Membangun Sebuah Pilihan Pertahanan Yang (1)

Membangun Sebuah Pilihan Pertahanan yang Bernilai Strategis
Andrea Abdul Rahman Azzqy S.Kom., M.Si., M.Si(Han)., MCTS

Membangun pertahanan di Indonesia khusunya kepada pilihan-pilihan strategis,
semuanya berbenturan dengan berbagai macam masalah yang harus bisa dipecahkan sebelum
semuanya terlambat. Proyeksi kedepan akan masalah pertahanan Indonesia bisa secara bertahap
dilakukan dengan merampungkan beberapa masalah klasik yang muncul dalam mengembangkan
postur pertahanan Indonesia. Salah satu masalah tersebut adalah minimnya anggaran belanja
pertahanan Indonesia. Minimnya anggaran pertahanan tersebut tidak memungkinkan Kementrian
Pertahanan untuk melakukan proses modernisasi postur pertahanan Indonesia kedepan.
Kementrian Pertahanan hanya mampu memberikan prioritas kepada program pemeliharaan alat
utama sistem pertahanan yang ada. Prioritas ini diberikan karena di tahun 2000, kesiapan alat
utama sistem pertahanan (alutsista) TNI berkisar antara 30-80%.
Kondisi alutsista tersebut tidak memberikan pilihan bagi Kementrian Pertahanan untuk
segera mencari alternatif-alternatif konsep strategis baru untuk mengembang doktrin pertahanan
Indoensia. Kementrian Pertahanan “terjebak” untuk memprioritaskan program memelihara
alutsista (arms maintanence) yang diarahkan untuk memelihara alutsista yang sudah ada atau
untuk mengganti alutsista yang sudah habis usia pakainya. Program arms maintanence ini
tampak mendominasi Rencana Strategis (RENSTRA) 2004-2009 dan rencana jangka panjang
(RJP) Pembangunan Pertahanan Tahun 2005-2025.
Tujuan program pembangunan pertahanan tersebut jelas menunjukkan bahwa

pembangunan pertahanan Indonesia lebih mengutamakan opsi penempatan stratejik (deployment)
dan gelar operasi militer (employment) dengan kesiapan stratejik (strategic readiness). Penetapan
opsi gelar operasi militer mengharuskan Kementrian Pertahanan untuk mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pertahanan minimal (mininal defense requirement). Kebutuhan
pertahanan minimal adalah kesiagaan operasional angkatan bersenjata untuk melakukan fungsi
tempur untuk tugas-tugas militer spesifik yaitu kontra insurgensi, kontra terorisme, pengamanan
pantai serta laut teritorial, serta keamanan internal. Fungsi tempur ini didukung oleh fungsifungsi lain yang relevan seperti dukungan komando, kendali, komunikasi dan intelijen (K3I),
logistik, dan bantuan hukum.

Anggaran pertahanan Indonesia yang sangat terbatas membuat usaha untuk mengisi
kebutuhan pertahanan minimal ini menjadi prioritas program memelihara alutsista. Program ini
dilakukan untuk menjamin agar alokasi anggaran pertahanan lebih ditujukan untuk
mempersiapkan satuan-satuan tempur yang dapat menjalankan tugas-tugas militer tersebut secara
optimal. Penetapan kebutuhan pertahanan minimal tersebut dibutuhkan terutama untuk menjamin
adanya kesiagaan operasional angkatan bersenjata untuk menghadapi tingkat eskalasi konflik
dengan tingkat peluang kejadian yang tinggi. Jika kebutuhan pertahanan minimal tersebut sudah
dapat dipenuhi, Kementrian Pertahanan dapat mulai memikirkan untuk melakukan program
modernisasi pertahanan (military build-up) dengan cara mengembangkan postur pertahanan
untuk menjalankan tugas-tugas militer lainnya.
Program arms maintanence ini tampak dari penetapan dua sasaran program

pengembangan pertahanan negara yang tertuang dalam RENSTRA 2000-2004 yaitu: pertama,
tercapainya kekuatan personil TNI sampai dengan 95% dari kebutuhan sesuai organisasi yang
ada. Pembangunan personil ini diprioritaskan untuk memelihara kekuatan yang sudah ada dan
menambah kekuatan secara bertahap mendekati kebutuhan organisasi dan kebutuhan
pengawakan alutsista. Prioritas ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan secara kuantitatif
jumlah personil militer yang di tahun 2000 baru mencapai 85% dari kebutuhan.

Analisis dan Kesimpulan
Kesimpulan masalah pilihan strategis yang dapat terbaca adalah adanya permasalahan
yang menyebabkan Indonesia sulit mengembangkan postur pertahanan yang modern dan
tangguh. Salah satu masalah tersebut adalah penempatan anggaran pertahanan sebagai
determinan pengembangan postur pertahanan Indonesia. Saya berpendapat agar anggaran
pertahanan dipandang sebagai variabel terikat. Hal ini akan memaksa negara untuk merumuskan
suatu kebijakan pertahanan yang akan menentukan besaran anggaran pertahanan, bukan
sebaliknya anggaran pertahanan yang mengarahkan kebijakan pertahanan (budget driven defense
policy) dalam proyeksi pertahanan jangka panjang.
Perumusan rencana strategis (RENSTRA) dan rencana jangka panjang (RJP) pertahanan
yang akan menentukan arah pengembangan postur pertahanan nasional, akusisi persenjataan
yang diperlukan, dan besarnya anggaran yang dibutuhkan. Renstra ini memerlukan perhitungan


yang rumit karena harus mengkombinasikan alokasi sumber daya nasional yang diperlukan
untuk mempertahankan postur pertahanan yang saat ini ada (arms maintanence) dan kebutuhan
untuk memulai proses modernisasi pertahanan (arms build-up). Program arms maintenance perlu
dilakukan untuk mencegah semakin lebarnya kesenjangan kapabilitas militer dengan negaranegara tetangga. Sementara program arms build-up perlu dilakukan dalam kerangka confidence
building-measure untuk mencegah terjadinya mispersepsi dari negara-negara tetangga yang
dapat mengarah ke perlombaan senjata (arms race) di kawasan.
RENSTRA dan RJP Pertahanan akan merupakan produk akhir dari program kaji ulang
pertahanan (strategic defense review) yang seharusnya selalu dilakukan per lima tahun oleh
Kementrian Pertahanan. Kaji ulang pertahanan ini dilakukan untuk memberi jaminan bahwa
angkatan bersenjata dapat menggelar operasi-operasi militer secara efektif, mengoptimalkan
perkembangan terkini, serta teknologi pertahanan berdasarkan strategi pertahanan yang telah
dirumuskan. Beberapa poin dari ancaman secara global yang dapat dilihat dari kacamata
geopolitik dan geostrategis seperti transnational crime dan cyberwar dapat menjadi penglihatan
awal akan tantangan yang dihadapi pertahanan Indonesia. Juklak, buku putih (White Book) serta
Renstra dan RJP merupakan awal mula dari cara berfikir pemerintah untuk membentuk sebuah
jawaban akan pilihan strategis yang akan diambil negara ini dalam menjalankan proyeksinya
sampai 2025, sesuai dengan perencanaan jangka panjang yang telah dirumuskan oleh Pemerintah
indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Pertahanan.
TAIDA
Dari semua masukan yang dijelaskan diatas dan kesimpulan yang mengacu pada pilihan

strategis maka dapat diambil analisa atas elemen-elemen permasalahan yang ada. Dapat terlihat
pada proyeksi perencanaan kedepan memakai teori TAIDA, maka elemen pertama yaitu;
Tracking, menitikberatkan kepada permasalahan tantangan kedepan yang besar kemungkinan
dialami oleh Indonesia beserta negara-negara lainnya, transnational crime organization dan
cyberwar merupakan tren yang sudah terbaca semenjak medio tahun 2001 dan mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Bukan suatu hal yang mustahil bahwa perang di masa
mendatang akan berhadapan dengan sekumpulan organisasi kriminal antar negara atau individual
cerdas yang mengacau stabilitas ekonomi dan sosial melalui jaringan dunia maya (cyber).

Sedangkan elemen Analyzing, menekankan pada kecenderungan dari apa yang terjadi
didalam sesuatu yang sedang terjadi, seperti pada kasus cetak biru (Blue Print) pertahanan dan
petujuk pelaksanaan/juklak dari cetak biru (White Book) pertahanan. Permasalahan kedepan bisa
terjadi karena blueprint pertahanan Indonesia belum sepenuhnya berdasarkan geopolitik dan
geostrategis sebagai negara kepulauan, dimana tujuannya adalah melindungi segenap kekayaan
alam yang dimiliki di wilayah Indonesia, untuk digunakan sebaik-baiknya demi kepentingan
bangsa, dari serangan dan ancaman yang timbul.
Pada elemen Imaging, melihat permasalahan dengan membuat gambar imajiner dalam
pikiran yang memungkinkan kita untuk mengembangkan hubungan emosional untuk alternatif
berjangka yang kita hadapi. Dapat diperhatikan bahwa dengan elemen imaging dapat
menemukan tujuan, keinginan dan hubungan kepada permasalahan di masa depan dan

diharapkan menjadi dasar yang baik untuk pilihan strategis. Seperti permasalahan MEF
(Minimum Esential Forces) terlihat bahwa MEF adalah tolok ukur minimal dalam
pengembangan kekuatan pertahanan, tetapi bukan berarti proyeksinya harus minim melainkan
tetap dikembang sampai batas-batas optimal, sesuai dengan besarnya wilayah Indonesia.
Elemen Deciding, menekankan bahwa proyeksi kedepan tersebut haruslah sesuatu yang
dapat dicapai tujuannya, memilih tujuan yang selaras dengan visi misi awal. Hal tersebut
tercangkup dalam permasalahan perumusan Renstra dan RJP. Bahwa rencana strategis berperan
sebagai pilihan jangka pendek dalam mengembagkan pertahanan Indonesia dan RJP/ rencana
jangka panjang merupakan tahapan proyeksi pertahanan dalam memahami isu-isu global dan
tantangan pertahanan Indonesia kedepannya yang bermacam-macam.
Dan elemen terakhir adalah Acting, yang merupakan pengejawantahan dari segala
macam aspek penunjang perencanaan proyeksi kedepan. Semua elemen yang telah menganalisis
sisi-sisi scenario masa depan haruslah menjadi acuan penting di dalam melakukan sesuatu (act)
yang akan menghasilkan produk akhir. Sebagai contoh mengubah konsep pertahanan laut
Indonesia dari brown water strategy ke green water strategy, dan mengembangkan kemandirian
industri pertahanan strategis yang integratif.