sesungguhnya bukanlah masalah
baru. Secara tradisional, program nulir Iran sudah dikembangkan dalam masa pasca perang
dunia II yang secara historis periode program nuklir Iran dapat dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama, pengembangan program nuklir Iran yang dijalankan pada masa Perang Dingin,
khususnya pada masa pemerintahan Shah Reza Pahlevi dimana AS mendukung penuh
program nuklir Iran. Dalam kondisi ini posmodernisme melihat bahwa tidak ada pertentangan
dan penindasan hak atas program nuklir Iran, karena dalam masa ini kedua Negara Amerika
Serikat dan Iran berada dalam satu rezim nuklir yang sama. Selanjutnya, Kedua,
pengembangan program nuklir Iran pasca Revolusi Islam Iran tahun 1979 dimana program ini
sempat terhenti hingga dekade 1980-an ketika Iran mulai melanjutkan kembali program
nuklirnya. Dalam situasi ini posmodernisme melihat bahwa pergantian rezim kekuasaan telah

mempengaruhi sistem arah kebijakan program nuklir Iran dikembangkan, dan ketika rezim
berubah, maka wacana teks juga berubah, sehingga ilmu pengetahuan tentang nuklir
mengalami perubahan yang pada akhirnya mendekonstruksi program nuklir Iran secara
global. Yang Ketiga, kelanjutan dari program nuklir Iran pada masa setelah Perang Dingin,
sejak dekade 1990-an hingga masa sekarang dimana AS meningkatkan tekanannya terhadap
Iran khususnya dan negara-negara atau lembaga-lembaga internasional umumnya dalam
kebijakan yang menyangkut program nuklir Iran. Dalam situasi ini rezim Iran dan AS
mengalami perpecahan, dalam posmodernisme ini dianggap sebagai penindasan dan
kekerasan terhadap rezim. Kondisi ini akhirnya menimbulkan konflik pada proses
berjalannnya program nuklir Iran secara menyeluruh.
Pada perkembangan selanjutnya, beberapa Negara lainnya juga mengklaim program
nuklir Iran adalah baik untuk kebutuhan keamanan dan energi Iran, sedangkan Amerika
Serikat mengklaim bahwa Program nuklir Iran membahayakan keamanan dunia di Timur
Tengah. Dalam masalah klaim kebenaran kebutuhan program nuklir ini, seringkali masalah
klaim AS, Israel, dan Korsel dibahas menjadi satu rezim karena rezim-rezim ini berkaitan erat

satu dengan yang lainnya, akibat perkembangan sejarah yang sudah dikonstruksi sebelumnya.
Fakta klaim benar dan tidaknya atau berkualitas dan tidaknya program nuklir Iran
menunjukkan adanya persaingan perspektif dan “rejim kebenaran” yang saling bersaing
antara satu sama lain dalam menentukan ke mana arah program nuklir Iran akan

dikembangkan. Kondisi ini persis sejalan dengan pandangan posmodernisme yang
mengatakan bahwa tidak ada “kebenaran” objektif, yang ada hanyalah “rejim kebenaran”
yang saling bersaing dalam rangka memenangkan wacana, dalam hal ini kebenaran itu
subjektif tergantung siapa penguasa hari itu, sehingga mampu mempengaruhi klaim atas
pengetahuan akan kebenaran tersebut.
Penjelasan di atas semakin memberikan indikasi yang memiliki kemiripan dengan apa
yang dimaksud oleh posmodernisme bahwa “tidak ada ciri yang tunggal, yang ada hanyalah
sebuah manifestasi historis dari sejumlah interpretasi yang bertentangan, di mana kesatuan
dan identitas merupakan hasil kemenangan dari konflik ini.” Dalam kasus program nuklir
Iran, masing-masing pihak baik Iran dan AS saling mengklaim berusaha memenangkan
wacana untuk sebuah pengaruh kuasa nuklir atas persepsi dan pemahaman umum di
masyarakat global, tentang sejarah dan masa depan program nuklir Iran. Adanya klaim teks
(bahasa pidato dan ilmu pengetahuan) menyatakan bahwa seolah-olah program nuklir Iran
adalah berbahaya bagi Amerika Serikat namun di sisi lain bermanfaat bagi Iran. Di satu sisi
AS, Israel, dan Korsel menganggap program nuklir tersebut telah menjadi ancaman serius
bagi keamanan dunia di Timur Tengah, sedangkan di sis lain Iran menganggap bahwa
program nuklirnya adalah hak negara sebagai anggota NPT dan merupakan kebutuhan Negara
dalam menyuplai system keamanan dan energy dalam negeri Iran. Dalam konteks
posmodernisme ini merupakan proses konstruksi kekuasaan masing-masing negara dalam
mempertahankan rezim melalui pembentukan ilmu pengetahuan melalui klaim akan

kebutuhan pihak Iran atau klaim akan ancaman pihak AS, keduanya saling menbentuk
pandangan kebenaran atas program nuklir Iran.
Dari analisis posmodernisme lainnya, dapat dihubungkan dengan teori Focault yang
berpendapat bahwa “tidak ada bentuk pengetahuan yang benar-benar murni”. Semua
pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut tertentu. Proyek dialog program Nuklir Iran
antara Iran dan AS untuk mencapai kesepakatan telah mempertajam pertarungan hegemoni
dari salah satu rezim ke rezim yang lainya. Masyarakat internasional tidak akan bisa terbebas
dari relasi penting atas pengetahuan dan kekuasaan, antara siapa yang berhak mengintervensi
program nuklir Iran atau antara siapa yang mesti memberi sanksi atas program nuklir Iran
yang dianggap oleh AS melanggar aturan dalam NPT. Konflik kekuasaan ini juga dapat

dilihat bahwa adanya intervensi dari AS terhadap sekutunya Israel dan Korea Selatan,
semakin memperkeruh suasana.
Dari sisi posmodernisme, intervensi hegemoni dari luar justru kemungkinan hanya
akan meningkatkan ekskalasi konflik yang ada dan justru akan semakin memperkeruh suasana
konflik nuklir tersebut, walaupun bentuk intervensi tersebut keduanya baik AS maupun Iran
memiliki sisi yang mereka maksud dengan perdamaian, tetapi disisi lain menjadi sarana
menancapkan kuasanya atas suatu entitas dan komunitas masyarakat global. Padahal, kaum
posmodernisme menginginkan independensi dari setiap komunitas atau entitas masyarakat
untuk memilih dari menggali konsep-konsep hidup mereka sesuai dengan latar budaya dan

sejarah mereka masing-masing, sehingga konspe-konsep yang berhubungan dengan Program
Nuklir Iran dimaknai secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masyarakat global.
Klaim kebenaran atau rezim, klaim teks, bahkan sejarah tentang program nuklir Iran
merupakan analisis posmodernisme yang dilihat dari segi struktur negara, eskalasi ancaman
keamanan, dan faktor pergantian rezim, dalam hal ini masuk dalam wacana besar
posmodernisme. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu masyarakat
global perlu menganalisis ilmu pengetahuan yang sedang dibangun Iran dan AS maupun
sekutunya. Dalam hal ini, masyarakat global dituntut untuk bisa memperhatikan dari sisi
kemanusiaan sebagai entitas humaniter global. Di sini, Iran dan AS sama-sama sebagai
Negara-bangsa yang sedang dan sudah mengembangkan program nuklir secara besar-besaran.
Dan dalam perjalanan, keduanya terlibat dalam konflik atas munculnya program nuklir Iran.
Bagi sisi Iran, nuklir itu bermanfaat dan Iran sudah sepantasnya mengambil manfaat dari
program tersebut, sehingga dengan menjalankan program nuklirnya, itu secara langsung
mewakili keinginan negara mereka dan menyatakan bahwa kepentingan mereka pun perlu
didengarkan untuk mencari solusi yang terbaik dari polemik Program nuklir Iran tersebut.
Kesimpulan
Program nuklir Iran dapat dikatakan bermanfaat di sisi lain, dan dapat dikatakan
memiliki ancaman di sisi lain pula. Ini adalah titik fokus dalam postmodernisme memandang
wacana tentang program Nuklir Iran, apakah isu program nuklir diperhatikan secara serius
oleh rezim besar atau tidak. Pada akhirnya yang terjadi adalah kebenaran tentang manfaat

program nuklir Iran yang diciptakan oleh kekuasaan tetap dominan, tergantung siapa yang
lebih memiliki hegemoni besar. Dalam kasus program nuklir Iran ini, fokus pembahasannya
berpusat pada isu-isu besar pada tingkat analisis antarnegara. Klaim-klaim manfaat program
nuklir untuk tujuan damai atau dapat menjadi ancaman keamanan global yang diungkap,

merupakan representasi kepentingan negara yang berkonflik dalam hal ini Iran dan AS. Dalam
posmodernisme, jika Iran mampu mengkonstruksi manfaat program nuklir yang ia
kembangkan lewat teknologi dan ilmu pengetahuan yang ilmiah, maka program nuklir Iran
akan tetap berjalan dengan baik. Namun, jika Iran tidak cakap mengkonstruksi teks dan ilmu
pengetahuan yang secara terus-menerus mendapat pertentangan dari AS, maka kondisi ini
akan menyulitkan bagi masa depan program nuklir Iran. Semoga saja rezim global mampu
mendamaikan kedua pihak ––AS dan Iran. Dalam hal ini, postmodernisme telah mampu
menjawab sudut pandang polemik “program nuklir Iran”. Walaupun sebagian besar doktrinasi
tekstual mengenai konsep nuklir sebagai senjata penusnah massal, namun posmodernis
berhasil mengenyampingkan pemikiran bahwa pemanfaatan nuklir bukan untuk tujuan “being
superpower” namun lebih terfokus pada pemanfaatannya dalam bentuk energi terbarukan.