Destination Branding Cirebon dengan Pote

Destination Branding Cirebon dengan Potensi Wisata Syari’ah dan

Kota Pusaka
Sebagai tugas untuk UAS mata kuliah Strategic Branding
Dosen Pengampu: Bambang Dwi Prasetyo, Dr., S.Sos., M.Si

Disusun oleh:
Maulidina Wirdani
145120200111051

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Potensi pasar muslim dunia memang sangat menggiurkan bagi pelaku usaha
bisnis pariwisata. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di

dunia memilik potensi sebagai destinasi pariwisata syariah. Berdasarkan Global
Muslim Travel Index (GMTI) 2015 dalam kelompok destinasi Organisation of
Islamic Cooperation (OIC), Indonesia menempati peringkat ke-enam dengan skor

indeks 67,5 setelah Qatar (skor indeks 68,2), Arab Saudi (skor indeks 71,3), Uni
Emirat Arab/UEA (skor indeks 72,1), Turki (skor indeks 73,8), dan Malaysia (skor
indeks 83,8) (Kemenpar, 2015).
Studi GMTI menganalisis data lengkap yang meliputi 100 destinasi dengan
hasil rata-rata berdasarkan sembilan kriteria seperti kecocokan sebagai destinasi
liburan keluarga dan keamanan (kunjungan wisatawan muslim, destinasi liburan
keluarga, perjalanan yang aman), ketersediaan layanan dan fasilitas muslim friendly
di destinasi wisata (makanan halal, kemudahan akses untuk beribadah, layanan dan
fasilitas bandara, pilihan akomodasi), Halal awareness (mengutamakan kehalalan,
kemudahan komunikasi).
Industri pariwisata syariah bukanlah suatu ancaman bagi industri pariwisata
yang sudah ada, melainkan sebagai pelengkap dan tidak menghambat kemajuan usaha
wisata yang sudah berjalan. Bahkan sejumlah negara-negara di dunia telah
menggarap industri pariwisata syariah terlebih dahulu daripada Indonesia. Sebagai
contoh di Asia seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan
China. Thailand memiliki Center Chulalongkorn University, yang bekerja sama

dengan Pemerintah Thailand dan keagamaan. The Halal Science membuat sertifikasi
dan standardisasi untuk industri yang dilakukan secara transparan, bahkan
pembiayaannya tertera jelas dan transparan. Australia melalui Lembaga Queensland
Tourism mengeluarkan program pariwisata syariah pada bulan Agustus 2012.

Lembaga tersebut bekerjasama dengan hotel-hotel ternama mengadakan buka puasa
bersama, menyediakan tempat sholat yang nyaman dan mudah dijangkau di pusatpusat perbelanjaan, memberikan pertunjuk arah kiblat dan Alquran di kamar hotel,
hingga menyediakan petugas di Visitor’s Information Offices yang mampu berbahasa
Arab. Korea Selatan melalui Perwakilan Organisasi Pariwisata Korea Selatan di
Jakarta (KTO Jakarta) mengakui siap menjadi destinasi wisata syariah dengan
menyediakan paket wisata bagi Muslim dan fasilitas yang mendukung. Demikian
pula Jerman menyediakan tempat shalat yang bersih dan nyaman di Terminal 1
Bandara Munich, Jerman sejak bulan Juni 2011 (Sofyan, 2012: 13-19 dalam
Kemenpar, 2015).
Bagaimana dengan kondisi industri pariwisata syariah di Indonesia? Kondisi
pariwisata syariah di Indonesia masih belum dilaksanakan dengan serius. Padahal
potensi pengembangan wisata syariah di Indonesia sangat besar.
Pada dasarnya pengembangan wisata syariah bukanlah wisata eksklusif
karena wisatawan non-Muslim juga dapat menikmati pelayanan yang beretika
syariah. Wisata syariah meliputi keberadaan tempat wisata ziarah dan religi, juga

mencakup ketersediaan fasilitas pendukung, seperti restoran dan hotel yang
menyediakan makanan halal dan tempat shalat. Produk dan jasa wisata, serta tujuan
wisata dalam pariwisata syariah adalah sama seperti wisata umumnya selama tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dan etika syariah. Contohnya adalah menyediakan
tempat ibadah nyaman seperti sudah dilakukan di Thailand dan negara lainnya yang
telah menerapkan konsep tersebut terlebih dahulu. Potensi wisata syariah di Indonesia
sangat besar dan bisa menjadi alternatif selain wisata konvensional, hanya saja
branding dan pengemasannya masih belum memiliki konsep yang tepat.
Melalui Kementerian Pariwisata, pariwisata syariah meliputi empat jenis
komponen usaha pariwisata, yaitu perhotelan, restoran, biro atau jasa perjalanan
wisata, dan spa. Terdapat 13 (tiga belas) provinsi yang dipersiapkan Indonesia untuk
menjadi destinasi wisata syariah, yakni Nusa Tenggara Barat (NTB), Nangroe Aceh

Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Bali (IndonesiaTravel, 2013
dalam Kemenpar, 2015). Wilayah tujuan wisata syariah tersebut ditentukan
berdasarkan kesiapan sumber daya manusia, budaya masyarakat, produk wisata
daerah, serta akomodasi wisata.
Kota Cirebon adalah kota strategis yang terletak diujung timur pantai utara
Jawa Barat, faktor tersebut membuat kota ini berkembang menjadi sebuah kota yang

maju. Cirebon merupakan daerah tujuan wisata yang unik dalam berbagai aspek
seperti agama, budaya, dan juga sejarah. Cirebon unggul dari aspek historis dan
budaya. Maka dari itu Cirebon juga dikenal sebagai kota eksotis seperti Jogjakarta
nya Jawa Barat. Industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Cirebon tidak terlepas dari
aspek historis pertumbuhan kota dan pembangunan sebagai garis sutra dalam
penyebaran Islam, perdagangan, dan akulturasi sangat halus sehingga diversifikasi
etnis menjadi bagian utama dalam kegiatan wisata (Jaelani, 2016).
Seperti yang diketahui umum, Cirebon kurang dikenal dalam destination
branding walaupun memiliki potensi besar. Tahun 2016, Kementerian Pariwisata

Republik Indonesia tengah giat melakukan destination branding maupun city
branding untuk sejumlah kota di Indonesia. Cirebon juga menjadi salah satu kota

yang sedang gencar di branding. Oleh karena itu diangkatlah perancangan destination
branding untuk menjadi Kota Pusaka. Dimana Cirebon memiliki nilai jual relijiusitas,

sejarah dan budaya yang megah.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, penulis menetapkan rumusan
masalah yaitu: Bagaimana perancangan destination branding untuk Cirebon?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Brand
Istilah “branding” berakar dari sebuah kata Norwegia Kuno “brandr ”, yang
berarti “membakar”. Istilah “brand” masih diartikan sedemikian bagi para peternak
ketika memberikan cap identitas pada ternaknya. Seiring dengan berkembangnya
dunia perdagangan, brand diartikan sebagai asal atau sumber dari suatu produk atau
pembeda sebuah produk dengan produk lainnya (Wiley 2003 : 65, dalam Sandi,
dkk:2012).
2.1.1. Fungsi Brand
Beberapa fungsi brand adalah (Surya: 2003; dalam Sandi, dkk:2012) :
a. Sebagai sebuah janji.
Brand menjanjikan diferensiasi yang berarti, menciptakan kecenderungan, dan
mampu menjadikan produk “premium”. Sebagai jalan pintas dalam
pengambilan keputusan.
b. Sebagai aset dalam menambah nilai finansial.
c. Mendakan perubahan pada audience.
d. Menanggapi perubahan audience.
e. Mengkomunikasikan


dan

mengkomunikasikan

kembali

nilai-nilai

perusahaan pada masyarakat.
f. Memerangkati (to set) moral orang-orang didalam lingkungan perusahaan.
g. Mengabsahkan (to endorse) momentum untuk sebuah pernyataan jangka
panjang.
h. Menciptakan, mengelola, dan menguasai persepsi masyarakat baik didalam
organisasi maupun masyarakat umum.
2.1.2. Unsur-Unsur Brand
Unsur brand adalah upaya visual dan bahkan kadang kala fisik yang
bertindak mengindentifikasi dan mendiferensiasi suatu produk atau jasa

perusahaan. Untuk membangun brand yang kuat, unsur brand berikut merupakan

kunci: a) Nama Brand, b) Logo, c) Slogan, d) Kisah Brand (Sandi, dkk:2012).

2.2. Destination Branding
Destination branding berarti merancang suatu tempat untuk memenuhi

kebutuhan target market (Keller 2003: 138, dalam Sandi, dkk:2012). Lebih penting
lagi, destination branding adalah mengenai apa yang dirasakan oleh konsumen akan
suatu tempat. Kekuatan brand terletak pada kemampuannya membangun awareness
terhadap suatu tempat tersebut dengan asosiasi yang diinginkan. Sebagai salah satu
wujud brand, destination branding memiliki anatomi yang serupa dengan brand pada
umumnya. Pada umumnya, brand name yang digunakan adalah nama sebenarnya dari
lokasi tersebut.

Gambar 1. Key Component of Destination Branding
Source: Adapted from Balakrishnan (2007 dalam Balakrishnan, 2008)

2.2.1. Tahapan Destination brand
Destination branding akan merubah persepsi turis dan negative menjadi

positif. Untuk itu para marketer daerah perlu melakukan strategy mapping

mengenai potensi daerah yang siap dikembangkan dan strategi apa yang bisa
dikembangkan dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut.

Morgan and Pritchard (2002 dalam Situmorang: 2008) menyarankan 5 tahapan
untuk melakukan destination branding dalam merubah image sebuah daerah.
1. Market investigation, analysis and strategic recommendations
pada tahapan ini marketer daerah melakukan riset pemetaan potensi pasar,
hal-hal apa saja yang bisa dikembangkan dan penyusunan strategi.
2. Brand identity development
Brand Identity dibentuk berdasarkan visi, misi dan image yang ingin dibentuk
daera tersebut. Dari hasil riset ditentuka beberapa alternative lalu di pilih sat
buah tagline untuk menggambarkan daerah tersebut.
3. Brand launch and introduction: communicating the vision.
Setelah tagline diperkenalkan maka brand yang ada diperkenalkan dengan
melibatkan seluruh komponen yang ada melalui media relations seperti
Advertising, direct marketing, personal selling, websites, brochures, atau
Event organizers, film-makers, destination marketing organizations (DMOs)
Serta journalists.
4. Brand implementation.
Brand adalah sebuah janji. Semua pihak-pihak yang terlibat mulai dari

pemerintah, pihak hotel, Travel agensi, masyarakat setempat harus berusaha
mewujudkan janji yang diucapkan.
5. Monitoring, evaluation and review.

Program sedang yang dilaksanakan dilakukan monitoring apakah ada
penyimpangan, kekurangan dan sebagainya. Dari hasil monitoring dilakukan
evaluasi dan review untuk perbaikan selanjutnya

2.2.2. Tujuan Destination Branding
Destination Branding digunakan untuk mencapai tujuan yang beragam.
Secara umum, tujuan-tujuan tersebut adalah (Kotler 1998 : 138 dalam Sandi,
dkk, 2012) :
a.

Membangun brand image positif bagi lokasi.

b.

Meningkatkan quality of life (kesejahteraan hidup) suatu lokasi.


c.

Menarik target market, seperti pengunjung, penduduk dan pegawai,
bisnis dan industri.

d.

Menemukan pasar ekspor.

2.3. Wisata Syari’ah
Ide wisata syari’ah atau wisata religi (religious tourism) itu sendiri muncul
cukup kontroversial, tidak hanya dari sudut pandang otoritas keagamaan, tetapi juga
oleh perspektif akademik studi pariwisata.

Tajzadeh Namin A.A. (2013 dalam

Jaelani, 2015) dalam Value Creation in Tourism: An Islamic Approach memberikan
penjelasan tentang wisata yang bersumber dari al-Qur’an berikut ini:
A review of the verses of the Holy Quran shows that traveling and exploration
have been emphasized at least in seven verses; 1. Studying the life of the

people of the past (QS. 3: 137); 2. Studying the destiny of the people of the
past (QS. 30:42); 3. Studying how prophets were raised (QS. 16: 36); 4.
Studying the life of evildoers (QS. 6: 11); 5. Thinking about the creation; 6.
Thinking about what happened to wrongdoers; 7. Visiting safe and
prosperous towns (QS. 34: 11); 8. The Holy Quran calls people to travel and
to learn lessons from what happened to the infidels and deniers of divine
signs; 9. In general, it can be said that traveling helps people achieve
theoretical and practical explanations and to reaffirm their faiths in the
resurrection day. Traveling helps people learn from the past and prevents
tyranny and oppression; and 10. Travelling improves sight, hearing, and
inner knowledge and rescue people from inactivity and inanition .
Pengertian wisata religi dikembangkan pula sebagai semua upaya pemasaran
dan pengembangan produk yang diarahkan pada umat Islam, meskipun tidak terkait
motivasi agama (Henderson, 2010 dalam Jaelani, 2015), atau upaya yang
menekankan pentingnya turis Muslim dan non-Muslim sebagai pasar baru dan tujuan
untuk pariwisata (Ala Hamarneh, 2011 dalam Jaelani, 2015); Dengan kata lain,
Islamic tourisme untuk mempromosikan pariwisata di kalangan umat Islam,

mengembangkan tujuan wisata baru, dan memperkuat kerjasama antar organisasi dan
antar-pemerintah di Dunia Islam.
Islamic tourism can be defined as traveling activities of Muslims when moving
from one place to another or when residing at one place outside their place of
normal residence for a period less than one year and to engage in activities

with Islamic motivations. It should be noted that Islamic activities must be in
accordance with generally accepted principles of Islam; i.e. halal (Zamani
Farahani and Anderson, 2010 dalam Jaelani, 2015).

Salah satu produk yang dikembangkan oleh Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif sejak tahun 2013 adalah wisata syariah. Tahun 2014, program
wisata syariah akan semakin 'matang' dan siap dipromosikan kepada wisatawan.
Sebagai

negara

dengan

penduduk

mayoritas

Muslim,

Indonesia

perlu

mengembangkan wisata syariah, apalagi cukup banyak dikunjungi oleh wisatawan
dari negara-negara Timur Tengah.
Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar meyakinkan
bahwa pengembangan wisata syariah penting karena manfaatnya tidak hanya dapat
dirasakan oleh wisatawan Muslim. Wisata syariah bersifat terbuka untuk semua
orang. Kemenparekraf akan menggerakkan wisata syariah di hotel, restoran, serta spa.
Diharapkan wisata syariah dapat menjadikan Indonesia sebagai destinasi yang ramah
untuk wisatawan Muslim dan memerlukan standarisasi. Ciri wisata syari’ah antara
lain ada paket-paket wisata syariah yang meliputi destinasi ramah wisatawan Muslim,
serta hotel, restoran, dan spa yang halal (Kemenparekraf, 2013 dalam Jaelani, 2015).
Saat ini, sudah ada sembilan destinasi yang sesuai dengan konsep wisata
syariah di Indonesia, yaitu Sumatera Barat, Riau, Lampung, Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Timur, Lombok, dan Makassar. Wisata syariah diyakini dapat menarik
lebih banyak wisatawan Muslim dari berbagai penjuru dunia.
Di samping itu, kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip-prinsip:
a.

menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya sebagai pengejawantahan
dari konsep hidup dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan sesama manusia, dan
hubungan antara manusia dan lingkungan;

b.

menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal;

c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, dan
proporsionalitas;
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;

e. memberdayakan masyarakat setempat;
f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah, antara pusat dan daerah yang
merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta
keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g.

mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional
dalam bidang pariwisata; dan

h. memperkukuh

keutuhan

Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

(UU

Pariwisata, Bab III, 2009 dalam Jaelani 2015).

2.4. Potensi Wisata Cirebon
Cirebon merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki banyak
keunikan dan daya tarik untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata budaya dan
religi. Dahulu Cirebon pernah menjadi jalur sutra “Silk Road” perdagangan dari
berbagai bangsa seperti China, India, Turki, Persia, dan Timur Tengah melakukan
transit di Pelabuhan Cirebon. Sehingga lambat laun terjadi akulturasi dengan
penduduk asli Cirebon. Hal ini menambah khasanah keanekaragaman budaya yang
dimiliki masyarakat Cirebon. Adanya Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan
Kacirebonan, merupakan akulturasi kebudayaan lokal dengan Hindu-Buddha. Sejarah
masuk dan berkembangnyaagama Islam di Jawa khususnya Jawa Barat juga
melibatkan Cirebon (Hariyanto, 2016).
Diungkapkan Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arif Natadiningrat SE
(Radar Cirebon, 4/4/2016), bahwa Cirebon tidak lagi sekadar kota udang maupun
kota wali. Cirebon kini mempunyai sejumlah kekayaan yang dapat menjadi elemen
kunci untuk melancarkan strategi city branding-nya. Objektifnya, tentu saja guna
menarik wisatawan untuk menjadikan Cirebon sebagai pilihan destinasi wisata
mereka.
Elemen pertama adalah kekayaan kuliner Cirebon yang terkenal. Sebut saja,
tahu gejrot, nasi jamblang, sego lengko, empal genthong, emping besar, kripik

mlarat, tjampolay, serta es doger. Elemen kedua adalah fashion. Cirebon memiliki
batik trusmi dan corak batik berupa gambaran awan yang dikenal sebagai motif mega
mendung. Elemen ketiga adalah kesenian. Cirebon memiliki kesenian berupa Tari
Topeng, Sintren, Tarling, Gembyung, Sandiwara Cirebonan, dan lukisan kaca.
Elemen keempat adalah sejarah dan pusat peradaban. Antara lain,

Keraton

Kasepuhan peninggalan Sunan Gunung Jati yang terpelihara indahnya, Gua
Sunyaragi, hingga tempat wisata modern Waterland.
Demi mensukseskan strategi destination branding Cirebon, pemerintah pun
membangun sekaligus membenahi infrastruktur di sana. Di antaranya, jalur kereta api
rel ganda (double track) dan Tol Cipali. Cirebon sebagai destinasi wisata pilihan, kini
telah dilengkapi dengan sejumlah hotel. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
(Radar Cirebon, 4/4/2016), Cirebon bakal menjadi kawasan metropolis Cirebon Raya.
dan segera beroperasi Bandara Internasional Kertajati.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Stategi Destination Branding Cirebon
Morgan and Pritchard (2002 dalam Situmorang: 2008) menyarankan 5 tahapan
untuk melakukan destination branding dalam merubah image sebuah daerah.
1.

Market investigation, analysis and strategic recommendations

Pada tahapan ini dilakukan riset pemetaan potensi pasar Cirebon, hal-hal
apa saja yang bisa dikembangkan dan penyusunan strategi. Pertama-tama perlu
mengidentifikasi produk Destination Cirebon. Identifikasi dapat dilakukan
dengan berdasarkan kategorisasi sebagai berikut:
1)

Elemen pertama adalah Destination kuliner Cirebon. Sebut saja, tahu
gejrot, nasi jamblang, sego lengko, empal genthong, emping besar, kripik
mlarat, tjampolay, serta es doger.

2)

Elemen kedua adalah fashion. Cirebon memiliki batik trusmi dan corak
batik berupa gambaran awan yang dikenal sebagai motif mega mendung.

3)

Elemen ketiga adalah kesenian. Cirebon memiliki kesenian berupa Tari
Topeng, Sintren, Tarling, Gembyung, Sandiwara Cirebonan, dan lukisan
kaca.

4)

Elemen keempat adalah sejarah dan pusat peradaban. Antara lain,
Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, Keraton Kacirebonan, Masjid
Agung Cipta Rasa, peninggalan Sunan Gunung Jati yang terpelihara
indahnya, Gua Sunyaragi, hingga tempat wisata modern Waterland.
Kemudian dilakukan analisis berdasarkan tabel berikut:
Tugas Marketing
Mengidentifikasi
kebutuhan turis

Tujuan Marketing
Riset pemasaran

Menganalisa
peluang di

Segmentasi Pasar

Implementasi pada Cirebon
Karena sebagian besar wisata cirebon
merupakan wisata heritage dan budaya
berbau syari’ah maka yang dibutuhkan
adalah produk dan service yang terjaga
dengan baik
Meliputi Jawa Barat, jangkauan umur
anak-anak s/d dewasa, keluarga,

pasar
Menciptakan
product
sesuai permintaan
pasar
Menentukan nilai
produk/jasa dalam
berbagai situasi

Perencanaan dan
formulasi produk

Memastikan
ketersediaan
produk/jasa

Kebijakan
distribusi

Menginformasikan
dan
memotivasi turis

Strategy promosi

Kebijakan harga

memiliki ketertarikan terhadap, napak
tilas keagamaan, heritage dan budaya.
Secara produk destinasi sudah sangat
baik, tinggal meningkatkan performance
dan pengelolaan yang masih buruk.
Belum berinovasi.
Umumnya, harga yang ditetapkan
selama ini terjangkau, bahkan beberapa
masih gratis. Alangkah lebih baiknya
mematok harga yang pantas sehingga
dapat membiayai pengelolaan destinasi
dengan baik pula. Perlu diadakan survey
daya beli masyarakat oleh dinas terkait.
Secara umum produk destinasi tersedia
namun belum dikelola dengan baik.
Kurang arahan dan pembimbingan
(tourist guiding) untuk parawisatawan,
belum ada jasa yang intensif untuk
mendukung
kemajuan
destinasi.
Transportasi tersedia (tol Cipali,
Bandara Kertajati) begitupun dengan
hotel-hotel.
Belum gencar, minim partisipasi
masyarakat. Promosi bisa dilakukan
dengan jalur utama melalui sosialisas
pemerintah, media massa (cetak, radio,
tv, internet). Menggunakan Buzzer
media sosial. Menyewa fotografer untuk
menyajikan keindahan visual dan
disebarkan
lewat
media
diatas.
Menggunakan duta dan endorser
berpengaruh sesuai target pasar. Inovasi
dalam berpromosi sangat dibutuhkan

Tabel 1. Analisis dan penerjemahan konsep ke aksi

2.

Brand identity development

Brand Identity dibentuk berdasarkan visi, misi dan image yang ingin
dibentuk daera tersebut. Dari hasil riset ditentukan beberapa alternative lalu di
pilih satu buah tagline untuk menggambarkan daerah tersebut. Proses riset dapat
dilihat pada gambar dibawah, misalnya Thailand: “Amazing Thailand”, Hong
Kong: Asia’s Word City” dsb. Pike (2004 dalam Situmorang 2008) menyebutkan
Brand Identity yang dibangun diubah menjadi brand positioning yang akhirnya

diharapkan menjadi brand Image.

Level 5 What is the
essential nature &
character of the
destination brand?
Level 4 what does value
mean for the typical repeat
visitor?
Level 3 What psycological reward or
emotional benefit do tourist receive by
visiting this destination? how does tourist
feel?
Level 2 What benefit to the tourist result from this
destination features?

Level 1 What are the tangible, variable, objective, measurable
characteristic of this destination?

Piramida 1. The Destination Brand Benefit Pyramid

Destinasi Cirebon secara Tangible (Level 1) memperlihatkan keeksotisan
budaya dan sejarah melalui berbagai bangunan seperti Keraton-keraton, gua
sunyaragi, makam- makam, hingga beberbagai arsitektur yang eksotis.
Keeksotisan tersebut memiliki hubungan erat dengan sejarah islam dan akulturasi
budaya yang halus karena Cirebon sebagai silk road negara dunia. Selain itu juga
dapat dilihat produk batik khas yaitu Batik Mega Mendung yang tersohor. Juga
berbagai kuliner seperti Empal Gentong, Sega Lengko, Tjampolay, Krupuk
Udang, Docang dan lain sebagainya yang memiliki nilai luhur filosofis.
Disimpulkan bahwa Cirebon memiliki nilai heritage yang tinggi.
Manfaat wisatawan atas destinasi Cirebon ini secara umum (Level 2)
adalah bertambahnya ilmu dan kepuasan terhadap keindahan yang eksotis. Secara
khusus, bagi wisatawan muslim (Level 3) yang datang atas dorongan keagamaan,
mendapatkan kepuasan yang lebih mendalam, meliputi kepuasan spiritual, dan
penghayatan terhadap napak tilas penyebaran Islam di Jawa, khususnya Jawa
Barat. Destinasi wisata Cirebon juga memiliki akulturasi halus dengan berbagai

budaya salah satunya China. Sehingga dapat menjadi suber pembelajaran budaya
sekaligus sejarah. Mengingat sejarah Cirebon yang legendaris.
Secara konsisten (Level 4) Cirebon memberikan destinasi yang eksotis,
memiliki nilai heritage tinggi dan kental dengan masyarakatnya, juga memiliki
nilai syari’ah yang halus. Maka dari itu, Cirebon dicanangkan sebagai Kota
Pusaka. Hal tersebut pernah dipaparkan oleh Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja
Adipati Arif Natadiningrat SE (Radar Cirebon, 4/4/2016), bahwa Cirebon tidak
lagi sekadar kota udang maupun kota wali (karena Sunan Gunung Jati), namun
menjadi Kota Pusaka.
Kota Pusaka dinilai cocok karena meliputi berbagai nilai dan keunggulan
yang dimiliki Cirebon,. Selain berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa,
Cirebon juga memiliki sejarah kental dan berandil besar dari Zaman kerajaankerajaan, Zaman Penjajahan, hingga Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
3.

Brand launch and introduction: communicating the vision.

Pada aspek inilah kekurangan mendasar dari Destination Branding
Cirebon selama ini. Setelah mendapatkan Brand dan tagline maka brand yang ada
diperkenalkan dengan melibatkan seluruh komponen yang ada melalui media
relations seperti Advertising, direct marketing, personal selling, websites,
brochures,

atau

Event

organizers,

film-makers,

destination

marketing

organizations (DMOs) Serta journalists.

Promosi dapat dilakukan dengan Media ATL (Above The Line). Mediamedia yang digunakan dalam perencanaan media lini atas (ATL) adalah:
a. Televisi
Cirebon dapat bekerjasama dengan Kemenpar pusat maupun daerah
untuk membuat iklan wisata Cirebon sebagai Kota Pusaka. Iklan
tersebut diputar minimal 1 kali dalam 1 hari di media televisi seperti
chanel RCTI, Trans7, NET, SCTV, yang miliki rating/index jangkauan
penonton yang tinggi.
b. Film dan Videografi

Cirebon dapat mempromosikan destinasinya maupun produknya
dengan mengambil bagian dalam Film-film Nasional. Seperti film 5cm
yang berlokasi di Gunung Semeru efektif menigkatkan kunjungan
wisatawan.
c. Media Sosial
Cirebon juga dapat menyewa Buzzer untuk memviralkan destinasinya
melalui fotografi, videografi, tagline, meme, dan lain sebagainya.
Dapat juga membuat akun resmi seperti website, Instagram, Twitter
dll.
d. Platform Elektronik
Cirebon dapat bekerjasama dengan platform elektronik wisata seperti
Traveloka, Mister Aladdin, dan lain lain untuk akses wisatawan yang
lebih mudah.
e. Surat kabar (koran)
Surat kabar yang akan dipilih sebagai media promosi Cirebon meliputi
Jawa Post (Radar Cirebon dan Radar Lainnya). Selain itu juga
beralasan Jawa Pos memiliki cakupan yang sangat luas khususnya di
Pulau Jawa.
f. Media lain seperti Majalah dan Billboard

Promosi dapat dilakukan dengan Media BTL (Below The Line) Mediamedia yang digunakan dalam perencanaan Media BTL (Below The Line) seperti:
brosur, Marchendise, dan juga kupon menginap dan berwisata.

4.

Brand implementation.

Brand adalah sebuah janji. Semua pihak-pihak yang terlibat mulai dari
pemerintah, pihak hotel, Travel agensi, masyarakat setempat harus berusaha
mewujudkan janji yang diucapkan. Sehingga touris yang datang akan merasa
betah dan terkesan dengan daerah tujuan. Kasus di Cirebon salah satunya
destinasi wisata yang baik namun kurangnya pengelolaan sehingga menjadi tidak

terawat dan tidak inovatif, penataan kota yang buruk, kemacetan, kurangnya lahan
hijau, dan belum adanya standar tarif jasa di sejumlah daerah tujuan wisata
sehingga rentan menimbulkan pungli dan meresahkan wisatawan. Akhirnya
Brand yang dibentuk menjadi sia-sia.

5.

Monitoring, evaluation and review.

Program Cirebon sebagai Kota Pusaka dan Wisata Syari’ah yang
diimplemetasikan kemudaian dil monitoring apakah terdapat penyimpangan,
kekurangan, kendala dan lain sebagainya. Dari hasil monitoring dilakukan
evaluasi dan review untuk perbaikan selanjutnya. Apabila terdapat kendala
alangkah lebih baiknya untuk berkonsultasi dengan pihak ahli dan pihak yang
dapat membantu jalannya Destination Branding dengan baik.

Variety (within
destination)
Perceptual/Cogni
tive evaluation
Type of
Information
source
age image

effective
evaluation

overall image

education

sociopsycological

travel motivation
Bagan 1. Faktor yang Mempengaruhi Evaluasi Brand Image

3.2. Beberapa Tantangan dan Kendala
Tantangan dan kendala dalam menyusun destination branding Cirebon
adalah kurangnya Promosi, SDM, fasilitas infrastruktur, , layanan imigrasi,
pemasaran produk daerah, perilaku penduduk dan pengusaha lokal serta keterbatasan
anggaran. Tantangan berikutnya adalah image bahwa negara kita sering di cap ”jelek”
karena berbagai pemberitaan yang ada. Sehingga persepsi masyarakat Indonesia
sendiri terhadap wisata nasional dianggap kurang menarik.
Untuk mengatasi crisis kepercayaan wisatawan terhadap sebuah daerah
Beirman (2003 dalam Situmorang: 2008) menawarkan 4 langkah yakni:
1. mengidentifikasi penyebab masalah yang menyebabkan crisis (Identify the
event/problem as either a crisis or a hazard )

2. Pembentukan crisis management team: bekerjasama melalui media and public
relations, travel industry, tour operators, airlines and hospitality industry,
good staff, local tourism, local government dsb.

3. Mempromosikan destinasi selama dan setelah crisis (Promote the destination
during and after the crisis).

4. memonitor pemulihan dan menganalisi penyebab krisis (Monitor recovery
and analyse the crisis experience)

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Cirebon memiliki potensi besar sebagai Destination Brand di bidang wisata
Syari’ah. Cirebon memiliki keunggulan dalam keeksotisan heritage, budaya, dan
sejarah yang kental. Industri pariwisata dan dan juga ekonomi kreatif di dalamnya
tidak terlepas dari aspek historis pertumbuhan kota dan pembangunan sebagai “Silk
Road” dalam penyebaran Islam, perdagangan, dan akulturasi sangat halus sehingga
diversifikasi etnis menjadi bagian utama dalam kegiatan wisata.
Secara produk destinasi Cirebon sangat baik, namun Cirebon masih kurang
dalam 1) pengelolaan dan inovasi destinasi, 2) promosi dan 3) pengelolaan
destination branding. Dengan perancangan strategi destination branding ini

diharapkan dapat Membangun brand image positif bagi Cirebon sebagai destinasi
syari’ah maupun heritage;

dan Menarik target market, seperti pengunjung,

penduduk dan pegawai, bisnis dan industri..
4.2. Saran
Dari perancangan destination branding Cirebon ini penulis menyarankan:
1. Pemulihan dan pengelolaan destinasi yang intensif, mengingat potensinya
yang besar.
2. Pengimplementasian strategi destination branding khususnya dalam aspek
promosi
3. Meningkatkan kepercayaan diri masyarakat terhadap daerahnya dan ikut
berpartisipasi untuk mewujudkan Cirebon sebagai wisata Syari’ah sekaligus
kota Pusaka

DAFTAR PUSTAKA

Balakrishnan, M.S. (2008). Dubai a star in the east: A case study in strategic
destination branding. Journal of Place Management and Development Vol. 1
No. 1, 2008 pp. 62-91 q Emerald Group Publishing Limited 1753-8335 DOI
10.1108/17538330810865345
Hariyanto, I.R. (2016). Destinasi Wisata Budaya dan Religi di Cirebon . Ecodemica,
Vol.IV, No. 2, September 2016, ISSN 2355-0295, e-ISSN 2528-2255, hal, 214222
Jaelani, A. (2015). Pengembangan Wisata Syari’ah Di Cirebon: Studi Heritage
Tourisme Perspektif Ekonomi Islam. Penelitian Kompetitif Dosen Pusat
Penelitian dan Penerbitan IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jaelani, A. (2016). Cirebon as the Silk Road: A New Approach of Heritage Tourisme
and Creative Economy. https://mpra.ub.uni-muenchen.de/70768/ MPRA Paper
No. 70768, posted 17 April 2016 13:25 UTC Munich Personal RePEc Archive
KEMENPAR. (2015). Laporan Akhir Kajian Pengembangan Wisata Syariah. Asisten
Deputi Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan Deputi Bidang
Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan Kementerian Pariwisata 2015
Radar Cirebon. (4/4/2016). Begini Stategi City Branding Cirebon
Sandi, Lasiman, Damajanti. (2012). Perancangan Destination Branding Kota
Pontianak sebagai Kota Kuliner .Universitas Kristen Petra. Surabaya
Sandy. Lasiman. Damajanti, M. (2012). Perancangan Destination Branding Kota
Pontianak Sebagai Kota Kuliner . Program Studi Desain Komunikasi Visual,
Fakultas Seni dan Desain: Universitas Kristen Petra, Surabaya
Situmorang, S. (2008). Destination Brand: Membangun Keunggulan Bersaing
Daerah. Wahana Hijau Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4,
No.2, Desember 2008

LAMPIRAN

Vihara Welas Asih Cirebon

Keraton Kasepuhan

Masjid Agung Cipta Rasa

Gua Sunyaragi

Salah satu wahana Waterland Cirebon