Sistem Peringatan Canggih dalam Bencana
Alfionita Rizky Perdana – 071311233080 – UTS OI – World Meteorological Organization (WMO)
Sistem Peringatan Canggih dalam Bencana Bangladesh Cyclone Sidr : Kelebihan dan Kelemahan
Bentuk Kerjasama Assurance dalam World Meteorological Organization
Cloud seeding atau aktivitas membuat hujan buatan menjadi sebuah fenomena baru yang tengah
tengah banyak dipraktikkan oleh negara-negara di dunia mengingat kondisi alam di dunia saat ini tengah
bermasalah. Musim kemarau berkepanjangan, kekeringan, dan yang terbaru adalah kabut asap yang semakin
intensif terjadi di banyak negara memiliki dampak tersendiri yang berpotensi mengancam kehidupan
penduduk negara. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara besar yang memiliki teknologi
canggih untuk kemudian memanfaatkan teknik cloud seeding untuk membuat hujan buatan. World
Meteorological Organization pada mulanya telah memberi penjelasan tentang kemungkinan cloud seeding
untuk bisa dilakukan. Di dalam WMO sendiri sebenarnya ada bentuk kerjasama asimetris yang tercipta.
Karena kondisi asimetris ini kemudian memunculkan suasion problems yakni situasi permasalahan muncul
ketika negara kuat membujuk negara lemah untuk patuh pada negara kuat. Di dalam isu cloud seeding, di
WMO sendiri permasalahan tersebut muncul. Oleh sebab itu penulis akan membahas mengenai kelebihan
dan kelemahan suasion problems dalam WMO dengan analisis kasus cloud seeding.
Gambaran Umum World Meteorological Organization
World Meteorological Organization (WMO) adalah sebuah specialized agency di dalam PBB.
Pendirian WMO telah dimulai sejak tahun 1873 dengan nama International Meteorological Organization
(IMO) (World Meteorological Organization t.t). IMO didirikan oleh sekelompok meteorolog dengan ide
awal untuk mendorong pendirian badan meteorologi dan pertukaran data cuaca (American Institute of
Physics 2015). Pendirian IMO menjadi embrio awal gagasan untuk menyadarkan akan pentingnya
pertukaran informasi mengenai cuaca dari berbagai negara. Pertukaran informasi mengenai cuaca menjadi
penting karena menyangkut kehidupan masyarakat, misalnya informasi mengenai prediksi cuaca hujan atau
sedang cerah berguna untuk memberi informasi agar masyarakat bisa bersiap-siap. Demikian halnya
informasi terkait cuaca dalam skala internasional berguna sebagai input keadaan alam suatu negara dan
potensi bencana yang mungkin berdampak ke wilayah lain di luar teritori.
IMO kemudian bertransformasi menjadi World Meteorological Organization di tahun 1950 dan
menjadi agensi spesial dalam PBB di tahun 1951 (World Meteorological Organization t.t). Pada awal
perubahannya, WMO masih dianggap tidak terlalu penting oleh banyak negara. Ini disebabkan karena
negara-negara pada masa itu masih berorientasi pada kepentingan nasionalnya. Sehingga seringkali ini
menjadi kendala terhadap pertukaran informasi cuaca, iklim, dan air antarnegara yang diharapkan terjadi.
Transformasi WMO ini meski demikian tetap pada misi yang sama yakni terkait pertukaran informasi
mengenai cuaca, iklim, dan air. WMO memiliki tugas umum sebagai otoritas yang memfasilitasi kerjasama
internasional untuk sektor cuaca, iklim, dan air serta sebagai wadah standarisasi mekanisme yang legal
untuk badan meteorologi dan hidrologi di masing-masing negara. Secara lebih rinci, beberapa tugas yang
dijalankan oleh WMO adalah sebagai wadah pertukaran informasi terkait meteorology (cuaca dan iklim)
serta hidrologi secara gratis bagi semua negara. WMO juga berkewenangan dalam riset, pengembangan
teknologi yang dapat memprediksi bencana alam, membantu atau melakukan transfer teknologi, dan
sebagainya. Sejauh ini, salah satu capaian WMO terbaik adalah terkait advance warning untuk bencana El
Nino.
Sejak tahun 1990-an, WMO menjadi organisasi internasional yang keberadaannya penting mengingat
kerusakan alam saat ini tidak mengenal batas teritori sebuah negara. Jika dahulu WMO hanya berisi para
meteorolog dan tidak banyak negara yang ikut serta. Namun kemudian pada perkembangan WMO
selanjutnya, mulai bergabung negara-negara dalam WMO dengan salah satunya diwakili oleh badan
meteorologi milik masing-masing pemerintah. Hingga saat ini, jumlah anggota negara dalam WMO
berjumlah 191 negara. Struktur organisasi dalam WMO dikenal dengan istilah executive council dengan
seorang presiden dan wakil presiden yang membawahi presiden regional yang terdiri dari 6 regional dan
masing-masing regional diketuai oleh seorang kepala. Untuk mekanisme pengambilan keputusan di WMO
dilakukan dengan menggunakan sistem simple majority vote. Sementara untuk pembiayaan WMO berasal
dari iuran yang dikeluarkan oleh para anggotanya secara penuh.
Sistem Peringatan Canggih WMO dalam Kasus Bangladesh Cyclone Sidr
Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi alam terus mengalami perubahan. Sejak tahun 1970an, isu lingkungan sebenarnya sudah banyak dibahas. Namun baru di tahun 1990-an, isu meteorologi dan
hidrologi mulai semakin dibahas. Ditambah dengan tren bencana alam yang melanda negara-negara di dunia
seringkali menunjukkan bahwa negara tidak bisa bertindak independen. Salah satu contoh bencana alam
yang menunjukkan interdependensi antarnegara adalah saat tsunami melanda Asia dari India, Srilanka,
Thailand, hingga Indonesia. Hal-hal semacam ini yang semakin menunjukkan akan pentingnya pertukaran
informasi terkait cuaca, iklim, dan air.
Saat ini, salah satu fenomena alam yang tengah menjadi perbincangan adalah terkait musim panas
dan atau kemarau yang berkepanjangan. Kondisi ini membuat musim hujan tidak segera datang dan prediksi
yang dikeluarkan oleh WMO menjadi sedikit meleset. Musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan
masalah baru terkait kekeringan yang berakibat pada berkurangnya pasokan air dan irigasi ke sawah.
Keadaan ini tentunya mengancam kehidupan manusia, dan pada skala besar, keadaan ini berdampak pada
negara dengan terhambatnya jumlah pasokan pangan domestik. Tidak hanya musim kemarau
berkepanjangan yang menimbulkan kekeringan terutama di negara-negara berkembang, tetapi juga saat ini
tengah muncul kasus kabut asap di Indonesia yang belum terselesaikan. Dengan adanya fenomena alam
seperti ini, muncul inisiasi untuk melakukan aktivitas cloud seeding. Cloud seeding adalah sebuah aktivitas
menurunkan hujan dengan mekanisme menebarkan material berupa es kering, yodium perak, dan garam dari
pesawat. Aktivitas cloud seeding sedang menjadi tren dan mulai dipraktikkan di banyak negara, tidak
terkecuali di negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, Thailand, dan sebagainya. Cloud seeding
telah muncul sejak tahun 1946 dan diprakarsai oleh seorang ilmuwan bernama Vincent Schaefer. Cloud
seeding sebenarnya masih menjadi aktivitas kontroversial mengingat bahaya yang mungkin tercipta.
Mengarahkan awan untuk dapat menghasilkan hujan buatan melalui serangkaian proses dinilai terlalu
berisiko dan merugikan wilayah lain yang seharusnya mendapat jatah hujan dari awan tersebut. WMO
sendiri telah menjelaskan bahwa aktivitas cloud seeding hanya bisa dilakukan pada kondisi awan kumulus.
Tanpa awan bentuk cumulus, cloud seeding tidak akan berhasil.
Tren cloud seeding yang saat ini tengah meningkat dan mendorong munculnya peluang bisnis yang
dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengembangkannya. Bagi negara-negara berkembang yang
kekuatannya tidak mencukupi untuk melakukan aktivitas cloud seeding ini, maka membeli jasa pada negaranegara maju yang seringkali dilakukan. Cloud seeding kemudian menjadi bisnis namun di sisi lain aktivitas
ini mulai dipertimbangkan untuk menjadi solusi penanganan iklim kemarau yang berkepanjangan di banyak
negara serta bencana kabut asap di Indonesia. Maka dari itu, WMO kemudian perlu untuk membahas
kemungkinan cloud seeding untuk diimplementasi sebagai solusi bersama.
Kerjasama Bentuk Suasion di dalam World Meteorological Organization pada Isu Cloud Seeding
Salah satu perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisis organisasi internasional adalah
Liberalisme. Perspektif Liberalisme menyebutkan melalui salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa negara
adalah aktor rasional egois yang hanya berorientasi dan peduli pada isu-isu yang memberinya keuntungan
maksimal (absolute gains) (Hennida, 2014). Asumsi berikutnya menekankan pada teori-teori institusi
ekonomi yang berfokus pada biaya – biaya informasi dan transaksi (Hasenclever, 1997 : 4). Karena negara
merupakan aktor yang rasional, maka negara dalam perspektif neoliberal, negara memilih untuk melakukan
kooperasi daripada cara-cara lain yang menekankan kekuatan. Kooperasi dalam organisasi internasional
menyediakan informasi, mekanisme penerapan, dan hal lain yang mengizinkan negara untuk memperoleh
joint gains (Ikenberry, 2001 : 15). Negara berharap akan memperoleh kemudahan dan menekan biaya
transaksi dengan bergabung pada sebuah organisasi internasional. Dibanding tidak bergabung dengan
organisasi internasional yang jelas tidak menguntungkan karena tidak ada ketersediaan informasi yang
memadai, maka akan lebih baik bekerjasama dalam organisasi internasional untuk memastikan ketersediaan
informasi tetap diperoleh.
Terkait dengan motif negara bergabung dalam WMO dan pembentukan WMO sendiri, terlihat bahwa
akses pada informasi karena adanya informasi yang asimetris di antara negara-negara terkait cuaca, iklim,
dan air. Seperti yang tertuang dalam banyak arsip, WMO didirikan atas dasar pertukaran bebas informasi
mengenai cuaca, iklim, dan air. Sehingga, di dalam menjalankan WMO, organisasi ini pun menekankan pada
pertukaran bebas informasi tersebut. Pertukaran informasi menjadi penting bagi negara-negara ini karena
mereka menyadari posisi asimetris yang dihadapi. Di dalam sebuah organisasi internasional selalu ada
negara-negara yang kuat dan lemah. Karena posisi asimetris ini, maka diperlukan keterbukaan atau
transparansi mengenai informasi satu sama lain. Dengan transparansi ini, masing-masing negara bisa
mengakses informasi yang diperlukan sebagai input riset maupun prediksi akan keadaan alam di masingmasing negaranya.
Akan tetapi, jika kemudian berbicara mengenai hubungan asimetris yang ada dalam sebuah
organisasi internasional, maka tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk kerjasama yang mungkin terjadi
dimungkinkan ke dalam dua bentuk yaitu assurance dan suasion. Lisa Martin () menjelaskan bahwa dalam
sebuah organisasi internasiinal yang bentuk kerjasamanya asimetris akan mengarah pada assurance dan
suasion problems. Assurance problems menjelaskan bahwa negara-negara yang bersifat rasional dengan
informasi lengkap akan bekerjasama untuk sebuah isu. Asumsi bahwa semua aktor memiliki informasi yang
lenngkap dan sama, maka negara-negara tidak akan berbuat curang dan tidak ada pula insentif yang perlu
untuk dikeluarkan untuk menertibkan atau memastikan perilaku negara-negara ini.
Permasalahan kedua yang mungkin timbul dalam kerjasama asimetris adalah suasion. Bentuk
suasion merupakan bentuk permasalahan yang muncul dalam kerjasama asimetris multilateral dengan
memunculkan tindakan free ride yang dilakukan oleh negara-negara lemah atau kecil sementara ada negara
yang kuat yang secara unilateral bertindak sebagai penyedia public goods. Sebenarnya, kondisi asimetris ini
dipandang negara-negara yang kuat tidak menguntungkan. Ini membawa negara kuat pada situasi dilema.
Selain itu, kondisi asimetris juga akan membawa kekecewaan pada satu pihak tertentu atas tindakannya.
Hanya saja, bagi negara kuat, kerjasama asimetris masih bisa ditangani dengan salah satu taktik yakni
dengan melakukan issue linkage. Issue linkage dilakukan dengan negara kuat menyediakan cara-cara yang
mampu membujuk atau mempersuasi negara-negara lemah mengikuti arah kebijakan bersama dalam sebuah
organisasi internasional, misalnya menyediakan bantuan teknis mengenai nonproliferasi dan sebagainya.
Dari sini, maka dapat dilihat ada kelebihan dan kelemahan yang diciptakan oleh bentuk suasion.
Kelebihannya adalah pertama, ada upaya mengatasi kondisi asimetris dalam sebuah organisasi internasional.
Dengan begitu, organisasi internasional bisa lebih banyak menghasilkan resolusi sebagai solusi penanganan
bersama. Kelebihan kedua adalah insentif yang diberikan oleh negara kuat berguna untuk memastikan
informasi tetap diterima oleh negara-negara lemah. Selain itu, insentif yang diberikan oleh negara kuat akan
menguntungkan bagi domestik negara lemah. Sementara itu, kelemahan yang ada dalam bentuk suasion ini
adalah beban yang ditanggung oleh negara kuat membuat posisi dilematis. Negara kuat harus menanggung
beban dari tanggungjawabnya sebagai penyedia public goods dan insentif pada negara-negara lemah. Ini
akan memperbesar biaya pengeluaran yang harus dihabiskan oleh negara kuat dalam organisasi
internasional.
Di dalam isu cloud seeding di WMO, ada beberapa kelebihan dan kelemahan suasion problems yang
dapat ditemukan. Pertama terkait kelebihannya adalah cloud seeding diajukan oleh negara-negara kuat di
Eropa dan serta Amerika Serikat. Negara-negara ini membuka jasa aktivitas cloud seeding dengan mematok
biaya $150.000. Harga yang dipatok ini masih bisa dinegosiasikan dan hasilnya hingga saat ini sudah ada 55
negara anggota WMO yang melakukan cloud seeding. Sementara di AS sendiri sudah ada 42 proyek cloud
seeding. Yang terbaru adalah cloud seeding dilakukan di India dengan menyewa jasa cloud seeding dari
Eropa. India yang tergolong sebagai negara lemah menjadi contoh bagaimana negara kuat berusaha untuk
“membujuk” negara lemah agar bersedia melakukan aktivitas cloud seeding yang pada akhirnya
menguntungkan negara kuat ini pula. Aktivitas ini dilakukan dengan dukungan negara kuat yang
mengindikasikan ada upaya memberi insentif pada negara lemah agar bersedia melakukan cloud seeding. Ini
akan berhubungan dengan kelebihan kedua yaitu informasi yang diberikan untuk negara lemah dapat
dipastikan telah diterima. Aktivitas cloud seeding yang diinisiasi oleh negara-negara WMO ini juga sebagai
bagian memastikan aliran informasi diterima oleh negara lemah. Melalui insentif yang diberikan seperti
bantuan teknis cloud seeding, akan mmeungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi bagaimana
cara melakukan aktivitas pembuatan hujan buatan tersebut. Terakhir, terkait dengan kelemahan dalam cloud
seeding dalam WMO adalah biaya yang harus ditanggung oleh negara kuat. Besarnya biaya untuk
melakukan oleh cloud seeding seringkali harus ditanggung negara kuat ketika upaya mereka mendorong
negara-negara lemah mau melakukan cloud seeding. Ketika negara kuat memutuskan untuk tidak mematok
biaya dan menjadikannya insentif, maka biaya besar harus siap ditanggung oleh negara kuat, dalam hal ini
adalah AS dan Eropa yang merupakan anggota WMO penyedia jasa cloud seeding. Maka dari itu,
sebenarnya ada upaya-upaya negara kuat mematok biaya cloud seeding tujuannya adalah untuk memangkas
biaya yang harus ditanggung. Oleh sebab itu, sebenarnya ada dilemma yang harus dihadapi oleh negaranegara kuat ini.
Simpulan dan Opini
Daftar Pustaka
Barkin, J. Samuel, 2006. International Organization: Theories and Institutions. New York : Palgrave
Macmillan.
Hasenclever, A., Mayer, P. & Rittberger, V., 1997. Theories of International Regimes. Cambridge :
Cambridge University Press.
Hennida, Citra, 2014. Perkuliahan Rezim – Rezim Internasional Minggu II : Teori – Teori Rezim :
Institusional. Surabaya. Universitas Airlangga.
Ikenberry, John, 2001. After Victory: Strategic Restraints, and the Rebuilding of Order After Major Wars.
New Jersey : Princeton University Press. Ch. 1.
Sistem Peringatan Canggih dalam Bencana Bangladesh Cyclone Sidr : Kelebihan dan Kelemahan
Bentuk Kerjasama Assurance dalam World Meteorological Organization
Cloud seeding atau aktivitas membuat hujan buatan menjadi sebuah fenomena baru yang tengah
tengah banyak dipraktikkan oleh negara-negara di dunia mengingat kondisi alam di dunia saat ini tengah
bermasalah. Musim kemarau berkepanjangan, kekeringan, dan yang terbaru adalah kabut asap yang semakin
intensif terjadi di banyak negara memiliki dampak tersendiri yang berpotensi mengancam kehidupan
penduduk negara. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh negara-negara besar yang memiliki teknologi
canggih untuk kemudian memanfaatkan teknik cloud seeding untuk membuat hujan buatan. World
Meteorological Organization pada mulanya telah memberi penjelasan tentang kemungkinan cloud seeding
untuk bisa dilakukan. Di dalam WMO sendiri sebenarnya ada bentuk kerjasama asimetris yang tercipta.
Karena kondisi asimetris ini kemudian memunculkan suasion problems yakni situasi permasalahan muncul
ketika negara kuat membujuk negara lemah untuk patuh pada negara kuat. Di dalam isu cloud seeding, di
WMO sendiri permasalahan tersebut muncul. Oleh sebab itu penulis akan membahas mengenai kelebihan
dan kelemahan suasion problems dalam WMO dengan analisis kasus cloud seeding.
Gambaran Umum World Meteorological Organization
World Meteorological Organization (WMO) adalah sebuah specialized agency di dalam PBB.
Pendirian WMO telah dimulai sejak tahun 1873 dengan nama International Meteorological Organization
(IMO) (World Meteorological Organization t.t). IMO didirikan oleh sekelompok meteorolog dengan ide
awal untuk mendorong pendirian badan meteorologi dan pertukaran data cuaca (American Institute of
Physics 2015). Pendirian IMO menjadi embrio awal gagasan untuk menyadarkan akan pentingnya
pertukaran informasi mengenai cuaca dari berbagai negara. Pertukaran informasi mengenai cuaca menjadi
penting karena menyangkut kehidupan masyarakat, misalnya informasi mengenai prediksi cuaca hujan atau
sedang cerah berguna untuk memberi informasi agar masyarakat bisa bersiap-siap. Demikian halnya
informasi terkait cuaca dalam skala internasional berguna sebagai input keadaan alam suatu negara dan
potensi bencana yang mungkin berdampak ke wilayah lain di luar teritori.
IMO kemudian bertransformasi menjadi World Meteorological Organization di tahun 1950 dan
menjadi agensi spesial dalam PBB di tahun 1951 (World Meteorological Organization t.t). Pada awal
perubahannya, WMO masih dianggap tidak terlalu penting oleh banyak negara. Ini disebabkan karena
negara-negara pada masa itu masih berorientasi pada kepentingan nasionalnya. Sehingga seringkali ini
menjadi kendala terhadap pertukaran informasi cuaca, iklim, dan air antarnegara yang diharapkan terjadi.
Transformasi WMO ini meski demikian tetap pada misi yang sama yakni terkait pertukaran informasi
mengenai cuaca, iklim, dan air. WMO memiliki tugas umum sebagai otoritas yang memfasilitasi kerjasama
internasional untuk sektor cuaca, iklim, dan air serta sebagai wadah standarisasi mekanisme yang legal
untuk badan meteorologi dan hidrologi di masing-masing negara. Secara lebih rinci, beberapa tugas yang
dijalankan oleh WMO adalah sebagai wadah pertukaran informasi terkait meteorology (cuaca dan iklim)
serta hidrologi secara gratis bagi semua negara. WMO juga berkewenangan dalam riset, pengembangan
teknologi yang dapat memprediksi bencana alam, membantu atau melakukan transfer teknologi, dan
sebagainya. Sejauh ini, salah satu capaian WMO terbaik adalah terkait advance warning untuk bencana El
Nino.
Sejak tahun 1990-an, WMO menjadi organisasi internasional yang keberadaannya penting mengingat
kerusakan alam saat ini tidak mengenal batas teritori sebuah negara. Jika dahulu WMO hanya berisi para
meteorolog dan tidak banyak negara yang ikut serta. Namun kemudian pada perkembangan WMO
selanjutnya, mulai bergabung negara-negara dalam WMO dengan salah satunya diwakili oleh badan
meteorologi milik masing-masing pemerintah. Hingga saat ini, jumlah anggota negara dalam WMO
berjumlah 191 negara. Struktur organisasi dalam WMO dikenal dengan istilah executive council dengan
seorang presiden dan wakil presiden yang membawahi presiden regional yang terdiri dari 6 regional dan
masing-masing regional diketuai oleh seorang kepala. Untuk mekanisme pengambilan keputusan di WMO
dilakukan dengan menggunakan sistem simple majority vote. Sementara untuk pembiayaan WMO berasal
dari iuran yang dikeluarkan oleh para anggotanya secara penuh.
Sistem Peringatan Canggih WMO dalam Kasus Bangladesh Cyclone Sidr
Seiring dengan perkembangan zaman, kondisi alam terus mengalami perubahan. Sejak tahun 1970an, isu lingkungan sebenarnya sudah banyak dibahas. Namun baru di tahun 1990-an, isu meteorologi dan
hidrologi mulai semakin dibahas. Ditambah dengan tren bencana alam yang melanda negara-negara di dunia
seringkali menunjukkan bahwa negara tidak bisa bertindak independen. Salah satu contoh bencana alam
yang menunjukkan interdependensi antarnegara adalah saat tsunami melanda Asia dari India, Srilanka,
Thailand, hingga Indonesia. Hal-hal semacam ini yang semakin menunjukkan akan pentingnya pertukaran
informasi terkait cuaca, iklim, dan air.
Saat ini, salah satu fenomena alam yang tengah menjadi perbincangan adalah terkait musim panas
dan atau kemarau yang berkepanjangan. Kondisi ini membuat musim hujan tidak segera datang dan prediksi
yang dikeluarkan oleh WMO menjadi sedikit meleset. Musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan
masalah baru terkait kekeringan yang berakibat pada berkurangnya pasokan air dan irigasi ke sawah.
Keadaan ini tentunya mengancam kehidupan manusia, dan pada skala besar, keadaan ini berdampak pada
negara dengan terhambatnya jumlah pasokan pangan domestik. Tidak hanya musim kemarau
berkepanjangan yang menimbulkan kekeringan terutama di negara-negara berkembang, tetapi juga saat ini
tengah muncul kasus kabut asap di Indonesia yang belum terselesaikan. Dengan adanya fenomena alam
seperti ini, muncul inisiasi untuk melakukan aktivitas cloud seeding. Cloud seeding adalah sebuah aktivitas
menurunkan hujan dengan mekanisme menebarkan material berupa es kering, yodium perak, dan garam dari
pesawat. Aktivitas cloud seeding sedang menjadi tren dan mulai dipraktikkan di banyak negara, tidak
terkecuali di negara-negara berkembang seperti India, Indonesia, Thailand, dan sebagainya. Cloud seeding
telah muncul sejak tahun 1946 dan diprakarsai oleh seorang ilmuwan bernama Vincent Schaefer. Cloud
seeding sebenarnya masih menjadi aktivitas kontroversial mengingat bahaya yang mungkin tercipta.
Mengarahkan awan untuk dapat menghasilkan hujan buatan melalui serangkaian proses dinilai terlalu
berisiko dan merugikan wilayah lain yang seharusnya mendapat jatah hujan dari awan tersebut. WMO
sendiri telah menjelaskan bahwa aktivitas cloud seeding hanya bisa dilakukan pada kondisi awan kumulus.
Tanpa awan bentuk cumulus, cloud seeding tidak akan berhasil.
Tren cloud seeding yang saat ini tengah meningkat dan mendorong munculnya peluang bisnis yang
dilakukan oleh negara-negara maju untuk mengembangkannya. Bagi negara-negara berkembang yang
kekuatannya tidak mencukupi untuk melakukan aktivitas cloud seeding ini, maka membeli jasa pada negaranegara maju yang seringkali dilakukan. Cloud seeding kemudian menjadi bisnis namun di sisi lain aktivitas
ini mulai dipertimbangkan untuk menjadi solusi penanganan iklim kemarau yang berkepanjangan di banyak
negara serta bencana kabut asap di Indonesia. Maka dari itu, WMO kemudian perlu untuk membahas
kemungkinan cloud seeding untuk diimplementasi sebagai solusi bersama.
Kerjasama Bentuk Suasion di dalam World Meteorological Organization pada Isu Cloud Seeding
Salah satu perspektif yang dapat digunakan untuk menganalisis organisasi internasional adalah
Liberalisme. Perspektif Liberalisme menyebutkan melalui salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa negara
adalah aktor rasional egois yang hanya berorientasi dan peduli pada isu-isu yang memberinya keuntungan
maksimal (absolute gains) (Hennida, 2014). Asumsi berikutnya menekankan pada teori-teori institusi
ekonomi yang berfokus pada biaya – biaya informasi dan transaksi (Hasenclever, 1997 : 4). Karena negara
merupakan aktor yang rasional, maka negara dalam perspektif neoliberal, negara memilih untuk melakukan
kooperasi daripada cara-cara lain yang menekankan kekuatan. Kooperasi dalam organisasi internasional
menyediakan informasi, mekanisme penerapan, dan hal lain yang mengizinkan negara untuk memperoleh
joint gains (Ikenberry, 2001 : 15). Negara berharap akan memperoleh kemudahan dan menekan biaya
transaksi dengan bergabung pada sebuah organisasi internasional. Dibanding tidak bergabung dengan
organisasi internasional yang jelas tidak menguntungkan karena tidak ada ketersediaan informasi yang
memadai, maka akan lebih baik bekerjasama dalam organisasi internasional untuk memastikan ketersediaan
informasi tetap diperoleh.
Terkait dengan motif negara bergabung dalam WMO dan pembentukan WMO sendiri, terlihat bahwa
akses pada informasi karena adanya informasi yang asimetris di antara negara-negara terkait cuaca, iklim,
dan air. Seperti yang tertuang dalam banyak arsip, WMO didirikan atas dasar pertukaran bebas informasi
mengenai cuaca, iklim, dan air. Sehingga, di dalam menjalankan WMO, organisasi ini pun menekankan pada
pertukaran bebas informasi tersebut. Pertukaran informasi menjadi penting bagi negara-negara ini karena
mereka menyadari posisi asimetris yang dihadapi. Di dalam sebuah organisasi internasional selalu ada
negara-negara yang kuat dan lemah. Karena posisi asimetris ini, maka diperlukan keterbukaan atau
transparansi mengenai informasi satu sama lain. Dengan transparansi ini, masing-masing negara bisa
mengakses informasi yang diperlukan sebagai input riset maupun prediksi akan keadaan alam di masingmasing negaranya.
Akan tetapi, jika kemudian berbicara mengenai hubungan asimetris yang ada dalam sebuah
organisasi internasional, maka tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk kerjasama yang mungkin terjadi
dimungkinkan ke dalam dua bentuk yaitu assurance dan suasion. Lisa Martin () menjelaskan bahwa dalam
sebuah organisasi internasiinal yang bentuk kerjasamanya asimetris akan mengarah pada assurance dan
suasion problems. Assurance problems menjelaskan bahwa negara-negara yang bersifat rasional dengan
informasi lengkap akan bekerjasama untuk sebuah isu. Asumsi bahwa semua aktor memiliki informasi yang
lenngkap dan sama, maka negara-negara tidak akan berbuat curang dan tidak ada pula insentif yang perlu
untuk dikeluarkan untuk menertibkan atau memastikan perilaku negara-negara ini.
Permasalahan kedua yang mungkin timbul dalam kerjasama asimetris adalah suasion. Bentuk
suasion merupakan bentuk permasalahan yang muncul dalam kerjasama asimetris multilateral dengan
memunculkan tindakan free ride yang dilakukan oleh negara-negara lemah atau kecil sementara ada negara
yang kuat yang secara unilateral bertindak sebagai penyedia public goods. Sebenarnya, kondisi asimetris ini
dipandang negara-negara yang kuat tidak menguntungkan. Ini membawa negara kuat pada situasi dilema.
Selain itu, kondisi asimetris juga akan membawa kekecewaan pada satu pihak tertentu atas tindakannya.
Hanya saja, bagi negara kuat, kerjasama asimetris masih bisa ditangani dengan salah satu taktik yakni
dengan melakukan issue linkage. Issue linkage dilakukan dengan negara kuat menyediakan cara-cara yang
mampu membujuk atau mempersuasi negara-negara lemah mengikuti arah kebijakan bersama dalam sebuah
organisasi internasional, misalnya menyediakan bantuan teknis mengenai nonproliferasi dan sebagainya.
Dari sini, maka dapat dilihat ada kelebihan dan kelemahan yang diciptakan oleh bentuk suasion.
Kelebihannya adalah pertama, ada upaya mengatasi kondisi asimetris dalam sebuah organisasi internasional.
Dengan begitu, organisasi internasional bisa lebih banyak menghasilkan resolusi sebagai solusi penanganan
bersama. Kelebihan kedua adalah insentif yang diberikan oleh negara kuat berguna untuk memastikan
informasi tetap diterima oleh negara-negara lemah. Selain itu, insentif yang diberikan oleh negara kuat akan
menguntungkan bagi domestik negara lemah. Sementara itu, kelemahan yang ada dalam bentuk suasion ini
adalah beban yang ditanggung oleh negara kuat membuat posisi dilematis. Negara kuat harus menanggung
beban dari tanggungjawabnya sebagai penyedia public goods dan insentif pada negara-negara lemah. Ini
akan memperbesar biaya pengeluaran yang harus dihabiskan oleh negara kuat dalam organisasi
internasional.
Di dalam isu cloud seeding di WMO, ada beberapa kelebihan dan kelemahan suasion problems yang
dapat ditemukan. Pertama terkait kelebihannya adalah cloud seeding diajukan oleh negara-negara kuat di
Eropa dan serta Amerika Serikat. Negara-negara ini membuka jasa aktivitas cloud seeding dengan mematok
biaya $150.000. Harga yang dipatok ini masih bisa dinegosiasikan dan hasilnya hingga saat ini sudah ada 55
negara anggota WMO yang melakukan cloud seeding. Sementara di AS sendiri sudah ada 42 proyek cloud
seeding. Yang terbaru adalah cloud seeding dilakukan di India dengan menyewa jasa cloud seeding dari
Eropa. India yang tergolong sebagai negara lemah menjadi contoh bagaimana negara kuat berusaha untuk
“membujuk” negara lemah agar bersedia melakukan aktivitas cloud seeding yang pada akhirnya
menguntungkan negara kuat ini pula. Aktivitas ini dilakukan dengan dukungan negara kuat yang
mengindikasikan ada upaya memberi insentif pada negara lemah agar bersedia melakukan cloud seeding. Ini
akan berhubungan dengan kelebihan kedua yaitu informasi yang diberikan untuk negara lemah dapat
dipastikan telah diterima. Aktivitas cloud seeding yang diinisiasi oleh negara-negara WMO ini juga sebagai
bagian memastikan aliran informasi diterima oleh negara lemah. Melalui insentif yang diberikan seperti
bantuan teknis cloud seeding, akan mmeungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi bagaimana
cara melakukan aktivitas pembuatan hujan buatan tersebut. Terakhir, terkait dengan kelemahan dalam cloud
seeding dalam WMO adalah biaya yang harus ditanggung oleh negara kuat. Besarnya biaya untuk
melakukan oleh cloud seeding seringkali harus ditanggung negara kuat ketika upaya mereka mendorong
negara-negara lemah mau melakukan cloud seeding. Ketika negara kuat memutuskan untuk tidak mematok
biaya dan menjadikannya insentif, maka biaya besar harus siap ditanggung oleh negara kuat, dalam hal ini
adalah AS dan Eropa yang merupakan anggota WMO penyedia jasa cloud seeding. Maka dari itu,
sebenarnya ada upaya-upaya negara kuat mematok biaya cloud seeding tujuannya adalah untuk memangkas
biaya yang harus ditanggung. Oleh sebab itu, sebenarnya ada dilemma yang harus dihadapi oleh negaranegara kuat ini.
Simpulan dan Opini
Daftar Pustaka
Barkin, J. Samuel, 2006. International Organization: Theories and Institutions. New York : Palgrave
Macmillan.
Hasenclever, A., Mayer, P. & Rittberger, V., 1997. Theories of International Regimes. Cambridge :
Cambridge University Press.
Hennida, Citra, 2014. Perkuliahan Rezim – Rezim Internasional Minggu II : Teori – Teori Rezim :
Institusional. Surabaya. Universitas Airlangga.
Ikenberry, John, 2001. After Victory: Strategic Restraints, and the Rebuilding of Order After Major Wars.
New Jersey : Princeton University Press. Ch. 1.